Skripsi
Disusun Oleh: ABAS SAMBAS NIM. 106032101067
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “KONSEPSI WAHYU DALAM AJARAN SAPTA
DARMA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus pada 14 Maret 2011 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta, 14 Maret 2011
Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
Drs. M. Nuh Hasan, MA NIP. 19610312 198903 1 003
Sekretaris
Maulana, MA NIP. 19650207 199903 001
Anggota
Penguji I
Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Al-Fakih NIP. 19621006 1990031 1 002
Penguji II
Drs. M. Nuh Hasan, MA NIP. 19610312 198903 1 003
Di bawah bimbingan
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
NIM: 106032101067 Abas Sambas
Pembimbing,
NIP: 19630908 199001 1001 Dr. Hamid Nasuhi, MA
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT penulis panjatkan
sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni
Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Penulis sadari bahwa tidak ada manusia di bumi ini dapat melakukan sesuatu
tanpa bantuan manusia lainnya termasuk penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam- dalamnya penulis
sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada :
1. Bpk Dr Hamid Nasuhi, M.A . Sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.
2. Bpk. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat.
3. Bpk. Drs. M. Nuh Hasan, MA. Dan Bpk. Drs. Maulana, MA. Selaku Ketua
Jurusan dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama, serta seluruh civitas
akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Kepada seluruh dosen Ushuluddin dan Filsafat khususnya dosen-dosen jurusan
ii
5. Kedua orang tua ananda, Zainal Arifin dan ibunda Sharifah yang penulis
cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih
sayangnya secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis
hingga sekarang ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan
kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan. Yang telah
memberikan motivasi yang begitu kuat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
6. Kak Husen bersama istri dan si kecil, Raihan dan Raifan, serta adik-adik ku
tercinta yang tak pernah henti-hentinya memberikan semangat dan motivasi
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
7. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan bahan
pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
8. Bpk Saekoen Partowijono sebagai Tuntuna Agung kerokhanian Sapta Darma,
beserta Staf Tuntuna Agung, yang telah memberikan banyak sumber utama
skripsi ini serta meluangkan waktunya kepada penulis untuk dapat berdiskusi
secara langsung, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Keluarga besar kerohanian Sapta Darma, yang telah membantu penulis untuk
berbagi pendapat dan tenaganya berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
10.Teman-teman mahasiswa Juruasan PA angkatan 2006 (Adi sofyan, Fajri
Akromani, Subhi, Iskandar Hidayat, Muhammad Syahid Juli Ashari, Dwiki
Aribowo, Samsul Anwar, yudha Bakti, Iqbal Kaubudin, Shumi Sri wahyuni,
Ay sumyati, Enung Sholihah, Thari Maya Ratu,) kalian semua adalah
teman-teman terbaik ku, yang telah memberikan motivasi dalam penyelisan skripsi
ini.
iii
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian,
dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya
skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis
khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta, Februari 2009 M Rabi’ul Awal 1432 H
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II SEKILAS TENTANG ALIRAN SAPTA DARMA A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Sapta Darma ... 10
B. Masa Turunnya Wahyu ... 12
C. Berdirinya Aliarn Sapta Darma ... 22
BAB III POKOK-POKOK AJARAN SAPTA DARMA A. Ajarn Tentang Tuhan ... 27
B. Ajaran Tentang Simbol-Simbol ... 29
C. Ajaran Tentang Manusia ... 33
BAB IV KONSEPSI WAHYU MENURUT AJARAN SAPTA DARMA A. Pengertian Wahyu ... 38
B. Sebab-Sebab Turunnya Wahyu ... 39
C. Orang Yang Berhak Menerima Wahyu ... 40
v
1. Wewarah Tujuh ... 41
2. Sujud ... 44
3. Racut ... 50
4. Ening atau Samadi ... 51
E. Nama dan Isi Kandungan Wahyu ... 52
F. Manfaatnya Bagi Masyarakat ... 52
G.Ciri-Ciri Orang Yang Mendapatkan Wahyu ... 53
BAB V KESIMPULAN ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II SEKILAS TENTANG ALIRAN SAPTA DARMA A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Sapta Darma ... 10
B. Masa Turunnya Wahyu ... 12
C. Berdirinya Aliarn Sapta Darma ... 22
BAB III POKOK-POKOK AJARAN SAPTA DARMA A. Ajarn Tentang Tuhan ... 26
B. Ajaran Tentang Simbol-Simbol ... 28
C. Ajaran Tentang Manusia ... 32
BAB IV KONSEPSI WAHYU MENURUT AJARAN SAPTA DARMA A. Pengertian Wahyu ... 36
B. Sebab-Sebab Turunnya Wahyu ... 37
C. Orang Yang Berhak Menerima Wahyu ... 38
D.Jalannya Untuk Mendapatkan Wahyu ... 39
1. Wewarah Tujuh ... 39
3. Racut ... 48
4. Ening atau Samadi ... 49
E. Nama dan Isi Kandungan Wahyu ... 50
F. Manfaat Bagi Masyarakat ... 51
G.Ciri Orang Yang Mendapatkan Wahyu ... 51
BAB V KESIMPULAN ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
Informan: Pada waktu Bapak Hardjosopoero tiba-tiba batinnya gelisah sekali,
walaupun dalam Batin beliau tidak ada beban hidup sama sekali, untuk
memghilangkan kegelisannya itu, Hardosopoero menghadiri acara hajatan temennya,
tapi kegelisahan batinnya itu tidak kunjung reda malah bertambah Gelisah, akhirnya
Bapak Hardosopoero pamit buat pulang, setibanya di rumah Hardjosopoero
mengambil tikir bermaksud buat tiduran, tapi tiba-tiba hardjosopoero mendapat
getaran yang begitu kuat, Hardjo sopoero berusaha melepaskan getaran itu tapi dia
tidak mampu untuk melepaskan getaran tersebut. Akhirnya Hardjosopoero pasrah,
dan pada saat itu juga Hardjosopoero Sujud untuk menghadap Allah Hyang Maha
Kuas, ini lah yang dinamakan Wahyu sujud yang pertama diterima oleh
Hardjosopoero.
(P): Apakah turunnya Wahyu Wewarah tujuh ini bertahap atau sekaligus?
(I): Turunnya Wahyu Wewarah tujuh ini secara bertahap, yaitu pada 27 Desember
1952 sampi 27 Desember 1955, yaitu selama 3 Tahun turunnya Wahyu Wewarah
kerohanian Sapta Darma.
(P): apakah Wahyu Wewarah ini bisa disamakan dengan Wahyu Quran Atau
Al-kitab?
(I): bisa, karni Wahyu ini menjadi pedoman atau tuntunan bagi para penganutnya.
(P): Apakah para penganut Ajaran Sapta Darma Bisa mendapatkan Wahyu?
(I): Bisa asalkan para penganut ajaran Sapta Darma melaksanakan Sujud dengan
(P): apakah ada sebab-sebabnya turunnya Wahyu tersebut?
(I): ada, karna pada waktu itu batin Hardjosopoero merasakan kegelisahan yang
sangat kuat, dan dikarnakan Hardosopoero melihat masyarakt pada waktu itu
sudah begitu rusak moral masyarakt yang ada dilingkungannya.
(P): kenapa para penganut ajaran Sapta Darma kalu mau mendapatkan wahyu harus
melaksanakan Wewarah tujuh?
(I): karna Wewarah memagari diri kita di dalam tingkahlaku kita harus selalu di
dalam kolidor wewarah.
(P): apa manfaat turunnya Wahyu Wewarah bagi orang yang menerimanya?
(I): Akan tercapai ketena ketenangan, ketentraman, kesehatan, akan selalu memberi
kebahagian kepada orang banyak, dan dalam dirinya akan tercermin sifat-sifat
yang mulia.
(P): Siapakah yang berhak menerima Wahyu Wewarah tersebut?
(I): yang berhak menerima Wahyu Wewarah itu ialah orang-orang yang menjadi
pilhan Allah Nyang Maha Kuasa.
(P): apa yang dirasakan oleh orang yang sudah menerima Wahyu?
(I): orang tersebut akan merasakan ketenangan batinnya, karna sudah mendapat
petunjuk dari Allah hyang Maha Kuasa.
1
A. Latar Belakang Masalah
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual
yang merupakan Warisan Bangsa Indonesia, sebagai kebudayaan Rohaniah,
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah lama dihayati oleh nenek
moyang bangsa Indonesia. Religi yang menjadi ciri utama dari kebudayaan
spiritual itu telah berakar, jauh sebelum Agama-agama yang ada dan diakui di
Indonesia.
Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah keyakinan dan
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Pengakuan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah menjadi dasar bagi prilaku para penghayat dalam
mendekatkan diri kepadaNya dan dalam kehidupan sehari-hari.
Aliran kebatinan atau kepercayaan masyarakat, keberadaannya sudah
diakui semenjak lama ada di Indonesia. Dicantumkan dalam GBHN tahun 1978,
yanag diwadahi dalam sayap kata “Kepercayaan tehadap Tuhan yang Maha Esa”
kita yakin bahwa aliran kepercayaan dan kebatinan bukan sebuah Agama dan
mungkin tidak akan menjadi Agama baru, tetapi dapat menjadi daerah pelarian
dari Agama yang dirasakan lebih aman.1
Kebatinan merupakan hasil pemikiran dari angan-angan manusia yang
menimbulkan suatu Aliran kepercayaan bagi penganutnya dengan melakukan
ritual-ritual tertentu, mereka berusaha untuk mencapai derajat tertinggi, di mana
1
2
ketenangan batin, dan kesempurnaan hidup akan tercapai. Maka mereka berusaha
untuk mencapai derajat yang lebih tinggi, bagi mereka yang melakukan
ritual-ritual khusus untuk mencari Tuhan, dan sampai mendapatkan petunjuk dari
Tuhan, yang mereka sebut dengan Wahyu
Wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Yang khusus
diberikan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui oleh orang lain2
Skripsi ini akan mencoba memaparkan bagaimana Wahyu menurut aliran
kebatinan Sapta Darma, karena banyak aliran-aliran kebatinan yang menganggap
dan menyatakan bahwa aliran kebatinana datang berdasarkan pemberitaan dari
Tuhan, atau yang disebut dengan Wahyu. Dalam hal ini penulis akan membahas
tentang Wahyu menurut aliran Sapta Darma, namun terlebih dahulu penulis akan
menjelaskan mengenai penegrtian dari kebatinan itu sendiri.
. Wahyu
dapat dikatakan juga sebagai pemberitaan dari Allah kepada Nabi atau Rosul-nya
untuk disampaikana kepada umat Manusia, yaitu berupa Hidayah maupaun
pengetahuan-pengetahuan, Hukum-hukumnya, berita-berita, yang disampaikan
secara rahasia, dan tidak terjadi pada manusaia biasa.
Hasil kongres kebatinan Indonesia (BKKI) mendefinisikan kebatinan
adalah; sumber azaz sila Ketuhanan yang maha Esa untuk mencapai budi yang
luhur, guna kesempurnaan hidup3
2
Manna’ Kholil al-Qottan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (Bogor: P.T. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000 ), cet. ke-5, h. 36.
, atau bisa dikatakan juga hasil pikiran dan
3
angan-angan manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayaan dalam dada
penganutnya
Jadi kebatinan hasil pikiran dan angan-angan manusia dengan
membawakan ritus-ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gaib,
bahkan untuk mencapai persekutuan dengan suatu yang dianggap Tuhan secara
perenungan batin, sehingga dapat mencapi budi luhur untuk kesempurnaan hidup
kini dan akan datang sesuai dengan konsep sendiri.
Dalam kebatinan inti setiap manusia sebenarnya adalah penciptaan Tuhan,
atau bahkan Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu apabila manusia berusaha dengan
sungguh-sungguh maka manusia biasa mengadakan kontak dengan Tuhan. Ini
berarti bahwa setiap manusia biasa menerima Wahyu, dan kalu orang yang
menerima Wahyu disebut Nabi atau Rasul, maka hal itu berarti setiap orang
mempunyai kemungkinan untuk menjadi Nabi atau Rasul dan setiap manusia
biasa mendirikan Agama4
Sapta Darma adalah salah satu aliran kepercayaan terbesar yang ada di
Indonesia dan aliran termuda, yang didirikan pada tanggal 27 Desember 1955 di
Pare, oleh Hardjosaputro yang mendapat gelar Resi Brahmono yang ditetapkan
menjadi Sri Gotama, Pada tanggal 27 Agustus 1956, gelar itu di perluas oleh ilahi
. Wahyu dalam kebatinan itu sendiri pada dasarnya
adalah untuk menunjukan jalan bagaimana manusia bisa bersatu dengan Tuhan
atau Manunggaling Kawula Gusti. Karena melaui bersatu dengan Tuhan manusia
bisa memperoleh kebahagian yang sejati.
4
4
dengan sebutan Panutan Agung, sehingga sebutan lengkapnya Panutan Agung
Sri Brahmomo5
. Nama Sapta Darma diambil dari bahasa Jawa; Sapta artinya tujuh dan
Darma artinya kewajiban suci. Jadi Sapta Darma artinya tujuh kewajiban suci,
yang didirikan oleh Hardjosapuro dari Pare Kediri
6
. Tujuh Kewajiban suci bagi
setiap kehidupan Warga secara individu yang harus dilaksanakan, dan realitasnya
tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya.7
Ajaran Sapta Darma diwahyukan kepada pendirinya pada, tanggal 27
Desember 1952, pukul satu malam. Pada waktu itu dengan sekoyang-koyang
Hardjosapuro digerakkan seluruh tubuhnya dengan gerak yang sekarang dijadikan
pedoman bagi persujudan Sapta Darma, sambil mengucapkan segala kalimat,
yang sekarang juga dipergunakan pada upacara persujudan itu. Gerak sujud yang
datangnya mendadak itu berlangsung hingga pukul lima pagi. Kejadian itu terjadi
tiap kali Hardjosapuro mengunjungi teman-temannya, sehingga akhirnya ada
enam orang yang mengalami Mu’jizat yang sama8
Pada tanggal 13 Februari 1953, ketika keenam orang itu sedang berkumpul
di rumah Hardjosapuro atas perintah suatu Wahyu, secara mendadak hardjosapuro
melakukan apa yang kemudian disebut Racut. Yaitu memgalami mati dalam hidup
.
5
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), cet ke-9, h. 23.
6
Hadiwijono, Kegatinan dan Injil, h. 22. 7
Soeryono Naen, Gema Sesanti, Media komunikasi Antar Warga Kerohanian Sapta Darma , 1(Juni, 2010), h. 18.
8
ia meninggalkan badan wadagnya (jasmaninya) ke atas masuk kedalam masjid,
lalu ia melakukan sujud dipengimaman.
Menurut Sri Pawenang, istilah yang dipergunakan Sapta Darma adalah asli
karena didapatkan dari wahyu.9
Wahyu dalam penganut Sapta Darma disebut juga, kitab suci Wewarah
yang disusun oleh pendirinya, kitab suci ini sebagai pedoman dan pegangan untuk
tuntunan penganut Sapta Darma, Kitab suci ini diwahyukan oleh Allah yang
mempunyai sifat Pancasila Allah
Tujuan ajaran sapta Darma adalah
“mangayu-ngayu bagya bawana” yang artinya hendak berusaha agar hidup manusia bahagia
didunia dan akherat.
10
Dari uraian di atas, pembahasan akan dititik beratkan pada aliran-aliran
yang menyatakan bahwa alirannya itu didirikan pemberitahuan dari Tuhan atau
Wahyu. Yang secara tegas menyatakan bahwa alirannya berdasarkan Wahyu
adalah aliran Sapta Darma. Aliran ini menarik perhatian penulis untuk dibahas
dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis mengambil judul “Konsepsi Wahyu
dalam Ajaran Sapta Darma”
. Wahyu Sapta Darma dikumpulkan juga
dalam buku kecil yang disebut Wewarah agama Sapta Darma.
9
Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 23. 10
6
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Berdasarkan judul di “KONSEPSI WAHYU DALAM AJARAN
SAPTA DARMA”, maka dari itu penulis membatasi masalahnya hanya
fokus pada konsepsi Wahyu Dalam Ajaran Sapta Darma. Oleh karena itu,
agar pembahasan kita bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan
tidak melebar dalam wilayah yang lainnya, penulis berusaha mengarahkan
pembahasannya pada kajian tentang konspsi Wahyu menurut ajaran Sapta
Darma, dan jalan atau cara mendapatkan Wahyu.
Untuk menggali lebih dalam tentang konsepsi Wahyu menurut
ajaran Sapta Darma, penulis merumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
yang ada kaitannya dengan Wahyu, diantaranya sebagai berikut:
1. Bagaimana konsepsi Wahyu dalam ajaran Sapta Darma?
2. Apa saja jalan untuk mendapatkan Wahyu tersebut?
3. Bagaimanakah perasaan orang yang telah mendapatkan Wahyu?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan penelitian dalam penelitian yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan untuk peneliti atau kajian
secra lebih jauh dan spesifik, serta untuk di jadikan perbandingan,
manakala meneliti aliran kepercayaan yang memiliki ajaran
2. Penulisan skripsi ini ditunjukan untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar
sarjana stara satu (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada pendekatan deskriptif analitik, dengan maksud menggambarkan secara tepat bagaimana Wahyu.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian data adalah pertama, penelitian kepustakan (Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-data dari buku-buku yang ada relefansinya untuk memperoleh data-data kepustakaan11
Adapun Buku-buku pokok yang diambil oleh penulis diantaranya: Wewarah kerohanian Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu, Pemaparan Budaya Spritual, Aliran-aliran Kepercayaan, Kebatinan dan Injil. Dengan cara mencari, membaca dan memahami data-data yang didapatkan kemudian diuraikan dan dianalisa kembali dengan menggunakan bahasa sendiri.
.
Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya Penulis mendatangi dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan cara wawancara. Adapun wawncara terdiri dari dua bagian pertama, wawancara mendalam dengan ketua Tuntunan Agung dan staf aliran Sapta Darma , kedua, wawancara dengan para penganut aliran Sapta Darma. Dengan maksud untuk memperkuat Data yang dipergunakan
11
8
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427 H./2007 M.
E.Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam
penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika
penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi
sub bab, dan dari setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang
mana antara satu dan lainnya saling berkaitan. Adapun lima bab yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Dalam pembahasan ini berisikan Latar Belakang Masalah, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Metodologi
Pembahasan dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Sekilas Tentang Ajaran Sapta Darma, dalam bab ini akan dijelaskan mengenai riwayat hidup pendiri Sapta Darma
Hardjosapuro dari masa kecil sampai dewasa sampai memperoleh
Wahyu. Kemudia dipaparkan mengenai sejarah berdirinya aliran
Sapta Darma.
ajaran tentang sujud, ajaran tentang Ruh, ajaran tentang
sinbol-simbol dan ajaran tentang panca sifat manusia.
BAB IV : Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, dalam bab ini menjelaskan tentang Pengertian Wahyu, sebab-sebab turunnya
Wahyu, orang yang menerima Wahyu dalam Sapta Darma, jalan
mendapatkan Wahyu dan ciri-ciri orang yang menerima Wahyu.
BAB V : Penutup, pada bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
bab-bab sebelumnya, di samping itu penulis mencoba memberi
10
BAB II
SEKILAS TENTANG ALIRAN SAPTA DARMA
A. Riwayat Hidup Pendiri Ajaran Sapta Darma
Hardjosopoero yang bergelar Sri Gautama dilahirkan di Desa Pare,
Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur pada 27 Desember
1914. Hardjosopoero merupakan anak pertama dari pasangan suami istri
Soehardjo dan Soelijah, dan mempunyai adik kandung yang bernama Jatimah.
Ayahnya adalah mantan pegawai Kantor Pos dan Telepon, Kawedaan Pare.
Hardjosopoero bekerja sebagai tukang cukur, disamping itu ia memiliki usaha lain
di bidang perdagangan.
Hardjosopoero selaku Panutan Agung Sapta Darma, dalam
melaksanakan tugas Peruatan dan penyebaran ajaran Sapta Darma, membangun
Sangkar (tempat Ibadah) yang diberi nama Sanggar Candi Sapta Darma di
Surokarsan Yogyakarta.1
Sri Gautama adalah julukan untuk Panuntun Agung Ajaran Sapta
Darma. Sapuro, nama kecil Hardjosopoero, sejak usia satu tahun sudah
ditinggalkan oleh orang tuanya. Ia hidup dengan Ibunya yang bernama Soleijah
dan diasuh oleh nenek dan kakenya yang bernama Kartodinomo.
Pada Tahun 1920 Sapuro mulai mengenyam pendidikan dasar dan lulus
pada 1925. Setelah lulus Sekoalah Dasar, Sapuro tidak dapat melanjutkan
1
sekolahnya, dikarenakan kakeknya meninggal. Ia berusaha membantu ibu dan
neneknya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Pada 1939 tepatnya pada usia 25 tahun, Hardjosopoero melaksanakan
pernikahan dengan Nona Sarijem. Setelah menikah nama Sapuro di ganti menjadi
Hardjosopoero, dan ia dikaruniai tujuh orang anak. Untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya, Hardjosopoero bekerja sebagai tukang cukur, di samping itu ia
menjadi pedagang kecil, jual beli emas berlian. Hardjosopoero merupakan orang
yang suka bekerja keras, sedangkan ibu Sarijem membantu usaha suaminya untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berjualan Bunga.
Setelah melalui perjuangan hidup yang cukup berat, akhirnya pada 27
Desember 1952 Hardjosopoero menerima Wahyu Ajaran Sapta Darma, dan
Wahyu Nama Sri Gautama sebagai Panuntun Agung Ajaran Sapta Darma serta
Wahyu Penyebaran ajaran Sapta Darma, maka Panuntun Agung Sri Gautama
sepenuhnya melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa.
Dengan begitu, ia tidak dapat lagi bekerja sebagai tukang cukur dan
pedagang kecil. Hartdjosapuro harus “melaksanakan tugas dari Allah Hyang
Maha Kuasa”, yaitu untuk menerima Wahyu Ajaran Sapta Darma secara lengkap
dan menyebarkannya.2
Hardjosopoero atau Panuntun Agung Sri Gautama telah digariskan oleh
Allah Hyang Maha kuasa bahwa masa tugas beliau adalah 12 tahun, dan setelah Oleh karena itu, sejak 27 Desember 1952 ibu Sarijem
berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sampai akhir hayatnya.
2
12
itu ia harus kembali Kepengimanan. Dengan kembalinya Hardjosopoero
Kepengimanan berakhirlah tugas belau di Dunia Fana ini.
Hardjosopoero meninggal dunia pada Rabu Pahing, 16 Desember 1964
pukul 12:10 di Pare Kediri Jawa Timur. Tugas dan perjuangan beliau diteruskan
oleh Ibu Sri Pawenang.3
B. Masa Turun Wahyu
Di Pandean, Gang koplakan, berdiamlah seorang putra Bangsa
Indonesia yang bernama Hardjosopoero selama hidupnya beliau tidak pernah
mendalami ajaran agama apapun dan tidak mempercayai cara-cara perdukunan,
kecuali hanya percaya penuh kepada adanya Hyang Maha Kuasa yang memberi
kehidupan keseluruh umatnya.
Pada Kamis Pon, 26 Desember 1952, Hardjosopoero sepanjang hari
berada di rumahnya dan tidak bekerja seperti biasanya sebagai tukang cukur.
sebab hatinya gelisah, sekalipun tidak ada beban batin maupun pikiran yang
menyelimuti dirinya.
Sore harinya beliau menghadiri undangan ke rumah kawannya. Di
tempat tersebut, sudah banyak orang berkumpul. Akan tetapi, kegelisahan batin
yang dialaminya tidak kunjung reda (hilang), bahkan semakin malam ia
merasakan sangat gelisah.
Menjelang pukul 24:00 beliau pamit pulang. setelah sampai di rumah,
beliau mengambil tikar yang di gelar di atas dipan untuk dipindahkan ke lantai,
3
dengan maksud digunakan untuk berbaring agar dapat meredakan kegelisahannya.
Pada saat itu, tepat pukul 01:00 malam ketika beliau sedang berbaring, tiba-tiba
badan beliau dibangunkan dan digerakan oleh suatu daya berupa getaran yang
kuat di luar kemampuan yang menempatkan dirinya dalam keadaan duduk
menghadap ke timur dengan kaki bersiala dan kedua tangan bersidakep.
Walaupun demikaian, alam pikiran beliau masih dalam keadaan sadar
sehingga ada keinginan untuk melepaskan diri dari gerakan dan getaran yang
dialaminya. Namun, beliau tidak mampu untuk melepaskannya. Oleh sebab itu,
akhirnya beliau pasrah dan bersedia mati pada saat itu. Akan tetapi, di luar
kemauannya sendiri, beliau mengucapkan suatu kalimat dengan suara keras.
Kalimat tersebut adalah:
“Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rokhim
Allah Hyang Maha Adil”.
Dalam keadan masih bergetar dan bergerak, badan beliau merasa bergerak
membungkuk dengan sendirinya, sehingga dahi beliau menyentuh tanah/tikar,
seraya mengucapkan kalimat dengan suara yang keras, yaitu:
”Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa
Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa”.
Kemudian duduk dan membungkuk kembali, hingga dahi menyentuh
tikar dan meneriakkan:
“Kesalahan Hyang Maha Suci
Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa’ Kesalahane Hyang Maha Suci
Nyuhun Kapura Hyang Maha Kuwasa’ Keasalahane Hyang Maha Suci
14
Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan badan bergetar
terus. Setelah itu, beliau tergerak lagi untuk membungkuk yang ketiga kalinya
sampai dahi menyentuh lantai dan mengucapkan kalimat dengan suara keras,
yaitu:
“Hyang Maha Suci Mertoba Hyang Maha Kuwasa Hyang Maha suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa
Hayng Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa”.
Menurut Hardjosopoero, gerakan sujud menyembah kepada Hyang
Maha Kuasa tersebut dituntun secara langsung oleh Hyang Maha Kuasa pada hari
Jumat Wage.
Setelah getaran tersebut berhenti, rasa takut pada diri Hardjosopoero
pun reda, karena selama hidupnya beliau belum pernah mengalami hal seperti itu.
Setelah itu, Hardjosopoero mendatangi teman dekatnya yang bernama
Djojodjaimoen untuk menceritakan apa yang sudah dialaminya semalam. Akan
tetapi, Djojodjaimoen tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh
Hardjosopoero. Djojodjaimoen baru percaya ketika tiba-tiba tubuhnya tergetar dan
bergerak dengan sendirinya seperti halnya yang dialami oleh Hardjosopoero.
Keesokan harinya, mereka berdua datang ke rumah teman mereka,
Kemi Handini. Mereka segera menceritakan peristiwa yang dialaminya. Ketika di
tengah-tengah pembicaraan tersebut, tiba-tiba ketiga orang itu digetarkan dengan
sendirinya. Akhirnya, Kemi Handini pun percaya dengan apa yang dialami oleh
kedua sahabatnya.
Pada hari ketiga sejak peristiwa itu, mereka bertiga bermusyawarah
Setibanya di rumah Somogiman, banyak orang telah berkumpul, lalu
Hardjosopoero kembali menceritakan pengalaman mereka bertiga. Namun
Somogiman tidak memberi tanggapan yang tidak baik dan seolah-olah tidak
percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Hardjosopoero, sehingga tiba-tiba
Somogiman mengalami apa yang dirasakan oleh ketiga temannya itu, barulah ia
percaya.
Semenjak hari itu, tersebarlah peristiwa gaib tersebut di Kota Pare,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tersebarnya peristiwa Gaib itu, terdengar oleh
Darmo dan Rekso Kasirin. Mereka berdua ingin membuktikan tentang peristiwa
gaib tersebut dan akhirnya mereka berdua mendatangi rumah Somogiman. Ketika
mereka berdua sampai di rumah Somogiman, dan Somogiman sendiri belum
menceritakan peristiwa tersebut, tiba-tiba mereka berdua mengalami apa yang
dialami oleh Hardjosopoero.
Pada saat mereka berdua mengalami peristiwa itu, tiba-tiba mereka
semua serentak tergerak untuk melakukannya untuk menghadap Allah Hyang
Maha Kuasa. Setelah selesai melakuakan gerakan itu, keenam sahabat
Hardjosopoero kembali ke rumah masing-masing, kecuali beliau sendiri yang
tidak pulang ke rumahnya, karena takut mendapatkan gerakan-gerakan tersebut
sendirian di rumah. Dengan begitu, beliau memutuskan untuk tinggal
16
teman-temannya, dan akhirnya terdapat enam orang yang mengalami mu’jizat
yang sama.4
Setelah mendapatkan wahyu yang petama, Hardjosopoero
diperintahkan untuk pulang ke rumahnya atas perintah Hyang Maha Kuasa untuk
memperoleh wahyu yang kedua. Maka, pada 13 Februari 1953, pukul 10:00
mereka, yang telah mengalami peristiwa tersebut, berkumpul di rumah
Hardjosopoero atas perintah wahyu. Secara mendadak Hardjosopoero berkata
dengan suara keras dalam bahasa Jawa sebagai berikut:
“Kanca-kanca delengan aku arep mati, amat-amat ana aku,”
Artinya:
”kawan-kawan lihat aku akan mati, amat-amatilah aku.”
Sambil berkata demikian Hardjosopoero lalu berbaring terlentang
membujur ke timur sambil memejamkan matanya, serta tangannya bersidakep
seperti orang mati.5
“inilah yang disebut Racut, mati dalam hidup.”
Peristiwa ini terjadi selama setengah jam, tiba-tiba
Hardjosopoero terbangun dan bersabda kepada sahabat yang setia menunggunya:
Kemudian Hardjosopoero menceritakan selama melaksanakan tugas
untuk mati (Racut). Hardjosopoero merasa rohnya keluar dari wadagnya (tubuh)
dan naik ke atas melalui alam yang enak, atau alam langgeng. Hardjosopoero
4
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 ), cet ke- 9, h. 22.
5
Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Pemaparan Budaya Spritual
bertemu dengan orang yang bersinar laksana Maha Raja, lalu ia melaksanakan
sujud menyembah Hyang Maha Kuasa.6
Setelah melaksanakan sujud, Hardjosopoero dibawa oleh orang bersinar
untuk melihat dua sumur yang bernama Gumuling dan Jalatunda. Setelah itu, ia
diberi dua buah keris pusaka, keris pusaka itu bernama Nogososro dan Segono.
Untuk meyakinkan kebenaran Ajaran Racut yang diterimanya, Hardjosopoero
meminta pada sahabtnya untuk melakukan Racut .
Setelah menerima Wahyu Racut, semua sahabatnya selalu berkumpul
untuk melaksanakan sujud dan latihan Racut, sehingga apapun yang dikerjakan
oleh Hardjosopoero merupakan suatu petunjuk yang benar dari Allah Hyang
Maha Kuasa.7 Selama berkumpul, Hardjosopoero sering bertemu dengan Sang
Maha Raja. Aktifitas demikian itu kemudian dijadikan salah satu upacara ibadah
Sapta Darma yang dinamakan Racut.8
Secara berturut-turut di antara turunnya wahyu-wahyu itu adalah
Wahyu Simbol Pribadi Manusia, Wahyu Wewarah Tujuh, dan Wahyu Sesanti.
Pada 12 Juli 1954, turun Wahyu Pribadi Manusia berupa gambar yang secara
tiba-tiba muncul di rumaha Hardjosopoero. Peristiwa turunnya Wahyu Wewarah
Tujuh sama dengan turunnya Wahyu Simbol Pribadi Manusia. perbedaannya
terletak pada bentuknya saja. Wahyu Wewarah Tujuh berupa tulisan yang terlihat,
terukir, dalam bentuk kalimat-kalimat pada dinding, lantai, serta ada juga yang
6
Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah Penerimaan Wahyu, h. 16. 7
Pengurus Pusat, Pemaparan Budaya Spritual, h.35. 8
18
terlukis pada dada Hardjosopoero. Ini merupakan tulisan tanpa papan atau Sastra
Jendra Hayuningrat.
Adapun Wahyu Wewarah Tujuh tersebut selengkapnya, dalam bahasa
Jawa, sebagai berikut:
1. Setija tuhu marang anane Pantjasila
2. Kanthi djudjur lan sutjining ati kudu setia anindakake
angger-anggering nagarane
3. Melu tjawe-tjawe atjantju tali wada andjaga adeging Nusa lan
Bangsane
4. Tetulung malang sapa bae jen perlu, kanthi ora nduweni pamrih
apa bae kadjabamung rasa wales lan asih
5. Wani urip kanthi kapitajan saka kekuwatane Dewa
6. Tanduke marang warga bebrajan kudu susila kanthi alusing budi
pakarti tansah agawe pepedang lan mareming lijan
7. Jakin jen kahanan donja iku ora langgeng tansah kanthi alusing
owah gingsir (hanjakra manggilingan)9
Artinya:
1 Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung
2 Dengan jujur dan suci hati harus setia menjalankan perundang-
undangannegaranya.
3 Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya
Nusa dan Bangsa
4 Menolong kepada siap saja bila perlu tanpa mengharapkan suatu
balasan, melainkan rasa cinta kasih
5 Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri
6 Sikapnya dalam hidup bermasyarakat kekeluargaan, harus susila
disertai halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memusakan
7 Yakin bahwa keadaan dunia tidak abadi melainkan selalu
berubah-ubah.
Setelah menerima Wahyu simbol Pribadi Manusia dan Wewarah
Tujuh, pada hari itu juga beliau masih mendapatkan Wahyu Sesanti yang berbunyi
sebagai berikut:
9
“Ing ngendi bae, marang sapa bae Warga Sapta Darma kudu sumunar pindha baskara.”
Artinya:
“Dimana saja dan kapan saja warga Sapta Darma harus bersinar seperti matahari.”10
Dengan diterimanya wahyu tersebut, penerimaan ajaran ini semakin
terang benderang, bagaikan suasana di waktu pagi terkena sinar surya yang baru
terbit di sebelah timur.
Sejak hari itu, dapat diketahui bahwa sujud yang dilakukan oleh
Hardjosopoero dan para sahabatnya adalah prilaku pendekatan Pribadi Manusia
dengan Allah Hyang Maha Kuasa. Keyakinan semakinn mendalam bagi
Hardjosopoero dan sahabat-sahabatnya setelah diterimanya Wahyu ajaran Sapta
Darma secara lengkap.11
Ada beberapa wahyu pelengkap yang diterima oleh Hardjosopoero di
antaranya adalah:
Dengan ajaran Sapta Darma yang telah dikuasai dan
diyakini, mendorong pribadi mereka masing-masing selalu berkumpul di rumah
Hardjosopoero.
a. Wahyu istilah Tuntunan dan Wahyu istilah Sanggar yang diterima
pada 15 Oktober 1954. Kata Tuntunan diartikan oleh para penganut ajaran Sapta
Darma adalah seseorang yang membawakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa
untuk menuntuni sujud calon Warga Sapta Darma, sedangkan kata Sanggar
adalah tempat persujudan bersama.
10
Romdon, Ajaran Ontologi, h. 138. 11
20
b. Pada 27 Desember 1954 Hardjosopoero menerima Wahyu Saudara
Dua Belas, isi wahyu tersebut dijelaskan sebagai berikut:
“Hyang Maha Suci, Premana, Jatingarang, Gandarwaraja,
Brama, Endra, Bayu, Mayangkara, sukmarasa, sukamakencana,
Nagatahun dan bagindakilir.”12
c. Selanjutnya pada 13 Februari 1955 turunlah Wahyu Tali Rasa dan
Wahyu Wasiat Tiga Puluh Tiga. Tali Rasa dalam jararan Sapta Darma dapat
diartikan sebagai kehidupan manusia. karena manusia memiliki Tali Rasa hidup,
yang memiliki 20 sentral Tali Rasa yang dijelaskan dalam abjad huruf Jawa,
sebagai berikut:
“Ha –Na- Ca- Ra- Ka- Da- Ta- Sa- Wa- La- Pa- Dha- Ja- Ya- Nya-
Ma- Ga- Ba- Tha- Nga.”
Wasiat Tiga Puluh tiga adalah sebagai pelengkap adanya Ajaran Sapta
Darma yang diterima oleh Hardjosopoero. Bagi penganut ajaran Sapta Darma
wasiat ini cukup dimengerti saja untuk kewaspadaan serta keampuhan sabda yang
telah dapat dicapai oleh penganut Ajaran Sapta Darma.
d. Pada tahun yang sama juga diterima Wahyu Wejengan Dua Belas
pada 12 Juli 1955 oleh Hardjosopoero yang isinya sebagai berikut:
1. Telu-telne atunggal diwejang Hyang Widhi
12
Lima-limane atunggal diwejang Hyang Widhi Pitu-pitune Atunggal diwejang Hyang widhi Sanga-sangane Atunggal diwejang Hyang Widhi Rolas-rolase Atunggal diwejang Hayang Widhi
2. Wejangan mengenai Wasiat tiga puluh tiga
3. Untuk mengetahu saudaranya sendiri, dari telu-telune Atunggal
sampai dengan rolas-rolase Atunggal duduk sejajar
4. Untuk mengetahu saudaranya sendiri, dari telu-telune Atunggal
sampai dengan rolas-rolase Atunggal numapak jajar Serambi Hyang Widhi
5. Mengetahui adanya perbintangan dari Hyang Widhi
6. Untuk mengetahui sejati tesing dumadi pertama hingga menjadi bayi
7. Untuk mengetahui adanya simpul saraf (tali Rasa)yang tedapat
dalam tubuh manusia
8. Untuk mengetahui adanya saudara dua belas kelihatan berjajar
sama
9. Untuk menhetahui keadaan orang mati
10.Untuk melihat orang mati yang rusak terlebih dahulu bagian tubuh yang mana dan darah nya kemana
11.Untuk mengetahui keadaan seseorang sejak mati hingga rohnya
sampai dialam langgeng
12.Untuk mencapai jejer Satria Utama.
Kemudian apabila seluruh wejangan ini sudah dapat dimengerti,
dirasakan, dihayati dan dilaksanakan,13 maka telah dapat dicapai Satria Utama.14
e. Pada 27 Desember 1955 Hardjosopoero menerima wahyu lagi,
yaitu Wahyu Nama Sri Gutama dan Wahyu Agama Sapta Darma.
Sejak diterimanya Wahyu pertama tentang sujud. menyembah kepada
Hyang Maha Kuasa sampai dengan diterimanya Wahyu Nama Sri Gutama, sudah
lengkaplah penerimaan Wahyu Ajaran Sapta Darma yang diterima
13
Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan, 2010), cet .ke-1, h.186.
14
22
Hardjosopoero, dan semua wahyu-wahyu yang dijelaskan di atas dikumpulkan
dalam kitab suci yang bernama kitab suci Wewarah Sapta Darma.
C. Berdirinya Ajaran Sapta Darma
Sebelum penulis membahas sejarah lahirnya Sapta Darma, terlebih
dahulu akan dibahas tentang pengertian dari Sapta Darma. Dinamakan Sapta
Darma karena mengandung tujuh macam Wewarah Suci yang merupakan
kewajiban bagi penganut ajaran Sapta Darma yang tidak boleh ditinggalkan.15
Sapta Darma diartikan sebagai tujuh kewajiban, atau tujuh amal suci.
Kamil Kartapradja mengartikan Sapta Darma adalah tujuh tuntunan atau
pedoman.
Jadi, Sapta Darma adalah aliran yang menganut tujuh kewajiban yang
tidak boleh ditinggalkan oleh para peganutnya karena hal itu merupakan pokok
dari ajaran Sapta Darma. Jika, para penganut ajaran Sapta Darma mengamalkan
Wewarah, pasti akan mendapatkan kesempurnaan pribadi serta kebahagiaan hidup
di dunia dan alam langgeng.
Pada saat penerimaan Wahyu, nama lengkap ajran kerohanian atau
aliran kepercayaan Sapta Darma adalah “Agama Sapta Darma.” Hardjosapoero
menjelaskan istilah Agama bagi Sapta Darma mempunyai pengertian yang
khusus, yaitu:
A : Asal Mula Manusia.
GA : Gama atau Kama (Air suci).
15
MA : Maya atau sinar Cahaya Allah.
Jadi, definisi agama menurut ajaran Sapta Darma adalah asal mula
manusia dari kama dan maya.
Akan tetapi, sejak keluarnya PANPRES no.1/1965 tentang pencegahan
penyalahgunaan dan pedomana agama, nama “Agama Sapta Darma” disesuaikan
menjadi “Kerohanian/atau Aliran Kepercayaan Sapta Darma.”16
Hardjosapoero merupakan tokoh utama yang tidak dapat dipisahkan
dari sejarah kelahiran dan perkembangan aliran Sapta Darma. Walaupun menurut
namanya Sapta Darma adalah nama yang berdiri sendiri dan sama sekali tidak
mengandung unsur-unsur dari nama Hadjosapoero. Akan tetapi, Hardjosapoero
dapat dikatakan sebagai pendiri aliran Sapta Darma, sebab aliran Sapta Darma
didirikan atas dasar sabda yang diterima atas perantara Hardjosapoero, dan
disaksikan oleh enam penganutnya yang kemudian bertindak sebagai pengurus
Tuntunan Agung Sapta Darma. Adapun kedudukan Hardjosapoero dalam Sapta
Darma sebagai Puntunan Agung Sri Gutama.17
Sebagai suatu organisai Sapta Darma didirikan pada 27 Desember
1952 atas perintah Allah Hyang Maha Kuasa, kemudian terbentuklah susun
tuntunan agung yang terdiri dari, Tuntunan Agung (Hardjosopoero, sebagai
panuntun Agung Sri Gutama), Juru bicara Tuntunan Agung (Ibu Sri Pawenang
16
. Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan), cet ke-1, h. 4.
17
24
sekaligus sebagai Tuntunan Wanita, yang berwenang menyiarkan memberikan
keterangan mengenai ajaran Sapta Darma), dan staf Tuntunan Agung (Soedomo
Poerwodihardjo dan R. Soepangat Yoesman. Staf Panuntun Agung Sri Gutama
selaku pembantu beliau yang diharapkan dapat membantu Panuntun Agung sri
Gutama atau juru bicara dalam melaksanakan tugasnya.
Dasar-dasar tugas Tuntunan Agung adalah dasar-dasar pokok tugas
Tuntunan Agung yang bersumber pada fatwa Panuntun Agung Sri Gutama, baik
secara tertulis maupun yang tidak tertulis18
1 Tungas tuntuna berat sekali, mampu tidaknya melaksanakan
tugasnya tergantung pada kemauan, keinsyafan dan keikhlasannnya.
sebagai berikut:
2 Menjadi tuntunan berarti mengabdi pada warganya, untuk
memenuhi dan mengajar serta membingbing para warganya untuk berdarma dalam hidupnya, demi tercapainya cita-cita
luhur Satria Utama.
3 Usahakan tugas tuntunan harus dilaksanakan.
4 Para tuntunan dapat berdarma sesuai kemampuan dari nafsu,
budi dan pakartinya.
5 Tuntunan harus mengadakan penyelidikan dan penelitian
terhadap pengolahan dan pelaksanaan ajaran kerohanian Sapta Darma.
6 Fatwa yang tertulis adalah yang dilaksanakn pada tanggal 1 s/d
8 pebruari 1964 dalam rangka mengembangkan dan menentukan sujud penggalian intisari kerohanian Sapta Darma.
Pada saat itu juga Panuntun Agung Sri Gutama berpesan kepada para
stafnya. Pesan tersebut sebagai berikut:
18Pedoman tuntunan kerohanian Sapta Darmma, keputusan Saresehan Agung Tuntunan
1. Bapak Panuntun Agung Sri Gutama telah mengangkat juru bicara,
yaitu Ibu Sri Pawenang yang bertugas menerbitkan sistematika
ajaran Sapta Darma baik kepada pemerintah maupun masyarakat.
2. Bapak panuntun Agung Sri Gutama telah mensejajarkan staf beliau
yang bertugas mewakili Sri Pawenang untuk menghadap
pemerintah apabila dibutuhkan.
3. Materi Sujud Penggalian belum selesai, akan diteruskan kemudian
hari.
4. Galilah rasa yang meliputi seluruh tubuh (kepribadian yang asli).
Adapun inti sari dan tujuan ajaran Sapta Darma yang yang
tercantum dalam kitab suci aliran Sapta Darma sebagai berikut:
1. Menanam tebalnya kepercayaan, dengan menunjukan bukti-bukti
dan persaksian, bahwa sesungguhnya Allah Hyang Maha Kuasa itu
ada dan Tunggal/Esa.
2. Melatih kesempurnaan sujud, yaitu dengan sujudnya manusia
kepada Hyang Maha Kuasa untuk mencapai budi luhur.
3. Mendidik manusia bertindak suci dan jujur, berusaha mencapai
nafsu, budi dan pakarti yang menuju keluhuran dan kekuatan, guna
bekal hidup di dunia dan alam langgeng.
4. Mengajar warganya untuk mengatur hidup.
5. Menjalankan Wewarah Tujuh dan melatih kesempurnaan sujud.
6. Memberantas kepercayaan akan takhayul dalam segala bentuk dan
26
Perlu diketahui bahwa Tuntunan Agung19
Jadi, aliran kepercayaan Sapta Darma adalah aliran yang berbeda dari
aliran-aliran kebatinan yang lainnya, karena ajaran Sapta Darma merupakan
sebuah organisasi yang bergerak di bidang kerohanian dan pengolahan jiwa untuk
mencapai ketenangan jiwa.
beserta stafnya berkewajiban
melaksanakan tugasnya yang tidak terbatas, arinya seumur hidup, dan wajib
melaksanakan Saresehan Tuntunan Agung setiap lima tahun sekali untuk
menyampaikan laporan pertanggungjawaban.
19
27
BAB III
POKOK-POKOK AJARAN SAPTA DARMA
A. Ajaran Tentang Tuhan
Menurut ajaran Sapta Darma bahwa manusia hidup karena, diberi hidup oleh
Hyang Maha kuasa, berupa Sinar Cahaya Hyang Maha Kuasa yang menjadi
getaran-getaran yang meliputi pribadi manusia. Segala sesuatu yang hidup diberi Sinar Hyang
Maha Kuasa dan tidak memakai pelantara siapa saja.1
Dengan demikian, atas dasar itulah warga Sapta Darma langsung menyembah
Hyang Maha Kuasa. Serta dapat berhubungan langsung tanpa pelantara siapa saja.
Panuntun Agung Sri Gutama hanyalah petunjuk jalan saja, yang menerima
ajaran-ajarannya. Bagai mana manusia dapat berhubungan dan menyembah lanhsung kepada
Hyang Maha Kuasa.
Dengan demikian sinar cahaya
tersebut merupakan getaran-getaran yang putih, (suci) yang menjadi utusan Hyang
Maha Kuasa, yang ada hubungannya dengan manusia.
2
Karna Aliran Sapta Darma termasuk aliran yang sederhana, oleh sebab itu
ajarag tentang Tuhan juga singkat sekali. Dalam ajaran Sapta Darma meyakini bahwa
Tuhan adalah Zat yang mutlak pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang
terjadi di muka bumi, jika mengingat akan sebuah Zat yang Mutlak, pangkal dari
segala sesuatu bisa mendapatkan kesan bahwa Tuhan adalah yang Mutlak. Dalam arti
Falsafah. Ia adalah Zat yang bebas dari segala hubungan, nisbah serta sebab-sebab.
3
Kemudian dalam ajaran Sapta Darma, pembinaan untuk berbakti kepada
Tuhan dilakukan dengan cara menanamka tebalnya kepercayaan dengan menunjukan
1
Djoko Dwiyanti, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Yogyakarta: Pararaton Gruf Elmatera, 2010), h. 135.
2
Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Pemaparan Budaya Spritual (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga-Surokarsan, 2010), h. 1.
3
28
bukti-bukti serta persaksian, bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada dan tunggal, (Esa)
serta memiliki lima Sifat, atau sikap perwujudan kehendak yang mutlak,4
1. Sifat Maha Agung
yaitu:
2. Maha Rokhim
3. Maha Adil
4. Maha Wasesa (Maha Kuasa)
5. Maha Langgeng (Maha Kekal)
Sifat Maha Agung adalah sifat yang melebihi segala Mahluknya, tidak ada
yang menyamai Tuhan dalam kelurusan hati-Nya.
Maha Rokhim berarti bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam belas
Kasih-Nya
Maha adil berarti bahwa Tuhan tidak ada yang menyamai-Nya dalam
Keadilan-Nya
Maha wasesa berarti Tuhan Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu
Maha Langgeng berarti bahwa Tuhan adalah Kekal dalam arti yang Mutlak,
tidak ada yang menyamai-Nya (tidak ada taranya)5
kelima Sifat Tuhan ini disebut Panca Sila Tuhan .
6
Oleh karena itu dikatakan hakekat Manusia yang di adakan, dan di hidupi
serta di ciptakan sebagai Makhluk yang tertinggi hendaknya memiliki Panca Sifat
seperti Tuhan, di antaranya sebagai berikut:
.Dalam ajaran Sapta Darma
Tuhan disebut dengan Allah atau Sang Hyang Maha Kuasa, Yang mempunyai lima
Sifat, seperti yang di jelaskan di atas.
1. Sifat-Sifat berbudi luhur terhadap sesama manusia yang lainnya
2. Sifat-Sifat belas Kasihan terhadap sesama Umat
4
Sri Pawenang, Wewarah Kerohanian Sapta Darma, (Yogyakarta: Surokarsan, 1962), h. 8. 5
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), cet ke- 9, h. 25.
6
3. Berperasaan serta bertindak adil dan tidak membeda-bedakan sesama umat
manusia
4. Kesadaran bahwa manusia dalam Purba Wasesa Tuhan
5. Kesadaran bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari sinar Cahaya
Yang Maha Kuasa yang bersifat Abadi
B. Ajaran Tentang Simbol-Simbol Manusia
Ajaran Sapta Darma menjelaskan tentang simbnol manusia, dengan
mempergunakan Simbol Sapta Darma yang diterima pada tanggal 12 Juli 1954, ini
merupakan media (sarana) untuk mengenal pribadi manusia untuk dimengerti dan
dipahami agar manusia senantiasa mawas diri. Simbol kerohanian Sapta Darma
menggambarkan asal, sifat dan pribadi manusia7
Berbeda dengan Aliran-aliran lainnya yang tidak senang denagn
menggunakan Simbol-simbol, bagi ajaran kepercayaan Sapta Darma simbol sangat
lah sakral, karna menurut Ajaran kepercayaan Sapta Darma bisa melambangkan asal
mula Manusia, dan sifat-sifatnya, serta pengaruhnya yang terjadi pada Manusia itu
sendiri (nafsu, budi pakarti).
.
Simbol diartikan oleh penganut Sapta Darma sebagai gambaran atau lambang
terjadinya manusia. Penjelasannya sebagai berikut
1. Bentuk segi empat belah ketupat memiliki empat sudut: satu di atas, satu
di bawah, dan dua disebelah kiri dan kanan, sudut yang di atas menggambarka Sinar
Cahaya Allah, sudut yang di bawah menggambarkan Sari Bumi, sedangkan sudut
pada kedua sisi, kiri dan kanan, memggamabarkan Pelantaraan Terjadinya Manusia,
7
30
yaitu Adam dan Hawa atau Bapak dan Ibu.8
2. Belah ketupat bertepi warna hijau tua, yang menggambarkan Badan
Jasmani atau Wadag (Raga) Manusia.
Dalam buku Wewarah dikatan bentuk
segi empat belah ketupat menggambarkan asal mula terjadinya manusia.
3. Yang menjadi dasar warna Hijau Muda (Maya) yang menggambarkan
Sinar Cahaya Tuhan yaitu Hawa atau getaran. Hal ini berarti bahwa di dalam Badan
Jasmani tersebar Sinar Cahaya Allah, di dalam Manusia di sebut Rasa.9
4. Segi tiga sama sisi yang berwarna Putih dengan tepi Kuning emas
menunjukan asal Tes Dumadi manusia dari Tri Tunggal ialah:
atau Roh
a. Sudut atas : Sinar Cahaya Allah (Nur Cahaya)
b. Sudut kanan : Air Sarinya Bapak (Nur Rasa)
c. Sudut kiri : Air Sarinya Ibu (Nur Buat)
5. Segi tiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning emas ditutup
oleh lingkaran dan membentuk tiga, segi tiga sama dan sambung masing-masing
memiliki tiga sudut, sehingga jumlah sudut ada 9 (Sembilan) menunjukan manusia
memiliki Babahan Hawa Sanga, ialah: Mata 2 (dua), Hidung 2 (dua), Teling 2 (dua),
Mulut 1 (satu), Kemaluan 1 (satu), Pelepasantu 1(satu).
Warna putih menunjukan bahwa asal terjadinya manusia dari bahan atau
Barang yang Suci dan bersih biak luar maupun dalam, garis kuning emas segi tiga
mempunyai arti bahwa ketiga asal terjadinya manusia tersebut mengandung Cahaya
Allah10
8
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), cet ke- 9, h. 26.
.
9
Rasa disini bukan “rasa yang dalam” seperti yang diartikan oleh Paguyuban Sumarah, melainkan Roh, yang menyebabkan Manusia merasa, lihat Kebatinan dan Injil, h. 26
10
6. Lingkaran menggambarkan keadaan, yang seanatiasa berubah-ubah,
manusai akan kembali ke asalnya apabila selama hidup di dunia ini berjalan di jalan
Tuhan. Rohaninya akan kembali kepada ke alam abadi, dan jasmaninya akan kembali
ke bumi, di antaranya sebagai berikut:
a. Lingkaran berwarna hitam, menggambarkan bahwa manusia memiliki
hawa hitam11
b. Lingkaran berwarna merah, bahwa manusia memiliki nafsu merah atau
amarah, nafsu ini timbul akibat rangsangan suara yang tidak enak di
dengar oleh telinga.
atau nafsu angkara.
c. Lingkarang berwarna kuning, menunjukan asal nafsu keinginana yang
timbul karen indra penglihatan akibat rangsangan sesuatu yang di
lihat. Apa bila nafsu ini tidak terkendalikan dapat berakibat negatif.
d. Lingkaran warna putih, menggambarka nafsu Suci yang menimbulkan
sifat dan sikap yang Suci atau baik. Ini di akibatkan oleh indra
hidung.
e. Besar kecilnya lingkran menunjukan besar kecilnya sifat yang dimiliki
oleh manusia.
7. Lingkaran putih yang berada di tengah, tertutup oleh gambar Semar,
menunjukan lubang ubun-ubun manusia, warna putih mengagmbarkan
Nur Cahaya atau Nur Putih, ialah Hawa Suci (Hyang Maha Suci) yang
dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.
8. Gambar Semar, mengkiaskan Budi luhur dan juga Nur Cahaya.12
11
Asal hawa hitam karena pengaruh getaran hawa yang membeku, cara menghilangkannya harus rajin Sujud sesuai Wewarah, lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panu tun Agung Sri Gutama, h.172.
Semar
32
kepada manusia bahwa hanya ada satu yang wajib disembah, yaitu Allah
Hyang Maha Kuasa, dengan tangan kiri menggenggam menggambarkan
bahwa telah memiliki keluhuran, atau memiliki Rasa yang mulia (Roh)13
Semar memakai Klinting.14 Maksudnya, apabila kita sebagai
Tuntunan Warga Sapta Darma haruslah kita selalu memberikan
peneranagan tentang budi pekerti yang luhur kepada siapa saja yang
membutuhkan, agar mereka mengerti akan kewajiban dan tujuan hidup
yang luhur.15
Semar memiliki Pusaka yang berarti bahwa ia memiliki sabda
yang kuwasa, yang berada pada kata-kata yang di ucapaka dengan suci,
lipatan lima kain menunjukan bahwa Semar telah memiliki lima Sifat
Allah atau ia telah memnjalankan Panca Sila Allah.
9. Tulisan yang ada di samping kiri, kanan dan bawah yang berada di dasar
hijau maya menunjukan bahwa manusia memiliki nafsu, budi dan pakarti,
dan tulisan jawa yang berada di atas dan di bawah yang berada di dasar
hijau maya menunjukan bahwa manusia harus menjalankan Wewarah
tujuh.
12
Maksudnya: warga Sapta Darma supaya berusaha memiliki keluhuran Budi seperti semar, meskipun jelek rupanya tetapi luhur Budi Pekartinya maka Semar di pribahasakan Dewa yang menjelma, lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panu tun Agung Sri Gutama, h. 173.
13
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), cet ke- 9, h. 28.
14Klingting
adalah: suatu benda yang merupakan sumber bunyi yang dapat mengeluwarkan suara, suara Klingting di gunakan sebagai suatu tanda agar orang-orang sekitar mendengar apabila Klinting di bunyikan. Lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panu tun Agung Sri Gutama, h. 174.
15
Jadi simbol menurut ajaran Sapta Darma adalah Gambaran
atau lambang yang sanagat sakral, karena merupakan media (sarana)
mengenal pribadi yang di gambarkan dengan simbol pribadi manusia,
untuk di mengerti dan di pahami agar manusia senantiasa mawas diri.
Dan Simbol-simbol itu juga menggambar asal mula terjadinya, sifat serta
pribadi manusia. Disamping itu juga mengandung petunjuk bagaimana
harus berdarma (berbuat) dan kemana tujuan hidup manusia dalam ajaran
Sapta Darma, yang sesuai dengan Wewarah kerohanian Sapta Darma.
C. Ajaran Tentang Manusia
Sebagai mana yang sudah di jelaskan di poin B tentang simbol. Maka
penulis mempunyai gambaran tentang manusia dalam Ajaran Sapta Darma yang
akan di jelaskan sebagai berikut:
Manusia dalam ajaran Sapta Darma di pandang sebagai suatu kombinasi
dari Roh dan benda, roh yaitu jiwa manusia yang berasal dari Allah Hyang Maha
Kuasa, Roh itu adalah Sinar Cahaya Allah yang dipandang sama dengan Hawa
murni yang ada di sekitar, dan didalam manusia yang memberiakan hidup
kepada manusia, Roh juga bisa diartikan sebagai Hyang Maha Kuasa atau Roh
Suci yang dapat berhubungan langsung dengan Allah Hayang Maha Kuasa.16
Badan di artikan sebagai tubuh manusia yang terdiri dari Sari Bumi,
kombinasi Roh dan benda ini terjadi dengan pelantara Adam dan Hawa, atau
Bapak dan Ibu, sehingga manusia menuraut ajaran Sapta Darma adalah ke
Tritunggalan. Yang dimaksud Tritunggal dalam ajran Sapta Darma ialah Sinar
Cahaya Allah dari Sari Bapak dan Ibu, atau bisa di ungkapkan sebagai kesatuan
16
34
Nur Cahaya, Nur Rasa (Sinar Roh) dan Nur Buat dari sari bapak dan ibu yang
berasal dari bumi.
Hidup manusia adalah Sinar Cahaya Maha Kusa, yang menjadi getaran
hawa murni yang meliputi manusia. Karna setiap manusia yang hidup diberi
kehidupan oleh Allah17
Manusia mendapatkan tiga macam getaran, yaitu getaran dari Sinar
Cahaya Allah atau getaran dari hawa murni di sekitar dan di dalam manusia,
yang memberikan hidup dan menjadikan manusia yang dapat menyembah Allah
Hyang Maha Kuasa, selanjutnya manusai juga mendapatkan getaran dari
binatang dan tumbuh-tumbuhan karena manusia makan daging dan
sayur-sayuran.
. Tetapi ada perbedaannya antara manusia dan makhluk
lainnya, mausia diberi hidup yang sempurna, sehingga manusia memiliki nafsu
budi dan pikiran. Maka manusia adalah makhluk yang tertinggi dan ia
berkewajiban sujud kepada Hyang Maha Kuasa.
18
Di dalam tubuh manusia juga ada yang di sebut dengan Radar, seandainya
radar ini dipelihara dengan baik dapat memberikan kewaspadaan perasaan,
dikatakan bahwa radar ini terdiri dari tiga belah ketupat yang berada dalam dada,
satu di atas satu ditengah dan satu lagi di bawah. Pada tiap belah ketupat terdapat
getaran yang berwarna, yang menunjukan sifat Khas yang disebut dengan saudar
12 (dua belas) di dalam diri manusia, hal ini semuanya aspek rohani manusia
adapun aspek jasmaninya terjadi dari sari-sari buni,
19
17
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 29.
Adapaun penjelasan
saudara 12 (dua belas) ialah:
18
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 29 19
a. Hyang Maha Suci, berpusat di ubun-ubun, Hyang Maha Suci ini bisa
berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.
b. Premana, bertempat di dahi di antara dua kening, dia mempunyai
kemampuan melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata biasa.20
c. Jatingarang,21
d. Gandarwaraja,
atau dinamakan Sukmajati bertempat di bahu kiri. 22
e. Bromo,
bertempat di bahu kanan dan mempunyai sifat kejam. 23
f. Bayu, bertempat di susu kanan dan bersifat teguh dan konsekuen.
bertempat di tengah-tenagh dada dan bersifat pemarah.
g. Endra, bertempat di susu kiri dan mempunyai sifat pemalas.
h. Mayangkara, bertempat di pusar mempunyai sifat keras.
i. Sukmarasa, bertempat di pinggang kiri dan kanan serta mempunyai sifat
halus perasaan .
j. Sukma kencana, bertempat di tulang tungging, sumber kebirahiaan.
k. Nagatahun, di sebut juga sukma naga bertempat di tulang belakangia
mempunyai sifat seperti ulat.
l. Bagindakilir, atau di sebut Nur Rasa, bertempat di ujung jari, sifatnya
bergerak dan dapat untuk menyembuhkan penyakit.
Dari sifat-siafat tersebut dapat di kelompokan menjadi empat nafsu,
yaitu nafsu Mutma’innah, Sufiah, Lawwamah dan nafsu Amarah. Kalau dalam simbol
Sapta Darma di gambarkan dengan Warna hitam, merah, kuning dan putih.
20
Artinya orang bisa meliahat kejadian yang terjadi di waktu dan tempat berlaiana, lihat ,
Kebatinan dan Injil, h. 30. 21
Jatingarang adalah sebutan mengenai cara perhitungan untuk menemuka waktu yang tepet, guna perpindahan, penyembuhan dan sebagainya, lihat , Kebatinan dan Injil, h. 30.
22
Gandarwaraja dalam Pewayangngan disebut Rasa raksasa, lihat , Kebatinan dan Injil , h. 30.
23
36
1. Mutma’innah, tercipta dari unsur suasana, benda panas. Wataknya terang
,suci dan belas kasihan.
2. Sufiah, tercipta dari unsuarr air, kasarnya berada dalam tulang sumsum,
adapun halisnya sufiah menjadi kehendak. Sufiah adalah nafsu yang
menyebabkan keinginan atau kebirahiyan.
3. Lawwamah, tercipta dari unsurr bumi yang berada dalam daging manusia.
Wataknya sifat Lawwamah, jahat, males tamak, loba, tidak tahu soal
kebaikan kepada sesama manuis, tetapi kalu sudah mau tunduk dan patuh,
akan menjadi dasar perdamaian.
4. Amarah, tercipta dari unsur api, berada dalam darah yang mengalir di
dalam tubuh manusia, adapun wataknya; mudah gugup, beringas, murka.
Amarah menjadaikan jalan saudara-saudaranya yang lain, bisa berbuat
jahat atau baik, semua itu lewat jalan amarah. Jadi yang dimaksud
mendatangkan saudara-saudaranya yang laian, adalah amarah. Sebab tidak
ada maksud yang dapat terlaksana tampa amarah. Maka amarah menjadi
baku yang bisa terpengaruh menguatkan saudaranya yang lain agar sampai
tujuan.
Dari masing-masing dua belas saudara itu jika dikembangkan hingga puncak
perkembangannya atau di tingkatkan mutunya. Hanya saja yang harus dikembangkan
menurut ajaran Sapta Darma ialah sifat Hyang Maha Suci,24 karena Hyang Maha
sucilah yang mempunyai inti dari manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Tuhan.
Seandainya manusia di kuasai oleh dua belas saudara atau salah satunya dari sifat itu
maka orang tersebut akan sering kelihatan sebagai orang gila (motah).25
24
Random, M.A, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinana, (Jakarta: Raja Garapindo Persada, 1996), cet ke- 1, h. 144.
Dengan
25
demikian dalam Ajaran Sapta Darma di adakan semacam Semedi yang khusus buat
menghilangkan semua itu, yang dilakuakan setelah Sujud Dasar, atau sujud Wajib.
Sebagai mana pangestu, Sapta Darma juga mengakui adanya unsur ke
Tuhanan di dalam diri manusia, tetapi bukan aspek sebagai mana pangestu, menurut
ajaran Sapta Darma, unsur ke Tuhanan dalam diri manusia itu menjadi jiwa manusia
yang bernama Hyang Maha Suci, atau Nur Cahyo yang berasal dari Sinar Cahaya
Tuhan. Sianar ini menyebar ke seluruh tubuh manusia.
Adapun badan atau Wadag yang bersaudara dua belas itu adalah badan
Rohani, yang dipelantarai oleh Adam dan Hawa serta sari Ibu dan Bapak, serta sari
Bumi yang di diperlengkapi dengan lubang 10 (sepulah) dan 20 (dua puluh) Tali
Rasa. Dikatakan bahwa manfaat mengetahui nama dan letak, dua puluh tali rasa
adalah, untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan Syaraf.
Dengan demikian manusia menurut ajaran Sapta Darma dapat dikatak sebagai
berikut; manusia dengan makanan dari binatang dan tumbuh-tumbuhan, timbullah
getaran makanan di dalam diri manusia, yang menyebabkan adanya getaran jahat.
Sedangkan cita-cita manusia ialah untuk melaksananakan sifat Allah dalam hidupnya.
Ber ararti dalam hal ini manusia harus bisa melukan sifat Allah dalam hidupnya.
Ajaran Sapta Darma juga, mengajarkan bahwa manusia di dalam hidupnya
sehari-hari jangan menjadi permainana hawa nafsunya sendiri.26
26
38
BAB IV
KONSPSI WAHYU DALAM AJARAN SAPTA DARMA
A. Pengertian Wahyu
Sapta Darma berpendapat bahwa wahyu wewarah tujuh dapat disamakan
denagan wahyu Kristus dalam agama Kristen atau Wahyu Illahi dalam Islam,
karena dapat digambarkan sebagai suatu hal yang diturunkan oleh Tuhan Hyang
Maha Kuasa kepada manusia terpilih setelah melampaui ujian-ujian yang sangat
berat. Dalam buku Sabda Khusus dikatakan bahwa wahyu lazimnya dipakai
untuk anugrah yang bertalian dengan derajat kejiwaan atau kedudukan yang
tingggi.1
Menurut Sapta Darma wahyu Wewarah Sapta Darma diartikan sebagai
pepadang
2
Perlu diketahui Wahyu wewarah Sapta Darma tidak berwujud, tidak pula
sebagai surat keputusaan Wahyu Wewarah Sapta Darma tidak berupa cahaya yang
dapat ditangkapp oleh indera penglihatan, dan tidak pula dapat di tangkap oleh
panca indera lainnya.
atau tuntunan hidup bagi orang Sapta Darma, tetapi berbeda dengan
pepadang yang ada dalam ajaran Pangestu. Sedangkan menurut istilah wahyu
Wewarah Sapta Darma merupakan suatu hal yang diterima oleh manusia yang
terpilih dari Tuhan Yang Maha Esa setelah melalui ujian-ujian yang sangat berat,
atau petunjuk Allah untuk mengatur umat supaya dapat hidup bahagia mulai di
dunia sampai di alam langgeng.
1
R. Soemantri Hardjoprakoso, Wahyu Sasangka Jat, (Jakarta: Proyek Penerbit dan Perpustakaan Pangestu, 1977), h. 7.
2
Pepadang maksudnya adalah terletak dan berada pada penghayatan dan pengamalan ajaran Wahyu Alllah Hyang Maha Kuasa, yang berwujud Simbol Sapta Darma dan Wewarah Tujuh. Lih
Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama