• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Defensif RRC dalam Merespon Kebijakan AS atas Taiwan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Defensif RRC dalam Merespon Kebijakan AS atas Taiwan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Wacana keilmuan Hubungan Internasional pasca Perang Dunia II didominasi oleh para kaum realis. Pada tahun 1958, A.F.K Organski merumuskan teori Power Transition, yang menjadi oposite dari Balance of Power. Dalam World Politics, ia menyimpulkan bahwa hubungan antara balance of power dan perdamaian tidak bisa dipertahankan. Periode keseimbangan, menurut Organski, nyata atau bayangan, merupakan periode peperangan. Klaim utama power transition adalah bahwa kemungkinan perang meningkat di waktu periode transisi kekuasaan. Sebaliknya, periode damai adalah periode di mana terdapat satu pihak yang menggenggam kekuasaan penuh, bukannya keseimbangan di antara dua pihak.1

Klaim tersebut seperti mendapat “angin segar” ketika periode damai pasca perang diwarnai oleh perimbangan kekuatan yang dilakukan oleh Uni Soviet2 dan menurunnya hegemoni ekonomi politik Amerika Serikat (selanjutnya disebut AS) sepanjang dekade 1970-an. Penurunan hegemoni AS ditandai oleh perbaikan dan peningkatan penyatuan Eropa serta pertumbuhan ekonomi Jepang yang pesat.3 Lebih lanjut, kepemimpinan hegemonik sepertinya tidak akan muncul melalui AS atau

       1

A.F.K Organski, “World Politics” dalam John A. Vasquez, Classics of International Relations (New  Jersey: Prentice Hall, 1996) hal 303‐306. 

2 Klaim Organski dibuat ketika memasuki masa Perang Dingin. Di dalam World 

Politics, Organski 

menulis,”…Jika sejarah terulang, maka perang dunia selanjutnya akan dimulai oleh Uni Soviet, dan 

perang akan dilancarkan sebelum Uni Soviet sekuat AS dan sekutunya…” Baca A.F.K Organski dalam  Ibid, hal 306. 

(2)

negara lain pada paruh kedua abad 20, karena kekuatan hegemonik, sepanjang sejarah, hanya muncul setelah perang dunia.4

Memasuki abad ke 21, perdebatan di antara penganut kedua teori di atas tidak mengalami penurunan. Para sarjana Hubungan Internasional menjadikan kawasan Asia Timur sebagai “lumbung” riset mereka, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan meningkatnya perekonomian serta militer Republik Rakyat Cina (selanjutnya disingkat RRC).5 Peningkatan kapabilitas RRC dan pengaruhnya terhadap AS, menjadi sorotan utama para sarjana Hubungan Internasional maupun pengambil kebijakan. Sebagian berpendapat, peningkatan kemampuan RRC merupakan perilaku perimbangan terhadap AS, sehingga memunculkan bipolar balance of power di Asia Timur, menggantikan segitiga great power selama masa Perang Dingin.6 Sebagian berpendapat bahwa peningkatan kemampuan RRC merupakan tanda-tanda transisi kekuatan di abad 21, di mana AS sebagai kekuatan tunggal global pasca Perang Dingin ditantang oleh RRC sebagai kekuatan dunia yang baru.7

Terlepas dari kedua teori di atas, hubungan di antara RRC dan AS memang mengalami fluktuasi – bahkan sampai saat ini ketika AS dipimpin oleh Barrack Obama. Peningkatan kemampuan RRC dan meningkatnya rasa nasionalisme rakyat Cina, menjadi dua faktor utama yang mempengaruhi stabilitas hubungan di antara       

4 Robert Gilpin,”War and Change in World Politics”, 1981, dikutip oleh  Ibid

5 Banyak literatur yang membahas mengenai pertumbuhan ekonomi RRC. Hanya untuk menyebut 

salah satu di antaranya adalah, K. C. Yeh, “China’s Economic Growth: Recent Trends and Prospects” 

dalam Shuxun Chen and Charles Wolf, Jr. (Ed), China, The United States, and The Global Economy 

(California: RAND, 2001) hal 69‐97. Sedangkan untuk peningkatan militer, bisa dibaca di bab ketiga 

dari Evelyn Goh and Sheldon W. Simon (Ed), China, The United States, and Southeast Asia: 

Contending Perspectives on Politics, Security, and Economics (New York: Routledge, 2008). 

6 Robert S. Ross, ”Bipolarity and Balancing in East Asia” dalam T.V. Paul, James J. Wirtz, and Michel  Fortmann (Ed), Balance of power : theory and practice in the 21st century (California: Stanford  University Press,2004) hal 267. 

7

 Zhiqun Zhu, US–China Relations In The 21st Century : Power Transition and Peace (New York: 

(3)

kedua negara.8 Di dalam kedua faktor tersebut, permasalahan reunifikasi Taiwan menjadi salah satu driving force dalam memahami hubungan RRC-AS.9 Melalui Taiwan Relations Act (TRA)10, AS menerapkan strategi deterens untuk melawan perilaku unilateral People’s Liberation Army (PLA atau angkatan bersenjata RRC) terhadap Taiwan.11

Hubungan di antara AS dan RRC dapat kita bagi menjadi empat bagian/periode: 1950-1970, 1971-1977, 1978-1988, dan 1988-2009. Pada periode 1950-1970, hubungan AS-RRC masih tegang karena dipengaruhi oleh Perang Korea, namun relatif tidak mengalami fluktuasi. Menginjak periode kedua, hubungan keduanya berada pada titik tolak menuju normalisasi hubungan – yang ditunjang oleh membaiknya hubungan RRC dengan AS, karena sengketa batas wilayah dengan Uni Soviet pada tahun 1969. Periode ketiga merupakan periode normalisasi yang ditandai dengan dibukanya kembali hubungan diplomatik pada tanggal 1 Januari 1979. Periode ke empat, yang ditandai oleh peristiwa Tiannanmen pada tahun 1989, mengantarkan AS-RRC pada pola hubungan paling fluktuatif.12

      

10 Isi dari TRA adalah: memelihara dan mengembangkan hubungan kultural, perdagangan dan 

lainnya  secara  ektensif  dan  bersahabat  di  antara  AS  dan  rakyat  Taiwan;  mendeklarasikan 

perdamaian dan stabilitas di area kepentingan politik, keamanan dan ekonomi AS dan di area yang 

menjadi perhatian internasional; memperjelas masa depan Taiwan akan ditentukan oleh cara‐cara 

damai; mengangap bahwa usaha‐usaha yang menentukan masa depan Taiwan, selain cara‐cara 

damai, termasuk boikot atau embargo, merupakan ancaman keamanan dan perdamaian bagi 

negara‐negara Pasific Barat dan menjadi perhatian penting bagi AS; menyediakan persenjataan 

(4)

Pada periode terakhir, hubungan AS-RRC pernah mencapai titik terburuk. Pada masa kepemimpinan George H.W. Bush tahun 1992, AS menjual 150 buah pesawat F-16 kepada Taiwan. Hal tersebut merupakan nilai penjualan senjata ke Taiwan terbesar sepanjang sejarah.13 Selain itu pada bulan Maret 1996 terjadi ketegangan di selat Taiwan – karena gelaran senjata yang dilakukan RRC untuk memprovokasi pemilu presiden pertama di Taiwan. Satu misil meledak hanya berjarak 23 mil dari pelabuhan Taiwan. Tindakan provokasi RRC itu disebabkan oleh pemberian visa oleh AS untuk menghadiri undangan reuni Universitas Cornell terhadap pemimpin politik, yang juga calon presiden Taiwan, Lee Teng Hui. RRC menganggap kebijakan AS memberikan visa kepada Lee Teng Hui sebagai dukungan terhadap kemerdekaan Taiwan.14

Memasuki abad 21, transfer persenjataan tidak berhenti. Pemerintahan Obama menyetujui rencana penjualan senjata ke Taiwan sebesar 6,4 milyar dolar AS. Jumlah itu terdiri dari 114 misil Patriot sebesar 2, 81 milyar dolar, 60 helikopter Black Hawk senilai 3,1 milyar dolar dan selebihnya (340 juta dolar) peralatan komunikasi untuk pesawat F-16 pesanan Taiwan.15 Penjualan senjata ke Taiwan tersebut menciderai Joint Communique 1982 yang berisi tentang pengurangan penjualan senjata ke Taiwan. RRC tidak merespon kebijakan tersebut secara koersif, seperti yang terjadi pada tahun 1996. Meski begitu RRC tetap melayangkan protes

      

13 David Lai, Arms Sales To Taiwan: Enjoy The Business While It Lasts, Of Interest Strategic Studies  Institute, May 3, 2010, hal 3. 

14 Robert S. Ross, The 1995‐1996 Taiwan Strait Confrontation: Coercion, Credibility, and Use of Force

International Security 25:2 (Fall 2000) hal 87‐123.  15

NN,  China  hits  back  at  US  over  Taiwan  weapons  sale,  http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia‐

(5)

keras kepada pemerintah AS,16 menerapkan sanksi terhadap perusahaan persenjataan AS17 dan menambah misil jarak jauh di selat Taiwan.18

Secara kuantitatif pola hubungan di antara AS dan RRC memang mengalami fluktuasi, tetapi secara kualitatif hampir tidak mengalami perubahan. Masing-masing mengejar kepentingan nasional, dan menerapkan kebijakan “pura-pura menjadi teman”. Hal tersebut seperti yang disampaikan Yan Xuetong:

The false-but-nice description of China–US strategic relations started in the mid-1990s… To arrest the downward spiral

of bilateral relations and reduce the possibility of confrontation,

China and the United States looked for ways of showing their good

will. Officials in both the Chinese and American governments

searched for an ambiguous term to cloak their uneasy relationship

and finally agreed on the phrase neither-friend-nor-enemy (fei di fei

you). Both governments used the term to define their relationship,

and it became widely accepted by experts in both countries.”19

Pola hubungan tersebut yang melatar-belakangi penelitian ini. Peneliti akan berusaha untuk mendalami pola hubungan di antara kedua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. Penelitian ini akan berfokus pada kebijakan AS atas Taiwan – dalam hal penjualan senjata – dan pengaruhnya terhadap       

16

  Helene  Cooper,  U.S.  Approval  of  Taiwan  Arms  Sales  Angers  China

http://www.nytimes.com/2010/01/30/world/asia/30arms.html 

17  NN,  China  hits  back  at  US  over  Taiwan  weapons 

sale,  http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia‐ pacific/8488765.stm 

18  Ralph  Jennings,  China  adding  missiles  near  Taiwan:  navy 

official,  http://www.reuters.com/article/2010/03/27/us‐taiwan‐china‐idUSTRE62Q0AS20100327 

19 Yan Xuetong, 

(6)

Republik Rakyat Cina. Penelitian ini menjadi penting karena permasalahan reunifikasi Taiwan, yang melibatkan AS sebagai negara superpower, merupakan salah satu faktor penentu stabilitas kawasan Asia Timur.20

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “mengapa strategi RRC terhadap AS – berkaitan dengan Taiwan – bersifat defensive?”

1.3. Tujuan Penelitian

a). Mengetahui bagaimana dukungan AS terhadap Taiwan, melalui kerangka Taiwan Relations Act (TRA).

b). Mengetahui bagaimana respon RRC atas kebijakan AS terhadap Taiwan.

c) Mampu menjelaskan hubungan antara dukungan AS terhadap Taiwan dan respon RRC yang berkaitan dengan hal tersebut.

1.4. Kerangka Pemikiran 1.4.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan hubungan RRC-Taiwan adalah china’s less aggressive approach to taiwan reunification: a change in strategy or tactics?

karya Letnan Kolonel Douglas Frison, tentara cadangan Amerika Serikat.21 Tulisan tersebut berisi penelitian yang menyimpulkan bahwa RRC menerapkan perubahan       

20Charles A. Kupchan, “Kehidupan setelah Pax Amerikana,” dalam Sammuel P. Huntington (et. all), 

Amerika dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) hal 265. 

21 Lieutenant Colonel Douglas Frison, China’s Less Aggressive Approach To Taiwan Reunification: A 

Change In Strategy Or Tactics, Laporan Penelitian U.S. Army War College Carlisle Barracks, 

(7)

strategi menghadapi Taiwan sejak tahun 2000. Hal itu salah satunya disebabkan oleh ketidakefektivan ancaman militer dan pertimbangan ekonomi. Dalam kesimpulannya, Douglas Frison mencatat bahwa strategi utama RRC terhadap Taiwan masih berupa peningkatan di bidang ekonomi.

Penelitian kedua adalah paper berjudul From Offensive Realism to Defensive Realism: A Social Evolutionary Interpretation of China’s Security Strategy karya Tang Shiping.22 Shiping beranggapan bahwa terjadi perubahan pendekatan dalam kebijakan politik luar negeri China, dari Mao Zhedong – yang lebih mencerminkan offensive realism – ke Deng Xiaoping dan penerusnya – mencerminkan defensive realism.

Sebagian besar studi terdahulu mengenai berkaitan dengan hubungan China dan Amerika Serikat menggunakan pendekatan complex interdependence. Seperti yang dilakukan oleh Quansheng Zhao dan Guoli Liu dengan judul Managing the Challenges of Complex Interdependence: China and the United States in the Era of

Globalization.23 Artikel tersebut membahas perubahan hubungan strategis antara China – sebagai negara terbesar pendatang baru – dengan Amerika Serikat, peningkatan hubungan ekonomi serta tantangan baru yang akan dihadapi oleh China dan Amerika Serikat.

(8)

variabel utamanya adalah kapabilitas militer, bukannya pergeseran strategi dari penggunaan serangan militer ke ekonomi, pergantian kepemimpinan ataupun terjadinya complex interdependence dengan Amerika Serikat.

1.4.2. Teori Offense-Defense

Penelitian ini menggunakan pendekatan realisme dalam menjelaskan perilaku Republik Rakyat Cina. Realisme dapat dibagi menjadi dua klasifikasi berbeda: berdasar fenomena dan konsekuensi dari anarki. Klasifikasi pertama berkaitan dengan fenomena yang hendak dijelaskan. Klasifikasi pertama ini menghasilkan dua varian realisme: neo-realisme (realisme struktural) dan neo-classical realism. Neo-realisme berusaha menjelaskan international outcomes – yaitu fenomena yang merupakan hasil dari interaksi dua atau lebih aktor di dalam sistem internasional, seperti kemungkinan perang besar, kerjasama internasional, perlombaan senjata, crisis bargaining, dan pola-pola aliansi. Sebaliknya, realisme neo-klasik berusaha untuk menjelaskan pertanyaan mengapa negara-negara di waktu yang berbeda mengejar strategi khusus di dalam arena internasional. Dengan kata lain realisme neo-klasik menjelaskan fenomena seperti strategi besar negara individu, kebijakan ekonomi luar negeri, preferensi aliansi, dan krisis perilaku.24

Sedangkan klasifikasi ke dua dari realisme berkaitan dengan konsekuensi logis dari anarki. Klasifikasi ini membagi realisme menjadi dua kelompok: defensive realism dan offensive realism. Realisme ofensif berkeyakinan bahwa anarki – tidak adanya pemerintahan dunia – memberikan insentif yang besar untuk ekspansi. Seluruh negara berusaha memaksimalkan kekuatan relatif mereka atas negara lain,       

24

Mengenai pembagian klasifikasi realisme, baca Jeffrey W. Taliaferro, Security Seeking Under 

(9)

karena hanya negara kuat saja yang dapat bertahan dalam lingkungan anarki (power maximizer). Sedangkan realisme defensif berargumen bahwa sistem internasional memberikan insentif untuk ekspansi hanya dalam kondisi yang jelas. Dengan kata lain, aktor-aktor di dalam sistem internasional hanya mengejar keamanan masing-masing agar mampu bertahan (security maximizer).25 Dua klasifikasi tersebut menghasilkan empat matriks jenis-jenis realisme: neo-realisme ofensif, neo-realisme defensif, realisme neo-klasik ofensif, dan realisme neo-klasik defensif. Teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, offense-defense, termasuk dalam varian neo-realisme defensif.

Argumen utama teori offense-defense adalah bahwa konflik internasional dan perang lebih mungkin terjadi ketika operasi militer ofensif lebih menguntungkan dari operasi bertahan (defensif). Sedangkan kerjasama dan perdamaian lebih mungkin terjadi ketika bertahan lebih menguntungkan.26 Dalam Cooperation Under Security Dilemma, Robert Jervis mefokuskan studinya pada offense-defense yang berkaitan dengan dilema keamanan.27 Jervis merumuskan dua variabel penting: apakah bertahan atau menyerang yang lebih menguntungkan dan apakah senjata bertahan (defensive weapons) bisa dibedakan dari senjata ofensif.28

Variabel pertama, berkaitan dengan pertanyaan apakah menyerang atau bertahan yang lebih menguntungkan. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah suatu negara mau mengalokasikan satu dolar atau lebih untuk bertahan untuk menyeimbangkan dengan satu dolar negara lain       

25  Ibid. 

26 Keir A. Lieber, Grasping The Technological Peace:The Offense‐Defense Balance and International 

(10)

yang bisa digunakan untuk menyerang? Jika negara memiliki satu dolar untuk keamanan, apakah akan digunakan untuk menyerang atau bertahan? Dengan peralatan untuk menyerang yang telah tersedia, apakah lebih baik menyerang atau bertahan? Apakah ada insentif untuk menyerang pertama atau meredam serangan?29

Ketika menyerang menguntungkan, catat Jervis, itu berarti lebih mudah untuk menghancurkan pihak lain dan menguasai wilayahnya, daripada mempertahankan diri sendiri.30 Investasi untuk meningkatkan kemampuan persenjataan akan menghasilkan kekuatan militer yang dapat mengatasi kemampuan persenjataan pihak lain, dengan jumlah investasi yang sama. Perhitungan semacam ini akan membuat negara lebih memilih untuk memaksimalkan keamanan mereka dengan menerapkan strategi ofensif – karena lebih murah daripada menerapkan strategi bertahan.31 Sedangkan ketika bertahan menguntungkan, memiliki arti sederhana, lebih mudah untuk melindungi dan bertahan daripada maju, menghancurkan dan mengambil. Jika bertahan menguntungkan dan status quo memiliki kebutuhan keamanan subyektif yang masuk akal, maka perlombaan senjata bisa dihindari.32

Variabel kedua merupakan pembedaan postur antara penyerangan atau pertahanan. Ketika persenjataan suatu negara dapat dibedakan, apakah untuk bertahan atau menyerang, maka dilema keamanan bisa dihilangkan. Dengan pengertian lain, peningkatan keamanan suatu negara tidak akan mengurangi keamanan negara lain. Jervis memberikan contoh mengenai pembedaan persenjataan

(11)

tersebut menggunakan dua jenis senjata: ICBM (intercontinental ballistic missile)33 dan SLBM (submarine launched ballistic missile).34 Penggunaan ICBM akan mempersulit pembedaan apakah suatu negara memilih strategi menyerang atau bertahan, karena senjata penangkalnya juga ICBM. Hal itu berbeda dengan SLBM yang memiliki postur bertahan:

“The point is not that sea-based systems are less vulnerable

than land-based ones (this bears on the offense-defense ratio) but

that SLBM's are defensive, retaliatory weapons. First, they are

probably not accurate enough to destroy many military targets."

Second, and more important, SLBM's are not the main instrument

of attack against other SLBM's. A state might use SLBM's to attack

the other's submarines (although other weapons would probably

be more efficient), but without anti-submarine warfare (ASW)

capability the task cannot be performed. A status-quo state that

wanted to forego offensive capability could simply forego ASW

research and procurement.”35

Kedua variabel di atas menciptakan empat matriks dunia berikut: Gambar 1.1. Empat matriks dunia

(12)

Sumber: Robert Jervis, Cooperation Under Security Dilemma, World Politics, Vol. 30, No. 2. (Jan., 1978) hal 211

Selain dua variabel di atas, Jervis juga memasukkan dua faktor yang mempengaruhi apakah menyerang atau bertahan yang menguntungkan: geografi dan teknologi. Ketika negara dipisahkan oleh pembatas, dilema keamanan bisa dikurangi, karena negara bisa berfokus pada pertahanan tanpa bisa diserang pihak lain. Faktor geografi seperti laut, sungai besar dan pegunungan, memiliki fungsi yang sama dengan buffer zone. Sulitnya menyeberangi pembatas tersebut membuat pertahanan menjadi lebih kuat melawan negara besar. Faktor kedua adalah teknologi. Ketika persenjataan sangat rentan, maka mereka harus dipergunakan sebelum diserang. Jenis-jenis senjata yang dimaksud seperti misil yang tidak terproteksi dan macam-macam pengebom. Mekipun begitu ada persenjataan lain yang pada dasarnya tidak begitu rentan.36

1.4.3. Peringkat Analisa

       36 

(13)

Penelitian ini akan menggunakan level analisa induksionis,37 di mana unit eksplanasi (variabel independen) yaitu kebijakan Amerika Serikat atas Taiwan (level sistemik) lebih tinggi dari unit analisanya (variabel dependen) yaitu respon Cina atas AS (level domestik).

1.4.4. Model Analisa

Strategi DefensifRRC terhadap AS Offense/defense ? Berkaitan dengan Taiwan

Offensif tidak Menguntungkan

1.5. Hipotesis

Pola kebijakan Republik Rakyat Cina atas Amerika Serikat, berkaitan dengan Taiwan, bersifat defensive karena pertimbangan strategi offensive yang tidak menguntungkan Cina.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Konseptualisasi Security Dilemma

Robert Jervis mendefinisikan dilema keamanan sebagai peningkatan keamanan satu negara, mengurangi keamanan negara lain. Seperti telah dijelaskan di atas, ada dua variabel yang mempengaruhi dilema keamanan: apakah senjata dan

      

(14)

kebijakan bertahan bisa dibedakan dari menyerang? Dan apakah bertahan atau menyerang yang menguntungkan? Jervis menambahkan,”when defensive weapons differ from offensive ones, it is possible for a state to make itself more secure without

making others less secure. And when the defense has the advantage over the offense,

a large increase in one state's security only slightly decreases the security of the

others, and status-quo powers can all enjoy a high level of security and largely

escape from the state of nature.”38

Gambar 1.2. Operasionalisasi Konsep Dilema Keamanan

Teori Offense-Defense Konsep Security Dilemma

Variabel: Offense/defense balance

(defensif menguntungkan / defensive has advantages)

- Indikator aktivitas militer AS di kawasan Asia Pasifik

- Indikator doktrin pertahanan Taiwan Relations Act

- Indikator kapabilitas militer relatif RRC

terhadap kapabilitas militer AS

I. 6. 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini berbentuk penelitian ekplanatif, di mana peneliti berusaha menjelaskan hubungan kausalitas yang terjadi antar variabel. Lebih khusus peneliti       

38 Robert Jervis, 

(15)

ingin menggambarkan pola kebijakan AS atas Taiwan. Kemudian penulis juga mendeskripsikan respon RRC atas AS berkaitan dengan Taiwan. Setelah itu peneliti berusaha menghubungkan kedua variabel tersebut, dan menjelaskannya secara eksplanatif.

I. 6. 2. Ruang Lingkup Penelitian

Peneliti akan membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada aspek keamanan RRC yang berkaitan dengan AS – dengan Taiwan sebagai driving force-nya. Sedangkan untuk lingkup waktu, penulis membatasi bahasan hanya pada tahun 2000-2010 saja.

1.7. Sistematika Penulisan

Bab. 1 merupakan bab Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Untuk kerangka pemikiran penulis membagi lagi ke dalam peringkat analisis, penelitian terdahulu, teori Offense-Defense.

Bab. 2 akan membahas kekuatan relatif AS dibandingkan dengan RRC. Selain itu penelitian ini akan memaparkan bagaimana kebijakan AS terhadap Taiwan melalui kerangka Taiwan Relations Act serta aktivitas AS di kawasan Asia Pasifik.

Bab. 3 peneliti akan menggambarkan bagaimana respon Cina terhadap AS berkaitan dengan isu Taiwan. Peneliti memaparkan kebijakan defensif yang dilakukan oleh Cina.

(16)

Bab 5 merupakan Bab Penutup. Bab ini berisi kesimpulan peneliti setelah melakukan analisa hubungan antara bab 2 dengan bab 3 pada bab 4. Kesimpulan tersebut sekaligus menguji kebenaran hipotesis yang telah peneliti ajukan.

(17)

SKRIPSI

Strategi Defensif RRC dalam Merespon Kebijakan

AS atas Taiwan

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana ilmu politik (S.IP) strata-1

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Oleh :

DION MAULANA PRASETYA NIM : 07260093

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(18)
(19)
(20)
(21)

ABSTRAKSI

Dion Maulana Prasetya, 2012, 07260093, Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Strategi Defensif RRC dalam Merespon Kebijakan AS atas Taiwan, Pembimbing I : Victory Pradhitama, S. Sos., M. Si., Pembimbing II : Tonny Dian Effendi, S. Sos., M. Si.

Penjualan senjata oleh Amerika Serikat kepada Taiwan merupakan salah satu driving force untuk memahami hubungan Cina-AS. Di bawah kerangka perjanjian Taiwan Relations Act, Amerika Serikat berhak untuk menyediakan persenjataan untuk tujuan pertahanan bagi Taiwan. Hal ini dilakukan AS untuk melindungi Taiwan dari kemungkinan tindakan unilateral Cina. Kebijakan AS ini sangat mempengaruhi Cina, yang menganggap bahwa Taiwan merupakan salah satu propinsi yang memberontak dari Tanah Air. Bagi Cina, status Taiwan telah final dan tidak dapat dirubah, yaitu merupakan bagian dari Republik Rakyat Cina, dan tidak akan pernah memperoleh kemerdekaan secara de jure. Sehingga kebijakan AS menjual persenjataan dalam jumlah besar, seperti yang terjadi pada tahun 2010, dipandang oleh Cina sebagai dukungan untuk kemerdekaan Taiwan.

Sebagai salah satu negara yang sedang melakukan modernisasi militer besar-besaran, respon Cina terhadap AS berupa kecaman dan sanksi, serta ancaman terhadap Taiwan, menjadi satu pertanyaan penting. Dengan menggunakan teori offense-defense yang digagas oleh Robert Jervis, penulis hendak menjawab dan menjelaskan pertanyaan tersebut.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kapabilitas militer Amerika Serikat merupakan variabel utama mengapa strategi Cina dalam merespon penjualan senjata ke Taiwan bersifat defensif. Saat ini pilihan yang menguntungkan bagi Cina adalah bertahan, bukannya menyerang. Pilihan untuk memaksa penyatuan dengan Taiwan hanya akan merugikan Cina, karena akan memancing reaksi AS, seperti yang terjadi pada tahun 1995-1996. Kapabilitas militer Cina yang berada di bawah AS, menjadi pertimbangan utama strategi defensif.

(22)

ABSTRACT

Dion Maulana Prasetya, 2012, 07260093, University of Muhammadiyah Malang, Faculty of Social and Political Science, PRC Defensive Strategy in Response to US Policy Toward Taiwan, Advisor I : Victory Pradhitama, S. Sos., M. Si., Advisor II : Tonny Dian Effendi, S. Sos., M. Si.

US arms sale to Taiwan is a driving force to understand the relationship between United State and People’s Republic of China (PRC). Under the Taiwan Relations Act, the US could provide arms aimed for Taiwan defensive purposes. This is aiming to protect Taiwan from any possibility of unilateral acts by China. This US policy has a strong impact to China, who consider Taiwan as a renegade province of the Mainland. For China, Taiwan’s status is already final and cannot be changed, that is a part of PRC and would never get his de jure independence. A big number of US Arms Sale to Taiwan, like occurred in the early 2010, therefore, viewed by China as a support for Taiwan independence.

As a country who make a progressive programs of military modernization, China’s responses with strong protest and sanction for the US, and a military threat for Taiwan, become an important question. By using Robert Jervis’ offense-defense theory, I attempt to answer and explain that question.

This research shows us that the US military capability is the main variable why the strategy of China in response to arms sale to Taiwan policy is defensive. According to offense-defense, nowadays the best choice for China is defense – defense has advantages – not the offensive one. By using of force to reunify Taiwan, means has no advantage for China, since that could provoke the US to intervene, just like in 1995-1996 crisis. The US military capability which is much more stronger than China’s, is the main factor of defensive strategy.

(23)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur yang tidak terhingga kepada Tuhan Yang Haqq, atas tetesan ilmu yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Tulisan ini merupakan usaha untuk memperkaya bahasan mengenai Taiwan dalam hubungannya dengan persaingan AS-China. Secara implisit tulisan seperti ini memang telah banyak dibahas oleh para realis lainnya. Namun sepanjang pengamatan penulis, tidak ada yang menggunakan kerangka offense-defense untuk menganalisa fenomena tersebut. Meskipun tergolong teori ‘lama’, namun offense-defense cukup bisa menjelaskan perilaku China yang relatif lunak dalam merespon penjualan senjata AS kepada Taiwan.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kontribusi ide dan kritik yang bersifat konstruktif, sehingga tulisan ini dapat menjadi salah satu literatur yang bermanfaat bagi para pembaca untuk meningkatkan cakrawala pengetahuan dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional.

Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khairat

.

Malang, 13 Maret 2012 Penulis,

Dion Maulana Prasetya

(24)

Skripsi ini saya persembahkan sepenuhnya bagi dua pasang orang tua

Agus Prasetyo dan Siti Aningsih

serta

Heri Siswanto dan Esti Hamidah

juga seorang sahabat

(25)

DAFTAR ISI

Lembar Cover/Sampul Dalam. ………... i

Lembar Persetujuan Skripsi. ………... ii

Lembar Pengesahan. ………... iii

Lembar Orisinalitas. ……… iv

Berita Acara Bimbingan Skripsi. ……… v

Abstraksi. ……… vi

Kata Pengantar. ……….. viii

Lembar Persembahan. ……… ix

Daftar Isi. ……… x

I.4.1 Penelitian Terdahulu…..……… 6

I.4.2 Teori Offense-defense ..………. 7

I.4.3 Peringkat Analisa……….. 12

I.4.4 Model Analisa………... 13

I.5 Hipotesis.……… 13

I.6 Metode Penelitian. ………. 13

I.6.1 Konseptualisasi Security Dilemma………. 13

I.6.2 Tipe Penelitian …….…...……… 14

I.6.3 Ruang Lingkup Penelitian ...………... 15

I.7 Sistematika Penulisan ...…..……… 15

BAB II Pertimbangan Menyerang yang Tidak Menguntungkan Republik Rakyat Cina (RRC)……….. 16

II.1 Arti Taiwan bagi RRC……….……...……. 16

II.2 Persekutuan AS-Taiwan Melalui TRA……….……… 18

II.2.1 Tiga Joint Communique dan Six Assurances……… 18

II.3.2. Taiwan Relations Act………. 21

II.3 Kapabilitas Militer Relatif AS terhadap RRC…………... 25

II.2 Aktivitas Militer AS di Kawasan Asia Pasifik………. 29

BAB III Strategi Defensif RRC terhadap AS….……… 32

III.1 Penjualan Senjata AS kepada Taiwan………. 37

III.2. Respon Cina: Verbal, Sanksi dan Ancaman. ……….. 39

BAB IV Menyerang atau Bertahan: Bertahan Lebih Menguntungkan……….…..43

(26)

di Selat Taiwan………. 46

IV.2.1 Empat Skenario Damai……….. 47

IV. 3 Analisa……….. 52

IV.3.1 Ofensif: Menguntungkan dan Tidak Menguntungkan……… 52

IV.3.2. Defensif: Menguntungkan dan Tidak Menguntungkan………. 55

BAB V Penutup.……… 57

V.1 Kesimpulan. ……… 57

(27)

DAFTAR SKEMA

(28)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Empat matriks dunia………..11 Gambar 2.1. Distribusi belanja militer global….……… 28

(29)

DAFTAR TABEL

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Acharya, Amitav and Barry Buzan (Ed), “Non-Western International Relations Theory: Perspectives On and Beyond Asia (London: Routledge, 2010)

Bergsten, C. Fred (et.all), China’s Rise: Challeges and Opportunities (Washington D.C: Peter G. Peterson Institute for International Economics and the Center for Strategic and International Studies, 2008).

Burchill, Scott dan Andrew Linklater (terj. M. Sobirin), Teori-Teori Hubungan Internasional (Bandung: Nusa Media, 2009).

Chen, Shuxun and Charles Wolf, Jr. (Ed), China, The United States, and The Global Economy (California: RAND, 2001).

Deng, Yong, China’s Struggle for Status: The Realignment of International Relations (New York: Cambridge University Press, 2008).

Goh, Evelyn and Sheldon W. Simon (Ed), China, The United States, and Southeast Asia: Contending Perspectives on Politics, Security, and Economics (New York: Routledge, 2008).

Huntington, P. (et. all). Amerika dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005). Kegley, Charles W. and Eugene R. Wittkopf, The Global Agenda: Issues and Perspectives (New York: Random House, 1984) hal 245-271.

Keohane, Robert O. After Hegemony (Princeton: Princeton University Press, 1984).

Mas’oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta:

LP3ES, 1994).

Paul, T.V., James J. Wirtz, and Michel Fortmann (Ed), Balance of power : theory and practice in the 21st century (California: Stanford University Press, 2004).

Vasquez, John A., Classics of International Relations (New Jersey: Prentice Hall, 1996).

(31)

Jurnal, Artikel, Dokumen Resmi dan Laporan Penelitian:

Chanock, Alexander G, "Explaining the Continuities and Changes in United States Policy in Relation to Taiwan for the Past Three Presidents" (2010). CMC Senior Theses. Paper 38.

Chang, James C. P., U.S Policy Toward Taiwan, http://www.wcfia.harvard.edu/fellows/papers/2000-01/chang.pdf, diakses tanggal

07/12/2011.

Cliff, Roger, David A. Shlapak, U.S.–China Relations After Resolution of Taiwan’s Status, RAND, 2007

Delgado, Colonel Roberto L., What Should be The United States Policy Towards Ballistic Missile Defense for Northeast Asia?, Laporan Penelitian USAWC Strategy Research Project, diakses melalui http://www.dtic.mil/cgi- bin/GetTRDoc?AD=ADA431775, tanggal 12/02/2012.

Dumbaugh, Kerry, Taiwan: Texts of the Taiwan Relations Act, the U.S. - China Communiques, and the "Six Assurances", Congressional Research Service, 21 Mei 1998.

Dumbaugh, Kerry, China-U.S. Relations: Current Issues and Implications for U.S. Policy, Congressional Research Service, 2 April 2009.

Frison, Lieutenant Colonel Douglas. China’s Less Aggressive Approach To Taiwan Reunification: A Change In Strategy Or Tactics, Laporan Penelitian U.S. Army War College Carlisle Barracks, Pennsylvania, 2004.

Grimmett, Richard F., U.S. Arms Sales: Agreements with and Deliveries to Major Clients, 2001-2008, Congressional Research Service, December 2, 2009

Goldstein, Steven M. and Randall Schriver , An Uncertain Relationship: The United

States, Taiwan and the Taiwan Relations Act, diakses melalui

http://www3.nccu.edu.tw/~lorenzo/Goldstein%20and%20Schriver%20US%2

0Taiwan.pdf, tanggal 15/02/2012.

Ito, Kiyoshi, History of Taiwan, diakses melalui institut.org/bibliothek/geschichte%20taiwans.pdf, tanggal 15/02/2012.

Jisi, Wang, China’s Changing Role in Asia, Tokyo: Japan Center for International

Exchange, 2004. Diakses melalui http://www.jcie.org/researchpdfs/RiseofChina/RiseChina_Wang.pdf, tanggal

(32)

Kan, Shirley A., Taiwan: Major U.S. Arms Sales Since 1990, Congressional Research Service, 31 Agustus 2010.

Lai, David. Arms Sales To Taiwan: Enjoy The Business While It Lasts, Of Interest Strategic Studies Institute, May 3, 2010.

Lieber, Keir A. Grasping The Technological Peace:The Offense-Defense Balance and International Security, International Security, Vol. 25, No. 1 (Summer 2000).

Lijun, YANG & LIM Chee Kia, Three Waves of Nationalismin Contemporary China: Sources, Themes, Presentations and Consequences, EAI Working Paper No. 155, 27 Juli 2010.

Lynn-Jones, Sean M. Offense-Defense Theory and Its Critics, Security Studies, No. 4 (summer 1995).

O'Rourke, Ronald, China Naval Modernization: Implications for U.S. Navy Capabilities—Background and Issues for Congress, Congressional Research Service: 23 December 2009.

Posen, Barry R., U.S. Military Power: Strong Enough to Deter all Challenges?, Massachusetts Institute of Technology, diakses melalui

http://web.mit.edu/cis/pdf/Audit_5_05_Posen.pdf, tanggal 1/12/2011.

Quansheng, Zhao, and Guoli Liu. Managing the Challenges of Complex Interdependence: China and the United States in the Era of Globalization, Asian Politics & Policy – volume 2, number 1.

Quansheng, Zhao, Analysis on the U.S. Response to China’s Rising….

Ross, Robert S., The 1995-1996 Taiwan Strait Confrontation: Coercion, Credibility, and Use of Force, International Security 25:2 (Fall 2000) hal 87-123.

Ross, Robert, Navigating the Taiwan Strait: Deterrence, Escalation Dominance, and U.S.-China Relations, International Security, Vol. 27, No. 2 (Fall 2002), hal. 48– 85.

Shiping, Tang. From Offensive Realism to Defensive Realism: A Social Evolutionary Interpretation of China’s Security Strategy, Jurnal The Rajatman School of International Studies – no. 3.

Taliaferro, Jeffrey W. Security Seeking Under Anarchy, International Security, Vol. 25, No. 3 (Winter 2000/01).

(33)

Pedoman Strategis USPACOM :

http://www.pacom.mil/web/pacom_resources/pdf/PACOM%20Strategy%20S

ep%202010.pdf, diakses tanggal 29/11/2011.

Internet:

ABC News, “President Bush Discusses His First 100 Days in Office,” April 25, 2001

Bradsher, Keith, U.S. Deal With Taiwan Has China Retaliating, dalam

http://www.nytimes.com/2010/01/31/world/asia/31china.html, diakses tanggal

10/02/2012

Cooper, Helene. U.S. Approval of Taiwan Arms Sales Angers China, http://www.nytimes.com/2010/01/30/world/asia/30arms.html, diakses tanggal

10/02/2012.

http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/zywj/t36256.htm.

http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/zywj/t36258.htm.

http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/zywj/t36255.htm.

Fakta-fakta Mengenai USPACOM:

http://www.pacom.mil/web/Site_Pages/USPACOM/Facts.shtml, diakses tanggal

29/11/2011.

http://www.globalfirepower.com/

http://www.globalfirepower.com/country-military-strength-

detail.asp?country_id=United-States-of-America.

http://www.globalfirepower.com/country-military-strength- detail.asp?country_id=China.

Jacobs, Andrew, Arms Sale Draws Angry, but Familiar, Reaction,

latest-us-arms-sales-to-taiwan.html?_r=1, diakses tanggal 10/02/2012.

Jennings, Ralph. China adding missiles near Taiwan: navy official, http://www.reuters.com/article/2010/03/27/us-taiwan-china

idUSTRE62Q0AS20100327, diakses tanggal 10/02/2012.

NN, China hits back at US over Taiwan weapons sale,

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8488765.stm, diakses tanggal 22 Oktober 2010.

(34)

NN, Arms Sale Causes Severe Damage to Overall China-U.S. Cooperation, dilansir oleh http://news.xinhuanet.com/english2010/china/2010- 01/30/c_13157364.htm, diakses tanggal 10/02/2012.

NN, China Strongly Protests US Arms Sales to Taiwan, dikutip dari http://www.china.org.cn/english/2001/Apr/11864.htm, diakses tanggal

09/02/2012.

Sejarah USPACOM : http://www.pacom.mil/web/site_pages/uspacom/history.shtml, diakses tanggal 29/11/2011.

Theory Talks, http://www.theory-talks.org/2008/07/theory-talk-12.html. Diakses tanggal 05/12/2011.

http://www.taiwandocuments.org/assurances.htm.

Gambar

Gambar 1.2. Operasionalisasi Konsep Dilema Keamanan

Referensi

Dokumen terkait

konglomerat merupakan batuan yang disusun oleh fragmen yang menyudut, batuan yang berbutir kasar, terdiri atas fragmen dengan ukuran lebih besar dari 2mm terbentuk dari rombakan batuan

Dengan demikian maka penilaian yang dilakukan beberapa rasio keuangan dan biaya CSR diantara industri yang sejenis dimaksudkan apakah nilai suatu perusahaan lebih

Penelitian ini menghasilkan simpulan umum bahwa penggunaan cooperative learning tipe (NHT pada mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran lebih efektif dibandingkan

Muhammad Agung Nugroho. Muhammadiyah University of Surakarta. It is conducted to know how the teaching reading implemented by UMS students and the problem faced by

Hasil uji-t terhadap koefisien jalur pada hubungan ini sebesar2,684 dengan nilai analisis jalur 0,231adalah signifikan (sig,t = 0,000), sehingga individu

Tikus sakit yang dipapar EPEC dan juga diberikan perlakuan probiotik, yaitu tikus D dan E mempunyai tingkat konsumsi ran- sum yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan

Masalah utama yang dihadapi peternak sentra menurut persepsi suami dan istri adalah sama, yaitu ketidaktahuan formulasi pakan, kurangnya pengeta- huan tentang

Dengan penelitian ini diharapkan penggunaan anyaman bambu dan grid bambu dapat menjadi alternatif sebagai bahan pengganti 6 dan untuk meningkatkan daya dukung tanah