INSEMINASI BUATAN DAN DIAGNOSA KEBUNTINGAN
MELALUI TEKNIK ULTRASONOGRAFI DAN
ANALISA METABOLIT HORMON PROGESTERON
PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis) HASIL SINKRONISASI
WITO PRAWIGIT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis Inseminasi Buatan dan Diagnosa Kebuntingan melalui Teknik Ultrasonografi dan Analisa Metabolit
Hormon Progesteron pada Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi
adalah benar merupakan hasil penelitian saya sendiri dengan atas arahan komisi pembimbing. Data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi sejenis di Perguruan Tinggi lain.
Bogor, Januari 2007
ABSTRAK
WITO PRAWIGIT. Inseminasi Buatan dan Diagnosa Kebuntingan melalui Teknik Ultrasonografi dan Analisa Metabolit Hormon Progesteron pada Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi. Dibimbing oleh: TUTY LASWARDI YUSUF sebagai ketua, MOZES R. TOELIHERE (Alm)
dan AMROZI sebagai anggota Komisi Pembimbing.
Rusa timor (Cervus timorensis) adalah satwa yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komoditas ternak baru. Keberadaan dan populasi rusa pada berbagai tempat di Indonesia sangat bervariasi. Bahkan dari beberapa laporan menyatakan populasi rusa dari waktu ke waktu menurun karena perburuan yang dilakukan masyarakat.
Upaya pengembangbiakan rusa di luar habitatnya adalah dengan introduksi teknologi inseminasi buatan (IB) menggunakan semen beku pada betina hasil sinkronisasi. Di Indonesia standar keberhasilan IB pada spesies rusa belum ada. Keberhasilan IB pada spesies kelompok cervidae masih rendah karena sedikitnya informasi siklus reproduksi, waktu ovulasi dan manipulasi estrus pada rusa betina. Hal ini berkaitan dengan waktu optimum inseminasi untuk keberhasilan kebuntingan pada IB pertama.
Penelitian ini dilaksanakan di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta selama satu tahun. Materi penelitian menggunakan enam ekor rusa percobaan berumur dua sampai tiga tahun dengan dua perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan I adalah waktu IB 24 jam (W1; n=3) dan perlakuan II dengan waktu IB 30 jam (W2; n=3) setelah onset estrus. Kedua perlakuan IB tersebut menggunakan semen beku dengan motilitas pasca thawing antara 30-40 %, dosis IB yang dipakai 150 juta spermatozoa motil per straw.
Hasil pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG), dari kelompok rusa perlakuan waktu IB 30 jam yang berintensitas sedang, menghasilkan satu ekor bunting (33,33 %) jika dibandingkan dengan kelompok rusa waktu IB 24 jam setelah onset estrus yang tidak menghasilkan kebuntingan. Dari hasil pemeriksaan dengan USG, selanjutnya dilakuan analisa metabolit hormon progesteron (P4) dengan pemgambilan contoh feses sebanyak 12 sampel dari enam ekor rusa. Hasil uji immunoreaksi progesteron (iP4) menunjukkan tiga ekor rusa dinyatakan bunting, yaitu satu ekor rusa bunting hasil IB dengan konsentrasi iP4 rata-rata 106,75±14,2 ng/ml dan dua ekor rusa bunting oleh jantan, masing-masing dengan konsentrasi iP4 antara 53,13±13,25 ng/ml dan 42,5±5 ng/ml.
Hasil analisa iP4 yang diuji oleh Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta menunjukkan metode yang dapat dilakukan untuk diagnosa kebuntingan secara non invasif pada rusa timor dalam mendukung hasil pemeriksaaan dengan menggunakan USG. Namun validasi independen harus dilakukan sebelum diaplikasikan untuk kegiatan rutin.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
INSEMINASI BUATAN DAN DIAGNOSA KEBUNTINGAN
MELALUI TEKNIK ULTRASONOGRAFI DAN
ANALISA METABOLIT HORMON PROGESTERON
PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis) HASIL SINKRONISASI
Oleh
WITO PRAWIGIT
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Inseminasi Buatan dan Diagnosa Kebuntingan melalui Teknik Ultrasonografi dan Analisa Metabolit Hormon Progesteron pada Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi
Nama : Wito Prawigit
NRP : B 051040041
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. Dr. drh. Amrozi
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Penulis mengucapkan segala puji dan syukur hanya untuk Allah Maha Pencipta Alam Semesta dan semoga salawat dan salam dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah berkat Rahmat Allah SWT, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dan telah menyelesaikan pendidikan, penelitian dan penulisan tesis.
Tesis ini berisikan hasil penelitian tentang rangkaian kegiatan pelaksanaan IB menggunakan semen beku. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan meliputi rancangan pembuatan kandang percobaan, seleksi rusa berdasarkan status reproduksi, adaptasi rusa terhadap lingkungan pemeliharaan dan pengamatan gejala estrus alamiah. Berikutnya adalah pengamatan gejala estrus hasil sinkronisasi, pelaksanaan IB dan pemeriksaan kebuntingan melaui teknik USG yang diperkuat dengan analisa metabolit hormon progesteron.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat Ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S sebagai ketua komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, M.Sc. (Alm) dan yang terhormat Bapak Dr. drh. Amrozi sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingannya dari mulai persiapan, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan penulis dalam berbagai hal yang terpapar dalam tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Gubernur Jawa Barat, Sekretariat Daerah dan Kepala Biro Kepegawaian Provinsi Jawa Barat, yang telah memberikan bantuan Beasiswa selama penulis sekolah pada Program Pascasarjana IPB Bogor serta Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan izin Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dan kepada yang terhormat Kepala Tata Usaha, para Kepala Bagian (Kepegawaian, Keuangan dan Umum), para Kepala Sub Dinas (Perbibitan, Program, Pengembangan Peternakan, Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner) serta para Kepala Seksi beserta stafnya yang telah memberikan dukungan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman Sekolah Pascasarjana di Program Studi Biologi Reproduksi pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor yang seangkatan 2004, angkatan 2002, angkatan 2003, angkatan 2005 dan angkatan 2006 serta berbagai pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu per satu atas bantuannya selama penelitian dan penyelesaian tesis.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih penulis memberikan karya tesis ini kepada istri tercinta beserta putri-putriKu dan Ibu Risnawati S.Pd serta kakak Toni Tjahyono B.Sc dan adik-adik serta keponakan atas semua rasa cinta, bimbingan dan bantuan materi serta dorongan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan proses Pendidikan Pascasarjana IPB Bogor ini.
Akhir kata penulis berharap dari hasil penelitian ini dapat dikembangan ilmu pengetahuan menjadi karya nyata dimasa mendatang dalam upaya menciptakan satwa rusa sebagai komoditas ternak baru (budidaya) dengan sistem perbibitan melalui sentuhan teknologi reproduksi (IB) pada aset Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat khususya dan umumnya pada peternakan rusa eksitu (penangkaran) maupun rusa milik masyarakat.
Bogor, Januari 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon Kota Udang Jawa Barat pada tanggal 12 Februari 1969 adalah putra kelima dari delapan bersaudara, ayah bernama Tirdja (alm) dan ibu Suriyah (almh).
Pada tahun 1976 penulis masuk SDN Centre Tersana Baru Babakan Cirebon dan lulus tahun 1982. Kemudian lulus SMPN I Ciledug Babakan Cirebon tahun 1985. Selanjutnya lulus dari Sekolah Pertanian Pembangunan Sekolah Peternakan Menengah Atas (SPP-SNAKMA) Cikole Lembang Bandung pada tahun 1988.
Pada tanggal satu Desember 1989, penulis mulai bekerja sebagai tenaga honorer di Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Cikole Lembang pada Dinas Peternakan Propinsi DT I Jawa Barat dan diangkat menjadi pegawai tetap (PNS) tahun 1994. Atas permintaan Kepala Sekolah, selama bekerja di BPT–HMT Cikole penulis dari tahun 1994 menjadi staf pengajar SPP-SNAKMA Cikole sampai Tahun Ajaran 2002.
Disamping bekerja, penulis melanjutkan ke program Diploma III pada Akademi Medis Veteriner Puragabaya (AMVP) Bandung pada tahun 1990 atas seizin Kepala BPT-HMT Cikole dan lulus tahun 1993. Dengan Surat Izin dari Gubernur KDH Tk I Jawa Barat tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan lagi ke tingkat Sarjana pada Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas Bandung Raya (UNBAR) Bandung dan lulus tahun 1998.
Disela-sela pekerjaan, penulis menikah dengan Rine Emilia,A.Md.Pt pada hari Senin, tanggal sembilan Oktober tahun 2000 di Bandung. Empat tahun kemudian, pada hari Rabu (wage) tanggal satu Agustus tahun 2001 dikaruniai seorang putri bernama Thea Sagusti Praemiwigitlia dan pada hari Senin (pahing), tanggal lima Januari tahun 2004 dikaruniai lagi seorang putri bernama Rosalie Yanurula Praemiwigitlia.
Peubah yang Diamati ... 39
HASIL DAN PEMBAHASAN... 40
SIMPULAN DAN SARAN ... 53
Simpulan ... 53
Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya ... 6
2 Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada beberapa rusa tropis dan temperat ... 14
3 Lama kebuntingan dan calving interval pada rusa tropis dan temperat ... 22
4 Gejala-gejala estrus sebagai parameter pada rusa betina ... 35
5 Parameter gejala estrus pada rusa betina, dibagi ke dalam tiga kriteria intensitas (rendah, sedang dan tinggi) ... 36
6 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap onset estrus ... 42
7 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap lama estrus ... 43
8 Lama dan intensitas estrus setelah perlakuan ... 44
9 Inseminasi berdasarkan waktu IB dan kriteria intensitas estrus ... 44
10 Hasil pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya setelah IB... 46
11 Deteksi estrus dan gambaran hasil USG pada rusa 60 hari setelah IB ... 47
12 Hasil analisa metabolit hormon progesteron pada rusa percobaan tidak estrus dan rusa betina estrus ... 49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Organ reproduksi rusa timor jantan ... 8
2 Organ kelamin betina utuh ... 10
3 Model sistem refleksi pulsa (probe) ... 24
4 Kandang kelompok percobaan untuk perlakuan proses adaptasi, sinkronisasi dan pelaksanaan IB... 31
5 Adaptasi rusa betina percobaan dalam lingkungan kandang
kelompok... 32
6 Alat inseminasi yang digunakan dalam pelaksanaan IB rusa
Percobaan... 33
7 Alur kegiatan pelaksanaan IB rusa timor ... 34 8 Jadwal kegiatan pelaksanaan IB 24 jam (n=3) dan 30 jam (n=3)
hasil sinkronisasi berdasarkan onset estrus dan diagnosa kebuntingan dengan teknik USG dan analisa metabolit hormon progesteron... 37
9 (A) Probe yang digunakan diagnosa kebuntingan dengan cara
trans abdominal dan (B) alat USG (Aloka SSB 500)... 38
10 Memasang CIDR-G pada rusa perlakuan menggunakan aplikator
dalam kandang jepit... 41
LAMPIRAN
Halaman
1 Jadwal kegiatan pelaksanaan IB di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selama 12 bulan dari Desember 2005 sampai dengan
Desember 2006... 61
2 Adaptasi rusa betina percobaan dalam lingkungan kandang
Kelompok... 62
3 Pengamatan gejala estrus dari mulai CIDR-G dicabut sampai awal muncul estrus (onset) dan lama berlangsung gejala estrus
sampai gejala estrus tidak tampak lagi (hilang) pada rusa timor
hasil sinkronisasi... 63
4 Inventarisasi gejala estrus yang ditampakkan oleh enam ekor rusa betina perlakuan selama tiga hari berturut - turut dari jam
06.00 - 18.00 wib... 64
5 Prosedur pelaksanaan IB, waktu 24 jam dan 30 jam setelah
onset estrus ... 67
6 Hasil pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan USG... 68
7 Hasil uji iP4 pada rusa percobaan tidak estrus dan rusa betina estrus
sebagai pembanding level progesteron ……….. 71
8 Hasil perhitungan konsentrasi hormon progesteron feses kering dalam satuan ng/ml dikonversikan menjadi µg/g pada rusa tidak
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan dan populasi rusa pada berbagai tempat di Indonesia sangat
bervariasi. Dari beberapa laporan menyatakan bahwa populasi rusa dari waktu ke
waktu terus menunjukkan tren menurun. Hal ini disebabkan karena masih banyak
dijumpai masyarakat melakukan perburuan untuk memanfaatkan dagingnya.
Disamping itu, disebabkan oleh kerusakan hutan yang mempersempit habitat
utama rusa.
Pengembangbiakan rusa di luar habitatnya yang dilakukan melalui
teknologi reproduksi disamping sebagai salah satu upaya untuk konservasi
mencegah kepunahan juga untuk meningkatkan pemanfaatan rusa sebagai ternak
harapan sumber protein hewani. Teknologi reproduksi yang praktis dan paling
populer diterapkan pada beberapa komoditas hewan domestik adalah inseminasi
buatan (IB). Penelitian mengenai penerapan teknologi reproduksi, khususnya IB
rusa di Indonesia masih dilakukan. Pada skala terbatas di Kalimantan Timur telah
diuji coba penerapannya sebagai proyek percontohan peternakan rusa
(Semiadi 2002). Demikian juga penelitian mengenai prosesing semen untuk
ketersediaan semen beku guna kepentingan IB pada rusa belum banyak dilakukan.
Di Indonesia standar keberhasilan IB pada spesies rusa (cervidae) belum
ada, karena selain rusa merupakan komoditas ternak baru, juga masih sedikitnya
informasi tentang sifat fisiologis dan pola reproduksinya. Keberhasilan IB pada
spesies kelompok cervidae masih rendah karena informasi mengenai siklus
reproduksi, waktu ovulasi dan manipulasi estrus pada rusa betina belum memadai.
Selain itu belum diperoleh metode yang aman untuk koleksi semen, metode
penyimpanan semen, deposisi semen dan ketepatan waktu inseminasi pada saluran
organ reproduksi betina masih dikembangkan.
Dalam pelaksanaan IB diperlukan waktu optimum kawin yang dapat
ditentukan dari gejala estrus dan perkiraan waktu ovulasi. Untuk memperkirakan
waktu ovulasi pada rusa dilakukan dengan mengadopsi waktu ovulasi pada domba
(Plotka 1980), yaitu 14 jam setelah puncak luteinizing hormone (LH). Sementara
pelaksanaan waktu IB pada rusa dapat dilakukan 48 jam setelah pencabutan
implan CIDR-G (Controlled Internal Drug Release Goat).
Hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi IB pada rusa betina adalah
proses sinkronisasi estrus dengan menggunakan CIDR-G dan Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG). Penggunaan CIDR-G dimaksudkan untuk
sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan menghambat pengeluaran LH
dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif. Keserentakkan
estrus dapat dicapai dengan memasukkan CIDR-G ke dalam vagina selama
14 hari. Dua hari sebelum pencabutan CIDR-G, dilakukan penyuntikkan
intramuskuler dengan PMSG untuk menstimulir terjadinya folikulogenesis dan
pematangan folikel. PMSG memiliki aktivitas biologis menyerupai FSH (Follicle
Stimulating Hormone) dan LH, namun lebih dominan peranan FSH-nya.
Pemberian PMSG dimaksudkan untuk memperjelas pengaruh FSH dan LH
endogen dalam penyerentakan estrus apabila diberikan sebelum CIDR-G dicabut.
Penerapan teknologi IB pada rusa telah banyak dilaporkan dengan
berbagai metode, yaitu metode intravaginal, intraservikal dan intrauterin.
Inseminasi intraservikal dilakukan dengan menggunakan bantuan alat spekulum
untuk memudahkan melihat dan mengarahkan gun IB ke arah cervix. IB secara
intraservikal atau intrauterin menggunakan semen cair atau semen beku diperoleh
angka konsepsi kurang dari 30 % (Drajat 1997).
Pemeriksaan kebuntingan dini dapat dilakukan melalui teknik USG pada
umur kebuntingan kurang lebih tiga minggu. Pemeriksaan kebuntingan dapat juga
dilakukan uji hormon progesteron atau metabolitnya dalam feses, plasma darah
atau urin. Dalam mendiagnosa kebuntingan teknik USG pernah dilakukan pada
rusa fallow, rusa merah dan rusa totol dengan tingkat keberhasilan yang cukup
baik. Untuk memperkuat diagnosa dengan USG tersebut analisa metabolit hormon
progesteron (P4) dalam feses atau urin dapat dilakukan. Konsentrasi P4 kurang
dari 20 ng/ml dinyatakan tidak bunting, sedangkan lebih dari 20 ng/ml
menunjukkan kebuntingan (Anonimous 1996). Hamasaki et al. (2001) melaporkan
bahwa pada pertengahan dan akhir periode kebuntingan pada rusa sika (Cervus
nippon) dengan analisa feses steroid diperoleh konsentrasi progesteron meningkat
Kerangka Pemikiran
Suatu keberhasilan dalam pelaksanaan IB pada rusa bergantung pada
intensitas estrus dan gejala estrus yang dapat dilihat dari luar. Selain itu adanya
gejala diam dinaiki oleh sesama betina merupakan gejala yang dapat diandalkan
untuk penentuan waktu IB. Namun demikian seringkali tidak ditemukan gejala
estrus yang optimal. Pemberian CIDR-G secara intravaginal dimaksudkan untuk
mensinkronisasi estrus antar betina perlakuan dan meningkatkan intensitas estrus
melalui mekanisme umpan balik negatif terhadap LH dari hipofisis anterior.
Pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan CIDR-G untuk memperkuat FSH
dan LH endogen, sehingga pada saat dilepas akan terjadi lonjakan LH. Dengan
demikian rusa-rusa betina perlakuan akan menampakkan gejaja-gejala estrus
secara bersamaan beberapa hari kemudian dan diharapkan mempunyai intensitas
estrus yang optimal. Disamping itu keberhasilan pelaksanaan IB, juga bergantung
pada proses adaptasi rusa terhadap lingkungan pemeliharaan.
Pemeriksaan kebuntingan setelah IB dapat dilakukan dengan teknik USG,
yaitu pada umur kebuntingan kurang lebih satu bulan dengan melihat keberadaan
cairan amnion dan fetusnya di dalam uterus. Selain itu diagnosa kebuntingan
dapat dilakukan dengan pengukuran konsentrasi metabolit hormon P4 pada umur
kebuntingan 120 hari setelah IB.
Analisa metabolit hormon P4 dari contoh feses lebih dipilih karena lebih
praktis dibandingkan dengan dari contoh urin. Untuk lebih pasti, maka
pengambilan feses dapat dilakukan pada perkiraan umur kebuntingan 120 hari
(trimester kedua) karena mudah dalam pendeteksian konsentrasi progesteron.
Garrott et al. (1998) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa untuk mendapatkan
hasil yang akurat dicoba membuat koleksi sampel untuk mendiagnosa kebuntingan,
yaitu dengan mengumpulkan 153 feses secara acak dari kijang betina dewasa di
Yellowstore National Park (Wyoming, USA) dan dari kijang tangkapan di Starkey
Research Facility (La Grande, Oregon, USA). Diperoleh hasil dari penelitiannya
dengan uji radio immunoassay (RIA) menunjukkan, bahwa rata-rata kurang lebih
50 progestagen (P4) meningkat secara signifikan pada kijang yang bunting
Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan informasi bagaimana IB dilaksanakan pada rusa dengan
penentuan waktu IB yang lebih tepat.
2. Mengetahui keberhasilan kebuntingan melalui gambaran USG dan analisa
metabolit hormon progesteron dari feces.
Kegunaan Penelitian
1. Mendapatkan standar pelaksanaan IB pada rusa.
2. Mendapatkan gambaran besarnya konsentrasi metabolit hormon progesteron
dari feses sebagai patokan hasil kebuntingan dibandingkan dengan yang
bersiklus atau tidak bunting.
Hipotesis
1. Intensitas estrus yang tinggi akan menghasilkan kebuntingan lebih baik
dibandingkan dengan intensitas estrus sedang.
2. Diperolehnya perbedaan persentase hasil kebuntingan oleh IB pertama
TINJAUAN PUSTAKA
Ciri dan Keunggulan Rusa Timor
Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus, yaitu rusa timor (Cervus
timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor) dan satu dari genus Axis, yaitu rusa
bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik (asli) dan rusa totol (Axis axis) sebagai
jenis eksotik yang didatangkan dari Srilangka dan India (Sudirman 1986). Selain itu
ada satu jenis satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu
kijang (Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae
(Drajat 1994).
Ciri-ciri rusa timor adalah kulit berwarna coklat kemerah-merahan, rusa
jantan berwarna lebih gelap dan bulunya lebih kasar. Pada umumnya rusa betina
berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap. Bobot badan rusa jantan dewasa
antara 60 kg dan 100 kg, panjang badan berkisar 1,95–2,10 m, tinggi badan
1,00–1,10 m dan tinggi tumit 0,29–0,35 m. Panjang tengkorak jantan 0,320–0,350
m dan betina 0,290–0,320 m. Panjang ranggah jantan dapat mencapai 0,87 m dan
ranggah bercabang sesuai dengan pertambahan umur. Drew et al. (1982)
melaporkan ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dengan ukuran kaki
lebih kecil, sedangkan Syarif (1974) menyatakan rusa timor betina mempunyai ciri
berbadan ramping dengan warna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap, dengan
bobot badan rata-rata 45-60 kg.
Rusa secara umum tergolong hewan poliestrus bermusim, yaitu dalam satu
musim kawin dapat menunjukkan beberapa kali gejala estrus. Hanya dalam musim
kawin, rusa betina bersedia untuk kawin. Pola kawin bermusim ini terutama dikenal
pada rusa-rusa yang hidup pada lingkungan temperat atau sub tropis, karena aktivitas
reproduksinya berkaitan erat dengan fotoperioditas. Untuk rusa-rusa asal daerah
tropis, hasil penelitian awal menunjukkan aktivitas reproduksinya cenderung tidak
berhubungan dengan keadaan fotoperioditas (Semiadi 1993; Wilson 1984), sehingga
dapat dinyatakan tidak bermusim. Meskipun demikian, beberapa peneliti
melaporkan rusa sebagai hewan yang mempunyai musim kawin. Untuk rusa timor
di habitat alaminya di Indonesia gejala estrusnya terlihat antara bulan Juli sampai
hutan-hutan yang lebat dan termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari.
Umumnya hidup menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam
kelompok-kelompok yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya.
Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau padang rumput dan hidup
sampai ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (der Zon 1979). Sebagai hewan
herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan; buah-buahan,
singkong, kulit pisang, jagung dan berbagai jenis rumput.
Keunggulan hewan rusa sebagai satwa liar lebih mudah diternakkan
dibandingkan dengan satwa liar lainnya. Menurut Badarina (1995), selain dapat
diternakkan dalam kelompoknya, rusa dapat juga dipelihara bersama ternak
kambing. Teknik beternak kambing ataupun domba, dapat juga digunakan untuk
pemeliharaan ternak rusa. Rusa mudah beradaptasi, menyukai rumput dan hampir
semua jenis daun-daunan. Dibandingkan dengan ternak ruminansia kecil lainnya,
rusa lebih tahan terhadap kekurangan air dan daya tahan rusa terhadap penyakit
sangat tinggi sehingga tingkat kematian sangat rendah.
Rusa sebagai ternak yang diharapkan mampu memproduksi daging dinilai
dari perbandingan berat karkas dan berat hidup. Karkas pada rusa lebih tinggi yaitu
sekitar 56–62 % dibanding dengan karkas sapi, yaitu sekitar 51–55 % dan domba
sekitar 44–50 % (Anderson 1984; Haigh dan Hudson 1993 dalam Subekti 1995;
Semiadi 1998b; Drew 1985; Sarwiyono 2000; dalam Nalley 2006). Selanjutnya
dikatakan Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa dari segi kandungan gizi, daging
rusa timor tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi, ayam dan itik
(Tabel 1).
Tabel 1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya
Protein
Sumber: Anonimous 2002 dalam Semiadi dan Nugraha 2004.
Selain keunggulan-keunggulan tersebut di atas, kelebihan yang tidak
(kulit halus pembungkus ranggah) pada awal pertumbuhannya. Ranggah velvet
adalah ranggah muda yang masih diselimuti oleh kulit halus berbulu dan vaskuler
yang fase pertumbuhannya belum memasuki fase klasifikasi (penulangan). Velvet
ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena kegunaannya dalam bidang
pengobatan tradisional. Fase ranggah velvet merupakan setengah dari fase
pertumbuhan ranggah sebelum menjadi keras. Di Cina, velvet telah dimanfaatkan
lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk pengobatan. Satu batang (stick) velvet
mempunyai fungsi yang berbeda antar bagiannya. Bagian atas velvet berguna untuk
bahan pemacu pertumbuhan (promote growth), bagian tengah digunakan untuk
pengobatan arthritis dan osteonyelitis, sedangkan bagian paling bawah digunakan
untuk pengobatan defisiensi kalsium terutama pada orang dewasa (Anonimous
2001 dalam Nalley 2006).
Anatomi Organ Reproduksi
Organ Reproduksi Rusa Jantan
Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan
mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa)
dan hormon kelamin jantan (testoteron). Steward (1983); Pramono (1988) dalam
Nalley (2006) memberikan gambaran tentang anatomi rusa jantan, khususnya pada
rusa merah. Anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian
utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis,
orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin
yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra;
kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar
vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai
alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes.
Hasil penelitian Nalley (2006) memperlihatkan, bahwa ukuran organ
reproduksi rusa timor jantan relatif hampir sama dengan ukuran organ reproduksi
ternak domestik lainnya seperti domba dan kambing (Gambar 1). Perbedaan ukuran
organ reproduksi terutama pada testesnya, biasanya berhubungan erat dengan
spermatozoa lebih tinggi. Kemiripan ukuran kelenjar kelamin pelengkap pada
domba dan rusa timor juga berhubungan erat dengan volume semen yang dihasilkan
pada umumnya sangat sedikit, karena fungsi dari kelenjar pelengkap adalah
menghasilkan plasma semen (Toelihere 1985) dalam Nalley (2006). Perbedaan
anatomis juga terlihat jelas pada organ reproduksi rusa jantan dengan tidak
terdapatnya lengkungan huruf S (flexura sigmoidea) pada bagian corpus penis yang
merupakan ciri khas ternak ruminansia pada umumnya. Haigh dan Hudson (1993)
dalam Nalley (2006) juga melaporkan tidak ditemukannya lengkungan huruf S pada
saluran reproduksi jantan khas dengan adanya siklus ranggah dan musim kawin.
Sumber: Nalley 2006.
Gambar 1 Organ reproduksi rusa timor jantan
Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis
ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas
dari tipe penis fibroelastis (Hafez 1993). Pada rusa meskipun termasuk ruminansia,
laporan yang ada menyimpulkan hal yang berbeda. Haigh (1993) melaporkan
corpus penis rusa wapiti tidak memiliki flexura sigmoidea, sementara
Geisert (2005) menyatakan pada rusa merah ditemukan adanya lengkungan
Organ Reproduksi Rusa Betina
Secara umum anatomi organ reproduksi rusa betina mempunyai ukuran
yang hampir sama dengan domba dan kambing, terdiri atas satu pasang gonad
(ovarium), satu pasang tuba fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus
uteri, serviks, vagina dan vulva (Gambar 2A). Panjang total organ reproduksi rusa
timor mulai dari tuba fallopii sampai vulva antara 427,0 mm sampai 459,7 mm.
Dari hasil penelitian Nalley (2006), diperoleh berat rata-rata ovarium kanan
0,68±0,24 g, sedangkan ovarium bagian kiri mempunyai ukuran yang lebih berat
yaitu 0,94±0,34 g. Data ini menunjukkan bahwa ovarium bagian kiri lebih aktif
dibandingkan ovarium bagian kanan. Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai
penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon
kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan
progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi
betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), serviks (tempat seleksi
spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat
berkembangnya fetus) dan tuba fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).
Tuba fallopii bagian kiri lebih panjang dibandingkan tuba fallopii bagian
kanan. Panjang tuba fallopii rusa timor bagian kanan adalah 15,57±1,00 cm,
sedangkan bagian kiri mempunyai panjang 16,67±2,48 cm. Saluran ini mempunyai
peranan penting dalam reproduksi, yaitu sebagai tempat terjadinya kapasitasi
spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio (Gambar 2A).
Uterus merupakan saluran reproduksi utama terbagi atas cornua, corpus dan
serviks (Gambar 2A). Rataan panjang cornua bagian kanan adalah 11,10±0,53 cm,
sedangkan bagian kiri 12,07±1,46 cm. Rataan panjang bagian corpus uteri pada rusa
timor 1,40±0,20. Melihat gambaran dan ukuran corpus uteri dari rusa timor ini jika
dibandingkan dengan ternak sapi, domba, babi dan kuda maka panjangnya mirip
dengan uterus kuda dan termasuk dalam tipe uterus bipartitus (Gambar 5B). Serviks
merupakan bagian leher uterus yang mengandung otot kunci dan terdiri atas
beberapa cincin anuler (Gambar 2B). Serviks rusa timor mempunyai panjang
5,67±1,20 cm dengan diameter luar 1,08±0,10 cm dengan jumlah cincin anuler pada
serviks terdapat 4–5 buah dan panjang vagina pada rusa timor adalah 18,2±0,85 cm
Sumber; Nalley (2006). A B
Gambar 2 Organ kelamin betina utuh: (A) ogan kelamin betina yang dibuka pada daerah uterus dan serviks. (B) Ovarium (a), tuba Fallopii (b), uterus (c), cincin anuler pada serviks (d) dan vagina (e) rusa timor, bar = 1cm.
Pada rusa wapiti panjang cornua uteri 5-8 cm dengan corpus uteri kurang
dari 3 cm. Panjang serviks 10-15 cm dengan diameter 1,5-5 cm. Pada rusa merah
panjang cornua uteri dan corpus uteri sama dengan pada rusa wapiti, tetapi serviks
rusa merah lebih pendek, yaitu 5-7 cm dengan diameter yang lebih besar (2,3 cm)
dan jumlah cincin serviks yang ditemukan sama pada rusa wapiti maupun rusa
merah yaitu 4-6 buah (Haigh et al. 1993) dalam Nalley (2006).
Pubertas
Pubertas pada betina ditetapkan sebagai keadaan saat pertama kali
menunjukkan estrus disertai ovulasi. Umur betina pubertas mempunyai variasi yang
lebih luas dari pada berat badan pada saat pubertas, ini berarti bahwa berat badan
lebih berperan terhadap pemunculan pubertas dari pada umur. Hal ini ditunjang
adanya teori yang dikenal sebagai target weight theory, yaitu seekor ternak akan
mencapai pubertas atau aktivitas reproduksi dapat berlangsung secara normal jika
telah mencapai berat badan tertentu. Pubertas pada rusa seperti pada ruminansia
lainnya, lebih berhubungan dengan berat badan dari pada umur. Sebagai contoh,
rusa betina dapat kawin dan bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Pada rusa
betina, pubertas dicapai pada umur 1,5 tahun(Semiadi 1998b), 15 sampai 18 bulan
Pandangan praktis, bahwa baik betina maupun jantan telah mencapai
pubertas apabila ternak telah mampu melepaskan sel kelamin atau gamet dan
menampakkan tingkah laku seksual secara sempurna yang berlangsung
berturut-turut. Gejala-gejala ingin kawin (libido) pada rusa timor jantan adalah jika rusa
jantan dewasa selalu mengeluarkan suara dalam interval waktu tertentu terutama
pada waktu pagi dan sore hari sambil berendam di lumpur dan terkadang terjadi
juga pada malam hari. Berjalan dengan mulut mendatar, menegakkan kepala,
berdiri tegak sambil mengarahkan mulutnya ke rusa betina yang estrus, mengikuti
jejak rusa betina sambil membaui bekas urin yang dikeluarkan rusa betina tersebut.
Guinness et al. (1971) dalam Nelley (2006) melaporkan hasil pengamatannya
terhadap lebih dari 120 kejadian selama tiga tahun pada rusa merah, menunjukkan
besarnya variasi kelakuan estrus secara individual yang memungkinkan untuk
menggambarkan ciri-ciri utama kelakuan estrus rusa. Dikemukakan bahwa indikasi
seekor rusa betina estrus ada!ah ketika terlihat ada rusa jantan yang mencoba
mendekatinya pada jarak 10 sampai 15 meter dan mulai terlihat keduanya
beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi betina tersebut
dengan kelakuan makin agresif dan menunjukkan makin tinggi perhatiannya
terhadap betina, menggosokan gigi dan ranggahnya. Kelakuan ini biasa berlangsung
selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian
antar pejantan memperebutkan betina estrus.
Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri,
kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih
dari vagina yang berbau khas, pantat dan kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke
belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina
tersebut. Betina estrus juga sering memperlihatkan kelakuan berdiri di belakang
betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus
bersamaan, kadang-kadang mereka saling menaiki. Selama masa estrus seekor rusa
betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali selamakurang lebih dua jam oleh seekor
pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan kadang-kadang seekor rusa betina estrus
bersedia menerima lebih dari satu pejantan. Seluruh kelakuan estrus itu berlangsung
Rusa timor mencapai pubertas pada umur tujuh sampai sembilan bulan
dengan waktu awal bereproduksi secara optimal pada umur 16,5 bulan (17 sampai
18 bulan). Sedangkan rusa sambar mencapai umur pubertas sekitar delapan sampai
sembilan bulan dan menjadi fertil pada umur 12 sampai 14 bulan. Rusa bawean
mencapai pubertas pada umur 12 bulan bahkan ada yang mencapai 24 bulan.
Sementara itu untuk jenis rusa luar negeri yaitu rusa merah, umur pubertas rusa
jantan adalah 9 sampai 15 bulan dan menjadi fertil pada umur 16 bulan, sedangkan
umur dewasa kelamin rusa betina lebih dari 16 bulan (Lincoln 1971; dalam
Nalley 2006). Data umur pubertas jenis-jenis rusa di Indonesia masih sangat
terbatas, sehingga masih memerlukan pengamatan yang lebih intensif.
Tingkah Laku Seksual
Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola
tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan
untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya
menghasilkan keturunan. Sedangkan Keveme (1985) dalam Austin dan Short
(1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin
meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari
ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual
tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke
saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina
tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada
waktu yang optimal (Austin dan Short 1985).
Fenomena tingkah laku (behaviour)yang muncul akibat adanya rangsangan
(stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine 1985).
Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah
laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman
(olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual). Rangsangan
olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina
yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina
Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan
kawin, sedangkan pada betina dikenal dengan gejala estrus baik dari perubahan
alat kelamin dan tingkah laku estrus. Gejala estrus pada rusa timor betina telah
diteliti oleh Nalley (2006), terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan implan
CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering
mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan
basah, (5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan
(7) tidak menolak pada saat vulva dipegang.
Siklus Estrus pada Betina
Siklus estrus adalah jarak waktu yang terletak diantara dua saat estrus yang
berurutan pada ternak betina. Terdapat perbedaan panjang siklus antara rusa daerah
tropis dan daerah temperat, di mana pada rusa daerah tropis cenderung lebih pendek
dibandingkan dengan di daerah temperat (Semiadi 1995). Sampai saat ini informasi
panjang siklus estrus untuk rusa-rusa di Indonesia masih terbatas, namun untuk
beberapa jenis rusa di daerah remperat telah diketahui sangat bervariasi. Siklus
estrus terpanjang dilaporkan pada rusa Alces alces dapat mencapai 25 sampai 30
hari (Semiadi 1995) (Tabel 2). Siklus estrus paling pendek 9 sampai 12 hari pada
rusa Rein (Dott dan Utsi 1973; Pramono 1988 dalam Nalley 2006). Dari beberapa
penelitian diketahui lama siklus estrus rusa merah adalah 18-19 hari (Jopson et al.
1990; dalam Nalley 2006), Dama dama 24,2±1,3 hari (Asher 1985). Ropstad et al.
(1995) melaporkan rata-rata siklus estrus untuk rusa Rein semidomestik (Rangier
tarandus tarandus) di Norwegia adalah 19,4 hari (13-33 hari). Rusa timor di
Kaledonia Baru 68 % mempunyai panjang siklus estrus 16-18 hari dan 27 % selama
17 hari (Bianchi et al. 1994).
Dari data di bawah ini (Tabel 2), dapat dikemukakan bahwa lama siklus
estrus rusa berkisar antara sembilan hari (siklus pendek) dan 26 hari (siklus
panjang), bervariasi menurut jenis rusa, lingkungan maupun metode pengamatan
yang dilakukan. Sedangkan Guiness et al. (1971) dalam Nalley (2006)
mengemukakan, bahwa lama estrus rusa sering lebih dari 24 jam dan
Fennesy et al. (1985) melaporkan lama estrus rusa 12 sampai 14 jam. Namun
PGF2-alpha menunjukkan lama estrus mencapai lebih dari 24 jam. Perbedaan
lama estrus antara rusa tropis dan rusa temperat cukup lebar (Semiadi 1995).
Pada rusa tropis panjang siklus estrus antara 10 hari dan 23 hari yang paling
pendek pada rusa timor (10-18 hari) dan paling panjang pada rusa totol (12-23 hari)
(Tabel 2) (Semiadi 1995).
Tabel 2 Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada beberapa rusa temperat dan tropis
Spesies Lama estrus
Cervus elaphus 16-24 17,5-18,3
Odocoileus hemionus - 22-29
Odocoileus virginianus 37,5-42,3 28
Rangiferus taradus 50 24
Dama dama - 24-26
Tropis
Cervus eldi thamin 12-24 19
Axis axis - 12-23
Cervus timorensis 6-25; 48 10-18; 20-22
Cervus unicolor -
17
Sumber: Semiadi (1995).
Periode Siklus Estrus
Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang
berlangsug secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan
aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak
betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode
waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki.
Toelihere (1995) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel
telur yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat kaitannya dengan sistem
hormonal. Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada
hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin.
Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan
jantan, courtship dan terjadinya kopulasi. Partodihardjo (1992) menyatakan,
bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana akan menerima dan diam
menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari
satu siklus estrus. Estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang
ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL (corpus
Luteum) mulai terbentuk pada saat LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis
anterior meningkat dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) menurun. Apabila
hewan betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat
dengan jelas, maka penolakkan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina
masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat.
Proses ovulasi merupakan suatu proses pelepasan sel telur dari folikel
yang matang (de Graaf). Menurut Frandson (1992) akibat pecahnya dinding
folikel maka cairan folikel dan ovum akan terlepas dan masuk ke dalam rongga
peritonial di daerah infundibulum tuba fallopii. Ovum bersama sel-sel
kumulusnya akan terlontar keluar bersama dengan cairan folikel. Ovulasi yang
terjadi pada ternak betina merupakan kejadian siklik dengan waktu interval
kejadian yang teratur kecuali ternak tersebut mengalami kebuntingan, anestrus
(periode tidak bersiklus), induk pasca melahirkan dan ketidakseimbangan
hormonal.
Metestrus adalah periode awal sejak berakhirnya estrus atau fase setelah
ovulasi. Utamanya pada periode ini pembentukan CL (corpora lutea pada ternak
multiovulator) (McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH
(Luteotropic Hormone) atau prolaktin dari hipofisis anterior. Metestrus ditandai
dengan terhentinya estrus dan rongga folikel segera berangsur mengecil dan
pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian
sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dan Bagnara 1985; dalam Fathan 2006).
Lamanya periode ini bergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior
mengsekresikan LTH (Elmer et al. 1981; dalam fathan 2006).
Diestrus merupakan periode dari siklus estrus yang ditandai terbentuknya
CL yang berfungsi secara penuh atau periode terakhir dari siklus estrus. CL
berkembang secara sempuna dan pengaruh progesteron tampak pada dinding
uterus (Salisbury dan Bagnara 1985; dalam Fathan 2006). Perkembangan otot
yang kental untuk ketersediaan makanan bagi zigot (McDonald 1989). Jika terjadi
kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dipertahankan
oleh LTH yang disekresikan oleh plasenta.
Periode proestrus berawal ketika terjadi regresi corpus luteum dan kadar
hormon progesteron turun dan berakhir sampai muncul estrus. Hal pokok yang
terjadi dalam proestrus adalah berlangsungnya pertumbuhan folikel yang cepat.
Akhir periode ini, dapat dilihat pengaruh hormon estrogen pada sistim saluran
reproduksi dan tingkah laku gejala-gejala akan terjadinya estrus.
Sinkronisasi Estrus
Tujuan sinkronisasi estrus adalah untuk mendapatkan seluruh hewan yang
diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang diketahui dengan pasti,
sehingga masing-masing hewan dapat diinseminasi dalam waktu yang bersamaan
dan untuk menghasilkan angka kebuntingan yang lebih baik dibanding dengan
kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan secara alamiah
maupun dengan IB. Keserentakan estrus dan ovulasi sedikitnya akan
mempertinggi kemungkinan pertemuan sel telur dan spermatozoa dalam proses
pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru.
Prinsip sinkronisasi estrus secara fisiologik adalah hambatan pelepasan LH dari
hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de Graaf atau
penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau secara fisiologik
dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Toelihere (1985) mendefinisikan
sinkronisasi estrus adalah suatu pengendalian siklus estrus yang dilakukan pada
sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal,
sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama atau
dalam kurun waktu dua atau tiga hari setelah perlakuan dilepas. Sedangkan Hafez
(1993) menyatakan, bahwa sinkronisasi mengarah pada hambatan ovulasi dan
penundaan aktivitas corpus luteum. Dengan demikian, maka IB dapat dilakukan
secara serentak.
Penelitian tentang penggunaan hormon progesteron dalam kegiatan
sinkronisasi estrus telah dilakukan dan lebih diarahkan pada penentuan program
Melangosterol Asetate (MGA), Controlled Internal Drug Release Bovine
(CIDR-B), Progesteron Releasing Intravaginal Divice (PRID) dan Norgestomet
Implant (Syncro-Mate B) tetah digunakan untuk kegiatan sinkronisasi estrus pada
ternak. Implan progesteron (CIDR-G) yang digunakan pada ternak domba dan
kambing, pemberiannya dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan
dengan PMSG (Gordon 1999). Disamping penggunaan CIDR-G, PMSG juga
sering digunakan setelah pemberian progesteron untuk menstimulir estrus dan
ovulasi. Secara fisiologis PMSG sangat aktif menyebabkan pertumbuhan folikel
dan sedikit luteinisasi (Toelihere 1985). Moore (1984) dan Alfuraiji et al. (1993)
menyatakan bahwa keuntungan menggunaan PMSG untuk merangsang
peningkatan pertumbuhan folikel preovulatoris adalah tersedia dalam jumlah yang
besar dengan harga murah dan penggunaannya cukup hanya diberikan satu kali
saja karena memiliki masa paruh yang panjang.
Improvisasi yang dapat dilakukan pada spesies cervidae adalah
sinkronisasi estrus dengan menggunakan berbagai preparat hormon sintetik.
Beberapa metode sinkronisasi estrus pada rusa betina yaitu dengan induksi
progesteron. Dengan perlakuan ini masa hidup corpus luteum diperpanjang,
sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama antara 12–14 hari baru
menunjukkan gejala estrus. Pada domba pemberian progesteron dapat dilakukan
dengan metode spons dan implan intravaginal. Spons intravaginal mengandung
30-40 mg flurogestone acetate (FGA: clorolone) atau 60 mg medroxy
progesterone acetate (MPA). Akan tetapi pemberian FGA atau MGA dengan
metode intravaginal terhadap persentase kawin dan kelahiran serta jumlah anak
yang dilahirkan pada ternak domba tidak memberikan pengaruh yang nyata
(Gordon 1999).
Intensitas Estrus
Intensitas estrus adalah sebagai penentuan taraf aktivitas tingkah laku
kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat
adanya perlakuan sinkronisasi terhadap rusa-rusa percobaan. Dalam manajemen
ternak domestik yang telah dikembangkan, sinkronisasi estrus merupakan
pendekatan yang paling logis untuk mengendalikan siklus estrus ternak dengan
pemunculan estrus dapat diperkirakan secara serentak dan sangat membantu
dalam penerapan program inseminasi buatan (Hunter 1995).
Inseminasi buatan pada rusa, seperti juga pada ternak kambing dan domba
sulit dilakukan dengan melihat siklus estrus alamiah. Untuk meningkatkan
keberhasilan IB, harus disertai dengan pelaksanaan sinkronisasi estrus. Seperti
pada ruminansia yang telah didomestikasikan, sinkronisasi dapat dilakukan
dengan menstimulasi aktivitas corpus luteum (CL) dengan pemberian progesteron
atau dengan memperpendek fase luteal pada siklus estrus dengan pemberian agen
luteolisis (PGF2α atau analognya) (Asher dan Thompson 1989). Untuk beberapa
spesies cervidae seperti fallow deer memungkinkan sinkronisasi estrus hanya satu
kali selanjutnya dilakukan pengamatan estrus berikutnya tanpa pengulangan
sinkronisasi.
Penggunaan CIDR-G sudah banyak diterapkan pada spesies rusa tanpa
penambahan gonadotropin eksogen. Metode yang sederhana ini sangat mudah
diterapkan pada spesies rusa dan ternak lain (Toelihere 1997). Implan CIDR-G
pada fallow dan red deer umumnya dilakukan selama periode 12-14 hari, secara
umum sangat efektif untuk merangsang terjadinya estrus yang sinkron dalam
waktu 48 jam setelah pencabutan CIDR-G. Cara ini juga telah berhasil dilakukan
dengan sukses pada chital deer, elk deer dan rusa sambar (Asher et al. 2000).
Penggunaan CIDR-G pada beberapa penelitian dikombinasi dengan hormon lain
untuk meningkatkan efeknya dalam menimbulkan estrus dan ovulasi. Kombinasi
dengan hormon equnine chorionic gonadotropin (eCG) diberikan pada waktu atau
mendekati waktu pencabutan CIDR-G (Asher et al. 2000; Argo et al. 1994),
dikombinasi dengan 300 IU PMSG pada hari pencabutan CIDR-G
(Mylrea et al. 1992; Anonimous 1995; Jabbour et al. 1993), kombinasi dengan
o-FSH atau cloprostenol (Asher et al. 1992).
Untuk ketepatan waktu inseminasi pada sekelompok rusa betina
diperlukan adanya keserentakan estrus sehingga dapat diinseminasi pada waktu
yang sama. Keserentakan estrus dapat dicapai dengan mudah dengan perlakuan
standar intravaginal, yaitu dengan memasukan CIDR-G ke dalam vagina
sekelompok rusa betina dicabut secara bersama-sama, kemudian dilanjutkan
dengan pemberian PMSG yang disuntikkan secara intramuskuler untuk menjamin
keberhasilan ovulasi dan penyuntikkan ini penting diberikan pada awal musim
kawin. Selanjutnya betina diamati sampai terlihat estrus yaitu 36-40 jam setelah
pencabutan implan CIDR-G dan akan berovulasi 52-56 jam setelah pencabutan
implan CIDR (Anonimus 1995).
Intensitas estrus dengan katagori tinggi, sedang dan rendah dapat
dibedakan dari respon gejala-gejala estrus yang ditampakkan dari rusa betina
48-60 jam setelah pencabutan implan CIDR-G. Makin tinggi intensitas estrus,
makin besar peluang penentuan waktu optimum IB. Pemberian implan CIDR-G
bertujuan untuk menekan aktivitas ovarium secara temporer. Metode ini
didasarkan pada penemuan, bahwa menekan aktivitas folikuler melalui
pencegahan pelepasan LH dari hipofisis anterior dengan memperpanjang atau
mempertahankan fase corpus luteum sehingga ternak berada pada periode luteal
(Tomaszewska 1991). Ada dua cara yang umum dipakai dalam penggunaan
CIDR-G, yaitu metode pemberian jangka pendek dan jangka panjang. Kehadiran
hormon progesteron dapat menimbulkan umpan balik negatif terhadap sekresi
hormon lain terutama GnRH yang menghambat lonjakan sekresi LH. Konsekuensi
dari mekanisme ini adalah tidak terjadi pematangan folikel serta ovulasi. Atas
dasar mekanisme kerjanya, hormon ini kemudian digunakan sebagai salah satu
preparat untuk memanipulasi aktivitas reproduksi pada ternak. Selama konsentrasi
hormon masih tinggi di dalam sirkulasi darah, folikel dominan dari gelombang
pertama dan kedua sulit mencapai folikel ovulatori. Hal ini disamping karena
lonjakan sekresi LH yag sulit terjadi, juga disebabkan karena folikel-folikel
menurun fertilitasnya.
Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan (IB) telah berhasil dilaksanakan oleh Nalley (2006),
namun secara umum standar patokkan IB belum ada. Metode IB dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu mendeposisikan semen pada vagina (intravaginal),
Hal yang masih berkaitan dengan IB pada rusa adalah penggunaan semen.
Kriopreservasi semen dimaksudkan untuk mempertahankan daya hidup
spermatozoa dalam waktu lama dan tidak terbatas. Semen didinginkan secara
gradual sampai membeku dan disimpan dalam N2 cair dengan suhu -196 °C.
Untuk mencegah kematian spermatozoa dalam keadaan beku, maka digunakan
bahan pengawet krioprotektan (gliserol). Dilaporkan Hafez et al. (1993) bahwa
kadar dan penambahan gliserol ke dalam bahan pengencer bervariasi bergantung
pada jenis pengencer, metode pembekuan dan spesies ternak.
Penerapan teknologi IB pada rusa telah banyak dilaporkan dengan
berbagai metode. Pada red deer dan elk deer dengan teknik IB laparoskopi
intrauterin dengan dosis spermatozoa sebanyak 20 juta sel menunjukkan hasil
cukup baik (Asher et al. 2000); pada rusa Axis-axis inseminasi intraservikal
menghasikan angka konsepsi 40 % untuk semen cair dan 10 % semen beku
(Mylrea 1992a); fallow deer IB menggunakan laparoskopi intrauterin
menghasilkan 60–70 % kebuntingan baik dengan semen cair maupun semen beku
(Asher et al. 1993). Hasil serupa juga dilaporkan oleh Drajat (1997) dengan IB
secara intraservikal atau intrauterin menggunakan semen cair atau semen beku
diperoleh angka konsepsi kurang dari 30 %.
Teknik laparoskopi intrauterin merupakan metode inseminasi yang paling
dipercaya keakuratanya untuk rusa merah. Rusa betina yang sudah tenang dapat
dilihat uterusnya melalui fiber optik laparoscope yang dimasukkan melalui
dinding abdominal, semen disuntikkan langsung ke dalam uterus melalui pipet
dan dimasukkan juga melalui dinding abdominal. Prosedur inseminasi cara ini
memakan waktu selama 30 detik untuk setiap ekor rusa, total waktu yang
dibutuhkan adalah 52–56 jam setelah pencabutan alat CIDR (Anonimus 1995).
Inseminasi intraservikal, dilakukan dengan menggunakan bantuan alat
seperti spekulum atau vaginoskop untuk memudahkan melihat dan mengarahkan
gun IB ke arah serviks. Cara ini juga biasa dilakukan pada ternak kambing dan
domba, juga rusa (Drajat 2000). Pada rusa, inseminasi intraservikal ini dapat
dilakukan dengan pembiusan tetapi kondisi rusa yang jinak tidak memerlukan
inseminasi yang lebih sederhana untuk dilakukan tetapi tingkat keakuratannya
lebih rendah (Anonimus 1995).
Diagnosa Kebuntingan
Beberapa metode diagnosa kebuntingan yang dapat digunakan seperti
pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya, teknik USG dan pengukuran
konsentrasi hormon reproduksi, masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pemeriksaan kebuntingan pada rusa dapat mengikuti metode
pemeriksaan kebuntingan pada kambing dan domba dengan beberapa
modifikasinya yaitu: (1) Teknik USG, merupakan pilihan utama pada kambing
dan domba dan dapat mendeteksi 90 % keakuratan kebuntingan pada pertengahan
masa kebuntingan, (2) Palpasi abdominal, (3) Teknik radiografi, dapat memeriksa
kebuntingan setelah 90 hari IB, (4) Biopsi Vagina, 97 % akurat pada umur
kebuntingan 40 hari pada kambing dan domba dan 5) Uji hormonal, konsentrasi
progesteron pada rusa tidak bunting adalah rendah (kurang dari 1 ng/ml dengan
satu corpus luteum).
Indikasi awal kebuntingan perlu dilakukan, walaupun bukan merupakan
ukuran keberhasilan program inseminasi buatan. Diagnosa kebuntingan pada rusa
dapat mengikuti metode pemeriksaan kebuntingan pada kambing dan domba
dapat mendeteksi kebuntingan hingga 90 %. Teknik rektal USG untuk
mendiagnosa kebuntingan dini pada rusa telah dilakukan pada rusa fallow
(Mulley et al. 1987), pada rusa merah (Anonimous 1995) dan pada rusa totol
(Mylrea et al. 1985) dengan tingkat keberhasilan yang cukup baik.
Keberhasilan inseminasi ditandai dengan terbentuknya embrio dalam
saluran reproduksi hewan betina. Selama memasuki tahap perkembangan
berikutnya yaitu fetus, bila hewan betina mampu mempertahankan kandungan
selama masa kebuntingan yang normal disebut masa kebuntingan penuh. Masa
kebuntingan atau lama kebuntingan sangat bervariasi antar spesies. Pada spesies
rusa selama masa kebuntingan rusa betina cenderung lebih soliter dan menarik diri
Tabel 3 Lama kebuntingan dan calving interval pada rusa tropis dan rusa temperat
Spesies Lama bunting
(hari)
Calving interval
(hari) Penulis
Rusa tropik
Axis axis 238–242 281–285 Mylrea 1991
Cervus timorensis 215–225 - Bentley 1978
Cervus timorensis 217–277 359–372 Van Mourik 1986
Cervus timorensis 248–258 280–400 Woodfoord & Dunning 1992
Cervus timorensis 253 271–281 Woodford 1991
Cervus timorensis 236–262 - Mylrea 1991
Cervus unicolor 240 - Bentley 1978
Rusa temperate
Cervus elaphus 231 - Clutton – Brock et al. 1982
Sumber : Semiadi (1995).
Lama kebuntingan rusa timor sekitar 250 sampai 285 hari, delapan bulan
(rusa bawean) dan tujuh bulan (rusa sambar). Hasil pengamatan pada rusa timor di
kandang penangkaran, lama kebuntingan diketahui sekitar delapan bulan, dengan
perhitungan perkawinan terjadi pada pertengahan Agustus dan kelahiran terjadi
pada awal April tahun berikutnya. Sedangkan lama kebuntingan antara rusa tropis
dan temperat menunjukkan adanya kesamaan tetapi calving intervalnya bervariasi
antara rusa tropis dan rusa temperat sebagaimana terlihat pada tabel 3. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan musim pada daerah temperat akibat adanya
musim kawin yang dipengaruhi oleh fotoperioditas (Semiadi 1995).
Gelombang Ultrasonik
Gelombang ultrasonik memiliki sifat sebagai berikut; (1) merambat sama
seperti sifat cahaya, (2) permeabilitas (tembus air) bergantung pada materi yang
terkena gelombang ultrasonik, (3) melemah dan memantulkan, (4) susah
merambat pada gas atau uap air, (5) mudah merambat pada benda padat atau cair
dan (6) tulang walaupun benda padat dan keras sangat susah untuk merambatkan
gelombang.
Pemeriksaan dengan menggunakan gelombang ultrasonik terhadap organ
dalam hewan bergantung pada kuat lemahnya gelombang ultrasonik yang
dipantulkan dan perbedaan waktu memantulkan (refleksi) dapat dilihat pada layar.
eksperimen). Curies dari Paris (1880) dalam Manual USG (Aloka SSB 500 1998),
orang yang pertama kali menggunakan pemeriksaan dengan gelombang
ultrasonik. Dengan pemeriksaan echo dapat dilihat kondisi fetus yang ada di
dalam uterus yang sedang bunting. Pemeriksan echo bergantung pada tempat yang
diperiksa, misalnya pada pemeriksaan echo pada bagian perut, jantung, kelenjar
gondok, kelenjar susu (kwartir), bagian kebidanan dapat diperiksa. Bentuk
gelombang ultrasonik dan probe yang digunakan pada masing-masing
pemeriksaan tersebut sedikit berbeda bergantung pada obyek yang diperiksanya.
Probe merupakan alat mesin seukuran tangan untuk mengeluarkan echo pada
bagian yang dikenakan langsung pada bagian tubuh, ovari dan uterus.
Kelebihan penggunaan gelombang ultrasonik tidak terasa sakit dan tidak
berbahaya. Gelombang ultrasonik yang digunakan pada pemeriksaan echo sinar X
(rontgent) tidak berbahaya pada bagian tubuh yang lain. Informasi hasil
pemeriksaan yang ingin diketahui lebih banyak. Pemeriksaan dapat dilakukan
kapan saja dan selain teknisi dapat juga diperlihatkan pada pihak ketiga atau orang
lain. Untuk pemeriksaan secara rektal perlu pengalaman dan kecermatan dan
umumnya diameter corpus luteum dan folikel yang diperiksa dengan palpasi
rektal apabila dibandingkan pemeriksaan dengan gelombang ultrasonik hasil
pemeriksaan dengan palpasi tidak akurat. Pada pemeriksaan kebuntingan
pemeriksaan rektal dengan gelombang ultrasonik menjadi lebih cepat dan
pemeriksaan jenis kelamin dan kembar dapat dilakukan.
Kelemahan penggunaan alat gelombang ultrasonik, yaitu perlu tenaga
listrik (untuk pemeriksaan di lapangan), harganya mahal dan perlu perhatian
khusus, apabila digunakan di luar ruangan (lapangan) serta perlu kecermatan dan
kebiasaan dalam pemeriksaan. Selain itu, frekuensi dapat terjadi perubahan
bergantung pada kondisi tubuh. Pada tubuh individu hewan yang diperiksa apabila
kondisi tubuh gemuk, jalannya gelombang ultrasonik kurang baik dan sering tidak
terlihat. Teknik USG yang dipergunakan pada manusia telah diterapkan pada
ternak babi dengan hasil cukup memuaskan, tetapi alat ini cukup mahal dan
Pemeriksaan dengan Probe
Cara pemeriksaan alat gelombang ultrasonik dipusatkan pada pengamatan
ovari dan pemeriksaan kebuntingan yang menjadi garapan pada bidang reproduksi
dan pemeriksaan ini, frekuensi yang digunakan masing-masing probe berbeda
(3,5 MHz - 7,5 MHz) (Gambar 3).
Linier type Convex type
A B
Gambar 3 Model sistem refleksi pulsa (probe)
Alat tersebut di atas digunakan dengan berbagai model, tetapi yang
diperlukan dalam bidang reproduksi adalah model sistem B refleksi pulsa. Alat ini
dari refleksi atau pantulan obyek yang diperiksa dengan simbol listrik dari echo
dapat dibedakan sebagai brightness tube brown. Model penayangan yang
berhubungan dengan gambar layar menggunakan sistem scanning linear
elektronik. Dalam hal ini pengamatan dinamis pada obyek pemeriksaan dapat
dilakukan. Scanning permeriksaan atau analisa gambar yang ditayangkan satu per
satu dan gambar yang sudah dianalisa satu per satu dapat disusun kernbali.
Biasanya dilakukan secara linear dan hasilnya dapat diinformasikan atau disebar
luaskan, bahkan diperlihatkan melalui layar televisi, faksimil dan sebagainya.
Pada waktu pemeriksaan di layar, obyek pemeriksaan artifact gambaran yang
keliru dapat dilihat.
Pemeriksaan pada Organ Reproduksi Betina
Pada pemeriksaan reproduksi pada sapi dengan tangan masuk ke dalam
rektum adalah hal yang biasa, tetapi apabila pengamatan utamanya posisi uterus
dan ovari diperlukan kemahiran. Pada pemeriksaan dengan probe dapat juga
dilakukan melalui vagina dan pemeriksaan gelombang ultrasonik digunakan untuk
pertumbuhan folikel, ovulasi dan corpus luteum. Kemudian perubahan morfologis
bentuk uterus, lapisan urat darah dan kondisi perkembangan cairan sekresi yang
ada di dalam rongga uterus dapat dilihat dengan jelas pada layar. Menurut
Jainudeen (1994) dalam Adil (1996), bahwa obyek pemeriksaan uterus bunting
(umur 45 hari) pada kambing yang perlu diperhatikan dengan menggunaaan USG
adalah adanya plasentum, cairan amnion dan alantois, bagian fetus seperti kepala,
tulang rusuk, tulang belakang, anggota badan dan jantung.
Pemeriksaan Ovarium
Masa estrus, yaitu penayangan posisi kumparan ovarium dengan probe
biasa, dapat dilihat berbentuk elips dengan diameter minimal 3 cm. Jaringan
lingkarannya dapat dilihat dengan jelas dari kualitas dasar dan tingkatan echo.
Pada masa estrus gambar ovarium yang berdiameter kurang lebih 1,5-2,5 cm
dengan echo free dapat diperiksa. Urat darah disekitar ovarium pada gambar
lapisan atau tingkatan yang sama, bengkak pada selaput diantara saluran fallopii
dapat ditayangkan atau dilihat. Masa estrus akhir, yaitu ovarium yang tumbuh
dengan diameter 2,5 cm dapat dilihat pada masa estrus, apabila pemeriksaan
ovulasi pada hari-hari berikutnya tidak dapat diamati. Oleh karena perubahan
bentuk ovarium secara jelas, pengumpulan darah dan cairan folikel pada rongga
folikel dapat ditayangkan oleh echo free atau brightness echo pada kondisi cystic
follicle bentuk datar yang dapat dibedakan dengan kualitas dasar ovarium.
Masa fase luteal, yaitu corpus luteum yang baru dibentuk dari peredaran
darah yang sehat, dapat ditayangkan dengan tingkatan echo yang rendah dan
mudah membedakannya, terutama untuk corpus luteum dari masa estrus
7 sampai 15 hari, orang yang baru belajar pun dapat mengetahuinya dengan jelas
dan pemeriksaan cystic corpus luteum yang mengumpulkan cairan pada rongga
corpus luteum pun mudah diperiksa dan besarnya selaput berbeda-beda. Masa
awal estrus, yaitu pengecilan (regresi) corpus luteum pada penurunan jumlah
aliran darah tingkatan cahaya echo menurun dan menjadi sulit dibedakan dengan
kualitas dasar ovarium, tetapi pertumbuhan folikel yang berdampingan dapat
dengan jelas diperiksa walaupun tampak menayangkan corpus luteum
Pemeriksaan Uterus
Masa estrus dengan penayangan melintang probe, bagian uterine horn
mulai dari bagian luar perimetrium, otot uterus, lapisan urat darah, uterine mucous
membran yang berbentuk bulat dapat dilihat. Pengaruh pemberian hormon pada
masa estrus, myometrium, perimetrium, dan endometrium dapat dilihat. Pada
masa akhir estrus sama dengan masa estrus, cairan sekresi yang ada di bagian
dalam selaput uterus mudah terlihat. Fase luteal adalah masa superioritas, dimana
cairan sekresi uterine lumen tidak dapat dipastikan seperti biasa karena pelebaran
dan permeabilitas urat darah yang ada pada endometrium menurun, endometrium
dan lapisan otot/urat susah dibedakan serta lapisan urat darah juga sulit diperiksa.
Diagnosa kebuntingan untuk melihat gambaran kantung fetus 17 hari
setelah IB, lumen uterus sekitar 1 cm di bagian tanduk uterus sebelah corpus
luteum dapat diperiksa dengan teknik USG. Pada pemeriksaan hari ke-20 kantung
fetus dapat diperiksa, tetapi pemeriksaan janin dapat diperiksa pada hari ke-27
setelah IB dan 30 hari setelah IB, rongga amnion, karunkula dapat diperiksa.
Apabila dalam pemeriksaan untuk mendiagnosa kebuntingan kurang yakin,
sebaiknya pemeriksaan dapat dilakukan sekali lagi (diulang) atau lebih baik
menggunakan daftar pemeriksaaan. Pemeriksaan kembar dan membedakan jenis
kelamin dapat juga dilakukan tetapi diperlukan ketelitian. Manan (1987)
melaporkan bahwa teknik USG yang dipakai untuk pemeriksaan kebuntingan
mempunyai prinsip adanya gelombang darah jantung dan darah pembuluh
umbilikalis fetus dan teknik ini mencapai derajat ketelitian 97 % pada
kebuntingan 35–55 hari.
Metabolit Hormon Progesteron
Progesteron merupakan hormon steroid yang menentukan peranan penting
dalam persiapan dan pemeliharaan kebuntingan. Hormon ini disintesa dari
kolesterol melalui pregnenolone, kemudian dengan cepat dimetabolisme menjadi
pregnanediol yang sebagian besar di hati. Ovari dan plasenta merupakan produksi
utama hormon tersebut, tetapi sebagian kecil juga disintesis dari cortex adrenal.
Menurut Hansen dan Liu (1996), menyatakan bahwa progesteron merupakan