• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Proses Quenching Pada Sambungan Las Shielded Metal Arc Welding (Smaw) Terhadap Kekerasan Impak Struktur Mikro Dan Kekerasan Baja St37

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Proses Quenching Pada Sambungan Las Shielded Metal Arc Welding (Smaw) Terhadap Kekerasan Impak Struktur Mikro Dan Kekerasan Baja St37"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PROSES QUENCHING PADA SAMBUNGAN LAS

SHIELDED METAL ARC WELDING (SMAW) TERHADAP

KEKERASAN IMPAK STRUKTUR MIKRO DAN

KEKERASAN BAJA St37

SKRIPSI

JUMAIN HALIM

NIM. 080401003

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGARUH PROSES QUENCHING PADA SAMBUNGAN LAS

SHIELDED METAL ARC WELDING (SMAW) TERHADAP

KEKERASAN IMPAK STRUKTUR MIKRO DAN

KEKERASAN BAJA St37

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana

teknik

JUMAIN HALIM

NIM. 080401003

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Ketangguhan suatu bahan sangat dipengaruhi oleh sifat fisis dan mekanik bahan tersebut. Namun, proses penyambungan dengan menggunakan pengelasan mengakibatkan sifat – sifat tersebut berubah. Dalam penelitian ini dilakukan pengelasan shielded metal arc welding

(SMAW) pada sambungan baja St37 untuk mengetahui sifat fisis & mekanis dengan variasi diameter elektroda (2,6 mm, 3,2mm dan 4,0 mm) dan proses pendinginan yang berbeda. Setelah mengalami proses pengelasan, specimen kemudian didinginkan dengan media

quenching Air, Oli Mesran SAE 40 dan dengan pendinginan udara, kemudian tiap – tiap specimen dibersihkan untuk selanjutnya dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi Pengujian Daya Impak dengan menggunakan Mesin Uji Impact Charpy, Kekerasan (Brinell Hardness Test) dan Pengujian Struktur Mikro dengan menggunakan Mikroskop Optik. Dari hasil pengujian, nilai ketangguhan impak rata – rata yang diperoleh untuk pengelasan dengan media quenching Air, menggunakan diameter elektroda 2,6 mm, 3,2 mm dan 4,0 mm masing – masing adalah 0,5820 J/mm2, 1,5383 J/mm2, 2,2746 J/mm2 dan nilai ketangguhan impak rata – rata yang diperoleh untuk pengelasan dengan media quenching Oli Mesran SAE40, menggunakan diameter elektroda 2,6 mm, 3,2 mm dan 4,0 mm masing – masing adalah 1,2911J/mm2, 2,0526 J/mm2, 3,4991 J/mm2 sedangkan nilai ketangguhan impak rata – rata yang diperoleh untuk pengelasan dengan pendinginan udara, menggunakan diameter elektroda 2,6 mm, 3,2 mm dan 4,0 mm masing – masing adalah 0,9929 J/mm2, 1,8263 J/mm2, 2,5433 J/mm2. Dari hasil pengujian kekerasan, nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 2,6 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE 40 dan pendinginan udara berturut – turut adalah 109 kgf/mm, 114 kgf/mm dan 135 kgf/mm. Nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 3,2 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE40 dan pendinginan udara berturut – turut adalah 121 kgf/mm, 121 kgf/mm dan 151 kgf/mm, sedangkan nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 4,0 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE40 dan pendinginan udara berturut – turut adalah 121 kgf/mm, 127 kgf/mm dan 182 kgf/mm. Dari hasil peneltian terlihat jelas bahwa media pendingin yang digunakan dalan pengelasan sangat berpengaruh terhadap nilai ketangguhan impak dan nilai hardness specimen hasil pengelasan.

(4)

ABSTRACT

Toughness of a material is influenced by the physical and mechanical properties of these materials. However, the joining by using the welding process cause a change in the properties. Has been conducted research by using welding shielded metal arc welding (SMAW) in the process of joining St37 steel to determine the physical and mechanical properties with variation of electrode diameter (2.6 mm, 3,2mm and 4,0 mm) and different cooling processes. After the welding treatment, the specimen is subsequently cooled by water, Mesran SAE 40 Lubricant and the air cooling, then each specimen was cleaned for further testing. Tests were conducted in this study include Impact Testing by using Charpy Impact Testing Machines, Hardness (Brinell Hardness Test) and Microstructures by using Optical Microscope. The test results showed that the average value of the impact toughness obtained for welding with water quenching medium, using an electrode diameter of 2.6 mm, 3.2 mm and 4.0 mm respectively 0.5820 J / mm2, 1.5383 J / mm2, 2.2746 J / mm2 and the average value of the impact toughness obtained for welding with Mesran SAE40 Lubricant quenching medium, using an electrode diameter of 2.6 mm, 3.2 mm and 4.0 mm respectively 1.2911J/mm2, 2.0526 J/mm2, 3.4991 J/mm2 while the average value of the impact toughness obtained for welding with air cooling, using an electrode diameter of 2.6 mm, 3.2 mm and 4.0 mm respectively 0.9929 J/mm2, 1.8263 J/mm2, 2.5433 J/mm2. From the results of hardness testing, BHN values obtained for welding by using an electrode diameter of 2.6 mm for water quenching media, Mesran SAE 40 Lubricant and air cooling respectively 109 kgf/mm, 114 kgf/mm and 135 kgf/mm. BHN values obtained for welding by using an electrode diameter of 3.2 mm for water quenching media, Mesran SAE40 Lubricant and air cooling respectively 121 kgf/mm, 121 kgf/mm and 151 kgf/mm, whereas the value obtained for the BHN welding by using an electrode diameter of 4.0 mm for water quenching media, Mesran SAE40 Lubricant and air cooling respectively 121 kgf/mm, 127 kgf/mm and 182 kgf/mm. From the result of research we can conclude that the cooling medium used is playing very influential role in the welding value of impact toughness and hardness values weld specimen.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat di selesaikan. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa Teknik Mesin dalam menyelesaikan studi di Universitas Sumateraa Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “PENGARUH PROSES QUENCHING PADA SAMBUNGAN LAS SHIELDED METAL ARC WELDING (SMAW) TERHADAP

KEKERASAN IMPAK STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN BAJA St37”

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir. Alfian Hamsi, M.Sc selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah banyak

memberi masukan, kepercayaan serta membina saya selama mengerjakan penelitian

ini.

2. Bapak Dr.Ing.Ir. Ikhwansyah Isranuri sebagai ketua Departemen Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Dosen dan Staf

administrasi.

3. Kedua orang tua penulis, Masrin Rambe dan Suherni, yang telah banyak memberikan

materi dan moril serta dukungan kepada penulis hingga saya dapat menyelesaikan

tugas sarjana ini.

4. Bapak/Ibu Staff Pengajar dan Pegawai, Kak Sonta, Kak Ika, Bang Syawal di

Departemen Teknik Mesin USU.

5. Bang Sarjana, Bang Rustam, Bang Lilik, dan Bang Andi yang telah banyak memberi

dukungan dan membantu dalam menyelesaikan tugas sarjana ini.

6. Teman Satu team, Edison I Manurung, yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk bergabung dan setia menemani dalam duka maupun suka dalam

penyelesain tugas skripsi ini,

7. Kepada teman-teman seperjuangan penulis yaitu Satahi Naibaho, Yansen Hasibuan,

M.Rislandi Tarigan (Bob) yang setia menemani dan memberikan masukan saat

penelitian ini dilaksanakan.

8. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin USU khususnya teman-teman angkatan

2008 yang banyak memberi motivasi serta dukungannya.

9. Kepada Andrian Anshari, abang-abang, Bang Budi yang telah memberikan semangat

(6)

kawan-kawan: Risman Sitompul, Alex Perwira, Sony, Dani (ucuy) yang sering

memberi dukungan kepada saya

10.Adek-adek saya yang memberi pertolongan: Hajairin Halim, Rinaldi Yarta, Rahmat,

Idam, Sulaiman, Saiful Anwar Matondang.

Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat digunakan sebagai

pengembangan ilmu yang didapat selama di bangku kuliah. Apabila terdapat kesalahan dalam

penyusunan serta bahasa yang tidak tepat dalam skripsi ini sebagai manusia yang tak luput

dari kesalahan penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat membangun dalam

penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan yang membacanya.

Medan, Februari 2015

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ………... i

Abstract ………... ii

Kata pengantar ………... iii

Daftar Isi………... v

Daftar Gambar ………... viii

Daftar Tabel ………... x

Daftar Notasi ………... xi

Daftar Lampiran ………... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah………... 2

1.3. Tujuan Penelitian ………... 2

1.4. Batasan Masalah ………... 2

1.5. Manfaat Penelitian………... 3

1.6. Sistematika Penulisan ………... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENGELASAN ………... ... 4

2.1.1 Oxyfuel Gas Welding (OFW)………... 5

2.1.2 Arc Welding (AW) ………... 5

a. Shielded Metal Arc Welding (SMAW)………... 6

b. Gas Shielded Arc Welding (GSAW)……….... 6

2.2. PRINSIP KERJA LAS LISTRIK ………... 7

(8)

2.4. ELEKTRODA ………... 8

2.5. PENEGLASAN BAJA KARBON ………... 10

2.6. DAERAH PENGARUH PANAS (HAZ)………... 11

2.7. BAJA………. 12

2.7.1 Struktur Baja ………. 12

2.7.2 Karakteristik Material ……… 12

2.7.3 Baja St37 ……….. 14

2.8. PERLAKUAN PANAS ………. 14

2.9. QUENCHING……… 17

2.9.1. Udara ……….. 18

2.9.2. Air ……….. 18

2.9.3. Oli ……….. 19

2.10. Pengujian Hasil Pengelasan ………... 20

2.10.1 Uji Impak ………... 20

2.10.2 Mesin Uji Impak ……… 22

2.10.3 Jenis Patahan ………. 24

2.10.4 Uji Kekerasan (Hardness)……….. 25

2.10.5 Uji Struktur Mikro ………. 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………30

3.1.1 Waktu ……… 30

3.1.2 Tempat ……….. 30

3.2. Metode Pembuata Spesimen ………. 30

3.2.1. Persiapan Alat dan Bahan ………. 30

3.3. Metodologi Penelitian ……… 33

3.4. Variable – Variable Penelitian ……….. 34

3.5. Spesimen ………... 34

3.5.1 Pembentukan Spesimen ……… 35

3.5.2 Elektroda ………... 36

3.6. Proses Pengujian ……… 37

(9)

3.6.2 Pengujian Hardness... 39

3.6.3 Pengujian Struktur Mikro ………. 40

3.7. Diagram Alir Penelitian……….... 41

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendahuluan ………... 42

4.2. Hasil Pengujian ………... 42

4.2.1. Hasil Pengujian Impak ……… 42

a) Dengan menggunakan quenchant Air………. 42

b) Dengan menggunakan quenchant Oli Mesran SAE40.46 c) Dengan menggunakan pendinginan Udara………. 51

4.2.2. Hasil Uji Kekerasan (Hardness)……….. 55

a) Dengan menggunakan quenchant Air……… 55

b) Dengan menggunakan quenchant Oli Mesran SAE40 58 c) Dengan menggunakan pendinginan Udara………. 63

4.2.3. Hasil Photo Mikro ………... 66

a) Dengan menggunakan quenchant Air………. 66

b) Dengan menggunakan quenchant Oli Mesran SAE40.69 c) Dengan menggunakan pendinginan Udara………….. 71

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………... 74

5.2. Saran ………... 75 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

Halaman

Gambar 2.1 Peralatan Oxyfuel Gas Welding ……….. 5

Gambar 2.2 Peralatan Shielded Metal Arc Welding (SMAW)……… 6

Gambar 2.3 Peralatan Gas Shielded Metal Arc Welding (GSAW)………. 6

Gambar 2.4 Elektroda Las ………. 9

Gambar 2.5 Daerah Las ………. 11

Gambar 2.6 Diagram fasa besi-karbon ……….. 12

Gambar 2.7 Diagram Keseimbangan Fe-Fe3C ……….. 16

Gambar 2.8 Kurva Pendinginan pada diagram TTT (time-temperature transformation) ……… 19

Gambar 2.9 Mesin Uji Impak Charpy ……… 22

Gambar 2.10 Sifat-sifat Patahan (a) Patahan getas, (b) Patahan liat dan (c) Patahan campuran ……….. 25

Gambar 2.11 Brinnell Test ……….. 26

Gambar 3.5 Mikroskop Optik ……….. 33

Gambar 3.6 Bentuk Dan Ukuran Spesimen ………. 35

Gambar 3.7 Kawat Elektroda dan Proses Pengelasan ……….. 36

Gambar 3.8 Mesin impak Charpy ……… 37

Gambar 3.15 Spesimen sebelum dietsa (A) & Spesime setelah dietsa (B)40 Gambar 4.1 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 2,6 mm ……… 43

Gambar 4.2 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 3,2 mm ……… 43

Gambar 4.3 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 4,0 mm ………. 44

Gambar 4.4 Grafik Nilai Hasil Pengujian Impak ………. 46

Gambar 4.5 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 2,6 mm ……….. 47

Gambar 4.6 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 3,2 mm ………... 47

Gambar 4.7 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 4,0 mm………. 48

Gambar 4.8 Grafik Nilai Hasil Pengujian Impak……….. 50

Gambar 4.9 Patahan spesimen baja St37 dengan jenis elektroda RB26 diameter 2,6 mm ……….... 51

(11)

diameter 4,0 mm ……… 52 Gambar 4.12 Grafik Nilai Hasil Pengujian Impak………. 54 Gambar 4.13 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 2,6 mm………. 56 Gambar 4.14 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 3,2 mm………. 56 Gambar 4.15 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 2,6 mm………. 57 Gambar 4.16 Grafik nilai BHN terhadap diameter elektroda……… 57 Gambar 4.17 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 2,6 mm……... 60 Gambar 4.18 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 3,2 mm……... 60 Gambar 4.19 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 2,6 mm……... 61 Gambar 4.20 Grafik nilai BHN terhadap diameter elektroda...……… 61 Gambar 4.21 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 2,6 mm……... 63 Gambar 4.22 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 3,2 mm……... 64 Gambar 4.23 Grafik nilai BHN baja St37 RB26 diameter 2,6 mm……... 64 Gambar 4.24 Grafik nilai BHN terhadap diameter elektroda ………... 65 Gambar 4.25 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 2,6 mm…………..67 Gambar 4.26 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 3,2 mm………...68 Gambar 4.27 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 3,2 mm………...68 Gambar 4.28 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 2,6 mm…………..69 Gambar 4.29 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 3,2 mm…………..70 Gambar 4.30 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 3,2 mm………...71 Gambar 4.31 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 2,6 mm…………..71 Gambar 4.32 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 3,2 mm………...72 Gambar 4.33 Photo Mikro baja St37 diameter elektroda 3,2 mm.………….73

(12)

Halaman Tabel 4.1 Hasil pengujian impak pada spesimen baja St37

dengan jenis elektroda RB26 diameter 2,6 mm ………42 Tabel 4.2 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 3,2 mm ………. 43 Tabel 4.3 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 4,0 mm ………. 43 Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Data Impak (media quenching Air) ………45 Tabel 4.5 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 2,6 mm ……… 46 Tabel 4.6 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 3,2 mm ………. 47 Tabel 4.7 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 4,0 mm ………..47 Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Data Impak (media quenching Oli Mesran SAE40) …49 Tabel 4.9 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 2,6 mm ………. 51 Tabel 4.10 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

dengan jenis elektroda RB 26 diameter 3,2 mm ………..51 Tabel 4.11 Hasil pengujian impak pada specimen baja St37

(13)

DAFTAR NOTASI

A = Luas penampang (mm2)

i = Kuat Arus (ampere)

t = Waktu (detik)

Ep = Energi potensial (joule)

Em = Energi mekanik (joule)

m = Berat pendulum (Kg)

g = Gravitasi (9,81 m/s²)

h1 = Jarak awal antara pendulum dengan benda uji (m) h2 = Jarak akhir antara pendulum dengan benda uji (m)

λ = Jarak lengan pengayun (m)

cos α = Sudut posisi awal pendulum (0°) cos β = Sudut posisi akhir pendulum (0°)

I = Nilai ketangguhan impak (J/mm²)

E = Energi yang diserap (J)

D = Diameter bola (mm)

d = Impression diameter (mm)

F = Load (beban) (Kgf)

HB = Brinnel Result (HB)

(14)

ABSTRAK

Ketangguhan suatu bahan sangat dipengaruhi oleh sifat fisis dan mekanik bahan tersebut. Namun, proses penyambungan dengan menggunakan pengelasan mengakibatkan sifat – sifat tersebut berubah. Dalam penelitian ini dilakukan pengelasan shielded metal arc welding

(SMAW) pada sambungan baja St37 untuk mengetahui sifat fisis & mekanis dengan variasi diameter elektroda (2,6 mm, 3,2mm dan 4,0 mm) dan proses pendinginan yang berbeda. Setelah mengalami proses pengelasan, specimen kemudian didinginkan dengan media

quenching Air, Oli Mesran SAE 40 dan dengan pendinginan udara, kemudian tiap – tiap specimen dibersihkan untuk selanjutnya dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi Pengujian Daya Impak dengan menggunakan Mesin Uji Impact Charpy, Kekerasan (Brinell Hardness Test) dan Pengujian Struktur Mikro dengan menggunakan Mikroskop Optik. Dari hasil pengujian, nilai ketangguhan impak rata – rata yang diperoleh untuk pengelasan dengan media quenching Air, menggunakan diameter elektroda 2,6 mm, 3,2 mm dan 4,0 mm masing – masing adalah 0,5820 J/mm2, 1,5383 J/mm2, 2,2746 J/mm2 dan nilai ketangguhan impak rata – rata yang diperoleh untuk pengelasan dengan media quenching Oli Mesran SAE40, menggunakan diameter elektroda 2,6 mm, 3,2 mm dan 4,0 mm masing – masing adalah 1,2911J/mm2, 2,0526 J/mm2, 3,4991 J/mm2 sedangkan nilai ketangguhan impak rata – rata yang diperoleh untuk pengelasan dengan pendinginan udara, menggunakan diameter elektroda 2,6 mm, 3,2 mm dan 4,0 mm masing – masing adalah 0,9929 J/mm2, 1,8263 J/mm2, 2,5433 J/mm2. Dari hasil pengujian kekerasan, nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 2,6 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE 40 dan pendinginan udara berturut – turut adalah 109 kgf/mm, 114 kgf/mm dan 135 kgf/mm. Nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 3,2 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE40 dan pendinginan udara berturut – turut adalah 121 kgf/mm, 121 kgf/mm dan 151 kgf/mm, sedangkan nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 4,0 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE40 dan pendinginan udara berturut – turut adalah 121 kgf/mm, 127 kgf/mm dan 182 kgf/mm. Dari hasil peneltian terlihat jelas bahwa media pendingin yang digunakan dalan pengelasan sangat berpengaruh terhadap nilai ketangguhan impak dan nilai hardness specimen hasil pengelasan.

(15)

ABSTRACT

Toughness of a material is influenced by the physical and mechanical properties of these materials. However, the joining by using the welding process cause a change in the properties. Has been conducted research by using welding shielded metal arc welding (SMAW) in the process of joining St37 steel to determine the physical and mechanical properties with variation of electrode diameter (2.6 mm, 3,2mm and 4,0 mm) and different cooling processes. After the welding treatment, the specimen is subsequently cooled by water, Mesran SAE 40 Lubricant and the air cooling, then each specimen was cleaned for further testing. Tests were conducted in this study include Impact Testing by using Charpy Impact Testing Machines, Hardness (Brinell Hardness Test) and Microstructures by using Optical Microscope. The test results showed that the average value of the impact toughness obtained for welding with water quenching medium, using an electrode diameter of 2.6 mm, 3.2 mm and 4.0 mm respectively 0.5820 J / mm2, 1.5383 J / mm2, 2.2746 J / mm2 and the average value of the impact toughness obtained for welding with Mesran SAE40 Lubricant quenching medium, using an electrode diameter of 2.6 mm, 3.2 mm and 4.0 mm respectively 1.2911J/mm2, 2.0526 J/mm2, 3.4991 J/mm2 while the average value of the impact toughness obtained for welding with air cooling, using an electrode diameter of 2.6 mm, 3.2 mm and 4.0 mm respectively 0.9929 J/mm2, 1.8263 J/mm2, 2.5433 J/mm2. From the results of hardness testing, BHN values obtained for welding by using an electrode diameter of 2.6 mm for water quenching media, Mesran SAE 40 Lubricant and air cooling respectively 109 kgf/mm, 114 kgf/mm and 135 kgf/mm. BHN values obtained for welding by using an electrode diameter of 3.2 mm for water quenching media, Mesran SAE40 Lubricant and air cooling respectively 121 kgf/mm, 121 kgf/mm and 151 kgf/mm, whereas the value obtained for the BHN welding by using an electrode diameter of 4.0 mm for water quenching media, Mesran SAE40 Lubricant and air cooling respectively 121 kgf/mm, 127 kgf/mm and 182 kgf/mm. From the result of research we can conclude that the cooling medium used is playing very influential role in the welding value of impact toughness and hardness values weld specimen.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kemajuan – kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai

hingga saat ini cenderung hanya merupakan hasil pengolahan dari ilmu pengetahuan dan

teknologi sebelumnya. Salah satu sarana dalam proses pembuatan peralatan yang banyak

digunakan adalah proses pengelasan. Proses pengelasan banyak digunakan pada

penyambungan kontruksi – konstruksi bangunan, perpipaan, bejana tekan, otomotif, jembatan

dan permesinan pada umumnya memerlukan sambungan las dengan kualifikasi tinggi. Karena

proses pengelasan sangat luas penggunaannya dalam bidang industri maka teknologi

pengelasan terus dikembangkan sehingga didapat sambungan yang lebih baik, dimana pada

mulanya hanya teknik penyambungan logam yang sangat sederhana sepert brasing dan pematrian yang kemudian berkembang menjadi cara penyambungan logam yang sangat maju

dan mutakhir.

Pengelasan merupakan pengikatan secara metalurgi karena mengalami pemanasan dan pendinginan, maka diperlukan pertimbangan dasar – dasar metalurgi untuk menetapkan prosedur pengelasan yang tepat sehingga didapat kualitas sambungan lasan yang baik dan kuat. Struktur mikro sangat mempengaruhi kekuatan dari hasil pengelasan. Pemanasan dan pendinginan yang cepat selama proses pengelasan memungkinkan terbentuknya struktur martensit yang kekerasanya tinggi. Mutu dari hasil pengelasan di samping tergantung dari pengerjaan lasnya sendiri dan juga sangat tergantung dari persiapan

sebelum pelaksanaan pengelasan.

Pada penelitian ini akan dibahas pengaruh dari proses quenching terhadap sifat fisis dan mekanis dari sambungan baja St37 dengan menggunakan Las SMAW. Untuk mengetahui

hasil pengelasan maka dilakukan pengujian yaitu, uji kekerasan, kekuatan impak dan struktur

mikro.

1.2Rumusan Masalah

(17)

1. Bagaimanakah perbedaan pengaruh media quenching air dan oli bekas terhadap sifat fisis dan mekanis pelat baja St37 setelah dilas dengan menggunakan Las SMAW

2. Bagaimanakah pengaruh variasi diameter elektroda yang dipakai pada pengelasan pelat

baja St37 terhadap sifat fisis dan mekanis pada pelat baja St37

1.3Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu melebar dari tujuan yang ingin

dicapai, maka perlu ditentukan batasan masalah, adapun batasan permasalahan adalah sebagai

berikut:

1. Bahan yang digunakan adalah pelat baja St37.

2. Pengelasan yang dilakukan adalah pengelasan listrik dengan elektoda terbungkus

(Shielded Metal Arc Welding) RB 26.

3. Arus listrik yang digunakan dalam proses pengelasan SMAW yaitu 130 Ampere.

4. Variasi diameter elektroda yang dipakai adalah 2.6 : 3,2 dan 4,0 mm.

5. Fluida yang digunakan sebagai quenchant adalah air dan oli . 6. Pengujian yang dilakukan adalah sifat fisik dan mekanik.

• Sifat mekanik meliputi : pengujian kekuatan impak, pengujian kekerasan.

• Sifat fisis meliputi : pengujian struktur mikro

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh media quenching air dan oli terhadap sifat fisis dan mekanis pelat baja St37 setelah dilas dengan menggunakan Las SMAW.

2. Mendapatkan hasil pengelasan yang terbaik dari tiap-tiap perlakuan.

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Mengetahui nilai hasil impak, kekerasan dan struktur mikro yang terjadi pada proses

penyambungan setelah proses pengelasan SMAW yang di quenching dengan air dan oli dengan variasi diameter elektroda yang dipakai.

2. Dari data-data ini dapat menjadi refrensi bagi peneliti selanjutnya tentang pengelasan

SMAW

(18)

Sistematika penulisan laporan yang merupakan hasil analisa penelitian meliputi: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan pendahuluan tentang studi kasus dan pemecahan masalah yang

berisi antara lain: latar belakang, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi dasar teori dari topik yang dikaji dan digunakan sebagai landasan dalam

memecahkan masalah dan menganalisis permasalahan tersebut meliputi penjelasan mengenai

pengelasan, uji kekerasan dan bahan – bahan capuran lainnya yang mempengaruhi dari

kualitas baja St37. Dasar teori didapatkan dari berbagai sumber, diantaranya berasal dari :

buku - buku pedoman, jurnal, paper, tugas akhir, e-mail, dan e-book. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini akan membahas mengenai pengambilan data dan langkah untuk menganalisis

permasalahan dan urutan proses analisis.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang data yang diperoleh dari peninjauan langsung di lapangan dan

hasil penganalisaan data.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil analisa simulasi dan saran untuk

penyempurnaan hasil penelitian untuk penelitian berikutnya.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGELASAN

Las dalam bidang konstruksi sangat luas penggunaannya meliputi konstruksi

jembatan, perkapalan, industri karoseri dll. Disamping untuk konstruksi las juga dapat untuk

mengelas cacat logam pada hasil pengecoran logam, mempertebal yang aus (Wiryosumarto

dan Okumura; 2004). Secara sederhana dapat diartikan bahwa pengelasan merupakan proses

penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam, baik menggunakan bahan

tambah maupun tidak dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas.

Pengertian pengelasan menurut Widharto (2003) adalah salah satu cara untuk menyambung

benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan. Berdasarkan definisi dari

Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau

logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Wiryosumarto dan

Okumura (2004) menyebutkan bahwa pengelasan adalah penyambungan setempat dari

beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas.Penyambungan dua buah logam

menjadi satu dilakukan dengan jalan pemanasan atau pelumeran, dimana kedua ujung logam

yang akan disambung di buat lumer atau dilelehkan dengan busur nyala atau panas yang

didapat dari busur nyala listrik (gas pembakar) sehingga kedua ujung atau bidang logam

merupakan bidang masa yang kuat dan tidak mudah dipisahkan (Arifin,1997). Paling tidak

saat ini terdapat sekitar 40 jenis pengelasan. Dari seluruh jenis pengelasan tersebut hanya dua

jenis yang paling populer di Indonesia yaitu pengelasan dengan menggunakan Las Karbit

(Oxyfuelgaswelding) dan busur nyala listrik (arcwelding).

(20)

Gambar 2.1 Peralatan Oxyfuel Gas Welding

Metode ini menggunakan semburan gas sebagai penghasil panas. Gas yang dimaksud

adalah Methylacetylene Propadiene (MAPP) atau yang biasa kita kenal dengan acetylene

dicampur dengan oksigen. Perangkat Oxyfuel Gas Welding seperti yang tinjukkan pada gambar 2.3 diatas. Gas Welding banyak digunakan dalam pekerjaan perawatan dan reparasi

karena kemudahan dalam transportasi tabung oksigen dan acetylene. OFW dapat diaplikasikan pada brazing, memotong, dan perlakuan panas untuk semua jenis logam.

2.1.2 Arc Welding (AW)

Metode ini menggunakan busur listrik untuk menggabungkan kedua logam lasan.

Perbedaannya dengan Gas Welding adalah tingkat konsentrasi panas yang dihasilkan. Pada

Gas Welding nyala api tersebar pada area yang luas, sehingga kadang menyebabkan panas yang berlebihan. Akibatnya dapat timbul buckling (menekuk) dan warping (membelok). Sedangkan pada Arc Welding, konsentrasi panas yang dihasilkan tidak sebesar Gas Welding. Sehingga resiko terjadinya buckling dan warping dapat dikurangi. Selain itu rendahnya konsentrasi panas yang dihasilkan mampu memperdalam penetrasi pengelasan dan

mempercepat pekerjaan pengelasan. Oleh sebab itu Arc Welding lebih sering digunakan daripada Gas Welding karena lebih praktis dan ekonomis. Arc Welding sendiri memiliki berbagai macam tipe, namun ada tiga kesamaan diantara tipe-tipe tersebut. Tiga hal tersebut

adalah sumber panas, logam pengisi, dan perisai/pelindung (Shielding). Sumber panas dihasilkan oleh arus listrik yang terjadi diantara dua kutub. Sumber tenaganya didapat dari

mesin las yang digerakkan oleh motor listrik maupun motor bakar. Dalam dunia konstruksi

(21)

Gambar 2.2 Peralatan Shielded Metal Arc Welding (SMAW)

Tipe ini menghasilkan busur listrik diantara elektroda logam pelapis dan base metal.

Sekali busur listrik sudah terbentuk, logam cair dari ujung elektroda akan mengalir bersama –

sama dengan logam cair lain yang berasal dari ujung base metal menuju daerah sambungan.

Proses ini dikenal dengan proses peleburan. Lapisan luar yang berasal dari elektroda

menutupi deposit logam lasan dan melindunginya (Shielding) dari kontaminasi. Keuntungan mendasar dari pengelasan tipe ini adalah produk lasan berkualitas tinggi yang dapat dibuat

dengan biaya rendah.

b. Gas Shielded Arc Welding (GSAW)

Gambar 2.3 Peralatan Gas Shielded Metal Arc Welding (GSAW)

Perbedaan utama antara Shielded Metal Arc Welding (SMAW) dengan Gas Shielded Arc Welding (GSAW) adalah pada tipe pelindung (Shielding) yang digunakan. Pada tipe ini, baik busur las maupun logam cair dilindungi/ditutupi oleh inert gas. Penutup inert gas

tersebut melindungi dari kontaminasi udara atmosferik sekitarnya, sehingga menghasilkan

(22)

helium, argon atau karbondioksida. Dalam kondisi tertentu, campuran ketiganya terkadang

digunakan. GSAW lebih sering digunakan karena dapat diaplikasikan pada berbagai jenis

logam fero dan nonfero dengan berbagai ketebalan.

Pada las busur (arc welding), energi disalurkan dari elektroda las sampai dengan logam induk oleh busur listrik. Pada saat tukang las menyalakan busur las, baik logam

pengisi maupun logam induk sama-sama mencair membentuk lapisan lasan. Mencairnya

kedua logam tersebut sangat mungkin terjadi karena adanya sejumlah energi per satuan waktu

dan kepadatan panas yang disuplai oleh elektroda. Siklus tersebut dikenal dengan masukan

panas. Secara definitif, masukan panas adalah pengukuran tertentu dari transfer energi per

satuan panjang jejak lasan. Panas yang masuk, seperti pada proses preheat dan suhu

interpass, memiliki faktor yang penting, dimana hal tersebut dapat menentukan karakteristik mekanis dan struktur metalurgi dari daerah logam lasan dan HAZ.

2.2. PRINSIP KERJA LAS LISTRIK

Elektrode lasnya yang diselubungi flux mencair saat proses pengelasan setelah

mendapat input sumber listrik. Inilah yang menyebabkan terbentuknya gas dan slag yang

melindungi busur las dan molten weld pool dari pengotor udara di sekelilingnya (disebut sebagai busur nyala/arc). Fluks juga akan memberi keuntungan seperti berfungsi sebagai

deoksidator selain itu juga memberi efek paduan pada logam lasnya sehingga memperkuat

logam las. Electric arc adalah arus elektron yang kontinu mengalir melalui media yang pendek antara dua elektrode (+ dan –) yang diketahui dengan terjadinya energi panas dan

radiasi udara atau gas antara elektrode akan diionisir oleh elektron yang dipancarkan oleh

katoda. Dua faktor yang mempegaruhi pancaran elektron :

1. Temperatur

2. Kekuatan medan listrik

Untuk menimbulkan arc, kedua elektrode dihubungkan singkat dengan cara

disentuhkan lebih dahulu (arc starting) dan pada bagian yang bersentuhan ini akan terjadi pemanasan (temperatur naik), hal ini mendorong terjadinya busur. Busur listrik yang terjadi

antara ujung elektroda merupakan perkalian antara tegangan listrik (E) dengan kuat arus (I)

dan waktu (t) yang dinyatakan dalam satuan panas joule, atau kalori seperti rumus di bawah

ini:

(23)

E = Tegangan Listrik (volt).

I = Kuat Arus (Ampere).

t = Waktu (detik).

2.3. ARUS PENGELASAN

Arus pengelasan adalah besarnya aliran atau arus listrik yang keluar dari mesin las.

Besar kecilnya arus pengelasan dapat diatur dengan alat yang ada pada mesin las. Arus las

harus disesuaikan dengan jenis bahan dan diameter elektroda yang di gunakan dalam

pengelasan. Penggunaan arus yang terlalu kecil akan mengakibatkan penembusan atau

penetrasi las yang rendah, sedangkan arus yang terlalu besar akan mengakibatkan

terbentuknya manik las yang terlalu lebar dan deformasi dalam pengelasan.

2.4. ELEKTRODA

Pengelasan dengan menggunakan las busur listrik memerlukan kawat las (Elektroda)

yang terdiri dari suatu inti terbuat dari suatu logam di lapisi oleh lapisan yang terbuat dari

campuran zat kimia, selain berfungsi sebagai pembangkit, elektroda juga sebagai bahan

tambah.

Gambar 2.4 Elektroda Las (Bintoro 2005)

Elektroda terdiri dari dua jenis bagian yaitu bagian yang bersalut (fluks) dan tidak

bersalut yang merupakan pangkal untuk menjepitkan tang las. Fungsi fluks atau lapisan

elektroda dalam las adalah untuk melindungi logam cair dari lingkungan udara menghasilkan

gas pelindung, menstabilkan busur, sumber unsure paduan. Pada dasarnya bila di tinjau dari

logam yang di las, kawat elektroda dibedakan menjadi elektroda untuk baja lunak, baja

karbon tinggi, baja paduan, besi tuang, dan logam non ferro. Bahan elektroda harus

(24)

pengelasan baja karbon sedang dan baja karbon tinggi harus benar-benar diperhatikan apabila

kekuatan las diharuskan sama dengan kekuatan material. Penggolongan elektroda diatur

berdasarkan standar sistem AWS (American Welding Society) dan ASTM (American Society Testing Material). Elektroda jenis E6013 dapat dipakai dalam semua posisi pengelasan dengan arus las AC maupun DC. Elektroda dengan kode E6013 untuk setiap huruf dan setiap

angka mempunyai arti masing-masing yaitu:

• E = Elektroda untuk las busur listrik.

• 60 = Menyatakan nilai tegangan tarik minimum hasil pengelasan dikalikan dengan

1000 Psi(60.000 Ib/in2) atau 42 kg/mm2.

• 1 = Menyatakan posisi pengelasan, 1 berarti dapat digunakan untuk pengelasan semua posisi.

• 3 = Jenis selaput elektroda Rutil-Kalium dan pengelasan dengan arus AC atau DC.

2.5. PENGELASAN BAJA KARBON

Baja adalah merupakan suatu campuran dari besi (Fe) dan karbon (C), dimana

unsur karbon (C) menjadi dasar. Disamping unsur Fe Dan C, baja juga mengandung

unsur campuran lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang

jumlahnya dibatasi. Baja karbon sedang dan baja karbon tinggi mengandung banyak

karbon dan unsur lain dapat memperkeras baja, karena itu daerah pengaruh panas atau

HAZ pada baja ini mudah menjadi keras bila dibandingkan baja karbon rendah. Sifatnya

yang mudah menjadi keras ditambah dengan adanya hydrogen difusi menyebabkan

baja ini sangat peka terhadap retak las. Disamping itu pengelasan dengan menggunakan

elektroda yang sama kuat dengan logam lasnya dengan pemanasan mula dan suhu

pemanasan tergantung dari kadar karbon. Baja karbon adalah baja yang mengandung

karbon antara 0,1 – 1,7%. Berdasarkan tingkatan banyaknya kadar karbon, baja

digolongkan menjadi tiga tingkatan : a. Baja karbon rendah

Yaitu baja yang mengandung karbon kurang dari 0,30%. Baja karbon rendah dalam

perdagangan dibuat dalam bentuk pelat, profil, batangan untuk keperluan tempa,

pekerjaan mesin, dan lain-lain.

(25)

Baja ini mengandung karbon antara 0,30% – 0,60 %. Didalam perdagangan biasanya

dipakai sebagai alat-alat perkakas, baut, poros engkol, roda gigi, ragum, pegas dan

lain-lain.

c. Baja karbon tinggi

Baja karbon tinggi ialah baja yang mengandung kerbon antara 0,6% – 1,5%. Baja ini

biasanya digunakan untuk keperluan alat-alat konstruksi yang berhubungan dengan

panas yang tinggi atau dalam penggunaannya akan menerima atau mengalami panas,

misalnya landasan, palu, gergaji, pahat, kikir, bor, bantalan peluru, dan sebagainya

(Amanto,1999).

2.6. DAERAH PENGARUH PANAS (HAZ)

Logam akan mengalami pengaruh pemanasan akibat pengelasan dan mengalami

perubahan struktur mikro disekitar daerah lasan. Bentuk struktur mikro bergantung

pada temperatur tertinggi yang dicapai pada pengelasan, kecepatan pengelasan dan laju

pendinginan daerah lasan. Daerah logam yang mengalami perubahan struktur mikro

akibat mengalami pemanasan karena pengelasan disebut daerah pengaruh panas (DPP),

atau Heat Affected Zone. Daerah hasil pengelasan yang akan kita temui bila kita

melakukan pengelasan, yaitu :

Gambar 2.5 Daerah Las (Ahmad dan Hasman 1994)

1. Logam Las (Weld Metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan

dengan cepat kemudian membeku.

2. Fusion Line Merupakan daerah perbatasan antara daerah yang mengalami peleburan dan yang tidak melebur. Daerah ini sangat tipis sekali sehingga

(26)

3. HAZ (Heat Affected Zone) merupakan daerah yang dipengaruhi panas dan juga

logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses

pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat,

sehingga terjadi perubahan struktur akibat pemanasan tersebut disebabkan

daerah yang mengalami pemanasan yang cukup tinggi.

4. Logam Induk (Parent Metal) merupakan logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dan

sifat.

Daerah HAZ merupakan daerah paling kritis dari sambungan las, karena selain

berubah strukturnya juga terjadi perubahan sifat pada daerah ini. Secara umum

struktur dan sifat daerah panas efektif dipengaruhi dari lamanya pendinginan dan

komposisi dari logam induk itu sendiri.

2.7. BAJA

2.7.1 Struktur Baja

Baja adalah logam paduan, logam besi sebagai unsur dasar dengan beberapa elemen lainnya,

termasuk karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja berkisar antara 0,2% hingga 2,1%

berat sesuai grade-nya. Elemen – elemen yang umumnya terkandung dalam baja antara lain:

karbon, mangan, fosfor, sulfur, silikon, dan sebagian kecil oksigen, nitrogen dan aluminium.

Selain itu, ada elemen lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara

beberapa jenis baja diantaranya: mangan, nikel, kromium, molybdenum, boron, titanium,

vanadium dan niobium (Ashby Michael F, 1992).

Penambahan kandungan karbon pada baja dapat meningkatkan kekerasan (hardness) dan kekuatan tariknya (tensile strength), namun di sisi lain membuatnya menjadi getas (brittle) serta menurunkan keuletannya (ductility). Dengan memvariasikan kandungan karbon dan unsur paduan lainnya, berbagai jenis kualitas baja bisa didapatkan. Fungsi karbon dalam

baja adalah sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal

(crystallattice) atom besi.

(27)

Gambar 2.6 Diagram fasa besi-karbon (Wikipedia).

Besi dapat ditemukan pada bagian kerak bumi hanya dalam bentuk bijih, biasanya

dalam bentuk besi oksida seperti magnetit dan hematit. Besi diekstraksi dari bijih besi dengan

menghilangkan atom oksigen dan kemudian menggabungkannya kembali dengan atom lain

seperti karbon. Proses ini disebut smelting. Ada sejumlah kecil besi yang sudah melalui

proses ini pada masa lampau dengan cara memanaskan bijih yang ditanam pada bara api dan

kemudian menggabungkan kedua logam dengan menempanya palu. Kandungan karbon yang

terkandung juga dapat dikontrol.

Temperatur tinggi pada proses smelting dapat dicapai dengan metode kuno yang sudah dipakai sejak zaman Tembaga. Karena tingkat oksidasi besi meningkat sangat cepat

diatas suhu 800 °C (1,470 °F), maka harus diperhatikan bahwa proses smelting harus dilaksanakan pada lingkungan dengan tingkat oksigen rendah. Proses peleburan akan

menghasilkan paduan yang dinamakan baja (Encyclopædia Britannica, 2007). Kelebihan

karbon dan pengotor lainnya dapat dihilangkan dengan beberapa proses bertahap.

Beberapa material juga ditambahkan ke campuran besi/karbon untuk mendapatkan

baja dengan karakteristik yang diinginkan. Nikel dan mangan ditambahkan untuk menambah

kekuatan, krom ditambahkan untuk meningkatkan kekerasan dan titik didih, serta

penambahan vanadium juga menambah kekerasan serta mengurangi dampak kelelahan logam

(Metallurgical Consultants, 2006).

Dengan mencegah korosi, penambahan kromium paling sedikit 11% wt sehingga

(28)

(baja anti noda). Tungsten ditambahkan pada pembentukan cementit, sehingga pada

kecepatan quench yang lebih rendah akan membentuk martensit. Di sisi lain, sulfur, nitrogen,

dan fosfor membuat baja menjadi getas, sehingga elemen ini harus dipisahkan ketika

pemrosesan (Metallurgical Consultants, 2006). Densitas baja bervariasi tergantung dari unsur

pembentuknya, namun umumnya berada diantara 7,750 hingga 8,050 kg/m3 (Elert Glenn,

2009).

Sifat – sifat utama baja untuk dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan :

a. Keteguhan (solidity) artinya mempunyai ketahanan terhadap tarikan, tekanan atau lentur

b. Elastisitas (elasticity) artinya kemampuan atau kesanggupan untuk dalam batas- batas pembebanan tertentu, sesudahnya pembebanan ditiadakan kembali kepeda

bentuk semula.

c. Kekenyalan /keliatan ( tenacity) artinya kemampuan atau kesanggupan untuk dapat menerima perubahan bentuk yang besar tanpa menderita kerugian- kerugian berupa

cacat atau kerusakan yang terlihat dari luar dan dalam untuk jangka waktu pendek.

d. Kemungkinan di tempa (malleability) sifat dalam keadaan merah pijar menjadi lembek dan plastis sehingga dapat di rubah bentuknya.

e. Kemunggkinan di las (weklability) artinya sifat dalam keadaan panas dapat digabungkan satu sama lain dengan memakai atau tidak memakai bahan tambahan,

tanpa merugikan sifat-sifat keteguhannya.

f. Kekerasan (hardness) kekuatan melawan terhadap masuknya benda lain. 2.7.3 Baja St37

Baja St 37 banyak digunakan untuk kontruksi umum karena mempunyai sifat mampu las dan

kepekaan terhadap retak las. Kepekaan retak yang rendah cocok terhadap proses las, dan

dapat digunakan untuk pengelasan plat tipis maupun plat tebal. Kualitas daerah las hasil

pengelasan lebih baik dari logam induk. Baja St 37 dijelaskan secara umum merupakan baja

karbon rendah, disebut juga baja lunak, banyak sekali digunakan untuk pembuatan baja

batangan, tangki, perkapalan, jembatan, menara, pesawat angkat dan dalam permesinan. Pada

pengelasan akan terjadi pembekuan laju las yang tidak serentak, akibatnya timbul tegangan

sisa terutama pada daerah HAZ (Heat Affected Zone) dan las. Tegangan sisa dapat diturunkan dengan cara pemanasan pasca las pada daerah tersebut, yang sering disebut post heat.

(29)

Perlakuan panas adalah proses pemanasan dan pendinginan pada logam yang

dikontrol untuk merekayasa sifat mekanik dan sifat fisiknya tanpa perlu merubah

bentuk produknya. Proses manufaktur seperti pengelasan atau proses pembentukan

dimana terjadi proses pemanasan dan pendinginan juga mengacu pada proses

perlakuan panas. Menurut Love (1986), prinsip pengerjaan panas (heat treatment) yang

berhubungan dengan perlakuan pada logam yaitu:

a. Hardening (pengerasan)

Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam dengan cara dipanaskan kemudian didinginkan secara cepat. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan struktur martensit, semakin banyak unsur karbon, maka struktur

martensit yang terbentuk juga akan semakin banyak. Karena martensit terbentuk dari

fase austenit yang didinginkan secara cepat.

Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan kehomogenan ini

maka austenit perlu waktu pemanasan yang cukup. Selanjutnya secara cepat baja

tersebut dicelupkan ke dalam media pendingin, tergantung pada kecepatan pendingin

yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan logam

b. Full Annealing (pelunakan)

Proses full anneling atau melunakkan logam merupakan proses pemanasan logam, kemudian didinginkan secara perlahan-lahan untuk membentuk suatu struktur

perlit dengan menggunakan media pendingin udara atau pendinginan dalam furnace.

Proses anneling bertujuan untuk mengurangi tegangan sisa, meningkatkan ketermesinan dan menghaluskan bentuk butiran logam.

c. Normalising

Normalising adalah suatu proses pemanasan logam di atas suhu kritis atas kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dan dibiarkan dingin di udara terbuka.

Prinsip dari proses normalising adalah untuk melunakkan logam. Namun pada baja

karbon tinggi atau baja paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh

(30)

d. Tempering

Proses tempering adalah pemanasan logam sampai temperatur di bawah temperature kritis bawah, kemudian didiamkan dalam tungku dan suhunya

dipertahankan sampai merata selama 15 menit. Selanjutnya diikuti dengan pendinginan

di udara. Jika kekerasan turun, maka kekuatan tarik turun pula. Dalam hal ini keuletan

dan ketangguhan logam akan meningkat. Meskipun proses ini akan menghasilkan logam

yang lebih lemah. Proses ini berbeda dengan anneling karena dengan proses ini belum

tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung

oleh kadar karbon.

Menurut Haqi (2006), hardening dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus

yang tinggi dan kekuatan yang lebih baik. Kekerasan yang dapat dicapai tergantung

pada kadar karbon dalam baja dan kekerasan yang terjadi akan tergantung pada

temperatur pemanasan (temperatur autenitising), holding time dan laju pendinginan yang dilakukan serta seberapa tebal bagian penampang yang menjadi keras banyak

tergantung pada hardenabiliti.

Langkah-langkah proses hardening adalah sebagai berikut :

a) Pemanasan (Heating)

Misalnya pemanasan sampai suhu 8500C, tujuanya adalah untuk mendapatkan struktur

Austenite. Dapat kita lihat diagram Fe-Fe3C disamping ini :

(31)

b) Penahanan Suhu (Holding)

Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk

memperoleh pemanasan yang homogen sehingga struktur austenitnya homogen atau

terjadi kelarutan karbida ke dalam austenit dan diffusi karbon dan unsur paduannya.

Pedoman untuk menentukan holding time dari berbagai jenis baja:

a. Baja Konstruksi dari Baja Karbon dan Baja Paduan Rendah Yang mengandung karbida yang mudah larut, diperlukan holding time yang singkat, 5 - 15 menit

setelah mencapai temperatur pemanasannya dianggap sudah memadai.

b. Baja Konstruksi dari Baja Paduan Menengah Dianjurkan menggunakan holding time 15 -25 menit, tidak tergantung ukuran benda kerja (Haqi, 2006).

c) Pendinginan

Untuk proses hardening kita melakukan pendinginan secara cepat (quenching).

Tujuanya adalah untuk mendapatkan struktur martensite, semakin banyak unsur

karbon, maka struktur martensite yang terbentuk juga akan semakin banyak. Karena

martensite terbentuk dari fase Austenite yang didinginkan secara cepat, sehingga

kekerasannya meningkat. Media pendingin yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Oli Mesran SAE 40, air dan udara.

2.9. QUENCHING

Quenching adalah sebuah proses pendinginan secara cepat sebuah logam, atau pengeluaran panas dari suatu logam dengan kecepatan tertentu yang berda pada kondisi suhu

austenisasi, untuk baja umumnya berkisar antara 815 – 8700C . Quenching menjadi proses yang penting dalam hal pengerasan logam atau metal hardening. Proses ini dilakukan untuk menghasilkan sejumlah fase martensitik pada mikrostruktur, memperluas distribusi ferit,

meningkatkan nilai kekerasan (hardness), kekuatan (strength), dan ketangguhan (toughness) serta meminimalkan presipitat karbida, residual stress, distorsi, dan kemungkinan retak (cracking). (pengky adie perdana,2008).

Fluida yang digunakan pada proses quenching disebut dengan quenchant. Pemilihan

(32)

laju pendinginanyang diinginkan untuk mendapatkan bentuk mikrostruktur yang diinginkan

dari baja paduan yang akan di-quenching.(ASMhandbook)

2.9. 1. Udara

Merupakan quenchant paling tua, umum dan murah.transfer panasnya tergantung pada laju aliran rata – rata (flow rate). Pendinginan dapat dipercepat dengan cara mempercepat laju aliran udara, tetapi cara tersebut tidak cukup efektif. Kemampuan udara

dalam proses hardening suatu logam seperti baja karbon, akan menurun secara drastis seiring dengan meningkatnya kandungan karbon dalam baja tersebut. Oleh karena itu untuk

mendapatkan kekerasan permukaan yang diinginkan, terkadang perlu menggunakan media

quenchant lainnya yang lebih aktif seperti air garam atau oli.

2.9. 2. Air

Seperti halnya udara, air juga termasuk quenchantyang tua, umum dan murah. Dan jika tidak terkontaminasi, air dapat dengan mudah dicampur dengan polutan. Air efektif menghancurkan kerak dari permukaan baja yang baru dikeluarkan dari tungku permanas tanpa perlindungan atmosferik. Air digunakan dimanapun proses quenching tidak menghasilkan distorsi atau retakan yang berlebihan, contohnya pada berbagai non-logam, baja tahan karat austenitic, dan logam lainnya yang telah mengalami perlakuan panas.

Quenching dengan air dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu langsung (immersion quenching), dan dua tahap, pertama dengan air panas, kemudian dilanjutkan dengan campuran larutan polimerdan air garam. Air dingin adalah salah satu quenchant aktif yang tersedia bebas dan mampu memaksimalkan laju pendinginan. Saat suhu air meningkat, fase penguapan menjadi lebih panjang, dan laju pendinginan maksimum akan menurun tajam. Pada umumnya hasil quenching yang optimal pada immersion quenching didapat dengan cara menjaga suhu air pada rentang 15 – 25oC dan kecepatan aliran air diatas 0.25 m/det. (Pengky Adie Perdana, 2008)

2.9. 3. Oli

Pada penelitian ini, media pendingin yang digunakan adalah Oli Mesran SAE40. Oli

Mesran SAE 40 merupakan pelumas produksi PT. Pertamina dengan viskositas 40 pada

temperatur 1000C. Penggunaan Oli Mesran SAE 40 sebagai media pendingin akan

menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya

(33)

tersebut, maka peneliti memilih perlakuan hardening dengan menggunakan media

pendingin Oli Mesran SAE 40. Perubahan sifat pada baja dapat diketahui dengan cara

melakukan pengujian tarik. Mengingat banyaknya jenis baja karbon dan media

pendingin maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada baja karbon rendah, yaitu baja

dengan kadar karbon antara 0,12 %C dan media pendingin Oli Mesran SAE 40, alasan

dipilihnya media pendingin Oli Mesran SAE 40 adalah karena Oli Mesran SAE 40 bila

digunakan dilingkungan suhu panas akan bersikap sebagai pelumas atau peka terhadap

temperature. Penggunaan Oli Mesran SAE 40 ini sebagai media pendingin akan

menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung pada besarnya

viskositas. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut.

Gambar 2.8 Kurva Pendinginan pada diagram TTT (time-temperature transformation)

(Beumer 1994)

Dari diagaram pendinginan diatas dapat dilihat bahwa dengan pendinginan

cepat (kurva 6) akan menghasilkan struktur martensite karena garis pendinginan lebih

cepat daripada (kurva 7) yang merupakan laju pendinginan kritis (critical cooling rate)

yang nantinya akan tetap terbentuk fase austenite (unstable). Sedangkan pada kurva 6

lebih cepat daripada kurva 7, sehingga terbentuk struktur martensite, tetapi bersifat

rapuh karena tegangan dalam yang besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan proses

hardening pada baja karbon akan meningkatkan kekerasanya. Dengan meningkatnya

kekerasan, maka efeknya terhadap kekuatan adalah sebagai berikut :

(34)

b) Kekuatan tarik (tensile sterngth) akan meningkat. Hal ini disebabkan karena

pada pengujian tarik beban yang bekerja adalah secara aksial yang berlawanan

dengan arah dari tegangan dalam, sehingga dengan naiknya kekerasan akan

meningkatkan kekuatan tarik dari suatu material.

Suhu pada proses quenching sangat berpengaruh terhadap umur oli, kekentalan oli, distorsi pada logam, dan kecepatan quenching. Sedangkan kecepatan quenching itu sendiri menjadi factor yang sangat penting karena sangat berpengaruh terhadap kekerasan suatu

logam.

Hampir semua quenchant oli mampu menghasilkan laju pendinginan lebih rendah daripada air biasa ataupun air garam, tetapi oli mampu mentransfer panas lebih merata

daripada air, yang artinya akan lebih kecil kemungkinan terjadinya distorsi atau keretakan.

Perubahan kekentalan dapat mengindikasikan adanya oksidasi, degradasi suhu atau adanya

kontaminasi. Secara umum, kekentalan akan meningkan seiring dengan terdegradasinya oli

dan akhirnya akan mempengaruhi kecepatan quenching.

2.10. PENGUJIAN HASIL PENGELASAN 2.5. 1. Uji Impak

Uji impak adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat (rapit loading). Pada uji impak terjadi proses penyerapan energi yang besar ketika beban menumbuk spesimen.

Energi yang diserap material ini dapat dihitung dengan menggunakan prinsip

perbedaan energi potensial. Tetapi kalau di mesin ujinya sudah menunjukkan energi yang

dapat diserap material, tidak perlu lagi menghitungnya secara manual. Penyerapan energi ini

akan di ubah menjadi berbagai respon, yaitu:

1. Depormasi plastis

2. Efek hysteresis

3. Efek inersia

Ada dua macam pengujian impak, yaitu:

1. Charpy 2. Izod

(35)

energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang mampu diserap material

seutuhnya.

Faktor yang mempengaruhi kegagalan material pada pengujian impak adalah:

1. Notch

Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan pada daerah yang lancip sehingga material lebih mudah patah. Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress ini sangat berbahaya karena tidak akan terjadi deformasi plastis dan menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda bahwa material akan

mengalami kegagalan.

2. Temperatur

Pada temperature tinggi material akan getas karena pengaruh vibrasi elektronnya yang

semakin rendah, begitupun sebaliknya.

3. Strainrate

Jika pembebanan di berikan pada strain rate yang biasa-biasa saja, maka material akan sempat mengalami depormasi palstis, karena pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi

akan bergerak menuju ke batas butir lalu kemudian patah. Namun pada uji impak, strainrate

yang di berikan sangat tingi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak, apalagi terjadi deformasi plastis, sehingga material akan mengalami patah transgranular, patahannya terjadi

di tengah-tengah atom, bukan di batas butir. Kemudian, dari hasil percobaan akan di dapatkan

energi dan temperatur. Dari data tersebut, kita akan buat diagram nilai impak terhadap

temperatur. Energi akan berbanding lurus dengan nilai impak. Kemudian kita akan

mendapatkan temperature transisi. Temperature transisi adalah range temperature di mana

sifat material dapat berubah dari getas ke ulet jika material dipanaskan.

2.5. 2. Mesin Uji Impak

Mesin uji bentur (impact) yang digunakan untuk mengetahui harga impak suatu bahan yang di akibatkan oleh gaya kejut pada bahan uji tersebut. Tipe dan bentuk kontruksi mesin

uji bentur beraneka ragam mulai dari jenis konvensional sampai dengan system digital yang

lebih maju. Dalam pembebanan statis dapat juga terjadi laju deformasi yang tinggi kalau

bahan di beri takikan, maka tajam kakikan makin besar deformasi yang terkonsentrasikan

pada takikan, yang memunggkinkan meningkatkan laju regangan beberapa kali lipat, patah

(36)

Pengujian impact charpy banyak di pergunakan untuk menentukan kualitas bahan. Benda uji takikan berbentuk V yang mempunyai keadaan takikan 2 mm banyak dipakai.

Permukaan benda uji pada impactcharpy dikerjakan halus pada semua permukaan. Mesin uji

impactcharpy ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Takikan dibuat dengan mesin freis atau alat nocth khusus takik. Semua dikerjakan menurut standar yang ditetapkan. Pada pengujian adalah suatu bahan uji yang ditakikan,

dipukul oleh pendulum (bandul) yang mengayun. Dengan pengujian ini dapat diketahui sifat

kegetasan suatu bahan . berikut ini merupakan salah satu mesin uji impak.

Gambar 2.9 Mesin Uji Impak Charpy

Cara ini dapat dilakukan dengan cara charpy, pendulum diarahkan pada bagian belakang takik dari batang uji. Sedangkan pada pengujian impact cara izod adalah pukulan pendulum diarahkan pada jarak 22 mm dari penjepit dan takikannya menghadap pendulum.

Ada juga jenis Standar ASTM untuk pengujian impak. Pada baja dan aluminium

terdapat perbedaan harga impak. Harga impak lebih tinggi dari pada aluminium menunjukkan

bahwa ketangguhan baja lebih tinggi jika di bandingkan dengan aluminium. Ketangguhan

adalah kemampuan material untuk menyerap energi dan berdeformasi plastis hingga patah.

Selain suhu, hal lain yang mempengaruhi harga impak suatu material adalah kadar

karbonnya. Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi akan lebih getas. Hal ini akan

mempengaruhi harga impaknya dan temperature transisinya.material yang memiliki kadar

karbon tinggi akan memiliki temperature transisi yang lebih panjang jika di bandingkan

dengan material yang memikiki kadar karbon rendah. Temperature transisi yang berbeda

beda ini akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Material yang

memiliki temperature transisi rendah maka material tersebut tidak akan tahan terhadap

perubahn suhu.

Pada pembebanan impak ini terjadi proses penyerapan energi yang besar. Usaha yang

dilakukan pendulum waktu memukul benda uji atau energi yang diserap benda uji patah

(37)

Keterangan: Ep = energi potensial, Em = energi mekanik

m = berat pendulum (Kg)

g = Gravitasi 10 m/s²

h1 = jarak awal antara pendulum dengan benda uji (m)

h2 = jarak akhir antara pendulum dengan benda uji (m)

λ = jarak lengan pengayun (m) cos α = sudut posisi awal pendulum cos β = sudut posisi akhir pendulum

Dari persamaan di atas dapat diketahui harga impak yaitu :

� = � / �

Dimana :

I = Nilai ketangguhan impak (J/mm²)

E = Energi yang diserap (J)

A = Luas penampang di bawah takikan (mm²)

Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi segangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan

sudut 45º, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole)

2.5. 3. Uji Kekerasan (Hardness)

Kekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanis dari suatu material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaannya akan

mengalami pergesekan (frictional force) dan deformasi plastis. Deformasi plastis adalah suatu keadaan dari suatu material ketika material tersebut diberikan gaya maka struktur mikro

E = Ep1 – Ep2

E = m.g.h1 – m.g.h2

E = m.g(h1-h2)

(38)

dari material tersebut sudah tidak bisa kembali ke bentuk asal. Lebih ringkasnya kekerasan

itu dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan/material untuk menahan beban induksi

atau penetrasi (penekanan).

Di dunia teknik umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode

pengujian :

1. Brinnel (HB/BHN)Jenis pengujian ini bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu bahan/material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan (penetrasi) pada permukaan bahan/material tersebut.

Uji kekerasan Brinnel dapat dirumuskan sebagai berikut :

HB = 2F

�/2. D(D− √D2−d2 Dimana :

D = diameter bola (mm)

d = impression diameter (mm) F = Load (beban) (Kgf) HB = Brinnel Result (HB)

Gambar 2.10 Brinnell Test

2. Rockwell (HR/RHN)

Pengujian kekerasan dengan metode ini bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu

bahan/material dalam bentuk daya tahan material terhadap indentor berupa bola baja ataupun

kerucut intan yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.

Rumus yang digunakaan yaitu,

�� = � – �

(39)

HR = besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness

E = jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero reference line.

e = jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan 0.002 mm

3. Vikers (HV/VHN)

Metode ini bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu bahan/material dalam yaitu

daya tahan material terhadap indentor intan yang cukup kecil dan mempunyai bentuk

geometric berbentuk pyramid. Beban yang digukan juga jauh lebih kecil dibangding yang

digunakan pada pengujian Rockwell dan brinnel yaitu antara 1 sampai 1000 gram.

Rumus yang digunakan adalah

HV =�. sin 136°/2 d²/2

�� = 1,8542

Dimana: HV = angka kekerasan Vickers

F = beban

d = diagonal (mm)

4. Micro Hardness (knoop hardness)

Metode ini bertujuan untuk pengujian material yang tingkat nilai kekerasannya

rendah. Knoop biasanya digunakan untuk mengukur material yang getas seperti keramik.

Rumus perhitungannya yaitu:

�� = 14,2 �

�2 Dimana:

HK = angka kekerasan knoop

F = Beban (kgf)

I = panjang dari indentor (mm)

Setelah kita mengetahui macam-macam pengujian untuk uji kekerasan maka segera

(40)

memperhatikan permukaan material, jenis dan dimensi material, jenis data yang diinginkan,

dan ketersediaan alat uji.

2.5. 4. Uji Struktur Mikro

Suatu logam mempunyai sifat mekanik yang tidak hanya tergantung pada komposisi kimia suatu paduan, tetapi juga tergantung pada struktur mikronya. Suatu paduan dengan komposisi kimia yang sama dapat memiliki struktur mikro yang berbeda, dan sifat

mekaniknyapun akan berbeda. Ini tergantung pada proses pengerjaan dan proses laku-panas

yang diterima selama proses pengerjaan. Pengamatan struktur mikro dapat menggunakan

mikroskop.

Gambar 2.11 Mikroskop Optik

Struktur bahan dalam orde kecil sering disebut struktur mikro. Struktur ini dapat dilihat

dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro. Penelitian

ini menggunakan mikroskop cahaya. Persiapan yang dilakukan sebelum mengamati struktur

mikro adalah pemotongan specimen, pengampelasan, pemolesan, dan pengetsaan. Setelah

dipilih, bahan uji diratakan permukaannya dengan menggunakan kikir. Setelah rata digosok

dengan menggunakan ampelas mulai dari yang kasar sampai yang halus.

Arah pengampelasan tiap tahap harus diubah, pengampelasan yang lama dan penuh

kecermatan akan menghasilkan permukaan yang halus dan rata. Bahan yang halus dan rata

diberi autosol untuk membersihkan noda yang menempel pada bahan. Langkah terakhir

sebelum dilihat struktur mikro adalah dengan mencelupkan specimen kedalam larutan etsa

dengan penjepit tahan karat dan permukaan menghadap keatas. Kemudian specimen dicuci,

(41)

Hasil kemampuan resolusi dari lensa objektif yang digunakan, kontras bayangan

haruslah mencukupi. Kontras bayangan bergantung pada persiapan spesimen dan optika.

Perbedaan pada pemantulan sinar dari permukaan spesimen mengakibatkan adanya

amplitudo bentuk yang dapat dilihat oleh mata setelah adanya perbesaran. Perbedaan fase

yang ditimbulkan oleh pemantulan sinar pasti dapat dilihat dengan penggunaan fase kontras

atau dengan menambahkan alat interferensi kontras pada mikroskop.

1. Penyinaran Daerah Terang

Penyinaran daerah terang, merupakan cara pengujian yang paling banyak digunakan.

Dalam operasinya, sinar dilewatkan melalui lensa objektif dan menumbuk permukaan

spesimen secara tegak lurus. Bentuk permukaan yang normal terhadap sinar datang akan

memantulkan sinar itu kembali melalui lensa objektif menuju mata. Permukaan yang miring

akan memantulkan sinar lebih sedikit ke lensa objektif dan kelihatan lebih gelap, tergantung

pada sudutnya.

2. Penyinaran Miring

Beberapa mikroskop, dapat dipasangi dngan kondensator atau cermin sehingga sinar

yang lewat melalui lensa objektif menumbuk permukaan spesimen pada sudut yang tidak

tegak lurus. Kekasaran permukaan spesimen akan membentuk bayangan–bayangan,

menghasilkan tampilan tiga dimensi. Hal ini memungkinkan kita untuk menentukan bentuk

relif atau lekukan. Namun hanya sedikit tingkat kemiringan yang dapat digunakan, karena

cara ini menyebabkan penyinaran menjadi tidak seragam dan mengurangi resolusi.

3. Penyinaran Daerah Gelap

Sinar yang dipantulkan oleh bentuk yang miring, dikumpulkan, dan sinar yang

dipantulkan dari bentuk yang normal terhadap pancaran sinar datang diblok. Oleh karena itu

kontras merupakan kebalikan dari penyinaran daerah terang; dimana bentuk yang terang pada

penyinaran daerah terang kelihatan gelap. Ini akan menghasilkan kontras bayangan yang

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorim Proses Produksi dan Laboratorium Ilmu Logam Fisik.

Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

3.1.2 Waktu

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2014.

3.2. Metode Pembuatan Spesimen Persiapan Alat dan Bahan

Pada tahap ini dilakukan atau dipersiapkan bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan untuk

pengujian.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Gergaji (saw)

Mesin gergaji yang digunakan Merk Viebahn 220 V dengan kecepatan potong 10 mm.

Gergaji ini digunakan sebagai alat pemotong benda uji.

Gambar 3.1 Gergaji besi

Spesifikasi:

(43)

ART No : Model 200 K Item No : ME 1 7 Tegangan : 380/50 V U/min : 2860 P.K : 1.10 AV 220 – Amp 2.33 YV 380 – Amp 1.35

2. Gerinda tangan

Penelitian ini gerinda tangan digunakan untuk merapikan hasil las an pada pesawat tanpa awak. Batu gerinda merupakan komposisi aluminium oksida. gerinda ini dapat

mengahsilkan putaran sekitar 11.000- 15.000 rpm.

Gambar 3.2 Gerinda Tangan

Spesifikasi:

(44)

Ukuran gerinda : 290x120x100 3. Mesin las

Mesin las yang digunakan yaitu mesin las listrik.

Gambar 3.3 Mesin Las

Spesifikasi:

Tipe : LEGS 225 No : 3433613

Tegangan : 380/220 V Cos φ 0.54 bei 225 A Cos φ bei 150 A

DB 100% ED 150 A 26 V HSB 60 % ED 200 A 28 V HSB 35 % ED 225 A 29 V

4. Mesin sekrap

Mesin sekrap yang digunakan adalah type L-450, mesin sekrap digunakan sebagai proses

pembentukan benda uji pada uji tarik dan uji impak. Mesin ini menggunakan mata pahat

sebagai media pemakanan. Bentuk mata pahat dapat disesuaikan dengan bentuk benda yang

Gambar

Gambar 2.7 Diagram Keseimbangan Fe-Fe3C (Vlack dan Djaprie 1989)
Gambar 2.11 Mikroskop Optik
Gambar 3.1 Gergaji besi
Gambar 3.2 Gerinda Tangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini penulis ingin mengamati sifat fisis dan mekanis hasil sambungan las pada baja karbon rendah jenis ST 42 akibat cacat porositas dan

Karena pada kampuh I tertutup proses pengelasanya dilakukan di kedua sisi plat sehingga panas yang diterima dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan dangan kampuh V,

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini yang berjudul PENGARUH VARIASI ARUS PENGELASAN SHIELD METAL ARC WELDING (SMAW) TERHADAP KEKUATAN TARIK HASIL SAMBUNGAN

 Dari hasil pengujian Tarik dan Penggujian Impact yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan polaritas pengelasan DC (+) mempunyai nilai yang lebih tinggi pada

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi kuat arus pada proses pengelasan SMAW terhadap kekuatan impak, kekerasan dan struktur mikro pada sambungan pegas

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “ PENGARUH VARIASI BENTUK KAMPUH TERHADAP STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN DAN KEKUATAN TARIK PADA PROSES PENGELASAN BAJA

PENGARUH VARIASI ARUS LAS SMAW Shielded Metal Arc Welding TERHADAP UJI TARIK DAN UJI KEKERASAN SERTA STRUKTUR MIKRO PADA BAHAN ST 37 Skripsi Program Studi Teknik Mesin diajukan

BAB I PENDAHULUAN| 1.1 Latar0Belakang Pengelasan merupakan suatu proses penyambungan benda logam dua atau lebih dengan menggunakan panas atau dengan menggunakan tekanan atau