KEANEKARAGAMAN JENIS, KEPADATAN DAN AKTIVITAS
MENGISAP DARAH ANOPHELES (Diptera: Culicidae) PADA
APLIKASI ZOOPROFILAKSIS DI DAERAH
ENDEMIS MALARIA
IMAM HANAFY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles (Diptera: Culicidae) pada
Aplikasi Zooprofilaksis di Daerah Endemis Malaria adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Imam Hanafy
RINGKASAN
IMAM HANAFY. Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles (Diptera: Culicidae) Pada Aplikasi Zooprofilaksis Di Daerah
Endemis Malaria. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI
Malaria merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia kasus
malaria di sebagian daerah masih tinggi. Wilayah Lampung Selatan merupakan daerah endemis malaria yang berada di sepanjang pesisir pantai teluk Lampung. Angka malaria yang dilaporkan pada 2013 dengan indikator Annual Parasite Inciden (API) sebesar 13,6 0/00. Usaha penanggulangan penyakit malaria yang digalakkan
oleh WHO adalah penggunaan insektisida. Namun pada metode ini diperlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar sehingga sangat memberatkan daerah endemis malaria yang umumnya adalah negara-negara berkembang. Hewan ternak seperti sapi dan kerbau yang umum dipelihara warga di daerah endemis dapat dimanfaatkan sebagai pengalihan atau barrier agar nyamuk tidak kontak langsung
dengan manusia. Hal ini dikarenakan pada umumnya Anopheles lebih tertarik
mengisap darah hewan. Pemanfaatan hewan ternak sebagai barrier ini dikenal dengan
istilah zooprofilaksis. Namun walaupun dapat menghindarkan manusia dari kontak
nyamuk vektor, kelemahan metode zooprofilaksis adalah terus berlangsungnya siklus kehidupan nyamuk akibat dari ketersediaan darah ternak untuk kepentingan reproduksi vektor. Oleh sebab itu metode ini kemudian dikombinasikan dengan penggunaan insektisida yang dibalurkan pada tubuh hewan ternak dengan harapan nyamuk akan mati ketika berkontak dengan tubuh ternak.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh aplikasi kombinasi zooprofillaksis dengan insektisida dan tanpa insektisida terhadap berbagai aspek biologi Anopheles. Aspek biologi yang dianalisis antara lain, 1) Keragaman jenis Anopheles pada orang dan sapi; 2) Kepadatan dan perilaku Anopheles
(kecenderungan memilih inang orang atau sapi); 3) Aktivitas Anopheles dalam
mengisap darah inang (orang dan sapi) 4) Paritas Anopheles sebagai indikasi
potensi vektor malaria. Penelitian ini dilakukan pada Juni sampai September 2014 di daerah endemis malaria yaitu Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Metode yang dilakukan pada aplikasi zooprofilaksis yaitu dengan menempatkan sapi tanpa dan berinsektisida pada jarak 10-20 meter dari rumah warga. Sapi ditempatkan dalam magoon trap yang ditempatkan pada jalur antara
rumah dengan tempat perindukan Anopheles. Penangkapan Anopheles pada orang
menggunakan metode bare leg collection (BLC). Penangkapan Anopheles pada
sapi yaitu dengan melakukan penangkapan menggunakan aspirator pada tubuh sapi dan kelambu magoon trap.
Hasil penelitian menunjukkan Anopheles yang tertangkap pada orang
terdiri atas 4 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris dan An.aconitus. Anopheles yang tertangkap pada sapi baik pada sapi berinsektisida
maupun tidak, terdiri atas 5 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An subpictus dan An.aconitus. Perbedaan jumlah keanekaragaman
dibandingkan pada orang. Komposisi spesies Anopheles yang tertangkap
didominasi oleh An. sundaicus sebesar 52,10% selanjutnya An. vagus sebesar
29,30%, An. barbirostris sebesar 8,58%, An. subpictus sebesar 5,59% dan An.aconitus sebesar 4,43%. Indeks keanekaragaman jenis pada orang yang
dilindungi sapi berinsektisida jauh lebih besar (0,043) dibandingkan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida (0,009).
Selain itu, kepadatan rata-rata Anopheles pada orang yang dilindungi sapi
berinsektisida di luar rumah lebih tinggi (0,24 ± 0,20 nyamuk/orang/jam) dibandingkan pada orang yang dilindungi sapi tanpa insektisida (0,05 ± 0,06 nyamuk/orang/jam). Perilaku Anopheles dalam mengisap darah orang yang
dilindungi sapi berinsektisida di luar rumah pada pukul 20.00-21.00 sebesar 0,35 nyamuk/orang, sedangkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida tidak ditemukan aktivitas Anopheles mengisap darah pada jam yang sama.
Sementara itu, di dalam rumah aktivitas Anopheles mengisap darah orang yang
dilindungi sapi berinsektisida pada pukul 19.00-20.00 sebesar 0,50 nyamuk/orang, sedangkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida sebesar 0,28 nyamuk/orang. Nilai yang lebih tinggi juga ditemukan pada angka paritas
Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida sebesar 38,5%,
sementara pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida sebesar 0%. Hasil tersebut di atas menunujukkan bahwa aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi tidak berinsektisida justru lebih protektif sebagai barrier terhadap gigitan Anopheles apabila dibandingkan menggunakan sapi berinsektisida.
SUMMARY
IMAM HANAFY. Diversity, Density and Blood Feeding Activity of Anopheles
(Diptera: Culicidae) on Zooprophylaxis Application in Malaria Endemic Area. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI
Malaria is an infectious disease caused by the obligate protozoan intracellular of the genus Plasmodium. Until recently in Indonesia cases of
malaria in some areas is still high. South Lampung region is malaria endemic area are located along the bay coast of Lampung. The numbers malaria were reported in 2013 with Annual Parasite Inciden (API) amounted 13,6 0/00. Malaria prevention efforts promoted by WHO is the use of insecticide. However, this method required insecticide in very large quantities so it is incriminating malaria endemic areas which usually are developing countries. Actually, livestock such as cattles and buffaloes which commonly kept by residents in endemic areas can be utilized to divert mosquitoes bite from humans. Because of many Anopheles species are prefer animal
blood than human, naturally. The utilization of livestock as a barrier of human from mosquitoes bites is known as zooprophylaxis. However, although it can protect people from mosquitos contact, weakness of this method is continuing the life cycle of mosquitoes due to the availability of cattle blood for the its reproduction. Therefore, this method then combined with insecticide which smeared on livestock body in hopes of mosquitoes die after contact to these livestock.
This study aimed to compare the effect of combination zooprophylaxis application with and without insecticides about various aspects the biology of
Anopheles. Biological aspects are analyzed consists of, 1) diversity of species Anopheles in human and cattle; 2) density and behavior of Anopheles (preference to
human or cattle); 3) Anopheles blood sucking activities on host (human and cattle) 4) Anopheles parity as an indication of malaria vector potential. This study was
conducted in June to September 2014 in malaria endemic area in Hanura village, Padang Cermin Sub District, Pesawaran District of Lampung Province.
The method was carried out by putting insecticide-treated cattle and not at a distance of 10-20 meters from the houses. The cattles were placed in magoon trap that were placed in the path between the house and Anopheles breeding sites. Anopheles were collected on human by Bare Leg Collection (BLC) methode,
while on cattle by aspirator, both on cattle body and inside magoon trap.
The results showed that Anopheles were caught on human consists of four
species, namely An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris and An.aconitus, while
on insecticide-treated cattle or not, consists of five species (An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. subpictus and An.aconitus). The composition of Anopheles were dominated by An. sundaicus (52,10%), while the others were An. vagus (29.30%), An. barbirostris (8.58%), An. subpictus (5.59%) and An.aconitus
(4.43%). Species diversity index of Anopheles which caught on human protected
by insecticide treated cattle was higher (0,043) than on human with no insecticide treated cattle (0,009).
Additionally, the average density of Anopheles on human protected by
human/ hour) compared by on human with no insecticide treated cattle (0.05 ± 0.06 mosquitoes/ human/ hour). Anopheles blood sucking activities outdors on
human protected by insecticide-treated cattle at 20.00-21.00 was 0.35 mosquitoes/ human. Whereas no one mosquitoes caught on human protected by no insecticide treated cattle at the same time. Inside the house, the density of Anopheles on
human protected by insecticide-treated cattle at 19:00 to 20:00 was about 0.50 mosquitoes/ human, while only 0.28 mosquitoes on human protected by no insecticide-treated cattle. Higher value also found in parity number of Anopheles
on human protected by insecticide-treated cattle (38.5%), than on human protected by no insecticide-treated cattle (0%). The above results indicated that the zooprofilaksis application using no insecticide-treated cattle was more effective as Anopheles biting protection than insecticide-treated cattle.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
KEANEKARAGAMAN JENIS, KEPADATAN DAN AKTIVITAS
MENGISAP DARAH ANOPHELES (Diptera: Culicidae) PADA
APLIKASI ZOOPROFILAKSIS DI DAERAH
ENDEMIS MALARIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah
Anopheles (Diptera: Culicidae) Pada Aplikasi Zooprofilaksis Di
Daerah Endemis Malaria Nama : Imam Hanafy
NIM : B252130031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si. Ketua
Prof. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. Ph.D Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Prof. Drh.Upik Kesumawati Hadi, MS. Ph.D
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr
Tanggal Ujian: 22 Juni 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni 2014 ini ialah : Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles
(Diptera: Culicidae) Pada Aplikasi Zooprofilaksis Di Daerah Endemis Malaria. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si dan Prof. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. Ph.D selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis, serta Ibu Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu H.S., MS. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian tesis. Terima Kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada para staf pengajar dan pegawai laboratorium Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama masa penyelesaian studi.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Malaria dan Vektor Anopheles di Indonesia 3
Bioekologi, Perilaku dan Potensi Anopheles Sebagai Vektor 4
Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Nyamuk dalam Menemukan Inangnya 7 Penggunaan Hewan dalam Aplikasi Zooprofilaksis 7 Modifikasi Metode Zooprofilaksis dengan Insektisida dan Dampaknya
Terhadap Resisitensi Vektor 8
3 METODE 11
Waktu dan Tempat Penelitian 11
Lokasi Penelitian 11
Rancangan penelitian 11
Aplikasi Zooprofilaksis 12
Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Orang 12
Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Sapi 12
Identifikasi Spesies Anopheles 13
Pengamatan Tingkat Paritas Anopheles 13
Analisis Data 13
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman
Spesies Anopheles 13
Kepadatan Anopheles Pada Orang 14
Kepadatan Anopheles Pada Sapi 14
Derajat Paritas Nyamuk Anopheles 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Ragam Spesies Anopheles 15
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman
Spesies Anopheles 18
Kepadatan Anopheles pada Orang 20
Kepadatan Anopheles pada Sapi 23
Aktivitas Anopheles dalam Mengisap Darah Inang (Orang dan Sapi) 26
Paritas Anopheles 29
Simpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 36
RIWAYAT HIDUP 39
DAFTAR TABEL
1 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Jenis, Dominansi Jenis dan Indeks
Keanekaragaman jenis Anopheles. 19
2 Angka Paritas Anopheles pada Orang dan Sapi menggunakan
Aplikasi Zooprofilaksis 29
DAFTAR GAMBAR
1 Peta sebaran vektor malaria di Indonesia 4
2 Peta Lokasi Pengambilan Data 11
3 Morfologi An. sundaicus 15
4 Morfologi An. vagus 16
5 Morfologi An. barbirostris 16
6 Morfologi An. subpictus 17
7 Morfologi An. aconitus 17
8 Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi
Berinsektisida dari Juni-September 2014 21
9 Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Tidak
Berinsektisida dari Juni-September 2014 22
10 Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Sapi Bernsektisida dari
Juni-September 2014 24
11 Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Sapi Tidak Berinsektisida dari
Juni-September 2014 25
12 Aktivitas Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Berinsektisida 26
13 Aktivitas Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Tidak
Berinsektisida 27
14 Aktivitas Anopheles pada Sapi Berinsektisida dan Sapi Tidak
Berinsektisida. 28
15 Preparat Ovarium Anopheles 30
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pembaluran atau penyemprotan insektisida pada sapi 36
2 Koleksi Anopheles pada sapi dan orang 37
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Malaria merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Pada tahun 2013 lebih dari 97 negara
memiliki daerah endemis malaria, terutama pada daerah tropis (CDC & USAID 2013). Sekitar 3,4 miliar penduduk dunia berisiko terkena malaria dan 1,2 miliar penduduk berisiko tinggi terkena malaria berat. Di daerah yang berisiko tinggi, lebih dari satu kasus malaria terjadi per seribu penduduk (WHO 2013). Tahun 2012 terjadi 207 kasus malaria di Afrika dan diperkirakan 627.000 diantaranya mengalami kematian. Sembilan puluh persen dari semua kasus kematian malaria terjadi pada daerah Sub-Sahara Afrika dan menewaskan sekitar 420.000 anak dibawah usia lima tahun (WHO 2013). Sampai saat ini di Indonesia kasus malaria di sebagian daerah masih tinggi. Wilayah Lampung Selatan merupakan daerah endemis malaria yang berada di sepanjang pesisir pantai teluk Lampung. Angka malaria yang dilaporkan pada Tahun 2013 dengan indikator Annual Parasite Inciden (API) sebesar 13,6 0/00 di Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran (Dinkes Kab.
Pesawaran 2014). Hal ini masih jauh di atas pencapaian program eliminasi malaria yakni kurang dari 1‰ di setiap desa pada tahun 2020.
Malaria dalam proses penularannya diperantarai oleh nyamuk dari genus
Anopheles. Di Indonesia terdapat sekitar 81 spesies nyamuk Anopheles dan 25 di
antaranya sudah terbukti sebagai vektor malaria. Vektor ini tersebar di seluruh kawasan di Indonesia dan masing-masing memiliki karakteristik habitat yang berbeda-beda (Depkes RI 2006). Spesies Anopheles yang pernah dilaporkan di Provinsi Lampung
antara lain An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. indefinitus, An. minimus, An. kochi, An. barbirostris, An. annularis, An. tesselatus, An. aconitus (Suwito 2010; Safitri
2009). Menurut Rosa et al. (2009) di wilayah pantai Bandar Lampung terdapat An. sundaicus dan An. subpictus.
Penanggulangan malaria yang digalakkan oleh WHO adalah penggunaan insektisida untuk mengendalikan vektor malaria. Laporan 10 tahun terakhir (2000-2009) telah terjadi tren kenaikan penggunaan insektisida dalam mengendalikan serangga vektor terutama vektor malaria (WHO 2011). Saat ini penggunaan insektisida dalam skala besar untuk mengendalikan Anopheles yaitu menggunakan
metode Indoor Residual Spraying (IRS) dengan menyemprotkan insektisida residual
pada dinding-dinding rumah bahkan kandang-kandang ternak. Namun metode ini memerlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar sehingga berdampak pada pengeluaran biaya yang mahal yang sangat memberatkan daerah endemis malaria yang umumnya adalah negara-negara berkembang.
Hewan ternak seperti sapi dan kerbau yang umum dipelihara warga di daerah endemis dapat dimanfaatkan sebagai pengalihan atau barier agar nyamuk tidak kontak
langsung dengan manusia. Hal ini dikarenakan sifat biologi dari Anopheles yang
cenderung zoofilik. Pemanfaatan hewan ternak sebagai barier ini dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Namun walaupun dapat menghindarkan manusia dari kontak langsung
dengan nyamuk vektor, kelemahan metode zooprofilaksis adalah terus berlangsungnya
2
penggunaan insektisida yang dibalurkan pada tubuh hewan ternak dengan harapan nyamuk akan mati ketika kontak dengan ternak.
Pemanfaatan ternak dalam pengendalian vektor Anopheles belum banyak
dilaporkan di Indonesia. Hasil penelitian Santoso (2012) mengenai aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida deltametrin menunjukkan terjadi penurunan kepadatan nyamuk yang signifikan dari sebelum dan sesudah pemasangan sapi yang berfungsi sebagai barier. Kepadatan nyamuk
pada manusia turun sebesar 80,6% dan pada sapi 92,2%. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Santoso (2012), untuk membandingkan pengaruh aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasi insektisida dan tanpa insektisida terhadap berbagai aspek biologi Anopheles.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasi insektisida dan tanpa insektisida terhadap aspek biologi Anopheles, dengan pengukuran:
1. Keragaman jenis Anopheles pada orang dan sapi
2. Kepadatan dan kecenderungan Anopheles dalam mengisap darah orang atau sapi
3. Aktivitas Anopheles dalam mengisap darah inang (orang dan sapi)
4. Paritas Anopheles sebagai indikasi potensi vektor malaria.
Manfaat Penelitian
Pengamatan aspek-aspek biologi (keragaman, kepadatan dan perilaku) dari
Anopheles pada metode zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan insektisida
2 TINJAUAN PUSTAKA
Malaria dan Vektor Anopheles di Indonesia
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia.
Penyakit ini secara alami ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Gejala
malaria sangat khas dan mudah dikenal karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil. Selain itu terdapat kelainan pada limpa (splenomegali) yaitu limpa membesar dan menjadi keras. Pada beberapa daerah endemis, malaria dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja pada penderitanya bahkan menyebabkan kematian (WHO 2013).
Indonesia merupakan negara yang masih terjadi transmisi malaria atau berisiko malaria (Malaria Risk). Sampai tahun 2011, terdapat 374 kabupaten endemis malaria.
Jumlah penderita malaria di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 256.592 orang. Sebanyak 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya, menunjukkan angka Annual Parasite Insidence (API) 1,75 per seribu penduduk. Hal
ini menunjukkan, dari setiap 1000 penduduk terdapat 2 orang terkena malaria. (Depkes RI 2012).
Prevalensi nasional malaria adalah 0,6% yaitu provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Aceh dan Lampung (PERMENKES RI 2012). Provinsi Lampung merupakan daerah endemis malaria dengan rata-rata angka API sebesar 0,38 per seribu penduduk dari 14 kabupaten/kota. Kabupaten Pesawaran menyumbangkan angka API tertinggi yaitu 4,55 per seribu penduduk (Dinkes Kab. Pesawaran 2014).
Malaria memiliki hubungan yang erat, baik dengan kehadiran vektor, iklim, kegiatan manusia dan lingkungan setempat. Adanya kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan luas tempat perindukan nyamuk vektor. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas
Anopheles dalam menularkan Plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu
orang ke orang lain. Keberadaan vektor Anopheles di suatu daerah akan
berkorelasi dengan adanya kasus malaria. Semakin kompleks jenis vektor
Anopheles maka semakin tinggi risiko malaria pada daerah tersebut.
Genus Anopheles di dunia terdiri atas 430 spesies tetapi hanya 70 yang
dikenal sebagai vektor malaria, 40 di antaranya dianggap sangat penting dalam menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara umum
terdapat di daerah tropis dan subtropis. Anopheles tidak pernah ditemukan di daerah
Pasifik Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas 2.500 meter biasanya tidak ditemukan Anopheles (WRBU 2009).
Jenis Anopheles yang terdapat di Indonesia diantaranya meliputi An. aconitus, An. sundaicus, An. balabasensis, An. minimus, An. barbirostris, An. punctulatus, An. maculatus dan An. karwari. Sementara itu, jenis Anopheles yang
dominan di Indonesia adalah jenis An. maculatus, An. aconitus, An. farauti, dan An. sundaicus (Hiswani 2004). Gambar 1 merupakan peta sebaran vektor malaria di
4
Spesies Anopheles yang pernah ditemukan di daerah Lampung antara lain An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. aconitus, An. subpictus, An. indefinitus, An. minimus, An. kochi, An. annularis, An. tesselatus. Pada umumnya Anopheles ini memiliki tempat perindukan pada daerah persawahan, lagun dan
bekas tambak-tambak yang sudah tidak terpakai (Safitri 2009).
Bioekologi, Perilaku dan Potensi Anopheles Sebagai Vektor
Keberadaan nyamuk Anopheles di suatu daerah sangat erat hubungannya
dengan kondisi alam daerah tersebut. Hans et al. (2002) mempelajari pengaruh
stuktur lansekap terhadap kepadatan dan keragaman nyamuk Anopheles. Hasil
penelitian menunjukkan lahan pertanian mempunyai stuktur lansekap yang berukuran kecil-kecil dan sangat bervariasi bentuknya dari pada lokasi hutan. Hal ini mempengaruhi keragaman jenis Anopheles.
Keragaman Anopheles sp. dipengaruhi oleh struktur lansekap, zoogeografi,
ketinggian, keberadaan habitat perkembangbiakan pradewasa dan sibling spesies.
Di Indonesia secara umum, lingkungan pantai banyak ditemukan An. sundaicus dan An. subpictus, lingkungan persawahan An. barbirostris dan An. aconitus,
lingkungan rawa dan sungai berbatuan An. maculatus dan An. farauti dan di
lingkungan perbukitan An. balabacencis (Ditjen PP&PL 2010).
Wilayah Lampung Selatan mempunyai keragaman Anopheles yang tinggi,
hal ini dikarenakan banyak terdapat daerah pantai dan rawa-rawa. Di daerah ini ditemukan 16 jenis Anopheles, yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. indefinitus, An. nigerrimus, An. peditaeniatus, An. kochi, An. barbirostris, An. barumbrosus, An. annularis, An. separatus, An. tessellatus, An. aconitus, An. umbrosus, An. leucosphyrus dan An. letifer (Idris 1999; Rosa et al. 2009).
5 Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung terdapat 11 spesies dan di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran 10 spesies. Spesies yang paling dominan adalah An sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. aconitus dan An. subpictus
(Suwito 2010).
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. berbeda di beberapa
wilayah di Indonesia. Bruce-Chwatt (1985) mengklasifikasikan habitat larva dalam lima tipe yaitu (1) Air tawar yang menggenang permanen atau temporal seperti rawa-rawa yang terbuka luas atau daerah rawa yang merupakan bagian dari danau, kolam, genangan air, dan mata air, (2) Kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti genangan air terbuka di lapangan dan bekas tapak kaki binatang, (3) Air yang mengalir permanen atau semi permanen seperti sungai yang terbuka dengan vegetasi, air yang mengalir dari selokan, (4) Tempat penampungan air alami seperti lubang pada batu, pohon, lubang buatan hewan, dan tempat penampungan air buatan manusia seperti kaleng, ban, tempurung kelapa, dan (5) Air payau seperti rawa-rawa pasang surut. Hasil penelitian di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin menunjukkan bahwa rata-rata An. sundaicus yang tertangkap pada umpan orang lebih
banyak di Padang Cermin sebesar 54,26 per orang per malam dibandingkan dengan di Rajabasa sebesar 32,29 per orang per malam. Hal ini berkaitan dengan luasan habitat perkembangbiakan larva An. sundaicus. Semakin luas habitat perkembangbiakan larva,
maka semakin tinggi kepadatan nyamuk yang tertangkap. Di Padang Cermin habitat utama larva An. sundaicus berupa tambak terbengkalai yang luas keseluruhan
mencapai 30,6 Ha, sedangkan di Rajabasa habitat utama larva An. sundaicus adalah
bak benur terbengkalai luasan total hanya 1,4 Ha (Suwito 2010).
Anopheles sp. pada umumnya beraktivitas pada malam hari. Kepadatan Anopheles mengisap darah berbeda berdasarkan spesies. An. sundaicus merupakan
spesies dominan di daerah sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa. An. sundaicus ini hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak aktivitas pada
pukul 19.00-20.00 dan 02.00-03.00 (Sukowati & Shinta 2009). Di Langkap Jaya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat An. aconitus mencapai puncaknya pukul
01.00-02.00, sedangkan An. barbirostris dan An. maculatus pada pukul 19.00-20.00 (Munif et al. 2007). Di daerah Sukamaju Kota Bandar Lampung Anopheles spp. mengisap
darah sepanjang malam dengan puncak aktivitas pada pukul 24.00 di luar rumah dan pukul 23.00 di dalam rumah (Rosa et al. 2009).
Perilaku nyamuk berdasarkan kecenderungan terhadap inang dibedakan menjadi zoofilik, antropofilik, danantropozoofilik.Sifat zoofilik merupakan kebiasaan
nyamuk yang cenderung atau lebih menyukai darah hewan, sedangkan antropofilik merupakan kebiasaan nyamuk yang cenderung atau lebih menyukai darah manusia. Jika menyukai mengisap darah keduanya (hewan & manusia) maka disebut antropozoofilik. Berdasarkan lokasi nyamuk mengisap darah dibedakan menjadi eksofagik (di luar rumah) dan endofagik (di dalam rumah).
An. vagus bersifat zoofilik, lebih menyukai darah sapi di desa Hargotirto,
Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta (Aprianto 2002). Sedangkan di lokasi yang sama An. maculatus dan An. balabasensis bersifat antropofilik.
Berkaitan dengan lokasi mengigit, Aprianto (2002) tidak dapat memastikan sifat eksofagik atau endofagikdari An. maculatus dan An. vagus. Di desa Tarahan Lampung
Selatan An. sundaicus banyak ditemukan di sekitar kandang, bersifat zoofilik dan lebih
menyukai mengigit di luar rumah (Boesri 1999). An. sundaicus di Kecamatan Padang
6
ternak (Suwito 2010). Jastal (2005) melaporkan dari delapan spesies nyamuk
Anopheles yang didapatkan di desa Tongua, Donggala Sulawesi Tengah, semuanya
bersifat eksofagik. 2 Spesies Anopheles bersifat antropofilik (An. barbirostris dan An. nigerrimus), 6 spesies lainnya bersifat zoofilik (An. tesselatus, An. vagus, An. punculatus, An. barumbrosus, An. maculatus dan An. kochi).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan nyamuk sehingga dapat berperan sebagai vektor antara lain: 1) Kemampuan nyamuk menerima dan mendukung pertumbuhan patogen penyakit, 2) Spesifitas inang vertebrata terhadap patogen penyakit, 3) Mobilitas vektor, 4) Umur, semakin panjang umur memungkinkan waktu perkembangan patogen menjadi infektif, 5) Frekuensi makan, semakin sering nyamuk mengisap darah maka semakin tinggi potensi penularan, 6) Kepadatan populasi nyamuk yang tinggi, menyebabkan potensi kontak vektor dengan manusia lebih besar (Hardwood & James 1979)
Spesies Anopheles dapat dikatakan sebagai vektor jika spesies tersebut
memiliki nilai dominansi yang tinggi, pernah ditemukan sporozoit di dalam tubuhnya, memiliki kontak gigitan yang tinggi terhadap inang, serta memiliki umur yang panjang (Gambiro 1999). Munif dan Sudomo (2003) menyatakan An. barbirostris di Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya merupakan spesies
yang paling dominan karena memiliki banyak tipe habitat perkembangbiakan dan ditemukan sepanjang tahun. An. barbirostris merupakan spesies yang paling
dominan kontak dengan manusia. Selain itu, berdasarkan pengamatan tingkat paritasnya, An. barbirostris memiliki umur yang lebih panjang jika dibandingkan
dengan spesies lain. Oleh sebab itu spesies ini berpotensi sebagai vektor malaria karena kapasitasnya dalam memperantarai dan menularkan Plasmodium pada
manusia.
Potensi Anopheles dapat diketahui dengan pengukuran angka paritas pada Anopheles tersebut. Pengukuran angka paritas Anopheles sangat penting dilakukan
untuk mengetahui peluang nyamuk tersebut berperan sebagai vektor malaria. Angka paritas digunakan untuk menganalisis kemampuan nyamuk dalam menularkan Plasmodium. Anopheles yang berpotensi sebagai vektor malaria
merupakan nyamuk yang sudah tua dan umumnya sudah mengalami beberapa kali siklus gonotrofik. Rentang umur ini akan mempengaruhi penyelesaian masa inkubasi ekstrinsik parasit yaitu dari gametosit sampai sporozoit di kelenjar ludah. Inkubasi ekstrinsik ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan klimatologis, seperti suhu dan kelembapan relatif. Paritas berbanding lurus dengan umur nyamuk (Gilles & Warel 2004).
Anopheles di Kecamatan Rajabasa dan Padang Cermin Lampung Selatan
menunujukkan bahwa spesies terbanyak adalah. An. sundaicus. Spesies ini juga
memiliki aktivitas tertinggi di kedua kecamatan tersebut dan hampir ditemukan sepanjang malam dengan perilaku menggigit yang eksofagik. Tingkat paritas An. sundaicus juga tinggi terutama di luar rumah rata-rata sebesar 75,51% (Suwito
2010). Paritas berbanding lurus dengan umur nyamuk. Paritas digunakan untuk menganalisis kemampuan nyamuk dalam menularkan Plasmodium. Semakin tinggi
angka paritas maka umur nyamuk semakin tua, berarti kemampuan nyamuk untuk menjadi media perkembangan Plasmodium infektif (inkubasi intrinsik) semakin
besar. Nilai dominansi, aktivitas dan angka paritas yang tinggi dari An. sundaicus
7
Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Nyamuk dalam Menemukan Inangnya
Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam menemukan inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut terhadap nyamuk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam menemukan inang adalah suhu inang, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan macam-macam faktor visual (Olanga et al. 2010). Suhu inang
yang lebih tinggi dari suhu lingkungan merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam menemukan inang dan mengisap darahnya (Carver et al. 2009).
Di dalam kandang, kebanyakan Aedes aegypti mendekati aliran udara hangat
dengan kelembaban 15% sampai 20% (Brown et al. 1951). Belum ada bukti yang
menunjukkan pentingnya tingkat kelembaban bagi orientasi nyamuk menemukan inang (Clement 1963). Kelembaban dimungkinkan merupakan sebagian dari faktor penting yang berasal dari lingkungan dan merupakan daya tarik nyamuk jarak dekat.
Karbondioksida berperan penting bagi nyamuk untuk menemukan inang. Penelitian Smallegange et al. (2010) pada perangkap nyamuk yang diberikan aliran
CO2 menemukan bahwa pada aliran CO2 25 ml/menit berhasil menangkap 86 nyamuk, CO2 60 ml/menit 100 nyamuk dan ketika aliran CO2 dinaikan menjadi 100 ml/menit jumlah nyamuk yang tertangkap bertambah menjadi 177 nyamuk. Aroma dapat mempengaruhi nyamuk dalam mendeteksi inangnya. Hasil penelitian Smallegange et al. (2010) menemukan bahwa amonia, asam laktat, dan asam
karboksilat alifatik signifikan mempengaruhi orientasi nyamuk dalam menemukan inang. Bau kulit kaki secara signifikan lebih menarik dari pada tangan manusia, namun bau tangan manusia atau bau kulit kaki lebih menarik daripada ammonia karena lebih bersifat volatil. Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari. Brown dan Bennet (1981) melaporkan bahwa Ae. aegypti lebih banyak
menggigit orang yang memakai baju berwarna gelap dibandingkan orang yang memakai baju berwarna terang. Faktor visual mempengaruhi orientasi nyamuk yang menggigit di siang hari.
Penggunaan Hewan dalam Aplikasi Zooprofilaksis
Pemanfaatan ternak dalam pengendalian nyamuk merupakan cara biologis yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kontak antara nyamuk dengan manusia, hal ini dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Tindakan tersebut bertujuan agar terjadi perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada hewan ternak seperti sapi (Hasan 2006). Zooprofilaksis didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan ternak sebagai barrier. Ternak ini ditempatkan diantara tempat perindukan dalam
8
daya mengalihkan nyamuk vektor yang antropofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu (WHO 1982).
Soedir (1985) di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah menyebutkan umpan hewan berupa sapi mampu menarik 54, 3% Anopheles sedangkan umpan
manusia hanya mampu menarik 5,3% Anopheles dari total penangkapan nyamuk.
Hasil uji presipitasi menunjukkan bahwa 56,04% dari populasi An. aconitus
mengisap darah sapi serta 3,30% darah manusia (Boewono 1986). Di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah nyamuk Anopheles spp. lebih menyukai darah
hewan, antara lain A. maculatus dengan angka human blood index (HBI) 32,4% dan An. vagus 8,2% (Achmad et al. 2003).
Ketertarikan atau kecenderungan Anopheles dalam mengisap darah ternak
juga dilaporkan di Desa Kaligading, Jawa Tengah. Hasil uji presipitin menunjukkan 56,04% dari populasi An. aconitus mengisap darah sapi, 23,07% darah kerbau,
13,19% darah domba dan 4,40% darah kambing serta 3,30% darah manusia. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa ternak sapi atau kerbau dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan metode zooprofilaksis baik secara aktif maupun pasif (Boewono 1986).
Keberhasilan program zooprofilaksis dapat terjadi jika memenuhi beberapa kriteria yaitu pertama jenis Anopheles harus bersifat zoofilik atau
zooantropofilik. Kedua, ternak tersebut harus disebar dalam bentuk tameng atau menyerupai barrier antara nyamuk vektor dan manusia. Lokasi penempatan
ternak harus sejauh mungkin dari manusia (Santoso 2012). Boewono (1986) menyebutkan, ternak yang dipasang bisa efektif menjadi barrier terhadap gigitan Anopheles pada manusia apabila ternak tersebut diletakkan ± 20 meter dari
keberadaan manusia.
Modifikasi Zooprofilaksis dengan Insektisida dan Dampaknya Terhadap Resisitensi Vektor
Aplikasi zooprofilaksis bertujuan mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan yang diharapkan dapat mengurangi transmisi malaria ke manusia. Zooprofilaksis jika dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan masalah baru yaitu terus terjaganya siklus perkembangan biologi Anopheles. Hal
ini terjadi akibat tersedianya sumber nutrisi berupa darah ternak untuk keberlanjutan keturunannya. Angka gigitan Anopheles terhadap manusia akan
menurun, namun disisi lain populasi Anopheles akan terus meningkat. Hal ini akan
menimbulkan risiko tinggi bagi orang yang bepergian keluar rumah saat tidak terlindungi dari gigitan Anopheles, sehingga perlu dilakukan modifikasi agar
menambah keefektifan dalam melakukan pengendalian.
Modifikasi yang dianggap efektif adalah dengan pemberian insektisida pada tubuh hewan ternak. Program penggunaan insektisida dilakukan secara luas di seluruh dunia termasuk Indonesia (WHO 1992). Pelaburan insektisida pada sapi dapat menurunkan insiden penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum sebesar 56% dan Plasmodium vivax sebesar 31%, dengan biaya yang
lebih rendah sekitar 80% dibandingkan dengan metode penyemprotan dalam ruangan (indoor residual spraying) (Rowland et al. 2001). Aplikasi insektisida pada
9 dapat ditingkatkan sebagai akibat langsung dari reduksi ektoparasit dan serangga pengganggu lainnya seperti lalat dan caplak. Hasil lainnya yaitu terjadi penurunan kasus penyakit yang ditimbulkan oleh ektoparasit seperti babesiosis, anaplasmosis,dan theleriosis.
Franco (2014) menyebutkan bahwa zooprofilaksis menggunakan ternak yang berinsektisida dan tidak, secara matematis menunjukkan perbedaan yang signifikan pada perhitungan kepadatan vektor yang tertangkap. Penggunaan sapi yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida dan sekaligus berfungsi sebagai atraktan dapat mengurangi kontak vektor dengan manusia sehingga mampu menurunkan kasus malaria di suatu daerah endemis di Pakistan.
Pengendalian ektoparasit dengan insektisida diketahui sangat baik dalam meningkatkan produktivitas ternak, diantaranya yang telah banyak digunakan adalah deltametrin (Hewiit & Rowland 1999). Deltametrin yang dibalurkan pada sapi di komplek pengungsian Afrika terbukti dapat menurunkan kasus malaria sebesar 56%. Metode ini sama efektifnya dengan penggunaan IRS, tetapi dengan biaya yang jauh lebih murah karena pengunaan insektisida yang lebih efektif dan aman. Metode ini sekaligus mampu meningkatkan produksi ternak akibat penurunan jumlah ektoparasit pada sapi (Rowland et al. 2001). Deltametrin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak
berbahaya bagi konsumen dan produk hewan (WHO 1990). Zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida sama efektifnya dengan metode IRS. Secara teknis kombinasi ini dapat diarahkan untuk mengurangi risiko resistensi yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Satu diantara masalah penggunaan insektisida adalah munculnya populasi serangga yang resisten. Secara alami terjadi mutasi genetik yang memungkinkan proporsi kecil dari suatu populasi (kurang dari 1 per 100.000 individu) mampu bertahan dan tetap hidup akibat insektisida. Bila hal ini terjadi secara terus menerus dengan menggunakan insektisida yang sama, serangga yang telah resisten akan menurunkan sifat-sifat resisten kepada keturunannya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan proporsi organisme resisten pada suatu populasi. Proses seleksi akibat penggunaan insektisida terjadi serupa dengan perubahan evolusi lainnya, dan proses akan terjadi lebih lama jika frekuensi gen pembawa resisten rendah. Gen resisten berkisar dari dominan, semidominan sampai resesif.
Faktor pendukung terjadinya resistensi adalah penggunaan insektisida yang sama atau sejenis secara terus menerus, penggunaan bahan aktif atau formulasi yang mempunyai aktifitas yang sama, efek residual lama dan biologi spesies vektor. Penyemprotan residual memberi peluang lebih besar menciptakan generasi resisten dibandingkan terhadap aplikasi lain, karena peluang kontak antara vektor dengan bahan aktif itu lebih besar. Faktor pendukung lainnya adalah penggunaan insektisida yang sama terhadap semua stadium vektor (telur, larva, pupa dan dewasa).
Mekanisme resistensi dapat digolongkan dalam dua katagori yaitu (1) biokimiawi dan (2) perilaku (behavioural resistance) (WHO 1999).
10
tubuh spesies vektor karena meningkatnya suatu populasi yang mengandung enzim yang mampu mengurai molekul insektisida. Tipe resistensi dengan mekanisme biokimiawi ini sering disebut sebagai resistensi enzimatik.
2. Resistensi perilaku (behavioural resistance). Individu dari populasi
vektor terlindungi oleh struktur eksoskeleton sehingga insektisida tidak mampu masuk kedalam tubuh vektor. Secara alami juga dapat terjadi suatu perilaku dari vektor yang “menghindar” dari kontak langsung dengan insektisidanya, sehingga insektisida tidak sampai pada targetnya.
Sebagai dasar dalam pengaturan penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor, diperlukan data atau informasi tentang status kerentanan spesies sasaran di setiap populasi yang berbasis eko-epidiomologi. Menurut WHO (1992), sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Total dari keseluruhan jumlah tersebut, 56 spesies diantaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex. Anopheles yang
mengalami proses resistensi tersebut antara lain, An. sacharovi di Lebanon, Iran
dan Turki, An. sundaicus di Indonesia dan Myanmar terhadap DDT, An. quadrimaculatus di Mexico terhadap dieldrin, An.aconitus di Indonesia juga mulai
resisten terhadap organofosfat (Widiarti et al. 2003). Sementara itu, Anopheles yang
resisten terhadap piretroid adalah An. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al.
2002) dan An. gambiae di Kamerun (Etang et al. 2006). Kejadian resistensi Anopheles pada aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pemberian
3
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – September 2014. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Pengambilan sampel penelitian dilakukan disekitar permukiman warga yang memiliki ternak sapi. Permukiman ini terletak ±500 meter dari garis pantai. Lingkungan disekitar permukiman penduduk tersebut banyak terdapat lagun, genangan air tambak yang terbengkalai serta genangan air sawah yang belum ditanami dan tempat-tempat tersebut banyak digunakan sebagai tempat perkembang biakan nyamuk Anopheles.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan mengamati aktivitas, kepadatan, keanekaragaman jenis dan perilaku Anopheles dalam
memilih inang pada aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi berinsektisida dan sapi tidak berinsektisida. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah 1) Aplikasi zooprofilaksis, 2) Pengukuran kepadatan Anopheles pada orang, 3)
Pengukuran kepadatan Anopheles pada sapi, 4) Identifikasi jenis Anopheles, 5)
Pengamatan tingkat paritas Anopheles yang tertangkap.
Gambar 2. Peta Lokasi Pengambilan Data. (Sumber: Google Earth 2014).
12
Aplikasi Zooprofilaksis
Aplikasi zooprofilaksis pada penelitian ini menggunakan sapi yang dibalur insektisida deltametrin 5% dengan konsentrasi 25 mg/m2 sesuai dengan dosis aplikasi yang dianjurkan keseluruh permukaan tubuh sapi. Pembaluran dilakukan pada dua ekor sapi dari total empat ekor sapi yang digunakan (dua ekor sapi berinsektisida dan dua ekor sapi tanpa insektisida). Pembaluran ini dilakukan rutin setiap seminggu sekali karena daya keefektifannya dalam membunuh 95%
Anopheles mampu bertahan hingga 8 hari (Santoso 2012).
Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Orang
Penangkapan Anopheles menggunakan umpan orang atau Bare Leg Collection (BLC) dilakukan di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui
kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan orang. Jumlah kolektor secara total berjumlah delapan orang yaitu dua rumah dari pemasangan sapi berinsektisida dan dua rumah dari pemasangan sapi tanpa insektisida. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai pukul 18.00-06.00. Setiap jam penangkapan terdiri atas 45 menit penangkapan nyamuk menggunakan aspirator. Kolektor duduk dengan menggulung celana panjangnya hingga batas lutut dan tidak merokok selama kegiatan. Jika terdapat nyamuk yang hinggap atau menempel pada permukaan kulit maka segera disedot menggunakan aspirator. Nyamuk yang ditangkap ditampung dalam paper cup yang sudah diberi label
untuk dihitung dan diidentifikasi. Kepadatan nyamuk Anopheles yang hinggap di
badan per orang perjam dihitung berdasarkan nilai man hour density (MHD)
(Bruce-Chwatt 1985). Penangkapan ini dilakukan dengan interval dua minggu sekali selama total tujuh kali penangkapan. Pengukuran kepadatan ini juga dilakukan penghitungan kelimpahan nisbi, frekuensi, dominansi, indeks keanekaragaman dan aktivitas menggigit dari seluruh spesies Anopheles yang
tertangkap pada orang.
Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Sapi
Hewan ternak yang dipakai sebagai barier pada metode zooprofilaksis
merupakan ternak sapi yang dimiliki oleh penduduk setempat. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak empat ekor (dua ekor sapi berinsektisida dan dua ekor sapi tanpa insektisida). Sapi yang dijadikan sebagai umpan atau barier ditempatkan
dalam magoon trap. Magoon ini berukuran panjang 6 m, lebar 6 m dan tinggi 2 m,
berdinding kain kelambu yang dilengkapi dengan jendela-jendela untuk masuknya nyamuk dan pintu masuk untuk kolektor dan sapi. Penempatan magoon diletakkan diantara tempat perindukan nyamuk dan rumah dengan jarak 10-20 meter dari rumah sejak pukul 18.00–06.00. Pengukuran kepadatan populasi Anopheles
dilakukan dengan penangkapan Anopheles yang hinggap pada sapi dan kelambu
menggunakan aspirator. Setiap jam penangkapan selama 45 menit, jendela-jendela magoon trap dibuka untuk membiarkan nyamuk masuk dan 15 menit berikutnya
13
cup yang terpisah berdasarkan jam penangkapan dan selanjutnya dibius
menggunakan kloroformuntuk dihitung jumlahnya dan diidentifikasi. Pengukuran kepadatan ini juga dilakukan penghitungan kelimpahan nisbi, frekuensi, dominansi, indeks keanekaragaman dan aktivitas menggigit dari seluruh spesies
Anopheles.
Identifikasi Spesies Anopheles
Nyamuk Anopheles yang tertangkap melalui BLC dan umpan sapi
diidentifikasi dibawah mikroskop stereo menggunakan kunci identifikasi morfologi bergambar O’Connor & Soepanto (2013).
Pengamatan Tingkat Paritas Anopheles
Pengamatan ovarium nyamuk diamati dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 40X. Nyamuk Anopheles yang akan dibedah diletakkan di atas kaca
benda yang telah ditetesi larutan NaCl. Tangan kiri memegang jarum seksi dan ditusukkan ke bagian thoraks untuk menahan tubuh nyamuk agar tidak bergerak. Tangan kanan merobek bagian ujung ruang abdomen segment ke VII menggunakan jarum seksi. Selanjutnya ujung abdomen (segment terakhir) ditarik perlahan-lahan ke belakang sampai bagian ovariumnya keluar. Jika ujung tracheola masih menggulung, berarti nyamuk belum pernah bertelur (nuliparus).
Sedangkan jika ujung tracheolnya membuka/tidak menggulung, berarti nyamuk sudah pernah bertelur (parus) atau berumur tua. Pengamatan paritas bertujuan
untuk menganalisis apakah nyamuk tersebut berpotensi sebagai vektor malaria atau tidak. Nyamuk yang berpotensi sebagai vektor malaria merupakan nyamuk yang sudah parus atau sudah pernah bertelur (Bruce-Chwatt 1985; Mala et al.
2014).
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan untuk melihat variable yang telah ditetapkan sebagai berikut:
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman Spesies Anopheles
Penghitungan kelimpahan nisbi dilakukan untuk mengetahui dominansi dari spesies Anopheles yang tertangkap selama penelitian. Penghitungan
Kelimpahan nisbi, Frekuensi dan Dominasi sebagaimana Sigit (1968), dan Indeks keanekaragaman menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum et al. 1993)
N = b ×a % Keterangan :
14
Frekuensi Spesies Anopheles
Frekuensi Spesies = J a a a a ya � ℎ���� J J a a a a a
Dominansi Spesies Anopheles
Dominansi Spesies = Kelimpahan Nisbi X Frekuensi Spesies
Indeks Keanekaragaman
(H) = -∑ Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N Keterangan:
Pi: Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis Ni : Jumlah individu ke-i
N : Jumlah total individu semua jenis
Kriteria indeks keanekaragaman sebagai berikut: Tinggi (H > 3); Sedang (1 ≤ H ≤ 3); Rendah (H < 1)
Kepadatan Anopheles Pada Orang
Kepadatan Anopheles yang kontak dengan manusia dalam satu jam (per
jam per orang) dinyatakan sebagai Man Hour Density (MHD) (KEMENKES,
2012). Nilai MHD ditentukan melalui rumus berikut:
MHD = Jumlah � ℎ���� tertangkap per spesies Jumlah jam penangkapan × 0× Jumlah Kolektor
Kepadatan Anopheles Pada Sapi
Kepadatan Anopheles yang kontak dengan sapi di dalam magoon trap
dihitung sebagaimana MHD dan dinyatakan sebagai Cattle Hour Density (CHD)
dengan rumus berikut:
CHD = Jumlah � ℎ���� tertangkap per spesies Jumlah jam penangkapan × 0× Jumlah Sapi
Derajat Paritas Nyamuk Anopheles
Derajat paritas Anopheles dapat diketahui dengan melakukan pembedahan
ovarium nyamuk dan menghitung jumlah nyamuk yang parus dibagi dengan total jumlah nyamuk yang dilakukan pembedahan. Nyamuk Anopheles yang dibedah
berjumlah 50% dari jumlah total penangkapan nyamuk Anopheles.
Parity Rate
=
J a ya a4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ragam Spesies Anopheles
Anopheles yang tertangkap pada orang terdiri atas 4 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris dan An.aconitus. Anopheles yang tertangkap
pada sapi baik pada sapi berinsektisida maupun tidak, terdiri atas 5 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An subpictus dan An.aconitus. Perbedaan
keanekaragaman ini menunjukkan bahwa ketertarikan Anopheles pada sapi lebih
tinggi jika dibandingkan dengan orang atau dengan kata lain spesies Anopheles
pada penelitian ini lebih bersifat zoofilik.
Setiap spesies dari genus Anopheles memiliki ciri-ciri morfologi yang khas
dan berbeda dengan spesies yang lain. Ciri khas inilah yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengenali masing-masing spesies dari genus Anopheles. An. sundaicus merupakan vektor utama di Jawa dan Sumatera. Di daerah Lampung
nyamuk ini sudah terbukti sebagai vektor malaria dan sudah dikonfirmasi melalui pemeriksaan Circumsporozoite (CSP) menggunakan metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Suwito 2010). An. sundaicus memiliki ciri khas
morfologi yaitu bagian palpusnya terdiri atas 3 gelang pucat. Probosis seluruhnya berwarna gelap (Gambar 3). Tarsus ke-5 kaki belakang sebagian atau seluruhnya berwarna gelap. Bagian sayap yaitu urat sayap Vena 1 terdapat 2 bagian gelap yang berada di bawah bagian gelap tengah costa (O’Connor & Soepanto 2013).
Hasil identifikasi spesies Anopheles yang kedua adalah An. vagus. Di
Indonesia An. vagus juga merupakan vektor utama malaria di Jawa dan Sumatera.
Lembaga Riset Angkatan Laut Amerika Serikat (NAMRU) telah mengkonfirmasikan melalui ELISA Test (Solaeman 2004). Nyamuk ini memiliki
16
ciri khas morfologi diantaranya yaitu pada bagian ujung proboscisnya terdapat sedikit bagian yang berwarna pucat. Noda pucat pada bagian ujung palpusnya panjangnya 3-4 kali panjang noda pucat pada bagian sub apicalnya (Gambar 4). Bagian tarsus ke-5 kaki belakangnya berwarna pucat. Tarsi kaki depan dengan gelang yang lebar. Bagian femur dan tibianya tidak berbercak (O’Connor & Soepanto 2013).
Identifikasi spesies Anopheles yang ke-3 adalah An. barbirostris. Nyamuk
ini masih belum terbukti sebagai vektor malaria karena belum ada penelitian yang mengkonfirmasi keberadaan sporozoit didalam tubuhnya menggunakan uji ELISA. Ciri khas morfologi dari nyamuk ini adalah seluruh tubuhnya berwarna hitam gelap. Ukuran tubuhnya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Palpi dan proboscisnya seluruhnya gelap. Bagian sternit abdomen segmen ke-7 terdapat sikat atau sisik berwarna gelap (Gambar 5). Bagian abdomen dengan kumpulan sisik-sisik putih dan berjajar dibagian tepi.
Gambar 4. Morfologi An. vagus.
17 Hasil identifikasi Anopheles yang ke-4 adalah An. subpictus. Nyamuk ini
sering ditemukan bersama dengan An. sundaicus karena habitatnya yang sama yaitu
pada perairan payau. Sampai saat ini belum ada yang membuktikan secara mikroskopis bahwa An. subpictus sebagai vektor malaria. Namun nyamuk ini
diberbagai pesisir pantai Jawa dan Sumatera berperan sebagai kandidat vektor. Ciri khas morfologi dari nyamuk ini yaitu seluruh proboscisnya berwarna gelap. Gelang pucat pada bagian sub apical palpi ≤ 1/3 gelang sub apical yang berwarna gelap. Tarsus ke-5 kaki belakangnya seluruhnya berwarna gelap (Gambar 6). Tarsus kaki depan dengan gelang yang lebar (O’Connor & Soepanto 2013).
Hasil identifikasi Anopheles yang ke-5 adalah An.aconitus. Nyamuk ini di
beberapa daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta berperan sebagai vektor utama malaria. Hasil penelitian dari Widiyastuti (2013) di Kulon progo, DIY menyebutkan bahwa An. aconitus dan An. maculatus sudah terbukti
sebagai vektor malaria dengan ditemukannya CSP P. vivax menggunakan uji
ELISA. Ciri khas morfologi dari nyamuk ini yaitu setengah ujung dari proboscisnya terdapat noda pucat. Venasi sayap nomer 6 terdapat 3 noda gelap, sedangkan bagian venasi sayap nomer 6 terdapat jumbai-jumbai berwarna pucat (Gambar 7). Bagian tarsi kaki depan tidak bergelang atau dengan gelang sempit.
Gambar 6. Morfologi An. subpictus.
18
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman Spesies Anopheles
Angka kelimpahan nisbi, frekuensi, dominansi dan indeks keanekaragaman jenis sangat diperlukan untuk mengetahui proporsi kepadatan suatu spesies pada lokasi tertentu. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Anopheles yang tertangkap pada
penelitian ini secara keseluruhan (ditemukan pada orang dan sapi) terdiri atas 5 spesies, yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An.aconitus dan An. subpictus. Proporsi spesies Anopheles yang tertangkap adalah An. sundaicus
sebesar 52,10%, An. vagus sebesar 29,30%, An. barbirostris sebesar 8,58%, An. subpictus sebesar 5,59% dan An.aconitus sebesar 4,43%.
An. sundaicus merupakan spesies yang memiliki nilai kelimpahan nisbi
tertinggi baik pada orang maupun pada sapi. An. vagus merupakan spesies
terbanyak kedua. Kedua jenis Anopheles ini merupakan vektor utama di Desa
Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Orang yang dilindungi sapi berinsektisida ditemukan 4 jenis Anopheles, yaitu An. sundaicus dan An. vagus secara berurutan memiliki nilai kelimpahan nisbi sebesar
2,37% dan 0,57%. Anopheles jenis lain yaitu An. barbirostris dan An. aconitus
hanya sebesar 0,41% dan 0,08%. An. subpictus tidak ditemukan mengisap darah
pada orang. Orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida hanya ditemukan 3 jenis Anopheles, yaitu An. sundaicus, An. vagus dan An. barbirostris. Nilai
kelimpahan nisbi tertinggi adalah An. sundaicus sebesar 0,25%, An. vagus 0,08%
dan An. barbirostris 0,08%.
Hasil ini menunjukkan bahwa kehadiran Anopheles terutama An. sudaicus
dan An. vagus pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida cukup tinggi. Oleh
sebab itu risiko penularan malaria pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida. Hasil ini sangat berbeda dengan Santoso (2012) di lokasi yang sama memperoleh 6 spesies Anopheles pada orang tanpa aplikasi zooprofilaksis.
Masing-masing spesies memiliki angka kelimpahan nisbi sebesar An. sundaicus 57,81%, An. vagus 20,93%, An. barbirostris 8,79%, An. subpictus 9,22%, An. aconitus
2,28%, An. kochi 0,98%. Perbedaan ini menunjukkan besarnya pengaruh aplikasi
zooprofilaksis untuk menurunkan kontak Anopheles dengan orang.
Kelimpahan nisbi tertinggi pada sapi berinsektisida yaitu pada An. sundaicus sebesar 19,44% dan secara berturut-turut An. vagus 7,57%, An. barbirostris 2,70%, An. subpictus 1,68% dan An.aconitus 1,15%. Sapi tidak
berinsektisida memiliki nilai kelimpahan nisbi tertinggi yaitu An. sundaicus sebesar
31,52% kemudian secara berurutan An. vagus 19,57%, An. barbirostris 5,49%, An. subpictus 4,50% dan An.aconitus 2,54%. Hasil ini menunujukkan bahwa sapi tidak
berinsektisida memiliki daya tarik Anopheles lebih tinggi jika dibandingkan dengan
sapi berinsektisida. Hal ini dibuktikan dari lebih tingginya angka kelimpahan nisbi pada sapi tanpa insektisida. Semakin tinggi kelimpahan nisbi berarti semakin besar angka ketertarikan Anopheles pada umpan tersebut. Semakin besar ketertarikan Anopheles menggunakan sapi pada aplikasi zooprofilaksis, maka dapat dikatakan
semakin efektif pula umpan itu sebagai penghalang Anopheles untuk menggigit
19 Tabel 1. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Jenis, Dominansi Jenis dan Indeks
Keanekaragaman jenis Anopheles.
Frekuensi jenis dari spesies Anopheles yang tertangkap menunjukkan An. sundaicus ditemukan pada semua jenis umpan dan waktu penangkapan selama 7
kali berturut-turut. Hasil ini semakin menguatkan bahwa An. sundaicus merupakan
vektor dominan sekaligus vektor utama malaria di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Orang yang dilindungi sapi berinsektisida memiliki nilai frekuensi Anopheles yang lebih tinggi jika
dibandingkan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida. Hasil ini juga mengindikasikan masih lebih besarnya peluang orang yang dilindungi sapi berinsektisida kontak dengan Anopheles. Pada sapi tidak berinsektisida semua jenis Anopheles yang tertangkap memiliki nilai 1,00 yang artinya pada umpan ini semua
jenis Anopheles selalu ditemukan pada seluruh penangkapan. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa sapi tidak berinsektisida lebih disukai oleh Anopheles,
sehingga meminimalkan kontak Anopheles dengan manusia.
Nilai dominansi jenis merupakan parameter keberadaan spesies Anopheles
pada masing-masing jenis umpan. Jika total nilai dominansi jenis sama dengan nilai kelimpahan nisbi maka spesies Anopheles tersebut dikatakan cukup tinggi. Umpan
yang memiliki nilai dominansi jenis sama dengan nilai kelimpahan nisbi pada semua spesies Anopheles adalah pada sapi tidak insektisida. Umpan ini bisa
dikatakan memiliki nilai dominansi spesies Anopheles yang cukup tinggi. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa spesies yang paling dominan adalah An. sundaicus dan ditemukan lebih dari 50% kemudian disusul oleh An. vagus yang
jumlahnya hampir 30%. An. sundaicus merupakan spesies yang dominan
ditemukan dikarenakan banyaknya lagun-lagun dan tambak yang sudah
No Jenis Umpan Spesies Kelimpahan
20
terbengkalai di sekitar lingkungan permukiman warga. Habitat air lagun dan tambak yang terbengkalai merupakan habitat yang sangat cocok sebagai tempat perindukan An. sundaicus (Safitri 2009; Sukowati 2009; Suwito 2010). Selain itu,
di sekitar permukiman juga banyak ditemukan area persawahan yang umumnya setelah selesai musim panen area persawahannya dibiarkan tergenang oleh air hujan. Habitat seperti inilah yang umumnya disukai sebagai tempat perindukan An. vagus. An. vagus menempati posisi terbanyak kedua setelah An. sundaicus dikarenakan
banyaknya persawahan yang dijadikan sebagai tempat perindukan oleh nyamuk tersebut. Pada air tawar An. sundaicus ditemukan bersama-sama dengan A. barbirostris dan An. vagus sedangkan pada air payau An. sundaicus ditemukan
bersama dengan An. subpictus (Shinta et al. 2003). Di Kabupaten Trenggalek
habitat perkembangbiakan An. sundaicus dan An. vagus adalah lagun dengan
tanaman bakau, rumput air dan lumut dengan tingkat salinitas air 9 ‰(Mardiana et al. 2002).
Indeks keanekaragaman jenis Anopheles yang diperoleh dari ke 4 jenis
umpan, termasuk dalam katagori rendah, namun pada sapi memiliki nilai indeks keanekaragaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada orang. Sapi tidak berinsektisida memiliki nilai paling tinggi dari semua jenis umpan. Hasil ini menunjukkan bahwa sapi tidak berinsektisida lebih menarik datangnya Anopheles,
yang ditunjukkan dengan lebih tingginya ragam jenis dan kepadatannya.
Kepadatan Anopheles pada Orang
Rata-rata kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi
berinsektisida baik di dalam maupun di luar rumah menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Rata-rata kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi
berinsektisida rata-rata di luar rumah sebesar 0,24 ± 0,20 nyamuk/orang/jam. Jastal (2005) melaporkan dari delapan spesies Anopheles yang didapatkan di Desa Tongua,
Donggala Sulawesi Tengah juga menunjukkan sifat Anopheles yang lebih banyak
ditemukan mengisap darah di luar rumah. Seiring terpaparnya Anopheles dengan
insektisida pada sapi secara terus menerus meningkatkan populasi Anopheles pada
orang. Populasi Anopheles terjadi penurunan setelah penangkapan ke-5 sampai
penangkapan yang terakhir yaitu penangkapan Anopheles ke-7 (Gambar 8).
Kepadatan Anopheles pada orang di dalam rumah secara keseluruhan
jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah Anopheles di luar rumah.
Kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida rata-rata di
dalam rumah sebesar 0,14 ± 0,14 nyamuk/orang/jam. Hal ini dikarenakan sifat
Anopheles yang umumnya bersifat eksofagik atau lebih menyukai mengisap darah
inang di luar rumah. Sebagaimana dilaporkan oleh Boesri (1999) di Tarahan Lampung Selatan menunjukkan An. sundaicus lebih cenderung mengisap darah di
luar rumah (eksofilik).
Rata-rata kepadatan Anopheles yang mengisap darah orang di dalam rumah
jumlahnya sangat fluktuatif, pada pengambilan awal mengalami peningkatan populasi, namun pada pengambilan ke-2 sampai ke-4 mengalami penurunan populasi Anopheles. Pengambilan ke-5 terjadi peningkatan populasi Anopheles
21
Fluktuasi kepadatan Anopheles ini dapat disebabkan oleh pengaruh curah
hujan yang mempengaruhi keberadaan tempat perindukan Anopheles. Semakin
tinggi curah hujan maka peluang terbentuknya tempat perindukan Anopheles akan
semakin besar. Hal ini dikarenakan terbentuknya genangan-genangan air pada area persawahan, lagun dan tambak yang banyak terdapat di sekitar lokasi penelitian. Penangkapan Anopheles ke-5 dilakukan pada akhir bulan Agustus 2014 yang
memiliki intensitas hujan cukup tinggi. Suwito (2010) di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung melaporkan semakin tinggi curah hujan maka akan menaikan kepadatan populasi Anopheles, demikian juga
sebaliknya rendahnya curah hujan mengurangi kepadatan populasi Anopheles.
Selain itu, kasus malaria di Kokap Kabupaten Kulonprogo meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi (Suwasono 2000).
Kepadatan rata-rata Anopheles yang tertangkap pada orang yang dilindungi
sapi tidak berinsektisida secara keseluruhan lebih sedikit jika dibandingkan pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida. Pada aplikasi ini tidak semua penangkapan ditemukan Anopheles pada orang di dalam maupun di luar rumah.
Hasil ini mengindikasikan bahwa peluang Anopheles kontak dengan orang yang
dilindungi sapi tidak berinsektisida lebih kecil jika dibandingkan dengan orang yang dilindungi sapi berinsektisida.
Kepadatan Anopheles pada orang di luar rumah cenderung fluktuatif,
bahkan pada beberapa penangkapan yaitu penangkapan ke-2, 3, 4 dan 7 tidak ditemukan Anopheles. Jumlah Anopheles yang tertangkap pada beberapa
penangkapan jumlahnya cenderung tetap (Gambar 9). Rata-rata kepadatan
Anopheles di luar rumah sebesar 0,05 ± 0,06 nyamuk/orang/jam. Keberadaan
nyamuk pada orang di luar rumah dimungkinkan karena tingginya populasi nyamuk pada saat pengambilan data. Tingginya populasi Anopheles ini sangat erat kaitannya
dengan ketersediaan tempat perindukannya. Semakin banyak tempat perindukan nyamuk maka populasi nyamuk juga akan semakin tinggi.
Gambar 8. Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi