• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Gas Rumah Kaca (CH4, CO2 dan N2O) dari Feses Sapi FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah dan Jerami Padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Gas Rumah Kaca (CH4, CO2 dan N2O) dari Feses Sapi FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah dan Jerami Padi"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI GAS RUMAH KACA (CH

4

, CO

2

DAN N

2

O) DARI

FESES SAPI FH LAKTASI YANG DIBERI PAKAN

RUMPUT GAJAH DAN JERAMI PADI

RIA PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Gas Rumah Kaca (CH4, CO2 dan N2O) dari Feses Sapi FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput

Gajah dan Jerami Padi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Ria Puspitasari

(4)

RINGKASAN

RIA PUSPITASARI. Evaluasi Gas Rumah Kaca (CH4, CO2 dan N2O) dari Feses

Sapi FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah dan Jerami Padi. Dibimbing oleh MULADNO, AFTON ATABANY dan SALUNDIK.

Sektor peternakan merupakan salah satu sektor yang berpotensi menghasilkan gas rumah kaca yang berasal dari limbah feses. Salah satu jenis sapi perah yang banyak diternakkan di Indonesia adalah sapi perah FH (Frisien Holstein). Rataan produksi feses sapi perah FH sekitar 18.45-36.9 kg per hari. Feses sapi perah menghasilkan gas rumah kaca utama yaitu CH4, CO2 dan N2O.

Feses ternak baik padat maupun cair memiliki potensi untuk mengemisikan gas CH4, CO2 dan N2O. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gas rumah kaca

(CH4, CO2 dan N2O) dari feses sapi perah FH laktasi yang diberi pakan rumput

gajah dan jerami padi.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September sampai Desember 2014 di Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah (KUNAK) dan Laboratorium Pengolahan Limbah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Metode pengukuran gas mengikuti metode BALINGTAN yaitu feses sapi FH laktasi dikoleksi sebanyak 1 kg dalam 24 jam dan diinkubasi selama 8 minggu untuk diukur gas yang dihasilkan dengan menggunakan gas kromatografi. Rancangan yang digunakan adalah RAL repeated measurements dengan 3 perlakuan pakan yaitu JP (100% jerami padi), RG (100% rumput gajah) dan JPRG (50% jerami padi+50% rumput gajah). Variabel yang diamati meliputi gas CH4, CO2, N2O, gas ammonia (NH3),

kandungan C organik dan N feses, kandungan ADF dan NDF feses, bobot badan sapi perah, proksimat pakan, proksimat feses, total bahan organik feses, jumlah feses selama 24 jam dan konsumsi pakan.

Hasil penelitian menunjukkan total gas CH4 dan CO2 yang dihasilkan dari

feses sapi FH laktasi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) pada masing-masing perlakuan sedangkan gas N2O berbeda nyata (P<0.05) dengan

produksi gas tertinggi pada perlakuan JP. Pemberian pakan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap produksi gas CH4 yang dihasilkan pada minggu

pertama (P<0.05) sedangkan untuk minggu kedua sampai minggu terakhir penelitian tidak nyata (P>0.05). Minggu pertama pengukuran produksi gas CH4

dihasilkan tertinggi pada ternak sapi perah FH yang diberikan pakan jerami padi diikuti dengan pakan campuran rumput gajah dan jerami padi sedangkan ternak yang diberi pakan rumput gajah menghasilkan gas CH4 yang lebih rendah.

Selanjutnya produksi gas CO2, pada minggu pertama sampai minggu ketiga

menunjukkan adanya peningkatan produksi gas CO2 dari semua perlakuan.

Selanjutnya pada minggu ketiga sampai minggu keenam menunjukkan adanya penurunan produksi gas dan kembali mengalami peningkatan sampai minggu terakhir inkubasi. Puncak produksi gas CO2 pada semua perlakuan terjadi pada

minggu ketiga, hal ini menunjukkan masih tingginya kandungan bahan organik yang mudah dicerna seperti energi dan protein dan mengalami penurunan produksi dikarenakan substrat mudah dicerna menurun. Produksi gas rumah kaca berkaitan dengan substrat yang dimanfaatkan oleh bakteri dimana proses degradasi kandungan serat lebih lama sehingga produksi gas CO2 yang dihasilkan

(5)

yang berasal dari pakan jerami padi (P<0.05). Tinggi rendahnya produksi gas N2O

dipengaruhi oleh konsentrasi NH3 dan kandungan N feses serta peran mikroba

selama proses inkubasi feses. Secara umum, produksi gas rumah kaca CH4 dan

CO2 yang dihasilkan dari feses sapi FH laktasi lebih tinggi dibandingkan gas N2O.

Gas rumah kaca yang dihasilkan dari feses sangat berkaitan dengan kandungan bahan organik dan substrat mudah dicerna serta lama fermentasi. Feses dari sapi FH laktasi yang diberikan pakan jerami padi, rumput gajah dan kombinasi keduanya berpotensi menghasilkan gas rumah kaca.

Simpulan dalam penelitian ini, produksi gas rumah kaca yang dihasilkan dari feses sapi perah FH laktasi dengan pemberian pakan jerami padi, rumput gajah, dan kombinasi keduanya menghasilkan gas CH4 dan CO2 yang sama akan

tetapi gas N2O dihasilkan lebih tinggi pada perlakuan jerami padi dengan puncak

produksi pada minggu ketiga. Inkubasi selama 8 minggu menunjukkan terjadinya penurunan gas CH4 dan N2O serta menurunkan kandungan bahan organik, C

organik, N dan NH3 feses.

(6)

SUMMARY

RIA PUSPITASARI. Evaluation of Greenhouse Gases (CH4, CO2 and N2O) from

Lactating Dairy Cow Feces with Elephant Grass and Rice Straw Diet. Supervised by MULADNO, AFTON ATABANY and SALUNDIK. lactating dairy cow feces that fed with elephant grass (EG) and rice straw (RS).

This experiment was conducted from September to December 2014 in KUNAK, Animal Waste Processing and PAU Laboratory of Bogor Agriculture University, and Greenhouse Gases Laboratory of BALINGTAN. BALINGTAN method in measuring greenhouse gases was used in this research. Feces were collected as much as 1 kg in 24 hours and incubated for 8 weeks to measure greenhouse gases. CRD (complete random design) repeated measurements was used with 3 treatments : RS (100% rice straw), EG (100% elephant grass) and RSEG (50% rice straw+50% elephant grass). Measured variables were greenhouse gases (CH4, CO2, N2O), proximate feed analysis, feces proximate

analysis, total of feces organic matter, C organic feces, N feces, ammonia (NH3)

concentration, feces weight in 24 hours, dairy cows body weights, and feed consumption.

The result showed that CH4 gas production from lactating dairy cow feces

had no significant effect in each treatment (P>0.05). There was no differences on the CO2 production (P>0.05) between RS, EG, and RSEG but N2O production

was higher in RS (P<0.05) than EG and RSEG. Different feeding significantly affected CH4 gas production in the first week (P<0.05), while for the second week

until the last week of the study was not significant effect (P>0.05). The first week of CH4 measurement, generated the highest production on dairy cows in RS

treatment and followed by RSEG, while EG treatment produces CH4 lower than

RS and RSEG. Furthermore, CO2 production in the first week to the third week

showed an increase volume in all treatments. In the third week until the sixth week showed a decline in CO2 gas production and increased back on the last week

of incubation. Peak production of CO2 gas in all treatments occurred in the third

week, it demonstrated the high content of digestible organic matter such as energy and protein and the declined of CO2 production caused by decreasing of digestible

substrate. Production of greenhouse gases associated with the substrate that used by the bacteria which is the fiber has longer degradation process so CO2 gas

produced slower. Furthermore, the highest production of N2O gas was produced

from RS treatment (P<0.05). Fluctuation of N2O gas production was influenced

by the concentration of NH3, N content of feces and the role of microbes during

the feces incubation process. Generally, the production of CH4 and CO2 produced

from dairy cows lactating feces was higher than N2O. The greenhouse gases

(7)

substrate, and length of fermentation. Lactating dairy cow feces with elephant grass and rice straw diet potential in produces greenhouse gases.

It can be concluded that greenhouse gases production from lactating dairy cow feces from RS, EG and RSEG produces CH4 and CO2 equally but N2O was

produced higher in RS treatment. The incubation process for 8 weeks showed a decreased of CH4 and N2O, feces’s substrate and organic matters, C organic, N

and NH3.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

EVALUASI GAS RUMAH KACA (CH

4

, CO

2

DAN N

2

O) DARI

FESES SAPI FH LAKTASI YANG DIBERI PAKAN

RUMPUT GAJAH DAN JERAMI PADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Evaluasi Gas Rumah Kaca (CH4, CO2 dan N2O) dari Feses Sapi

FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah dan Jerami Padi Nama : Ria Puspitasari

NIM : D151130031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua

Dr Ir Afton Atabany, MSi Anggota

Dr Ir Salundik, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Desember 2014 ini adalah Evaluasi Gas Rumah Kaca (CH4, CO2 dan N2O) dari Feses Sapi

FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah dan Jerami Padi. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan beasiswa Magister BPPDN dan bantuan dana penelitian melalui program BOPTN atas nama Dr Ir Afton Atabany, MSi. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Muladno, MSA, Bapak Dr Ir Afton Atabany, MSi dan Bapak Dr Ir Salundik, MSi selaku komisi pembimbing atas curahan waktu, arahan, bimbingan, dan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Asnath Maria Fuah, MS atas kesediaan waktunya menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis serta atas saran dan masukannya pada penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Windi Alzahra, SPt MSc, Ibu Endang (Laboratorium PAU IPB), Ibu Dian (Laboratorium Nutrisi IPB), Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (BALINGTAN) dan Khaeriyah Nur, SPt atas bantuannya selama penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Salundik, MSi selaku Ketua Program Studi ITP, Ibu Dr Ir Niken Ulupi, MS selaku Sekretaris Program Studi ITP serta jajarannya (Mbak Okta dan Ibu Ade).

Penulis menyampaikan terima kasih kepada ayahanda Yuhin dan ibunda Torya, kakak (Desmi Haryati dan Robert Junanto), keponakan (Bianca Delvanessa Aurelia dan Dylan Raffasya Muazzam), Putra Karyadi serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan motivasinya. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi Pasca ITP angkatan 2013 atas kebersamaannya dalam diskusi-diskusi selama ini dan semoga persahabatan serta kerjasama ini tetap terjalin pada waktu mendatang. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terkait dengan penyelesaian studi, penelitian dan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

METODE 4

Waktu dan Lokasi Penelitian 4

Bahan 4

Alat 4

Prosedur 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kandungan Nutrisi Pakan 8

Kandungan Nutrisi Feses Sapi FH Laktasi Sebelum dan Sesudah

Inkubasi 9

Gas Metana (CH4) 11

Gas Karbon Dioksida (CO2) 14

Gas Dinitro Oksida (N2O) 17

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian 8

2 Bobot badan, konsumsi pakan dan bobot feses sapi FH laktasi

penelitian 8

3 Analisa proksimat feses sapi FH dalam bentuk segar sebelum dan

sesudah inkubasi 9

4 Kandungan total bahan organik feses sapi FH sebelum dan sesudah

inkubasi 10

5 Kandungan serat NDF, ADF dan hemiselulosa feses sapi FH penelitian 10 6 Produksi gas CH4 feses sapi FH laktasi selama penelitian 11

7 Kandungan C organik feses sapi FH laktasi sebelum dan sesudah

inkubasi 14

8 Produksi gas CO2 feses sapi FH laktasi selama penelitian 15

9 Produksi gas N2O feses sapi FH laktasi selama penelitian 17

10 Kandungan N feses sapi FH laktasi sebelum dan sesudah inkubasi 19 11 Produksi gas amonia (NH3) feses sapi FH laktasi selama penelitian 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 3

2 Produksi gas CH4 feses sapi FH laktasi selama penelitian 12

3 Produksi gas CO2 feses sapi FH laktasi selama penelitian 16

4 Proses nitrifikasi dan denitrifikasi 17

5 Produksi gas N2O feses sapi FH laktasi selama penelitian 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sapi FH penelitian dengan perlakuan pakan rumput gajah (RG) 24 2 Sapi FH penelitin perlakuan pakan jerami padi (JP) dan kombinasi

jerami padi dan rumput gajah (JPRG) 24

3 Alat inkubasi feses (sungkup tertutup) 25

4 Proses inkubasi feses untuk koleksi gas rumah kaca 25 5 Proses pengambilan gas rumah kaca pada alat inkubasi dengan

syringe 26

6 Koleksi gas rumah kaca dalam vacumtube untuk dianalisis dengan

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global (global warming) merupakan suatu kondisi terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari yang dipancarkan oleh bumi akibat tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sehingga tidak dapat dilepas di angkasa dan mengakibatkan suhu permukaan bumi meningkat. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca akan menyebabkan energi dari sinar matahari tidak dapat terpantul keluar bumi.

Pada keadaan normal, energi matahari akan dipantulkan kembali dalam bentuk infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Adanya gas rumah kaca, sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas-gas rumah kaca untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Oleh karena itu akan terjadi peningkatan suhu di permukaan bumi yang menyebabkan pemanasan global (Rukaesih 2004). Peningkatan suhu ini menyebabkan efek lanjutan seperti mencairnya es di kutub, kenaikan muka air laut, mengganggu pertanian, peternakan, dan secara tidak langsung akhirnya berdampak pada ekonomi suatu negara (Darwin 2004).

Gas rumah kaca paling berkontribusi terhadap gejala pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O),

perfluorkarbon (PFC), hidrofluokarbon (HFC), dan sulfurheksfluorida (SF6)

(Kumar dan Nain 2010). Gas rumah kaca tersebut muncul secara alami di lingkungan dan juga akibat aktivitas manusia.

Sektor peternakan merupakan penyumbang polusi di atmosfer yang terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), dan amonia

(NH3) (Samer 2013). Gas CO2, CH4, dan N2O dari sektor peternakan

berkontribusi menyebabkan pemanasan global mencapai 18%. Gas N2O yang

berasal dari limbah peternakan berkontribusi 30%-50% terhadap total emisi N2O

secara global (Oenema et al. 2005).

Di Inggris pada tahun 2007 penanganan dan aplikasi dari limbah peternakan berkontribusi sebesar 16% emisi N2O dari total emisi N2O dari sektor pertanian

(UNFCC 2009; MacCarthy et al. 2010) sedangkan CH4 menyumbangkan emisi

sebesar 12%-41% dari total sektor pertanian (Chadwick et al. 2011). IPCC (2007) melaporkan bahwa adanya efek gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata suhu bumi sebesar 0.74±0.18 oC. Sektor peternakan, khususnya ternak ruminansia berkontribusi menyumbangkan gas rumah kaca di atmosfer berasal dari pernafasan ternak, penggunaan lahan, dan feses.

(16)

2

Feses sapi perah menghasilkan gas rumah kaca utama yaitu CH4, CO2 dan

N2O. Menurut IPCC (2012) feses ternak baik padat maupun cair memiliki potensi

untuk mengemisikan gas CH4 dan N2O selama proses penyimpanan, pengolahan,

penumpukan atau pengendapan yang dipengaruhi oleh jumlah feses yang dihasilkan dan jenis ternak. Kurangnya penanganan limbah feses ternak berpotensi untuk menyumbangkan gas rumah kaca lebih besar lagi. Hal ini dikarenakan gas rumah kaca berupa CH4, CO2 dan N2O dihasilkan dari proses

perombakan feses ternak. Produksi CH4 dari feses ternak dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti suhu, komposisi biomassa dan penanganan feses ternak. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari feses ternak bervariasi tergantung pada jenis pakan yang diberikan, status fisiologis dan manajemen penanganan feses. Jenis pakan yang bernutrisi tinggi cenderung menghasilkan produksi metana dalam jumlah yang rendah (Bamualim et al. 2008) seperti pakan konsentrat sedangkan pakan hijauan menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi terutama pakan hijauan yang tinggi serat kasar.

Perkembangan di peternakan rakyat banyak yang memanfaatkan pakan hijauan berupa rumput gajah dan jerami padi atau limbah hijauan yang bernutrisi rendah sehingga berpotensi menyumbangkan gas rumah kaca lebih tinggi. Tingginya persentase pemberian hijauan segar pada ternak sapi perah mencapai 3.5% bahan kering dari bobot badan semakin berpotensi meningkatkan gas rumah kaca. Pemanfaatan limbah jerami padi pada peternakan sapi perah FH dikarenakan kurangnya lahan untuk menanam rumput gajah dan mengurangi biaya pembelian rumput. Harga jerami padi relatif lebih murah dibandingkan dengan rumput gajah. Berdasarkan FAO (2006) penanganan limbah peternakan berkontribusi 35%-40% terhadap produksi gas metana. Secara umum, CO2, CH4 dan N2O

berkontribusi masing-masing sebesar 60%, 15% dan 5% terhadap pemanasan global (Guo dan Zhou 2007). Chadwick et al. (2011) menyatakan bahwa limbah peternakan berupa feses yang diolah, feses yang ditumpuk dan feses yang disebarkan di lahan menghasilkan gas rumah kaca. Hal ini berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca secara nasional yang berdampak terhadap pemanasan global. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan dapat berinteraksi dan mempengaruhi lingkungan sekitar peternakan seperti berdampak terhadap suhu kandang dan pencemaran udara (Chadwick et al. 2011).

Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi gas rumah kaca yang dihasilkan dari feses sapi perah FH laktasi dengan pemberian pakan hijauan yang berbeda yaitu rumput gajah dan jerami padi. Diharapkan data dari penelitian ini dapat digunakan sebagai database emisi gas rumah kaca sapi perah FH di Indonesia. Pengamatan yang dilakukan meliputi produksi gas CH4, CO2, N2O, proksimat

(17)

3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gas rumah kaca (CH4, CO2 dan

N2O) yang dihasilkan dari feses sapi perah FH laktasi yang diberi pakan rumput

gajah dan jerami padi.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai gas rumah kaca (CH4, CO2 dan N2O) yang dihasilkan dari feses sapi perah FH laktasi

yang diberi pakan rumput gajah dan jerami padi serta menjadi database gas rumah kaca dari feses sapi perah FH di Indonesia sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam inventarisasi gas rumah kaca dari feses sapi perah FH.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Penelitian ini diawali dengan pengukuran bobot badan sapi perah FH laktasi untuk dasar penentuan pemberian pakan yaitu 3.5% bahan kering dari bobot badan sapi.

(18)

4

Selanjutnya dilakukan pemeliharaan sapi selama 5 hari dengan pakan perlakuan dan pengukuran konsumsi pakan, bobot feses total serta proksimat pakan yang digunakan. Tahapan berikutnya pengambilan sampel feses sapi FH laktasi yang kemudian dilakukan analisis proksimat pakan dan feses, ADF (acid detergent fiber) dan NDF (neutral detergent fiber) feses, C organik feses, N feses dan amonia (sebelum inkubasi). Feses sapi selanjutnya diinkubasi selama 8 minggu untuk pengukuran gas rumah kaca yaitu CH4, CO2 dan N2O yang

dilakukan per minggu. Setelah proses inkubasi 8 minggu selesai dilakukan pengukuran amonia, C organik, N dan proksimat feses (sesudah inkubasi).

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan September sampai Desember 2014. Penelitian dilaksanakan di Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah (KUNAK), di Laboratorium Pengolahan Limbah dan Laboratorium Nutrisi Sapi Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, di Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Gas Rumah Kaca Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (BALINGTAN).

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah feses sapi perah FH yang berasal dari 12 ekor sapi perah FH laktasi (laktasi keempat), rumput gajah, jerami padi, konsentrat, ampas tahu, dan air.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penampung dan inkubasi feses sapi (sungkup tertutup), termometer alkohol, tabung vial kaca ukuran 10 ml, sterofoam, syringe merk BD (Becton dickinson) ukuran 10 ml,

vacumtube 10 ml, alumunium foil, plastik wrap, boks plastik, timbangan digital 1000 g, timbangan digital 50 kg, cawan Conway, alat titrasi, peralatan proksimat, spektrofotometer, labu kjeldahl, seperangkat alat destilasi. Alat yang digunakan untuk analisis gas rumah kaca adalah gas kromatografi.

Prosedur

Persiapan Penelitian

(19)

5 Penimbangan bobot feses yang dihasilkan dalam 24 jam serta pengukuran suhu dan kelembapan lingkungan kandang. Berikut ini rumus estimasi bobot badan dari lingkar dada (Gafar 2007) : masing perlakuan pakan terdiri dari 4 ekor ternak). Pakan yang diberikan berupa rumput gajah, jerami padi, konsentrat dan ampas tahu serta pemberian air secara

adlibitum.

Pemberian pakan ternak dalam sehari dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pagi dan sore hari setelah proses pemerahan susu. Pakan konsentrat dan ampas tahu dicampur dan diberikan terlebih dahulu pada ternak sapi FH laktasi baru kemudian diberikan pakan hijauan. Feses yang dihasilkan sapi FH laktasi dalam 24 jam ditimbang dan diambil per individu sapi sebanyak 1 kg pada pagi, siang, sore dan malam hari untuk selanjutnya diinkubasi selama 8 minggu.

Koleksi Feses Segar

Feses segar diperoleh dari feses ternak yang dikeluarkan oleh sapi perah FH laktasi selama 24 jam dengan waktu koleksi yaitu pada pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari. Feses yang diperoleh selama 24 jam ditimbang untuk mengetahui bobot total feses.

Feses ditampung menggunakan alat penampung berupa ember plastik dan ditimbang sebanyak 1 kg kemudian dimasukkan ke dalam alat inkubasi feses ternak yang terbuat dari paralon 6 inchi yang di desain kedap udara (anaerob) agar gas yang dihasilkan tidak keluar. Feses tersebut diinkubasi (fermentasi anaerobik) selama 8 minggu untuk dianalisis produksi gas rumah kaca yang dihasilkan. Gas rumah kaca dari tabung inkubasi diukur setiap satu minggu sekali dengan interval waktu pengambilan gas dari inkubasi yaitu per 5 menit (2 kali pengambilan). Suhu feses yang diinkubasi juga dilihat setiap hari sampai proses inkubasi selesai. Setiap satu minggu sekali selama 8 minggu sampel feses sapi perah FH yang diinkubasi diambil gasnya untuk dianalisis dengan menggunakan gas kromatografi.

Alat Inkubasi untuk Gas Rumah Kaca (Sungkup Gas Rumah Kaca)

Alat inkubasi untuk gas rumah kaca di desain dengan menggunakan paralon 6 inchi (diameter 6 inchi) dan tinggi paralon 35 cm. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam pembuatan alat inkubasi terdiri atas paralon ukuran 6 inchi, dop ukuran 6 inchi, vacumtube 3 ml, karet setup, bor, gergaji besi, termometer alkohol, lem paralon, lem kaca dan ember plastik berwarna hitam.

Peubah

Peubah yang diukur pada penelitian ini terdiri atas produksi gas CH4, CO2

(20)

6

badan sapi perah, jumlah feses sapi FH selama 24 jam, konsumsi pakan, kandungan ADF (acid detergent fiber) dan NDF (neutral detergent fiber) feses, kandungan C organik, kandungan N feses dan gas amonia (NH3).

Pengambilan Sampel Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca yang dikoleksi dari feses ternak segar dianalisis di Laboratorium Gas Rumah Kaca BALINGTAN yang meliputi gas CH4, CO2 dan

N2O. Analisis gas dilakukan dengan menggunakan gas kromatografi. Cara koleksi

gas sebelum dianalisis adalah dengan menggunakan syringe merek BD (Becton dickinson) ukuran 10 ml yang disuntikkan ke alat inkubasi feses sapi FH kemudian dimasukkan ke dalam botol vial vakum atau vacumtube ukuran 10 ml yang kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis gas menggunakan gas kromatografi. Setiap satu sampel yang dianalisis akan menghasilkan konsentrasi gas CH4 (satuan ppm), CO2 (satuan ppm) dan N2O (satuan ppb).

Analisis Gas Amonia (NH3)

Pengukuran gas amonia dari feses sapi FH dianalisis dengan tehnik mikro difusi Conway (Conway 1958). Analisis menggunakan cawan Conway melingkar yang terdiri dari dua bagian yaitu tengah dan tepi yang dibatasi oleh sekat. Sampel feses sebelumnya diinkubasi selama 48 jam dan diambil supernatan sampel sebanyak 1 ml kemudian dicampurkan dengan NaOH dan dihomogenkan. Hasil campuran diinkubasi kembali selama 24 jam dan dititrasi dengan HCl (normalitas 0.01 N) hingga berubah warna menjadi merah muda. Perhitungan konsentrasi gas amonia mengikuti rumus sebagai berikut:

Gas amonia (m.mol) = ml titrasi x normalitas HCl x 1000 Analisis C Organik dan N Feses

Analisis C organik feses sapi perah FH dengan menggunakan spektrofotometer sedangkan analisis N feses dengan metode Kjedahl. Hasil analisis C organik dan N total feses yang diperoleh digunakan sebagai parameter untuk melihat potensi gas rumah kaca yang dihasilkan.

Analisis NDF dan ADF Feses

(21)

7 Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) repeated dengan perlakuan pemberian pakan hijauan rumput gajah dan jerami padi sapi perah FH laktasi, model matematis sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995):

Yijk = µ + τi + ij+ tk + (τ*t)ik + ijk Keterangan :

i : perlakuan pakan ke-i (i = JP, RG, JPRG) j : unit ulangan ke-j

k : periode inkubasi ke-t (t = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8)

Yij : pengamatan pada perlakuan pakan ke-i dan ulangan ke-j µ : nilai tengah umum

τi : pengaruh perlakuan pakan ke-i tk : pengaruh periode waktu ke-k

δij : pengaruh acak subjek ke-j pada perlakuan ke-i

(τ*t)ik :pengaruh interaksi antara perlakuan ke-i dan periode waktu ke-k

ɛijk : galat perlakuan pakan ke-i dan ulangan ke-j

Penelitian terdiri atas 3 perlakuan dengan ulangan masing-masing sebanyak 4 ekor yaitu:

JP RG JPRG

: sapi perah FH laktasi dengan pakan hijauan berupa jerami padi 100%+ konsentrat+ampas tahu.

: sapi perah FH laktasi dengan pakan hijauan berupa rumput gajah 100%+ konsentrat+ampas tahu.

: sapi perah FH laktasi dengan pakan hijauan berupa jerami padi 50% dan rumput gajah 50%+konsentrat+ampas tahu.

(22)

8

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrisi Pakan

Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian hasil analisa proksimat disajikan pada Tabel 1. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa kandungan nutrisi rumput gajah, jerami padi, ampas tahu dan konsentrat berbeda. Kandungan bahan kering rumput gajah lebih rendah yaitu 25.47% dibandingkan jerami padi (38.74%) dan konsentrat (87.58%) akan tetapi lebih tinggi dibandingkan ampas tahu (20.83%). Menurut McDonald et al. (1988) rumput gajah segar memiliki kandungan air yang tinggi (81.50%) dan bahan kering yang rendah (18.50%) sedangkan jerami padi kandungan air lebih rendah dan bahan kering lebih tinggi dibandingkan rumput gajah. Menurut Philippe dan Nicks (2014) kandungan nutrisi pakan seperti protein dan serat kasar berkontribusi terhadap produksi gas rumah kaca.

Tabel 1 Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian Bahan pakan Kadar

Keterangan: Hasil analisa proksimat laboratorium PAU IPB, BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen)

Kandungan protein kasar rumput gajah lebih tinggi dibandingkan dengan jerami padi akan tetapi kandungan serat kasar jerami padi lebih tinggi dari rumput gajah. Doyle et al. (1986) menyatakan jerami padi umumnya rendah kandungan protein kasar 2.2%-9.5% dengan kandungan hemiselulosa 21%-29%, lignin 4%-8% serta kecernaan bahan organik 31%-54%-8%. Hasil protein kasar jerami padi pada penelitian ini relatif lebih rendah yaitu 1.86%.

Tabel 2 Bobot badan, konsumsi pakan dan bobot feses sapi FH laktasi penelitian

Parameter JP RG JPRG

(23)

9 dan 19.56 kg JPRG atau persentase bobot feses dari pakan yang dikonsumsi yaitu perlakuan pakan JP 36.02%, pakan RG 34.96 dan pakan JPRG 30.81%. Berdasarkan hasil ini dapat dilihat bahwa konsumsi pakan dan bobot feses tertinggi yaitu pada sapi FH laktasi dengan perlakuan JPRG. Jenis pakan hijauan yang digunakan adalah jerami padi dan rumput gajah. Kedua jenis hijauan ini umum diberikan sebagai pakan ternak dikarenakan kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan yang melimpah akan tetapi tingginya kandungan serat berpotensi menghasilkan gas rumah kaca CH4,CO2 danN2O.

Kandungan Nutrisi Feses Sapi FH Laktasi Sebelum dan Sesudah Inkubasi

Selain analisa proksimat pakan, feses dari 3 perlakuan juga dianalisa proksimat. Hasil analisa proksimat penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

(24)

10

Kandungan nutrisi feses berpengaruh terhadap produksi gas yang dihasilkan dari feses sapi FH laktasi. Nutrisi yang terkandung dalam feses merupakan media pertumbuhan bagi bakteri. Philippe dan Nicks (2014) menyatakan bahwa gas rumah kaca dihasilkan dari degradasi bahan organik pada feses oleh bakteri. Kandungan serat kasar yang tinggi akan meningkatkan produksi gas rumah kaca baik secara enterik maupun dari kotoran ternak. Berdasarkan hasil penelitian, kandungan protein dan serat kasar feses sebelum dan sesudah inkubasi paling tinggi pada perlakuan dengan pakan rumput gajah.

Selain kandungan serat kasar, total kandungan bahan organik feses berkontribusi terhadap total gas yang dihasilkan. Bahan organik merupakan sumber nutrisi bagi mikroba dalam memproduksi gas. Adapun bahan organik yang terkandung dalam feses sapi meliputi kandungan lemak, protein kasar, serat kasar dan BETN. Total bahan organik feses penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan total bahan organik feses sapi FH sebelum dan sesudah

Keterangan: JP (jerami padi 100%), RG (rumput gajah 100%), JPRG (kombinasi jerami padi 50% dan rumput gajah 50%), BO (bahan organik)

Berdasarkan Tabel 4, total bahan organik (BO) sebelum dan sesudah inkubasi mengalami penurunan. Penurunan BO tertinggi pada perlakuan JPRG. Hal ini menunjukkan proses degradasi BO lebih banyak terjadi dibandingkan perlakuan lainnya. Total BO yang lebih banyak didegradasi cenderung menghasilkan gas yang lebih banyak. Berdasarkan penelitian ini, total BO feses yang lebih banyak didegradasi pada perlakuan JP dan JPRG sedangkan RG lebih rendah. Hal ini terlihat dari tingginya penurunan BO feses sesudah diinkubasi selama 8 minggu. Penurunan BO tertinggi yaitu perlakuan JPRG (64.61 g) diikuti JP (49.83 g) dan RG (32.49 g).

Kandungan serat ADF dan NDF jerami padi dan rumput gajah disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, kandungan serat NDF dan ADF paling banyak terdapat pada feses dengan perlakuan pakan kombinasi antara rumput gajah dan jerami padi sedangkan kandungan NDF dan ADF paling rendah yaitu pada feses jerami padi.

Tabel 5 Kandungan serat NDF, ADF dan hemiselulosa feses sapi FH penelitian

Analisa serat JP RG JPRG

NDF (%)* 68.05 73.74 76.45

ADF (%)* 61.10 61.91 66.73

Hemiselulosa (%)* 6.95 11.83 9.72

(25)

11 Serat NDF dan ADF merupakan fraksi dari serat kasar. Kedua jenis serat ini merupakan jenis serat yang terkandung pada pakan hijauan. Toharmat et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan ADF jerami padi 52.29% dan rumput gajah 49.98% dari bahan kering. Secara umum kandungan ADF dan NDF dalam pakan berbeda dengan yang terkandung pada feses. Hal ini terkait dengan tingkat kecernaan pakan. Kandungan NDF dan ADF feses dalam penelitian ini lebih dari 60%. Tingginya kandungan NDF dan ADF pada feses penelitian ini dikarenakan serat kasar pakan juga tinggi.

Gas Metana (CH4)

Level produksi CH4 yang dihasilkan ternak dipengaruhi oleh kandungan

serat pada pakan yang dikonsumsinya. Menurut Haryanto dan Thalib (2009) jenis pakan yang dikonsumsi ternak, terutama kandungan bahan organik dan serat mempengaruhi besarnya produksi gas metana. Semakin tinggi kandungan serat kasar maka semakin besar gas metana yang dihasilkan. Peningkatan konsumsi serat kasar berkaitan dengan terjadinya peningkatan produksi CH4 (Philippe dan

Nicks 2014). Produksi gas CH4 yang dihasilkan selama penelitian disajikan pada

Tabel 6.

Tabel 6 Produksi gas CH4 feses sapi FH laktasi selama penelitian

Minggu Rataan Gas CH4 (ppm)

JP RG JPRG

1 17 481.75± 1 722.21a 11 107.63± 1 823.90b 15 558.63± 6 149.91a

2 21 508.75± 2 729.84 19 386.50± 8 755.22 22 108.88± 6 342.91

3 35 204.38± 6 451.22 28 601.00± 8 950.74 32 467.50±11 160.90

4 53 817.88±16 230.70 37 635.25±18 810.20 62 148.50±37 410.20

5 106 577.13±87 136.70 51 394.25±30 225.80 116 149.75±53 187.90

6 126 053.50±97 352.50 85 681.88±70 587.10 94 927.88±82 521.10

7 172 267.50±74 972.80 136 878.50±67 931.60 221 029.38±45 534.80

8 148 969.38±26 926.10 128 061.25±58 562.30 155 089.88±38 171.80

Total 2 727 521.00±73 568.65 1 994 985.00±57 333.83 2 877 921.50±76 902.85

(26)

12

Gambar 2 Produksi gas CH4 feses sapi FH laktasi selama penelitian

Pemberian pakan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap produksi gas CH4 yang dihasilkan pada minggu pertama (P<0.05) sedangkan untuk minggu

kedua sampai minggu terakhir serta total gas yang dihasilkan selama penelitian tidak berbeda nyata (P>0.05). Minggu pertama pengukuran produksi gas CH4

dihasilkan tertinggi pada ternak sapi perah FH laktasi yang diberikan pakan jerami padi (JP) diikuti dengan pakan kombinasi antara rumput gajah dan jerami padi (JPRG) sedangkan ternak yang diberi pakan rumput gajah (RG) menghasilkan gas CH4 yang lebih rendah. Perbedaan produksi gas CH4 pada minggu pertama ini

dikarenakan adanya proses degradasi bahan organik yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Proses degradasi yang terjadi dipengaruhi oleh kemampuan bakteri dalam merombak bahan organik yaitu serat kasar, protein kasar dan lemak kasar menjadi asam asetat sehingga dihasilkan gas CH4. Total bahan organik

perlakuan JP dan JPRG lebih tinggi dibandingkan RG. Grady et al. (1999) menyatakan bahwa gas CH4 dihasilkan pada tahapan metanogenesis yaitu

merubah asam asetat yang berasal dari perombakan bahan organik dengan bantuan bakteri metanogenik sehingga dihasilkan gas CH4. Perbedaan gas yang

dihasilkan pada minggu pertama ini juga sesuai dengan pendapat Philippe dan Nicks (2014) bahwa pakan yang kandungan serat kasarnya lebih tinggi akan menghasilkan produksi gas CH4 yang lebih banyak. Hasil analisa proksimat pakan

menunjukkan bahwa serat kasar jerami padi lebih tinggi dibandingkan rumput gajah (Tabel 1) begitu juga dengan serat kasar yang terkandung dalam feses (Tabel 3). Prayitno et al. (2014) menyatakan bahwa produksi CH4 sangat

tergantung pada jenis pakan yang diberikan. Umumnya pakan berserat akan menghasilkan CH4 lebih tinggi dibandingkan pakan asal biji-bijian.

Gas CH4 pada limbah ternak dihasilkan dari proses dekomposisi bahan

organik yang terkandung pada limbah melalui proses fermentasi (IPCC 2006). Proses fermentasi pada penelitian ini merupakan proses fermentasi secara anaerobik dalam tabung inkubasi. Proses fermentasi ini erat kaitannya dengan kemampuan bakteri untuk mendegradasi bahan organik pakan yang terkandung dalam feses sapi perah FH. Adapun total bahan organik penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Penurunan bahan organik feses mengindikasikan proses degradasi

(27)

-13 yang terjadi. Semakin banyak penurunan bahan organik maka proses degradasi yang terjadi semakin tinggi.

Menurut Makkar et al. (2007) komponen pakan terutama serat dan protein pakan berkontribusi terhadap produksi gas yang dihasilkan selama proses fermentasi. Berdasarkan penelitian ini, proses degradasi serat kasar dilihat dari penurunan komposisi feses tertinggi yaitu JPRG 16.82 g, JP 16.77 g dan RG 6.95 g sedangkan degradasi protein kasar yaitu JP 6.58 g, JPRG 5.04 g dan RG 4.76 g. Produksi gas metana dihasilkan lebih tinggi dari perlakuan JP dan JPRG. Haryanto dan Thalib (2009) menyatakan kandungan bahan organik, kandungan komponen serat, nilai degradabilitas oleh mikroba mempengaruhi gas metana yang dihasilkan.

Level produksi gas CH4 pada masing-masing perlakuan pakan minggu

kedua sampai minggu terakhir pada penelitian ini tidak berbeda nyata akan tetapi total gas metana yang dihasilkan cenderung lebih banyak pada perlakuan JP dan JPRG. Selain dari faktor degradasi bahan organik, fraksi serat NDF dan ADF juga mempengaruhi produksi gas metana. Kandungan NDF dan ADF tertinggi yaitu perlakuan JPRG diikuti RG dan JP (Tabel 5). Kandungan ADF dan NDF feses perlakuan RG relatif tinggi, hal ini kemungkinan menyebabkan perbedaan yang tidak nyata terhadap total gas metana yang dihasilkan.

Berdasarkan Gambar 2, terdapat perbedaan grafik peningkatan produksi gas CH4 dari masing-masing perlakuan. Perlakuan JP dan RG menunjukkan adanya

peningkatan produksi gas CH4 dari minggu pertama sampai minggu ketujuh dan

menurun pada minggu kedelapan inkubasi sedangkan pada perlakuan kombinasi keduanya (JPRG) menunjukkan adanya produksi gas yang fluktuatif dari minggu ketiga sampai minggu kedelapan. Puncak produksi gas CH4 pada semua perlakuan

yaitu minggu ketujuh dan setelahnya mengalami penurunan. Perbedaan ini dimungkinkan adanya jenis serat dan bahan organik feses yang berasal dari pakan yang berbeda sehingga terdapat perbedaan proses degradasi menjadi gas CH4.

Philippe et al. (2008) menyatakan bahwa fermentasi serat mempengaruhi produksi gas metana, perbedaan sumber serat menghasilkan total gas yang berbeda pula.

Secara keseluruhan, total produksi gas CH4 dari feses sapi FH yang diberi

pakan rumput gajah lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil ini sesuai dengan Bamualim et al. (2008) yang menyatakan bahwa produksi gas metana dari kotoran ternak bervariasi tergantung dari ransum yang diberikan, ransum dengan kualitas nutrisi yang lebih tinggi menghasilkan kotoran dengan kandungan metana yang lebih rendah. Riddle et al. (2005) menyatakan bahwa ketersediaan bahan organik dan kondisi anaerob mengakibatkan produksi CH4 pada feses melalui

proses metanogenesis. Menurut Jayanegara et al. (2009) gas CO2 dan CH4

dihasilkan dari fermentasi substrat secara langsung. Kandungan substrat dan waktu inkubasi mempengaruhi produksi gas CO2 dan CH4 yang dihasilkan, total

gas semakin meningkat seiring meningkatnya waktu inkubasi.

Selain kandungan total bahan organik, kandungan C organik juga berperan terhadap produksi gas yang dihasilkan. Kandungan C organik pada masing-masing perlakuan diamati sebelum dan sesudah proses inkubasi feses yang disajikan pada Tabel 7.

(28)

14

perlakuan JP lebih tinggi yaitu 79.15 g dibandingkan perlakuan pakan rumput gajah 71.55 g dan kombinasi keduanya 71.65 g (Tabel 7).

Tabel 7 Kandungan C organik feses sapi FH laktasi sebelum dan sesudah inkubasi

Kandungan C organik Perlakuan

JP RG JPRG

Sebelum inkubasi (g) 79.15±3.48a 71.55±3.40b 71.65±1.89b Sesudah inkubasi (g) 63.77±4.78a 59.79±2.52b 63.64±1.00a Penurunan C organik (%) 19.43±5.92 16.43±4.03 11.18±2.65

Keterangan: JP (jerami padi 100%), RG (rumput gajah 100%), JPRG (kombinasi jerami padi 50% dan rumput gajah 50%), huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

Perbedaan kandungan C organik sebelum diinkubasi ini diduga adanya peranan mikroba yang berbeda antar perlakuan dalam merombak bahan organik feses sehingga dihasilkan C organik. Kandungan C organik feses mempengaruhi produksi gas CH4. Tingginya kandungan C organik feses jerami padi sebelum

inkubasi menjelaskan adanya perbedaan produksi gas CH4 yang dihasilkan pada

minggu pertama inkubasi. Feses sapi FH yang diberikan pakan jerami padi lebih tinggi dari perlakuan lainnya dan tidak berbeda nyata pada minggu berikutnya dikarenakan kandungan C organik pada masing-masing perlakuan mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada kandungan C organik setelah proses inkubasi selesai. Penurunan C organik menunjukkan terjadinya proses degradasi sehingga dalam proses tersebut dihasilkan gas CH4. Proses degradasi ini erat

kaitannya dengan peran mikroba dalam merombak kandungan C organik. Proses degradasi tertinggi dilihat dari persentase penurunan C organik yaitu perlakuan JP (19.43%), RG (16.43%) dan JPRG (11.18%). Penurunan kandungan C organik dari semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05).

Proses fermentasi oleh bakteri metanogenik terjadi secara anaerob dan dipengaruhi oleh suhu. Penelitian yang dilakukan Moller et al. (2004) menunjukkan bahwa proses inkubasi yang lama (90 hari) mampu meningkatkan gas metana dari 5.3% menjadi 31.3% dengan rataan suhu 15-20 oC akan tetapi pada suhu tinggi selama penyimpanan 30-90 hari menurunkan produksi gas menjadi 10.9%. Proses inkubasi pada penelitian ini dilakukan selama 60 hari dengan suhu rata-rata 24-28 oC. Suhu inkubasi selama penelitian ini lebih tinggi dibandingkan literatur akan tetapi proses fermentasi pada penelitian ini dengan suhu inkubasi yang lebih tinggi terbukti mampu menurunkan produksi gas metana minggu kedelapan pada semua perlakuan.

Gas Karbon Dioksida (CO2)

Data produksi gas CO2 yang dihasilkan dari feses sapi FH laktasi yang

diberi pakan jerami padi, rumput gajah dan kombinasi keduanya disajikan pada Tabel 8. Produksi gas CO2 dari feses sapi FH laktasi dengan pemberian ketiga

(29)

15 Tabel 8 Produksi gas CO2 feses sapi FH laktasi selama penelitian

Minggu Rataan Gas CO2 (ppm)

Total 3 887 367.50±57 923.12 4 015 865.00±50 598.95 3 907 603.00±54 864.19

Keterangan: JP (jerami padi 100%), RG (rumput gajah 100%), JPRG (kombinasi jerami padi 50% dan rumput gajah 50%), huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

Produksi gas CO2 pada ternak ruminansia dihasilkan melalui sistem

pernafasan ternak dan dari feses. Gas CO2 dari feses ternak dihasilkan melalui 3

proses yaitu hidrolisis urea menjadi NH3, fermentasi anaerob bahan organik

menjadi VFA, CH4, dan CO2 serta degradasi bahan organik (Jeppsson 2000;

Moller et al. 2004; Wolter et al. 2004). Sumber utama produksi gas CO2 dari feses

umumnya terjadi melalui pengomposan (Hellmann et al. 1997; Wolter et al. 2004) sedangkan hidrolisis urea menjadi NH3 lebih banyak dihasilkan dari limbah cair

(urin) ternak ruminansia. Grady et al. (1999) menyatakan bahwa proses perombakan bahan organik feses secara anaerob sehingga dihasilkan gas CO2

terjadi pada tahapan acidogenesis (fermentasi) dan metanogenesis.

Perbedaan produksi gas CO2 pada minggu keempat dan keenam erat

kaitannya dengan tahapan pembentukan gas CO2. Sebelum gas CO2 diproduksi

pada tahapan acidogenesis dan metanogenesis, terdapat tahapan hidrolisis yang merupakan tahapan merombak bahan organik yang terkandung dalam feses. Perlakuan JP menghasilkan produksi gas CO2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan

lain dikarenakan bahan organik feses pada perlakuan JP lebih banyak yang dirombak akan tetapi aktivitas mikroba yang berperan dalam merombak bahan organik juga berpengaruh. Bakteri yang berperan dalam proses perombakan bahan organik dalam menghasilkan gas CO2 yaitu Pseudomonas, Eschericia,

Flavobacterium, dan Alcaligenes (Hambali et al. 2007). Peranan mikroba dalam memproduksi gas CO2 antar perlakuan diduga berbeda dikarenakan berasal dari

(30)

16

Gambar 3 Produksi gas CO2 feses sapi FH laktasi selama penelitian

Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan produksi gas CO2 yang

searah dari masing-masing perlakuan (Gambar 3). Minggu pertama sampai minggu ketiga menunjukkan adanya peningkatan produksi gas CO2 dari semua

perlakuan. Selanjutnya pada minggu ketiga sampai minggu keenam menunjukkan adanya penurunan produksi gas dan kembali mengalami peningkatan sampai minggu terakhir inkubasi.

Produksi gas CO2 berkaitan dengan komponen C dalam feses dan juga

berasosiasi dengan kandungan CH4 yang dihasilkan (Svendsen dan Blackburn

1986). Berdasarkan hasil analisa penurunan C organik feses dari 3 perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Penurunan C organik yang hampir sama menunjukkan adanya proses degradasi C organik yang hampir sama juga sehingga total produksi gas CO2 selama penelitian tidak berbeda nyata antar

perlakuan. Menurut Jayanegara et al. (2010) kandungan substrat dan waktu inkubasi mempengaruhi produksi gas yang dihasilkan, semakin sedikit substrat yang dapat dicerna menjadi penyebab semakin sedikit produksi gas.

Berdasarkan penelitian ini, puncak produksi gas CO2 pada semua perlakuan

terjadi pada minggu ketiga, hal ini menunjukkan masih tingginya kandungan bahan organik yang mudah dicerna seperti energi dan protein akan tetapi mengalami penurunan produksi dikarenakan substrat mudah dicerna menurun. Clark et al. (2005) menyatakan bahwa protein kasar mempengaruhi produksi gas CO2 pada feses babi. Kandungan protein kasar yang tinggi mampu mereduksi gas

CO2. Protein kasar feses pada masing-masing perlakuan (Tabel 5) hampir sama

dan menyebabkan produksi gas CO2 yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar

perlakuan.

Substrat yang dimanfaatkan oleh bakteri adalah kandungan serat yang proses degradasinya lebih lama sehingga produksi gas CO2 yang dihasilkan lebih

lambat. Minggu ketujuh produksi gas CO2 mengalami peningkatan kembali pada

semua perlakuan tetapi tidak mencapai puncak produksi seperti minggu ketiga. Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan bahan organik selama proses inkubasi feses (Tabel 6). Fisroni (2005) menyatakan bahwa produksi gas yang dihasilkan terjadi karena proses fermentasi dan degradasi bahan organik yang dapat dicerna.

(31)

-17 Semakin tinggi bahan organik yang terkandung pada feses ternak maka potensi menghasilkan gas CO2 lebih tinggi. Adapun total bahan organik sebelum inkubasi

dari masing-masing perlakuan yaitu JP (149.70 g), RG (142.90 g), dan JPRG (162.70 g).

Gas Dinitro Oksida (N2O)

Produksi gas N2O dihasilkan dari proses nitrifikasi (Bremner dan Blackmer

1978) dan denitrifikasi. Gas N2O terbentuk dikarenakan adanya proses nitrifikasi

dan denitrifikasi kandungan N feses yang mayoritas ditemukan dalam feses segar berbentuk amonium (Sommer et al. 1992; Chadwick et al. 2000; Burton dan Turner 2003).

Gambar 4 Proses Nitrifikasi dan denitrifikasi (Chadwick et al. 2011) Data produksi gas N2O dari feses sapi FH laktasi selama penelitian disajikan

pada Tabel 9. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan nyata (P<0.05) produksi gas N2O dari masing-masing perlakuan pada minggu kedua, ketiga,

keempat inkubasi dan total gas selama penelitian akan tetapi tidak berbeda nyata pada minggu pertama, kelima dan keenam (P>0.05).

Tabel 9 Produksi gas N2Ofeses sapi FH laktasi selama penelitian

Minggu Rataan Gas N2O (ppb)

JP RG JPRG

1 672.88± 87.93 612.13±130.54 686.50± 73.68 2 771.38±194.17a 490.75± 64.38b 547.00± 47.66b 3 1 280.63±531.14a 874.63±284.83b 499.63± 74.54c 4 1 052.13±255.20a 782.00±160.65b 739.38±157.60b 5 823.13±122.22 721.63± 44.83 847.63± 39.08 6 420.63± 14.64 407.88± 9.45 413.50± 18.39

7 tt tt tt

8 tt tt tt

Total 20 083.00±311.92a 15 556.00±203.73b 14 934.50±160.30b

Keterangan: JP (jerami padi 100%), RG (rumput gajah 100%), JPRG (kombinasi jerami padi 50% dan rumput gajah 50%), huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05), tt = tidak terdeteksi

Produksi gas N2O dipengaruhi oleh komponen N pada feses dan konsentrasi

gas NH3. Adanya perbedaan produksi gas yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh

(32)

18

proses degradasi N dan NH3. Semakin besar kandungan N dan NH3 yang

didegradasimaka berpotensi menghasilkan gas N2O yang lebih tinggi. Kandungan

N merupakan sumber terbentuknya gas N2O melalui proses denitrifikasi

(Chadwick et al. 2011). Menurut Philippe dan Nicks (2014) gas N2O dihasilkan

dari proses mikrobial melalui oksidasi amonium baik secara aerob maupun anaerob.

Fermentasi yang terjadi dalam kondisi anaerob, menyebabkan rendahnya produksi gas N2O yang dihasilkan karena proses oksidasi mikroba tidak berjalan

sempurna dalam kondisi anaerob. Proses nitrifikasi dan denitrifikasi dilakukan oleh bakteri yang membutuhkan kondisi aerobik (Kebreab et al. 2006). Bamualim

et al. (2008) menyatakan bahwa penyimpanan feses secara anaerobik mampu mengurangi produksi gas N2O. Proses fermentasi yang terjadi pada penelitian ini

dalam kondisi anaerob dengan suhu dan lama inkubasi yang sama dan jika dibandingkan dengan gas CH4 dan CO2, gas N2O yang dihasilkan lebih rendah.

Gambar 5 Produksi gas N2O feses sapi FH laktasi selama penelitian

Produksi gas N2O dari feses sapi FH berbeda nyata (P<0.05) yaitu perlakuan

JP dengan RG dan JPRG. Gas N2O tertinggi dihasilkan pada perlakuan JP dan

diikuti RG dan JPRG. Berdasarkan Gambar 5, produksi gas N2O menunjukkan

arah grafik yang berbeda namun mengalami penurunan pada minggu terakhir penelitian pada semua perlakuan. Produksi gas N2O yang lebih tinggi pada

perlakuan JP dibuktikan dengan tingginya kandungan N feses yang didegradasi selama inkubasi sehingga menghasilkan gas N2O. Hal ini dapat dilihat dari

penurunan N selama inkubasi yaitu 39.17% JP, 30.61% RG, dan 37.17% JPRG (Tabel 10).

Pada Tabel 10, kandungan N feses pada semua perlakuan lebih tinggi sebelum inkubasi dan menurun setelah proses inkubasi selesai. Penurunan produksi gas N2O pada semua perlakuan dipengaruhi oleh penurunan N feses.

Penurunan N feses selama inkubasi mengindikasikan adanya proses perombakan oleh bakteri dengan memanfaatkan N untuk membentuk gas N2O.

(33)

-19 Tabel 10 Kandungan N feses sapi FH laktasi sebelum dan sesudah inkubasi

Kandungan N Perlakuan

JP RG JPRG

Sebelum inkubasi (g) 147.18±38.80a 189.38±20.53b 150.50±24.26a Sesudah inkubasi (g) 89.53± 6.47a 131.41±15.69b 94.56± 2.28a Penurunan N (%) 39.17±41.18 30.61±29.00 37.17±23.84

Keterangan: JP (jerami padi 100%), RG (rumput gajah 100%), JPRG (kombinasi jerami padi 50% dan rumput gajah 50%), huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

Berdasarkan Tabel 10, terdapat perbedaan N feses yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan. Kandungan N feses yang berasal dari perlakuan rumput gajah lebih tinggi baik sebelum dan sesudah inkubasi dibandingkan dua perlakuan lainnya (P<0.05) namun total penurunan N paling banyak pada perlakuan JP. Tingginya persentase penurunan N feses menunjukkan jumlah N yang terkandung dalam feses lebih banyak terdegradasi sehingga berpotensi menghasilkan gas N2O

lebih tinggi. Produksi gas N2O tertinggi dihasilkan dari feses sapi yang berasal

dari pakan JP. Hasil ini membuktikan bahwa komponen N feses berpengaruh terhadap produksi gas N2O sesuai dengan penelitian sebelumnya.

Tinggi rendahnya produksi gas N2O juga dipengaruhi oleh konsentrasi NH3.

Semakin tinggi konsentrasi NH3 maka gas N2O yang dihasilkan juga semakin

tinggi. Berdasarkan penelitian ini, pada minggu pertama inkubasi belum terjadi peningkatan produksi N2O dikarenakan proses inkubasi feses baru dimulai dan

masih dalam proses perombakan kandungan N feses dan pembentukan NH3.

Umumnya pada minggu pertama inkubasi gas yang terbentuk adalah CO2. Gas

amonia (NH3) dihasilkan umumnya lebih banyak pada limbah cair (urin)

dibandingkan feses.

Konsentrasi amonia tersaji pada Tabel 11. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan nyata konsentrasi amonia pada masing-masing perlakuan sebelum inkubasi (P<0.05) akan tetapi tidak berbeda nyata sesudah inkubasi (P>0.05).

Tabel 11 Produksi gas amonia (NH3) feses sapi FH laktasi selama penelitian

Kandungan NH3 (mM)

Perlakuan

JP RG JPRG

Sebelum inkubasi (mM ) 35.32± 9.11a 49.67±18.38b 21.71±3.83c Sesudah inkubasi (mM ) 16.52± 3.21 21.92± 0.61 19.26±1.33 Penurunan NH3 (%) 53.23±15.98a 55.87±16.61a 11.28±8.23b

Keterangan: JP (jerami padi 100%), RG (rumput gajah 100%), JPRG (kombinasi jerami padi 50% dan rumput gajah 50%), huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

Konsentrasi amonia feses sapi dari pakan rumput gajah lebih tinggi dibandingkan pakan jerami padi dan kombinasi keduanya sebelum inkubasi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa terjadinya penurunan produksi gas N2O juga

(34)

20

feses selama proses inkubasi juga diikuti dengan adanya penurunan produksi gas N2O. Persentase penurunan NH3 tertinggi pada perlakuan RG (55.87%) dan JP

(53.23%) kemudian terendah JPRG (11.28%). Hal ini sejalan dengan produksi gas N2O yang dihasilkan dimana perlakuan JP menghasilkan gas tertinggi dan JPRG

terendah. Semakin tinggi konsentrasi NH3 pada feses maka proses nitrifikasi dan

denitrifikasi lebih banyak terjadi sehingga kemungkinan gas N2O yang dihasilkan

juga lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Menurut Leng dan Nolan (1984), konsentrasi gas amonia (NH3) berasal dari

hasil degradasi pakan dan lisis mikroba yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan N dan dalam proses tersebut akan dihasilkan gas N2O. Proses

perombakan komponen N dan NH3 sehingga menjadi N2O dilakukan oleh

mikroba selama proses inkubasi berlangsung (Philippe dan Nicks 2014). Sebesar 50%-80% kebutuhan N bagi mikroba berasal dari amonia (Leng dan Nolan 1984).

Jika dikaitkan dengan produksi gas N2O, secara umum konsentrasi amonia

dan kandungan N tidak berbeda nyata antar perlakuan JP dan RG akan tetapi penurunan kandungan N lebih banyak pada JP. Hal ini menunjukkan lebih banyaknya proses degradasi dan lisis mikroba dalam memproduksi gas N2O.

Keseluruhan produksi gas N2O yang dihasilkan berbeda nyata (P<0.05) antara

perlakuan JP dengan perlakuan RG dan JPRG.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Produksi gas rumah kaca yang dihasilkan dari feses sapi perah FH laktasi dengan pemberian pakan jerami padi, rumput gajah, dan kombinasi keduanya menghasilkan produksi gas CH4 dan CO2 yang sama akan tetapi gas N2O yang

dihasilkan lebih tinggi pada perlakuan jerami padi dengan puncak produksi pada minggu ketiga. Inkubasi selama 8 minggu menunjukkan terjadinya penurunan gas CH4 dan N2O serta menurunkan kandungan bahan organik, C organik, N dan NH3

feses.

Saran

Perlu dilakukan observasi pada saat fermentasi/inkubasi feses terkait dengan aktivitas dan komposisi mikroba dalam mendegradasi senyawa organik sehingga dihasilkan gas rumah kaca CH4, CO2 dan N2O dari feses sapi FH laktasi dan

dibandingkan dengan sapi FH dengan berbagai status fisiologis ternak seperti non laktasi, kering dan dara.

DAFTAR PUSTAKA

(35)

21 Bremner JM, Blackmer SM. 1978. Nitrous oxide emissions from soils during

nitrification of fertilizer nitrogen. Science 199, 295-296.

Burton CH, Turner C. 2003. Manure Management : Treatments Strategies for Suistainable Agriculture, 2nd edition. European Commisions, Brusels, Belgium (BE), 451 pp.

Chadwick DR, John F, Pain BF , Chambers BJ, William JR. 2000. Plant uptake of nitrogen from the organic nitrogen fraction of animal manures : a laboratory experiment. J Agric Sci 134, 159-168.

Chadwick D, Sommer S, Thorman R, Fangueiro D, Cardenas L, Amon B, Misselbrook T. 2011. Manure management : Implications for greenhouse gas emissions. Anim Feed Sci Technol no.18.

Clark OG, Moehn S, Edeogu I, Price J, Leonard J. 2005. Manipulation of dietary protein and nonstarch polysaccharide to control swine manure emissions. J Environ Qual 34 : 1461-1466.

Conway EJ. 1958. Microdiffusion Analysis and Volumetric Error. Ed ke-4. The McMillian Co, New York (US).

Darwin R. 2004. Effects of greenhouse gas emissions on world agriculture, food consumption, and economic welfare. J Climate Change, 66(2004) page 191-238.

Doyle PT, Devendra C, Pearce GR. 1986. Rice Straw as a Feed for Ruminant. International Development Program of Australian Universities and Colleges Limited. Canberra (AU).

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2006. Livestock's role in climate change and air pollution. [Internet]. [diunduh 2014 Agustus 27]. Tersedia pada : ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/a0701e/A0701E03. pdf.

Fisroni. 2005. Manfaat tepung daun kelor (Moringa oleifera, Lam) dan gliciridia (Gliciridia sepium, Jacq) sebagai sumber protein dalam urea molases blok (UMB) terhadap metabolisme pakan secara In Vitro dan produksi susu sapi perah. [Tesis]. Malang (ID) : Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya. Gafar S. 2007. Memilih dan memilah hewan qurban. [Internet]. [Diunduh 15

Oktober 2014]. Tersedia pada : http//www.disnaksumbar.org.

Glenn AC. 1985. Livestock Waste Facilities : Midwest Plan Service. IOWA university (US).

Grady CPL, Daigger GT, Lim HC. 1999. Biological Wastewater Treatment. Second edition. Marcel Dekker, Inc. New York (US).

Guo J, Zhou C. 2007. Greenhouse gas emissions and mitigation measures in Chinese agroecosystems. Agr and Forest Met 142(2-4): 270–277.

Hambali ES, Mujdalipah A, Tambunan H, Patiwiri AW. 2007. Pengantar Teknologi Bioenergi. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor (ID).

Haryanto B, Thalib A. 2009. Emisi metana dari fermentasi enterik: kontribusinya secara nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada ternak.

Wartazoa vol. 19 no. 4.

(36)

22

[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2006. Guidelines for National Greenhouses Gas Inventories. Institute for Global Environment Strategies, Hayama, Japan (JP).

[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007. In: Pachauri, Reisinger RK, A. (Eds., Core Writing Team), Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. IPCC, Geneva, Switzerland (CH), 104 pp.

[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2012. Climate Change 2012 : Impacts, Adaption and Vulnerability. Reportof the Working Group 1. Cambridge University Press (GB). UK.p,967.

Jayanegara A, Sabhan T, Takyi AK, Salih AO, Hoffmann EM. 2010. Ruminal fermentation kinetics of Moringa and Peltiphyllum supplements during early incubation period in the in vitro reading pressure technique. J Develop Trop Anim 35: 165-171.

Jayanegara A, Makkar HPS, Becker K. 2009. Emisi metana dan fermentasi rumen

in vitro ransum hay yang mengandung tanin murni pada konsentrasi rendah.

Media Petern 185-195 vol. 32 no.3.

Jeppson KH. 2000. Carbon dioxide emission and water evaporation from deep litter systems. J Agric Eng Res : 77, 429-440.

Kebreab E, Clark K, Wagner-Riddle C, France J. 2006. Methane and nitrous oxide emissions from Canadian animal agriculture: a review. Can J Anim Sci 86, 135-158.

Kumar P, Nain MS. 2010. Global warming and agriculture issues and strategies.

RJAS vol. 1 (3).

Leng RA, Nolan JV. 1984. Nitrogen metabolism in the rumen. J Dairy Sci : 67 1072-1089.

MacCarthy J, Thomas J, Choudrie S, Assant P, Thistlethwaite GN, Murrells NT, Watterson J, Cardenas L, Thomson A. 2010. Green House Gas Inventory, 1990 to 2008: Framework Convention on Climate Change. AEA Technology plc., Didcot, Oxfordshire, UK (GB), 672 pp.

McDonald P, Edward EA, Greenhalgh JFO. 1988. Animal Production 4th Ed. Longman Scientific and Technical. John Willey, Sons. Inc, New York (US). P: 445-484.

Makkar HP, Francis G, Becker K. 2007. Bioactivity of phytochemicals in some lesser known plants and their effects and potential applications in livestock and aquaculture production systems. Animal 1 :1371-1391.

Moller HB, Sommer SG, Ahring BK. 2004. Biological degradation and greenhouse gas emissions durig pre-storage of liquid animal manure. J Environ Qual 33, 27-36.

Oenema O, Wrage N, Velthof GL, van Groeningen JW, Dolfing J, Kuikman PJ. 2005. Trends in global nitrous oxide emissions from animal production systems. Nutr Cycling Agroecosyst 72, 51–65.

(37)

23 Philippe FX, Nicks B. 2014. Review on greenhouse gas emissions from pig houses : Production of carbon dioxide, methane and nitrous oxide by animals and manure. Agri, Eco and Env 199 e10-e25.

Prayitno CH, Fitria R, Samsi M. 2014. Suplementasi heit-chrose pada pakan sapi perah pre-partum ditinjau dari profil darah dan recovery bobot tubuh post-partum. Agripet 14 (2) : 89-95.

Rukaesih A. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta (ID) : Penerbit Andi. Riddle WC, Kebreab E, France J, Clark K, Rapai J. 2005. Supporting

measurements required for evaluation of greenhouse gas emission models for enteric fermentation and stored animal manure. Paper 2nd Biocap Canada Foundation, Canada (CA).

Samer M. 2013. Emissions inventory of greenhouse gases and ammonia from livestock housing and manure management. Agric Eng Int : CIGR Journal

vol. 15 no.3: 29-54.

SAS Institute Inc. 2010. Base SAS 9.2 Procedures Guide: Statistical Procedures, Third Edition. Cary (US): SAS Institute Inc.

Sommer SG, Kjellerup VK, Kristjansen O. 1992. Determination of ammonium nitrogen in pig and cattle slurry: sample preparation and analysis. Acta Sci Am J 74, 429-435.

Steel RG, Torrie DJH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan).

Terjemahan. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka Utama.

Svendsen EK, Blackburn TH. 1986. Sequential phase in the anaerobic degradation of swine manure. Agricultural Waste 16: 47-65.

Toharmat E, Nursasih E, Nazilah R, Hotimah N, Noerzihad TQ, Sigit NA, Retnani Y. 2006. Sifat fisik pakan kaya serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien ransum pada kambing. Media Petern vol. 29 no 3: 146-154.

[UNFCC] United Nations Framework Convention on Climate Change. Climate change. 2009. [Internet]. [diunduh 2014 Agustus 27]. Tersedia pada : www.unfccc.int/nationalreports/annexighginventories/Nationalinventoriessu bmissions/items/4771.php.

Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Metabolism, Nutritional Strategies, the Cellulolytic Fermentation and the Chemistry of Forages and Plant Fiber. Oregon USA (US) : O &B Books Inc.

(38)

24

Lampiran 1 Sapi FH penelitian dengan perlakuan pakan rumput gajah (RG)

(39)

25 Lampiran 3 Alat inkubasi feses (sungkup tertutup)

(40)

26

Lampiran 5 Proses pengambilan gas rumah kaca pada alat inkubasi dengan

syringe

(41)

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Argamakmur, Bengkulu Utara pada tanggal 20 Desember 1991 dari Ayah Yuhin, SPd dan Ibu Torya. Penulis adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMA Negeri 1 Argamakmur pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Peternakan Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui jalur PPA pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2012 dengan judul skripsi Pengaruh Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dalam Ransum Berbasis Lumpur Sawit Fermentasi terhadap Performans Ayam Ras Petelur. Tahun 2013 penulis diterima pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) oleh DIKTI. Penulis memperoleh biaya penelitian melalui Dana BOPTN.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah bergabung di organisasi HIPROMATER Jurusan Peternakan Universitas Bengkulu, aktif menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Dasar Reproduksi Ternak, Reproduksi Ternak dan Inseminasi Buatan, Dasar Fisiologi Ternak dan Produksi Ternak Potong. Penulis pernah mengikuti pertukaran mahasiswa ke Rajamangala University of Technology Srivijaya (RMUTSV) di Thailand pada tahun 2011. Karya ilmiah berjudul “Produksi Gas Metana (CH4) dari Feses Sapi FH Laktasi dengan Pakan

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Tabel 3 Analisa proksimat feses sapi FH dalam bentuk segar sebelum dan sesudah
Tabel 5 Kandungan serat NDF, ADF dan hemiselulosa feses sapi FH penelitian
Tabel 6 Produksi gas CH4 feses sapi FH laktasi selama penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

5) Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS. 6) Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering berganti pasangan. 7) Penyakit radang panggul

Dengan diselesaikannya tugas akhir ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pada penelitian dalam mengembangkan strategi dan struktur kontrol untuk plant nonlinear

Indikator hubungan yang makin baik diperoleh rata-rata skor sebesar 3,76 yang menjawab sangat setuju dan setuju sebesar 70% sedangkan yang kurang setuju, tidak

Universiti Teknologi Malaysia, Universitas PGRI Semarang, Universitas Negeri Makassar, Indonesia, Regional Association for Vocational Teacher Education (RAVTE), Persatuan

Adapun yang paling dekat yaitu suku kata sa dengan ya dikare- nakan gerakan mulutnya hampir sama sedangkan yang paling jauh yaitu suku kata su dan suku kata ka, sedangkan pada

Tanah di lokasi relokasi pengungi Sinabung tergolong ke dalam subgroup Andic Dystropept yang memiliki sifat andik ( smeary atau tiksotropik) dengan kadar bahan

Langkah- langkah yang dilakukan dalam supervisi edukatif kolaboratif secara periodik yang dapat meningkatkan kinerja guru adalah: (1) Supervisor berdiskusi dengan

Tindakan Tony Broer tersebut melahirkan konsep dan nilai praktis yang lebih dominan dari penampakan politik tubuh, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, sehingga