• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rent-seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rent-seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

RENT-SEEKING

DAN KORUPSI DALAM PEMBANGUNAN

JALAN DI INDONESIA (STUDI KASUS: DUA MASA

PEMERINTAHAN SBY, 2004-2013)

IKHSANNUDIN AL HAKIM

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Ikhsannudin Al Hakim

(4)

ABSTRAK

IKHSANNUDIN AL HAKIM. Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013). Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI.

Jalan adalah sektor strategis yang mampu meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia, namun hasil pengadaannya tidak sebanding dengan anggaran. Penelitian ini bertujuan menganalisis biaya-biaya transaksi dan pola-pola korupsi dalam mekanisme rent-seeking pada pembangunan jalan serta potensi pembangunan jalan yang hilang. Penelitian ini menggunakan data primer melalui wawancara mendalam dengan ahli di KPK, Mabes Polri, dan praktisi pengadaan barang/ jasa pemerintah serta data sekunder yang diperoleh dari BPS, Kementerian PU, MA, dan sebagainya. Metode analisisnya menggunakan analisis ekonomi politik, analisis biaya transaksi, analisis korupsi dan rent-seeking, dan analisis kebocoran anggaran (ICOR), lalu disajikan secara deskriptif kualitatif. Hasilnya adalah biaya transaksi yang muncul adalah biaya negosiasi, biaya pencarian dan informasi, pembebasan tanah, dan sebagainya meski sudah menggunakan e-Procurement. Maka timbul rent-seeking yang dilakukan antara penyelenggara dengan penyedia dan berujung korupsi (penyuapan, penggelembungan dana, penggelapan anggaran, penyalahgunaan wewenang, kolusi birokrat-perusahaan, monopoli-oligopoli, dan sebagainya) sebesar 18.13% dari nilai kontrak, keuntungan supernormal-nya 26.48%, dan nilai proyek terburuknya 53.85%. Selama dua masa pemerintahan SBY, potensi pembangunan jalan yang hilang sebesar 15.58% dengan kebocoran anggarannya 57.88% atau Rp16.77 triliun per tahun yang sebagian besarnya dinikmati oleh pelaku rent-seeking dan korupsi pada pembangunan jalan, yaitu para penyedia dan para penyelenggara (Bina Marga pusat maupun daerah) yang ‘memanfaatkan’ kondisi tersebut.

Kata kunci: biaya transaksi, ekonomi politik, korupsi, pembangunan jalan, rent-seeking

ABSTRACT

IKHSANNUDIN AL HAKIM. Rent-Seeking and Corruption at Road Constructions in Indonesia (Case Study: Two Periods of SBY’s Reign, 2004-2013). Supervised by DIDIN S. DAMANHURI.

(5)

analysis (ICOR), presented in qualitative descriptive. The results are transaction costs where found on road procurements are negosiation cost, searching and information cost, land relinquishment, etc though e-Procurement has been used. So there were rent-seeking activities by promoters with providers then corruptions (bribery, mark up, misapropriation, power abuse, bureaucrat-company collusion, and monopoly-oligopoly) were coming out are 18.13% from contract size, its supernormal profit is 26.48%, and the worst of its project value is 53.85%. During two periods of SBY’s Reign, the missing road construction potency is 15.58% with the budget leakage is 57.88% or IDR16.77 trillion per annum which mostly enjoyed by rent-seekers and corruptors, which are providers and promoters (both central and regional Bina Marga) who ‘were utilizing’ this condition.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

RENT-SEEKING

DAN KORUPSI DALAM PEMBANGUNAN

JALAN DI INDONESIA (STUDI KASUS: DUA MASA

PEMERINTAHAN SBY, 2004-2013)

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(8)
(9)

Judul Skripsi : Rent-seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013)

Nama : Ikhsannudin Al Hakim NIM : H14100097

Disetujui oleh

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman, M.Ec Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Pembangunan jalan dipilih sebagai tema dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari hingga September 2014 ini, dengan judul Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004 -2013).

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku pembimbing dan juga pendidik;

2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku penguji utama dan Bapak Dr. Muhammad Findi, ME selaku komisi pendidikan yang telah memberi saran yang membangun;

3. Bapak AKPB Romylus (Kanit. Tipikor, Pidsus Mabes POLRI), Bapak Deni R. Purwana (Spesialis Litbang KPK), Bapak Samsul Ramli (praktisi dan trainer pengadaan barang/ jasa pemerintah; pendiri Pusat Pengkajian Barang/ Jasa Indonesia [P3I]), dan BPK yang telah menyempatkan waktu untuk melakukan wawancara mendalam;

4. Kementerian PU, KPK, BPS, dan Mahkamah Agung yang telah membantu selama pengumpulan data;

5. Orang tua terkasih Bapak Slamet Iriana dan Ibu Hartati, serta Mbak Rofi, Salsa, dan Zulfa atas segala doa dan kasih sayangnya;

6. Dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB yang telah membantu selama perkualihan;

7. Teman-teman sebimbingan, Candri Yuniar Roisy, Erlangga Ryansha, Khoerul Imam yang selalu memberi dukungan, masukan, dan dorongan; 8. Teman-teman sekosan, Ega, Rifal, Ricky, Najmi, Fahmi, Kautsar,

Quldino, dan Ade;

9. Teman sepermainan, Ratna, Afanina, Sauqi, Wirenza, Tria, dan Latifah; 10.Teman-teman dari Dept. Ilmu Ekonomi 46 - 49, FEM, IPB, BEM FEM

IPB, PT. Lodaya Makmur Perkasa, Kominfo, Omda, yang telah memberi dukungan selama penelitian; serta

11.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan dalam tulisan ini. Maafkan apabila banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Ekonomi Politik 7

Teori Pembangunan 9

Infrastruktur Jalan dalam Pembangunan 10

Biaya Transaksi (Transaction Cost) 13

Rent-Seeking 15

Korupsi dan Pola-Polanya 17

Pembangunan Jalan 20

Penelitian Terdahulu 21

Kerangka Pemikiran 23

METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Analisis Data 26

GAMBARAN UMUM 30

Kondisi Jalan di Indonesia 30

Korupsi, Rent-Seeking, dan Penanganannya di Indonesia 32

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Biaya Transaksi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia 35 Pola-Pola Korupsi yang Terjadi pada Mekanisme Rent-Seeking dalam Proses

(12)

Potensi Pembangunan yang Hilang Akibat Korupsi dan Rent-Seeking dalam

Pembangunan Jalan di Indonesia 55

SIMPULAN DAN SARAN 57

Simpulan 57

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

LAMPIRAN 61

RIWAYAT HIDUP 63

DAFTAR TABEL

1.1 Perkembangan panjang jalan menurut tingkat kewenangan 2 1.2 Indeks persepsi korupsi dan peringkat negara Asia 2014 3 4.1 Kondisi jalan nasional hasil survey 2008 32 5.1 Perbandingan biaya pencarian dan informasi dalam pengadaan jalan (bagi

penyedia) antara sistem manual dengan sistem elektronik 38 5.2 Perlakuan pajak dan tarifnya pada jasa konstruksi 41 5.3 Pengelompokan jenis rent-seeking 52 5.4 Kebocoran pembangunan jalan di Indonesia 2004 – 2013 56 5.5 Potensi pertumbuhan PDB jalan di Indonesia 2004 – 2013 56

DAFTAR GAMBAR

2.1 Keterkaitan pembangunan jalan terhadap perekonomian 12 2.2 Skema lapisan biaya transaksi 15

2.3 Biaya-biaya monopoli 17

2.4 Kerangka pemikiran 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 PMTB jalan berdasar PDB nasional 2004 – 2013 (000 rupiah) 63 2 Perbandingan jumlah kendaraan dengan panjang jalan 2003 – 2011 64 3 Keuntungan supernormal kasus rent-seeking dan korupsi dan nilai proyeknya

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan merupakan proses transformasi masyarakat yang tidak hanya dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi saja, namun juga termasuk di dalamnya terdapat perubahan mental, sosial, struktur, hingga kultur dalam masyarakat. Setiap proses pembangunan seharusnya memiliki tiga tujuan inti pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok; peningkatan standar hidup; serta perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial1. Upaya dalam pencapaian tujuan-tujuan inti pembangunan tersebut dibutuhkan instrumen yang mampu mendukungnya, baik yang disediakan oleh pemerintah berupa barang publik maupun yang disediakan oleh swasta berupa barang privat.

Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur ekonomi/ fisik; seperti bandara, kereta api, pelabuhan, perlistrikan, jalan raya, jalan tol, taman, penyediaan air bersih, tanggul, dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur yang baik tidak hanya menumbuhkan perekonomian di sekitarnya, namun juga mampu meningkatkan kesejahteraan sosial. Penyediaan barang publik yang baik dan lengkap menjadikan kualitas hidup penduduk di negara tersebut semakin tinggi. Pembangunan infrastruktur yang mampu meningkatkan distribusi barang kebutuhan pokok serta memperluas pilihan-pilihan ekonomis dan sosial akan meningkatkan kesejahteraan setiap individu pula.

Salah satu infrastruktur yang mampu meningkatkan kegiatan perekonomian adalah sektor transportasi. Adanya sektor transportasi yang efektif dalam mobilitas barang dan jasa dan aksesibilitas antar wilayah mampu meningkatkan pemerataan pembangunan. Pembangunan jalan raya merupakan infrastruktur dari sektor transportasi yang mampu mempercepat pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah mengupayakan untuk mengembangkan barang publik ini sebagai sarana dalam percepatan pembangunan ekonomi. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum menempatkan infrastruktur jalan sebagai proyek strategis.

Perkembangan panjang jalan semakin bertambah seiring bertambahnya tahun. Akan tetapi penambahan panjang jalan tersebut tidak berkembang secara pesat setiap tahunnya. Perkembangan panjang jalan negara dan provinsi cenderung kecil perkembangannya. Sementara perkembangan panjang jalan yang cukup pesat adalah perkembangan panjang jalan yang terjadi pada tingkat kewenangan kabupaten/ kota di setiap tahunnya. Penambahan panjang jalan ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan dilakukan hingga menyentuh lapisan desa terpencil agar masyarakat dapat memperoleh akses dari adanya pembangunan.

1

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, Jilid 1, Edisi 9. Haris

Munandar, penerjemah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). Terjemahan dari Economic

(14)

2

Tabel 1.1 Perkembangan panjang jalan menurut tingkat kewenangana

a

Sumber: [BPS] Badan Pusat Statistik, 2015, Panjang Jalan Dirinci Menurut Tingkat

Kewenangan 1987-2013 (km), http://www.bps.go.id [diakses tanggal 18 Maret 2015]

Pembangunan jalan merupakan tanggung jawab dari Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU), khususnya Dirjen Bina Marga dan/atau Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Bina Marga maupun DPU menggunakan anggaran penyediaan infrastruktur jalan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebelum melakukan pembangunan, Bina Marga maupun DPU melakukan pemilihan panitia lalu membuat perencanaan melalui konsultan perencana. Setelah itu perencanaan tersebut dijalankan melalui pelelangan, penunjukan langsung, pengadaan langsung, atau swakelola. Pada pelaksanaannya, pengadaan jalan harus dijalankan sesuai dengan perencanaan pembangunan, baik dari segi biaya maupun segi teknis. Oleh karenanya, ketika pelaksanaan proyek pembangunan jalan, Bina Marga maupun DPU memberikan kewenangan bagi konsultan pengawas untuk mengawasi jalannya proyek agar sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.

Setiap proses pembangunan jalan tersebut memiliki celah, mulai dari proses perencanaan, pengalokasian dana APBN/D, pelaksanaan proyek, pengawasan proyek, pemeliharaan, hingga pencairan dana, bagi elite politik untuk melakukan tindakan negatif, seperti rent-seeking dan korupsi.

Kegiatan ekonomi pemburuan rente (rent-seeking economy activity) merupakan proses pelaku ekonomi, baik individu maupun kelompok, untuk memperoleh peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan kebijakan pemerintah2. Sementara tindak korupsi merupakan kegiatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui jabatan yang diduduki3. Dengan demikian, baik rent-seeking

maupun korupsi, keduanya memanfaatkan sumberdaya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu tanpa memperhatikan keadilan dan kesejahteraan sosial.

2

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori, dan Kebijakan, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2013), hlm. 107. 3

Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan

Korupsi dalam Pemerintahan Daerah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 3.

Tahun Negara (km) Provinsi (km) Kabupaten/Kota (km) Jumlah (km) 2003 26 271 38 914 292 774 357 959

2004 34 628 40 125 298 175 372 928

2005 34 628 40 125 316 255 391 008

2006 34 628 40 125 331 816 406 569

2007 34 628 40 125 346 782 421 535

2008 34 628 40 125 363 006 437 759

2009 38 570 48 020 389 747 476 337

2010 38 570 53 291 395 453 487 314

2011 38 570 53 642 400 186 492 398

2012 38 570 53 642 409 757 501 969

(15)

3 Namun rent-seeking lebih menitikberatkan terhadap regulasi atau kebijakan, sementara korupsi lebih menitikberatkan terhadap sistem.

Kegiatan ekonomi pemburuan rente terdapat berbagai cara, seperti amandemen peraturan pemerintah untuk menguntungkan dirinya, monopoli, hingga diikuti oleh tindakan korupsi berupa penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, bukan berarti semua jenis korupsi merupakan kegiatan pemburuan rente. Praktik korupsi dapat timbul bukan dikarenakan gaji/ upah yang sedikit, sebab para elite politik yang memiliki kekayaan yang tinggi pun masih bisa melakukan praktik tersebut. Praktik korupsi terjadi dapat diakibatkan oleh rendahnya kualitas moral dan etika para elite politik. Selain buruknya moral, para elite politik didukung dengan kemudahan untuk menguasai akses proyek-proyek strategis, sehingga kemungkinan terjadi korupsi tinggi.

Tingkat korupsi antar negara berbeda-beda. Tingkat korupsi di Negara Industri Maju (NIM) yang mendekati nol, sementara tingkat korupsi di Negara Sedang Berkembang (NSB) cenderung tinggi. Transparency International – Indonesia yang merupakan organisasi independen internasional dengan tujuan memberantas korupsi internasional yang berada di Indonesia melalui penelitiannya tahun 2014 mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat ke-107 negara terbersih di dunia dari 175 negara. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya 34 dari 100. Dalam lingkup Asia, posisi Indonesia masih tertinggal dengan Singapura, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Cina.

Tabel 1.2 Indeks persepsi korupsi dan peringkat negara Asia 2014a

Negara Skor IPK Peringkat

Singapura 84 7

Jepang 76 15

Hongkong 74 17

Korea Selatan 55 43

Malaysia 52 50

Filipina 38 85

Cina 36 100

Indonesia 34 107

Vietnam 31 119

Timor Leste 28 133

a

Sumber: [TI-Indonesia] Transparency International – Indonesia, 2014, Corruption

Perception Index 2014, http://www.ti.or.id [diakses tanggal 26 Februari 2015]

Menurut penelitian Bank Dunia dalam periode 2005 – 2011, penganggaran negara terhadap pembangunan jalan di Indonesia adalah sekitar 40% dari total anggaran belanja infrastruktur. Akan tetapi anggaran yang besar itu kurang optimal dalam pelaksanaannya. Selain itu, Bank Dunia juga mencatat bahwa pada tahun 2005 – 2011, anggaran sebesar 40% dari belanja total konstruksi hanya menghasilkan output sebesar 20% yang diukur berdasar pada jalan yang dipelihara dan dibangun4 . Hal tersebut mengindikasikan tidak optimalnya

4

World Bank, 2013, Melakukan Investasi di Sektor Jalan di Indonesia: Meningkatkan Efisiensi

dan Menutup Kekurangan Pendanaan – Kajian Belanja Publik untuk Sektor Jalan 2012,

(16)

4

manajemen pembangunan jalan, salah satunya diakibatkan adanya kecurangan di dalamnya.

Badan Pengawas Keuangan (BPK) menemukan nilai kerugian pada pembangunan jalan dan jembatan. BPK mencatat pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2005 dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) 2005 terkait Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu tentang satuan kerja sementara pembangunan jalan dan jembatan Provinsi Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jambi, dan Lampung ditemukan nilai temuan kerugian sebesar Rp2 761.64 juta5. Sementara pada IHPS I tahun 2009 dalam LHP 2009 terkait Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu tentang pembangunan jalan dan jembatan nasional dari lima provinsi ditemukan nilai temuan kerugian sebesar Rp94.26 miliar atau 2,4% dari cakupan temuan sebesar Rp3.96 triliun6.

Tingkat rent-seeking dan korupsi yang tinggi menyebabkan pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi berbiaya tinggi (high cost economy) sehingga terjadi inefisiensi. Tingginya biaya tersebut akibat disalokasi sumberdaya oleh para pejabat publik. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan tingginya biaya transaksi (transaction cost) dengan sistem birokrasi berbelit-belit yang ditetapkan oleh pejabat publik dalam pembangunan infrastruktur. Biaya transaksi ini dapat berupa biaya dalam perencanaan dan penyiapan kontrak, biaya proyek, biaya administrasi, biaya pengawasan, pembebasan lahan, dan sebagainya.

Rumusan Masalah

Pembangunan jalan merupakan upaya pemerintah dalam perluasan akses sektor transportasi untuk mencapai pemerataan pembangunan di Indonesia. Infrastruktur jalan tersebut dapat berupa jalan nasional, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/ kota. Pembangunan jalan hingga ke pelosok desa diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat dalam memanfaatkan pembangunan ekonomi sehingga mencapai kesejahteraan sosial secara merata.

Permasalahan yang timbul pada pembangunan jalan adalah adanya rent-seeking dan korupsi. Rent-seeking dan korupsi yang terjadi di berbagai lini birokrasi menyebabkan pembangunan jalan menjadi inefisien dengan terjadinya “ekonomi biaya tinggi” (high cost economy). Tingginya pembiayaan pembangunan jalan adalah akibat dari tingginya biaya transaksi (transaction cost) dengan birokrasi berbelit-belit yang ditetapkan oleh pejabat publik.

Para pemburu rente berupaya dalam penguasaan proyek-proyek strategis seperti pengadaan jalan melalui pemanfaatan kebijakan pemerintah untuk menguntungkan dirinya maupun kelompoknya. Sementara itu, para pejabat publik dengan moral yang buruk memanfaatkan proyek-proyek strategis pembangunan jalan untuk melakukan korupsi melalui proyek, penyalahgunaan wewenang, penggelembungan dana (mark up) pada perencanaan anggaran, penyempitan dana (mark down) pada laporan anggaran, penggelapan dana, pemerasan, penyuapan, hingga gratifikasi.

5

[BPK RI] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester

I Tahun Anggaran 2005, (Jakarta: BPK RI, 2005), h. 104 6

[BPK RI] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester

(17)

5 Adanya rent-seeking dan korupsi pada proyek pembangunan jalan mengindikasikan bahwa pembangunan jalan tersebut tidak lagi berorientasi pada kesejahteraan sosial masyarakat secara merata, akan tetapi keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh para pemburu rente dan para elite politik yang berbudi pekerti buruk. Sehingga masyarakat tidak memperoleh akses pembangunan jalan secara maksimal.

Sistem pengadaan jalan sudah menggunakan pengadaan secara elektronik atau e-Procurement yang dimulai pada tahun 2002 hingga kini dan bertujuan meminimalir terjadinya kecurangan. Tidak hanya pemerintahan dengan desentralisasi fiskal (era Reformasi) namun Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sudah dibentuk dan dianggap mampu memberantas korupsi di Indonesia selama dua masa pemerintahan SBY. Meski demikian, selama rentang tahun tersebut ditemukan kecurangan-kecurangan baik rent-seeking maupun korupsi pada pembangunan jalan yang termuat di dalam putusan-putusan Mahkamah Agung.

Berdasar hal-hal yang diuraikan di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah:

1. Biaya transaksi apa saja yang terdapat pada proses pembangunan jalan di Indonesia?

2. Bagaimana pola-pola korupsi yang muncul di dalam mekanisme rent-seeking pada proses pembangunan jalan di Indonesia?

3. Berapa potensi pembangunan yang hilang akibat korupsi dan rent-seeking dalam proses pembangunan jalan di Indonesia?

TujuanPenelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Menganalisis biaya-biaya transaksi yang terdapat pada proses pembangunan jalan di Indonesia;

2. Menggambarkan pola-pola korupsi yang muncul di dalam mekanisme

rent-seeking pada proses pembangunan jalan di Indonesia; dan

3. Menganalisis besar potensi pembangunan yang hilang akibat korupsi dan

rent-seeking dalam proses pembangunan jalan di Indonesia.

ManfaatPenelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada berbagai pihak, di antaranya:

Penulis

Mampu memberikan tambahan wawasan ilmu ekonomi khususnya terkait dengan biaya transaksi, rent-seeking, dan korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan di Indonesia. Sehingga dapat menerapkan pengetahuan teoritis selama perkuliahan terhadap pengetahuan praktisi.

(18)

6

Akademisi

Mampu dijadikan rujukan atau sumber informasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya dengan topik yang serupa, sehingga akan mampu menyempurnakan penelitian sebelumnya.

Pemerintah

Mampu memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait pembangunan jalan yang efektif sehingga kecil kemungkinan terjadi rent-seeking dan korupsi, mereduksi biaya transaksi, serta mampu meningkatkan kesejahteraan sosial secara merata.

Masyarakat

Mampu memberikan informasi bagi masyarakat tentang biaya transaksi serta pola-pola rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan, sehingga masyarakat dapat bersama-sama ikut mengawasi berjalannya proyek pembangunan jalan agar tidak terjadi rent-seeking dan korupsi serta masyarakat dapat sejahtera.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berfokus pada munculnya biaya transaksi serta pola-pola rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan di Indonesia. Infrastruktur jalan yang dimaksud adalah jalan non-tol, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/ kota.

Penelitian ini menggunakan studi kasus dari tahun 2004-2013 dikarenakan pada periode tersebut, Indonesia sudah menerapkan sistem desentralisasi fiskal, artinya pemerintah daerah memiliki kuasa atas daerah yang dipimpinnya. Tahun 2004-2013 merupakan dua masa periode kepemimpinan yang sama, yaitu di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, pada tahun 2001 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dan mulai awal pembentukannya hingga sekarang, KPK menorehkan prestasi yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi dibandingkan upaya pemberantasan korupsi sebelum era Reformasi. Sementara itu, mulai tahun 2002 hingga saat ini Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menggunakan sistem pengadaan secara elektronik (e-Procurement). Sehingga sistem pemerintahan, upaya pemberantasan korupsi, serta sistem pengadaan pada pembangunan jalan selama tahun tersebut cenderung sama.

TINJAUAN PUSTAKA

(19)

7 semua wilayah. Penelitian ini menitikberatkan pada munculnya biaya-biaya transaksi dan pola-pola rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan dan analisis potensi yang hilang akibat adanya rent-seeking dan korupsi tersebut.

Ekonomi Politik

Sebuah negara dalam menetapkan suatu kebijakan ekonomi, tidak akan lepas dari kebijakan politik dari pemerintah negara tersebut, baik kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan luar negeri, maupun kebijakan pembangunan. Didin S. Damanhuri berpendapat bahwa Negara-Negara Sedang Berkembang (NSB) sering berorientasi pada peningkatan PDB saja, sehingga negara-negara tersebut berlomba-lomba dalam meningkatkan pertumbuhan PDB-nya. Sayangnya, pertumbuhan PDB yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan sosial masyarakat negara tersebut. Sementara tujuan dari ilmu ekonomi adalah pencapaian kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat7.

Damanhuri menambahkan bahwa:

“Persoalan kesejahteraan masyarakat menyangkut bagaimana peran negara dan pasar dalam kaitannya dengan persoalan kualitas dari pertumbuhan PDB yang dihasilkan, mampu mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan di NSB. Hal itu berarti menyangkut ilmu ekonomi pembangunan. Sementara persoalan kualitas pertumbuhan yang diperankan negara dan pasar juga akan menyangkut dengan dimensi politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, kita juga harus memahami hubungan timbal balik antara aspek, proses, institusi politik dan kekuasaan dengan kegiatan serta output ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi, dan seterusnya) dengan kualitas pertumbuhan (dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan). Yang terakhir ini berarti menyangkut ekonomi politik.8”

Pengertian ekonomi politik banyak diperbincangkan oleh para ahli ekonomi politik. Caporaso dan Levine berpendapat bahwa pada awalnya ilmu ekonomi politik berdiri dari konsep ilmu politik dan ilmu ekonomi. Meskipun secara konseptual terpisah, bukan berarti di antara keduanya tidak memiliki hubungan karena hubungan keduanya disebut dengan ilmu ekonomi politik 9 . Oleh karenanya, sebelum membahas konsep ilmu ekonomi politik perlu dibahas konsep ilmu ekonomi dan konsep ilmu politik terlebih dahulu.

Konsep ilmu ekonomi yang pertama adalah ekonomi kalkulasi. Konsep ini menjelaskan tentang cara untuk memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan yang ada, sehingga muncul istilah efisiensi dan pembatasan pilihan. Ciri khasnya adalah orientasinya yang statis dan sifatnya yang umum. Konsep ini merupakan konsep ilmu ekonomi yang umum dipelajari10. Konsep

7

Didin S. Damanhuri, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Teori, Kritik, dan Solusi bagi

Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, (Bogor: IPB Press, 2010), h. 1 8

Ibid, h. 2 9

James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik. Suraji, penerjemah.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Terjemahan dari Theories of Political Economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), h. 1-2

10

(20)

8

yang kedua adalah penyediaan kebutuhan. Konsep ini merupakan konsep yang lebih tua usianya dibandingkan konsep yang pertama. Penyediaan kebutuhan menjadi sorotan tanpa memedulikan keefisienan, namun lebih memedulikan keberlangsungan proses produksi merupakan ciri utama dari konsep ini11. Yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian. Konsep ini memisahkan dua bagian ekonomi dari sebuah masyarakat yaitu sebagai perekonomian (the economy) dan bidang politik (polity)12.

Sedangkan konsep ilmu politik yang pertama adalah politik sebagai pemerintahan. Pemerintah dalam artian ini adalah mekanisme politik formal dari negara terkait, seperti semua institusi, perundang-undangan, kebijakan publik, serta pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan13. Konsep kedua adalah politik sebagai publik. Melalui konsep ini, ekonomi dipandang sebagai urusan yang berkaitan dengan pribadi, sementara politik sebagai urusan yang berkaitan dengan publik. Sehingga tujuan dari politik adalah untuk menciptakan rasa kebersamaan dalam kehidupan antara satu orang dengan orang yang lainnya dan terpenuhinya kebutuhan sosial dan kehidupan14. Konsep terakhir adalah politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini, ekonomi dan politik sama-sama sebagai metode alokasi. Politik yang dimaksud di sini adalah cara tertentu untuk penetapan kebijakan dalam memproduksi dan mendistribusikan sumber daya15.

Dengan demikian, konsep ilmu ekonomi politik mempelajari hubungan dari konsep ilmu ekonomi dan ilmu politik secara timbal balik. Dari ketiga konsep ilmu ekonomi, ekonomi sebagai perekonomian dinilai tepat untuk mendefinisikan hubungan ilmu ekonomi terhadap ilmu politik yang selanjutnya disebut ilmu ekonomi politik, karena di sini ekonomi adalah sebuah bidang sosial16.

Pada model kebijakan ekonomi menurut Pipitone, adanya dua perspektif yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Pertama, pendekatan dengan basis maksimalisasi kesejahteraan konvensional (conventional welfare maximization), yaitu pemerintah (negara) diasumsikan memiliki sifat otonom dan eksogen terhadap system ekonomi. Oleh karenanya, kebijakan yang ditetapkan berorientasi pada kepentingan publik. Pemerintah juga diasumsikan memiliki informasi yang sempurna dan hanya memiliki kepentingan publik (bukan kepentingan pribadi), sehingga ketika terjadi kegagalan pasar dan inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, pemerintah bertanggung jawab atas hal tersebut17.

Kedua, pendekatan “ekonomi politik baru” (new political economy) yaitu pendekatan yang berdasarkan pada asumsi ekonomi politik. Pendekatan ini memposisikan pemerintah (negara) tidak memiliki informasi yang sempurna, sehingga pemerintah memiliki potensi besar dalam mengalami kegagalan. Perilaku agen-agen pemerintah diasumsikan rasional serta berupaya dalam

11

Ibid, h. 44 12

Ibid, h. 54 13

Ibid, h. 4 14

Ibid, h. 11-22 15

Ibid, h. 22-23 16

Ibid, h. 66 17

Romina A. Pipitone, Lobbying: A New Approach for Agriculture Policies, (Palermo: Universita

degli Studi, tt), h. 3-4 dalam Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori,

(21)

9 memaksimalkan keuntungan pribadi melalui lobi, kesejahteraan pemilih, dan dukungan politik18.

Dalam ekonomi politik terdapat berbagai pendekatan yang digunakan sebagai landasan sebuah negara dalam membangun perekonomian negaranya, salah satunya adalah ilmu ekonomi politik neoklasik. Menurut Caporaso dan Levine, ilmu ekonomi neoklasik merupakan teori yang terkait dengan pertukaran sukarela dan alokasi sumber daya secara efisien. Pendekatan ekonomi politik neoklasik memandang bahwa individu dapat dan harus membuat pilihan. Oleh karenanya, setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tingkat kepuasan tertinggi karena adanya kelangkaan. Setiap individu diasumsikan rasional dalam membuat pilihan. Selain itu, pasar diasumsikan memiliki informasi yang sempurna sehingga tidak dibutuhkan biaya untuk memperoleh informasi dan ketika terjadi kegagalan pasar, maka pemerintah mulai menanganinya, dalam arti lain, pendekatan neoklasik lebih menekankan ekonomi dan politik diperlukan ketika terjadi kegagalan pasar19.

Teori Pembangunan

Pada pandangan ekonomi tradisional, pembangunan merupakan kapasitas dari perekonomian nasional dalam menciptakan atau mempertahankan kenaikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Indeks lain yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan adalah pendapatan per kapita. Karena menurut pandangan ini pembangunan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, maka muncul istilah “efek penetesan ke bawah” (trickle down effect), yaitu ketika terjadi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah maka akan terjadi distribusi pendapatan secara merata20. Akan tetapi, pembangunan menurut pandangan tersebut tidak dapat menjelaskan proses terjadinya kondisi suatu negara dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, namun terjadi ketimpangan yang tinggi pula. Misalnya Indonesia, menurut Didin S. Damanhuri:

“Pertumbuhan GDP yang tinggi selama ini (rata-rata 7% selama Orde Baru dan 4% selama Reformasi) ternyata tidak diimbangi oleh pengurangan kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan. Bahkan sebaliknya, terkadang kita melihat adanya paradox, di mana GDP naik namun kemiskinan dan ketimpangan juga semakin buruk keadaannya.21”

Menurut pandangan tradisional, seharusnya dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut, Indonesia mampu mengurangi tingkat ketimpangannya. Namun kenyataannya, Indonesia tidak sejalan dengan teori pembangunan menurut pandangan tradisional, sehingga pembangunan menurut pandangan tersebut tidak berlaku bagi kasus Indonesia.

Pandangan lain dalam menjelaskan definisi pembangunan mengkritik bahwa pembangunan tidak hanya dijelaskan melalui pertumbuhan ekonomi, namun perlu

18

Ibid, h. 102. 19

James A. Caporaso dan David P. Levine, op. cit, h. 184-229 20

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, Jilid 1, Edisi 9. Haris

Munandar, penerjemah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). Terjemahan dari Economic

Development, h. 19 – 20 21

(22)

10

ada perubahan mental, kultur, sosial, hingga politik. Menurut pandangan F. Perroux tentang pembangunan:

“Pembangunan (development) lebih luas dari pertumbuhan (growth). Pembangunan merupakan fenomena kualitatif yang tidak cukup disimpulkan oleh indikator-indikator pertumbuhan. Pembangunan mencakup sejumlah transformasi dalam struktur ekonomi, sosial, dan kultural yang menyertai dan mendasari terjadinya pertumbuhan. Pembangunan harus termasuk perubahan mental dan sosial suatu penduduk yang membawa kemampuan mereka untuk tumbuh, yang secara kumulatif dan berkelanjutan membawa pertumbuhan produksi riil global22.”

Pandangan F. Proux juga didukung oleh pandangan Soedjatmoko yang menyatakan bahwa pembangunan tidak hanya berupa proses ekonomi, akan tetapi juga didukung atas unsur-unsur kultur, sosial, dan politis23.

Pandangan pembangunan ekonomi lainnya juga dijelaskan oleh Rostow. Menurutnya pembangunan merupakan proses multidimensional yang berbentuk tahapan atau transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang didasarkan pada karakteristik perubahan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi. Transisi tersebut terdiri dari lima tahapan yaitu tahapan masyarakat tradisional, tahapan prasyarat lepas landas, tahapan tinggal landas, tahapan menuju kedewasaan, dan tahapan konsumsi yang tinggi. Pada kasus Indonesia, menurut Didin S. Damanhuri:

“Ada yang mengatakan Indonesia sudah memasuki tahap lepas landas, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kita masih berada pada tahap transisi (pra take-off). Alasan yang mengatakan kita belum sampai pada tahap lepas landas ialah kenyataan masih cukup banyaknya hambatan-hambatan sosial, kelembagaan, dan politik yang belum dapat diatasi”24.

Pembangunan tidak serta merta tanpa adanya tujuan. Oleh karenanya, Todaro menjelaskan bahwa pada proses pembangunan harus mencakup tiga tujuan inti yang harus dimiliki yaitu25:

“Terjadinya peningkatan ketersediaan dan perluasan distribusi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya; adanya peningkatan standar hidup. Standar hidup ini tidak hanya peningkatan pendapatan, namun juga termasuk perbaikan kualitas pendidikan, penambahan penyediaan lapangan kerja, serta peningkatan perhatian terhadap nilai-nilai tradisional dan kemanusiaan; dan perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap masyarakat secara menyeluruh. Sehingga tidak lagi ada ketergantungan terhadap negara lain.”

Infrastruktur Jalan dalam Pembangunan

Infrastruktur merupakan sarana dasar yang dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat atau negara agar perekonomiannya berfungsi secara optimal. Pembagian infratruktur pembangunan terdiri dari dua jenis, yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi yaitu semua infrastruktur

22

Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 61 23

Budi Winarno, Etika Pembangunan, (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service,

2013), h. 39 24

Didin S. Damanhuri, op. cit., h. 37. 25

(23)

11 fisik yang digunakan pada proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum, seperti air bersih, perhubungan, tenaga listrik, pembuangan limbah, telekomunikasi, dan lain-lain. Sementara infrastruktur sosial terdiri dari prasarana kesehatan dan pendidikan26.

Infrastruktur juga masuk ke dalam golongan public good. Penggolongan ini awalnya merupakan pure public good yaitu penggunaannya tidak bersaing ( non-rivalry) dan tidak dapat digunakan prinsip pengecualian (non-excludability), namun pada perkembangannya sifat itu bergeser menjadi semi public good.

Berdasar pengertian di atas, jalan yang merupakan fokus pada penelitian ini merupakan infrastruktur ekonomi. Infrastruktur jalan mampu menunjang aktivitas lainnya, seperti transportasi, perdagangan, jasa, industri, hingga peningkatan aktivitas perekonomian daerah yang dilaluinya maupun antardaerah.

Pembangunan tidak hanya sekedar rencana, akan tetapi juga proses. Proses pembangunan perlu didukung oleh unsur yang mampu mempercepat pembangunan tersebut. Sektor transportasi merupakan sektor yang mampu mempercepat pertumbuhan dan pemerataan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Berikut beberapa manfaat dari adanya sektor transportasi pada pembangunan ekonomi, antara lain27:

1. Perubahan biaya relatif antara sarana transportasi tertentu terhadap sarana transportasi lainnya;

2. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat; 3. Peningkatan ketersediaan transportasi;

4. Peningkatan kualitas perjalanan yang dihasilkan oleh peningkatan kualitas sarana serta teknologi infrastrukturnya;

5. Pengaruh tata guna lahan akibat migrasi antardaerah dan perubahan pola pemukiman;

6. Peningkatan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya juga mempengaruhi timbulnya perubahan pola dan struktur konsumsi masyarakat;

7. Perubahan demografis; dan

8. Perubahan perilaku operasional dunia usaha di sekitar pembangunan tersebut.

Pembangunan jalan, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/ kota, diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup layak dan tingkat kesejahteraan masyarakat secara merata.

Gambar 2.1 menunjukkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat disebabkan adanya reduksi biaya transportasi melalui pengadaan jalan yang memiliki banyak dampak terhadap perekonomian28. Pembangunan jalan mampu mengefisiensikan biaya transportasi pada barang ekspor dan mengakibatkan adanya penurunan tingkat harga barang ekspor sehingga terjadi peningkatan permintaan barang ekspor. Begitu pula terhadap barang intermediate, efisiensi biaya transportasi pada barang intermediate akibat adanya pembangunan

26

Rahadi Ramelan, Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di

Indonesia, (Jakarta: Koperasi Jasa LPPN, 1997), h.5. 27

Dixon, et. al dalam Hengki Purwoto, Dwi Ardianta K, Kajian Dampak Infrastruktur Jalan

Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pengembangan Wilayah, (Surabaya: Universitas Kristen

Petra, 2009), h.3–4 dalam Dara Restu Maharani, Dampak Pembangunan Jalan Tol di Indonesia

Terhadap Perekonomian dan Dampak Sosial Ekonomi Jalan Tol Bogor Outer Ring Road,Tesis,

Pascasarjana IPB, 2012, h.15–16 28

(24)

12

Pembangunan/ Perbaikan

J l

Efisiensi/ Reduksi Biaya

Harga Barang Intermediate Lebih Rendah Harga Barang

Ekspor Lebih Rendah

Harga Barang Impor Lebih

Rendah

Peningkatan Demand Barang Impor Peningkatan

Income

Peningkatan Final Demand Peningkatan Demand

Barang Intermediate Peningkatan

Demand Barang Ekspor

Penurunan Produksi

Lokal & Lapangan

Kerja di Wilayah C k

Peningkatan Produksi &

Lapangan K j

Pembangunan & Pertumbuhan Ekonomi

jalan akan meningkatkan permintaan barang intermediate. Pengefisiensian biaya transportasi akibat pembangunan infrastruktur juga mengakibatkan harga barang

Gambar 2.1 Keterkaitan pembangunan jalan terhadap perekonomian29

impor menjadi rendah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan barang impor, sehingga berdampak pada penurunan produksi lokal dan lapangan kerja di wilayah sekitar pembangunan jalan tersebut. Namun, hal

29

Kelejian & Robinson dalam Muktas Napitupulu, Mangara Tambunan, Arief Daryanto, dan Rina

Oktaviani, Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap Perekonomian Pulau Jawa-Bali dan Sumatera,

(25)

13 positifnya adalah harga barang impor yang rendah akan meningkatkan pendapatan penduduk, sehingga akan meningkatkan permintaan secara keseluruhan.

Biaya Transaksi (Transaction Cost)

Konsep ekonomi neoklasik menganggap bahwa pasar berjalan sempurna sehingga tidak diperlukan adanya biaya untuk memperoleh informasi. Pada kenyataannya, tidak ada pasar yang berjalan secara sempurna, maka untuk mengatasi kegagalan pasar tersebut diperlukan informasi yang diperoleh dengan mengeluarkan biaya, selanjutnya disebut biaya transaksi30. Seseorang ketika membeli rumah, misalnya, dia tidak hanya ingin mengetahui harga rumah tersebut saja sebelum membeli, namun juga harus tahu luas lahannya, tata ruangnya, lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Keseluruhan informasi tersebut tidak selalu dijelaskan secara rinci oleh penjual rumah, sehingga pembeli harus menambahkan biaya transaksi, seperti biaya untuk mengakses internet, telepon, transportasi, dan sebagainya.

Pada persoalan sederhana, ketika seseorang hendak memutuskan pilihan untuk membeli susu bayi di supermarket. Seseorang yang berpikir rasional, tentu akan memilih harga susu bayi yang lebih murah dengan asumsi bahwa merek susu bayi tersebut sama. Untuk membandingkan harga tersebut, tentu pembeli susu bayi itu membutuhkan informasi dari berbagai media. Sehingga ketika mendapatkan susu bayi dengan harga yang murah masih ada tambahan biaya untuk memperoleh informasi tersebut atau dapat disebut biaya transaksi. Akan tetapi, konsep biaya transaksi tidak hanya sesederhana itu karena definisi dari biaya transaksi sangat luas.

Menurut Yoram Bazrel, biaya transaksi didefinisikan sebagai ongkos yang diasosiasikan dengan kegiatan transfer, menangkap, dan melindungi hak-hak (transfer, capture, and protection of right). Apabila biaya transaksi diasumsikan bahwa untuk aset apapun masing-masing biaya meningkat, dan bahwa baik proteksi maupun transfer penuh dari hak-hak tersebut dicegah agar tidak muncul biaya, maka kemudian biaya transaksi itu akan mengarahkan hak-hak yang dimiliki menjadi tidak lengkap, karena orang-orang tidak akan pernah menemukan hak-haknya cukup berharga untuk mendapatkan potensi keuntungan dari aset-asetnya31.

Sementara biaya transaksi menurut pandangan North didefinisikan sebagai ongkos untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran, oleh karenanya biaya transaksi mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkan kegiatan ekonomi mengutip laba dari perdagangan (pertukaran)32. Kemudian North dan Wallis menambahkan bahwa biaya transaksi dianggap sebagai ongkos untuk lahan, tenaga kerja, kapital, serta keterampilan kewirausahaan (entrepreunership). Ongkos-ongkos tersebut dibutuhkan dalam rangka mentransfer hak-hak kekayaan dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. Pendapat tersebut didukung oleh Mburu yang menyebutkan

30

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori, dan Kebijakan, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2013), h.60 31

Ibid, h.120. 32

(26)

14

bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk lahan, tenaga kerja, kapital, dan keterampilan kewirausahaan yang digunakan untuk mentransfer hak-hak kepemilikan secara fisik input menjadi output33.

Mburu berpendapat bahwa biaya transaksi dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (1) biaya pencarian dan informasi; (2) biaya negosiasi (bargaining) dan keputusan atau mengeksekusi kontrak; dan (3) biaya pengawasan (monitoring), pemaksaan, dan pemenuhan/ pelaksanaan (compliance)34.

Biaya transaksi dapat beroperasi jika dua asumsi terpenuhi, yaitu rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan perilaku oportunistik (opportunistic). Rasionalitas terbatas mengarah pada tingkat dan batas kesanggupan individu untuk menerima, menyimpan, mencari kembali, dan memproses informasi tanpa adanya kesalahan. Prinsip dari rasionalitas terbatas adalah individu atau kelompok tertentu tidak memiliki pengetahuan untuk memproses dan menggunakan informasi yang ada; dan individu atau kelompok tertentu tidak memperoleh informasi yang lengkap atau terjadi ketidakpastian informasi. Asumsi kedua yaitu perilaku oportunistik. Perilaku oportunistik adalah upaya untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik yang tidak jujur atau licik dalam melakukan transaksi35.

Sementara itu, besaran biaya transaksi ditentukan oleh berbagai penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut menurut Williamson berupa: (1) penyimpangan atas lemahnya hak kepemilikan; (2) penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam; (3) penyimpangan intertemporal, yang dapat berbentuk kontrak yang timpang, responsivitas waktu yang nyata, ketersembunyian informasi yang panjang, penyalahgunaan strategis; (4) penyimpangan yang muncul karena kelemahan dalam kebijakan kelembagaan, yang berhubungan dengan pembangunan dan reformasi ekonomi; dan (5) kelemahan integritas. North mendefinikan salah satu biaya transaksi adalah biaya kontrak, ditambahkan oleh Williamson dengan biaya adaptasi yang meliputi: (1) biaya yang ditimbulkan ketika kontrak yang sudah terjadi mengalami perpindahan ke situasi sub-optimal di bawah kondisi yang diharapkan; (2) biaya negosiasi untuk mendapatkan skema kontrak yang lebih baik dari pihak lain; dan (3) biaya arbitrasi atau pergi ke pengadilan apabila terjadi sengketa/ perselisihan36.

Biaya transaksi dapat bekerja ditunjukkan dengan pengambaran tiga level skema yang digambarkan oleh Williamson pada gambar 2.2. Kelembagaan tata kelola (kontrak intra-perusahaan, korporasi, birokrasi, nonprofit, dan sebagainya) dibatasi oleh lingkungan kelembagaan dan individu. Tanda panah tebal menunjukkan efek primer dari skema dan tanda panah garis menunjukkan efek sekundernya. Segala perubahan yang terjadi di lingkungan kelembagaan diperlakukan sebagai parameter perubahan (perubahan yang menggeser biaya perbandingan pasar, hybrids, dan hierarki. Asumsi perilaku dari biaya transaksi (rasionalitas terbatas dan perilaku oportunitis) sebagai implikasi kedua37.

33

Ibid, h.63-64 34

Ibid, h.60 35

Ibid, h. 64-65 36

Ibid., h.67-68. 37

(27)

15

Gambar 2.2 Skema lapisan biaya transaksi38

Pada pembangunan jalan, biaya-biaya transaksi yang ada dianggarkan ke dalam anggaran pembangunan. Biaya transaksi tersebut seperti biaya administrasi yang ada pada pembangunan jalan. Biaya administrasi terdiri dari biaya pengumuman pengadaan, honoranium pejabat pelaksana, biaya survei lapangan/ pasar, biaya pengadaan dokumen, biaya pendapat ahli hukum kontrak, biaya uji coba, dan sebagainya. Selain biaya administrasi, terdapat juga biaya pendukung seperti biaya pemasangan, biaya pengangkutan, biaya pembebasan lahan, dan biaya pelatihan39.

Rent-Seeking

Rente merupakan proses seseorang atau kelompok untuk memperoleh keuntungan melalui aktivitas ekonomi, seperti penyewaan (rent), penanaman modal (profit), maupun menjual tenaga kerjanya (upah). Pada ekonomi klasik, rente merupakan aktivitas yang wajar bahkan dapat dikatakan positif disebabkan hal tersebut mampu meningkatkan kegiatan ekonomi secara simultan. Dengan demikian, kegiatan pemburuan rente dapat dilakukan secara legal (sah)40.

Teori rent-seeking awalnya dikemukakan oleh Krueger dan kemudian dikembangkan oleh Bhagwati dan Srinivasan. Menurut Khan dan Jomo, kegiatan mencari rente (rent-seeking) merupakan kegiatan untuk memperoleh pendapatan di atas normal dalam pasar yang kompetitif. Definisi lain dikemukakan oleh Clark bahwa kelompok-kelompok bisnis dan perseorangan mencari rente ekonomi ketika mereka menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki. Prasad juga mengemukakan bahwa rent-seeking merupakan proses individu memperoleh

38

Ibid, h.68 39

Tim Redaksi Cakrawala, Panduan Ikut Tender Proyek Pemerintah: Pedoman Pengadaan

Barang/ Jasa Pemerintah Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, (Yogyakarta: Penerbit Cakrawala, 2013), h. 18

40

Ahmad Erani Yustika, op. cit, h.107 Lingkungan kelembagaan Perubahan

parameter

Individu Atribut

pelaku

Tata kelola

(28)

16

pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau malah mengurangi produktivitasnya tersebut41.

Sehingga, konsep rent-seeking dalam teori ekonomi politik dianggap negatif. Sebagaimana asumsi awal konsep ini yang dibangun oleh teori ekonomi politik adalah kelompok-kelopok yang berkepentingan berupaya menguasai akses dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan upaya yang sekecil-kecilnya. Dengan asumsi ini, maka muncullah lobi untuk memperoleh keuntungan yang supernormal. Lobi berpengaruh pada proses pengambilan keputusan, sehingga akan berakibat pada inefisiensi. Para pelaku ekonomi melalui pemanfaatan kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan inilah yang dalam ilmu ekonomi politik disebut rent-seeking42.

Penyebab terjadinya rent-seeking merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Pemburuan rente dapat muncul ketika terdapat pengalokasian sumber daya yang ada di masyarakat untuk memperoleh hak milik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pertahanan posisi atau jabatan seorang individu atau kelompok untuk memperoleh keuntungan dapat juga menimbulkan kegiatan rent-seeking. Selain itu, peluang besar munculnya kegiatan rent-seeking adalah adanya halangan masuk (barrier to entry). Adanya halangan masuk ini menyebabkan pelaku ekonomi berupaya meningkatkan persaingannya untuk memperoleh bantuan dari pemerintah atau pihak lain yang dapat membantu untuk memasuki pasar. Sehingga perlu adanya kebijakan yang dapat menciptakan berjalannya pasar yang sempurna tanpa ada hambatan masuk.

Caporaso dan Levine juga sependapat bahwa pasar dengan persaingan yang sempurna tidak memungkinkan bagi pelaku pasar untuk menguasai pelaku pasar lainnya. Akan tetapi, pasar dengan oligopoli dapat dimungkinkan bagi pelaku pasar untuk menguasai pelaku pasar lainnya dengan memanfaatkan sumber daya tidak hanya untuk tujuan kekayaan, namun juga untuk transfer kekayaan atau pemburuan rente (rent-seeking)43.

Tullock menggambarkan konsep rent-seeking pada gambar 2.3 terkait biaya-biaya monopoli. Tullock menggunakan komoditi gandum sebagai contoh. Sumbu horizontal menunjukkan jumlah komoditas gandum yang bisa diproduksi pada harga CC. Garis DD menunjukkan permintaan gandum dan beragam kesuburan lahan. Unit Q menunjukkan pasar kompetitif karena kurva pemintaan, DD, menyentuh garis biaya (pada situasi ini diasumsikan adanya informasi yang sempurna dan tanpa adanya biaya transaksi). Titik keseimbangan ditunjukkan oleh harga P dan lahan dengan kualitas yang rendah (di sisi sebelah kanan Q, tidak ditanami). Pada titik tersebut, area di atas CC dan di bawah P disebut sewa lahan Ricardian, dan pemilik lahan gandum akan berproduksi untuk mengumpulkan gandum kembali, sehingga produsen dapat berinvestasi dengan biaya yang lebih murah. Dapat dimungkinkan juga mereka melakukan pengorganisasian kartel atau monopoli agar dapat mengendalikan harga melalui pembatasan produksi. Aktivitas yang kedua ini yang disebut rent-seeking. Hasil rent-seeking

ditunjukkan oleh produksi yang berada di antara Q1 dan P1. Konsekuensinya

adalah keuntungan area persegi panjang yang dibentuk oleh P, P1, dan Q1,

ditransfer dari konsumen ke pemilik monopoli; dan kerugian masyarakat

41

Ibid, h.107-108. 42

Ibid, h.107. 43

(29)

17 ditunjukkan oleh gambar segitiga yang dibentuk oleh P, Q1, Q, dan DD. Area

segitiga tersebut merupakan keuntungan yang diperoleh konsumen melalui pembelian antara unit Q1 dan Q apabila tidak ada kenaikan harga44.

Gambar 2.3 Biaya-biaya monopoli45

Rent-seeking erat kaitannya dengan biaya transaksi. Pada pembangunan jalan, misalnya, pemburu rente menginginkan adanya pembangunan jalan yang akan dibangunnya di hutan atau tanah adat yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk dibangun jalan. Agar proyek itu terlaksana dan seolah-olah hal tersebut murni kebijakan pemerintah, pemburu rente tersebut bisa saja meminta pemerintah untuk membuat kebijakan tersebut. Sebagai pelicin, maka pemburu rente akan mengeluarkan sekian dana untuk melobi hingga kebijakan tersebut terlaksana, yaitu lahan tersebut bebas untuk dibangun jalan. Dana melobi dalam pembebasan lahan tersebut dimasukkan ke dalam biaya transaksi perusahaan pemburu rente.

Korupsi dan Pola-Polanya

Masalah yang terjadi pada pembangunan jalan tidak hanya berupa perilaku

rent-seeking. Korupsi dalam pengertian yang sederhana dianggap sebagai salah satu bentuk dari rent-seeking. Hal tersebut dikarenakan perilaku rent-seeking

dapat diikuti oleh penyalahgunaan jabatan yang selanjutnya termasuk salah satu modus korupsi46.

44

Ibid, 108-109. 45

Ibid, h. 108 46

Airin Nuraini, Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia: Studi

Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011, Tesis,

Pascasarjana IPB, 2013, h. 47. C P P D

D Q1 Q

H

ar

g

a

Kuantitas

(30)

18

Pengertian korupsi berbeda-beda menurut para ahli. Fockema Adreae menjelaskan bahwa asal kata korupsi adalah dari bahasa Latin corruptio atau

corruptus. Corruptio sendiri berasal dari kata asal corrumpere yang merupakan kata dari bahasa Latin yang lebih tua. Bermula dari bahasa Latin tersebut, maka turun ke bahasa Eropa seperti corruption, corrupt pada bahasa Inggris, corruption

pada bahasa Prancis, dan corruptie (korruptie) pada bahasa Belanda. Dari kata

corruptie (korruptie) inilah maka muncul kata “korupsi” pada bahasa Indonesia47. Secara harfiah, korupsi diartikan sebagai keburukan, kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, dapat disuap, ucapan yang menghina atau memfitnah, penyimpangan. Pengertian tersebut termuat dalam The Lexicon Webster Dictionary:

“Corruption {L. corruption (n-)} The act of corrupting, or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased form of a word”48.

Menurut AS Hornby E.V. Gatenby and H Wakefield, korupsi (corruption), merupakan offering and accepting of bibes (pemberian atau penawaran dan penerimaan suap). Mereka juga mengatakan, “corruptionis decay” (kebusukan atau kerusakan)49. Pernyataan mereka diperkuat oleh David M. Chalmers dengan pernyataannya:

“Pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah-hadiah sanak keluarga, pengaruh, kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi.50”

John Girlingmenyatakan:

“Korupsi adalah sebuah ‘gejala’, dan bukanlah ‘penyakit’ itu sendiri. Penyakitnya adalah keadaan sulit di masa kita hidup: rasa frustasi masyarakat yang rindu akan ‘the good society’, yang seharusnya dapat dicapai dengan perangkat demokratik namun dihadapkan pada sistem ekonomi yang memberikan kontribusi secara material, namun tidak secara moral.51”

Berbagai definisi terkait korupsi menjadi bahan rujukan bagi masyarakat, namun definisi yang umum dipakai bagi berbagai pihak adalah definisi menurut

Transparency International yaitu “the abuse of entrusted power of personal gain” dan World Bank juga merumuskan yang serupa yaitu “the misuse of public power for private benefit.52” Kedua definisi singkat ini merujuk pada pengertian dari Joseph S. Nye:

Corruption is behavior which deviates from the normal duties of a public role because of privite-regarding (family, close privite clique), pecuniary or

47

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,

(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 4 48

Ibid, h. 5 49

Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2011), h. 67 50

Ibid, h. 68 51

Susan Rose-Ackerman, Korupsi Pemerintahan: Sebab, Akibat dan Reformasi (Jakarta: Sinar

Harapan, 2006) 52

(31)

19 status gain; or violates rules against the exercise of certain types of

privite-regarding influence. This includes such behavior as bribery (use of reward to pervert the judgment of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason of ascriptive relationship rather than merit); and misappropriation (ilegal appropriation of public resources for privite regarding uses).53”

Definisi korupsi dalam Wordnet Princeton Education, korupsi sebagai “lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain.” Sementara arti corrupt dalam Kamus Collins Cobuild adalah “someone who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, espesially by doing dishonesty or ilegal things in return for money or power.54”

Robert Klitgaard berpendapat bahwa secara umum, korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi. Suatu hal bisa dikatakan korupsi jika terjadi penguasaan dana terlarang untuk urusan pekerjaan atau penggunaan kekuasaan pada jabatan untuk tujuan yang terlarang lainnya55. Persamaan sederhana dan populer terkait korupsi telah dirumuskan oleh Klitgaard yaitu56:

C = M + D – A

Keterangan: C = korupsi M = monopoli D = diskresi A = akuntabilitas

Berdasar persamaan Klitgaard tersebut korupsi bisa terjadi pada pihak atau seseorang yang memiliki hak monopoli atas suatu urusan dan diperkuat dengan adanya diskresi (keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya) yang sering disalahgunakan, akan tetapi akuntabilitasnya (pertanggungjawaban terhadap publik) rendah.

Menurut Didin S. Damanhuri, korupsi dalam garis besar terdapat berbagai macam jenisnya, baik yang jenis korupsi tradisional maupun jenis korupsi bentuk baru. Jenis korupsi tradisional antara lain adalah nepotisme, upeti, sogok, premanisme, perpeloncoan, dan sebagainya. Jenis korupsi bentuk baru antara lain yaitu kolusi birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, penggelapan anggaran, penyalahgunaan wewenang/ jabatan, penggelembungan dana (mark up), penyempitan dana (mark down), kick-back, mafia peradilan, monopoli-oligopoli dan monopsoni-oligopsoni komoditas strategis, dan sebagainya57. Sementara secara hukum, jenis-jenis korupsi dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi58.

53

Ibid,

54 Ibid,

55

Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Parris, Corrupt Cities, A Practical

Guide to Cure and Prevention (Oakland, California: Institute for Contemporary Studies Press), h.2 56

Ibid, h. 26. 57

Damanhuri, op. cit., h. 128 58

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk

(32)

20

Pembangunan Jalan

Pengadaan barang/ jasa merupakan kegiatan untuk mendapatkan barang/ jasa oleh kementerian/ lembaga/ satuan kerja perangkat daerah/ institusi lainnya mulai dari perencanaan hingga selesainya kegiatan untuk mendapatkan barang/ jasa. Peraturan terkait pengadaan barang/ jasa diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Kementerian/ Departemen/ Lembaga/ Instansi (K/D/L/I) berhak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengguna anggaran tersebut adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran pada institusi pemerintah. APBN atau APBD digunakan dalam proses penyediaan barang/ jasa, baik pada perencanaan hingga selesainya proyek59. Pembiayaan sebuah proyek dapat sebagian bahkan seluruhnya dari APBN atau APBD.

Prinsip-prinsip yang terapkan pada pengadaan barang/ jasa adalah60: a. Efisien;

b. Efektif; c. Transparan; d. Terbuka e. Bersaing;

f. Adil/tidak diskriminatif; dan g. Akuntabel

Selain itu, para pelaku penyediaan barang/ jasa juga harus mematuhi etika dalam pengadaan barang/ jasa yaitu61:

a. Tugas dilaksanakan secara tertib dengan rasa tanggung jawab untuk pencapaian sasaran, kelancaran dan terwujudnya tujuan dari pengadaan barang/ jasa;

b. Profesional dan mandiri dalam bekerja serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/ jasa agar tidak terjadi tindakan penyimpangan;

c. Tidak saling mempengaruhi agar meminimalisir terjadinya persaingan yang tidak sehat;

d. Bertanggung jawab dan menerima segala bentuk keputusan yang ditetapkan oleh para pihak terkait;

e. Mencegah serta menghindari munculnya pertentangan kepentingan atar pihak terkait;

f. Mencegah serta menghindari timbulnya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/ jasa;

g. Mencegah serta menghindari adanya penyalahgunaan wewenang serta kolusi yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok, maupun pihak lain yang dapat merugikan negara;

h. Tidak menerima, tidak menawarkan, atau tidak menjanjikan untuk memberi maupun menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa

59

Tim Redaksi Cakrawala, op. cit, h. 6-7 60

Ibid, h. 9 61

(33)

21 apapun dari atau kepada siapa aja yang merupakan pihak yang berkaitan dengan pengadaan barang/ jasa.

Agar prinsip-prinsip dan etika tersebut terlaksana dengan baik, maka dalam penyediaan barang/ jasa terdapat pakta integritas bagi para pihak terkait. Pakta integritas merupakan surat pernyataan yang di dalamnya terdapat ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam pengadaan barang/ jasa.

Jalan merupakan jenis infrastruktur fisik atau dalam pengertian pengadaan barang/ jasa termasuk dalam bentuk barang kontruksi. Pembangunan jalan diawali oleh perencanaan pembangunan jalan yang merupakan program dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Dirjen Bina Marga maupun Dinas Pekerjaan Umum (DPU) di daerah. Perencanaan ini dilakukan oleh konsultan perencana yang ditunjuk langsung oleh Bina Marga atau DPU. Konsultan perencana tidak hanya merumuskan desain jalan saja, namun juga membuat perkiraan dana pembangunan. Setelah selesai, konsultan perencana mengajukan kepada Bina Marga atau DPU dan selanjutnya adalah pelaksanaan proyek.

Pada pelaksanaan pembangunan jalan seperti pengadaan barang/ jasa pada umumnya, terdapat beberapa bentuk pelaksanaan proyek; yaitu swakelola dan pemilihan penyedia infrastruktur jalan. Swakelola merupakan cara penyediaan infrastruktur jalan yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/ atau diawasi sendiri oleh Bina Marga atau DPU sebagai penanggung jawab anggaran. Berbeda dengan pemilihan penyedia infrastruktur jalan yang memiliki berbagai metode seperti pelelangan, pemilihan langsung, pengadaan langsung, dan kontes.

Dari metode-metode yang ada, secara umum tahapan pelaksanaannya hampir sama. Tahapan tersebut mulai dari pengumuman pembukaan proyek yang akan dilaksanakan, pendaftaran, penetapan dan pengumuman pemenang, sanggahan, penunjukan, penyusunan jadwal, hingga penandatanganan kontrak. Setelah itu, dilakukan pengeksekusian kontrak yang telah disetujui. Agar proyek yang berjalan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati, maka panitia penyelenggara menggunakan jasa konsultasi pengawasan proyek tersebut yang sebelumnya sudah diseleksi.

Dalam mempermudah proses pengadaan jalan, maka dibentuk layanan pengadaan secara elektronik. Layanan ini seperti e-tendering, e-catalogue, e-purchasing, dan portal pengadaan nasional. E-tendering mampu memberikan layanan pemilihan penyedia barang/ jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/ jasa yang sudah terdaftar dengan satu kali penawaran dalam waktu tertentu. Sementara e-catalogue atau katalog elektronik dapat memberikan informasi terkait daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/ jasa. Tata cara pembelian barang/ jasa melalui e-catalogue adalah e-purchasing. Sedangkan pusat informasi tentang pengadaan barang/ jasa secara nasional adalah portal pengadaan nasional.

Penelitian Terdahulu

(34)

22

publik, korupsi dalam barang publik, dan kesejahteraan sosial. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah melihat pola-pola rent-seeking

dan korupsi yang terjadi pada barang publik. Sementara perbedaannya terletak pada fokus penelitian yang mengutamakan pada pola-pola rent-seeking dan korupsi pada pembangunan jalan di Indonesia dan pihak yang diuntungkan dari proyek tersebut.

Penelitian Terdahulu tentang Korupsi, Kesejahteraan Sosial, dan Investasi

Penelitian yang dilakukan oleh Ario Seto dengan judul “Korupsi, Kesejahteraan Sosial, dan Investasi: Studi Empiris di Delapan Negara ASEAN Tahun 2000-2009” pada tahun 2012 mendapatkan hasil bahwa kualitas pemerintahan yang baik, pembelanjaan pemerintah untuk barang publik, dan penegakan hukum akan menurunkan kejahatan korupsi di delapan Negara ASEAN. Tingkat bersihnya korupsi mempengaruhi investasi secara positif di delapan Negara ASEAN62.

Persamaan penelitian Ario Seto dengan penelitian ini adalah fokus utamanya pada korupsi. Akan tetapi, korupsi yang dibahas pada penelitian Ario Seto berfokus pada korupsi pemerintah secara menyeluruh di delapan Negara ASEAN, sementara penelitian ini berfokus pada korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan di Indonesia. Metode yang digunakan pada penelitian Ario Seto menggunakan metode kuantitatif dengan permodelan ekonometrika, sementara penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang digunakan pada penelitian Ario Seto merupakan data sekunder delapan Negara ASEAN dari World Bank dan organisasi internasional lainnya, sementara penelitian ini menggunakan data sekunder dari berbagai instansi Indonesia dan data primer melalui wawancara mendalam.

Penelitian Terdahulu tentang Korupsi dalam Pembangunan Wilayah

Pada penelitian yang dilakukan oleh Riyanto dengan judul “Korupsi dalam Pembangunan Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya” diperoleh hasil bahwa bibit korupsi muncul ketika awal perumusan peraturan daerah (Perda) terutama terkait APBD dan perizinan yang bibit korupsi tersebut dilakukan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang seolah-olah legal. Selain perda, korupsi dapat tumbuh karena buruknya kualitas kepemimpinan Kepala Daerah, kualitas birokrasi yang rendah, tekanan biaya hidup bagi birokrat, struktur insentif yang kurang memadai, besarnya Dana Perimbangan, budaya feodal, dan lemahnya pengawasan terhadap korupsi di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan63.

Penelitian Riyanto dan penelitian ini memiliki persamaan pada fokus korupsi dalam pembangunan dengan perspektif ekonomi politik. Namun perbedaannya terletak pada fokus kasus korupsinya. Penelitian Riyanto merupakan korupsi secara umum dalam pembangunan wilayah, sementara penelitian ini merujuk pada korupsi pada pembangunan jalan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian Riyanto adalah metode kuantitatif dengan permodelan ekonometrika.

62

Ario Seto, Korupsi, Kesejahteraan Sosial, dan Investasi: Studi Empiris di Delapan Negara

ASEAN Tahun 2000-2009, Skripsi IPB, 2009 63

Riyanto, Korupsi dalam Pembangunan Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya,

Gambar

Tabel 1.1 Perkembangan panjang jalan menurut tingkat kewenangana
Gambar 2.1 Keterkaitan pembangunan jalan terhadap perekonomian29
Gambar 2.2 Skema lapisan biaya transaksi38
Gambar 2.3 Biaya-biaya monopoli45
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumah susun Sarijadi tidak memiliki standar yang tepat pada jenis material yang seharusnya digunakan pada tangga rumah susun, dapat dikatakna tidak layak bagi pengguna

pekerja anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah menjadi perhatian. sendiri bagi

Perencanaan bangunan ini berbeda dengan orientasi massa bangunan pada rumah sakit umum, pada bangunan BBKPM Bandung, kebutuhan fungsi ruang dan penempatan bukaan berada pada

JUDUL : DIY KEMBANGKAN REHABILITASI TERINTEGRASI MEDIA : KOMPAS. TANGGAL : 28

Sehingga masalah penelitian yang diteliti ini ialah bagaimana nilai ekonomi dan pemenuhan hak-hak anak dalam keluarga miskin di Desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal

tuhan dan rekomendasi isu dalam pertukaan informasi tentang ancaman cyber serta proses manajemen insiden yang tepat dalam rangka untuk mencegah dan merespon in-.. siden cyber

In summary, as capital account openness has increased over time, most East Asian economies seem to have chosen greater exchange rate flexibility to retain a certain degree of

[r]