• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara."

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

GERAKAN SOSIAL KAUM TANI

(Studi Kasus Pengorganisasian Tani di Dewan Pengurus Wilayah

Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Sosial

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Disusun Oleh:

DIKA YUDHISTIRA RIZQY

070902052

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas limpahan taufiq dan ‘inayah Nya, karena skripsi yang telah lama penulis harapkan kehadirannya ini dapat diselesaikan. Walaupun penulis menyadari bahwa masih banyak kecatatan dan kekurangan terlebih lagi untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang rindu akan sebuah gerakan sosial. Sholawat dan Salam penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fungsi kehambaan dan kekhalifahannya secara sempurna di alam ini. Sejatinya Nabi Muhammad SAW harus dijadikan uswat hasanah bagi manusia. Sehingga regenerasi manusia yang ada dapat

mentransformasikan ajaran dan sikap seorang Nabi akhir zaman tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan orientasi awalnya adalah guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata satu (S-1) pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bahan yang diambil berasal dari studi kepustakaan dan studi lapangan yang penulis lakukan. Kehadiran penelitian ini bermaksud untuk mengangkat tema “Gerakan Sosial” yang dijadikan alat untuk melihat organisasi masyarakat Tani sebagai sebuah gerakan sosial. Penelitian ini memfokuskan pada perjuangan SPI (Serikat Petani Indonesia). Adapun judul skripsi ini adalah “Gerakan Sosial Kaum Tani (Studi kasus pengorganisasian tani di DPW SPI Sumut)”.

Jujur diakui, skripsi ini banyak sekali kekurangannya, jika pembaca sekalian merasa memilikinya, berikanlah saran dan kritikan yang konstruktif agar skripsi ini lebih baik lagi. Namun apapun bentuknya, hanya inilah yang dapat penulis berikan untuk penambahan amunisi keilmuan bagi kita semua.

(3)

penulis selama menjalani tugas dan tanggungjawab sebagai seorang mahasiswa. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, selaku dekan FISIP USU.

2. Bapak/ibu Pembantu Dekan FISIP USU, Pak Zakaria Taher (PD 1), Ibu Rosmiani (PD 2) dan Pak Edward (PD 3).

3. Ibu Hairani Siregar S.sos, MSP selaku Ketua departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

4. Bapak Agus suriadi S.sos, M.si selaku Dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan dan pemikiran-pemikiran untuk pemantapan skripsi ini. Thank’s a lot sir.

5. Terimakasih juga saya ucapkan kepada staff pengajar dan staff kepegawaian di kampus FISIP USU. Yang telah memberi banyak kesempatan untuk saya menimba ilmu dan meminta pertolongan-pertolongan sehingga menghantarkan saya pada akhir masa studi ini.

6. Thank’s to my parent, buat orangtuaku H.Tumino dan Hj. Yuslinar

Siregar. Terimakasih semua yang telah diberikan selama ini serta harus sabar menunggu sampai gelar S.sos itu didapatkan.

7. Buat dua my little sister ku, Tya Maghfirah R dan Nazwa Annisa R, melihat kalian berdua membuat Mas lebih termotivasi untuk menyelesaikan studi ini. Don’t stop to study n fly away into your dreams.

(4)

9. Miftah “Lady Rose” Khairuza, Thank’s udh bisa beradaptasi dengan Mas yaa. Serta support dan “bimbingan-bimbingan khusus nya” selama ini. dengan itu semua lah proses-proses yang ada ini bisa menjadi lebih indah.

10. Kawan-kawan Mokondo dan Mokondowati Kesos, Amir (Jgn asik mw pulkam aja bawaan geng, selesaikan dulu itu), Rholand (duluan aku yaa ketua), Acong (siapa lagi korban yg kau tipuin cinaa.he), Ridho (Kapan serius nya do. Fokus dulu), Ferdy (apalagi yg dtggu cuy, sembari2 selesai nya itu), Ojan (jgn byk “haaa?!” nya, responsive dikit), Baim (marcepat-cepat pulak selesai lae ya). Boy (apa yg bs kami bantu?!), Endika (Si perfectsionis man) Rizal Bolang, Billy, Sunario, Ody, Asep, Manuk, Timo, Petrus dll (Mantap laah utk kalian semua GBU). Aing, Wirda, Malida, Vi2n, Titik, Ayu dll (kalo udah sama kalian, kek sama bou2 ku, bising, he..).

11. Kawan-kawan seperjuangan Batu Kristal, sungguh banyak yang kita hadapi dan nikmati selama masa-masa asik itu. Terima kasih banyak telah menjadi kawan berjuang. Sebagai kesimpulan akhir semoga kita bisa mengerti dan merasakan apa yg disebut dgn konsolidasi, friends.

12. Keluarga Besar HMI Komisariat FISIP USU. Tidak cukup kata terimakasih yang dihantarkan kepada kakanda dan adinda semua yang ada disana. Pastinya, setiap jejak rekam proses yang dilewati disana menjadi amunisi yang berguna untuk struggle kedepannya. Semoga Allah SWT memberi yang terbaik untuk kita semua dan rumah ini. YAKUSA!!

13. Kepengurusan PEMA FISIP USU Periode 2010-2011. Siapapun itu, yang telah bersentuhan pemikiran dengan saya. Terimakasih banyak.

14. Kepengurusan IMIKS FISIP USU Periode 2009-2010. Terus bergerak kawan untuk sesuatu yang lebih baik lagi untuk kita semua, kalau ada yang salah dengan kerendahan diri saya meminta maaf.

(5)

Bang foo, Bang Dika, Kak Andre, Kak dewi, Kak Ri2 dll serta keluarga besar SINTESA bang Pian, Ca’ kardi, Kak Lisda, Kak Novi dll serta juga seluruh petani anggota DPW SPI Sumut yang tidak bisa disebut satu persatu. Terimakasih atas kesempatan belajar yang diberikan disana sehingga saya mengerti apa artinya perjuangan itu.

16. Semua pihak yang pernah bersentuhan pemikiran dengan penulis. Sedikit banyaknya skripsi ini adalah kristalisasi pemikiran yang selama ini ada. Terimakasih semuanya.

Akhirul kallam, setiap fase yang terlewati merupakan pijakan untuk

berbuat sesuatu yang lebih baik lagi kedepan, skripsi ini pun tidak ada apa-apanya tanpa dilanjutkan dengan hal-hal kongkrit untuk sebuah kebenaran. Oleh karena itu, ucapan terimakasih mesti penulis ucapkan kepada semua support, bantuan dan motivasi dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan khusus bagi pergerakan petani di SPI sebagai amunisi keilmuan. Suarakan terus kebenaran dan keadilan itu, karena kita selalu di janjikan kedamaian tanpa keadilan yang nyata.

Medan, 21 September 2011

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

ABSTRAK

Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 105 Halaman, 2 tabel, 3 bagan, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 15 sumber lain yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan lembaran Negara.)

Salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia adalah pertanian. Adapun masalah yang mengakar di sektor pertanian adalah ketimpangan terhadap pola penguasaan lahan/tanah dalam struktur sosial. Konflik yang ada pun tidak terlepas dari pandangan ekonomi nasional yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana pola pengorganisasian tani dan implementasi perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengorganisasian dan implementasi perjuangan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara serta di areal yang secara struktur menjadi tanggungjawabnya dengan jumlah informan sebanyak 12 orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan melakukan proses triangulasi.

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa pola pengorganisasian dan perjuangan yang dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara adalah gerakan yang organik. Artinya gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi (pendidikan dan konsolidasi) bagi petani.

(7)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

ABSTRACT

Social movement peasant in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera.

(This thesis is composed of 6 chapters, 105 pages, 2 tables, 3 charts, appendix and 15 literature and other sources from the internet, scientific labour, journalist and sheet of state)

One of the public sector dominate by the people of Indonesia is a farming. The main problem in farming sector is the injustice rule to own land model in social structure. The conflict come out because of national economic persfective related to the result of the power capital global construction. The feed back is going to the land and become comuditty and create the land market. So the investor are more interested to put their investment in land sector. Because it is big profit for them. Inspite of the peasant don’t stop in one line. They always move to the dynamica of life. They always be related to social change. Where there one way is doing to peasant movement.

The that is going to be picked up problem. “Here is about the model in organizing peasant and implementation struggle that be created by sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera”. This research has aim for knowing “how is the model in organizing peasant and implementation struggle by sub organizing of Indonesian peasant of North Sumatera”. This method research use explorative method research in qualitative approach. The research was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera and also in area that the structurebecome their responsibility with size of informant about 12 man. Method in collecting data by interview guide and observation of the field. The data that was got by researcher is being narrated by qualitative method with the triangulasi process.

Based on the data that has been analayzed the researcher take conclusion that organizing model and struggle that was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera is organic movement. The point is movement that built based on conclusion collective. Organization struggle that was created to built spirit peasant based on condition that they face by giving training (education and consolidate) for peasant.

(8)

DAFTAR ISI

Kata pengantar ... i

Abstraksi ... v

Daftar isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 16

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 16

1.4 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gerakan Sosial ... 19

2.1.1 Pengertian Gerakan Sosial... 19

2.1.2 Pendekatan Melalui Teori Marxist ... 23

2.1.3 Pendekatan Interaksionisme Simbolik... 27

2.2 Kesejahteraan Sosial ... 28

2.2.1 Pengembangan Masyarakat dalam Ilmu kesejahteraan sosial... 32

2.3 Kerangka Pemikiran ... 32

2.4 Defenisi Konsep ... 35

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 36

(9)

3.3 Unit Analisis dan Informan... 37

3.3.1 Unit Analisis ... 37

3.3.2 Informan ... 38

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.5 Teknik Analisa Data ... 40

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Organisasi ... 42

4.2 Tujuan Organisasi ... 45

4.3 Program Organisasi ... 47

4.4 Platform Organisasi ... 49

4.5 Struktur Organisasi ... 51

4.6 Jumlah Satuan Organisasi ... 63

4.7 Keanggotaan Organisasi ... 70

4.7.1 Syarat Keanggotaan ... 70

4.7.2 Jenis dan Jenjang Keanggotaan ... 71

BAB V ANALISA DATA 5.1 Semangat Lahirnya Gerakan Serikat Petani Indonesia ... 73

5.2 Pendidikan Kader dan Konsolidasi Dalam Organisasi ... 80

5.2.1 Pendidikan Kader ... 80

5.2.2 Konsolidasi ... 84

5.3 Perjuangan Pembaharuan Agraria dan Pedesaan ... 86

(10)

Keluarga Petani ... 91

5.4.2 Kedaulatan Pangan ... 93

5.4.3 Hak Asasi Petani ... 95

5.4.4 Perlawanan Terhadap Neoliberalisme ... 97

5.5 Pembentukan Perjuangan Organisasi ... 98

5.5.1 Penyadaran Kelas Petani ... 98

5.5.2 Tekanan Politik ... 100

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 103

6.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA

(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

ABSTRAK

Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 105 Halaman, 2 tabel, 3 bagan, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 15 sumber lain yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan lembaran Negara.)

Salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia adalah pertanian. Adapun masalah yang mengakar di sektor pertanian adalah ketimpangan terhadap pola penguasaan lahan/tanah dalam struktur sosial. Konflik yang ada pun tidak terlepas dari pandangan ekonomi nasional yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana pola pengorganisasian tani dan implementasi perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengorganisasian dan implementasi perjuangan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara serta di areal yang secara struktur menjadi tanggungjawabnya dengan jumlah informan sebanyak 12 orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan melakukan proses triangulasi.

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa pola pengorganisasian dan perjuangan yang dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara adalah gerakan yang organik. Artinya gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi (pendidikan dan konsolidasi) bagi petani.

(12)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

ABSTRACT

Social movement peasant in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera.

(This thesis is composed of 6 chapters, 105 pages, 2 tables, 3 charts, appendix and 15 literature and other sources from the internet, scientific labour, journalist and sheet of state)

One of the public sector dominate by the people of Indonesia is a farming. The main problem in farming sector is the injustice rule to own land model in social structure. The conflict come out because of national economic persfective related to the result of the power capital global construction. The feed back is going to the land and become comuditty and create the land market. So the investor are more interested to put their investment in land sector. Because it is big profit for them. Inspite of the peasant don’t stop in one line. They always move to the dynamica of life. They always be related to social change. Where there one way is doing to peasant movement.

The that is going to be picked up problem. “Here is about the model in organizing peasant and implementation struggle that be created by sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera”. This research has aim for knowing “how is the model in organizing peasant and implementation struggle by sub organizing of Indonesian peasant of North Sumatera”. This method research use explorative method research in qualitative approach. The research was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera and also in area that the structurebecome their responsibility with size of informant about 12 man. Method in collecting data by interview guide and observation of the field. The data that was got by researcher is being narrated by qualitative method with the triangulasi process.

Based on the data that has been analayzed the researcher take conclusion that organizing model and struggle that was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera is organic movement. The point is movement that built based on conclusion collective. Organization struggle that was created to built spirit peasant based on condition that they face by giving training (education and consolidate) for peasant.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Runtutan penjajahan dari satu masa kemasa lainnya telah membawa

Indonesia kedalam struktur ekonomi kolonialistik. Sistem ekonomi yang berwatak

penjajahan ini hanya difungsikan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang

dengan merampas kedaulatan rakyat. Sementara itu, kesalahan masa lalu tidak

pernah menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan secara umum

masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni berorientasi pada pertumbuhan

tanpa memperdulikan proses distribusi kesejahteraan yang semakin timpang.

Akibatnya terjadi pemusatan kapital yang hanya didominasi oleh kekuatan

korporat dan konglomerasi. Padahal secara prinsipil, kita mengenal trilogi

pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang

dinamis dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Hal ini menjadi ciri

struktur ekonomi bangsa. Sementara itu, sebagian besar rakyat hanya menjadi kuli

di negerinya sendiri.

Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa

kondisi sosial dan ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Saat ini arah

pembangunan masih diarahkan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dan

peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial ekonomi menjadi keropos

dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar rakyatnya untuk hidup

(14)

Hal di atas juga menimpa salah satu sektor publik yang paling di dominasi

oleh masyarakat Indonesia yaitu pertanian. Sektor pertanian merupakan jantung

kehidupan pedesaan. Selain berfungsi sebagai penjamin kedaulatan pangan

bangsa, sektor ini juga telah menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi

nasional. Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia

bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan

sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian.

Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok

bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk

mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara

keseluruhan.

Sekitar 46 persen rakyat Indonesia terserap di sektor ini, dan dari sembilan

sektor yang ada, sektor pertanian adalah sektor penyumbang upah terbesar dari

kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar 47.8 persen. Sementara itu sektor

lainnya seperti pertambangan, listrik, gas dan air, serta sektor keuangan dan jasa

hanya menyumbangkan pengembalian berupa upah/pendapatan masing-masing

sebesar 5,6 persen, 21,67 persen dan 7,55 persen dari GDP yang disumbangkan.

Namun sayang, peran pertanian yang sangat vital ini tidak menjadi alasan bagi

pemerintah untuk memprioritaskan penguatan dan pembangunan sektor pertanian

dan pedesaan. (BPS,2009)

Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah

mengimplementasikannya melalui revolusi hijau yang berideologi

developmentalisme-modernisme. Ideologi inilah yang akhirnya membawa dampak

(15)

penguasaan sumber agraria. Dalam struktur ekonomi revolusi hijau telah

membawa ketimpangan dalam kecepatan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya

menimbulkan polarisasi asset. Hal ini berimbas pada struktur sosial yang

menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan dan penguasaan lahan antar

kelompok yang semakin menajam dan semakin meningkatkan potensi konflik

serta melumpuhkan etika kehidupan sosial di desa.

Konflik yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat tani adalah

konflik agraria. Salah satu penyebab konflik agraria adalah ketidakadilan dalam

struktur penguasaan dan pemilikan terhadap sumber-sumber agraria. Penguasaan

atas perkebunan, kehutanan, pertambangan saat ini hanya didominasi segelintir

individu dan perusahaan-perusahaan besar nasional dan asing seperti London

Sumatera, Exxon, New mont, Freeport, Caltex dan lainnya yang luasnya hingga

mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong timbulnya ribuan

konflik-konflik yang bersandar kepada perebutan penguasaan, pengelolaan,

pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya

vertikal, horizontal maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang

terjadi selalu mengakibatkan petani, masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan

lainnya. (Ya’kub, 2007:vii).

Jelas memang hal yang paling mendasari timbulnya perlawanan kaum tani

adalah ketimpangan yang terjadi akibat pola penguasaan lahan dalam struktur

sosial. Pola penguasaan tanah di desa tempat petani melakukan usaha

pertaniannya menyangkut masalah sebegitu rumitnya untuk dikuasai karena

meliputi aspek yang sangat erat dengan nilai ekonomi, politik, hukum maupun

(16)

tanah menjadi rentan terhadap manipulasi pandangan yang bersifat ekonomis dan

memposisikan tanah menjadi faktor produksi mutlak. Sehingga akibat dari

paradigma berikut makin lama tanah menjadi barang yang langka dan mendorong

perbandingan antara tanah dengan jumlah manusia terjadi ketimpangan yang

begitu lebar.

Hal ini dikarenakan oleh fungsi tanah yang mewadahi semua kegiatan

manusia. Dimana pada zaman romawi kuno, konsep-konsep tentang lingkungan

sumber daya alam dan pertambangan belum dikenal akibat terpusatnya kegiatan

manusia pada kegiatan berburu dan bercocok tanam. Tetapi yang perlu

diperhatikan adalah, agraria tidak hanya dapat diartikan sederhana sekadar

“tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata pedusunan, bukit dan wilayah atau

teritori jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena didalamnya termaktub

segala sesuatu yang terwadahi olehnya. (Yakub,2007:2)

Dalam setiap sumber agraria terlihat hubungan-hubungan agraria yang

sangat kompleks. Hubungan agraria bukan hanya berupa hubungan antara

manusia dengan objek-objek agraria khususnya tanah melainkan juga menyangkut

hubungan subjek-subjek agraria secara sosial dan ekonomi bahkan politis. Situasi

tersebut membentuk suatu struktur penguasaan, kepemilikan dan kepengelolaan

dari sumber-sumber agraria. Jika setiap hubungan berjalan harmonis maka konflik

relatif tidak muncul, sebaliknya jika terjadi ketimpangan maka konflik akan

datang. Konflik agraria terjadi apabila terdapat benturan kepentingan intra dan

antar subjek agraria ataupun tumpang tindih klaim atas akses terhadap objek

(17)

itu bersifat laten maupun manifest. Gejala konflik berakar dari tiga hal yaitu

sebagai berikut :

1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan

alam yang menyertainya.

2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agraria dan kekayaan

alam itu.

3. Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan

pemanfataan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut.

(Yakub,2007 : 3)

Secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber

agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.

Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang

agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun

terlibatnya alat Negara seperti kepolisian dan militer. Sehingga yang terjadi

adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak.

Berbicara tentang penguasaan atas tanah tidak terlepas dengan penguatan

legalitas kebijakan hukum di dalamnya. Jika kita lebih melihat secara sejarah

kebijakan tanah yang ada ketika inggris menjajah Indonesia (1811-1816), legalitas

agraria diatur melalui Domain Theory Raffles , yaitu kebijakan agraria didasarkan

atas dan bertujuan untuk menarik pajak bumi dengan dalil bahwa tanah adalah

milik Raja/Negara/Pemerintah. Setelah Van den bosch memegang kendali

(18)

ikut membangun proyek-proyek besar (waduk, jalan raya, kereta api) dan bekerja

diperkebunan. Kebijakan ini kemudian diganti oleh Agrarische Wet yang

menetapkan asas domain veklaring, suatu prinsip yang mengatakan semua tanah

tidak ada bukti kepemilikannya atau tanah terlantar adalah domain Negara.

Setelah itu dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria 1870 yang

mengakomodasikan swasta Belanda berbisnis di Indonesia. Kenyataannya,

perilaku berbisnis swasta Belanda yang eksploitatif terhadap petani dan lebih dari

itu selalu berusaha memperoleh kepastian menjangkau penyediaan tanah dalam

waktu yang panjang.

Mengingat struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih timpang,

maka setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno membuat kebijakan untuk

penataan agraria, suatu kebijakan yang sangat populis dan nasionalis. Asumsinya,

penataan kepemilikan dan penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dilakukan

industrialisasi (Suhendar dan Kasim,1995 : 15)

Para pendiri bangsa telah merumuskan suatu kebijakan hukum yang populis

dan mampu menjamin tanggung jawab nilai kerakyatan pertanian pemerintah.

Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria (UUPA) menjadi sinyal tersendiri bagi keadilan atas penguasaan

tanah tersebut, karena UU ini dianggap representatif untuk menyelesaikan konflik

agraria yang ada. Karena UUPA dijalankan dengan orientasi penyediaan tanah

untuk penggarap. Akan tetapi dalam proses implementasi dari undang-undang

tersebut mengalami banyak kesulitan tentang frame berpikir penguasa di negeri

(19)

UUPA tahun 1960 menegaskan batasan agraria sebagai "bumi, air dan

angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya". Artinya

pengertian agraria jauh lebih luas dari pengertian tanah seperti yang di anut di

mata masyarakat umum. Ruang lingkup agraria mencakup pertanahan (UUPA

1960 menyebutnya sebagai "permukaan bumi"), termasuk tubuh bumi

dibawahnya serta yang berada di bawah air (sehingga mencakup pertambangan);

Air, termasuk air pedalaman maupun laut di wilayah indonesia (termasuk

kekayaan laut itu sendiri); dan ruang angkasa, yaitu ruang atas bumi dan air

tersebut. Prinsip Negara sebagai penguasa tertinggi dilandasi pasal 33 ayat 3 UUD

1945 yang menempatkan negara sebagai pemilik agraria, melainkan penguasa

agraria. Penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 2

UUPA yang menyatakan " ... bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

negara ...".

Pengkhianatan terhadap UUPA dimulai ketika berkuasanya rezim orde

baru. Relasi kekuasaan antara petani yang diklasifikasikan sebagai rakyat dengan

kekuasaan Negara terbentuk saling berkonfrontasi. Hal ini disebabkan karena

cerminan pemerintahan orde baru sangat jauh dari harapan mengenai penjaminan

kesejahteraan petani. Kondisi tersebut sangat jelas terlihat dengan banyaknya

kebijakan dan perundangan yang banyak mengadopsi pengaruh modal daripada

mewujudkan nilai-nilai dan semangat kerakyatan.

Kebijakan tersebut dapat dilihat dengan banyak dikeluarkannya peraturan

perundang-undangan yang ditujukan untuk eksploitasi sumber-sumber agraria

(20)

multilateral dan perusahaan-perusahaan internasional. Bahkan didapati peraturan

perundang-undangan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria tersebut

justru tidak berorientasi dari UUPA dan menjadikan pengaturan masalah ini

kepada masalah sektoral. Di tambah lagi dengan timbulnya UU yang secara asas

bertentangan dengan UUPA tersebut, seperti Undang-undang No. 18 tahun 2004

tentang perkebunan, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan,

Undang-undang No. 7 tahun 2004 sumber daya air, Undang-undang No. 11 tahun

1967 tentang pertambangan dan Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang

penanaman modal. Yang kesemua produk undang-undang tersebut sangat jelas

menjurus pada sebuah akumulasi modal dan memberikan jalan untuk pemodal

untuk menanamkan asetnya di pedesaan. Akibatnya, dengan adanya

Undang-undang yang ada setelah itu dengan secara tidak langsung me”mandul”kan UUPA

yang telah ada.

Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika pemerintah memilih

paradigma pembangunan yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital

global. Yang kenyataannya sangat problematika kepada petani dengan ditopang

investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi yang untuk

keperluan operasionalnya memerlukan tanah. Akibatnya tanah menjadi komoditas

dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan

modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini

tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya kedalam sistem

kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan Negara.

Selain munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial yang sebenarnya

(21)

diperebutkan dengan rakyat menjadi HGU untuk diberikan pada perusahaan

perkebunan swasta maupun pemerintah dalam bentuk perusahaan daerah

perkebunan. Meskipun kebijakan agraria dalam UUPA terdapat peraturan yang

memfasilitasi perlunya peninjuan kembali tentang terhadap penguasaan tanah

untuk rakyat, namun makna Land reform yang populistik yang menjiwai UUPA

tak pernah dijalankan. Situasinya semakin problematik dimana intervensi

kekuatan dan kekuasaan bukan saja dilakukan oleh Negara, melainkan juga

kekuatan pasar.

Kecenderungan tersebut telah menegaskan bahwa yang dihadapi petani

tidak saja Negara, tetapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang

pengaruhnya semakin kuat. Pada zaman orde baru yang sebegitu kuat, Negara

dengan aparatnya yang tersebar di pelosok pedesaaan telah menjadi agen

pembangunan secara efektif dan efisien. Sementara dalam konteks kekinian,

kekuatan pasar justru semakin merajalela dan sulit dikontrol, termasuk oleh

Negara sekalipun. Pasar mampu dan dengan leluasa membentuk dan menawarkan

sesuatu yang menguntungkan bagi siapa saja baik individual, kelompok,

organisasi sosial keagamaan dan bahkan pemerintahan lokal untuk bisa menjadi

agen kepentingannya.

Berbagai kebijakan Negara dan pengaruh ekonomi global sebagaimana

dikemukakan diatas secara langsung atau tidak telah menyebabkan petani semakin

banyak kehilangan tanahnya. Paling tidak ada 25% petani memiliki 74,8% lahan

dengan luas 1-5 ha. 75 % sisanya hanya menguasai 25,8% lahan dengan luas

0,1-0,99 ha (KPA, 2002). Dari data yang ada tersebut selain mengindikasikan

(22)

pertanian yang semakin terbatas, juga memperlihatkan bagaimana para petani

mempertaruhkan eksistensinya sebagai petani. Faktor kesenjangan penguasaan

dan kepemilikan tanah dan terancamnya eksistensi diri para petani pada gilirannya

menjadi penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di pedesaan yang sejak

belakangan ini kian marak.

Arah dari serangkaian kebijakan neoliberalisme ini pada garis besarnya

adalah mencabut kedaulatan petani pada sumber-sumber agraria, tidak hanya

tanah tetapi benih, pupuk, teknologi, kredit, termasuk juga pasar.

Kehidupan petani yang sebelumnya dihantui ketidakjelasan, dengan

demikian semakin parah dengan rasa ketidakmenentuan. Kehidupan petani

semakin hari bukannya semakin membaik, melainkan justru semakin tertekan dan

terperosok ke dalam arus kemiskinan struktural. Semuanya itu mengakibatkan

kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada saat yang sama, rakyat petani

selain tidak dapat memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya melalui

institusi-institusi, juga tidak cukup mempunyai kemampuan mengekspresikan

emosi secara wajar sehingga persoalan-persoalan yang muncul kemudian

diarahkan menjadi kekerasan massa yang kerapkali brutal, destruktif dan radikal

terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol-simbol kekuasaan

(Negara dan pasar).

Masyarakat petani merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas.

Tata kehidupannya merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih makro, seperti

sistem sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan

(23)

masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk

mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara

keseluruhan.

Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan

mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan

sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani. Gerakan ini

bukan sebagai suatu reaksi tetapi juga sebaga wahana untuk mencapai

tujuan-tujuan perubahan.

Gerakan petani merupakan salah satu jenis dari gerakan sosial, artinya

gerakan petani itu adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Gerakan

petani merupakan gerakan reformatif, karena ia menghendaki perubahan terhadap

sebagian sistem yang melingkupi kehidupannya. Gerakan petani dapat masuk

dalam gerakan fase kedua, yakni fase dimana gerakan sosial sering disebut

sebagai proses politik, tindakan rasional, model mobilisasi sumber tentang

tindakan kolektif serta tentang gerakan itu sendiri. (wahyudi, 2005 : 6).

Dikalangan petani berkembang anggapan, bahwa tidak banyak pihak yang

bersedia membantu secara penuh untuk membantu mengentas meeka dari posisi

keterpurukan. Dalam perspektif marxis, Bahwasanya hanya suatu pihak yang

dapat mengambil inisiatif revolusioner untuk melakukan reformasi agraria yaitu

petani itu sendiri (Mustain,2007:15).

Proses perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani tersebut tidak terlepas

dari aktivitas-aktivitas organisasi yang banyak muncul untuk memperjuangkan

(24)

kesadaran akan ketertindasan mereka. Pada bulan November 1945,

diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah

Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia

(RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat

Tani Islam Indonesia (STII) yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI

yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU.

Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan

pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta

lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya

organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat

dalam revolusi Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya

BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan

dengan tegas yakni anti imperialisme dan juga anti feodalisme dengan

memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara

aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten

UUPA 1960.

Pasca 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang

kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang 'direstui'

oleh orde baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau

mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap

pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan

membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru

untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di

(25)

menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes

dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru,

sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat

dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang

luar biasa.

Pasca Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka

lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani

mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya

tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana

bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga

tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar.

Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di

tingkat desa, kabupaten, provinsi bahkan nasional banyak bermunculan.

Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan

kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus

menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara,

Khusus di Sumatera Utara, semangat perjuangan tani merupakan upaya

untuk pemecahan masalah sosial yang mengakibatkan kondisi petani hanya

menjadi kuli dirumah sendiri. Ketimpangan model penguasaan agraria terjadi

akibat mengencangnya intervensi modal dan penjajahan fisik zaman kolonial

Pada tahun 1950, banyak bermunculan organisasi tani yang secara tidak langsung

saling bersaing dalam menguasai basis massa. Sehingga menjadi perhatian dari

organisasi yang berskala nasional. Organisasi PETANI (Persatuan Tani Nasional

(26)

Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai underbouw PKI muncul sebagai organisasi

yang kuat dan mendapat pengaruh yang luas ditingkatan nasional dan berdiri

tahun 1951 di Sumatera utara.

Era kekinian pasca reformasi, semangat perjuangan tani di Sumatera Utara

belum berubah secara substansi. Gejolak perlawanan yang dilakukan oleh kaum

petani menjadi alternatif sikap petani untuk mendapatkan keadilan. Karena jika

melewati prosedural resmi tersebut tidak mungkin dapat memperoleh persetujuan,

maka mereka menempuh dengan cara kekerasan, sehingga gerakan ini disebut

dengan aksi sepihak.

Kondisi di atas persis dengan metode perjuangan yang dilakukan oleh

Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara yang berorientasi pada reforma

agraria (pembaharuan agraria), reforma agraria sendiri adalah suatu upaya korektif

untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan

eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang

bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu

keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan

pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. (Yakub,2007 : 10)

Adapun semangat perjuangan Serikat petani wilayah Sumatera utara

tersebut menuju pada upaya pelaksanaan pembaharuan agraria dimulai dari

dilaksanakannya program land reform, yaitu suatu upaya yang mencakup

pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala

pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan

(27)

teknologi pertanian, sistem perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya

organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya.

Secara umum, tujuan gerakan SPI ini adalah untuk tujuan ekonomi,

sosial-politik dan sosial-budaya

Dari peninjauan sebelumnya, tercatat ada 13 kabupaten/kota yang telah

menyebar organisasi ini. Secara struktural Dewan Pengurus Wilayah Serikat

Petani Indonesia di Sumatera Utara sebagai pimpinan tertinggi di wilayah

Sumatera Utara menanggung jawabi kesemua itu sampai ketingkatan desa.

Maka atas dasar orientasi perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani

Indonesia wilayah Sumatera utara yang fokus terhadap permasalahan petani yang

semakin jauh dari rasa keadilan, dengan hal itulah penulis ingin melakukan

penelitian untuk melihat bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan

Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara secara

kongkrit.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan penjabaran yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka

penulis dapat merumuskan masalah yang nantinya akan diteliti. Agar studi

terhadap masalah tersebut bisa fokus dan tidak keluar jalur, dalam pembahasan

Skripsi ini penulis mengajukan rumusan permasalahan pokok sebagai berikut :

1. Bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan oleh Dewan

(28)

2. Bagaimana wujud implementasi dan bentuk perjuangan yang dilakukan

oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara?

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat mendeskripsikan dan mengetahui pola pengorganisasian tani

yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia

Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui wujud implementasi dan bentuk perjuangan tani yang

dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia

Sumatera Utara.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap

kajian dan bacaan di lingkungan mahasiswa Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial yang berminat mengenai studi tentang gerakan

sosial.

2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dlam penulisan

(29)

terhadap fenomena dan gejala sosial secara kritis. Sehingga dapat di follow

up kan dalam dunia nyata bagi penulis.

3. Secara praktis, diharapkan mampu memberi masukan dan kontribusi yang

signifikan terhadap perluasan agenda perjuangan dan gerakan tani di

Sumatera Utara khususnya bagi Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani

Sumatera Utara.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan

tentang masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran,

definisi konsep dan definisi operasional

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik

(30)

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang profil organisasi Dewan Pengurus

Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara.

Selanjutnya juga pada bab ini juga menjelaskan sejarah singkat,

visi, misi, platform organisasi, struktur organisasi dan jumlah

satuan organisasi yang tersebar didaerah yang meliputi ranah kerja

organisasi serta keanggotan organisasi.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil

penelitian baik melalui data kepustakaan maupun dengan

melakukan studi lapangan sehingga menjawab permasalahan yang

diangkat

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan

saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga akan

memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun

kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait dalam

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gerakan sosial

2.1.1 Pengertian gerakan sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan

atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai

program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan

perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu

bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sejumlah ahli

sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan

diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan

kesinambungan. Sebagai sebuah aksi kolektif, umur gerakan sosial tentu sama

tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Perubahan suatu peradaban ke

peradaban lain tidaklah selalu melalui jalan “damai” bahkan sejarah membuktikan

perubahan peradaban masyarakat kerap terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif

atau yang lebih dikenal dengan istilah gerakan sosial sekarang ini (Situmorang,

2007).

Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya

ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata

lain, gerakan sosial lahir dari raksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat

(32)

merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut

perubahan dalam institusi,kebijakan atau struktur pemerintahan. Disini terlihat

tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai

dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan kepentingan

masyarakat scara umum.

Gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan

bagi gerakan itu. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar

untuk menuntaskan sebuah proses perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini

gelombang pergerakan dari individu-individu, kelompok yang mempunyai tujuan

yang sama yaitu suatu perubahan sosial

Indikasi awal untuk menangkap gejala sosial tersebut adalah dengan

mengenali terjadinya perubahan-perubahan pada semua elemen arena publik dan

ditandai oleh kualitas “aliran” atau “gelombang”. Dalam prakteknya suatu

gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyak organisasi baru yang

terbentuk, dan bertambahnya anggota dalam suatu organisasi gerakan.

Selain itu menurut Lofland dua aspek empiris gelombang yang perlu

diperhatikan adalah Pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara

lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan akan melemah

dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses ‘cooled

down’. Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah menjadi

gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut diatas.

Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan sosial

(33)

pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis kapitalis) atau

pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal

tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan

itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan.

(Lofland, 2003 : 50)

Menurut John Lofland, ada 17 variabel yang berpengaruh terhadap

gerakan sosial, yaitu :

a. Perubahan dan ketimpangan sosial

b. Kesempatan politik

c. Campur tangan negara terhadap kehidupan warga

d. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi)

e. Konsentrasi geografis

f. Identitas kolektif

g. Solidaritas antar kelompok

h. Krisis kekuasaan

i. Melemahnya kontrol kelompok yang dominan

j. Pemfokusan krisis

k. Sinergi gelombang warga negara (penduduk)

(34)

1  m. Jaringan komunikasi

n. Integrasi jaringan di antara para pembentuk potensial

o. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensial

p. Kemampuan mempersatukan

Perlu diperhatikan juga ada beberapa faktor pengaruh terhadap jalannya

gerakan sosial, gagasan ini dapat digambarkan pada tabel dibawah ini.

Aspek mikro

(Internal diri aktor)

Aspek makro

(Eksternal diri aktor)

Ideologi diri Kondusivitas structural

Nilai-nilai diri Ketegangan structural

Perspektif memandang suatu fenomena Penyelenggaraan pemerintah

Sumber daya diri Strategi pembangunan

Komitmen diri Situasi dan kondisi yang sedang

berlangsung

Sumber : (Wahyudi,2005 : 198)

Maka dari itu, gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah

(35)

adanya kekuasaan secara struktural negara. Sehingga mengambil jalan untuk

mewujudkan tuntutan dengan berbagai macam metode perlawanan yang disajikan,

mulai dari yang bersifat taat asas hukum sampai kepada sebuah usaha yang

radikal progresif dalm payung hukum yang abnormal dalam implementasinya.

Walaupun nantinya konsekuensinya yang terjadi harus melibatkan semua potensi

material yang dimiliki oleh para pelaku gerakan sosial itu sendiri. Baik harta,

tenaga maupun nyawa sekalipun untuk mewujudkan harapan keadilan bagi semua

orang.

2.1.2 Pendekatan melalui teori Marxist

Dalam perspektif Marxisme tradisional perjuangan kelas ditempatkan pada

titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial.

Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas

yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis/Borjuis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh

karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu

dasar dan superstruktur.

Unsur dasar (base) adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan

yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan

superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di

tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian.

Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan

adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan

(36)

Pendekatan yang digunakan dalam Marxisme tradisional tersebut di atas

mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh antiesensialisme dan nonreduksionis,

termasuk Antonio Gramsci. Mereka menolak pendekatan bahwa kompleksitas

yang terjadi di masyarakat hanya direduksi secara sederhana dengan hubungan

sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri merupakan sebuah akibat dan demikian

pula sebaliknya. Inti pemikiran Antonio Gramsci adalah konsep hegemoni, yang

kaitan dengan studi tentang gerakan sosial dan perubahan sosial.

Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial

dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan

pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam

keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Socoety).

Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan

dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan

intelektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil

merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali

ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu

agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit

ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan

dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah

dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah dengan dahulu

menciptakan kesadaran kelas bagi mereka. (Fakih, 2004 : 23).

Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka

seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki

(37)

orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok

sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi

hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal

(misalnya sekolah dan perguruan tinggi). Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa

perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa

yang disebut dengan “perang manuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan

jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan

praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan kultural dan

ideologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah

meyakinkan kelas bawah bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk

kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan

sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang

membentuk kehidupan sosial global”. Dengan demikian, peran kependidikan

organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian

tujuan jangka pendek (bersifat praktis) dan tujuan jangka panjang (bersifat

ideologi) untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan

kesadaran dan pendidikan kritis (termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan

sosial) merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan sosial atau

transformasi sosial.

Robert Mirsel menambahkan dari dua pendekatan diatas, bahwa dalam

perkembangan teori-teori gerakan sosial selain adanya stimulus sebab-akibat dan

organisasi sosial jua perlu adanya mobilisasi sumber daya dan rasionalitas dari

setiap tindakan dalam gerakan kemasyarakatan. Serta menekankan perlunya

(38)

paradigma ini juga menaruh perhatian terhadap organisasi-organisasi gerakan.

Namun paradigma marxis berbeda dari paradigma mobilisasi sumber daya dalam

tiga hal. Pertama, paradigma ini lebih menaruh perhatian pada struktur-struktur

yang ada, tidak semata-mata sebagai ruang lingkup sebuah gerakan tetapi lebih

sebagai penyebab utama lahirnya gerakan kemasyarakatan. Sebuah gerakan tidak

semata-mata merupakan cara-cara yang rasional dalam hubunganya dalam ruang

lingkup gerakan sebagai sumber dari sumber-sumber daya atau dari perlawanan,

tetapi juga merupakan tujuan yang rasional dalam upaya membaharui atau

merubah struktur-struktur tersebut. Kedua, teori-teori marxis dalam analissi

akhirnya menghubungkan struktur-struktur ini dengan kapitalisme sebagai bentuk

sosial. Juga ketika membuat analisis tentang para elite kekuasaan Negara ataupun

lokal, para haluan marxis ini mengaitkan struktur dengan sistem kapitalisme

sebegitu luas. Ketiga, para penganut teori marxis cenderung menaruh perhatian

kepada gerakan-gerakan yang bersifat revolusioner, sementara para penganut teori

mobilisasi sumber daya cenderung mempelajari gerakan-gerakan pembaharuan.

(Mirsel, 2006 : 74)

Oleh karena itu, kepentingan mendasar dalam sebuah aktivitas gerakan

sosial ini diakibatkan oleh segelintiran orang dalam kelas tertindas yang tidak

mendapatkan keadilan yang absolut dalam praktek kenegaraan, sehingga muncul

suatu kontradiksi sikap untuk melawan semua hal yang diberi label ketidakadilan.

Karena konsepsi dasar gerakan sosial ini berorientasi pada perubahan

bentuk-bentuk struktural secara radikal. Keadaan ini menjadi opsi dari gerakan sosial

yang melihat bahwa terjadi proses eksploitasi dalam struktur yang ada di

(39)

2.1.3 Pendekatan interaksionisme simbolik

Teori interaksionisme simbolik (Simbolyc interactionism) dari mazhab

Chicago mengadopsi pendekatan serupa untuk mempelajari perilaku kolektif dan

gerakan sosial. Berangkat dari asumsi bahwa individu dan kelompok bertindak

berdasarkan eksperimen bersama, mereka berpendapat bahwa gerakan sosial

muncul dari sesuatu yang tidak terstruktur. Ini adalah situasi dimana hanya ada

sedikit pedoman kultural bersama atau pedoman itu berantakan dan didefenisikan

kembali. Gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dan rekonstruksi situasi sosial

tersebut. Gerakan sosial adalah perilaku kolektif yang bertujuan untuk

membangun tatanan kehidupan yang baru. (Outwaite, 2008:784).

Pendekatan ini pada studi gerakan sosial tidak berhasil mengembangkan

paradigma teoritis yang memadai. Secara keseluruhan, pendekatan ini masih

mendapat perhatian, sebab pendekatan ini di satu sisi menekankan pada aspek

sosial-psikologis dari aksi kolektif seperti emosi, perasaan solidaritas, prilaku

ekspresif dan komunikasi sedangkan di sisi lain menempatkan pada kemunculan

gerakan sosial didalam proses relasi dan interaksi yang terus berjalan.

2.1.4 Pendekatan struktural fungsionalisme

Pendekatan struktural adalah konsep pertama yang relatif sering

dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan sosial dalam menjelaskan

fenomena gerakan sosial. Konsep ini sangat populer diantara akademisi ilmu

pengetahuan sosial, bukan karena kata struktural menjadi kata penting dalam

pembendaharaan kata dalam ilmu pengetahuan sosial sekarang ini, tetapi karena

(40)

fungsionalisme struktural, strukturalisme dan pasca-strukturalisme. (Situmorang,

2007:17)

Dalam fungsionalisme struktural, istilah struktural dan fungsional tidak

selalu perlu dihubungkan, kita dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa perlu

mengetahui fungsinya begitu juga sebaliknya. Fungsionalisme kemasyarakatan

(societal fungsionalism), sebagai salah satu pendekatan fungsionalisme struktural,

paling dominan dipakai oleh fungsionalis structural. Perhatian utama dari

fungsionalisme struktural ini adalah struktur sosial dan intitusi masyarakat secara

luas, hubungannya dan pengaruhnya terhadap anggota masyarakat.

2.2 Kesejahteraan sosial

Istilah kesejahteraan sosial (social welfare) tidak merujuk pada suatu

kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran

sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli

yang lain. Pada umumnya orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah

yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, dilain pihak orang yang

miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru

lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya

orang kaya.

Wilensky dan Lebeaux merumuskan kesejahteraan sosial sebagai sistem

yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang

(41)

mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta

hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada

individu-individu pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya

dan meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

masyarakat. (Suud, 2006:7).

Pengertian kesejahteraan sosial dapat dikembangkan dari hasil

Pre-Conference Working for the 15th International Conference of Social Welfare,

yakni Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan

mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan

pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam

masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, pendidikan dan lain

sebagainya. (Huda, 2009:73).

Dalam konteks Indonesia sendiri, kesejahteraan dapat dimaknai

terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok atau masyarakat dalam hal

material,spiritual maupun sosial. Ini seperti tertuang dalam Undang-undang

tentang Kesejahteraan sosial yang baru disahkan pada 18 desember tahun 2008

yaitu Undang No. 11 than 2009 sebagai pengganti terhadap

Undang-undang No. 6 tahun 1974 juga tentang kesejahteraan sosial. Dalam pasal 1 ayat 1

disebutkan bahwa, “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

(42)

Dari sini dapat dipahami bahwa kesejahteraan sosial lebih mudah

dipahami sebagai sebuah kondisi. Tetapi kesejahteraan sosial pada dasarnya juga

dapat dipahami dalam dua konteks lain, yakni sebuah institusi (institution) dan

sebagai sebuah disiplin akademik (academic discipline). Sebagai institusi,

kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai sebuah program pelayanan maupun

pertolongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sedangkan sebagai sebuah

disiplin ilmu kesejahteraan sosial mengacu kepada suatu studi terhadap lembaga,

program maupun kebijakan yang fokus kepada pelayanan pada masyarakat.

(Zastrow, 2004:5).

Secara definisi, kesejahteraan sosial banyak diperdebatkan oleh para ahli,

karena beda ahli beda pula cara menafsirkan tentang apa itu kesejahteraan sosial.

Gambaran besar tentang definisi ini tidak lari dari, bahwa kesejahteraan sosial itu

merupakan kondisi, kesejahteraan sosial itu merupakan ilmu dan kesejahteraan

sosial itu merupakan upaya untuk merubah fakta sosial.

Kalau dilihat dari gambaran definisi yang dibangun oleh para tokoh atau

UU yang dipaparkan diatas, sebenarnya kesejahteraan sosial memiliki tiga

orientasi besar, Berikut 3 orientasi ilmu kesejahteraan sosial yaitu :

 Kesejahteraan sosial dari segi akademis

Dari beberapa dispilin ilmu murni yang ada, kesejahteraan sosial ini

menjadi ketertarikan sendiri untuk dibahas dari pendekatan teoritis. Karena

dengan banyaknya fenomena-fenomena sosial yang ada taraf pemenuhan

(43)

mengapa sub kajian ini dapat melahirkan sintesis baru dalam penaggulangan

masalah-masalah sosial.

 Kesejahteraan sosial dari segi klinis

Aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang kental dengan

pelayanan-pelayanan sosial yang ada menjadi bagian tak terpisahkan dari

kesejahteraan sosial. Ini bisa dilihat beberapa metode pekerja sosial yang menjadi

enabler, educator, advocate, activist, broker etc. memakai semua ilmu

kesejahteraan sosial untuk dapat mengintervensi masalah- masalah klien. Ini juga

sebenarnya bagian dari manifestasi seorang pekerja sosial. Selain itu sistem klien

dan sistem sumber juga dijadikan alat untuk membangun interaksi dalam

peneyelesaian masalah klien.

 Kesejahteraan sosial dari segi strategis

Seorang pekerja sosial juga mengambil peranan penting dalam membuat

suatu rumusan pemenuhan kebutuhan yang bersifat publik. Biar bagaimanapun

ikut berpartisipasi dalam pembangunan publik juga dapat menjadi konsentrasi

sendiri bagi seorang pekerja sosial. Seperti misalnya yang dilakukan oleh

seoarang CD Worker, sosial planning maupun lain-lain yang masih berkonsentrasi

pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.

(Suud, 2006 : 2)

Kegandaan arti, orientasi, dan konteks tersebutberhak mendapat perhatian

dari pemangku dan pemerhati kesejahteraan sosial agar memeperoleh pemahaman

(44)

2.2.1 Pengembangan masyarakat dalam ilmu kesejahteraan sosial

Dalam disiplin ilmu kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat

merupakan dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak langsung

(indirect practice). Istilah pengembangan masyarakat sering disepadankan dengan

Community organization, social administration, community practice ataupun

social work with community. (Hardcastle, 2004:3). Namun demikian,

istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yakni proses

pertolongan yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan

menggunakan pendekatan masyarakat (community).

Pengembangan masyarakat juga dapat dilihat dari beberapa cara pandang :

1. Sebagai sebuah Proses

2. Sebagai sebuah Metode

3. Sebagai sebuah Program

4. Sebagai sebuah Gerakan

Dengan demikian, sejak awal memang pengembangan masyarakat

diterapkan sebagai sebuah proses, metode, program dan gerakan untuk membantu

masyarakat dalam menigkatkan kesejahteraan sosialnya.

2.3 Kerangka pemikiran

Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara

(45)

terkena imbas dari ketidakadilan dari sebuah sistem yang ada khususnya di daerah

tanggungjawabnya yaitu di provinsi Sumatera Utara. Selain itu mampu

memberikan kesadaran petani untuk melakukan perjuangan secara kolektif dan

melakukan kaderisasi petani itu sendiri. Sehingga dengan suatu metode organisasi

yang dipakai mampu mewujudkan semangat perjuangan tani untuk menuju

tatanan sosial petani yang lebih ideal bagi petani dan memberi atmosfir keadilan,

semangat perjuangan ini lebih popular dikalangan aktivis petani adalah reforma

agraria sejati.

Reforma agraria adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur

agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia,

menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria.

Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi

berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada

segelintir orang. Pelaksanaan pembaruan agraria sendiri harus dapat menciptakan

proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat,

khususnya masyarakat pedesaan. (Ahmad Yakub,2007 : 10). Tetapi secara umum,

tujuan yang lebih besar lagi dapat dibagi dalam tiga hal, yaitu tujuan

sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya bagi petani yang ada di SPI

Mencita-citakan suatu perubahan bagi kondisi petani merupakan hal yang

wajar karena petani makinterhimpit oleh derasnya arus kapitalisasi di dunia

pertanian tersebut. Maka dari itu, selain dari pola pengorganisasian,

bentuk-bentuk perjuangan tani sebagai wujud konkrit dari semangat reforma agraria tadi

(46)

terangkum dalam nafas gerakan sosial yang ada, sehingga keadilan bagi petani

dapat terwujud.

Tabel I

Bagan kerangka pemikiran

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

DPW SERIKAT PETANI INDONESIA

SUMUT

GERAKAN SOSIAL

TUJUAN

SOSIAL-EKONOMI

TUJUAN

SOSIAL-BUDAYA

TUJUAN

(47)

2.4 Definisi Konsep

Konsep adalah elemen dari proposisi, seperti kata adalah elemen dari

kalimat. Konsep adalah abstrak di mana dapat menghilangkan perbedaan dari

segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik.

Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk

setiap extensinya. (Wikipedia.org)

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Gerakan secara garis besar adalah suatu tindakan persatuan yang

mengarah pada satu kesatuan unit fungsional. Pada dasarnya gerakan itu

timbul akibat ada keresahan masyarakat akan kondisi yang ada untuk

menuju perubahan yang diinginkan.

2. Organisasi adalah wadah atau tempat berkumpulnya dua orang atau lebih

karena memiliki tujuan, kepentingan dan cita-cita bersama untuk

menyelesaikan atau mencapai tujuan bersama itu. Sedangkan,

Pengorganisasian adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus

menerus bersama masyarakat dengan sistematis dan terencana untuk

mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama yakni perubahan kearah yang

lebih baik.

3. Petani adalah manusia yang memelihara dan mengembangkan tanaman

dan hewan untuk memperoleh produksi yang berguna.. Petani juga identik

Gambar

Tabel I
Gambar 1 : Struktur organisasi Serikat Petani Indonesia (sumber DPW
Gambar 2 : Struktur majelis dan badan pengurus Serikat Petani Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi jenis-jenis penyakit pada tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lam.) pada beberapa tempat di Kabupaten Manokwari.. Penelitian

Salomo Erwinson Sinaga menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Uji preferensi hama gudang Sitophilus zeamais Motsch (Coleoptera: Curculionidae) pada berbagai jenis

Bekerja diusia lanjut merupakan hal yang jarang dilakukan, namun bekerja dapat membuat lansia memiliki kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui subjective

Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, mallpun masyarakat setempat untuk melakukan

Jurnalis tidak bisa bekerja sendiri layaknya seperti yang terjadi pada ketiga profesi tersebut, tetapi mereka bekerja dalam sebuah industri media.. Itulah sebabnya AJI

Pada tahun 1975 GSRB Indonesia muncul dengan suatu paradigma yang melawan bentuk seni rupa lama yang personal dan liris.. Dari berbagai kecenderungan yang muncul dapat dilihat

1) Sinarthrosis (sendi mati) yaitu hubungan antara 2 tulang yang tidak dapat digerakkan sama sekali. Artikulasi ini tidak memiliki celah sendi dan dihubungkan dengan

Hasil analisis perilaku pantang makanan di BPM Malaika., J, Amd.Keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah Bumbudi peroleh bahwa responden yang