• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Pada jaman globalisasi saat ini, semakin banyak macam cara untuk melakukan suatu transaksi baik itu jual beli, sewa menyewa ataupun kredit. Salah satu cara yang sering dilakukan masyarakat untuk bertransaksi adalah dengan cara kredit atau seseorang meminjam uang kepada orang lain. Pada dunia usaha seringkali ditemui kegiatan kredit. Orang yang satu meminjam kepada orang lainnya.

Peminjam disebut sebagai debitur, yang meminjamkan dana disebut kreditur. Dana disini kaitannya erat dengan uang. Kegiatan pinjam meminjam dalam dunia usaha adalah kegiatan yang sering dan pasti dilakukan oleh suatu badan usaha. Kegiatan pinjam meminjam mempunyai fungsi sebagai tambahan dana atau modal guna memperlancar kegiatan usaha badan usaha tersebut. sangat banyak badan usaha yang membutuhkan dana atau modal yang besar guna lancarnya operasional perusahaannya tersebut. Perusahaan

Kedudukan Hukum Penjamin (

Personal Guarantee

) dengan Pembebanan

Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas

(Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

(

The Legal Position With The Imposition Of Motgage Guarantor And Rights

Liability Incorporated Company Due To Bankruptcy Law)

(Study of Commercial Court Number: 31/Pailit/PN.Niaga/Sby

)

Tantra Agistya Poetra, Iswi Hariyani (DPU), Dyah Ochtorina Susanti (DPA) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ)

Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail: Kopongparonpius@yahoo.co.id

Abstrak

Kepailitan yang diatur dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004, berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Debitur dalam bahasan ini adalah Perseroan Terbatas. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. Utang-piutang ini sendiri terkait erat dengan perjanjian pemberian kredit, di mana dalam memberikan pinjaman kreditur mensyaratkan kepada debitur adanya jaminan untuk pelunasan utangnya. Jaminan itu dapat berupa jaminan perorangan/pribadi (personal guarantee), selain itu juga jaminan hak kebendaan yang sering berupa tanah dengan pembebanan hak tanggungan. Penjamin sebagai pihak yang memberikan jaminan merupakan pihak yang dapat langsung diminta pertanggungjawabannya apabila debitur tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Bahwa penjamin wajib memenuhi segala kewajiban debitur terhadap kreditur yang berlaku saat debitur lalai atau cidera janji.

Kata Kunci: Debitur, Kepailitan, Kreditur, Penjamin.

Abstract

Set forth in theBankruptcy Law number 37 In 2004, linked to the inability to pay of a (debtor) for debts that have matured. Debtor in this discussion is the Incorporated Company. Inability must be accompanied by an explicit action to initiate, whether done voluntarily by the debtor himself, or at the request of a third party (outside the debtor), a bankruptcy petition to the Commercial Court. Debts is itself closely related to the credit agreement, which requires lenders to provide loans to borrowers a guarantee for repayment of debts. Assurance can be guaranteed individual / personal (personal guarantee), but it also guarantees the right material is often in the form of mortgage of land with a load. Guarantor as a party is a party that guarantees can be directly held accountable if the debtor can no longer meet its obligations. That the guarantor shall fulfill all obligations of the debtor to the creditor that applies when the debtor negligent or default.

(2)

karena membutuhkan dana atau modal yang besar, sering kali menggunakan cara dengan meminjam dana atau modal dari pihak ketiga. Dengan meminjam dana dari pihak ketiga diharapkan perusahaan dapat berkembang pesat dengan maksimal dalam waktu yang singkat. Apabila dilihat dari sisi kreditur atau pihak ketiga, mengapa pihak ketiga ingin memberikan modalnya kepada debitur? Hal itu disebabkan karena adanya timbal balik jasa dimana pihak ketiga atau kreditur bisa mendapatkan pengembalian dana itu beserta tambahan bunganya dari debitur. Sehingga dari hal yang saling menguntungkan baik pada debitur dan kreditur terciptalah hubungan hukum dari suatu perbuatan pinjam meminjam tersebut. Prakteknya, yang terjadi tidak hanya akhir positif antara kreditur dan debitur, tetapi juga bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atau bersifat merugikan salah satu pihak, berupa wanprestasi. Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, sebaliknya seorang dianggap wanprestasi apabila: a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau d) Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya [1].

Secara ekonomi, pihak kreditur disini menjadi pihak yang dirugikan. Terkait hal ini, hukum kepailitan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Pada dunia usaha, apabila pihak debitur tidak mampu menyelesaikan utangnya, maka debitur dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Bisa juga debitur maupun kreditur mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pihak yang dinyatakan lalai dan tidak mampu membayar kreditnya dengan mengajukannya kepada pengadilan niaga. Pengertian dari kepailitan sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dalam jurnal ini ditulis dengan Undang-Undang Kepailitan) adalah: Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Harta pailit akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan kreditur. Sedangkan tindakan pailit memiliki arti yaitu suatu sitaan umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Prinsip kepailitan tersebut adalah merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya dalam jurnal ini ditulis dengan KUH Perdata), yaitu kebendaan milik debitur menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditur yang dibagi menurut prinsip keseimbangan atau “Pari Pasu Prorata Parte” [2]. Berdasar pasal-pasal diatas sangat jelas bahwa apabila debitur tidak mampu membayar piutangnya atau wanprestasi maka kreditur diberikan kewenangan untuk melakukan pelelangan terhadap harta benda debitur, kemudian hasil dari pelelangan tersebut dibagi secara rata terhadap setiap kreditur yang terkait.

Sering dijumpai pihak debitur tidak mampu ataupun

lalai terhadap utangnya kepada kreditur sehingga terjadi kredit macet yang kemudian dapat merugikan pihak kreditur. Kelalaian dalam kewajiban pembayaran utang tersebut terkadang terjadi karena kesengajaan atau kenakalan dari pihak debitur yang tidak ingin membayar utangnya tersebut dan kadang pula terjadi karena keadaan atau situasi yang sulit yang sedang dialami oleh debitur. Guna mengatasi kondisi tersebut hukum telah menyediakan upaya kepada kreditur untuk mempertahankan hak-haknya sebagai kreditur agar tidak rugi.Adapun cara pengajuan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga, dengan dasar hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dalam jurnal ini ditulis dengan Undang-Undang Kepailitan). Pada saat perjanjian utang, pihak debitur juga sering menggunakan suatu jaminan untuk menjamin utang dari debitur itu sendiri. Di dalam jaminan itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus.

Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan “Segala kebendaan si berpiutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Berdasarkan aturan ini dapat disimpulkan bahwa semua harta benda debitur dapat dijadikan jaminan utang, meskipun dalam perjanjian utang piutang tersebut tidak diikuti dengan perjanjian jaminan. Kemudian ada juga jaminan khusus, terdiri dari dua macam, yaitu: (a) Jaminan perorangan dan (b) jaminan kebendaan [3]. Pada jaminan perorangan yaitu pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang dimana orang ini sendiri tidak memenuhinya. Selain jaminan perorangan ada juga jaminan kebendaan yang meliputi gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek dan resi gudang. Penulis dalam jurnal ini akan membahas tentang adanya dua jaminan yang diterapkan dalam 1 (satu) perkara pailit yang tertuang dalam putusan Pailit Nomor: 31/Pailit/2011/PN.Niaga., yaitu jaminan perorangan (personal guarantee) dan jaminan kebendaan berupa hak tanggungan. Beserta akibat hukum kepailitan terhadap Perseroan Terbatas. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis tentang kedudukan hukum seorang penjamin yang masih dibebani hak tanggungan sebagai penjamin utang pihak debitur kepada pihak kreditur yang mana si debitur, yaitu Perseroan Terbatas telah diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk jurnal dengan judul: Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby).

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam jurnal ini adalah: 1) Apa status hukum kedudukan penjamin (personal guarantee) dengan pembebanan hak tanggungan di dalam perkara pailit?, 2) Apa akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas? , 3) Apa ratio decidendi hakim dalam Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby tentang pembuktian sederhana sebagai syarat permohonan pailit?

(3)

dalam perkara pailit. 2) Mengkaji dan menganalisis akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas. 3) Mengkaji dan menganalisis ratio decidendi hakim dalam Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby. tentang pembuktian sederhana sebagai syarat permohonan pailit.

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penulisan atau penyusunan karya tulis yang bersifat ilmiah agar pengkajian dan penganalisaan terhadap objek studi dapat dilakukan dengan benar. Penggunaan metode dalam penulisan karya ilmiah dapat digunakan untuk menggali, mengolah dan merumuskan bahan-bahan hukum yang diperoleh sehingga mendapat kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang dihadapi, sehingga pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, suatu metode digunakan agar dalam jurnal ini dapat mendekati kesempurnaan yang bersifat sistematik dalam penulisannya.

Tipe penelitian yang digunakan dalam jurnal ini bersifat yuridis normatif. Peter Mahmud Marzuki menuliskan tentang yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi. Peter Mahmud Marzuki menuliskan pula tentang penelitian hukum adalah suatu proses untuk menentukan aturan hukum, aturan-aturan hukum maupun doktrin-doktin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi [4].

Pembahasan

1. Kedudukan Hukum Penjamin dengan Pembebanan Hak Tanggungan di dalam Perkara Pailit.

Perkara kepailitan semakin menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan perkara perdata dalam bidang bisnis. Kewajiban pembayaran/pelunasan utang yang tidak dibayar-bayar menjadi alasan mengapa seringkali pihak kreditur menggunakan upaya penyelesaian terhadap kredit macet tersebut dengan cara pengajuan upaya kepailitan. Dalam kepailitan, jelas yang dijadikan objek adalah harta, dalam hal ini PT. Sido Bangun Plastic Factory. Hak debitur untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan kekayaannya sebelum pernyataan pailit harus dihormati. Keadaan itu akan berubah ketika debitur dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga, namun sebelum dijatuhkan Putusan Pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur dapat memberikan jaminan kepada kreditur dalam pelunasan hutangnya yang telah jatuh tempo/waktu dan dapat ditagih. Alternatif debitur dalam pelunasan hutang ini dengan mengikutkan pihak ketiga sebagai penjamin hutang debitur dalam bentuk garansi perorangan (Personal Guarantee) sebelum pernyataan pailit. Sub Bab ini yang untuk lebih spesifiknya membahas tentang kedudukan penjamin

(Personal Guarantee) dengan pembebanan hak tanggungan didalamnya.

Penjamin sangat diperlukan dalam setiap kredit yang dilakukan oleh pihak debitur terhadap kreditur. Menurut Subekti, Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang kreditur dengan orang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Perjanjian jaminan perorangan bahkan dapat diadakan tanpa sepengetahuan debitur tersebut. Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan debitur, atau antara kreditur dengan orang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur [5]. Penjamin (Personal Guarantee) dalam hukum kepailitan yaitu merupakan suatu jaminan yang diberikan oleh seseorang secara pribadi (bukan badan hukum) untuk menjamin hutang orang/ badan hukum lain kepada seseorang atau beberapa kreditur. Pihak ketiga atau personal guarantee atas nama Tan Mey Ling dalam putusan Pengadilan Niaga no.31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby, sebagai penjamin dari debitur mempunyai tujuan untuk menjamin utang debitur. Penjamin pribadi ini menjaminkan hartanya kepada bank atau kreditur untuk menjamin pelunasan hutang perusahaan yaitu PT. Sido Bangun Plastic Factory. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa sebenarnya si penjamin ini bukan merupakan pihak yang secara langsung menikmati utang tersebut. Pengikatan dalam penjamin perorangan menggunakan hak tanggungan terhadap tanah yang dijaminkan oleh pihak penjamin. Pembebanan seperti ini menjadi rangkap setelah penjamin perorangan tersebut menjadi penjamin melalui hartanya dalam bentuk tanah yang diikat menggunakan hak tanggungan. Definisi tentang jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ternyata tidak dirumuskan secara tegas, KUH Perdata hanya memberikan perumusan Jaminan secara umum yang diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata, yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta diberikan jaminan khusus.

Jaminan khusus dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (borgtocht). Pada jaminan kebendaan, si debitur/yang berhutang memberi jaminan benda kepada kreditur, sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam debitur. Debitur jika tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan tersebut untuk melunasi hutangnya. Dalam jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin/guarantor) yang tak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut [6].

(4)

membayar hutangnya tersebut. Pada prinsipnya, penjamin tidak wajib membayar utang debitur pada kreditur, kecuali debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar utang debitur tersebut, maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya (Pasal 1831 KUH Perdata).

Berdasarkan pasal 1820 KUH Perdata, borgtocht atau

penanggungan adalah suatu perjanjian dimana pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang/kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang/debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Dapat disimpulkan bahwa penanggungan adalah jaminan yang [7]: a) Diberikan oleh pihak ketiga; b) Guna kepentingan kreditur; c) Untuk memenuhi kewajiban debitur manakala ia sendiri tidak memenuhinya. Hubungan antara borgtocht dengan hukum kepailitan terjadi apabila ada permohonan pernyataan pailit terhadap borg/penjamin/guarantor. Padahal berdasarkan pasal 1 angka 1 dan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, syarat untuk dapat dipailitkan adalah seorang debitur. Seorang penjamin beralih kedudukannya menjadi debitur apabila pihak debitur utama lalai dalam melunasi utangnya kepada kreditur. Masalah apakah seorang penjamin adalah debitur merupakan hal sangat penting apabila ingin memailitkan penjamin, hal ini dikarenakan yang dapat dipailitkan hanyalah debitur, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Syarat utama apabila ingin mempailitkan penjamin adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa status penjamin telah beralih menjadi debitur, karena hanya debitur yang dapat dipailitkan, setelah itu barulah pemohon harus membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, setelah terbukti barulah debitur dapat dinyatakan pailit.

Menjawab permasalahan tersebut maka dipaparkan beberapa pendapat ahli dan yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu:

1. Pendapat Elijana S, (Hakim Tinggi pada Mahkamah Agung Republik Indonesia) [8], bahwa: yang dapat dipailitkan adalah seorang debitur. Guarantor adalah debitur apabila debitur lalai atau cidera janji, jadi seorang guarantor dapat saja dipailitkan, maka yang menjadi permasalahan adalah kapan seorang penjamin dapat dimohonkan pailit. Guarantor yang tidak melepaskan hak-hak istimewanya, maka kreditur harus menggugat debitur utama terlebih dahulu, setelah harta debitur utama disita dan dilelang tetapi tidak cukup utangnya untuk melunasi seluruh utangnya jadi masih ada sisa utang yang belum terbayar atau telah terbukti debitur utama telah tidak mempunyai harta apapun lagi atau debitur utama telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain, baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur utama kepada guarantor. Apabila guarantor setelah ditagih tidak mau membayar maka dapat diajukan permohonan kepailitan, untuk kreditur pemohon harus dapat membuktikan bahwa: a) Kreditur pemohon telah menagih/menggugat debitur utama terlebih dahulu tetapi ternyata: (i) debitur utama tidak mempunyai harta sama sekali; (ii) harta

debitur utama tidak cukup untuk melunasi utangnya; (iii) debitur utama dalam keadaan pailit, b) Guarantor sebagai debitur mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur, c) Bahwa salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Jadi, Guarantor baik itu Personal atau

Coorporate Guarantor dapat dipailitkan hanya kapan, dalam hal apa juga bagaimana caranya harus diperhatikan dan dipenuhi agar Permohonanan Pernyataan Pailit terhadap Guarantor dapat dikabulkan.

2. Pendapat Denny Kailimang [9], berpendapat bahwa: Sebagai debitur, Penanggung/Guarantor dapat saja dipailitkan dengan syarat Penanggung/Guarantor

(5)

preferen dari pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditur-kreditur lain. Hubungannya dengan aset-aset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata). Sebagai pengakuan dari sifat mendahulukan yang dimiliki pemegang hak preferen, Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap kreditur yang memegang Hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Hal ini yang berarti Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa pernyataan kepailitan tidak menghilangkan pelaksanaan hak preferen yang diberikan oleh undang-undang. Ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa jika hak atas penagihan yang mereka miliki adalah suatu piutang-piutang yang wajib dicocokkan menurut ketentuan Pasal 136 dan 137 Undang-Undang Kepailitan, maka eksekusi lainnya dapat dijalankan apabila tagihan atau piutang telah dicocokkan, dan eksekusi tersebut hanya dapat dipergunakan untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui (dari pencocokan) atas penagihan atau piutang tersebut.

Memperhatikan ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, setiap kreditur yang memegang Hak Tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan pemegang Hak tanggungan seperti tersebut diatas dikenal sebagai "separatisen". Hal ini sesuai dengan pasal 1178 KUH Perdata, bahwa kreditur yang mempunyai hak hipotik dengan disertai klausula

eigenmachtige verkoop (klausul yang secara mutlak memberi kuasa kepada pemegang hipotik menjual objek hipotik) diberi kuasa untuk secara sendiri-sendiri melakukan eksekusi atas benda yang jadi jaminan. Demikian pula bagi pemegang gadai, Hak Tanggungan dan fidusia.

Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan, berarti objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Jadi ketentuan tersebut memberikan penegasan mengenai kedudukan preferen dari pemegang Hak Tanggungan atas objek Hak Tanggungan terhadap kreditur lain.

Ketentuan pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, menjelaskan bahwa pada prinsipnya kedua pasal tersebut sama-sama memberikan jaminan bagi kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Kreditur yang memegang hak jaminan atas kebendaan, mempunyai hak separatis. Menurut Setiawan, Hak Separatis adalah [10]: Hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditur pemegang Hak jaminan, bahwa barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak jaminan (hak agunan) tidak termasuk harta pailit.

Kreditur berhak untuk melakukan eksekusi kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang

sebagai perwujudan dari hak kreditur pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur yang lainnya. Pemegang hak jaminan baik hipotik, hak tanggungan, gadai, fidusia serta hak kebendaan lainnya tidak terpengaruh oleh putusan pailit, karena barang jaminan itu tidak termasuk dalam harta pailit.

2. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas dan Cara Eksekusi Harta Jaminan yang Dibebani dengan Hak Tanggungan.

Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya dalam skripsi ini ditulis dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas) bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum sebagai penyandang hak dan kewajibannya yang memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagai subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum.

(6)

Terbatas terjadi karena telah dinyatakan pailit dan dalam keadaan insolvensi. Keadaan insolvensi menurut Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yaitu suatu keadaan dimana Debitur dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar. Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat

boedel.

Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis terhentinya operasional perseroan. Pernyataan Pailit Perseroan Terbatas membuat perseroan sebatas kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut. Pendapat ini dikuatkan dengan berlandaskan pada:

a) Pasal 143 ayat (1), bahwa Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggung jawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumnya bahwa salah satu penyebab pembubaran adalah disebabkan karena berada pada keadaan pailit yang mana keadaan pailit dapat terjadi karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan insolvensi. Dengan demikian Pembubaran perseroan, seperti yang diatur dalam Pasal 142 butir 4, yang dimaksud dalam Pasal 143 Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut pun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Kepailitan. Makna yang sebenarnya dari pembubaran Perseroan Terbatas sebagai akibat dari Kepailitan diatur dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan pemberhentian tugas dan wewenang organ Perseroan Terbatas, termasuk yang sangat penting adalah Direksi dalam menjalankan operasional Perseroan Terbatas. Sedang Pembubaran badan hukum perseroan terbatas dilaksanakan setelah segala urusan dan pemberesan kewajiban telah diselesaikan secara keseluruhan terhadap kreditur maupun pihak ketiga. Pembubaran Badan Hukum ini melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Setelah segala sesuatu mengenai pemberesan dan penyelesaian kewajiban terhadap kreditur maupun Pihak Ketiga selesai, RUPS sebagai organ tertinggi Perseroan Terbatas, kembali pada fungsi, tugas dan wewenangnya untuk melakukan langkah-langkah pembubaran Badan Hukum.

b) Pasal 104 Undang-Undang Kepailitan, bahwa: (1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan

pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. (2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pembubaran perseroan terbatas khususnya yang disebabkan karena kepailitan harus mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan maka bertolak dari hal tersebut pada esensinya bahwa tidak setiap perseroan yang dinyatakan pailit baik karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi, selalu dibubarkan baik pengertian berhenti operasionalnya maupun pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas tersebut. Berdasarkan pasal 104 Undang-Undang Kepailitan, dapat disimpulkan bahwa kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis membuat perseroan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut karena kepailitan perseroan terbatas menurut hukum Indonesia tidak menyebabkan terhentinya operasional perseroan. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan memutuskan untuk menghentikan beroperasinya perseroan terbatas dalam permohonan seorang kreditur.

c) Asas Kelangsungan Usaha, Penjelasan Undang-Undang Kepailitan, memberi peluang bagi perusahaan yang menurut penilaian Kurator, Panitia Kreditor dan atas ijin Hakim Pengawas masih memiliki Prospek Usaha yang Baik, dapat tetap dilangsungkan. Undang-Undang Kepailitan, tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan kreditur atas utang-utang debitur saja, tetapi lebih dari pada itu, nilai-nilai dasar yang terkadung dalam asas-asas Undang-Undang Kepailitan ini, ditujukan untuk melindungi seluruh kepentingan-kepentingan para pihak dan bahkan dengan pertimbangan untuk kepentingan ekonomi nasional atau kepentingan negara. Asas Kelangsungan usaha ini, bermaksud untuk melindungi kepentingan debitur pailit atas kepentingan beberapa kreditur yang menghendaki segera diselesaikan utang-utang debitur kepadanya setelah jatuh tempo. Demi hukum sejak debitur dinyatakan pailit secara otomatis kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurusi kekayaan yang termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan).

(7)

memiliki wewenang untuk menjual sendiri benda jaminan, namun ini harus diperjanjikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1178 KUH Perdata. Berarti kewenangan ini bukan lahir dari undang-undang, tetapi harus dimunculkan dalam perjanjian oleh para pihak dalam wujud pemberian kuasa oleh debitur kepada kreditur untuk menjual sendiri benda agunan bila terjadi wanprestasi. Jelas cara ini seperti halnya dalam parate eksekusi gadai, sangat menguntungkan kreditur dalam upayanya untuk memperoleh pelunasan dengan mudah dan sederhana. Sebenarnya dengan grosse akta hipotik sejalan dengan ketentuan Pasal 224 HIR, dimana kreditur juga memiliki wewenang untuk menjual benda jaminan dikarenakan akta tersebut memiliki ketentuan eksekutorial. Dengan fiat Pegadilan Negeri, maka kreditur dapat mengambil pelunasan dari pelelangan yang dilakukan oleh juru lelang. Berdasarkan aturan yang berlaku itu, maka sebenarnya kemudahan dan penyederhanaan pengambilan pelunasan bagi kreditur dimana saat debitur wanprestasi, sangat mendukung perputaran roda ekonomi yang menghendaki efisiensi [11]. Sebagaimana dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, menyatakan bahwa eksekusi hak preferen oleh kreditur terhadap jaminan yang ada, wajib dilaksanakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan terhitung sejak keadaan insolvensi berlangsung. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut, kurator harus menuntut diserahkannya kebendaan yang dijaminkan untuk dijual, tanpa mengurangi hak pemegang hak-hak tersebut untuk memperolah penjualan agunan tersebut.

Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menetapkan bahwa hak kreditur untuk mengeksekusi barang agunan dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur yang pailit atau kurator ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan.

Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut antara lain bertujuan untuk memperbesar kemungkinan tercapai perdamaian, memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit, memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama jangka waktu penangguhan berlangsung, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan. Baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan.

Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) dan penjelasannya, menunjukkan bahwa Undang-Undang Kepailitan mengakui hak separatis. Pengakuan terhadap keberadaan hak separatis dari pemegang jaminan juga diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Setelah masa penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari berakhir, maka pihak kreditur preferen pemegang jaminan hak tanggungan dapat melakukan penjualan terhadap barang jaminan berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) dengan jangka waktu 2 (dua) bulan.

Masa 2 (dua) bulan tersebut harus dimaksimalkan secara optimal oleh pihak kreditur dalam menjual benda jaminan tersebut untuk memperoleh pelunasan piutang dari debitur secara optimal. Apabila jangka waktu selama 2 (dua) bulan telah lewat/habis dan benda jaminan tersebut tidak

mampu terjual, maka kurator harus menuntut untuk dikembalikannya jaminan kebendaan tersebut oleh kreditur pemegang jaminan kepada kurator. Hal tersebut diatur dalam Pasal 59 ayat (2), yang menyebutkan bahwa: Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1), kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditur pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut.

Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan diatas mempunyai artian bahwa apabila jangka waktu yang dimiliki oleh kreditur telah habis dan benda jaminan tidak mampu terjual, maka kurator berhak untuk mengambil alih jaminan tersebut untuk dijual menurut Pasal 185 Undang-Undang Kepailitan tanpa mengurangi hak yang dimiliki oleh kreditur preferen.

3. Cara Penjualan Benda Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan di dalam Perkara Pailit.

Pihak kreditur setelah adanya putusan pailit yang mempailitkan pihak debitur, maka pihak kreditur berhak untuk mendapatkan biaya pelunasan utang dari harta si debitur maupun pihak ketiga atau penjamin melalui: 1) Pelelangan umum/ Dimuka Umum,

Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cidera janji, maka hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. Undang-Undang Kepailitan mengharuskan agar dalam penjualan itu dilaksanakan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal demikian ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji, dan pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan serta tidak perlu pula meminta penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. Sehingga cukuplah apabila pemegang Hak Tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut. Sebab kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang artinya kewenangan tersebut dipunyai demi hukum [12]. Karena itu Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.

2) Penjualan dibawah tangan,

(8)

ini akan mendapatkan harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan dan Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan. Sebab penjualan dibawah tangan dari objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit, jika debitur tidak menyetujinya, selanjutnya apabila kredit sudah menjadi macet, maka bank sering menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Sehingga dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan di jual di bawah tangan dari pada dijual di pelelangan umum.

Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan menyatakan apabila hasil penjualan jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi piutang yang ada, maka kreditur pemegang hak jaminan (kreditur preferen) tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan utang. Disebutkan bahwa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi jaminan hutang bisa kreditur separatis, dan bisa juga pihak kurator. Hal ini bergantung pada hubungan aset dengan kreditur (dijaminkan atau tidak) dan bergantung pada waktu kapan eksekusi itu dilaksanakan [13].

Berkaitan dengan cara penjualan aset, maka pada prinsipnya dilakukan dengan mengajukan permohonan lelang di kantor lelang. Adapun tata cara pelelangan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk lelang tersebut yaitu, bisa dijual dimuka umum atas dengan penjualan yang dilakukan di bawah tangan. Dalam penjualan harta pailit yang dilakukan secara dibawah tangan, tetapi perbuatan tersebut telah mendapat ijin dari hakim pengawas. Hasil ini tentunya dilakukan oleh kurator, apabila kurator yakin bahwa penjualan dengan cara dibawah tangan atau penjualan langsung (tanpa campur tangan kantor lelang) akan menghasilkan yang lebih baik, antara lain karena dapat menghemat biaya lelang. Lembaga jaminan kebendaan memiliki ciri-ciri yang antara lain adalah bersifat asesoir

(pelengkap), memberikan hak didahulukan (privilege) dan

droit de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimana saat itu berada. Jaminan tersebut diantaranya adalah hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Para pemegang hak tanggungan, ataupun pemegang hak gadai mempunyai hak retensi (hak menahan sebagaimana dimaksud Pasal 1812 KUH Perdata), serta dapat mengeksekusi hak-hak mereka seolah-olah tidak ada kepailitan. Jadi kepailitan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap ketiga pihak tersebut.

Pelaksanaan eksekusi atas harta pailit, perlu memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang hak jaminan preferen atas kebendaan milik debitur pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak mendahului atas kreditur lain untuk memperoleh pelunasan atas utang-utang debitur, dengan cara menjual secara lelang

kebendaan yang dijaminkan kepada kreditur tersebut secara

preferen.

Kesimpulan dan Saran

Hubungan antara borgtocht dengan hukum kepailitan terjadi apabila ada permohonan pernyataan pailit terhadap

borg/penjamin/guarantor. Status penjamin dapat beralih menjadi debitur apabila syarat penanggung/guarantor mempunyai dua atau lebih kreditur dan salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal tersebut berdasarkan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Berpedoman pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Pasal 21 Undang-Undang-Undang-Undang Hak tanggungan, yang mengatur tentang pemegang jaminan kebendaan khususnya jaminan yang dibebani hak tanggungan apabila pemberi hak tanggungan pailit, maka pemegang hak tanggungan tetap berwenang untuk melakukan segala hak yang diperolehnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Tata cara eksekusi jaminan dengan pembebanan hak tanggungan adalah berdasarkan pada Pasal 56 ayat (1) yaitu sebelum dieksekusi benda jaminan tersebut harus ditangguhkan terlebih dahulu selama 90 (sembilan) hari, kemudian setelah 90 (sembilan) hari pihak kreditur dapat menjual benda jaminan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan menurut ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, apabila setelah jangka waktu 2 (bulan) habis maka kurator dapat mengambil alih benda jaminan tersebut untuk dijual tanpa mengurangi hak yang dimiliki oleh pihak kreditur separatis menurut ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan.

Tata cara penjualan benda jaminan yang dibebani hak tanggungan ada dua cara yaitu dimuka umum (pelelangan) atau di bawah tangan. Tentang tata cara tersebut diatur di dalam Pasal 185 Undang-Undang Kepailitan kemudian Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Semakin banyaknya perkara kepailitan berarti semakin banyak pula suatu usaha berbadan hukum tidak stabil dalam pengelolaan dana usaha mereka sehingga perusahaan tersebut sulit untuk mengembalikan pinjaman dari pihak kreditur, hendaknya pihak perusahaan harus bisa lebih profesional dan berhati-hati dalam menjalankan usahanya agar tidak terjadi utang macet sehingga terbukanya jalan untuk perkara kepailitan. Agar Perseroan Terbatas tidak terjerat perkara kepailitan dan terjadi pembubaran terhadap Perseroan Terbatas, haruslah ada keseimbangan dan profesionalitas dalam menyeimbangkan penghasilan dan pengeluaran dana perusahaan. Dewan direksi Perseroan Terbatas haruslah mampu bertanggungjawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas tersebut baik didalam maupun diluar persidangan.

(9)

6 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan.

Ucapan Terima Kasih

Penulis Tantra Agistya Poetra mengucapkan terimakasih kepada mami dan papi tercinta yang senantiasa selalu memberikan nasihat, do'a, kasih sayang dan dukungannya serta Bapak dan Ibu dosen dan seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jember yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

Daftar Pustaka

[1] Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, (2004), dalam Iswi Hariyani & R. Serfianto, Bebas Jeratan Utang Piutang, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, (2010), hlm. 112.

[2]

Jerry Hoff, Undang Undang Kepailitan Indonesia, Penerjemah Kartini Mulyadi, Jakarta : PT. Tatanusa, (2000), hlm. 13.

[3] Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Bebas Jeratan Utang-Piutang, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, (2010), hlm.73.

[4] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Persada, (2010), hlm. 29.

[5] Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit, hlm. 73-74. [6] M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian,

Bandung: Alumni, hlm.315. [7]

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22085/3/ Chapter%20II.pdf, diakses pada pukul 20.00 Tanggal 30 Desember 2012.

[8] Elijana S, 1998, “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”, Penyelesaian Utang-Piutang, hlm. 402.

[9] Denny Kailimang, “Problematik yang Dihadapi Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal Guarantee atau Coorporate Guarantee Sehubungan dengan Gugatan Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang. hlm 412.

[10] Setiawan, 1996, hak tanggungan dan masalah eksekusinya , varia peradilan, majalah hukum , tahun XI nomor 131 , hlm 145.

[11] Moch Isnaeni, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, Surabaya: CV. Dharma Muda, hlm 55.

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT PENGADILAN NIAGA NOMOR 03/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.NIAGA.SMG

Ibrani, Yulius, 2008, Tinjauan Hukum Perdata Internasional Atas Putusan Perkara Kepailitan Badan Hukum Asing Oleh Pengadilan Niaga Indonesia (Studi Kasus Putusan Mari

Bila jarak antara kedua pusat lingkaran tersebut 15 cm dan panjang jari-jari lingkaran kecil 4 cm, maka perbandingan luas lingkaran kecil dengan luas lingkaran besar adalah

Seringkali, bentuk-bentuk gerakan rumit semivolunter muncul pada sisi yang sehat pada pasien dengan penyakit / lesi yang luas dalam satu hemisfer; mereka mungkin

Pada tahap kedua dilakukan wawancara kepada siswa dan guru untuk memverifikasi temuan hasil tes dan mengungkap faktor yang mungkin menjadi penyebab miskonsepsi

Terkait dengan penyelesaian utang piutang perseroan terbatas dalam likuidasi adalah untuk menegakkan hukum yaitu ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, bahwa setiap terjadi

Modal kerja sangat berpengaruh dalam suatu organisasi ataupun perusahaan, karena modal kerja itu adalah salah satu penggerak untuk melakukan aktivitas di suatu

Kombinasi algoritma terbaik dalam penyelesaian polinomial derajat n adalah Muller – Cardano dengan rata-rata galat yaitu 4,27781615793958E-13% dan Revisi Bairstow – Cardano