• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Timbal (Pb) Terhadap Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Timbal (Pb) Terhadap Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma Mencit"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN TIMBAL (Pb)

TERHADAP KADAR MALONDIALDEHYDE

(MDA) PLASMA MENCIT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

Dalam Program Studi Ilmu Biomedik

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

T. HELVI MARDIANI

057008004/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN TIMBAL (Pb) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHYDE (MDA) PLASMA MENCIT

Nama Mahasiswa : T. Helvi Mardiani

Nomor Pokok : 057008004

Program Studi : Ilmu Biomedik

Menyetujui, Komisi Pembimbing:

( dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D. ) ( Dr. Ramlan Silaban, M.Si )

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

( dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D. ) ( Prof . Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc )

(3)

Telah diuji pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua Komisi : dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D.

Anggota Komisi : Dr.Ramlan Silaban, M.Si

Dr. Dwi Suryanto, M.Si

(4)

ABSTRAK

Pb dijumpai tersebar di lingkungan kita. Manusia terpapar logam ini dari berbagai sumber seperti udara, air, tanah dan makanan yang terkontaminasi. Terdapat banyak penelitian menunjukkan bahwa Pb menyebabkan stres oksidatif dengan meningkatkan pembentukan reactive oxygen species dan menurunkan sistem anti-oksidan. Peroksidasi lipid meningkat karena terganggunya keseimbangan oksidan dan anti-oksidan, yang diukur dengan kadar malondialdehyde. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian berbagai konsentrasi Pb terhadap peroksidasi lipid.

Dua puluh empat mencit jantan dengan berat 30-40 g dibagi dalam enam kelompok. Kelompok I sebagai kontrol, kelompok II sampai VI berturut-turut mendapat Pb asetat dosis 5, 10, 20, 40 and 80 mg/kg berat badan. Setelah empat minggu, dilakukan pengukuran kadar malondialdehyde plasma dan hitung jumlah eritrosit.

Peningkatan kadar malondialdehyde pada kelompok II sampai VI bila dibandingkan dengan kontrol, secara statistik tidak bermakna (p=0,6). Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan konsentrasi Pb yang diberikan, kecuali kelompok VI. Hitung jumlah eritrosit menunjukkan penurunan jumlah eritrosit pada kelompok II sampai VI bila dibandingkan dengan kontrol, tidak bermakna secara statistik (p=0,1). Peningkatan kadar malondialdehyde plasma berkorelasi negatif dengan jumlah eritrosit (p=0,04).

Pb menyebabkan gangguan fungsi fisiologis dan metabolisme melalui efek stres oksidatif. Hal tersebut terlihat dari adanya kecendrungan peninggian kadar

malondialdehyde plasma yang diikuti dengan penurunan jumlah eritrosit oleh

peningkatan dosis Pb.

(5)

ABSTRACT

Lead is widely found in our environment. Human are exposed to this metal from numerous sources, including contaminated air, water, soil and food. There are many studies that have shown that lead causes oxidative stress by inducing the generation of reactive oxygen species and reducing the anti-oxidant defense system. Lipid peroxidation increases because of impaired oxidant and anti-oxidant balance, measured by malondialdehyde levels. The current study investigates the effect of lead administration in various concentrations against lipid peroxidation.

Twenty four male mice, 30-40 g body weight were divided into six groups. Group I served as control, group II to VI were given lead acetate at doses of 5, 10, 20, 40 and 80 mg/kg body weight respectively. After four weeks, plasma malondialdehyde levels and the number of erythrocytes were measured.

An increase in plasma malondialdehyde levels observed in groups II to VI as compared with control, was not statistically significant (p=0,6). The increased plasma malondialdehyde levels in accordance to the increased concentration of lead administered, with the exception of group VI. The decrease in erythrocyte count observed in groups II to VI as compared with control, was not significant (p=0,1). Increased plasma malondialdehyde levels were negatively correlated with erythrocyte count (p=0,04).

Lead interferes with physiological and biochemical functions related to oxidative stress. The trend to increased plasma malondialdehyde levels along with the decreased erythrocyte count as the dose of lead increased supports this statement.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan

karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Pengaruh

pemberian timbal (Pb) terhadap kadar malondialdehyde (MDA) plasma mencit”.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dikerjakan Penulis dalam

rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.dr.H.Chairuddin P.Lubis, SpA(K)

dan sejumlah jajarannya, yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk

mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Direktur Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc., dan

Ketua Program Studi Biomedik dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D., atas kesempatan dan

fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan program magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya

Penulis sampaikan kepada para pembimbing dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D dan Dr.

Ramlan Silaban, M.Si serta dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan,

bimbingan semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada Penulis

(7)

Komisi penguji, dr. Datten Bangun, MSc., SpFK dan Dr. Dwi Suryanto MSc,

yang telah bersedia dengan sabar membantu Penulis dalam menyempurnakan,

menguji dan menilai tesis ini. Tidak lupa terima kasih juga saya sampaikan kepada

semua dosen yang telah membimbing saya selama mengikuti program magister ini.

Persembahan terima kasih yang tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada

ayahanda dan ibunda tercinta (H. T. Amarullah Hafiz, SH dan almh. Hj. Saddiah),

yang telah membesarkan dengan susah payah dengan penuh kasih sayang dan dengan

jasa mereka inilah Penulis dapat menjalani pendidikan hingga pascasarjana ini.

Semoga Allah SWT mengampuni dan selalu merahmati ayahanda dan ibunda ini.

Kepada suamiku tercinta dr. Abdi Gunawan, Sp.B, anak-anakku tersayang

Amelia Utami dan Arya Adiyatma, tiada kata yang setara untuk mengutarakan terima

kasih atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran dan dorongan

serta do’a yang diberikan kepada penulis.

Akhirnya, Penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu

mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaanya. Oleh karena itu Penulis

berharap adanya kritik serta saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga

penelitian ini membawa manfaat untuk kita semua. Amin.

Medan, 5 September 2008 Penulis,

(8)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : T. Helvi Mardiani

2. Tempat/Tanggal Lahir : Batu Bara, 07 Januari 1972

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Sentosa Baru No. 29 Medan

6. Telp/HP : 061-4562617/08125651029

7. Pendidikan

SD Negeri III, Lubuk Pakam : 1978-1984

SMP Negeri II, Lubuk Pakam : 1984-1987

SMA Negeri I, Medan : 1987-1990

Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran USU : 1990-1994

Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran USU : 1994-1996

Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik, USU : 2005-2008

8. Riwayat Pekerjaan

Dokter PTT Puskesmas Lima Puluh Asahan : 1997-1998

Kepala Puskesmas Pematang Panjang Asahan : 1998-2000

Staf Pengajar Kontrak di Departemen Biokimia FK USU:2000-2001

(9)

DAFTAR ISI

2.3 Molekul Oksigen Reaktif ... 11

2.4 Efek Pb terhadap Keseimbangan Oksidan-Antioksidan .. 12

2.5 Peroksidasi Lipid ... 16

(10)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 19

3.1 Desain Penelitian ... 19

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 19

3.3 Populasi Penelitian ... 19

3.4 Sampel Penelitian ... 19

3.5 Rancangan Penelitian ... 20

3.6 Prosedur Pemeriksaan ... 22

3.6.1 Pengambilan Sampel Darah ... 22

3.6.2 Pengukuran Kadar MDA Plasma ... 23

3.6.3 Penghitungan Jumlah Eritrosit ... 25

3.7 Variabel Penelitian ... 26

3.8 Analisa Data ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 28

4.1 Kadar MDA Plasma dan Jumlah Eritrosit ……… 28

4.2 Rerata Kadar MDA Plasma dan Jumlah Eritrosit ... 29

4.3 Uji Normalitas menurut Shapiro-Wilk Test ... 32

4.4 Uji Statistik Perbedaan Kadar MDA ... 33

4.5 Uji Statistik Perbedaan Jumlah Eritrosit ... 34

4.6 Korelasi Kadar MDA dan Jumlah Eritrosit ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 Kesimpulan ……… 38

5.2 Saran ……….. 38

(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Dosis Pb Asetat pada Kelompok Perlakuan ... 21

2. Persiapan MDA Standar untuk Spektrofotometer... 24

3. Kadar MDA Plasma dan Jumlah Eritrosit Hewan Uji ... 29

4. Uji Normalitas Data Kadar MDA Plasma ... 32

5. Uji Normalitas Data Jumlah Eritrosit ... 33

6. Uji Kruskal Wallis Data Kadar MDA ... 33

7. Uji Anova Jumlah Eritrosit ... 35

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Kerangka Teori ... 6

2. Pemberian Perlakuan pada Mencit... 22

3. MDA Standar untuk Spektrofotometer ... 24

4. Pemanasan Larutan Sampel dalam Waterbath ... 25

(13)

DAFTAR GRAFIK

No Judul Halaman

1. Rerata Kadar MDA Plasma ... 30

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Data Penelitian ... 43

2. Uji Statistik ... 45

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ALA: amino levulinic acid

ANOVA: analysis of variances

BPPV: balai penyidikan dan pengujian veteriner

DALAD: delta amino levulinic acid dehydrogenase

DDW: double ditsch webster

DHBA: dihydroxy benzoic acid

DNA: deoxyribonucleotide adenine

EDTA: ethylene diamine tetra acetic acid

GPx: gluthation peroxidase

GR: gluthation reductase

GSH: gluthation tereduksi

GSSG: gluthation teroksidasi

G6PD: glucose 6 phosphat dehydrogenase

IgE: immunoglobulin E

MDA: malondialdehyde

MSDS: material safety data sheet

NADPH: nicotinic adenine dinucleotide phosphat hydrogen

Pb: plumbum

PKCα: protein kinase C α

ROS: reactive oxygen species

-SH: sulfhydril

SOD: superoxyde dismutase

TBA: thiobarbituric acid

TEL: tetra ethyl lead

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Timbal (Pb) dapat ditemukan di berbagai media lingkungan seperti udara, air,

debu dan tanah. Logam Pb atau bentuk persenyawaannya berasal dari pembakaran

bahan bakar kendaraan bermotor, emisi industri dan dari penggunaan cat bangunan

yang mengandung Pb. Di alam Pb terdapat dalam dua bentuk yaitu gas dan partikel.

Pb yang terbanyak di udara adalah Pb anorganik dan terutama berasal dari

pembakaran tetraethyl Pb (TEL) dan tetramethyl Pb (TEMEL) yang terdapat dalam

bahan bakar kendaraan bermotor. Selain sumber-sumber di atas, logam berat ini juga

terdapat pada gelas, pewarna, keramik, pipa, pelapis kaleng tempat makanan,

beberapa obat tradisional dan kosmetik (Tong et al, 2000). Pakar lingkungan

sependapat bahwa Pb merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di

udara (Winarno, 1993).

Polusi Pb telah menjadi persoalan kesehatan masyarakat di dunia, terutama di

negara-negara berkembang, seperti di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pembakaran

bahan bakar minyak kendaraan bermotor menjadi sumber terbesar Pb yang

mengkontaminasi atmosfer. Hampir seratus negara, terutama negara berkembang

masih menggunakan Pb dalam bahan bakar kendaraannya. Eropa, Jepang, Mexico

(17)

kendaraan merupakan cara paling efektif mengurangi polusi logam ini (Tong et al,

2000).

Terdapat banyak data epidemiologi yang menunjukkan bahwa pemaparan Pb

pada masa tumbuh kembang anak menyebabkan gangguan nyata dari perkembangan

kognitifnya. Gejala neuro-psikologi tersebut dulu diperkirakan dapat hilang atau

berkurang bila pemaparan dihentikan, tetapi saat ini ada banyak data yang

menunjukkan bahwa efek tersebut sebahagian besar bersifat irreversible. Kadar Pb

dalam darah 10-20 µg/dL menyebabkan gangguan pertumbuhan dan sistem syaraf

pusat, gangguan sintesis vitamin D dan heme. Kadar 20-40 µg/dL menyebabkan

gangguan hantaran syaraf dan meningkatnya ALA (amino levulinic acid) dalam urin.

Kadar yang lebih tinggi dari 40 µg/dL dapat menyebabkan anemia berat, gangguan

sistem syaraf pusat yang berat sampai menimbulkan kematian (Tong et al, 2000).

Sifat toksikologi Pb saat ini banyak diteliti terutama efek karsinogeniknya.

Telah diketahui bahwa Pb dapat menyebabkan stres oksidatif dengan meningkatkan

pembentukan radikal bebas dan menurunkan sistem antioksidan di jaringan. Stres

oksidatif ini dapat menyebabkan kerusakan molekul-molekul dalam sel. Molekul

lipid yang mengalami stres oksidatif akan mengalami auto-oksidasi atau yang lebih

dikenal dengan peroksidasi lipid. Protein yang mengalami oksidasi menjadi tidak

berfungsi dan DNA yang teroksidasi menjadi mutagen, karsinogen atau menyebabkan

(18)

Sistem hematologi adalah sasaran penting dari toksisitas Pb. Efek Pb pada

sistem ini mengakibatkan menurunnya proses sintesis heme dan anemia. Sel darah

merah memiliki affinitas yang tinggi terhadap Pb. Setelah diresorbsi dari saluran

cerna, Pb masuk ke sirkulasi darah dan lebih dari 99% akan berikatan dengan

eritrosit. Pada eritrosit 80% Pb terdapat di sitoplasma sel dan 20% sisanya terdapat

pada membran (Zhao et al, 2004). Beberapa faktor seperti konsentrasi oksigen yang

tinggi, autooksidasi Hb dan kepekaan komponen membrannya terhadap peroksidasi

lipid menyebabkan eritrosit peka terhadap stres oksidatif oleh karena Pb

(Gurer-Orhan et al, 2003).

Asam lemak tak jenuh pada membran sel adalah target dari peroksidasi lipid

yang mengakibatkan hilangnya fungsi organela sel. Lebih jauh, produk pemecahan

dari peroksida-peroksida lipid ini, seperti aldehid, bermigrasi jauh dari lokasi

pembentukannya dan menyebabkan kerusakan di tempat lain. Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa Pb dapat memperkuat efek besi dalam menimbulkan peroksidasi

lipid in vitro, yang menyebabkan kematian sel (Gurer & Ercal, 2000). Ada banyak

data penelitian yang menunjukkan bahwa Pb merubah komposisi lipid membran yang

mengakibatkan perubahan integritas, permeabilitas dan fungsinya. Semua hal ini

berakibat pada meningkatnya kepekaan lipid membran terhadap peroksidasi lipid

(Patrick, 2006; Lim et al, 2005).

Reactive oxygen species (ROS) dapat bereaksi dan menyebabkan kerusakan

pada banyak molekul di dalam sel. Fosfolipid yang menjadi unsur utama dalam

(19)

peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid adalah suatu reaksi rantai radikal bebas yang

diawali dengan terbebasnya hidrogen dari suatu asam lemak tak jenuh ganda oleh

radikal bebas. Radikal lipid yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen membentuk

radikal peroksi-lipid dan lipid peroksida serta malondialdehyde (MDA) yang larut

dalam air dan dapat dideteksi dalam darah. Konsekuensi penting dari peroksidasi

lipid adalah meningkatnya permeabilitas membran dan menganggu distribusi ion-ion

yang mengakibatkan kerusakan fungsi sel dan organela (Devlin, 2002).

Berdasar pada uraian di atas, perlu diteliti lebih lanjut apakah perbedaan

konsentrasi Pb yang masuk ke tubuh melalui saluran cerna dapat menimbulkan efek

stres oksidatif dengan tingkat yang berbeda jaringan.

1.2 Perumusan Masalah

Telah dijelaskan bahwa Pb adalah kontaminan logam terbesar di udara, tanah

dan air. Senyawa Pb merupakan racun bagi banyak sistem di tubuh. Banyak

penelitian yang mengaitkan toksisitas senyawa Pb dengan stres oksidatif.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka masalah yang ingin dijelaskan dalam penelitian

ini adalah apakah perbedaan konsentrasi Pb yang masuk ke tubuh melalui saluran

cerna, dapat menimbulkan perbedaan tingkat peroksidasi lipid dalam darah mencit,

(20)

1.3 Kerangka Teori

Polutan Pb di udara secara kronis akan masuk ke tubuh melalui inhalasi, kontak

kulit dan mukosa yang kemudian berakumulasi dalam darah. Pemaparan kronis ini

akan memberi gejala yang sama dengan senyawa Pb yang termakan dan terminum

atau masuk melalui saluran cerna. Toksisitas yang ditimbulkan Pb akan menyebabkan

kerusakan jaringan dari tingkat yang ringan seperti perubahan proses biokimia normal

sampai pada kematian sel. Kerusakan jaringan oleh karena stres oksidatif tersebut

akan lebih dulu terjadi di darah, sebagai jaringan yang lebih dulu terpapar.

Timbal (Pb) sebagai logam transisi mempunyai kecenderungan membentuk

suatu senyawa radikal bebas. Efek Pb yang menghambat enzim antioksidan dan

meningkatkan ALA secara langsung ataupun tidak langsung juga mempunyai

kecenderungan meningkatkan radikal oksigen atau molekul oksigen reaktif. Molekul

oksigen reaktif dan radikal oksigen adalah molekul yang sangat mudah mengoksidasi

lipid membran dan memulai proses auto-oksidasi lipid atau peroksidasi lipid.

Perubahan komposisi membran sel yang dipicu Pb akan menyebabkan membran

menjadi lebih peka terhadap peroksidasi lipid. Hal-hal tersebut di atas secara

bersama-sama menunjukkan bahwa Pb dapat meningkatkan kadar MDA yang

menjadi parameter peroksidasi lipid. Proses yang kemudian akan menyebabkan

(21)

KERANGKA TEORI

Gambar 1. Kerangka Teori

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian Pb

dengan berbagai konsentrasi melalui saluran cerna terhadap terjadinya peroksidasi

lipid dalam darah mencit.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui perubahan kadar MDA plasma mencit oleh peningkatan

konsentrasi Pb yang diberikan.

2. Mengetahui perubahan jumlah eritrosit darah mencit oleh peningkatan

(22)

1.5Hipotesis

1. Kadar MDA plasma mencit, meningkat oleh peningkatan konsentrasi senyawa

Pb yang diberikan.

2. Peroksidasi lipid menyebabkan menurunnya jumlah eritrosit oleh karena lisis.

1.6Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

1. Sumber informasi bagi masyarakat mengenai pengaruh toksik polutan Pb

terhadap darah mencit, melalui stres oksidatif.

2. Sumber informasi bagi masyarakat bahwa polutan Pb dapat mempengaruhi

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Timbal (Pb)

Timbal atau plumbum dapat ditemukan di lingkungan dalam bentuk senyawa

terutama sebagai mineral seperti galena, serusit, mimetit dan piromorpit. Sejumlah

besar senyawa Pb anorganik ada dalam bentuk Pb asetat, Pb emtimonate, Pb azida,

Pb bromit, Pb nitrat dan sebagainya. Pb mempunyai berat molekul 207,2 dengan titik

didih 17400C dan titik lebur 327,40C. Pb asetat, Pb nitrat dan Pb klorat larut di dalam

air, tapi bentuk garam lainnya sangat tidak larut kecuali ada beberapa yang larut pada

asam (WHO, 1977 ).

Polusi lingkungan oleh Pb berlangsung pada peleburan dan penyulingan Pb,

pembakaran bahan bakar yang mengandung Pb dan peleburan logam lainnya serta

pembakaran batubara dan minyak bumi. Pb digunakan dalam bentuk murni dan

kombinasi dengan elemen lain, membentuk berbagai senyawa organik dan anorganik.

Logam Pb digunakan pada baterai, solder, amunisi, sistem pelindung pada

penggunaan x ray, pelapis tangki-tangki pengangkut minyak dan berbagai pipa.

Garam an-organik Pb digunakan pada insektisida, pewarna, cat, enamel, gelas, plastik

dan senyawa-senyawa dari karet (WHO, 1977).

Menurut material safety data sheet (MSDS) tahun 2006, Pb diidentifikasi

(24)

terinhalasi, karena dapat menyebabkan iritasi kulit, mata dan saluran napas, merusak

gusi, sistem saraf pusat, ginjal dan sistem reproduksi.

2.2 Toksisitas Pb

Mekanisme toksisitas Pb masih kontroversial, Pb dipercaya berinteraksi secara

kovalen dengan ion fosfat tertier pada asam-asam nukleat. Pb juga dilaporkan

menghambat sintesis DNA dan pertumbuhan sel in vitro (Domingrez et al, 2002

dalam El-Ashmawy et al, 2006). Penelitian in vitro lainnya menjelaskan bahwa Pb

asetat menginduksi pemecahan DNA utas tunggal dan ganda (Wozniak & Blasiak,

2003). In vivo, Pb menginduksi pemecahan DNA melalui perubahan sistem redoks

seluler dan penekanan pembentukan protein kinase c (PKC α), yang mengesankan

logam ini berperan sebagai penyebab tumor (Fracasso et al, 2002).

Telah pernah dilaporkan bahwa Pb membentuk senyawa merkaptida dengan

gugus tiol (-SH) sistein dan menurunkan kestabilan kompleks ini dengan asam amino

lain. Hal ini menjadi alasan dari perubahan komponen protein sel. Senyawa-senyawa

dengan gugus tiol bebas adalah pelindung sel terhadap kerusakan oleh radikal bebas,

sehingga bila gugus ini diikat oleh Pb, maka mekanisme perlindungan tersebut

menjadi tidak cukup tersedia di dalam sel. Glutation sebagai suatu tripeptida

(glutamat-sistein-glisin) pelindung dari radikal bebas, mereduksi peroksida-peroksida

dan mempertahankan gugus-gugus tiol protein dalam keadaan tereduksi, didapati

menurun pada darah dan hati dan menjadi salah satu penyebab toksisitas Pb di hati

(25)

Mencit-mencit betina yang selama masa hamil dan menyusui diberi Pb,

melahirkan mencit-mencit neonatus dengan kadar IgE plasma meningkat bermakna

dan menjadi pertanda suatu atopi. Hal ini bila terjadi pada manusia, mungkin

menunjukkan peran toksikan lingkungan dalam prevalensi atopi dan asma pada

anak-anak (Snyder et al, 2000).

Pemberian senyawa Pb konsentrasi tinggi melalui makanan menyebabkan

kerusakan hati yang hebat, dengan melibatkan radikal-radikal bebas. Pemberian

dengan dosis rendah menimbulkan gangguan dalam proses biokimia normal sistem

hepatobilier dan Pb dapat mengalami presipitasi membentuk batu kandung empedu

(Sipos et al, 2003).

Ding Y et al (2000) menemukan bahwa terdapat bukti tak langsung bahwa

radikal hidroksil menjadi molekul yang paling merusak pada hewan yang dipapar Pb.

Peroksidasi lipid yang diukur sebagai malondialdehid (MDA) dan radikal hidroksil

yang diukur sebagai 2,3 asam dihidroksi benzoat (2,3 DHBA) pada sel endotel

pembuluh darah, meningkat secara bermakna setelah pemaparan Pb selama 48 jam.

Hal serupa juga terjadi pada hewan-hewan percobaan yang dipapar Pb.

Pada percobaan in vivo pada tikus, pemberian Pb(NO3)2, injeksi intra vena

menurunkan kadar glutation tereduksi (GSH) hepar, dan mungkin berhubungan

dengan terjadinya apoptosis hati. Pada percobaan in vitro, Pb(NO3)2 menunjukkan

efek nekrotik langsung dan bukan apoptotik pada hepar. Inkubasi sel hepar bersama

sel-sel kupffer yang dikultur dengan Pb(NO3)2 selama 24 jam, menyebabkan

(26)

nekrosis langsung pada sel hepar dan bukan apoptotik, sekaligus menunjukkan

adanya peran sel kupffer dalam menginduksi apoptosis sel hati setelah pemberian

Pb(NO3)2, melalui stress oksidatif (Pagliara et al, 2003).

2.3 Molekul Oksigen Reaktif

Ada banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa Pb adalah racun yang

menyebabkan berbagai gangguan tubuh seperti gangguan neurologis, hematologi,

gastrointestinal, reproduksi, sirkulasi dan imunologi. Aktivitas senyawa Pb dalam

tubuh seringkali dikaitkan dengan stres oksidatif, melalui pembentukan molekul

reactive oxygen species (Aykin-Burns et al, 2003; Ding Y et al, 2000; Ercal et al,

2001).

Oksigen dapat menerima elektron tunggal dan membentuk molekul tak stabil

yang dikenal dengan molekul reactive oxygen species. Beberapa contoh reactive

oxygen species antara lain radikal superoksid (O2-), radikal hidroksil (HO.) dan singlet

oksigen (O-). Pada organisme hidup, normalnya pembentukan reactive oxygen species

umumnya dijaga seminimal mungkin oleh mekanisme pertahanan antioksidan.

Beberapa kondisi tertentu dimana mekanisme antioksidan tertutupi atau menjadi tak

seimbang, akan menyebabkan beberapa kerusakan dalam jaringan, yang dikenal

secara kolektif sebagai stres oksidatif (Mc Kee, 2003).

Pembentukan ROS dapat berlangsung dalam rantai pernapasan di mitokondria

sel, ketika transfer elektron ke oksigen membentuk air. Sejumlah kecil radikal

oksigen yang terbentuk sebagai senyawa antara secara tak terelakkan dapat keluar

(27)

dalam peroksisom dan sistem sitokrom P 450 yang ada pada retikulum endoplasmik

(Mc Kee, 2003).

Selain hal di atas pembentukan radikal oksigen berlangsung selama proses

inflamasi oleh infeksi bakteri. Sel-sel fagosit membentuk dan membebaskan radikal

oksigen toksis tersebut untuk membunuh bakteri yang masuk, proses yang dikenal

dengan respiratory burst. Namun pada infeksi yang berkepanjangan, fagosit cendrung

dapat mati dan membebaskan radikal toksik tersebut dan mempengaruhi sel di

sekitarnya. Hal-hal lain yang dapat mendorong pembentukan ROS adalah radiasi

kosmik, termakan bahan-bahan kimia dan obat seperti juga halnya inhalasi asap dari

udara (Devlin, 2002).

2.4 Efek Pb terhadap Keseimbangan Oksidan-Antioksidan

Toksisitas Pb dalam pembentukan radikal bebas terdiri dari 2 cara berbeda

yang berhubungan, yakni (1) pembentukan ROS termasuk hidroperoksida, oksigen

tunggal dan hidrogen peroksida dan (2) penekanan langsung cadangan antioksidan

(Ercal et al, 2001). Mekanisme Pb menginduksi stress oksidatif tidak secara

sempurna diketahui, meskipun banyak sekali penelitian menunjukkan bukti-bukti

tersebut. Mekanisme tersebut setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa hal di bawah

ini:

2.4.1 Pb mempunyai efek langsung terhadap membran sel

Pengaruh Pb terhadap eritrosit banyak diamati oleh karena affinitas eritrosit

(28)

menimbulkan destabilitas membran sel, menurunkan fluiditas membran dan

meningkatkan kecepatan hemolisis. Pb dianggap sebagai agen hemolitik seperti juga

tembaga dan air raksa, menyebabkan penghancuran eritrosit melalui pembentukan

peroksida-peroksida lipid dalam membran sel.

Beberapa penelitian menunjukkan terjadi peninggian asam arakidonat (20:4)

dan rasio asam arakidonat-asam linoleat (18:2) pada membran sel liver, serum dan

eritrosit. Dianggap bahwa peninggian asam arakidonat yang diinduksi Pb

bertanggung jawab terhadap terjadinya peroksidasi lipid membran. Disisi lain Pb

berikatan kuat dengan phosphatidilkholin membran sel secara invitro pada

pengamatan shafiq-Ur Rahman dan Abdulla (1993) dalam Gurer & Ercal (2000),

sehingga kadar phosphatidilkholin membran sel menurun.

2.4.2 Interaksi Pb dan hemoglobin

Interaksi logam-logam berat pada oksihemoglobin dikemukakan sebagai

sumber pembentukan radikal bebas superoksid (O2-) pada eritrosit. Penelitian Ribarov

(1981) dalam Gurer & Ercal (2000) invitro, menunjukkan bahwa Pb secara bermakna

memperbesar autooksidasi hemoglobin pada liposom.

2.4.3 ALA menginduksi pembentukan ROS

Penghambatan terhadap delta aminolevulinic acid dehidrogenase (DALAD),

enzym utama dalam biosintesis heme, menyebabkan peninggian kadar substrat ALA

(aminolevulinic acid) baik dalam darah ataupun urin individu yang terkena.

Peningkatan kadar ALA menyebabkan pembentukan hidrogen peroksida, radikal

(29)

radikal bebas yang paling reaktif. ALA yang kemudian teroksidasi akan menjadi

asam 4,5-dioxovalerat, suatu senyawa yang berpotensi genotoksik dan

memungkinkan Pb sebagai karsinogenik (Gurer-Orhan et al, 2004).

ALA mengalami enolisasi dan autooksidasi pada pH 7-8. Enol ALA (ALA

terenolisasi) menjadi donor elektron ke oksigen molekuler bersama dengan transfer

elektron dari oksihemoglobin ke oksigen. H2O2 dan O2- yang terbentuk berinteraksi

membentuk radikal HO yang sangat reaktif. Disamping oksihemoglobin,

methemoglobin dan logam besi atau kompleks besi juga memicu oksidasi ALA

(Monteiro et al, 1986 dalam Gurer & Ercal, 2000).

2.4.4 Pb mempengaruhi pertahanan antioksidan sel

Beberapa penelitian melaporkan terjadinya perubahan pada enzim-enzim

antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase

(GPx) dan juga molekul antioksidan seperti glutation (GSH) pada pemaparan Pb. Pb

pada dosis rendah, meningkatkan kadar enzim-enzim anti-oksidan dalam darah

seperti SOD, katalase dan GPx tetapi pemaparan pada dosis lebih tinggi (lebih dari 40

µg/dL darah) dan jangka waktu lama justru akan menekan enzim-enzim tersebut

(Kasperczyk et al, 2004). Pb dan logam lain seperti Hg dan Cd mempunyai affinitas

tinggi terhadap gugus sulfhidril (SH). Pb menghambat beberapa enzim dengan gugus

fungsional SH seperti delta aminolevulinic acid dehidrogenase (DALAD) dan

glucose 6-phosphat dehidrogenase (G6PD). G6PD adalah enzim yang bertanggung

(30)

ini penting dalam menjaga tersedianya GSH yang dibentuk kembali dari glutation

teroksidasi (GSSG) oleh enzim glutation reduktase (GR) (Devlin, 2002).

GSH mempunyai gugus SH yang berpotensi reduktif, menjadikan molekul ini

pelindung sel dari stres oksidatif. Peran GSH sebagai molekul anti-oksidan dapat

secara non-enzimatik atau enzimatik sebagai ko-faktor/ko-enzim dalam detoksifikasi

ROS. Pb yang berikatan dengan gugus SH dari GSH, menyebabkan kadar GSH

menurun dan mempengaruhi aktivitas antioksidannya.

Enzim GR menyokong sistem pertahanan antioksidan secara tak langsung.

Enzim ini memiliki disulfida pada tempat katalitiknya, yang merupakan target Pb.

Dengan demikian Pb yang terikat pada enzim ini menghambat aktivitasnya.

GPx, katalase dan SOD adalah metaloprotein yang mendetoksifikasi secara

enzimatik berbagai peroksida, H2O2 dan O2- . Enzim-enzim ini sangat tergantung

pada berbagai mikromineral untuk struktur molekulnya ataupun fungsi enzimatiknya,

sehingga potensial menjadi target dari efek Pb.

Pb diketahui sebagai antagonis selenium (Se), menurunkan pengambilan Se

oleh jaringan dan berakibat menurunkan aktivitas GPx yang memerlukan Se sebagai

ko-faktornya. Pb menurunkan absorbsi besi di saluran cerna dan menghambat

biosintesis heme, menyebabkan gagalnya pembentukan hemoglobin darah dan juga

menurunkan aktifitas katalase yang memerlukan heme sebagai gugus prostetiknya.

SOD adalah enzim yang memerlukan Cu dan Zn untuk aktifitasnya. Terdapat

korelasi yang tinggi antara penurunan SOD dengan penurunan kadar Cu darah pada

(31)

terdapat efek pada SOD bila kadar Cu darah normal. Pengamatan ini mengesankan

adanya penghambatan oleh Pb terhadap aktifitas SOD secara tak langsung melalui

penurunan kadar Cu (Gurer & Ercal, 2000).

2.5 Peroksidasi Lipid

Asam lemak tidak jenuh ganda mudah sekali teroksidasi oleh radikal bebas atau

senyawa-senyawa reaktif lainnya seperti H2O2. Reaksi lipid peroksidasi dimulai

dengan keluarnya atom hidrogen dari asam lemak tidak jenuh ganda. Radikal lipid

yang terbentuk kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil. Akan

terjadi reaksi rantai radikal, ketika radikal peroksil ini menarik atau mengeluarkan

atom hidrogen dari molekul asam lemak yang lain. Terdapatnya logam transisi seperti

Fe akan memulai pembentukan radikal lebih lanjut. Salah satu akibat penting

peroksidasi lipid adalah pembentukan senyawa-senyawa aldehida. Rantai reaksi ini

terus berlanjut bilamana radikal-radikal bebas yang terbentuk bereaksi dengan

molekul-molekul lain disekitarnya.

Peroksidasi lipid adalah mekanisme dari trauma sel, baik pada tumbuhan

ataupun hewan, dengan demikian peroksidasi lipid digunakan sebagai indikator dari

stres oksidatif pada sel dan jaringan. Endoperoksida lipid yang berasal dari asam

lemak tak jenuh ganda, bersifat tak stabil dan terurai membentuk beberapa senyawa

komplek, termasuk senyawa karbonil reaktif, terutama malondialdehyde (MDA).

Sehingga pengukuran MDA sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid

(32)

Lipid membran sel mengandung asam-asam lemak tak jenuh yang hidrofob.

Tahap awal peristiwa peroksidasi pada asam-asam lemak tak jenuh ganda yang

terdapat pada membran disebut first chain initiation. Tahapan ini menunjukkan

serangan molekul-molekul yang reaktif terhadap atom hidrogen, sehingga terlepas

dari gugus metilen asam-asam lemak tak jenuh tersebut. Terdapatnya ikatan rangkap

pada asam lemak, melemahkan ikatan C-H pada atom carbon yang ada pada ikatan

rangkap dan menyebabkan atom H dapat dilepas dengan mudah. Asam-asam lemak

tanpa ikatan rangkap dan dengan 1 atau 2 ikatan rangkap akan lebih tahan terhadap

serangan oksidatif daripada asam-asam lemak tak jenuh ganda. Pengamatan Yiin dan

Lin (dalam Patrick, 2006) terhadap inkubasi asam linoleat, linolenat dan arachidonat

bersama Pb, menunjukkan peningkatan kadar MDA yang sebanding dengan jumlah

ikatan rangkap dari asam-asam lemak tersebut.

2.6 MDA dan Pengukurannya

Asam lemak tak jenuh ganda yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap

sangat rentan terhadap oksidasi oleh radikal bebas atau molekul-molekul reaktif

lainnya. Molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom hidrogen dari ikatan

rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal peroksil lipid. Radikal ini

kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh lainnya membentuk hidroperoksida

lipid dan radikal peroksil lipid yang baru, yang kemudian meneruskan reaksi oksidasi

(33)

peroksidasi lipid. Proses tersebut juga akan membentuk endoperoksida siklik yang

akan terurai menjadi malondialdehida.

Malondialdehyde (MDA) yang mempunyai berat molekul rendah ini adalah satu

dari beberapa molekul hasil penguraian endoperoksida lipid yang terbentuk selama

proses peroksidasi lipid. MDA menjadi alat ukur yang paling banyak digunakan

sebagai indikator peroksidasi lipid. Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan dasar

reaksi MDA dengan asam tiobarbiturat (TBA) yang membentuk senyawa berwarna

MDA-TBA2 dan mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang 532-534 nm.

Senyawa berwarna tersebut dapat diukur konsentrasinya berdasarkan absorbansi

warna yang terbentuk, dengan membandingkannya pada absorbansi warna larutan

standar yang telah diketahui konsentrasinya menggunakan spektrofotometer

(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental terhadap mencit,

dengan 5 (lima) kelompok perlakuan dan 1 (satu) kelompok kontrol.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Biokimia Balai Penyidikan dan

Pengujian Veteriner (BPPV), Medan. Waktu penelitian delapan minggu, dimulai 6

Agustus sampai dengan 30 September, tahun 2007.

3.3Populasi Penelitian

Adapun populasi penelitian ini adalah mencit putih jantan (Mus musculus L),

strain BALBC, berumur 10 - 12 minggu dengan berat badan 30 - 40 g. Hewan uji

diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV), Medan.

3.4 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah 24 ekor mencit jantan yang dipilih dengan tehnik

acak sederhana. Sampel dikelompokka n atas 6 kelompok, yakni kelompok I sebagai

kontrol, sedangkan kelompok II sampai VI adalah kelompok perlakuan.

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Federer:

(35)

Dimana:

n = besar sampel dalam kelompok perlakuan

t = banyaknya kelompok perlakuan (6 kelompok)

Banyak sampel yang dibutuhkan dalam kelompok:

{ (6 – 1) (n – 1) }≥ 15

5 (n – 1) ≥ 15

5n – 5 ≥ 15

5n ≥ 20

n ≥ 4

Besar sampel untuk 6 kelompok: 24

3.5Rancangan Penelitian

Mencit dipelihara dalam kandang plastik dengan anyaman kawat sebagai

penutup. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki ventilasi dan mendapat

cahaya matahari secara tak langsung. Kandang, tempat makan dan minum

dibersihkan sedikitnya tiga kali dalam seminggu. Sebelum perlakuan, mencit

diaklimatisasi selama seminggu. Pemberian makan dan minum dilakukan setiap hari

secara ad libitum. Pakan yang diberikan berupa pellet c-05, produksi PT. Charoen

Pokphan Medan dan aquades. Sampel yang terdiri dari 24 ekor mencit dibagi secara

acak dalam 6 kelompok masing-masing 4 ekor. Tiap kelompok diberi kode kelompok

(36)

Perlakuan diberikan sesuai dengan kelompoknya. Sebelum perlakuan, lebih

dulu dilakukan penimbangan berat badan mencit. Bahan uji diberikan secara oral

dengan menggunakan sonde yaitu alat suntik dengan jarum yang ujungnya

ditumpulkan. Sonde dimasukkan dengan hati-hati, kira-kira mencapai lambung.

Waktu pemberian bahan uji diusahakan tetap diantara jam 09.00 sampai dengan jam

10.00 WIB.Volume pemberian bahan adalah 0,1 mL/10 g BB, diberikan setiap hari

selama 28 hari (Ngatidjan, 1991). Dosis Pb yang diberikan pada masing-masing

kelompok dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Dosis Pb Asetat pada Kelompok Perlakuan

Kelompok Dosis Pb Asetat (mg/kg BB)

I 0 (Kontrol)

Setelah 4 minggu, perlakuan dihentikan. Satu hari setelah perlakuan dihentikan,

berat badan mencit ditimbang dan dibunuh secara dislokasi leher, kemudian

dilakukan pengambilan darah melalui punksi jantung sebanyak lebih kurang 0,5 – 1

mL dan dipersiapkan untuk pengukuran kadar malondialdehida plasma dan jumlah

eritrosit. Konsentrasi Pb yang dipakai dalam penelitian ini dan lamanya waktu

pemberian dimodifikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Aykin-Burns dan

(37)

konsentrasi 2 ppm pada air minum selama 4 minggu dan penelitian El-Ashmawy dan

kawan-kawan yang memberi Pb asetat 0,5% pada mencit setiap hari selama 8 minggu

untuk menilai peroksidasi lipid pada hati mencit.

Gambar 2. Pemberian Perlakuan pada Mencit

3.6 Prosedur Pemeriksaan

3.6.1 Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan dari jantung. Adapun alat dan bahan

yang digunakan adalah: spuit 1 ml, tabung mikrosentrifugasi berisi EDTA sebagai

antikoagulan, tabung mikrosentrifugasi kosong dan mikrosentrifugasi.

Cara kerja: darah diambil sebanyak 0,5 – 1 ml dengan menggunakan spuit,

dimasukkan ke tabung yang telah berisi EDTA. Setelah diambil untuk pemeriksaan

(38)

Cairan plasma darah yang telah terpisah dari bagian padat darah segera dipindahkan

ke tabung mikrosentrifuge kosong (NWLSSTM Malondialdehyde Assay).

3.6.2 Pengukuran Kadar MDA Plasma

Pengukuran kadar MDA plasma dilakukan menurut metode yang digunakan

Rao dan kawan-kawan dalam Hsieh dan kawan-kawan dan metode NWLSSTM

Malondialdehyde Assay yang telah dimodifikasi. Alat dan bahan yang diperlukan:

pipet 10, 200 µL, pipet tip, stir bar, tabung mikrosentrifugasi polipropilena,

semi-mikro kuvet, spektrofotometer, vorteks, magnetic stirrer, water bath,

mikrosentrifugasi, 2-thiobarbituric acid, asam asetat glasial, natrium hidroksida,

malondialdehida bis dan aquabides.

Persiapan reagensia dimulai dengan membuat reagensia TBA (thiobarbituric

acid) dengan melarutkan 0,67 g 2 thiobarbituric acid dalam 100 ml aquabidest,

kemudian ditambahkan 0,5 g natrium hidroksida dan 100 ml asam asetat glasial.

Selanjutnya membuat larutan serial standar dari larutan stok MDA 125 µM yang

(39)

Tabel 2. Persiapan MDA Standar untuk Spektrofotometer

Nomor Standar Konsentrasi MDA Volume MDA Volume

Standar (µM) 125 µM (µl) aquabides (µl)

8 50 400 600

7 25 200 800

6 10 80 920

5 5 40 960

4 2,5 20 980

3 1,25 10 990

2 0,625 5 995

1 0 0 1000

__________________________________________________________________

Setelah diperoleh delapan larutan serial standar MDA dengan konsentrasi

yang berbeda, semua standar ini kemudian diproses sebagaimana prosedur pembuatan

sampel untuk pengukuran kadar malondialdehyde pada spektrofotometer, untuk

mendapatkan kurve standar MDA yang akan menjadi faktor kali pengukuran kadar

MDA sampel.

Gambar 3. MDA Standar untuk Spektrofotometer

Keterangan: dari kiri ke kanan, tabung 1: larutan standar 0 µM, tabung 2: larutan standar 0,625 µM, tabung 3: larutan standar 1,25 µM, tabung 4: larutan standar 2,5

(40)

Prosedur kerja: sebanyak 100 µl sampel (plasma darah) atau standar

dimasukkan dalam tabung mikrosetrifuge yang telah dilabel. Pada masing-masing

tabung ditambahkan aquabidest 0,9 ml. Pada sampel atau standar tersebut,

selanjutnya ditambahkan TBA reagent 0,5 ml. Tabung berisi larutan kemudian

dipanaskan di dalam waterbath pada suhu 950C selama 1 jam, selanjutnya

disentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh

diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 534

nm.

Gambar 4. Pemanasan Larutan Sampel dalam Waterbath

3.6.3 Penghitungan Jumlah Eritrosit

Pada pemeriksaan ini digunakan beberapa alat dan bahan yaitu pipet eritrosit,

(41)

blood). Pipet eritrosit diisi dengan darah sampai 0,5, kemudian sambil menahan darah

pada ujung pipet isikan dengan larutan Hayem sampai garis 101. Ujung pipet

diletakkan pada posisi horizontal agar cairan tidak keluar dan kedua ujung pipet

ditekan, kemudian digoyang-goyang selama 3-5 menit. Sebanyak 3 tetes cairan

dibuang dan dengan posisi 300 masukkan cairan ke dalam kamar hitung yang telah

ditutup dengan kaca penutup. Setelah 2 menit, eritrosit dihitung di bawah mikroskop

dengan pembesaran 40 kali.

Jumlah eritrosit dihitung dengan cara, bidang yang dihitung adalah 5 bidang

kecil E1+E2+E3+E4+E5. Dengan pengenceran eritrosit 200 kali, dan tinggi kamar

hitung 1/10 mm, seluruh permukaan kamar hitung adalah 1/5 mm, maka faktor

perkaliannya adalah 5 * 10 * 200 = 10000 / mm3. Jumlah eritrosit adalah: (E1 + E2 +

E3 + E4 + E5 ) * 10000 / mm3 (Aman et al, 2007).

3.7 Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pb asetat dalam konsentrasi 0%,

0,05%, 0,1%, 0,2%, 0,4%, dan 0,8%. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

konsentrasi MDA plasma dan jumlah eritrosit.

3.8Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan program komputer SPSS 11. Dicari

apakah terdapat perbedaan kadar MDA dan jumlah eritrosit antara kelompok

perlakuan, menggunakan uji Analisis Varian (Anova) satu arah atau uji Kruskal

(42)

pada tingkat kemaknaan p < 0,05. Hubungan antara kadar MDA dan jumlah eritrosit

dianalisis dengan korelasi Pearson.

KERANGKA KERJA

24 mencit

30-40gr

I(Pb0

mg/kg)

II(Pb5

mg/kg)

III(Pb10

mg/kg)

IV(Pb20

mg/kg)

V(Pb40

mg/kg)

VI(Pb80

mg/kg)

Setelah 4 minggu:

-Kadar MDA plasma

-Jumlah eritrosit

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Plumbum telah diketahui sebagai bahan toksik dalam hampir semua bentuk

kimianya. Zat ini masuk ke dalam tubuh dengan cara terinhalasi, termakan dan

terminum. Tingkat pemaparan ringan, sedang dan tinggi baik di lingkungan umum

ataupun di tempat kerja, akan menimbulkan gangguan dalam fungsi fisiologis dan

metabolisme tubuh.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemberian beberapa konsentrasi

Pb terhadap terjadinya peroksidasi lipid yang diukur sebagai kadar MDA plasma dan

akibatnya terhadap kerusakan atau lisisnya eritrosit. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa patogenesa kerusakan jaringan oleh pemaparan Pb adalah efek

stres oksidatif yang ditimbulkannya. Secara keseluruhan efek Pb terhadap tubuh

adalah menyebabkan gangguan keseimbangan pro-oksidan dan anti-oksidan

(Gurer-Orhan et al, 2004). Peroksidasi lipid sebagai dampak dari meningkatnya pro-oksidan

dan diukur sebagai kadar MDA didapati meningkat pada hati dan otak setelah

pemberian Pb dan peningkatan tersebut lebih dominan terjadi pada eritrosit

(Aykin-Burns et al, 2002).

4.1 Kadar MDA Plasma dan Jumlah Eritrosit

Perlakuan diberikan selama 28 hari, dimulai dari kelompok V dan VI,

(44)

diperoleh berupa kadar MDA plasma dan jumlah eritrosit, yang didapatkan satu hari

setelah perlakuan selesai, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Kadar MDA Plasma dan Jumlah Eritrosit Hewan Uji

Kelompok Hewan Uji Kadar MDA (µM) Jumlah Eritrosit(*106)

4.2 Rerata Kadar MDA Plasma dan Jumlah Eritrosit

Kadar rerata MDA plasma hewan uji pada masing-masing kelompok

perlakuan, didapati adanya peningkatan dari kelompok yang mendapat Pb dengan

(45)

kelompok VI (mendapat Pb 0,8%). Nilai tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah

Grafik 1. Rerata Kadar MDA Plasma

Kelompok dengan pemberian Pb 0,8% diperoleh kadar MDA 39,62 µM,

justru lebih rendah dari kelompok yang mendapat Pb 0,2% (41,08 µM) dan kelompok

yang mendapat Pb 0,4% (46,53 µM). Hal ini tampaknya sejalan dengan penelitian

Sipos terhadap cairan empedu ayam ternak yang diberi Pb dengan dosis berbeda (400

dan 600 mg/Kg). Dalam penelitian tersebut hasil pengukuran dua parameter

peroksidasi lipid yaitu TBA-reactive products (dalam hal ini MDA) dan

Diene-conjugates menunjukkan nilai yang lebih rendah pada ayam ternak yang mendapat Pb

dengan dosis lebih tinggi (Sipos et al, 2003).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pb menganggu proses metabolisme

tubuh pada rentang konsentrasi terkecil yang diberikan. Pemberian Pb dengan rentang

konsentrasi terkecil (0,05%) ternyata meningkatkan peroksidasi lipid pada darah

(46)

tersebut terus meningkat pada kelompok-kelompok yang mendapat Pb dengan

konsentrasi lebih tinggi sampai rentang konsentrasi 0,4%. Hal ini menunjukkan

bahwa peroksidasi lipid meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi Pb yang

diberikan dalam rentang tertentu. Kadar MDA yang lebih rendah pada kelompok

yang mendapat Pb dengan rentang konsentrasi tertinggi (0,8%) bila dibandingkan

dengan kelompok yang mendapat Pb konsentrasi 0,2% dan 0,4%, belum dapat

dijelaskan. Stres oksidatif mungkin bukan satu-satunya pato-mekanisme kerusakan

jaringan oleh karena Pb. Hal ini dikuatkan dengan menurunnya parameter peroksidasi

lipid pada pemberian Pb dosis tinggi, sementara kerusakan jaringan yang

ditimbulkannya secara histologis lebih berat (Sipos et al, 2003).

Rerata jumlah eritrosit pada semua kelompok yang mendapat Pb didapati

lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Nilai tersebut dapat dilihat

pada grafik di bawah ini.

2.38

(47)

Dari enam kelompok hewan uji, rerata jumlah eritrosit yang terkecil terdapat pada

kelompok VI, kelompok yang mendapat Pb dengan konsentrasi paling besar.

Nilai rerata jumlah eritrosit pada kelompok mencit yang mendapat Pb 0,05%

lebih rendah dari kelompok yang mendapat Pb 0,1% dan 0,2%, hal ini dimungkinkan

oleh karena adanya variasi individu atau oleh karena bias pengambilan darah sampel.

Jika nilai ekstrim rendah yang diperoleh pada pengumpulan data dari kelompok

0,05% dikeluarkan, maka rerata jumlah eritrosit pada kelompok 0,05% tersebut akan

meningkat di atas kelompok mencit yang mendapat Pb 0,1% dan 0,2%.

4.3 Uji Normalitas menurut Shapiro-Wilk Test

Sebelum data diolah lebih jauh secara statistik, dilakukan uji normalitas

terlebih dahulu untuk kemudian menentukan uji analisis statistik yang sesuai.

Tabel 4. Uji Normalitas Data Kadar MDA Plasma

Data Kadar MDA N Rerata Shapiro-Wilk Sig.

__________________________________________________________________

I 4 27.69 .753 .041

II 4 33.92 .904 .449

III 4 36.79 .942 .668

IV 4 41.08 .956 .751

V 4 46,53 .962 .789

VI 4 39.62 .893 .396

__________________________________________________________________

• Jika p >0,05, data berdistribusi normal

(48)

Uji normalitas data di atas menunjukkan bahwa semua data MDA plasma

berdistribusi normal, kecuali untuk kelompok I.

Tabel 5. Uji Normalitas Data Jumlah Eritrosit

Data Jumlah Eritrosit N Rerata Shapiro-Wilk Sig.

I 4 2.38 .911 .488

II 4 1.79 .915 .507

III 4 2.11 1.000 1.000

IV 4 2.20 .943 .670

V 4 1.76 .830 .168

VI 4 1.47 .900 .432

• Jika p >0,05, data berdistribusi normal.

• Jika p <0,05, data berdistribusi tidak normal.

Semua data jumlah eritrosit, berdasarkan uji normalitas di atas adalah berdistribusi

normal.

4.4 Uji Statistik Perbedaan Kadar MDA

Analisis statistik yang digunakan untuk mencari perbedaan rerata kadar MDA

dari beberapa kelompok perlakuan dalam penelitian ini, berdasarkan distribusi

datanya adalah uji Kruskal Wallis.

Tabel 6. Uji Kruskal Wallis Data Kadar MDA

N Rerata Chi-Square df Sig.

MDA 24 37.60 3.589 5 .610

(49)

• Jika p < 0,05, berbeda bermakna.

• Jika p > 0,05, tidak berbeda bermakna.

Kadar MDA plasma mencit dari kelompok-kelompok yang mendapat Pb dengan

konsentrasi berbeda, berdasar uji statistik di atas tidak berbeda secara bermakna.

Pada penelitian ini diperoleh kadar MDA plasma dari mencit-mencit

perlakuan yang cendrung meningkat mulai dari rentang konsentrasi terendah sampai

yang paling tinggi bila dibandingkan dengan mencit-mencit yang bebas dari Pb,

meskipun secara statistik nilainya tidak berbeda secara bermakna. Kelompok yang

bebas Pb dengan kadar MDA 27,69 µM, kelompok yang mendapat Pb 0,05% dengan

kadar MDA 33,92 µM, kelompok yang mendapat Pb 0,1% mempunyai kadar MDA

36,79 µM, kelompok yang mendapat Pb 0,2% mempunyai kadar MDA 41,08 µM dan

kelompok yang mendapat Pb 0,4% mempunyai kadar MDA tertinggi yaitu 46,53 µM.

4.5 Uji Statistik Perbedaan Jumlah Eritrosit

Analisis statistik untuk mencari perbedaan rerata jumlah eritrosit diantara

kelompok-kelompok dalam penelitian ini, berdasar distribusi datanya adalah uji

Anova satu arah. Data lebih dahulu diuji homogenitas variannya. Data jumlah

eritrosit berdasar uji di atas mempunyai varian yang sama, dengan demikian data

tersebut memenuhi syarat dianalisis menggunakan uji Anova. Uji statistik ini dapat

(50)

Tabel 7. Uji Anova Jumlah Eritrosit

df F Sig.

Antar kelompok 5 2.158 .105

Dalam kelompok 18 . .

__________________________________________________________________

• Jika p < 0,05, berbeda bermakna.

• Jika p > 0,05, tidak berbeda bermakna.

Rerata jumlah eritrosit mencit dalam kelompok-kelompok yang mendapat Pb dengan

berbagai konsentrasi, berdasar analisis statistik di atas tidak menunjukkan perbedaan

yang bermakna.

Jumlah eritrosit pada mencit-mencit perlakuan dalam penelitian ini secara

statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, tetapi rerata jumlah eritrosit

kelompok yang bebas dari Pb nyata lebih tinggi dibanding kelompok-kelompok yang

mendapat Pb. Jumlah eritrosit paling rendah didapati berturut-turut pada kelompok

yang mendapat Pb dengan konsentrasi 0,4% dan 0,8%. Hal ini tampaknya sejalan

dengan beberapa literatur yang menjelaskan bahwa hemolisis dan anemia adalah

tanda klinis yang dijumpai pada keracunan Pb (Pagliuca et al, 1990).

4.6 Korelasi Kadar MDA dan Jumlah Eritrosit

Peningkatan kadar MDA plasma dengan terjadinya penurunan jumlah eritrosit

(51)

korelasi Product Moment Pearson. Uji statistik tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 8. Uji Korelasi Kadar MDA dan Jumlah Eritrosit

MDA Eritrosit

Uji statistik antara kadar MDA dan jumlah eritrosit dalam penelitian ini

menunjukkan adanya korelasi negatif (r = -.415) dan korelasi tersebut bermakna (p =

0,044). Hal ini menunjukkan bahwa peroksidasi lipid yang berlangsung dalam darah

mencit menyebabkan terjadinya lisis eritrosit atau hemolisis yang menyebabkan pula

penurunan jumlah eritrosit. Peroksidasi pada fosfolipid membran eritrosit

menyebabkan destabilitas membran dan menurunkan fluiditasnya, yang kemudian

meningkatkan kecepatan hemolisis. Hemolisis menjadi dampak akhir dari peroksidasi

lipid oleh karena reactive oxygen species di membran eritrosit. Pb juga berikatan

langsung dengan fosfatidil kolin membran eritrosit yang menyebabkan kadar

fosfolipid membran menurun. Selain hal tersebut, Pb juga menyebabkan hemolisis

(52)

hemolisis pada keracunan Pb secara mikroskopis adalah anemia normokrom atau

hipokrom.

Peningkatan kadar molekul ALA oleh karena dihambatnya kerja enzim

DALAD, dapat memicu terbentuknya hidrogen peroksida, radikal superoksid dan

radikal hidroksil. Molekul-molekul reactive oxygen species yang meninggi oleh

karena Pb ini diikuti pula dengan menurunnya hampir semua enzim dan molekul

pertahanan anti oksidan seperti glutation, glutation peroksidase, katalase, superoksid

dismutase, glutation reduktase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase. Enzim terakhir ini

membentuk molekul pereduksi NADPH di luar mitokondria, sehingga menjadi

satu-satunya sumber NADPH pada eritrosit (Gurer & Ercal, 2000).

Anemia pada keracunan Pb juga disebabkan oleh terhambatnya sintesis heme

yang membentuk hemoglobin, dikarenakan Pb mengikat DALAD, enzym kunci

dalam biosintesa heme. Hal ini tampaknya dapat menjelaskan hasil hitung jumlah

eritrosit dalam penelitian ini, khususnya pada kelompok mencit yang mendapat Pb

0,8%. Pada kelompok mencit yang mendapat Pb 0,8%, tingkat peroksidasi lipid atau

stres oksidatif lebih ringan dibandingkan kelompok mencit yang mendapat Pb 0,2%

dan 0,4%, akan tetapi jumlah eritrosit pada kelompok 0,8% adalah yang paling

rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurunnya jumlah eritrosit pada

kelompok 0,8% tersebut tidak hanya disebabkan oleh stres oksidastif tetapi dapat juga

oleh karena gangguan sintesis hemoglobin. Peroksidasi lipid yang berlangsung di

eritrosit dan pemeriksaan mikroskopis eritrosit sangat disayangkan tidak dilakukan

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Plumbum yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan gangguan fungsi fisiologis

dan metabolisme melalui efek stres oksidatif, yang terlihat dari meningginya

parameter peroksidasi lipid jaringan.

2. Pemberian Pb dengan rentang konsentrasi terendah (0,05%) ternyata sudah dapat

meningkatkan peroksidasi lipid yang diukur dengan kadar MDA plasma.

3. Keracunan Pb menyebabkan menurunnya jumlah sel darah merah (eritrosit).

4. Penurunan jumlah eritrosit oleh keracunan Pb berhubungan dengan meningkatnya

peroksidasi lipid dalam darah.

5.2 Saran

1. Perbedaan data hasil pengukuran dalam penelitian ini secara statistik tidak

bermakna, hal ini dimungkinkan oleh karena jumlah sampel yang kecil, untuk itu

perlu dilakukan penelitian yang sama dengan jumlah sampel lebih besar.

2. Perlu diteliti lebih jauh parameter lain dari stres oksidatif seperti kadar atau

aktivitas molekul-molekul pro-oksidan dan anti-oksidan pada keracunan Pb, untuk

mengetahui molekul apa saja yang dipengaruhi Pb sehingga menimbulkan ketidak

seimbangan pro-oksidan dan anti-oksidan yang berefek pada meningkatnya

(54)

3. Perlu diteliti lebih lanjut efek Pb yang masuk ke tubuh melalui inhalasi (saluran

nafas) dibandingkan melalui saluran cerna, mengingat inhalasi adalah jalan masuk

utama.

4. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi Pb

terhadap kadar MDA plasma, dalam jangka waktu yang sama, perlu diteliti lebih

lanjut pengaruh tersebut berdasar perbedaan waktu / lama pemaparan.

5. Perlu diteliti lebih jauh pato-mekanisme lain dari efek merusak Pb selain stres

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Aman, A.K., Ganie, R.A., Kar, A.S., Siregar, Y., Lubis, B., Arifin, Z., et al. 2007. Buku rancangan pengajaran: Hematologic & immunologic system. Medical Education Unit, Fak. Kedokteran. USU.

Aykin-Burns, N., Laegeler, A., Kellogg, G., Ercal, N. 2003. Oxidative effects of lead in young and adult fisher 344 rats. Arch. Environ. Contam. Toxicol. 44: 417-420.

Devlin, M.T. 2002. Bioenergetics and oxidative metabolism In: Biochemistry with clinical correlations. 5th ed. Wiley-liss, Canada. 590-592.

Ding, Y., Gonick, H.C., Vaziri, N.D. 2000. Lead promotes hydroxyl radical generation and lipid peroxidation in cultured aortic endothelial cells. Am J Hypertens. 13: 552-555.

El-Ashmawy, I.M., Ashry, K.M., El-Nahas, A.F., Salama, O.M. 2006. Protection by turmeric and myrrh against liver oxidative damage and genotoxicity induced by lead acetate in mice. Basic & Clinical Pharmacology & Toxicology. 98:32-37.

Ercal, N., Gurer, H., Aykin-Burns, N. 2001. Toxic metals and oxidative stress. Part 1. Mechanisms involved in metal induced oxidative damage. Curr Top Med Chem. 1:529-539

Federer, W.Y. 1963. Experimental design theory and application. New York, Mac Millan. 544.

Fracasso, M.E., Perbellini, L., Solda, S., Talamini, G., Franceschetti, P. 2002. Lead induced DNA strand breaks in lymphocytes of exposed workers: role of ROS and protein kinase C. Mutation Research. 515: 159-169.

Gajawat, S., Sancheti, G., Goyal, P.K. 2006. Protection against lead-induced hepatic lesions in swiss albino mice by ascorbic acid. Pharmacologyonline. 1: 140-149

(56)

Gurer-Orhan, H., Sabir, H.U., Ozgunez, H. 2004. Correlation between clinical indicators of lead poisoning and oxidative stress parameters in controls and lead exposed workers. Toxicology. 195:147-154.

Kasperczyk, S., Birkner, E., Kasperczyk, A., Zalejska-Fiolka, J. 2004. Activity of superoxide dismutase and catalase in people protractedly exposed to lead compounds. Ann Agric Environ Med. 11: 291-296.

Lim, S., Doherty, J.D., Salem, N,Jr. 2005. Lead exposure and (n-3) fatty acid deficiency during rat neonatal development alter liver, plasma, and brain polyunsaturated fatty acid composition. J. Nutr. 135:1027-1033.

Mc Kee, T., Mc Kee, J.R. 2003. Aerobic metabolism II: electron transport and oxidative phosphorylation In: Biochemistry the molecular basis of life. 3rd ed. McGraw-Hill, NY 10020. 319-326.

MSDS-Material Safety Data Sheet. 2006. Lead nitrate. MSDS no L3130. p 1-8

Ngatidjan. 1991. Metode laboratorium dalam toksikologi. UGM, Yogyakarta.

Pagliara, P., Carla, C.E., Caforio, S., Chionna, A., Massa, S., Abbro, L., Dini, L. 2003. Kupffer cells promote lead nitrate-induced hepatocyte apoptosis via oxidative stress. Comparative Hepatology. 2 (8): 1-13.

Pagliuca, A., Mufti, G.J., Baldwin, D., Lestas, A.N., Wallis, R.M., Bellingham, A.J. 1990. Lead poisoning: clinical, biochemical and haematological aspects of a recent outbreak. J Clin Pathol. 43: 277-281.

Patrick, L. 2006. The role of free radical damage and the use of antioxidants in the pathology and treatment of lead toxicity. Altern Med Rev 11(2): 114-127

Quinlan, G.J., Halliwell, B., Moorehouse, C.P., Gutteridge, J.M.C. 1988. Action of lead and aluminium on iron stimulated lipid peroxidation in liposomes, erythrocytes and rat liver microsomal fractions. Biochemica et Biophysica Acta. 962: 196-200.

(57)

Snyder, J.E., Filipov, N.M., Parsons, P.J., Lawrence, D.A. 2000. The efficiency of maternal transfer of lead and its influence on plasma IgE and splenic cellularity of mice. Toxicological Sciences. 57: 87-94.

Tong, S., Von-schimding, Y.E., Prapamontol, T. 2000. Environmental lead exposure: a public health problem of global dimensions. Bull WHO 78: 1068-1077.

WHO-World Health Organization. 1977. Lead. Environmental health criteria no. 3, Geneva, WHO.

Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wozniak, K., Blasiak, J. 2003. In vitro genotoxicity of lead acetate: induction of single and double DNA strand breaks and DNA-protein cross-links. Mutat.Res. 535: 127-139.

(58)

Lampiran 1

Data kadar MDA, Senin, 10 september 2007

NO CONC

Data kadar MDA, Rabu, 12 September 2007 CONC

Data kadar MDA, Selasa, 18 September 2007

(59)

Data jumlah eritrosit, senin 10 September 2007

Data jumlah eritrosit, Rabu 12 September 2007 KODE

Data jumlah eritrosit, Selasa 18 September 2007 KODE

(60)

Lampiran 2

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Lilliefors Significance Correction a.

Descriptives konsentrasi MDA(mikroMolar)

4 27.6935 12.26064 6.13032 8.1841 47.2029 16.79 38.60 4 33.9255 6.15255 3.07627 24.1354 43.7156 27.11 39.96 4 36.7982 3.37437 1.68718 31.4289 42.1676 32.37 39.96 4 41.0828 12.48251 6.24126 21.2203 60.9452 27.50 57.69 4 46.5358 23.46965 11.73483 9.1903 83.8812 22.44 75.02 4 39.6220 9.10190 4.55095 25.1388 54.1052 31.98 52.43 24 37.6096 12.85459 2.62393 32.1816 43.0376 16.79 75.02 Pbk

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum

(61)

Test Statisticsa,b

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

(62)

Descriptives jml erit(juta)

4 2.3825 .09535 .04768 2.2308 2.5342 2.30 2.51 4 1.7950 .59017 .29508 .8559 2.7341 1.26 2.53 4 2.1175 .43177 .21588 1.4305 2.8045 1.60 2.63 4 2.2075 .28570 .14285 1.7529 2.6621 1.93 2.60 4 1.7675 .54476 .27238 .9007 2.6343 1.36 2.56 4 1.4750 .57669 .28834 .5574 2.3926 .69 1.96 24 1.9575 .51162 .10443 1.7415 2.1735 .69 2.63 Pbk

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

ERIT

2.26E+12 5 4.512E+11 2.158 .105

3.76E+12 18 2.091E+11

Squares df Mean Square F Sig.

(63)

Korelasi

Correlations

1 -.415*

. .044

24 24

-.415* 1

.044 .

24 24

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

MDA

ERIT

MDA ERIT

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.

(64)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Tabel 1. Dosis Pb Asetat pada Kelompok Perlakuan
Gambar 2. Pemberian Perlakuan pada Mencit
Tabel 2. Persiapan MDA Standar untuk Spektrofotometer
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, penulis bertujuan untuk mengetahui gambaran Makroskopis dan Mikroskopis hepar mencit akibat pemberian Pb asetat dan rosella.Penelitian ini merupakan

16 Dalam penelitian ini keadaan dislipidemia diketahui dengan cara membandingkan kadar kolesterol total tikus yang mendapat pakan tinggi kolesterol (kontrol

Simpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada gambaran histopatologi testis mencit Balb/c yang diberi paparan udara yang mengandung timbal selama 8 jam dan 12 jam

Hasil analisis data dengan pemberian diazepam, formalin dan minuman beralkohol pada mencit menunjukkan berbeda tidak nyata pada jumlah eritrosit dan kadar

Simpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada gambaran histopatologi testis mencit Balb/c yang diberi paparan udara yang mengandung timbal selama 8 jam dan 12 jam

Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan penelitian selanjutnya untuk mengetahui dosis efektif ekstrak buah naga merah dalam menurunkan kadar MDA pada

Sampel penelitian adalah 36 ekor mencit Swiss betina usia 6 – 8 minggu, berat badan 20 – 25 gram dengan jumlah sampel tiap kelompok 6 ekor mencit yang terdiri dari 6

Simpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada gambaran histopatologi hepar mencit Balb/c yang diberi paparan udara yang mengandung timbale selama 4 jam, 8 jam, dan 12