(Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
HELMIYANSYAH NIM: 106044101399
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:
HELMIYANSYAH NIM: 106044101399
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Prof. Dr. H. A. Sutarmadi NIP: 194008051962021001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Pengantin Di KUA Kecamatan Cimanggis Depok (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”, telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 17 Juni 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2010
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, MM Nip: 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Prof. Dr. H. A. Sutarmadi Nip. 194008051962021001
(...)
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH Nip. 197202241998031003
(...)
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Sutarmadi Nip. 194008051962021001
(...)
4. Penguji 1 : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, M.A 195507061992031001
(...)
5. Penguji 2 : Drs. Djawahir Hajazziey, SH, M.A Nip. 195510151979031002
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juni 2010 M 04 Rajab 1431 H
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman, Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin Di KUA Kecamatan Cimanggis Depok (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”.
Lantunan shalawat dan salam tak lupa penulis kepada Nabi besar kita Muhammad Saw semoga selalu tercurahkan, yang telah membawa umat-Nya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang dengan dien yang diridhai oleh Nya.seperti yang dirasakan Ummat-Nya saat ini.
ii
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA selaku Ketua Program Studi Muamalat dan Azharuddin Lathief, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Muamalat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. H. A. Sutarmadi. Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Para penguji yang telah memberikan masukan atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
5. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.
6. Seluruh Staf Kantor Urusan Agama Kecamtan Cimanggis terutama kepada Bapak Drs. H. Badruzaman selaku Kepala KUA dan H. Abd. Hasan., S.Ag selaku penghulu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Instansi tersebut.
7. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.
8. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta kakak-kakak tersayang yang telah memberikan motifasi dan do’a kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1.
iii
pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih yang mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan baik moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah membalas semua amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis, mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin.
Jakarta, 17 Juni 2010 M 04 Rajab 1431 H
iv
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9
D. Landasan Teori... 10
E. Metode Penelitian... 11
F. Tinjauan Studi Terdahulu... 13
G. Sistematika Penulisan... 14
BAB II LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Gambaran Umum Perkawinan... 16
B. Pencatatan Perkawinan... 25
C. Pembatalan Perkawinan... 29
D. Iddah... 40
v
C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan
Cimanggis... 50
BAB IV ANALISIS TENTANG KETELITIAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH TERKAIT DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk A. Prosedur Pencatatan Perkawinan... 53
B. Tinjauan Fiqh dan Undang-Undang Terhadap Pernikahan Yang Salah Satu Pihak Masih Terikat Perkawinan... 58
C. Tinjauan Tentang Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 74
B. Saran-Saran... 74
DAFTAR PUSTAKA... 76
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah salah satu sunnatullah yang lazim terjadi pada setiap ciptaan Allah SWT, syariat perkawinan ditetapkan Allah SWT pada saat keadaan masih diliputi suasana jahiliyah. Tujuannya adalah agar manusia membuka hati dan pikiran dihadapan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga bisa mencapai kebahagiaan bagi manusia yang menyadari makna dan hakikat perkawinan, sebagaimana disyariatkan ajaran Islam, mengandung nilai yang teramat besar, karena menyangkut esensi nurani manusia.1
Selain itu, nikah atau perkawinan adalah aqad (ijab/qabul) antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syara’.
Pengertian perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan (yang selanjutnya disebut UUP), “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
1
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tata Cara Meminang Dalam Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), h.5.
2
Dari pengertian perkawinan menurut UUP di atas, jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan keluarga yang bahagia, Inilah cita-cita dan idaman bagi tiap-tiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja kebahagiaan itu tidak bisa ditebak, kadang sering datang dan kadang sering pergi, kadang ketika kebahagiaan yang diharapkan, namun kadang juga ternyata kekecewaan yang datang.
Di dalam buku ”Hukum Perkwinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan” yang ditulis Soemiyati. Ia menjelaskan sebagai berikut: ”tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang,
untuk memperoleh keturunan-keturunan yang telah diatur oleh syari’ah”.3
Di samping itu, dengan ditetapkannya perkawinan, manusia dapat menurunkan generasi penerusnya. Dan ini berarti manusia dapat melestarikan kelangsungan hidup berikutnya dan kesinambungan keluarga dapat terjamin serta kebanggaan keluarga dapat diteruskan.4
3
Nya Soemiyati. Hukum Perkwinan Islam dan Undang-UndangPerkawinan. (Yogyakarta: Liberti,1997) h.12.
4
Pada dasarnya pernikahan itu berasaskan monogami, monogami menjadi salah satu asas akan tetapi terdapat pengecualian. Pengecualian itu diatur oleh UUP pasal 3 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Untuk terjaminnya pernikahan yang sejahtera dan bahagia, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada kebahagiaan tanpa adanya perkawinan yang sah. Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju’). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah:
1. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah. Talak, dan Ruju’ bagi orang yang beragama Islam;
2. Kantor Catatan Sipil (Burgerlijk Stand).5
5
Di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 (yang selanjutnya disebut PP) pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa “setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.6 Hal ini menerangkan bahwa setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan harus melaporkan atau memberitahukan kehendaknya agar perkawinannya dicatatkan dan memiliki kekuatan hukum.
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 bahwasanya Pegawai Pencatat Nikah meneliti apakah syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut hukum munakahat ataupun perundang-undangan yang berlaku.7
Kendati demikian, ada saja perkawinan yang dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada baik syarat, rukun dan hal-hal yang meyebabkan penikahan itu rusak atau fasid, dengan kata lain perkawinan yang dilakukan dengan semaunya saja. Seperti pernikahan yang dilakukan akibat suatu perceraian yang belum sempurna sehingga wanita itu tanpa disadari menikah lagi dalam keadaan belum bercerai.
6
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h.74.
7
Berdasarkan masalah di atas, maka hubungannya dengan sistem peradilan di Indonesia, perkawinannya dapat dibatalkan. Seperti yang dicantumkan dalam UUP pasal 22 yaitu: “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Dan di dalam pasal 9 berbunyi: “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal
4 undang-undang ini”.
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan seperti dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya disebut KHI) pasal 73 ayat 3 adalah: “Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang”.8
Perkawinan seperti ini pernah terjadi pembatalannya di Pengadilan Agama Depok dengan putusan Nomor 563/Pdt.G/2007/PA.Dpk, yaitu: seorang wanita bernama Aminah (Tergugat I) telah berpisah dengann suaminya bernama Yanto sekitar kurang lebih 1 tahun, kemudian Aminah menikah kembali dengan seorang laki-laki lain bernama Udin (Tergugat 2). pernikahan antara Aminah dan Udin dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimaggis Kota Depok pada tanggal 8 april 2006 dengan Akta Nikah No. 10/9/46/2006.
Akad nikah tersebut dilangsunglkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah KUA Cimaggis Kota Depok yang bernama Abdurrahman (Penggugat). Sebelum
8
dilangsungkan pernikahan, kedua mempelai datang ke KUA Kecamatan Cimaggis Kota Depok untuk memberitahukan kehendaknya untuk menikah. Kemudian saudara Abdurrahman selaku penghulu KUA Kecamatan Cimaggis melakukan pemeriksaan, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penandatanganan akta nikah sesuai ketentuan UU No. 22 Tahun 1946 jo. Pasal 6 s/d 13 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 14 s/d 29 Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan hal itu, maka KUA Kecamata Cimanggis mengeluarkan Kutipan akta nikah. kendati demikian, setelah pernikahan itu telah berlangsung kurang lebih 1 tahun, dan Yanto mengetahui pernikahan itu ia pun langsung melaporkan ke Kepolisian Sektor Cimanggis dengan modus Operandi (pelaku menikah tanpa sepengetahuan suami). Selanjutnya pihak kepolisian mengintrogasi saudari Aminah dan saudara Udin ditemukan fakta bahwa perkawinan mereka dinyataka cacat hukum karena saudari Aminah masih terikat dalam pernikahan dengan orang lain dan proses perceraiannya masih berjalan di Pengadialn Agama Depok.
Kemudian pihak kepolisian meminta agar saudara Abdurrahman selaku pegawai pencatat nikah yang berwenang menikahkan saudari Aminah dan saudara udin untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Depok karena merupakan kewenangan Pengadilan Agama setempat. Gugatan ini diajukan bertujuan agar perkawinan saudara Aminah dengan saudara Udin dibatalkan.
Dan pasal 38 ayat 1: “permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, di tempat tinggal kedua suami istri,
suami atau istri”.9 Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, maka Pengadilan Agama Depok memiliki wewenang untuk mengadili perkara yang diajukan oleh penggugat.
Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah tersebut di atas, maka penulis akan meneliti dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok dengan judul “KETELITIAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH TERHADAP DATA CALON PENGANTIN DI KUA KECAMATAN CIMANGGIS DEPOK (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”. B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam pembahasan ini, maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahan agar tidak meluas. Pembatasan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Ketelitian Petugas Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin yang mana calon pengantin yang masih terikat perkawinan, menyebabkan batalnya perkawinan.
2. Perumusan Masalah
9
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: “Dalam ajaran agama teristimewa Islam, baik dalam al-Quran, Hadits, kitab-kitab fiqih, Undang-undang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam, pernikahan yang salah satu pihaknya masih terikat perkawinan itu dilarang, sehingga bila dilanggar perklawinan menjadi batal”.
Kemudian di dalam putusan pengadilan dinyatakan bahwa sebelum dilangsungkannya pernikahan, penggugat selaku petugas/penghulu KUA Kecamatan Cimanggis telah melakukan pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penanda tanganan akta nikah sesuai UU No.22 tahun 1946 jo. pasal 6 s/d 13 UUP jo. Pasal 14 s/d 29 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, pada kenyataannya pernikahan seperti ini masih saja terjadi yang calon pengantin masih terikat perkawinan dengan orang lain sesuai dengan putusan pegadilan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk, maka akad nikah dalam perkawinan itu menjadi batal.
Dari tema di atas, penulis memperinci permasalahan – permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara Pegawai Pencatat Nikah melakukan penelitian terhadap data calon pengantin?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang pernikahan seseorang laki-laki dengan wanita yang masih berstatus istri laki-laki lain.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian penulis dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana cara Pegawai Pencatat Nikah melakukan penelitian terhadap data calon pengantin.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian pernikahan yang salah satu pihaknya masih terikat perkawinan dengan orang lain.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Dapat menambah ilmu pengetahuan.
2. Dapat menambah kepustakaan dari penulis.
3. memberikan acuan refrensi dan saran pemikiran bagi kalangan akademisi dalam menunjang penulisan selanjutnya yang akan berguna sebagai bahan perbandingan bagi penulis lain
D. Landasan Teori
a. Menurut Drs. H.Abd.Rahman Ghazaly dalam bukunya mendefinisikan batalnya perkawinan adalah rusaknya atau tidak sahnya statu perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama.10
b. Menurut prof. Dr. Syarifudin Amir dalam bukunya menjelaskan bahwa fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam arti termologi ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI, berikut:
“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum perniikahan”.11
c. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di dalam pasal 9 yang berbunyi: “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”.
d. Kompilasi hukum Islam pasal 5 ayat 1 dan 2 bab II tentang dasar-dasar perkawinan yang menyebutkan sebagai berikut:
10
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.141. 11
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyrakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 tahun 1954.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Sehubungan dengan wilayah sumber data yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, sebagaimana telah diuraikan diatas, maka jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kasus.
Penelitian kasus yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu, yang hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam.12
Secara lebih jelas penulis tegaskan di sini bahwa penelitian kasus yang di maksud di sini adalah sebatas pada wilayah kasus atau masalah Ketelitian Petugas Pencatat Nikah terhadap data calon pengantin di KUA Kecamatan Cimanggis Depok, yakni kajian terhadap putusan No: 563/Pdt.G/2007/PA.Dpk.
12 Suharsimi Arikunto,
2. Metode Penelitian
Di dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian Studi Lapangan (field research) dengan cara sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara kepada Pegawai Pencatat Nikah yang bertugas ketika perkawinan tersebut dilangsungkan atau ketua KUA Kecamatan Cimanggis Depok. Wawancara ini dilakukan secara struktur yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu secara cermat dan sistematis daftar pertanyaan yang akan diajukan. Kemudian berdasarkan daftar ini penulis berusaha memperoleh data-data yang akurat seputar permasalahan ini.
Data-data yang diperoleh dari teknis di atas akan diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Hal ini bertujuan agar hasil yang diperoleh dapat diuraikan secara jelas dan akurat sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan penulis dalam kegiatan penelitiannya dibedakan menjadi 2 jenis:
1. Data primer
data, penulis mengambil data penunjang dengan menggunakan data sekunder yang meliputi kepustakaan.
2. Data sekunder
Data ini diperoleh dari berbagai bahan bacaan yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Data ini juga diperoleh dari kepustakaan yang meliputi buku-buku, bahan dokumenter dan lain-lain.
F. Tinjauan Pustaka Terdahulu
Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, di antaranya adalah sebagai berikut:
Inna Zunia Fauziana menyusun skripsinya yang berjudul “Peranan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Dalam Administrasi Perkawinan (Studi
Pada Kua Kecamatan Karawaci Tangerang), yang ditulis pada tahun 2006. Di sini ia hanya menceritakan seberapa besar peranan atau fungsi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah terhadap administrasi perkawinan.
Kemudian, Nuria Ningsih yang mengambil judul skripsi “Relevansi Pencatatan Perkawinan Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat”, yang ditulis pada tahun 2005. Ia menyatakan bahwa pentingnya pencatatan perkawinan karena kepastian hukum perkawinan menjadi jelas dan jika suatu waktu terjadi masalah atas perkawinannya maka mereka memiliki bukti yang otentik.
Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin Di KUA Kecamatan Cimanggis Depok (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”. Di sini penulis mencoba menerangkan tentang ketelitian yang harus dijaga agar calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, agar tidak terjadi perkawinan yang calon pengantinnya masih terikat perkawinan dengan orang lain.
G. Sistematika Penulisan
Bab pertama ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Masalah, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka Terdahulu, Sistematika Penulisan
Bab kedua ini menjelaskan tentang Landasan Teori Perkawinan yang meliputi: Gambaran Umum Perkawinan, Pencatatan dan Pembatalan Perkawinan.
Dalam bab ketiga ini berisikan tentang Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis Depok, dengan menguraikan Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama, Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis, Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis.
dengan menguraikan, Prosedur Pencatatan Perkawinan, tentang Tinjauan Fiqh dan Undang-Undang Terhadap Pernikahan Yang Salah Satu Pihak (Isteri) Masih Terikat Perkawinan, Tinjauan Tentang Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin.
BAB II
LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Gambaran Umum Tentang Pernikahan
1. Pengertian
Kata nikah atau zawaj yang berasal dari bahasa Arab dilihat secara makna
etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain
bermakna “aqad dan setubuh” yang secara syara’ berarti aqad pernikahan. Secara
terminologi (istilah) nikah atau zawaj adalah:
1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari
seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.
2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang laki-laki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara
keduanya.1
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal
dari kata nikah (
حﺎﻜ
) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, salingmemasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)2.
Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran.
Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan
1
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, cet.I, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006 ), h.1.
2
wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti
akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi
(metafora)3. Berdasarkan firman Allah SWT:
…
)....
ءﺎ ا
:
˻˾
(
Artinya: “…Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka...”.
(an-Nisa’: 25)
Definisi nikah yang lain menurut pendapat para ulama adalah sebagai
berikut:
ﺰ ا
و
جا
ﺷ
ْﺮ
ﺎ
ه
ﻮ
ْﻘﺪ
و
ﻌ
ا
رﺎ
ع
ْﺪ
ْ
ﻚ
ْ ا
ﺘْ
ﺘ
عﺎ
ﺮ ا
ﺟ
ﺎْ
ْﺮ
أة
ئ
و
ﺣ
ا
ْﺘ
ْﺘ
عﺎ
ْا
ْﺮ
ةأ
ﺎ
ﺮ ا
ﺟ
.
4Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya pereempuan sengan laki-laki.
1. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa
اﺪ
ﺔﻌﺘ ا
ﻚ
ﺪ
ﺪﻘ
حﺎﻜ ا
.
5
Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan
2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa
ﺎ هﺎ ﻌ
وأ
وﺰ
و
حﺎﻜ إ
ﻆ
ءطﻮ ا
ﻚ
ﻦ ﺘ
ﺪﻘ
حﺎﻜ ا
.
6
3
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h.3.
4
Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, cet. Ke-3, (Beirut: dar al-fikr, 1989), h.29.
5
Abd. ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Mazzahib al-Arba’ah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2002), h.3.
6
Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan
(wathi`) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna.
3. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa nikah adalah
ﺔ دﺄ
ذﺬ ﺘ ا
ﺔﻌﺘ
دﺮ
ﻰ
ﺪﻘ
حﺎﻜ ا
.
7
Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan
dengan sesama manusia.
4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa nikah adalah
وﺰ
وأ
حﺎﻜ إ
ﻆ
ﺪﻘ
حﺎﻜ ا
عﺎﺘ ﺘ ﻹا
ﺔﻌ
ﻰ
.
8
Nikah adalah akad dengan lafazd nikah atau kawin untuk mendapatkan
manfaat bersenang-senang.
Menurut Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi
mendefinisikan nikah adalah “sebuah akad yang mengandung kebolehan berjima’
dengan lafadz inkah atau tazwij yaitu akad kepemilikan intifa’ bukan kepemilikan
manfaat”.9Menurut Taqiyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Damsyiqy
mengartikan nikah adalah “suatu ibarat dari sebuah akad yang masyhur yang
mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat, dimutlakkan atas akad dan dimutlakkan
atas wathi` secara bahasa”.10
7
Abd. ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Mazzahib al-Arba’ah, h.5
8
Abdul Basit Mutawally, Muhadharah al-Fiqh al-Muqaran, (Mesir: t.p, t.t), h.120.
9
Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi, Hasyiatani Qolyubi Wa Umairah, Juz III, (Surabaya: PT. Irama Minasari, t.t), h.206.
10
2. Dasar Hukum Pernikahan
1. Syari’at Nikah
Dasar hukum dianjurkannya perkawinan dalam agama Islam terdapat
dalam firman Allah SWT dan hadits-hadits nabi Muhammad SAW.
a. Menurut firman Allah SWT
Adapun syariat nikah berdasarkan Firman Allah SWT, yaitu:
☺
)
رﻮ ا
:
˼˻
(
Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(an-Nur: 32)
☺
)
ا ءﺎ
: ˼ (
b. Menurut hadits Nabi Muhammad SAW
ﺎ
ْﻌ
ﺮ
ا
بﺎ
ﻦ
ْ ا
ﺘ
ﻄ
عﺎ
ْﻜ
ا
ءﺎ
ة
ﺘ
ﺰ
و
ْج
،
ﺈ
ﻏأ
ﺮ
و
ْﺣأ
ﻦ
ْ
ْﻦ و
،جْﺮ
ْﺘ
ﻄ
ْ
ﻌ
ْ
ﺎ
ْﻮ
م
،
ﺈ
و
ﺟ
ءﺎ
)
اور
(
.
11Artinya: “Hai golongan pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup kawin, kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara faraj (kemaluan), dan barangsiapa tidak sanggup, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat (HR. Muslim)”.
ا
جوﺰ أو
ﺮﻄْأو
مْﻮ أو
،مﺎ أو
ﻰ أ
ﺎ ا
ﻦﻜ
ﻰ
ْ
ﻰﺘ
ْﻦ
ﻏر
ْﻦ
،ءﺎ
)
اور
(
.
12Artinya: “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin. Barangsiapa tidak menyukai perjalananku (sunnahku), ia bukan ummatku (HR. Muslim)”.
2. Hukum Nikah
1. Mubah: merupakan asal hukum dari perkawinan, sesuai dengan firman Allah Q.S. an-Nur: 32. Dalam hal ini hukum nikah mungkin akan menjadi wajib,
makruh ataupun haram, sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin.13
2. Sunnah: Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak
11
Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1425 H/2004M), h.557.
12
Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim , h.558.
13
dikhawatirkan dirinya terjerumus kepada perbuatan zina, maka sunnah
baginya menikah.
3. Wajib: Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga, ada keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus kedalam perbuatan
zina, maka baginya diwajibkan nikah. Sebab, menjaga diri jatuh ke dalam
perbuatan haram, wajib hukumnya.
4. Haram: Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin (impoten), haram
baginya menikah, sebab akan menyakiti perasaan wanita yang dinikahinya.
5. Makruh: Orang yang tidak dapt memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak sampai menyusahkan wanita itu, kalau dia orang berada dan kebutuhan
biologis pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu
dimakruhkan menikah. Sebab, walaupun bagaimana nafkah lahir batin
menjadi kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri.14
3. Perinsip-Perinsip Perkawinan
Perinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari quran dan
al-hadits, yang kemudian dituangkan ke dalam garis-garis hukum melalui
14
undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tahun 1991 mengandung
7(tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
1) Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Suami dan istri saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
2) Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat
oleh petugas yang berwenang.
3) Asas monogami terbuka.
Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila
lebih dari seorang maka cukup seorang saja.
4) Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan
perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
5) Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6) Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat.
7) Asas pencatatan perkawinan.15
4. Rukun Nikah dan Syarat Sahnya Nikah
15
Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena dalam setiap aktifitas ibadah di
dalamnya pasti ada rukun dan syarat. Syarat itu merupakan cara yang harus
dipenuhi sebelum suatu perbuatan itu dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan
suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan itu dilaksanakan.
Karena perkawinan merupakan suatu ibadah maka di dalamnya terdapat rukun dan
syarat, yaitu sebagai berikut:
1) Rukun nikah
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan qabul
Kelima rukun tersebut, masing-masing harus memenihi syarat: 16
a. Syarat Calon Suami
1. Beragama islam
2. terang (jelas) bahwa calon suami betul Laki-laki.
3. orangnya diketahui
4. calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
5. calon mempelai laki-laki tahu/kenal dengan calon istri serta tahu betul
bahwa calon istrinya halal baginya.
16
6. calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7. tidak sedang melakukan ihram.
8. tidak memiliki istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9. tidak sedang memiliki istri empat.
b. Syarat Calon mempelai wanita:
1. Beragama islam atau ahli kitab
2. terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
3. wanita itu tentu orangnya
4. halal bagi calon suami
5. wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih masa iddah.
6. tidak dipaksa/ikhtiyar
7. tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c. Syarat wali nikah:
1. Laki-laki
2. Muslim
3. Baligh
4. Berakal
5. Adil (tidak fasik)
d. Syarat saksi nikah:
1. Dua orang Laki-laki
2. Muslim
4. Berakal
5. Dapat mendengar dan melihat (paham) akan maksud akad nikah
e. Syarat ijab Kabul
1. Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali
2. Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami
3. Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”.
4. Antara ijab dan qabul bersambungan tidak boleh terputus.
5. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak dalam keadaan haji
atau umrah.
6. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang
yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai
wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.17
Syarat dan rukun tersebut harus dipenuhi agar perkawinan yang dilakukan
tidak batal.
B. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawian adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh
pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat
nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad
perkawinan antara calon suami dan calon istri.18
17
M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, h.57-58.
18
Pencatatan perkawinan memang tidak pernah diatur di dalam al-qur’an
dan hadits, berbeda dengan muamalah yang yang pencatatannya diatur di dalam
al-qur’an. Tetapi, dengan berkembangnya zaman dan demi kemaslahatan, kemudian
hukum islam di Indonesia mengaturnya.
Suatu perkawinan sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi
ketentuan hukum agama baik berupa syarat maupun rukun dari perkawinan itu
sendiri. Seperti yang disebutkan dalam UUP pasal 1 ayat (1) bahwa: “perkawinan
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya kepercayaannya
itu”. Selain perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun agama,
perkawinan harus juga dicatatkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku di
Negara ini , yaitu Indonesia.
Mengingat perkawinan merupakan perbuatan/peristiwa hukum yang
secara otomatis akan menimbulkan akibat-akibat hukum baru, maka diperlikan
adanya kepastian hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut maka
perkawinan harus dicatatkan.
Namun, pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan telah
dianggap sah jika syarat dan rukunnya telah terpenuhi, tanpa diikuti oleh
pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini sudah terjadi dalam masyarakat,
sehingga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan (perkawinan yang
dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah).
Kenyataan masyarakat seperti ini merupakan hambatan dalam pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan.19
Dalam pasal 5 dan 6 KHI mengenai pencatatan perkawinan
mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut;
Pasal 5
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan
harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22
tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 tahun 1945.
Pasal 6
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain itu, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan galidzon)
19
perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah
tangga.20
Bukti perkawinan yang telah dicatatkan adalah berupa Akta Nikah yang
dapat dijadikan bukti otentik, bila suatu waktu di dalam perkawinan terjadi
masalah.
Ahmad Rofiq berpendapat setidaknya ada dua manfaat dari pencatatan
perkawinan yaitu manfaat refresif dan manfaat preventif.
Manfaat refresif dari pencatatan perkawinan adalah terbentuknya
kesempatan itsbat (penetapan) bagi suami isteri yang karena suatu hal
perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah (lihat pasal 7 ayat (2) dan
(3) Kompilasi Hukum Islam).
Manfaat preventif dari pencatatan perkawinan ialah untuk menanggulangi
agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat
perkawinan baik menurut hukum agama maupun hukum perundang-undangan.
Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 mengaturnya dalam pasal 2
yang berbunyi:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
akan dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
20
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alas an yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
Kemudian dalam pasal 5 berbunyi
1. Pegawai pencatat yang menerima pemberithuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai
pencatat meneliti pula:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan
asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang
setingkat dengannya.
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai;
Ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat yaitu:
pertama, memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif dari
Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, menghindari terjadinya pemalsuan atau
penyimpangan seperti identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka.
Oleh karena itu, ketelitian Pegawai Pencatat Nikah sangat diperlukan dan menjadi
C. Pembatalan Perkawinan (Fasakh)
1. Pengertian.
Batalnya perkawinan adalah rusaknya atau tidak sahnya statu perkawina
karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah asta rukunnya, atau sebab lain
yang dilarang atau diharamkan oleh agama.21
Kemudian pengertian lain, fasakh menurut bahasa adalah,
ْ ا
ﺪْﻌﻘْا
وأ
ﺮْ ﻷا
ْﻘ
ﻮه
ﺦ
22
Fasakh adalah merusakkan pekerjaan atau akad
Menurut istilah syar’i fasakh berarti:
Fasakh akad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.23
Jadi, pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami isteri
setelah dilangsungkannya akad nikah.
2. Bentuk Pembatalan Perkawinan
Perkawinan yang batal adalah perkawinan yang melanggar
ketentuan-ketentuan agama yang sifatnya abadi, yaitu sesuai dengan pasal 70 Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi:
Perkawinan batal apabila:
21
Abdrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.141.
22
Abu Yahya Zakaria Anshori, Fathu Al-Wahab Syarah Minhaj Al-Thullab, (Indonesia: dar al-Ihya, t.t), h.48.
23
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari
keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain
yang kemudian bercerai lagiba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah
habis masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
semenda dan sesusuan sampai drajat tertentu yang menghalngi perkawinan
menurut pasal 8 UUP, yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke
atas.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bu
atau ayah tirinya
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesususan,
saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
Perkawainan yang dapat dibatalakan adalah sebagai berikut, sesuai
dengan pasal 71 KHI:
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
2. Perempuan yang dikawini, ternyata diketahui masih menjadi istri orang
lain yang mafqud;
3. Perempuan yang dikawini masih dalam iddah suami;
4. Perkawinan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 7 undang-undang No.1 tahun 1974;
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Untuk mempermudah pengertian pembatalan perkawinan, maka akan
dijelaskan terlebih dahulu mengenai macam-macam larangan perkawinan, yaitu:
1. Larangan disebabkan melanggar ketentuan hukum agama dalam hal
perkawinan. terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Larangan yang bersifat abadi. Misalnya larangankawin sebagaimana
yang disebut dalam pasal 8 UU perkawinan atau Q.S. an-Nisa: 22-23
dan sebagainya
b) Larangan yang bersifat sementara. Misalnya seperti Perempuan yang
dikawini, ternyata diketahui masih menjadi istri orang lain yang
2. Larangan disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan administrasi
(Pasal 12 UU Perkawinan) dan sebagainya.
Perkawinan yang melanggar larangan –larangan pada angka 1 point (a
dan b) maka mutlak harus dibatalkan atau batal demi hukum. Sedangkan larangan
pada angka (2) maka dapat dibatalkan atau diteruskan. Hal ini tergantung pada
pertimbangan Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Perlu diperhatikan bahwa
pengertian kata ”dapat” pada pasal 22 UUP memiliki dua pengertian yaitu ”bisa
batal” dan ”bisa tidak batal”, bila mana menurut ketentuan agamanya
masing-masingtidak menentukan lain.
1. Batal Mutlak
Batal mutlak artinya pernikahan yang dilakukan karena melanggar
ketentuan yang sudah ditetapkan oleh agama baik di dalam al-quran ataupun
hadits. Ketentuan tersebut berdasarkan firman Allah SWT di dalam Q.S. an-Nisa:
23.
☺
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.( an-Nisa: 23)
Ayat di atas merupakan ayat yang mengharamkan wanita yang disebut
muhrim karena pertalian nasab, susuan maupun mushaharah (persemendaan).
1. Larangan Karena Pertalian Nasab
Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita tersebut di bawah ini haram
dikawini karena hubungan nasabnya:
1) Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu
2) Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau
anak perempuan, hingga keturunan di bawahnya
3) Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah
dan seibu.
4) Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek
5) Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek
dari pihak ibu, dan seterusnya.
6) Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.
7) Anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan di
bawahnya.24
2. Larangan Karena Sebab Susuan
Larangan karena sebab susuan berdasarkan firman Allah SWT, “Dan
ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan”. Dari ayat ini
dapat diambil hukum haram kawin karena susuan ialah, ibu yang menyusukan dan
saudara satu susuan. Yang lain ditetapkan dengan jalan kias atau ”fahw
al-khithab”. Secara umum Nabi Muhammad SAW bersabda:
ﺣﺮ ا
ﻦ
مﺮ
ﺎ
ﺔ ﺎ ﺮ ا
ﻦ
مﺮ و
25
Artinya:“Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena perhubumhan darah (kerabat)”.
Dengan keterangan hadis ini ternyata, kerabat perempuan yang
menyusukan ini menjadi kerabat anak yang menyusu, tapi tidak sebaliknya yaitu
kerabat anak yang menyusu tidak menjadi kerabat perempuan yang menyusukan.
Diharamkan sebab susuan itu ada 7 orang, yaitu:
1. Ibu yang menyusuinya dan ibu dari ibu yang menyusuinya;
2. Saudara perempuan yang satu susuan;
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, cet. 22, (Jakarta: Lentera, 2008), h.326.
25
3. Anak perempuan dari yang menyusukan;
4. Anak perempuan dari bapak sesusuan;
5. Saudara perempuan dari ibu sesusuan;
6. Anak perempuan dari anak laki-laki sesusuan, dan
7. Anak perempuan dari saudara perempuan sesusuan.26
3. Karena Ikatan Perkawinan (Mushaharah)
Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan
yang dengan ini menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1) Istri ayah haram dinikahi oleh anak ke bawah, semata-mata karena adanya
akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum;
2) Istri anak laki-laki haram dikawini oleh ayah ke atas, semata-mata karena
adanya akad nikah;
3) Ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas adalah haram dikawini hanya
semata-mata adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun belum
dicampuri;
4) Anak perempuan istri (anak perempuan tiri) jika ibunya sudah dicampuri.
2. Batal tidak mutlak
26
Batal tidak mutlak yaitu batal yang tidak untuk selama-lamanya atau tang
bersifat hanya sementara. Artinya perkawinan seperti ini masih dapat diperbaiki.
Batalnya suatu perkawinan ini disebabkan salah satu syarat dan rukunnya tidak
terpenuhi. Perkawinan seperti ini salah satunya adalah menikahi wanita yang
bersuami.
Berdasarkan firman Allah SWT di dalam Q.S. an-Nisa: 24, yang
berbunyi:
☺
☺
...
)
ءﺎ ا
:
˻˽
(
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu milik...”.( an-Nisa: 24)
Maksud dari ayat di atas ialah diharamkan atas kamu wanita-wanita yang
bukan kerabat namun mereka telah bersuami kecuali budak-budak yang kamu
miliki. Artinya, budak-budak yang kamu miliki melalui penawanan, maka halal
bagimu umtuk mencampuri mereka jika kamu telah memandangnya bebas.27
”Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah SWT
menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga (ahshana)
farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.28
27
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir, jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.685.
28 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang
menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah
bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul
azwaaj).
Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan:
“Wanita-wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka
karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak
perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan
bersamanya.29
Dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 40 yang
menyatakan, bahwa:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria
lain;
29
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Dan pernyataan yang sama juga diatur dalam pasal 9 UUP, yaitu:
“seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tiak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
Undang-undang ini”.
3. Pihak-Pihak Yang Dapat Membatalkan Pernikahan
Pembatalan perkawinan terjadi apabila perkawinan sudah dialngsungkan.
Dalam ketentuan UUP pasal 22 menegaskan “perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan”.30
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan diserahkan menurt
hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang ingin melangsungkan
perkawinan, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUP,
yaitu: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu”.
Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut UUP
pasal 21 adalah:
30
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk sebagaimana disebut dalam ayat (2) pasal 16 UUP
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap peerkawinan tersebut, tetapi hanya setelah itu perkawinan itu
putus.
Meskipun demikian, Hubungan antara anak dengan orang tuanya tidak
akan putus meskipun orang tuanya telah berpisah akibat dari pembatalan
pernikahan, hal ini berdasarkan pasal 75 dan 76 KHI yang berbunyi:
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
1. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperolaeh hak-hak dengan beri’tikad
baik, sebelum keputusan pembatalanperkawinan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pasal 76
dengan orang tuanya.
D. Iddah
a. Pengertian
Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata ‘adda ya’uddu
-‘iddatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti:
“menghitung” atau “hitungan”.31 Secara umum ulama mendefinisikan iddah
sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau
diceraikan oleh suami yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.32
Di samping itu, menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib dalam
kitabnya Mugnil Muhtaj, mendefinisikan iddah adalah “Masa menunggu bagi
seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih
atas meninggal suaminya”.33 Dan sayyid Sabiq juga memberikan pengertian iddah
yaitu “suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak
ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal
dunia”.34
b. Macam-Macam Iddah
31
Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.303.
32
Abdul al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Araba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986).
33
Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib, Mughnil Muhtaj Bab II, (Mesir: Mustafa Babil Halabi), Jilid VII, h. 384.
34
1. Iddah masa kehamilan, yaitu masa iddahnya sampai masa melahirkan
kandungan yang dikarenakan thalaq bain dan thalaq raj’i dalam keadaan
hidup atau wafat. Berdasarkan firman Allah SWT QS.at-thalaq:4
...
⌧
...)
قﻼﻄ ا
:
٤
(
Artinya:“...Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya....”(at-Thalaq: 4)
2. Iddah muthalaq (masa perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa
haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci).
☺
...)
ةﺮﻘ ا
:
٢٢٨
(
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'...”. (al-Baqarah: 228)
3. Perempuan yang tidak terkena haidh (monopause), yakni masa iddahnya
adalah selama 3 bulan.
☺
...)
قﻼﻄ ا
:
˽
(
4. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat, yaitu 4 bulan 10 hari,
⌧
☯
)...
ةﺮﻘ ا
:
˻˼˽
(
Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari....”( al-Baqarah:234)
c. Larangan Pada Masa Iddah
Selama masa iddah, isteri tidak boleh melakukan beberapa perbuatan
antara lain:35
1. Menerima khitbah
2. Menikah
3. Keluar rumah
4. Berhias
d. Tujuan Iddah
Adapun tujuan iddah adalah sebagai berikut:36
1. Untuk memberikan kesempatan kepada hak suami untuk berfikir kembali
untuk merujuk isterinya kembali, karena dalam masa iddah suami masih
35
http://alamanah1429.wordpress.com/2009/01/23/adab-seorang-isteri-selama-masa-iddah/, Adab Seorang Isteri Terhadap Masa Iddah, di akses pada 18 Juni 2010.
36
memiliki kewajiban terhadap nafkah istri seperti sandang, pangan dan
papan.
2. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iaddahnya ini diadakan
untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
3. Untuk menjunjung tinggi masalaha pernikahan, agar tidak menganggap
sepele masalah pernikahan
4. Untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari benih yang
ditinggalkan mantan suaminya.
e. Hikmah Iddah
1. Agar tidak ada keragu-raguan tentang kesucian rahim seorang isteri,
sehingga tidak ada keraguan tentang anak yang dikandung oleh mantan
isteri apabila ia telah kawin lagi dengan laki-laki lain.
2. Apabila putus perkawinannya karena perceraian, yang mantan suaminya
masih berhak untuk rujuk kembali dengan mantan isterinya.
3. Apabila perceraian itu karena seorang suami meninggal dunia maka masa
iddah itu untuk menjaga agar jangan timbul rasa tidak senang dari pihak
suami yang telah meninggal dan kepada para pihak isteri yang ditinggal.
f. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
1. Hak Istri pada Masa Iddah
a) Mendapatkan nafkah selama masa iddah
c) Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban
istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya
2. Kewajiban suami pada masa iddah istri
a) Suami wajib memberikan nafkah pada istri
b) Suami wajib memberikan perumahan pada istri
BAB III
GAMBARAN UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN CIMANGGIS DEPOK
A. Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama
1. Mengawasi, mencatat Nikah, Talak, dan Rujuk serta mendaftar cerai talak dan gugat atau dalam bidang NTCR.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 2 tahun 1990 pasal 2 ayat (1), “ PPN adalah tugasnya mengawasi dan atau mencatat nikah dan rujuk serta mendaftarkan cerai talak dan cerai gugat di bantu oleh pegawai KUA kecamatan.
Mengenai tugas KUA Kecamatan juga tertulis dalam UU No. 22 tahun 1946 pasal 1 ayat (2) “ yang berhak melakukan pencatatan dan pengawasan atas nikah dan pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk untuk itu.
2. Menerima pemberitahuan kehendak nikah, meneliti persyaratan nikah (surat keterangan untuk nikah (N1). Surat keterangan asal-usul (N2), surat persetujuan mempelai (N3), surat keterangan tentang iorang tua (N4).1
3. Dalam hal meneliti dan memeriksa data-data calon pengantin maka PPN harus memeriksa selain data yang masuk dari Kelurahan juga memeriksa data-data
1
lama atau mengkroscek ulang data-data yang sudah dilaksanakan pernikahannya agar tidak terjadi kesalahan terhadap pemeriksaan data.
4. Tidak dibolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan pernikahan apabila mengetahui adanya pelanggaran yang dilakukan oleh calon mempelai. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Baik persyaratan menurut hukum islam ataupun persyaratan menurut perundang-undangan yang berlaku, maka PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasannya.
5. Kepala KUA kecamatan adalah juga sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW).
6. Tugas KUA sebagaimana dijelaskan dalam PMA No. 2 tahun 1990 tentang kewajiban PPN, pasal 9 ayat (1-6) dan pasal 10 (1-3), yaitu:
1. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dan ditandatangani oleh PPN atau pembantu PPN dan mereka yang berkepentingan dalam daftar pemeriksaan nikah menurut model NB.
2. Pembantu PPN membuat daftar pemeriksaan nikah rangkap dua, sehelai dikirim kepada PPN yang mewilayahi beserta surat-surat yang diperlukan dan sehelai lainnya disimpan.
ruang II, III dan IV sedang ruang yang lainnya diisi oleh PPN atau pembantu PPN.
4. Apabila mereka tidak dapat menulis, maka ruang I,III dan IV sebagaimana dimaksud ayat (3) diisi oleh PPN.
5. Pengiriman lembar pertama daftar p-emeriksaan nikah sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah akad nikah dilangsungkan.
6. Apabila lembar pertama daftar pemeriksaan nikah itu hilang, maka oleh pembantu PPN dibuat salinan dari daftar kedua dengan berita acara sebab-sebab hilangnya lembar pertama tersebut.
7. Melakuakan pencatatan itsbat nikah 8. Berwenang menjadi wali hakim
B. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cimanggis Kota Depok
Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) Cimanggis memang sudah ada Sebelum Depok ini dipisah dari Kabupaten Bogor, namun masih dalam wilayah kabupaten Bogor. Dan sekarang Kecamatan Cimanggis sudah berada di luar wilayah Kabupaten Bogor, tetapi sudah berada di wilayah kota Depok.
Dengan adanya pergeseran dan perubahan nilai-nilai agama di lapisan masyarakat yang diakibatkan oleh berkembangnya zaman yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kaidah agama Islam, sehingga kerap sekali terjadi perceraian, nikah di bawah tangan dan lain-lain yang berhubungan dengan perkawinan.
Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) di tenganh-tengah masyarakat sangat membantu dalam menangani hal-hal tersebut di bidang perkawinan yang merupakan tugas utama dari Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga dapat terwujud suatu rumah tangga yang sakinah,mawaddah wa rahmah.
1. Kondisi Geografis Kecamatan Cimanggis a. Letak dan Jumlah Penduduk
Luas Kecamatan Cimanggis adalah 53,54 Km² dengan jumlah penduduk 314.727 jiwa dan kepadatan penduduknya adalah 5.878 jiwa/ Km². Keberadaan KUA Cimanggis berada di wilayah Kelurahan Cisalak Pasar tepatnya di komplek Permata Puri, dan pada awalnya keberadaan Cimanggis ini terdiri dari 13 Kelurahan sebelum diadakan pemekaran dengan Kecamatan Tapos. Namun setelah diadakan pemekaran maka Kecamatan Cimanggis terdiri dari 6 Kelurahan dengan jumlah penduduk, yaitu:
Jumlah Penduduk Nama Kelurahan
Laki-laki Perempuan
Curug 6.746 6.884
Pasir Gunung Selatan 13.489 13.735
Cisalak Pasar 9754 7.558
Harja Mukti 8.855 7.838
Tugu 39.638 38.630
Jumlah 94.506 90.332
Pemekaran tersebut dilakukan pada tanggal 30 oktober 2009 dan diresmikan pada tanggal 1 januari 2010, namun dalam pelaksanaan perkawinan Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis masih tetap menangani 7 Kelurahan lainnya yang mana masuk dalam lingkup Kecamatan Tapos, hal ini berdasarkan data dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis. Adapun 7 kelurahan yang mana masuk dalam lingkup Kecamatan Tapos dalah sebagai berikut:
Jumlah Penduduk Nama Kelurahan
Laki-laki Perempuan
Sukatani 15.525 15.502
Sukamaju baru 16.903 17.480
Jatijajar 10.531 10.530
Tapos 4.299 4.013
Cimpaeun 7.046 7.155
Leuwinanggung 5.595 4.202
cilangkap 12.262 14.585
jumlah 72.161 73.464
b. Sistem Kepercayaan
Berdasarkan agama yang mereka anut sesuai dengan jumlah penduduk dari seluruh Kelurahan yaitu 13 Kelurahan adalah sebagai berikut:
No Agama Jumlah Pemeluk
1 Islam 275.901
2 Katolik 9.677
4 Hindhu 2.681
5 Budha 3.209
C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis
Untuk lebih memudahkan dalam menjalankan program kerja KUA, maka dibentuklah susunan formasi dan struktur organisasi. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di KUA Cimanggis terdapat susunan badan kepengurusan KUA Cimanggis, yaitu:
NO JABATAN NAMA
1 Kepala KUA Drs. H. S. Badruzaman
NIP. 196808271992031001
2 Tata Usaha
1. Muhammad Isnendi
NIP. 150 331 957
2. Hj. Nani irianingsih
NIP. 150 226 319
3. Aminah
NIP. 150 228 764
4. Muslichah
NIP. 150 331 298
5. Sujaya
NIP. 150 250 655
6. Anita Nurulia
NIP. 150 330 925
3 Penghulu
1. Ubaidillah Halim, SHi
NIP. 150 219 349
NIP. 150 215 978
3. H. Abd. Hasan, SAg
NIP. 150 214 226
4. Drs. H. Sayadi
NIP.150 264 391
5. Drs. R. Suriana
NIP. 150 250 911
6. Moh. Irfan, SHi
NIP. 150 299 182
4 Keluarga Sakinah BP4
1. H. Abd. Hasan, SAg
NIP. 150 214 226
2. Effendi winata, SHi
NIP. 150 215 978
3. H. Azhari
NIP. 150 231 546
4. Moh. Irfan, SHi
NIP. 150 299 182
5 Zakat Wakaf
1. H. Abd. Hasan, SAg
NIP. 150 214 226
2. Effendi winata, SHi
NIP. 150 215 978
3. Ubaidillah Halim, SHi
NIP. 150 219 349
4. Muhammad Isnendi
NIP. 150 331 957
6 Produk Halal
1. H. Abd. Hasan, SAg
NIP. 150 214 226
2. Ubaidillah Halim, SHi
NIP. 150 219 978
NIP. 150 231 546
4. Drs. H. Sayadi
NIP. 150 264 391
5. Dede Napis SHi
NIP. 150 257 877
7 Binsik _______
8 Rukyat Hisab
1. H. Azhari
NIP. 150 264 391
2. H. Abd. Hasan, SAg
NIP. 150 214 226
3. Ubaidillah Halim, SHi
NIP. 150 219 978
4. Drs. R. Suriana
NIP. 150 250 911
5. Drs. H. Sayadi
BAB IV
ANALISIS TENTANG KETELITIAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH TERKAIT DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
NO.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk A. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Setiap tahap pada pencatatan perkawinan, diperlukan ketelitian dari pihak
pejabat yang berwenang seperti pemalsuan identitas, dalam hal ini adalah Pegawai
Pencatat Nikah yang bertanggung jawab atas data calon pengantin. Andaikata
terjadi pemalsuan identitas, hal ini jarang sekali terjadi namun pernah terjadi
seperti kasus yang diputus di Pengadilan Agama Depok. Adapun prosedur atau
tata cara pencatatan perkawinan yang berlaku diseluruh KUA khususnya di KUA
Kecamatan Cimanggis yaitu, para calon mempelai melapor melalui ketua RT, RW
dan Kelurahan untuk membuat persyaratan nikah dengan mengisi formulir Model
N1, N2, N3, N4.1 Kemudian jika semuanya telah diisi lalu dibawa ke KUA untuk
diadakan pemeriksaan. Adapun prosedur/tata cara secara garis besar atau secara
formal meliputi pemberitahuan nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak
nikah dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah.
1. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Tahapan pertama adalah pemberitahuan kehendak nikah, yang mana
dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan
kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah Kecamatan tempat
1
tinggal calon isteri dengan membawa surat-surat yang diperlukan serta mengisi
formulir pemberitahuan yang dilengkapi pe