• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum adat 012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum adat 012"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas karya tulis yang sangat sederhana ini.

Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Adat Semester-3 Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sebagai masukan setelah kami mempresentasikan tugas karya tulis ini.

Selesainya tugas ini tidaklah terlepas dari adanya bimbingan, bantuan dan petunjuk serta saran dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.

Demikian hal ini disampaikan secara tertulis, atas perhatiannya kami ucapakan terima kasih.

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...1

DAFTAR ISI...2

BAB I PENDAHULUAN...3

BAB II PEMBAHASAN : SEJARAH HUKUM ADAT A. Proses Perkembangan Hukum Adat...4

B. Kitab-Kitab Hukum Kuno Dan Peraturan-Peraturan Asli Lainnya...4

C. Teori Receptio In Complexu...5

D. Sejarah Hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan...6

 Zaman Kompeni / VOC ...6

 Zaman Daendels...7

 Zaman Raffles...7

 Masa Menjelang Tahun 1848...8

 Zaman Jepang...9

 Hukum Adat Setelah Kemerdakaan...9

Pengaruh Hukum Adat Terhadap Hukum Positif di Indonesia...12

BAB III KESIMPULAN...15

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, dan merupakan salahsatu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.

Oleh karena itu, maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan dengan latar belakang atau sejarah yang berbeda-beda. Karena ketidaksamaan inilah kita dapat

mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting karena memberikan identitas kepada bangsa tersebut.

Di negara Republik Indonesia, adat yang dimiliki oleh setiap daerah berbeda-beda, meskipun sifat dasarnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita.

Perhatian terhadap hukum adat tidak hanya terwujud dalam dilahirkannya suatu ilmu hukum adat, tetapi juga terjelma dalam dijalankannya suatu politik hukum adat, yaitu

kebijaksanaan, sikap terhadap dan terutama perundang-undangan (wetgeving) yang berhubungan dengan hukum adat tersebut.

Berbicara tentang hukum Adat dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Beberapa problem itu antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era kekinian sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa Adat tidak mengenal

(4)

BAB II PEMBAHASAN SEJARAH HUKUM ADAT

Sejarah hukum adat dapat dipisah-pisahkan dalam:

1. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.

2. Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.

3. Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum, di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

A. Proses Perkembangan Hukum Adat

Peraturan adat-istiadat di Indonesia pada hakekatnya sudah didapat pada zaman kuno, zaman pra-hindu. Adat-istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat pra-Hindu menurut ahli hukum adalah merupakan adat-adat Melayu-Polinesia. Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang mempengaruhi kultur asli tersebut, sehingga keadaan serta kenyataan hukum adat yang hidup pada rakyat itu merupakan hasil akulturasi antara peraturan adat-istiadat jaman pra-Hindu dengan peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, Islam dan Kristen.

B. Kitab-Kitab Hukum Kuno Dan Peraturan-Peraturan Asli Lainnya

Dengan terdapatnya kitab-kitab pada zaman dulu, seperti Civacasana, Gajahmada, Adigama dan Kutaramanava, maka jelaslah bahwa di Indonesia ini jauh sebelum orang – orang Eropa datang, Indonesia telah memiliki sistem dan asas-asas hukumnya sendiri yang khas, bahkan sebelum datangnya orang-orang Asia disini. Di samping itu, dikenal juga peraturan-peraturan asli sebagai berikut:

- Di Tapanuli : Ruhut Parsaorang di Habatahon(kehidupan sosial di tanah Batak). Patik Dohot Uhum ni Halak Batak(Undang-Undang dan ketentuan Batak).

(5)

- Di Palembang : Undang-Undang Simbur Cahaya(tentang tanah di dataran tinggi). - Di Minangkabau : Undang-Undang nan dua puluh (tentang hukum adat delik).

- Di Sulawesi Selatan : Buku undang-undang perniagaan dan pelayaran dari suku Bugis Wajo.

- Di Bali : Awig-awig(peraturan Subak dan desa) dan agama desa yang ditulis di atas daun lontar.

- Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan yang dahulu pernah bertakhta di negeri ini.

Van Vollenhoven menjelaskan bahwa tatkala kapal pertama dengan bendera tiga warna (Belanda) berlabuh, Indonesia bukan negara yang kosong akan tata-hukum, tetapi telah ditemukan kompleks peraturan dari pelbagai tata-hukum.

C. Teori Receptio In Complexu

Mr L.W.C. can den Berg menengahkan suatu teori tentang hukum adat yang disebut teori Receptio in Complexu. Intinya : Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Jadi tegasnya menurut teori ini, kalau suatu

masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang

bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal ini dianggapnya sebagai

perkecualian/penyimpangan daripada hukum agama yang telah in complexu gerecipieerd (diterima dalam keseluruhan) itu.

Van den Berg menggambarkan hukum adat sebagai berikut : Hukum Adat

(6)

Teori Van den Berg ini mendapat banyak kritikan dari sarjana sebangsanya, yaitu Prof. Snouck Hurgronje, Mr. Van Ossenbruggen, Mr. I.A. Nedeburgh, Mr. C. van Vollenhoven, Mr. Piepers, Mr. W.B. Bergsma dan Clive Day.

Untuk meyakinkan bahwa teori Van den Berg tidak benar, Van Vollenhoven

mengkritik hal tersebut. Vollenhoven mengakui bahwa di dalam hukum adat banyak dipakai istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti milik, adat, ijaab/kabul, hibah dan lainnya. Tetapi istilah ini sesungguhnya hanya ditempelkan saja, seperti halnya istilah-istilah Latin yang terdapat di dalam hukum Belanda. Gambaran Van den Berg mengenai hukum adat yang melukiskan bahwa hukum adat adalah terdiri dari hukum agama dengan penyimpangan-penyimpangannya, tidak dapat diterima oleh Van Vollenhoven. Menurutnya gambaran itu jauh berbeda sekali dengan kenyataannya. Nyatanya hukum adat itu terdiri atas hukum asli(Melayu-Polynesia) dengan ditambah ketentuan hukum agama.

D. Sejarah Hukum Adat Sebagai Sistem Hukum Dari Tidak/Belum Dikenal Hingga Sampai Dikenal Dalam Dunia Ilmu Pengetahuan

Sebelum zaman kompeni, tidak terdapat perhatian terhadap hukum adat. Dalam zaman kompeni barulah bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat Indonesia.

Zaman Kompeni / VOC (1602-1800).

Kompeni / VOC pada hakekatnya adalah suatu perseroan dagang. Oleh karena itu kompeni hanyalah mengutamakan kepentingannya sebagai badan perniagaan. Dengan demikian, bangunan adat yang sudah ada di daerah-daerah dibiarkan saja, sehingga hukum rakyat masih tetap berlaku. Apabila kepentingan kompeni terganggu oleh hukum adat, maka kompeni menggunakan kekuasaannya terhadap bangunan-bangunan asli/adat itu. Hal ini membawa akibat bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung daripada keperluan ketika itu. Jadi kompeni menjalankan politik oppurtuniteit.

(7)

dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat dilakukan. Dengan diadakannya syarat-syarat tersebut, tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika keadaan memaksa.

Penilaian VOC terhadap hukum adat : 1. Hukum adat identik dengan hukum agama

2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum. 3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)

4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa

Zaman Daendels (1808-1811).

Daendels tidak membuat perubahan-perubahan yang penting dalam hukum adat. Selama pemerintahannya, boleh dikatakan segala hukum penduduk tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya untuk bangsa bumiputera dilakukan hukumnya sendiri. Jadi pada zaman Daendels umumlah anggapan bahwa hukum adat terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi sebenarnya Daendels belum paham tentang corak dan sifatnya hukum asli ini. Daendels menganggap derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Menganggap hukum adat tidak cukup baik untuk orang Eropa.

Zaman Raffles (1811-1816).

Raffles sangat tertarik oleh keindahan dan kekayaan kepulauan Indonesia. Rafflles membentuk panitia Mackenzie untuk mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat

Indonesia di pulau Jawa. Buah pekerjaan panitia ini akan dijadikan dasar untuk mengadakan perubahan yang pasti yang akan menentukan bentuk susunan pemerintahannya lebih lanjut.

Raffles menghormati hukum adat dikarenakan perasaan nasional mendorong Raffles untuk mengambil contoh dari India. Raffles mengira bahwa hukum adat itu tidak lain adalah hukum Islam. Hukum adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa, hukum adat dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika

(8)

Dimasa kekuasaan Raffles hukum adat rakyat dihormati keberlakuannya, oleh karena ia menganggap bahwa hukum adat itu sesuai dengan kesadaran hukum rakyat. Apa yang dimaksud dengan hukum rakyat atau hukum adat di zaman rafles adalah sesungguhnya hukum Islam yang terdapat didalam kitab-kitab hukum yang ada. Oleh karena itu, Raffles bertentangan dengan panitia meckenzie yang menyatakan bahwa hukum adat itu tidak terdapat di dalam buku-buku, namun harus diteliti dalam kehidupan masyarakat sehari-hari

Masa Menjelang Tahun 1848

Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan kodifikasi terhadap semua aturan

perundangan terutama hukum perdata dan hukum dagang. Dengan adanya kodifikasi hukum, di Belanda timbul juga pemikiran untuk diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda. hal ini sesuai dengan asas konkordansi. Saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputera yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat perhatian.

Unifikasi hukum ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan : Suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat mereka.

Tahun 1904 pemerintah Belanda (kabinet Kuyper) mengusulkan suatu rencana Undang-Undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan menghendaki agar

Bumiputera tunduk hukum Eropa, namun usaha ini gagal karena Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga yang hanya mengizinkan penggantian hukum adat dengan hokum barat, jika kebutuhan-kebutuhan social rakyat menghendakinya.

Kegagalan semua usaha untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa, karena : Dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan dengan orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak mungkin bangsa Indonesia

dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.

(9)

Pasal 131 ayat 2 b IS berisi :

Bagi golongan Bumiputera, Timur Asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.

Dengan demikian dasar hukum berlakunya hukum adat adalah : - Pasal II aturan peralihan ditujukan pada Hakim Indonesia - Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi. Zaman Jepang

Selama pemerintahan jepang pada umumnya yang berlaku adalah hukum militer, hukum perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat perhatian sama sekali. Peraturan pada masa pemeintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.

Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :

Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer (dasar hukum adat masa Jepang).

Hukum Adat Setelah Kemerdekaan

1. Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1945)

Secara tegas hukum adat tidak ditentukan dalam satu pasal pun, tetapi termuat dalam : a) Pembukaan UUD 1945 alinea IV

- Pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dan dasar negara adalah Pancasila yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia.

- UUD merupakan hukum dasar yang tertulis, sedangkan hukum adat merupakan hukum dasar yang tidak tertulis.

b) Pasal II Aturan Peralihan

- Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.

2. Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) Di dalam konstitusi RIS mengenai hukum adat antara lain : - Pasal 144 (1) tentang hakim adat dan hakim agama - Pasal 145 (2) tentang pengadilan adat

(10)

3.UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

Pasal 104 ayat 1 UUDS 1950, dimana istilah hukum adat digunakan dengan jelas untuk dapat dipergunakan sebagai dasar menjatuhkan hukuman oleh pengadilan di dalam keputusan-keputusannya.

4. UUD 1945 (berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) - Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

- Tap MPRS No. II/MPRS/1960

(a) Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat.

(b) Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

(c) Dalam penyempurnaan UU Hukum Perkawinan dan waris, supaya diperhatikan faktor-faktor agama, adat, dll.

- UU No.5 tahun 1960 pasal 5

- UU No. 19/1964 jo UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. “Semua putusan Pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum : sifatnya terang/visual”.

~ Pasal 27 ayat 1 :

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.

~ Pasal 23 ayat 1 :

“Segala putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan baik yang berasal dari suatu peraturan atau sumber yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” - Keppress RI No. II/1074 (Repelita Kedua 1974/1975 – 1978/1979)

2 unsur pokok dalam Pembangunan Hukum :

~ Sumber tertib hukum RI yaitu Pancasila sebagai landasan. ~ Pengarahan kebutuhan hukum sesuai keadaan hukum rakyat. Jadi dasar hukum adat sekarang :

- Dekrit Presiden 5 Juli 1959. (pasal peralihan UUD 1945) - Pasal 24 UUD 1945

- Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.

(11)

5. Sejak Orde Baru

Di masa orde baru yaitu pada tanggal 2 januari 1974 diundangkan undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam undang-undang tersebut tidak juga dengan tegas di gunakan istilah hukum adat, namun tidak berarti bahwa undang-undang itu terlepas sama sekali dari hukum adat yang terdapat dalam bab VII pasal 35-37 tentang harta benda dalam perkawinan.

Pada tanggal 15-17 januari 1975 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bekerja sama dengan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada mengadakan seminar hukum adat yang menyimpulkan bahwa hukum adat itu ialah sebagai berikut :

a. Bahwa pengertian hukum adat adalah “Hukum Indonesia asli” yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini

mengandung unsur agama.

b. Bahwa hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional.

c. Bahwa hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih dikembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral / parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.

d. Bahwa kodifikasi dan unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional.

(12)

Sebagai negara yang besar yang terdiri dari ribuan pulau, sudah tentu Indonesia memiliki berbagai suku dan bangsa yang menghuni tiap pulau-pulaunya. Tiap-tiap suku bangsa tersebut juga memiliki aturan-aturan sendiri yang khas untuk mengatur masyarakat adatnya, yang diantaranya diklasifikasikan oleh Van Vollenhoven menjadi 19 lingkungan hukum adat.

Hukum adat atau hukum tidak tertulis didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi tersebut. Sebagai sistem yang mengatur interaksi, hukum adat tetap berfungsi secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat walaupun hukum tertulis dalam perkembangannya telah mengatur bagian terbesar dalam aspek kehidupan masyarakat.

Hukum adat mempunyai manfaat dalam pembangunan hukum karena:

1. Hukum adat merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan atau fungsi

2. Perilaku perilaku dengan segala akibat akibatnya dirumuskan secara menyeluruh,

terutama untuk perilaku menyimpang dengan sanksinya yang negatif

3. Pola penyelesaian sengketa yang terjadi kadang bersifat simbolis, dengan

mengadakan upacara-upacara tertentu.

Kedudukan dan Peranan Hukum Adat

1. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.

2. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti:

- Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.

- Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.

- Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

(13)

4. Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.

Hukum Adat dalam Perundang-Undangan

1. Hukum Adat, melalui perundang-undangan, putusan hakim, dan ilmu hukum hendaknya dibina ke arah Hukum Nasional secara hati-hati.

2. Hukum Perdata Nasional hendaknya merupakan hukum kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang yang bersifat luwes yang bersumber pada azas-azas dan Jiwa hukum adat.

3. Kodifikasi dan Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur oleh hukum adat atau hukum kebiasaan lain yang masih bercorak lokal ataupun regional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak menghambat pembangunan masih diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi hukum demi persatuan bangsa. 4. Menyarankan untuk segera mengadakan kegiatan-kegiatan unifikasi hukum harta kekayaan adat yang tidak erat hubungannya dengan kehidupan spirituil dan hukum harta kekayaan barat, dalam perundang-undangan sehingga terbentuknya hukum harta kekayaan nasional. 5. Menyarankan agar dalam mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan kepada unifikasi hukum nasional dilakukan melalui lembaga peradilan.

6. Hendaklah dibuat Undang-undang yang mengandung azas-azas pokok hukum perundang-undangan yang dapat mengatur politik hukum, termasuk kedudukan hukum adat.

Hukum Adat dalam Putusan Hakim

1. Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih dikembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.

2. Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi yang teratur dan tersebar luas.

3. Dalam hal terdapat pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat hendaknya hakim memutus berdasarkan undang-undang dengan bijaksana.

4. Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada pembinaan hukum.

5. Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa Hukum hendaklah diusahakan didamaikan.

(14)

Di beberapa daerah dikenal pula delik Adat atau pidana Adat. Hukum Adat ini berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Perubahan Hukum Adat itu terjadi baik karena adanya perubahan kesadaran hukum masyarakat maupun karena dorongan dari badan peradilan. Hukum Adat yang sebagian besar tidak tertulis kemudian mendapatkan tempatnya dalam putusan-putusan pengadilan formal, sehingga lama kelamaan perkembangan Hukum Adat tersebut dapat diikuti melalui putusan-putusan pengadilan. Hukum adat di Indonesia masih digunakan terutama permasalahan mengenai tanah ulayat. Hal tersebut dapat kita dapati pada Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan keputusan berkaitan tanah ulayat.

*) Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

(15)

Dalam berbagai perspektif tatanan hukum di Indonesia lebih kompleks dan variatif, semua dikarenakan Indonesia yang terdiri dari suku bangsa yang pluralis. Salah satu faktornya juga dikarenakan sejarah penjajahan Indonesia oleh Belanda, Jepang, dan hubungan dengan negara lain dalam hal perdagangan merupakan pendukung tatanan hukum Indonesia yang cukup majemuk. Hukum adat akhirnya menempati posisi yang cukup mempengaruhi dalam perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan hukum adat merupakan kebudayaan nasional Indonesia yang mencerminkan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Pancasila yang digali dari hukum adat kemudian menjadi Dasar Negara, falsafah bangsa serta norma dasar. Hukum adat menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur, hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional yang dibentuk, sehinggaHukum Adat akan tetap mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia yang modern. Selama masyarakat Indonesia secara lahiriah dan batiniah masih terikat dengan hukum adat mereka, maka tatanan hukum dan perundang-undangan Indonesia juga berlaku demikian.

(16)

Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat. Bandung: Penerbit Alumni, 1973

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Adat meugoe blang (adat bertani/sawah), merupakan salah satu hukum adat atau adat kebiasaan masyarakat Aceh yang telah hidup, tumbuh dan berkembang

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.. melaksanakan

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka

Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya menjalankan kekuasaan kehakiman

Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya menjalankan kekuasaan kehakiman

Undang Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur kekuasaan kehakiman  dengan  menyatakan  ”kekuasaan  kehakiman  merupakan  kekuasaan  yang  merdeka 

Dan sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman maka kewajiban hakim baik dalam mengikuti, menggali serta memahami nilai dalam hukum terhadap putusan ini dapat

Peraturan dalam Undang-undang kekuasaan kehakiman terkait persidangan murah, sederhana dan cepat walaupun tidak secara terperinci dijelaskan tetapi mampu ditafsirkan oleh para Hakim