• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saksi dari pihak keluarga dalam gugat cerai menurut hukum islam dan hukum acara perdata: studi kasus putusan pengadilan agama Tangerang perkara nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Saksi dari pihak keluarga dalam gugat cerai menurut hukum islam dan hukum acara perdata: studi kasus putusan pengadilan agama Tangerang perkara nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM GUGAT CERAI

MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM ACARA PERDATA

Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten

Oleh :

IRVAN SYAH

NIM: 105044101370

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSYIAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi yang berjudul “SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM GUGAT CERAI

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA”. Studi Kasus

Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten. Telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) pada Program Studi Akhwal Al-Syakhshiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 24 Juni 2010 Disahkan Oleh

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof.Dr.H.M Amin Suma. SH, MA, MM NIP.1955050 198203 1012 Panitia Ujian Munaqasah

Ketua :Drs.H.A. Basiq Djalil, SH.MA (………) NIP.1950 0306 197603 1001

Sekretaris :Kamarusdiana, S.Ag.MH (………)

NIP.1927 0224 199803 1003

Pembimbing : Drs.H.A. Basiq Djalil, SH.MA (………) NIP.1950 0306 197603 1001

Penguji I : Drs. Odjo Kusnara N. M.Ag (………) NIP.1946 0904 196510 1002

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Fakultas Syriah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan dengan ketemtuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya, atau merupajkan hasil jiplakan dari karya orang lain maka sayabersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dimuka bumi ini, diantara kesempurnaan yang Allah berikan adalah akal pikiran dan kepintaran. Sehingga dapat membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada utusan Allah yang paling mulya yaitu Nabi Muhammad SAW berserta keluarga, sahabat dan para umatnya yang selalu berpegang teguh pada ajaran-ajarannya hingga akhir zaman.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian yang berat, namun pada akhirnya Allah maha tahu dan Allah tidak akan memberikan kesulitan yang tidak disanggupi oleh manusia dan pasti selalu ada jalan keluar dalam suatu masalah, untuk itu tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang memberikan kontribusi dalam memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis guna menyempurnakan skripsi ini.

Dengan demikian dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, S.H, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

iv

3. Segenap dosen di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan tulus telah mentransfer ilmunya kepada penulis selama kuliah di kampus ini, dengan rasa hormat yang teramat dalam semoga ilmu yang telah beliau sampaikan menjadi bermanfaat bagi penulis baik didunia maupun akhirat

4. Ketua pengadilan Agama Dr. Ai Jamilah, M.H, yang telah menyempatkan waktunya untuk dapat berdiskusi dan mengizinkan penulis untuk dapat melakukan penelitian di Pengadilan Agama Kota.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka

6. Ayah dan Ibunda tercinta serta adiku yang tersayang, yang telah memberikan semangat, nasihat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan rahmat dan kasih sayangnya

7. Teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya Jurusan Peradilan Agama Angkatan 2005 yang selalu memberikan motifasi kepada penulis. Akhrnya atas jasa baik moril ataupun materil penulis akhirnya atas jasa baik moril ataupun materil penulis hanya dapat memanjatkan do’a semoga menjadi amal ibdah dan amal jariyah yang selalu mengalir pahalanya.

Jakarta, 9 Juni 2010 M 26 Rabiul Akhir 1431 H

(6)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Kajian Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II SAKSI DALAM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA… 14 A. Pengertian Saksi ... 14

B. Syarat-Syarat Saksi ... 22

C. Dasar Hukum menjadi Saksi ... 28

D. Kewajiban Saksi ... 32

(7)

iv

A. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian

Menurut Hukum Islam ... 36

B. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut Hukum Acara Perdata ... 41

BAB IV ANALISIS YURISPRUDENSI TERHADAP PUTUSAN HAKIM No.221/Pdt.G/2008/PA. TNG A. Profil Pengadilan Agama Kota Tangerang ... 51

B. Duduk Perkara ... 54

C. Saksi Perceraian dari Phak Kluarga ... 58

D. Analisa Penulis ... 61

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67

B. Saran-saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 72

1. Surat Keterangan dari Pengadilan Agama Tangerang ... 73

2. Surat Keterangan Wawancara ... 74

(8)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam suatu proses persidangan yang diatur dalam hukum acara perdata, pembuktian merupakan proses terpenting untuk menguji dan memulai suatu perkara. Hukum pembuktian diperlukan untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum benar-benar telah terjadi. Pembuktian diperlukan untuk menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu kepada para pihak yang berperkara wajib memberikan keterangan disertai dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi.

Menurut ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg dan pasal 1865 BW diatur hal-hal yang terkait dengan asas-asas pembuktian dalam pasal 1865 BW dijelaskan “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya dan menyangkal hak orang lain harus membuktikannya”, adanya hak atau peristiwa ini maka baik

penggugat atau tergugat dibebani pembuktian, terutama penggugat wajib membuktian peristiwa yang diajukan.1

1

(9)

2

Dalam hukum acara perdata mengatur alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku, setiap alat bukti yang diajukan memiliki nilai yang berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga kekuatan hukum yang melekat pada masing-masing alat bukti menjadi berbeda pula.

Hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah di tentukan, menurut ketentuan yang ada dalam pasal 164 HIR, 284 Rbg dan pasal 1866 KUH Perdata ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata diantaranya adalah: Alat bukti tulisan (surat), alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.2

Sesuai dengan ketentuan alat bukti yang disebutkan di atas, selain alat bukti dengan surat yang dapat diajukan oleh para pihak baik penggugat atau tergugat, dalam proses persidangan diperkenankan oleh undang-undang untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan menghadirkan para saksi. Menurut ketentuan pasal 1902 KUH Perdata menjelaskan bahwa membuktikan suatu kejadian dengan saksi sangat diperbolehkan setelah pembuktian dengan surat dilakukan.

Saksi yang didatangkan ke muka persidangan adalah seseorang yang melihat dan mendengar sendiri kejadian atau peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.3

2

Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Universitas Tri Sakti, 2001), Cet. Kelima, h.82.

3

(10)

Menurut hukum acara perdata, mendatangkan seorang saksi dalam suatu persidangan harus berdasarkan inisiatif para pihak dengan cara membawa sendiri saksi-saksinya, selain itu seorang saksi juga dapat didatangkan atas inisiatif hakim, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 139 ayat 2 HIR yang menyebutkan bahwa seorang hakim berhak memanggil para saksi dalam suatu persidangan untuk dapat didengar kesaksiannya.

Menurut ketentuan tersebut diatas menjelaskan bahwa kedudukan alat bukti saksi sangat penting dalam proses persidangan karena alat bukti saksi merupakan alat bukti yang tampak dan dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa hukum yang tidak dicatat melalui alat bukti tulisan. Untuk itu tidaklah cukup jika seorang saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya, akan tetapi ia harus menerangkan bagaimana ia dapat mengetahui peristiwanya dan apa sebab musababnya sampai ia dapat mengetahui peristiwa tersebut.4

Menurut hukum Islam, pembuktian dikenal dengan kesaksian, kesaksian yang ada dalam Al-qur’an, As-sunnah dan menurut para sahabat adalah sebutan bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. Dalam hal ini tidak ada larangan tentang pembuktian dengan saksi, selama firman Allah dan sabda Rasulnya tidak melarang. Seorang saksi harus dapat berlaku adil dan mengharuskan kedua belah pihak yang berperkara untuk dapat mendatangkan dua orang saksi.

4

(11)

4

Dalam kesaksian tidak hanya mengkhususkan pada dua orang saksi saja, boleh lebih dari itu sesuai dengan perkara tertentu. Dalam masalah kesaksian para fuqoha berbeda pendapat mengenai kesaksian kerabat bagi kerabatnya ada yang membolehkan dann berpendapat bahwa kesksian antara keluarga tidak dianggap sebagai penghalang untuk memberikan kesaksian, sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm dan dari kalangan Ahlu Zhahir.5

Sedangkan dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Imam Ahmad secara

khusus melarang kesaksian sedarah yakni seorang bapak terhadap anaknya dan kesaksian anak kepada bapaknya karena bila hal yang demikian diterima kesaksiannya maka sama saja kesaksian itu ditujukan kepada dirinya sendiri.

Sedangkan mayoritas ulama membolehkan kesaksian yang diberikan oleh seorang saudara untuk saudaranya akan tetapi ulama mazhab Maliki berkata” Kesaksian tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan satu syarat,”

dan selanjutnya terjadi perbedaan pendapat mengenai satu syarat tersebut. Sebagian para pengikut mazhab Maliki ada yang berkata,“Dia harus melihat keadilannya.” Sebagian berkata, “Apabila hubungan kekeluargaannya tidak terlalu dekat.”Dan sebagian lagi berkata “Boleh dalam kasus yang

ringan, bukan kasus yang berat.” Yang jelas kesaksian seorang anak terhadap

5

(12)

bapaknya dan kesaksian seorang bapak terhadap anaknya dalam kasus yang tidak menyangkut tuduhan dapat diterima.6

Bila dicermati dalam hukum acara perdata secara normatif kesaksian telah diatur dalam pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun pasal 1909 KUH Perdata, dalam pasal tersebut lebih mengarah kepada kedudukan alat bukti saksi dan syarat-syarat alat bukti saksi secara formil. Pasal-pasal tersebut mengharuskan saksi diluar pihak keluarga sedarah, dan salah satu dari pihak menurut garis lurus, suami atau istri meskipun ketentuannya sudah bercerai, dan juga bekas suami tetap diangap tidak cakap menjadi saksi.

Studi ini menjadi menarik dan penting dilakukan bila dilihat secara empiris dalam perkara perceraian yang ada di Pengadilan Agama banyak ditemukan saksi dari pihak keluarga sedarah yaitu bapak atau ibu kandung dan juga sanak keluarga, sementara itu yurisprudensi hakim yang terdapat dalam putusan No. 221/Pdt.G/2008/P.A TNG membuktikan bahwa dalam putusan tersebut terdapat saksi-saksi dari pihak keluarga yang diantaranya adalah pemohon mengajukan saksi yang memiliki hubungan dengan pemohon sebagai bapak kandung, sedangkan dari pihak termohon saksi yang diajukan tersebut memiliki hubungan sebagai ibu kandung.

Ketentuan pasal pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun 1909 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa syarat sah saksi mengharuskan diluar dari pihak keluarga. Disamping itu menurut Mazhab Syafi’i juga melarang ketentuan saksi dari keluarga.

6

(13)

6

Melihat hal tersebut bahwa antara undang-undang yang berlaku dan telah menjadi pedoman dalam peradilan dengan fakta yang terdapat di Pengadilan Agama melalui putusan No. 221/Pdt.G/2008/P.A TNG saling bertolak belakang, oleh karena itu sangat menarik menurut penulis untuk dapat membuktikan apakah benar terjadi ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku dengan praktek yang ada dipengadilan. Bila benar, apa argumentasi hukum yang dipakai oleh majelis hakim dalam amar putusannya.

Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, maka studi ini memfokuskan pada:

“KESAKSIAN DARI PIHAK KELUARGA DALAM PERCERAIAN

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA”

Dengan melakukan studi analisis yurisprudensi Putusan Nomor 221/Pdt.G/2008/P.A TNG

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.Pembatasan Masalah

Dalam studi inimembatasi penelitian hanya mengenai kedudukan saksi dari pihak keluarga menurut hukum Islam dan hukum acara perdata yang berlaku dipengadilan agama. Dengan melakukan studi analisis terhadap putusan perkara dengan Nomor 221/Pdt.G/2008/P.A Tangerang.

2.Rumusan Masalah

(14)

dalam pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun pasal 1909 KUH Perdata menyatakan bahwa syarat sah saksi dalam perceraian harus diluar dari pihak keluarga, hal yang sama juga disebutkan menurut Mazhab Syafi’I juga

melarang ketentuan saksi dari pihak keluarga.

Akan tetepi pada kenyataannya di Pengadilan Agama Tangerang menghadirkan saksi dari pihak keluarga. Dari rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Kenapa kedudukan saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perkara perceraian dilarang menurut hukum Islam dan hukum acara perdata? b. Bagaimana hakim Pengadilan Agama menerima kesaksian dari pihak

keluarga dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Tangerang pada putusan Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Tng?

c. Bagaimana penyelesaian masalah yang berkaitan dengan saksi keluarga yang ada dalam perceraian di Pengadilan Agama?

C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perkara perceraian menurut hukum Islam dan hukum Acara Perdata 2. Untuk mengetahui alasan hakim di Pengadilan Agama Tangerang

(15)

8

3. Untuk mengetahui sejauh mana penyelesaian masalah yang berkaitan dengan saksi keluarga yang ada dalam perceraian di Pengadilan Agama

D. Kajian Terdahulu

Setelah penulis menelusuri beberapa perpustakan khususnya di perpustakaan syari’ah, perpustakan umum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,dan perpustakaan hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta, penulis dapati belum pernah ada yang mengkaji secara khusus mengenai masalah saksi keluarga dalam perceraian, sedangkan yang penulis dapati adalah beberapa karya tulis berupa skripsi sebagai berikut :

Abdul Aziz, dengan judul skripsi “Kedudukan Saksi Dalam

Pernikahan Tinjauan terhadap Imam Mazhab Syafi’I dan Hanafi”, Universitas

Islam Negri Jakarta: 2007. Skripsi ini hanya menjelaskan tentang kedudukan saksi dalam pernikahan menurut pandangan Imam Mazhab antara Syafi’I dan Hanafi tidak mengarah kepada saksi dari pihak keluarga dalam perkara perceraian.

Ema Fakhriah, dengan judul skripsi “Tinjauan Yuridis versi Al-Qur’an

(16)

Robi Asmara, dengan judul skripsi “Kesaksian Dalam Perkara

Perceraian Dengan Alasan Zina” Universitas Muhamadiyah Jakarta: 2005,

Menjelaskan Saksi-saksi yang ada dalam perkara perceraian dengan alasan perzinahan, dalam hal ini penulis tidak menyinggung mengenai kedudukan saksi dari pihak keluarga akan tetapi lebih kepada saksi perzinahan yang dapat di jadikan alasan untuk melepaskan tali pernikahan.

Afriandi MS, dengan judul skripsi “Relevansi Kedudukan Dua Orang

Saksi Wanita di Pengadilan,” Universitas Islam Negri Jakarta: 2005, Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai kedudukan saksi wanita saja apakah saksi wanita relevan dalam suatu persidangan yang ada di pengadilan.

Hari sasangka, Hukum Pembuktian dalam pertkara Perdata, (Bandung:CV, Mandar Maju, 2005), dalam buku ini hanya menjelaskan beberapa pengertian tentang hukum pembuktian dan prosedur pembuktian dalam proses peradilan perdata

Assadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009) dalam buku ini menjelaskan secara umum tentang Hukum Acara Peradilan Islam dan hukum pembuktian dalam Islam serta interpretasi para ulama mengenai saksi dan persaksian.

(17)

10

keluarga, melalui skripsi ini penulis merasa penting untuk dapat membahas masalah kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perkara cerai.

E.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.7

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan yaitu melalui pendekatan secara yuridis normatif yang menjelaskan tentang asas hukum atau doktrin hukum positif dengan mengadakan pendekatan undang-undang yang telah berlaku dan mempunyai kekuatan hukum tetap8, Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan dan hal lain mengenai saksi keluarga dalam perceraian. Pendekatan kasus, dalam pendekatan kasus dilakukan melalui sumber-sumber data primer berupa putusan hakim pengadilan agama yang mengajukan saksi dari pihak keluarga dan dilakukan dengan cara telaah terhadap kasus-kasus yang

7

Lexy J. Moeloeng M.A Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: PT. Remaja Rosda Karya ), Cet 18.

8

(18)

berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.9

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data diambil dari primer, yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang ada di pengadilan agama. Dalam hal ini terdapat dua jenis data antara lain :

a. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, agenda, jurnal dan putusan pengadilan agama. Dokumen yang digunakan berupa putusan hakim Pengadilan Agama Tangerang dengan perkara Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Tng mengenai permohonan thalak. Dalam putusan ini baik pemohon dan termohon mengajukan saksi dari pihak keluarga yaitu bapak kandung dan ibu kandung.

b. Studi Wawancara

Teknik wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung, Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancara disebut interviewee. Wawancara yang dilakukan

9

(19)

12

dengan seorang hakim Pengadilan Agama Tangerang.10Adapun wawancara yanmg dilakukan dengan tiga orang hakim yaitu sebagai berikut:

a. Drs. H.Shonhaji, SH b. Dr.Ai Jamilah, MH c. Drs. HJ. Suhaimi,MH

4. Teknik Analisa Data

Analisa data yang merupakan proses pencarian dan penyusunan secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan bahan-bahan lain sehingga dapat di pahami dengan mudah dan dapat diinformasikan kepada orang lain. Penulis menggunakan analisa data kualitatif yang bersifat induktif, yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.

5. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan teknik penulisan semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam pedoman skripsi, Tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

10

(20)

F.Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari Lima (5) bab adalah sebagai berikut : Bab I : tentang pendahuluan, dalam pendahuluan ini penulis akan

mengemukakan latar belakang masalah, menguraikan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, Kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : tentang tinjauan umum saksi, dalam bab ini berisi seputar pengertian saksi menurut hukum islam dan hukum acara perdata, syarat-syarat saksi, dasar hukum menjadi saksi, kewajiban saksi. Bab III : tentang kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perceraian

menurut hukum Islam dan Kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perceraian menurut hukum Acara Perdata

Bab IV : tentang profil Pengadilan Agama Kota Tangerang, duduk perkara, saksi perceraian dari pihak keluarga, analisa penulis.

(21)

BAB II

SAKSI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA

A. Pengertian Saksi dan Kesaksian

1. Menurut Hukum Islam

Saksi dalam kamus bahasa Indonesia adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu kejadian yang telah dilihat, didengar, atau mengalami kejadian itu.1 Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan atau mengetahuinya, agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.2

Saksi dalam bahasa arab memakai kata تداهشلا adalah bentuk Jama’ dari اةدهشلا :berarti pemberitahuan oleh seseorang menggunakan lafadzh tertentu mengenai adanya hak yang berada pada tanggungan orang lain.3

Kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan sebutan As-syahadah, menurut bahasa ialah:

a. Pernyataan atau pemberitahuan yang pasti

b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung

Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), cet. h. 202.

3.Aliy As’ad,Fathul Mu’in

(22)

c. Mengetahui sesuatu secara pasti, mengalami dan melihatnya seperti persaksian saya menyaksikan sesuatu artinya saya mengalami dan melihatnya sendiri sesuatu itu maka saya ini sebagai saksi4

Untuk dapat mendefinisikan saksi maka terlebih dahulu harus mengetahui definisi kesaksian. Kesaksian adalah:

Artinya:”Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang

yang benar di pengadilan dengan kesaksian untuk menetapkan

suatu hak terhadap orang lain.”5

Kesaksian dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah manusia yang hidup. Dalam hal kesaksian kebanyakan para ahli hukum Islam (jumhur fuqaha) menyamakan kesaksian (syahadah) itu dengan bayyinah.

4

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.73.

5

Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,

(23)

16

Apabila saksi disamakan dengan bayyinah berarti pembuktian dimuka peradilan Islam, termasuk dimuka peradilan agama hanya mungkin dengan saksi saja, sebab Rasulullah mengatakan “al bayyinah ‘ala al mudda’y wa al yamin ‘ala man ankar”.6 Ada beberapa ahli hukum

Islam yang mengartikan bayyinah itu sebagai sesuatu apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran, melihat pengertian tersebut berarti kesaksian hanya merupakan sebagian dari bayyinah.

Kesaksian merupakan sebuah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar didepan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain, dengan kata lain saksi merupakan alat bukti yang sah yang bertujuan untuk memberitahukan peristiwa yang sebenarnya dengan lafadz “aku bersaksi.”7

Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan suatu kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian dihadapan sidang pengadilan. Kesaksian merupakan keterangan saksi secara lisan dimuka sidang atas apa yang dilihat sendiri oleh saksi tentang duduk perkara yang disengketakan.8

Menurut Fiqih, persaksian itu (supaya menjadi alat pembuktian yang sah), adapun persaksian dalam fiqih dibagi menjadi dua macam:

6

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Perdilan Agama,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet.Ke-9, h.152.

7

Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, h.55.

8

(24)

a. Persaksian atas dasar yakin

Persaksian atas dasar yakin adalah persaksian terhadap suatu perbuatan dan ucapan. Persaksian melalui perbuatan seperti perbuatan zina, ghasab, radha’ dan wiladah. Dalam persaksian tersebut seorang

saksi diharuskan benar-benar melihat orang yang melakukan perbuatan itu atau melihat pelaku perbuatan itu.

Sedangkan persaksian dengan ucapan seperti ucapan dalam aqad, fasakh dan ucapan pada pengakuan. Persaksian ini harus benar-benar melihat orang yang mengucapkannya dan mendengar pula bunyi yang diucapkannya.

b. Persaksian atas dasar dhan atau Istifadhah

Persaksian atas dasar - adalah persaksian terhadap beberapa peristiwa tertentu yang hanya dengan mendengar saja tetapi harus di yakininya dengan syarat persaksiannya tidak disangkal dan bahwa peristiwa itu sudah lama terjadi. 9Ada beberapa peristiwa dalam pembuktian yang menggunakan persaksian istifadhah yaitu:

1) Kafirnya seseorang

2) Cacatnya pribadi seseorang

3) Pengunduran diri seseorang sebagai hakim

9

(25)

18

4) Muslimnya seseorang

5) Adilnya seseorang

6) Wakaf

7) Zakat

8) Nikah

9) Warisan

Dapat diterimanya persaksian dengan istifadhah pada peristiwa-peristiwa tersebut diatas karena peristiwa-peristiwa itu telah lama terjadi, sehingga sukar dibuktikannya. Oleh karena itu persaksian istifadhah tidak dapat diterima pada perisitiwa-peristiwa yang baru terjadi.

Dengan mengetahui arti dari kesaksian di atas, dapat dipahami bahwa kesaksian itu mengenai pemberitahuan dan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimuka pengadilan dalam mengungkapkan suatu kebenaran, tentang apa yang telah disaksikannya dalam suatu peristiwa tertentu. 10

10

(26)

2. Menurut Hukum Acara Perdata

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang sesuatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya suatu peristiwa atau kejadian tersebut.11

Dalam hukum acara perdata, pembuktian dengan saksi sangat penting karena jika dalam suatu masyarakat desa biasanya perbuatan hukum yang dilakukan tidak tertulis, melainkan dengan dihadiri oleh saksi-saksi karena perbuatan hukum yang dilakukan kebanyakan masih menggunakan faham saling mempercayai antara satu sama lain.

Dalam peristiwa yang demikian menjelaskan bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta saja. Akan tetapi jalan yang dapat ditempuh untuk membuktikan suatu perkara ialah dengan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.

Kesaksian menurut hukum acara perdata ialah kepastian yang di berikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oleh orang

11

(27)

20

yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.12

Dalam pasal 1907 KUH Perdata menjelaskan “Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana di ketahuinya hal-hal yang diterangkan”. Pendapat-pendapat maupun pemikiran-pemikiran khusus

yang diperoleh dengan jalan pikiran atau kesimpulan bukan disebut kesaksian.

Kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang diberikan kepada hakim dipersidangan itu berasal dari pihak ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan. Pihak ketiga pada umumnya melihat peristiwa yang bersangkutan lebih objektif dari pada pihak yang berkepentingan sendiri 13

Ditegaskan dalam pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi: “Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang

tidak dikecualikan oleh undang-undang.” Jadi, pada prinsipnya alat bukti saksi menjangkau semua

12

A. Juaini Syukri, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam, (Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1986), h.34.

13

(28)

bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri menentukan sengketa yang hanya dapat dibuktikan dengan akta atau alat bukti tulisan, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.

Seorang saksi diharuskan benar-benar melihat, mendengar, mengetahui atau mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya, bukan berdasarkan cerita dari mulut kemulut atau dari pendengaran ke pendengaran, lalu kemudian saksi menyusun atau mengambil suatu kesimpulan atau memberikan penilaiannya sendiri. Saksi tidak boleh menyimpulkan atas apa yang disaksikannya itu melainkan menerangkan apa adanya menurut aslinya, dan seorang saksi harus menyebutkan sebab ia mengetahui peristiwa tersebut.14

Pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa saksi adalah orang yang mengetahui secara langsung peristiwa dalam suatu perkara, dan kemudian saksi tersebut bertanggung jawab atas kesaksiannya jika suatu saat kesaksiannya itu dibutuhkan. Tugas seorang saksi adalah berkewajiban untuk mengungkapkan kesaksiannya dimuka pengadilan untuk menjelaskan peristiwa yang ia ketahui, karena pada dasarnya kesaksian seorang saksi sangat diperlukan untuk kemaslahatan hukum.

14

(29)

22

B. Syarat-Syarat Saksi

1.Menurut Hukum Islam

Syarat-syarat saksi menurut hukum islam antara lain:

a.Islam

Seluruh para ahli hukum islam telah sepakat bahwa syarat utama untuk menjadi saksi adalah orang Islam. Sesuai dengan firman Allah swt

2

282

Artinya:”..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantara kamu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu senangi…” (Q.S. Al-Baqarah:282)

Dalam ayat tersebut para ulama berbeda pendapat tentang kesaksian orang kafir dalam beberapa masalah tertentu antara lain:

(30)

orang Islam, dikarenakan tidak adanya orang lain yang menyaksikan, mereka berpegang pada firman Allah swt15 :

5

orang kafir terhadap orang Islam secara mutlak. Mereka berpegang kepada sifat saksi yang ditegaskan oleh Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat:282 dan surat at-Thalak ayat:2, yaitu seorang saksi harus adil dan termasuk kedalam golongan Islam yang di ridhai. ”Sedangkan orang kafir tidak termasuk kedalam orang adil, bukan Islam dan orang kafir termasuk golongan orang yang fasik serta mendustakan Allah, apalagi terhadap manusia tentu lebih tidak dapat dipercaya”.16

b.Baligh

Baligh merupakan syarat untuk dapat diterimanya seseorang menjadi saksi, karena kedewasaan membuat seseorang mampu berfikir dan bertindak secara sadar dan baik, dalam segala tindakannya. Allah berfirman:

2

282

Artinya:”….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu)”…(Q.S.Al-Baqarah:2:282)

15

Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, h. 44

16

(31)

24

Pemakaian lafadz لاجرلا menunjukkan pengertian orang yang sudah baligh, bukan anak-anak17.

c.Berakal

Orang gila tidak dapat menjadi saksi, apalagi untuk menerima kesaksian. Karena orang gila adalah orang yang setiap tindakannya tidak dapat dipertimbangkan dengan akal. Disamping itu akal yang sehatpun tidak dapat menerima kesakisan mereka, serta mereka jelas bukan termasuk orang yang disenangi untuk menjadi saksi. 18 Allah berfirman:



Artinya:”Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktyu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua

17

Ibid., h. 48.

18

(32)

orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”…(Q.S. Al -Baqarah:2:282).

d.Adil

Sifat adil dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi saksi sesuai dengan firman Allah swt: 19

65

2

Artinya:”Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”..(Q.S. At-thalak :65:2).

e.Dapat berbicara

Seorang saksi sudah seharusnya orang yang harus dapat berbicara untuk dapat menyampaikan dan menerangkan kepada hakim tentang suatu kejadian yang disaksikannya. Oleh karena itu dapatnya saksi berbicara adalah sangat penting dan merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, dalam hal ini para ulama berbeada pendapat tentang kesaksian orang bisu yang isyaratnya dapat dipahami dan pandai menulis, diantaranya adalah:

1.Mazhab Hambali:

Tidak menerima dengan isyarat walaupun dimengerti, tetapi menerima jika orang tersebut sanggup menulis.

2.Mazhab Maliki:

19

(33)

26

Dapat menerima kesaksian orang bisu yang dapat dimengerti isyaratnya.

3.Mazhab Syafi’i:

Dalam mazhab ini ada beberapa pendapat, pertama dapat menerima dengan isyarat dalam masalah perkawinan dan talak. Ada pula yang tidak menerimanya, oleh karena itu kesaksian orang bisu hanya dapat diterima jika dalam keadaan darurat.

4.Imam Hanafi

Tidak menerima kesaksian orang bisu, baik di mengerti isyaratnya maupun ia pandai menulis.20

f.Baik Ingatan dan Teliti

Kesaksian bagi orang yang daya ingatannya sudah tidak normal, pelupa dan sering salah, maka jelas kesaksian ini diragukan kebenarannya. Sebab hal ini akan mempengaruhi ketelitiannya, baik dalam ingatan maupun dalam mengemukakan kesaksiannya. Oleh karena itu kesaksiannya tidak dapat dipegang dan dipercaya.

g.Tidak ada tuhmah

Yang dimaksud dengan tidak ada tuhmah disini adalah tidak ada sangkaan buruk terhadap maksud baik seseorang dalam mengemukakan kesaksiannya, tuhmah adalah orang yang disangsikan bermaksud baik dalam kesaksian, hal ini disebabkan karena orang tersebut memiliki rasa benci atau sebaliknya sangat cinta terhadap yang disaksikannya, hal ini dapat digambarkan seperti kesaksian seorang ayah terhadap anaknya atau

20

(34)

kesaksian seseorang terhadap musuhnya. Maka kesaksian itu bisa diterima bila tidak ada tuhmah.21

3. Menurut Hukm Acara Perdata

Sedangkan syarat-syarat saksi dalam hukum acara perdata ialah sebagai berikut:

a. Seorang saksi harus dapat bersikap objektif, karena objektifitas merupakan syarat yang harus diberikan oleh seorang saksi didalam persidangan. Objektifitas kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi yaitu:

1. Tidak boleh ada hubungan kekeluargaan dengan salah satu pihak

2. Tidak boleh ada hubungan kerja

3. Mampu bertanggung jawab yakni sudah dewasa, sudah berumur 15 tahun keatas, atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan

b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan dilakukan oleh seorang saksi yaitu:

a. Harus datang di sidang pengadilan

b. Harus menerangkan dibawah sumpah

c. Tidak unus testis nullus testis

21

(35)

28

c. Syarat subjektif/material, merupakan syarat mengenai materi yang harus diterangkan oleh seorang saksi yaitu:

a. Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh seorang saksi

b. Dasar-dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar dan mengalami apa yang diterangkan22

C. Dasar Hukum Menjadi Saksi

1. Dasar Hukum Menjadi Saksi Menurut Hukum Islam

a. Al-Qur’an

4

135

Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” (Q.S. An-Nisa’ : 135)

65

2

Artinya: “…Dan hendaklah kamu tegakan kesaksian itu karena Allah… (Q.S. Ath-Thalak: 2)

5

8

Artinya:” Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil…”(Q.S. Al-Maidah: 8)

22

(36)

2

282

Artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang (lelaki diantaramu). Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli.” (Q.S. Al-Baqarah: 282)

b. As-Sunnah

Sedangkan hadits nabi yang mengulas tentang kesaksian, diantaranya adalah :

Artinya:”Dari Zaid bin Khalid al-juhani, sesungguhnya nabi saw telah bersabda: sukakah kamu kuberitahukan kepadamu saksi-saksi

yang baik? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta untuk mengemukakannya”. (H.R. Muslim)23

23

(37)

30

Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Nabi saw ditanya tentang kesaksian, lalu ia bertanya kepada orang yang bertanya itu: engkau lihatlah matahari?”orang itu menjawab: Ya, kemudian nabi bersabda: ‘seperti itulah: maka jadilah engkau atau tinggalkan sama sekali’(H.R. Baihaqi dan Turmudzi).

Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya nabi saw bersabda: “pembuktian adalah kewajiban penggugat, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang mengingkari”. (H.R. Baihaqi dan

Turmudzi).24

24Shan’ani,

(38)

Dasar hukum memberikan kesaksian adalah fardlu kifayah, jika dua orang yang telah memberikan kesaksian maka semua orang telah gugur kewajibannya. Akan tetapi jika semua orang menolak memberikan kesaksian maka semuanya berdosa karena maksud dari kesaksian itu adalah untuk memelihara hak.

Hukum memberikan kesaksian pada mulanya adalah fardlu kifayah bisa berubah menjadi fardlu ‘ain jika tidak ada lagi orang lain yang mengetahui suatu kasus, kecuali dua orang saja maka memberikan kesaksian adalah wajib bagi kedua orang yang menyaksikannya. Terhadap saksi seperti ini jika keduanya menolak untuk memberikan kesaksian maka mereka boleh dipanggil secara paksa.25

2. Dasar Hukum Menurut Hukum Acara Perdata

Menurut hukum acara perdata ketentuan tentang saksi telah diatur dalam pasal 1895 KUH Perdata “Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal dimana itu tidak dikecualikan oleh

undang-undang”, dalam hal ini terdapat beberapa ketentuan tentang dasar hukum mengenai saksi adalah sebagai berikut :

Dasar hukum saksi dibagi manjadi dua bagian antara lain: - Dasar Hukum Pemeriksaan Saksi :

25

(39)

32

- Pasal 144 – 152 HIR - Pasal 171 – 179 RBg

- Dasar Hukum Keterangan Saksi: - Pasal 168 – 172 HIR

- Pasal 306 – 309 RBg

- Pasal 1895 dan 1902 s/d 1912 BW.

D. Kewajiban Saksi

Kewajiban yang ditetapkan kepada saksi dari pihak keluarga dalam perceraian sama halnya dengan kewajiban saksi pada umumnya, diantaranya adalah:

1. Kewajiban untuk menghadap

Kewajiban untuk menghadap di persidangan pengadilan agama ini dapat disimpulkan dari pasal 140 dan 141 HIR (pasal.166, 167 Rbg), yang menentukan adanya sanksi bagi saksi yang tidak mau datang setelah dipanggil dengan patut.26 Adapun syarat materiil saksi ialah:

a. Menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri, pasal 171 HIR/pasal 308 RBg.

b. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya, pasal 171 (1) HIR/pasal 308 (1) RBg.

26

(40)

c. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri, pasal 171 (2) HIR/pasal 308 (2) RBg.

d. Saling bersesuaian satu sama lain, pasal 170 HIR. e. Tidak bertentangan dengan akal sehat.27

2. Kewajiban untuk bersumpah

Seorang saksi berkewajiban untuk bersumpah sesuai dengan agama yang dianut yang menjadi kepercayaanya, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 147 HIR, 175 Rbg,1991 BW jo pasal. 4 S.1920 no. 69. Oleh karena sumpah ini diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi janji untuk menerangkan yang sebenarnya, maka sumpah ini disebut juga sumpah promissoir, lain dengan sumpah sebagai alat bukti yang disebut sumpah

confirmatoir, sumpah oleh saksi ini harus diucapkan dihadapan kedua

belah pihak.

Bagi saksi yang beragama Islam rumusan atau lafal sumpah itu berbunyi sebagai berikut :

“Demi Allah, Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.

Bagi saksi yang beragama Kristen, dengan berdiri sambil mengangkat tangan kananya sampai setinggi telinga serta merentangkan jari telunjuk dari jari tengahnya (pasal. 1 S. 1920 no. 69) mengucapkan sumpah sebagai berikut :

“Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.

3. Kewajiban memberikan keterangan

Seorang saksi yang telah bersumpah berkewajiban memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan ia alami. Dan jika

27

(41)

34

ia enggan memberikan keterangan, maka atas permintaan dan biaya pihak yang berkepentingan, ketua pengadilan dapat memberi perintah, agar saksi itu disandera sampai saksi itu memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan pasal 148 HIR.28

Dari penjelasan yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara, pasal 139 ayat 1 HIR dan Psal 165 ayat 1 Rbg, baik pihak formil maupun materil tidak boleh didengar kesaksiannya sebagai saksi.

Sedangkan seorang saksi yang dapat didengar kesaksiannya dan dapat diterima dipengadilan untuk menjadi saksi, yaitu seorang saksi harus dapat bersikap objektif atau tidak boleh ada ikatan kekeluargaan , seorang saksi harus memenuhi syarat formil atau materil di pengadilan.

28

(42)

35

PERDATA DAN HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Saksi dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut

Hukum Acara Perdata

Dalam perkara perdata terdapat beberapa ketentuan tentang saksi yang telah diatur dalam pasal 139-143 HIR, 165-170 RBg dan pasal 1909 KUH Perdata. Pada prinsipnya menganut sistem bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah suatu kewajiban hukum, akan tetapi tidak bersifat memaksa (imperatif) melainkan voulentary pada peristiwa-peristiwa tertentu.

Seorang saksi dikatakan bersifat imperatif artinya setiap orang tidak boleh dipaksa wajib menjadi saksi, akan tetapi tergantung kepada kerelaan. Prinsip ini hanya mutlak dalam dua hal yaitu:

1. Saksi Tidak Relevan Meneguhkan Dalil atau Bantahan

Ketentuan pasal 139 ayat (1). Jika saksi yang didengar keterangannya tidak penting atau tidak berbobot untuk meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, kepada saksi tidak berlaku kewajiban hukum untuk menjadi saksi. Oleh karena itu saksi saksi tidak dapat dipaksa untuk hadir dipersidangan

(43)

36

secara objektif dan realistis. Tidak boleh tergesa-gesa menyatakan saksi yang diajukan penggugat atau tergugat untuk dihadirkan dengan paksa melalui panggilan pengadilan.1

2. Saksi Berdomisili di Luar Wilayah Hukum Pengadilan Yang Memeriksa

Apabila saksi yang bersangkutan berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan yang memeriksa, hal ini dapat di simpulkan bahwa, menjadi saksi dalam perkara perdata merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif relatif, dalam arti apabila di penuhi syarat wajib, maka wajib pula hukumnya yaitu apabila saksi berdomisili diwilayah hukum pengadilan yang memeriksa perkara.2

Alat bukti saksi sangat luas jagkauannya hampir meliputi semua bidang perdata, hanya dalam hal-hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak diperbolehkan, seperti melarang pembuktian dengan saksi terhadap isi suatu akta, rasionya adalah pada umumnya keterangan saksi dalam hal ini kurang dipercaya karena sering terjadi kebohongan.

Banyak yang menggambarkan bahwa keterangan alat bukti saksi cenderung tidak dapat di percaya dengan dasar petimbangan :

a. Saksi cenderung berbohong, baik sengaja atau tidak.

b. Suka mendramatisir, menambah atau mengurangi kejadian yang sebenarnya.

c. Ingatan manusia terhadap suatu peristiwa tidak selamanya akurat.

1

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Kelima, h. 633.

2

(44)

d. Sering mempergunakan emosi, baik pada saat menyaksikan peristiwa maupun pada saat memberikan keterangan pada persidangan, sehingga kemampuan untuk menjelaskan sesuatu tidak proposional lagi.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka peran seorang hakim sangat diperlukan untuk dapat menyaring kesaksian seorang saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah, karena tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh di nilai dan dijadikan sebagai alat bukti, yaitu sebagai berikut:

a. Pendapat Pribadi Saksi

Pendapat pribadi atau pendapat khusus seorang saksi adalah tidak dibenarkan sebagai alat bukti keterangan saksi, oleh karena itu harus dikeluarkan atau dikesampingkan dari penilaian pembuktian, jika hal ini dilarang berarti hakim salah menerapkan hukum pembuktian dan putusan akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.

b. Dugaan Saksi

(45)

38

c. Kesimpulan Pendapat Saksi

Memberikan keterangan yang berdasarkan suatu kesimpulan dari apa yang ia saksikan dalam suatu peristiwa bisa mengakibatkan saksi mengambil kedudukan dan fungsi serta kewenangan hakim, selain dari itu keterangan saksi akan melenceng dari garis objektif kearah pendapat yang subjektif, kemudian kesimpulan dari seseorang tidak selama bersifat benar akan tetapi sebaliknya bisa keliru, sehingga tidak memberikan suatu kesaksian.

d. Perasaan Pribadi Saksi

Keterangan yang diberikan berdasarkan perasaan sangat cenderung dipengaruhi dengan kata hati sanubari atau getaran jiwa seseorang, sehingga yang menonjol dalam keterengan yang diberikan berdasarkan perasaan maka kehilangan makna fungsi panca indera penglihatan dan pendengaran.

e. Kesan Pribadi Saksi

(46)

yang berisikan kesan atas peristiwa yang disaksiannya juga harus disingkirkan sebagai alat bukti.3

Melihat pentingnya saksi dalam perkara perdata, maka di dalam hukum acara perdata secara khusus mengatur tentang pembuktian dengan alat bukti saksi berdasarkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menjadi saksi, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 139-142 HIR, mengenai tata cara pelaksanaan dan syarat-syarat sah menjadi saksi, adalah sebagai berikut:

1. Syarat Formil

Dalam syarat formil, menempatkan saksi berada pada kedudukan seseorang dalam memberikan kesaksian sebagai kewajiban hukum adalah sebagai berikut:

a. Seorang saksi berumur 15 tahun keatas. b. Sehat akalnya.

c. Tidak hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus.

d. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai (pasal 144(1) HIR).

e. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144(2) HIR, kecuali undang menentukan lain.

f. Menghadap dipersidangan (pasal 141(2) HIR).

g. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR).

h. Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali mengenai perzinahan.

i. Dipanggil masuk keruang sidang satu demi satu (pasal 144 (i) HIR).

3

(47)

40

j. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).4

2. Syarat Meteril

Dalam syarat materil yang akan dijelaskan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Jadi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka mengakibatkan keterangan saksi tersebut mengandung cacat materil dan tidak sah dijadikan alat bukti, dalam hal ini syarat materil yang melekat pada alat bukti saksi antara lain:

a. Keterangan seorang saksi saja tidak dapat diterima sebagai alat bukti saksi, ditegaskan dalam pasal 169 HIR, Pasal 1905 KUH Perdata. b. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan.

c. Hal-hal yang tidak sah menjadi alat bukti saksi, seperti pendapat khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau alasan pribadi saksi, bukan termasuk kesaksian. Hal ini diatur dalam pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2) RBg dan pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata. d. Saling Persesuaian, saling bersesuaian antara keterangan saksi yang

satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Hal ini diatur dalam pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata.

Berdasarkan syarat-syarat saksi di atas menjelaskan bahwa kedudukan saksi dari pihak keluarga tidak dapat diterima kesaksiannya, walaupun dalam konteks yang ada di atas tidak menjelaskan saksi-saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perceraian, yang tidak dapat didengar kesaksiannya. Dan sesuai dengan ketentuan pasal 1909 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa

4

Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan

(48)

saksi keluarga tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi karena dianggap tidak dapat bersikap objektif.

Kedudukan saksi dari pihak keluarga juga ditegaskan dalam pasal 145 HIR dan Pasal 172 RBg bahwa orang yang dilarang didengar sebagai saksi telah diatur secara enumeratif bahwa kelompok saksi yang tidak cakap menjadi saksi secara absolut terdiri dari:

1. Keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus 2. Suami atau istri dianggap tidak cakap menjadi saksi meskipun sudah

bercerai.

Hal ini sangat jelas menurut undang-undang yang berlaku dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, serta menjadi pedoman dalam suatu majelis persidangan yang ada dipengadilan agama maupun pengadilan negeri, untuk tidak menerima saksi dari pihak keluarga dalam perkara berdata pada umumnya.5

Apabila saksi telah memenuhi syarat yang disebutkan di atas maka seorang saksi mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim dalam hal ini bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan hati nuraninya. Hakim dalam hal ini tidak boleh terikat dengan keterangan saksi artinya hakim dapat menyingkirkannya asal di pertimbangkan dengan argumentasi yang kuat.

Dalam hal menimbang harga kesaksian seorang saksi, hakim harus menumpahkan sepenuhnya tentang pemufakatan dari saksi-saksi, mengenai cocoknya kesaksian-kesaksian dalam perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi untuk memberikan keterangan secara jelas, tentang perlakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada

5

(49)

42

umumnya atas segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak.

Karena dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal, yang harus diperhatikan oleh hakim, dalam pasal 172 HIR (pasal 309 Rbg, 1908 BW) menentukan, bahwa dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, hakim harus benar-benar melihat tindak tanduk seorang saksi baik dari cara hidup atau segala hal yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya saksi dipercaya 6

Hakim dalam hal ini tidak dapat dipaksa untuk mempercayai saksi sebab mungkin saja terjadi saksi palsu. Oleh karena itu dalam mendengarkan kesaksian para saksi, hakim harus berhati-hati benar dan memperhatikan benar-benar apakah ada kesesuaian antara keterangan para saksi dengan isi perkara yang disengketakan, bagaimana sifat-sifat dan adat istiadat saksi, dan ada hubungan apakah saksi dengan yang disaksikan.7

Agar memperoleh keterangan yang relevan bagi hukum dalam memeriksa saksi, hakim harus menggunakan cara yang tepat. Lazimnya seorang hakim membiarkan seorang saksi untuk bercerita dari awal hingga akhir, cara saksi bercerita dengan bebas ini sering membuang waktu, karena tidak jarang cerita yang tidak relevan bagi hukum diceritakan juga oleh saksi. Hal ini terlihat kurang efektif bila digunakan oleh para hakim dalam mencari keterangan para saksi.

Adapun cara lain yang lebih efektif adalah cara yang terpimpin. Dalam hal ini seorang hakim berperan aktif untuk dapat membedakan peristiwa mana yang relevan dan mana yang tidak, sudah siap dengan pertanyaan yang disusunnya secara sistematis dan kemudian saksi tinggal menjawab

6

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1977), cet. Pertama, h. 168.

7

(50)

pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cara ini akan menghemat waktu dan akan lebih tepat mengenai sasarannya.8

Sesuai dengan ketentuan pasal 145 HIR kedudukan saksi dari pihak keluarga tidak dapat didengar, begitu juga dengan keluarga semenda yang dimaksud dengan keluarga semenda adalah mereka yang tertarik karena ikatan tali pernikahan. Adapun alasan bahwa saksi dari pihak keluarga tidak dapat didengar, karena dikhawatirkan mereka akan memberikan keterangan yang palsu di persidangan.

Karena terpaksa disebabkan oleh hubungan keluarga yang dekat. Anak-anak yang belum berumur 15 tahun juga dilarang untuk didengar kesaksiannya, kecuali jika mereka telah menikah, karena dikhawatirkan mereka akan mengkhayal dan juga orang gila dilarang didengar kesaksiannya karena keterangannya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara keseluruhan.

Akan tetapi dalam hal ini keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi, dalam perkara-perkara mengenai kedudukan sipil dari pihak yang bersangkutan atau mengenai perjanjian kerja. Pada ayat (4) pasal 145 HIR, menyebutkan bahwa keterangan mereka hanya boleh dipandang sebagai penjelasan saja, artinya bahwa keterangan mereka itu tidak merupakan bukti.

Orang-orang yang tersebut pada ayat (1) 145 HIR di atas, diberi hak oleh undang-undang untuk mengundurkan diri, untuk tidak mau didengar sebagai saksi, karena dikhawatirkan kalau nanti terjadi hubungan buruk dengan pihak yang dirugikan yaitu dengan saudara saksi sendiri.

Apabila mereka terpaksa harus memberikan keterangan, karena kalau tidak memberikan keterangan maka mereka akan disanderakan, dan apabila mereka berani memberikan keterangan yang palsu yang menguntungkan saudaranya, maka mereka dapat dituntut karena sumpah palsu. Oleh karena itu

8

(51)

44

berdasarkan keberatan-keberatan tersebut, saksi boleh menentukan sendiri, apakah ia mau didengar sebagai saksi atau tidak.

Dalam pasal 146 HIR menyebutkan golongan orang-orang yang di perkenankan untuk mengundurkan diri. Hal ini bukan berarti hakim menolak mereka untuk memberikan kesaksian akan tetapi saksi sendiri yang oleh undang-undang diberi hak untuk tidak mau didengar di bawah sumpah.9

Adapun orang-orang yang diperbolehkan mengundurkan diri antara lain:

1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dan ipar laki-laki serta perempuan dari salah satu pihak.

2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, saudara laki-laki, dan perempuan dari laki atau istri salah satu pihak.

3. Semua orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan untuk menyimpan rahasia tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.

Saksi yang datang kepengadilan, sebelum memberikan keterangan terlebih dahulu mengangkat sumpah menurut agamanya masing-masing dihadapan hakim yang memeriksa perkara. Adapun maksud dari sumpah tersebut adalah diharapkan dengan bersumpah saksi akan memberikan keterangan yang benar sesuai dengan apa yang dilihat dan didengarnya sendiri.

Saksi yang bersumpah tentunya tidak main-main dengan sumpahnya karena apa yang telah diterangkan sudah mengatasnamakan tuhannya, sehingga apabila ia tidak memberikan keterangan yang benar maka akan mendapatkan kutukan dari tuhannya dan tidak hanya itu saksi juga dapat dituntut dalam perkara pidana berdasarkan pasal 242 KUHP yang ancaman hukumnya paling lama tujuh tahun, karena melakukan keterangan palsu dibawah sumpah.10

9

Retno Wulan Sutanto dan Iskandar oerip kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), cet. Pertama, h.58.

10

(52)

B. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut

Hukum Islam

Dengan terbentuknya KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang menjadi salah satu landasan hukum dalam suatu persidangan yang ada di Pengadilan Agama, sedikit banyak telah memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan para hakim dalam menyelesaikan perkara agar tidak terjadi perbedaan dalam putusan pengadilan untuk kasus-kasus yang sama.

Pada dasarnya KHI merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, oleh sebab itu tidak terlepas dari misi yang diemban oleh undang-undang perkawinan tersebut, walaupun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam, akan tetapi KHI tersebut mutlak harus dapat memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam.11

Sebagai acuan dan merupakan pedoman bagi masyarakat muslim khususnya, KHI telah banyak mengatur terutama dalam masalah perkawinan, kewarisan, perwakafan dan didalamnya meliputi perceraian.12Akan tetapi mengenai masalah kedudukan saksi dalam perceraian tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perceraian banyak ditemukan dalam literatur-literatur fiqih dan hukum Islam lain yang merujuk pada Al-qur’an atau Al-hadits.

Syekh Abu Syuja’ berkata :

“Apabila penuduh disertai saksi, maka hakim mendengarkan saksi itu dan memutuskan hukum untuk penuduh dengan berdasarkan saksi tersebut. Kalau tidak ada saksi, maka perkataan yang dibenarkan adalah perkataan orang yang tertuduh.”

11

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-2, h.56.

12

(53)

46

Sedangkan menurut riwayat Al-Baihaqi:

Artinya:”…Tetapi penuduh harus disertai saksi, sedangkan orang yang tertuduh harus bersumpah apabila membela diri.”(H.R Baihaki)

Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa harus ada saksi yang menguatkan penuduh, maksudnya adalah karena saksi itu sebagai dasar yang kuat untuk menguatkan tuduhan, karena penuduh itu sendiri adalah lemah, karena apa yang ia ucapkan bisa berbeda dengan kenyataan, lalu dasar yang kuat yaitu adanya saksi adalah untuk memperkuat lemahnya penuduh. Sedangkan sumpah adalah alasan yang lemah.13

Kedudukan saksi dalam hukum Islam terlihat sangat penting untuk membuktikan suatu kejadian dalam sebuah peristiwa. Saksi sangat diperlukan untuk memperkuat lemahnya penuduh dan lemahnya sumpah. Dalam hukum Islam juga diatur tentang kriteria saksi yang dapat diterima kesaksiannya

Dalam hal ini para fuqaha menjelaskan tentang kesaksian yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya dan kesaksian seorang ayah terhadap anaknya bahwa kesaksian tersebut dapat ditolak, begitu pula kesaksian yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya dan kesaksian seorang anak terhadap ibunya.

Termasuk yang menjadi persoalan para fuqoha adalah mengenai keraguan akan i’tikad baik terhadap kesaksian seseorang, yaitu kesaksian suami istri antara yang satu dengan yang lainnya. Imam Malik dan Abu Hanifah menolak kesaksian suami terhadap istri dan kesaksian istri terhadap suaminya.

Selanjutnya kesaksian seseorang terhadap saudaranya, termasuk persoalan yang disepakati oleh para fuqaha adalah diterimanya i’tikad baik dalam kesaksian seseorang tersebut, jika kesaksiannya tidak bermaksud untuk

13

(54)

menutup-nutupi cela dan selama ia tidak bermaksud merayu saudaranya dalam rangka memperoleh kebaikan hubungan.14

Imam Syafi’i berkata,”Seandainya kesaksian seorang bapak kepada anaknya itu diterima, maka sama saja kesaksian itu ditujukan kepada dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda, „Sesungguhnya Fatimah itu bagian dariku, sehingga sesuatu yang meragukanku akan meragukannya, dan sesuatu yang

menyakitiku akan menyakitinya’. Imam Syafi’i juga berkata: “Anak itu adalah bagian dari bapak, maka seakan-akan seorang bapak itu mempersaksikan sesuatu yang menjadi bagian dirinya.”

Az-Zuhri berkata dari Urwah, dari Aisyah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak boleh diterima kesaksian seorang lelaki pengkhianat, kesaksian seorang wanita pengkhianat, kesaksian orang yang tertuduh,

dihadapan keluarga dan kerabatnya, dan kesaksian orang yang dikenai hukuman cambuk.”

Mereka berkata, “Karena diantara kesaksiannya itu ada unsur kebencian dan bagian (keturunan), maka kesaksiannya itu tidak bisa diterima, sebagaimana tidak diperbolehkan memberikan zakat kepadanya sehingga pembunuhan yang dilakukan oleh anaknya dapat dianggap sebagai fitnah.dan tanggungan denda utang anak tidak bisa dibebankan kepada bapaknya, serta bapak tidak bisa dituntut dan ditahan karena perbuatan anaknya.

Mereka berpedoman kepada Firman Allah yang berbunyi:

24

61

Artinya:’Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, tidak pula bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu’. (Qs. An-Nur (24):61)

14

(55)

48

Dalam ayat tersebut Allah tidak menyebutkan rumah anak-anak, karena hal itu sudah masuk di dalam penyebutan rumah-rumah mereka sendiri, sehingga dianggap cukup dengan menyebutkan rumah-rumah mereka tanpa harus menyebutkan rumah anak-anak.

Allah SWT berfirman:

43

15

Artinya:”Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian dari-Nya’.(Qs. Az-Zuhruf (43):15)

Dalam ayat tersebut di atas menjelaskan yakni seorang anak adalah bagian, sehingga kesaksian seseorang tidak dapat diterima dari bagiannya.

Mayoritas ulama membolehkan kesaksian yang diberikan oleh seorang saudara untuk saudaranya, pendapat ini terdapat dalam kitab Tahdzib dari riwayat Ibnu Al-Qasim, dari malik. Sebagian ulama mazhab Maliki berkata,”Kesaksian tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan 1 syarat.”

Selanjutnya terjadi perbedaan pendapat diantara mereka dalam menentukan syarat tersebut. Sebagian berkata, “Dia harus terlihat keadilannya.” Sebagian berkata,”Apabila hubungan kekeluargaannya tidak terlalu dekat.”Asyhab berkata, “Boleh dalam kasus yang ringan, bukan kasus yang berat.”Apabila ia menampakan keadilannya maka ia boleh memberikan kesaksian dalam kasus yang berat. Sebagian lagi berkata, “Kesaksiannya dapat diterima secara mutlak kecuali dalam kasus yang mengandung tuduhan, seperti kesaksian seorang saksi yang mencari kemuliaan dan kehormatan.”

(56)

bapaknya dapat diterima, sedangkan kesaksian bapak untuk anaknya tidak dapat diterima.15

Disamping itu kesaksian seseorang yang tidak boleh dijadikan dasar memutuskan perkara, dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saw sebagai berikut:

Artinya: Dari Abdullah bin Ummar r.a beliau berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak diterima kesaksian seseorang yang berkhianat, baik pria maupun wanita, tidak boleh juga diterima kesaksian orang yang menyakiti saudaranya, juga tidak diterima kesaksian seorang yang mencukupkan dirinya untuk keluarga rumah, yaitu orang diberi nafkah oleh keluarga sebuah rumah”. (Hr. Ahmad dan Abu Daud).16 Khiyanat yang dimaksud dalam hadits tersebut oleh Abu Ubaid dijelaskan, yaitu khiyanat yang berkenaan dengan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Dalam perkataan “dan orang yang menyakiti saudaranya” itu, menunjukan bahwa permusuhan itu menjadikan penghalang bagi diterimanya suatu kesaksian, karena dengan permusuhan demi membela agama tidaklah merupakan penghalang.

Selanjutnya yang dimaksud “orang yang mencukupkan dirinya untuk keluarga sebuah rumah” yaitu pelayan rumah tangga, kesaksiannya tidak boleh diterima, karena besar kemungkinan kesaksiannya itu adalah untuk kepentingan pribadi (ada interes pribadi).

Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang masalah kesaksian seorang anak atas ayahnya dan sebaliknya, juga kesaksian suami terhadap istrinya dan sebaliknya. Karena kesaksian yang demikian itu besar

15

Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2007), cet. Kedua, h. 99.

16

(57)

50

kemungkinan terjadi pembelaan, disebabkan pada umumnya dalam hal tersebut terjadi suatu jalinan kecintaan (mahabah).17

17

Referensi

Dokumen terkait

Distribusi senyawaan golongan hopana dan oleanana dapat dilihat pada m/z 191 untuk fraksi saturat bercabang dan siklik, Gambar 4.16 - 4.19 merupakan parsial

Dengan tampilnya moral Kristen, kebudayaan- kebudayaan lain dicap sebagai barbar, akan tetapi hal inilah yang kemudian malah mengantarkan Eropa masuk ke dalam

dipilih adalah karyawan yang membuat laporan keuaangan perusahaan dan dapat menjelaskan mengenai laporan keuangan yang dibuatnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelaku pariwisata dan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat dalam mengambil kebijakan yang dianggap

Komponen DSS Subsystems: Data management Dikelola oleh DBMS Model management Dikelola oleh MBMS User interface. Knowledge Management and organizational

Persentase hidup spermatozoa ayam Kampung setelah pengenceran pada perlakuan jenis krioprotektan DMF (84,81%) hasilnya sama baik dibandingkan dengan DMA (78,50%) dan

Pada setiap stasiun, nilai nitrat dan posfat masing- masing memiliki nilai yang sama (0,07 mg/l dan 0,03 mg/l) tidak ditandai oleh tingginya kelimpahan sel

(4) DAK Bidang Jalan dialokasikan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan fiskal rendah atau sedang dalam rangka mendanai kegiatan pemeliharaan berkala, peningkatan dan