GERAKAN SOSIAL KAUM TANI
(Studi Kasus Pengorganisasian Tani di Dewan Pengurus Wilayah
Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Sosial
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
Disusun Oleh:
DIKA YUDHISTIRA RIZQY
070902052
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
1
KATA PENGANTAR
Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas limpahan taufiq dan ‘inayah Nya, karena skripsi yang telah lama penulis harapkan kehadirannya ini dapat diselesaikan. Walaupun penulis menyadari bahwa masih banyak kecatatan dan kekurangan terlebih lagi untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang rindu akan sebuah gerakan sosial. Sholawat dan Salam penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fungsi kehambaan dan kekhalifahannya secara sempurna di alam ini. Sejatinya Nabi Muhammad SAW harus dijadikan uswat hasanah bagi manusia. Sehingga regenerasi manusia yang ada dapat
mentransformasikan ajaran dan sikap seorang Nabi akhir zaman tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan orientasi awalnya adalah guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata satu (S-1) pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bahan yang diambil berasal dari studi kepustakaan dan studi lapangan yang penulis lakukan. Kehadiran penelitian ini bermaksud untuk mengangkat tema “Gerakan Sosial” yang dijadikan alat untuk melihat organisasi masyarakat Tani sebagai sebuah gerakan sosial. Penelitian ini memfokuskan pada perjuangan SPI (Serikat Petani Indonesia). Adapun judul skripsi ini adalah “Gerakan Sosial Kaum Tani (Studi kasus pengorganisasian tani di DPW SPI Sumut)”.
Jujur diakui, skripsi ini banyak sekali kekurangannya, jika pembaca sekalian merasa memilikinya, berikanlah saran dan kritikan yang konstruktif agar skripsi ini lebih baik lagi. Namun apapun bentuknya, hanya inilah yang dapat penulis berikan untuk penambahan amunisi keilmuan bagi kita semua.
penulis selama menjalani tugas dan tanggungjawab sebagai seorang mahasiswa. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, selaku dekan FISIP USU.
2. Bapak/ibu Pembantu Dekan FISIP USU, Pak Zakaria Taher (PD 1), Ibu Rosmiani (PD 2) dan Pak Edward (PD 3).
3. Ibu Hairani Siregar S.sos, MSP selaku Ketua departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.
4. Bapak Agus suriadi S.sos, M.si selaku Dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan dan pemikiran-pemikiran untuk pemantapan skripsi ini. Thank’s a lot sir.
5. Terimakasih juga saya ucapkan kepada staff pengajar dan staff kepegawaian di kampus FISIP USU. Yang telah memberi banyak kesempatan untuk saya menimba ilmu dan meminta pertolongan-pertolongan sehingga menghantarkan saya pada akhir masa studi ini.
6. Thank’s to my parent, buat orangtuaku H.Tumino dan Hj. Yuslinar
Siregar. Terimakasih semua yang telah diberikan selama ini serta harus sabar menunggu sampai gelar S.sos itu didapatkan.
7. Buat dua my little sister ku, Tya Maghfirah R dan Nazwa Annisa R, melihat kalian berdua membuat Mas lebih termotivasi untuk menyelesaikan studi ini. Don’t stop to study n fly away into your dreams.
1
9. Miftah “Lady Rose” Khairuza, Thank’s udh bisa beradaptasi dengan Mas yaa. Serta support dan “bimbingan-bimbingan khusus nya” selama ini. dengan itu semua lah proses-proses yang ada ini bisa menjadi lebih indah.
10. Kawan-kawan Mokondo dan Mokondowati Kesos, Amir (Jgn asik mw pulkam aja bawaan geng, selesaikan dulu itu), Rholand (duluan aku yaa ketua), Acong (siapa lagi korban yg kau tipuin cinaa.he), Ridho (Kapan serius nya do. Fokus dulu), Ferdy (apalagi yg dtggu cuy, sembari2 selesai nya itu), Ojan (jgn byk “haaa?!” nya, responsive dikit), Baim (marcepat-cepat pulak selesai lae ya). Boy (apa yg bs kami bantu?!), Endika (Si perfectsionis man) Rizal Bolang, Billy, Sunario, Ody, Asep, Manuk, Timo, Petrus dll (Mantap laah utk kalian semua GBU). Aing, Wirda, Malida, Vi2n, Titik, Ayu dll (kalo udah sama kalian, kek sama bou2 ku, bising, he..).
11. Kawan-kawan seperjuangan Batu Kristal, sungguh banyak yang kita hadapi dan nikmati selama masa-masa asik itu. Terima kasih banyak telah menjadi kawan berjuang. Sebagai kesimpulan akhir semoga kita bisa mengerti dan merasakan apa yg disebut dgn konsolidasi, friends.
12. Keluarga Besar HMI Komisariat FISIP USU. Tidak cukup kata terimakasih yang dihantarkan kepada kakanda dan adinda semua yang ada disana. Pastinya, setiap jejak rekam proses yang dilewati disana menjadi amunisi yang berguna untuk struggle kedepannya. Semoga Allah SWT memberi yang terbaik untuk kita semua dan rumah ini. YAKUSA!!
13. Kepengurusan PEMA FISIP USU Periode 2010-2011. Siapapun itu, yang telah bersentuhan pemikiran dengan saya. Terimakasih banyak.
14. Kepengurusan IMIKS FISIP USU Periode 2009-2010. Terus bergerak kawan untuk sesuatu yang lebih baik lagi untuk kita semua, kalau ada yang salah dengan kerendahan diri saya meminta maaf.
Bang foo, Bang Dika, Kak Andre, Kak dewi, Kak Ri2 dll serta keluarga besar SINTESA bang Pian, Ca’ kardi, Kak Lisda, Kak Novi dll serta juga seluruh petani anggota DPW SPI Sumut yang tidak bisa disebut satu persatu. Terimakasih atas kesempatan belajar yang diberikan disana sehingga saya mengerti apa artinya perjuangan itu.
16. Semua pihak yang pernah bersentuhan pemikiran dengan penulis. Sedikit banyaknya skripsi ini adalah kristalisasi pemikiran yang selama ini ada. Terimakasih semuanya.
Akhirul kallam, setiap fase yang terlewati merupakan pijakan untuk
berbuat sesuatu yang lebih baik lagi kedepan, skripsi ini pun tidak ada apa-apanya tanpa dilanjutkan dengan hal-hal kongkrit untuk sebuah kebenaran. Oleh karena itu, ucapan terimakasih mesti penulis ucapkan kepada semua support, bantuan dan motivasi dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan khusus bagi pergerakan petani di SPI sebagai amunisi keilmuan. Suarakan terus kebenaran dan keadilan itu, karena kita selalu di janjikan kedamaian tanpa keadilan yang nyata.
Medan, 21 September 2011
1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
ABSTRAK
Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.
(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 105 Halaman, 2 tabel, 3 bagan, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 15 sumber lain yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan lembaran Negara.)
Salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia adalah pertanian. Adapun masalah yang mengakar di sektor pertanian adalah ketimpangan terhadap pola penguasaan lahan/tanah dalam struktur sosial. Konflik yang ada pun tidak terlepas dari pandangan ekonomi nasional yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani.
Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana pola pengorganisasian tani dan implementasi perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengorganisasian dan implementasi perjuangan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara serta di areal yang secara struktur menjadi tanggungjawabnya dengan jumlah informan sebanyak 12 orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan melakukan proses triangulasi.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa pola pengorganisasian dan perjuangan yang dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara adalah gerakan yang organik. Artinya gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi (pendidikan dan konsolidasi) bagi petani.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE
SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE
ABSTRACT
Social movement peasant in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera.
(This thesis is composed of 6 chapters, 105 pages, 2 tables, 3 charts, appendix and 15 literature and other sources from the internet, scientific labour, journalist and sheet of state)
One of the public sector dominate by the people of Indonesia is a farming. The main problem in farming sector is the injustice rule to own land model in social structure. The conflict come out because of national economic persfective related to the result of the power capital global construction. The feed back is going to the land and become comuditty and create the land market. So the investor are more interested to put their investment in land sector. Because it is big profit for them. Inspite of the peasant don’t stop in one line. They always move to the dynamica of life. They always be related to social change. Where there one way is doing to peasant movement.
The that is going to be picked up problem. “Here is about the model in organizing peasant and implementation struggle that be created by sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera”. This research has aim for knowing “how is the model in organizing peasant and implementation struggle by sub organizing of Indonesian peasant of North Sumatera”. This method research use explorative method research in qualitative approach. The research was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera and also in area that the structurebecome their responsibility with size of informant about 12 man. Method in collecting data by interview guide and observation of the field. The data that was got by researcher is being narrated by qualitative method with the triangulasi process.
Based on the data that has been analayzed the researcher take conclusion that organizing model and struggle that was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera is organic movement. The point is movement that built based on conclusion collective. Organization struggle that was created to built spirit peasant based on condition that they face by giving training (education and consolidate) for peasant.
1 DAFTAR ISI
Kata pengantar ... i
Abstraksi ... v
Daftar isi ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 15
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 16
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 16
1.4 Sistematika Penulisan ... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gerakan Sosial ... 19
2.1.1 Pengertian Gerakan Sosial... 19
2.1.2 Pendekatan Melalui Teori Marxist ... 23
2.1.3 Pendekatan Interaksionisme Simbolik... 27
2.2 Kesejahteraan Sosial ... 28
2.2.1 Pengembangan Masyarakat dalam Ilmu kesejahteraan sosial... 32
2.3 Kerangka Pemikiran ... 32
2.4 Defenisi Konsep ... 35
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 36
3.3 Unit Analisis dan Informan... 37
3.3.1 Unit Analisis ... 37
3.3.2 Informan ... 38
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 39
3.5 Teknik Analisa Data ... 40
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Organisasi ... 42
4.2 Tujuan Organisasi ... 45
4.3 Program Organisasi ... 47
4.4 Platform Organisasi ... 49
4.5 Struktur Organisasi ... 51
4.6 Jumlah Satuan Organisasi ... 63
4.7 Keanggotaan Organisasi ... 70
4.7.1 Syarat Keanggotaan ... 70
4.7.2 Jenis dan Jenjang Keanggotaan ... 71
BAB V ANALISA DATA 5.1 Semangat Lahirnya Gerakan Serikat Petani Indonesia ... 73
5.2 Pendidikan Kader dan Konsolidasi Dalam Organisasi ... 80
5.2.1 Pendidikan Kader ... 80
5.2.2 Konsolidasi ... 84
5.3 Perjuangan Pembaharuan Agraria dan Pedesaan ... 86
1
Keluarga Petani ... 91
5.4.2 Kedaulatan Pangan ... 93
5.4.3 Hak Asasi Petani ... 95
5.4.4 Perlawanan Terhadap Neoliberalisme ... 97
5.5 Pembentukan Perjuangan Organisasi ... 98
5.5.1 Penyadaran Kelas Petani ... 98
5.5.2 Tekanan Politik ... 100
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 103
6.2 Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
ABSTRAK
Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.
(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 105 Halaman, 2 tabel, 3 bagan, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 15 sumber lain yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan lembaran Negara.)
Salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia adalah pertanian. Adapun masalah yang mengakar di sektor pertanian adalah ketimpangan terhadap pola penguasaan lahan/tanah dalam struktur sosial. Konflik yang ada pun tidak terlepas dari pandangan ekonomi nasional yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani.
Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana pola pengorganisasian tani dan implementasi perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengorganisasian dan implementasi perjuangan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara serta di areal yang secara struktur menjadi tanggungjawabnya dengan jumlah informan sebanyak 12 orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan melakukan proses triangulasi.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa pola pengorganisasian dan perjuangan yang dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara adalah gerakan yang organik. Artinya gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi (pendidikan dan konsolidasi) bagi petani.
1 UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE
SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE
ABSTRACT
Social movement peasant in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera.
(This thesis is composed of 6 chapters, 105 pages, 2 tables, 3 charts, appendix and 15 literature and other sources from the internet, scientific labour, journalist and sheet of state)
One of the public sector dominate by the people of Indonesia is a farming. The main problem in farming sector is the injustice rule to own land model in social structure. The conflict come out because of national economic persfective related to the result of the power capital global construction. The feed back is going to the land and become comuditty and create the land market. So the investor are more interested to put their investment in land sector. Because it is big profit for them. Inspite of the peasant don’t stop in one line. They always move to the dynamica of life. They always be related to social change. Where there one way is doing to peasant movement.
The that is going to be picked up problem. “Here is about the model in organizing peasant and implementation struggle that be created by sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera”. This research has aim for knowing “how is the model in organizing peasant and implementation struggle by sub organizing of Indonesian peasant of North Sumatera”. This method research use explorative method research in qualitative approach. The research was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera and also in area that the structurebecome their responsibility with size of informant about 12 man. Method in collecting data by interview guide and observation of the field. The data that was got by researcher is being narrated by qualitative method with the triangulasi process.
Based on the data that has been analayzed the researcher take conclusion that organizing model and struggle that was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera is organic movement. The point is movement that built based on conclusion collective. Organization struggle that was created to built spirit peasant based on condition that they face by giving training (education and consolidate) for peasant.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Runtutan penjajahan dari satu masa kemasa lainnya telah membawa
Indonesia kedalam struktur ekonomi kolonialistik. Sistem ekonomi yang berwatak
penjajahan ini hanya difungsikan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang
dengan merampas kedaulatan rakyat. Sementara itu, kesalahan masa lalu tidak
pernah menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan secara umum
masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni berorientasi pada pertumbuhan
tanpa memperdulikan proses distribusi kesejahteraan yang semakin timpang.
Akibatnya terjadi pemusatan kapital yang hanya didominasi oleh kekuatan
korporat dan konglomerasi. Padahal secara prinsipil, kita mengenal trilogi
pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang
dinamis dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Hal ini menjadi ciri
struktur ekonomi bangsa. Sementara itu, sebagian besar rakyat hanya menjadi kuli
di negerinya sendiri.
Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa
kondisi sosial dan ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Saat ini arah
pembangunan masih diarahkan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial ekonomi menjadi keropos
dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar rakyatnya untuk hidup
1
Hal di atas juga menimpa salah satu sektor publik yang paling di dominasi
oleh masyarakat Indonesia yaitu pertanian. Sektor pertanian merupakan jantung
kehidupan pedesaan. Selain berfungsi sebagai penjamin kedaulatan pangan
bangsa, sektor ini juga telah menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi
nasional. Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia
bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan
sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian.
Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok
bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk
mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
Sekitar 46 persen rakyat Indonesia terserap di sektor ini, dan dari sembilan
sektor yang ada, sektor pertanian adalah sektor penyumbang upah terbesar dari
kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar 47.8 persen. Sementara itu sektor
lainnya seperti pertambangan, listrik, gas dan air, serta sektor keuangan dan jasa
hanya menyumbangkan pengembalian berupa upah/pendapatan masing-masing
sebesar 5,6 persen, 21,67 persen dan 7,55 persen dari GDP yang disumbangkan.
Namun sayang, peran pertanian yang sangat vital ini tidak menjadi alasan bagi
pemerintah untuk memprioritaskan penguatan dan pembangunan sektor pertanian
dan pedesaan. (BPS,2009)
Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah
mengimplementasikannya melalui revolusi hijau yang berideologi
developmentalisme-modernisme. Ideologi inilah yang akhirnya membawa dampak
penguasaan sumber agraria. Dalam struktur ekonomi revolusi hijau telah
membawa ketimpangan dalam kecepatan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya
menimbulkan polarisasi asset. Hal ini berimbas pada struktur sosial yang
menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan dan penguasaan lahan antar
kelompok yang semakin menajam dan semakin meningkatkan potensi konflik
serta melumpuhkan etika kehidupan sosial di desa.
Konflik yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat tani adalah
konflik agraria. Salah satu penyebab konflik agraria adalah ketidakadilan dalam
struktur penguasaan dan pemilikan terhadap sumber-sumber agraria. Penguasaan
atas perkebunan, kehutanan, pertambangan saat ini hanya didominasi segelintir
individu dan perusahaan-perusahaan besar nasional dan asing seperti London
Sumatera, Exxon, New mont, Freeport, Caltex dan lainnya yang luasnya hingga
mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong timbulnya ribuan
konflik-konflik yang bersandar kepada perebutan penguasaan, pengelolaan,
pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya
vertikal, horizontal maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang
terjadi selalu mengakibatkan petani, masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan
lainnya. (Ya’kub, 2007:vii).
Jelas memang hal yang paling mendasari timbulnya perlawanan kaum tani
adalah ketimpangan yang terjadi akibat pola penguasaan lahan dalam struktur
sosial. Pola penguasaan tanah di desa tempat petani melakukan usaha
pertaniannya menyangkut masalah sebegitu rumitnya untuk dikuasai karena
meliputi aspek yang sangat erat dengan nilai ekonomi, politik, hukum maupun
1
tanah menjadi rentan terhadap manipulasi pandangan yang bersifat ekonomis dan
memposisikan tanah menjadi faktor produksi mutlak. Sehingga akibat dari
paradigma berikut makin lama tanah menjadi barang yang langka dan mendorong
perbandingan antara tanah dengan jumlah manusia terjadi ketimpangan yang
begitu lebar.
Hal ini dikarenakan oleh fungsi tanah yang mewadahi semua kegiatan
manusia. Dimana pada zaman romawi kuno, konsep-konsep tentang lingkungan
sumber daya alam dan pertambangan belum dikenal akibat terpusatnya kegiatan
manusia pada kegiatan berburu dan bercocok tanam. Tetapi yang perlu
diperhatikan adalah, agraria tidak hanya dapat diartikan sederhana sekadar
“tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata pedusunan, bukit dan wilayah atau
teritori jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena didalamnya termaktub
segala sesuatu yang terwadahi olehnya. (Yakub,2007:2)
Dalam setiap sumber agraria terlihat hubungan-hubungan agraria yang
sangat kompleks. Hubungan agraria bukan hanya berupa hubungan antara
manusia dengan objek-objek agraria khususnya tanah melainkan juga menyangkut
hubungan subjek-subjek agraria secara sosial dan ekonomi bahkan politis. Situasi
tersebut membentuk suatu struktur penguasaan, kepemilikan dan kepengelolaan
dari sumber-sumber agraria. Jika setiap hubungan berjalan harmonis maka konflik
relatif tidak muncul, sebaliknya jika terjadi ketimpangan maka konflik akan
datang. Konflik agraria terjadi apabila terdapat benturan kepentingan intra dan
antar subjek agraria ataupun tumpang tindih klaim atas akses terhadap objek
itu bersifat laten maupun manifest. Gejala konflik berakar dari tiga hal yaitu
sebagai berikut :
1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan
alam yang menyertainya.
2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agraria dan kekayaan
alam itu.
3. Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan
pemanfataan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut.
(Yakub,2007 : 3)
Secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber
agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.
Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang
agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun
terlibatnya alat Negara seperti kepolisian dan militer. Sehingga yang terjadi
adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak.
Berbicara tentang penguasaan atas tanah tidak terlepas dengan penguatan
legalitas kebijakan hukum di dalamnya. Jika kita lebih melihat secara sejarah
kebijakan tanah yang ada ketika inggris menjajah Indonesia (1811-1816), legalitas
agraria diatur melalui Domain Theory Raffles , yaitu kebijakan agraria didasarkan
atas dan bertujuan untuk menarik pajak bumi dengan dalil bahwa tanah adalah
milik Raja/Negara/Pemerintah. Setelah Van den bosch memegang kendali
1
ikut membangun proyek-proyek besar (waduk, jalan raya, kereta api) dan bekerja
diperkebunan. Kebijakan ini kemudian diganti oleh Agrarische Wet yang
menetapkan asas domain veklaring, suatu prinsip yang mengatakan semua tanah
tidak ada bukti kepemilikannya atau tanah terlantar adalah domain Negara.
Setelah itu dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria 1870 yang
mengakomodasikan swasta Belanda berbisnis di Indonesia. Kenyataannya,
perilaku berbisnis swasta Belanda yang eksploitatif terhadap petani dan lebih dari
itu selalu berusaha memperoleh kepastian menjangkau penyediaan tanah dalam
waktu yang panjang.
Mengingat struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih timpang,
maka setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno membuat kebijakan untuk
penataan agraria, suatu kebijakan yang sangat populis dan nasionalis. Asumsinya,
penataan kepemilikan dan penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dilakukan
industrialisasi (Suhendar dan Kasim,1995 : 15)
Para pendiri bangsa telah merumuskan suatu kebijakan hukum yang populis
dan mampu menjamin tanggung jawab nilai kerakyatan pertanian pemerintah.
Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) menjadi sinyal tersendiri bagi keadilan atas penguasaan
tanah tersebut, karena UU ini dianggap representatif untuk menyelesaikan konflik
agraria yang ada. Karena UUPA dijalankan dengan orientasi penyediaan tanah
untuk penggarap. Akan tetapi dalam proses implementasi dari undang-undang
tersebut mengalami banyak kesulitan tentang frame berpikir penguasa di negeri
UUPA tahun 1960 menegaskan batasan agraria sebagai "bumi, air dan
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya". Artinya
pengertian agraria jauh lebih luas dari pengertian tanah seperti yang di anut di
mata masyarakat umum. Ruang lingkup agraria mencakup pertanahan (UUPA
1960 menyebutnya sebagai "permukaan bumi"), termasuk tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada di bawah air (sehingga mencakup pertambangan);
Air, termasuk air pedalaman maupun laut di wilayah indonesia (termasuk
kekayaan laut itu sendiri); dan ruang angkasa, yaitu ruang atas bumi dan air
tersebut. Prinsip Negara sebagai penguasa tertinggi dilandasi pasal 33 ayat 3 UUD
1945 yang menempatkan negara sebagai pemilik agraria, melainkan penguasa
agraria. Penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 2
UUPA yang menyatakan " ... bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara ...".
Pengkhianatan terhadap UUPA dimulai ketika berkuasanya rezim orde
baru. Relasi kekuasaan antara petani yang diklasifikasikan sebagai rakyat dengan
kekuasaan Negara terbentuk saling berkonfrontasi. Hal ini disebabkan karena
cerminan pemerintahan orde baru sangat jauh dari harapan mengenai penjaminan
kesejahteraan petani. Kondisi tersebut sangat jelas terlihat dengan banyaknya
kebijakan dan perundangan yang banyak mengadopsi pengaruh modal daripada
mewujudkan nilai-nilai dan semangat kerakyatan.
Kebijakan tersebut dapat dilihat dengan banyak dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan yang ditujukan untuk eksploitasi sumber-sumber agraria
1
multilateral dan perusahaan-perusahaan internasional. Bahkan didapati peraturan
perundang-undangan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria tersebut
justru tidak berorientasi dari UUPA dan menjadikan pengaturan masalah ini
kepada masalah sektoral. Di tambah lagi dengan timbulnya UU yang secara asas
bertentangan dengan UUPA tersebut, seperti Undang-undang No. 18 tahun 2004
tentang perkebunan, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan,
Undang-undang No. 7 tahun 2004 sumber daya air, Undang-undang No. 11 tahun
1967 tentang pertambangan dan Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang
penanaman modal. Yang kesemua produk undang-undang tersebut sangat jelas
menjurus pada sebuah akumulasi modal dan memberikan jalan untuk pemodal
untuk menanamkan asetnya di pedesaan. Akibatnya, dengan adanya
Undang-undang yang ada setelah itu dengan secara tidak langsung me”mandul”kan UUPA
yang telah ada.
Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika pemerintah memilih
paradigma pembangunan yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital
global. Yang kenyataannya sangat problematika kepada petani dengan ditopang
investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi yang untuk
keperluan operasionalnya memerlukan tanah. Akibatnya tanah menjadi komoditas
dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan
modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini
tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya kedalam sistem
kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan Negara.
Selain munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial yang sebenarnya
diperebutkan dengan rakyat menjadi HGU untuk diberikan pada perusahaan
perkebunan swasta maupun pemerintah dalam bentuk perusahaan daerah
perkebunan. Meskipun kebijakan agraria dalam UUPA terdapat peraturan yang
memfasilitasi perlunya peninjuan kembali tentang terhadap penguasaan tanah
untuk rakyat, namun makna Land reform yang populistik yang menjiwai UUPA
tak pernah dijalankan. Situasinya semakin problematik dimana intervensi
kekuatan dan kekuasaan bukan saja dilakukan oleh Negara, melainkan juga
kekuatan pasar.
Kecenderungan tersebut telah menegaskan bahwa yang dihadapi petani
tidak saja Negara, tetapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang
pengaruhnya semakin kuat. Pada zaman orde baru yang sebegitu kuat, Negara
dengan aparatnya yang tersebar di pelosok pedesaaan telah menjadi agen
pembangunan secara efektif dan efisien. Sementara dalam konteks kekinian,
kekuatan pasar justru semakin merajalela dan sulit dikontrol, termasuk oleh
Negara sekalipun. Pasar mampu dan dengan leluasa membentuk dan menawarkan
sesuatu yang menguntungkan bagi siapa saja baik individual, kelompok,
organisasi sosial keagamaan dan bahkan pemerintahan lokal untuk bisa menjadi
agen kepentingannya.
Berbagai kebijakan Negara dan pengaruh ekonomi global sebagaimana
dikemukakan diatas secara langsung atau tidak telah menyebabkan petani semakin
banyak kehilangan tanahnya. Paling tidak ada 25% petani memiliki 74,8% lahan
dengan luas 1-5 ha. 75 % sisanya hanya menguasai 25,8% lahan dengan luas
0,1-0,99 ha (KPA, 2002). Dari data yang ada tersebut selain mengindikasikan
1
pertanian yang semakin terbatas, juga memperlihatkan bagaimana para petani
mempertaruhkan eksistensinya sebagai petani. Faktor kesenjangan penguasaan
dan kepemilikan tanah dan terancamnya eksistensi diri para petani pada gilirannya
menjadi penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di pedesaan yang sejak
belakangan ini kian marak.
Arah dari serangkaian kebijakan neoliberalisme ini pada garis besarnya
adalah mencabut kedaulatan petani pada sumber-sumber agraria, tidak hanya
tanah tetapi benih, pupuk, teknologi, kredit, termasuk juga pasar.
Kehidupan petani yang sebelumnya dihantui ketidakjelasan, dengan
demikian semakin parah dengan rasa ketidakmenentuan. Kehidupan petani
semakin hari bukannya semakin membaik, melainkan justru semakin tertekan dan
terperosok ke dalam arus kemiskinan struktural. Semuanya itu mengakibatkan
kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada saat yang sama, rakyat petani
selain tidak dapat memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya melalui
institusi-institusi, juga tidak cukup mempunyai kemampuan mengekspresikan
emosi secara wajar sehingga persoalan-persoalan yang muncul kemudian
diarahkan menjadi kekerasan massa yang kerapkali brutal, destruktif dan radikal
terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol-simbol kekuasaan
(Negara dan pasar).
Masyarakat petani merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas.
Tata kehidupannya merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih makro, seperti
sistem sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan
masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk
mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan
mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan
sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani. Gerakan ini
bukan sebagai suatu reaksi tetapi juga sebaga wahana untuk mencapai
tujuan-tujuan perubahan.
Gerakan petani merupakan salah satu jenis dari gerakan sosial, artinya
gerakan petani itu adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Gerakan
petani merupakan gerakan reformatif, karena ia menghendaki perubahan terhadap
sebagian sistem yang melingkupi kehidupannya. Gerakan petani dapat masuk
dalam gerakan fase kedua, yakni fase dimana gerakan sosial sering disebut
sebagai proses politik, tindakan rasional, model mobilisasi sumber tentang
tindakan kolektif serta tentang gerakan itu sendiri. (wahyudi, 2005 : 6).
Dikalangan petani berkembang anggapan, bahwa tidak banyak pihak yang
bersedia membantu secara penuh untuk membantu mengentas meeka dari posisi
keterpurukan. Dalam perspektif marxis, Bahwasanya hanya suatu pihak yang
dapat mengambil inisiatif revolusioner untuk melakukan reformasi agraria yaitu
petani itu sendiri (Mustain,2007:15).
Proses perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani tersebut tidak terlepas
dari aktivitas-aktivitas organisasi yang banyak muncul untuk memperjuangkan
1
kesadaran akan ketertindasan mereka. Pada bulan November 1945,
diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah
Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia
(RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat
Tani Islam Indonesia (STII) yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI
yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU.
Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan
pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta
lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya
organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat
dalam revolusi Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya
BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan
dengan tegas yakni anti imperialisme dan juga anti feodalisme dengan
memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara
aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten
UUPA 1960.
Pasca 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang
kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang 'direstui'
oleh orde baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau
mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap
pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan
membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru
untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di
menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes
dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru,
sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat
dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang
luar biasa.
Pasca Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka
lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani
mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya
tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana
bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga
tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar.
Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di
tingkat desa, kabupaten, provinsi bahkan nasional banyak bermunculan.
Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan
kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus
menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara,
Khusus di Sumatera Utara, semangat perjuangan tani merupakan upaya
untuk pemecahan masalah sosial yang mengakibatkan kondisi petani hanya
menjadi kuli dirumah sendiri. Ketimpangan model penguasaan agraria terjadi
akibat mengencangnya intervensi modal dan penjajahan fisik zaman kolonial
Pada tahun 1950, banyak bermunculan organisasi tani yang secara tidak langsung
saling bersaing dalam menguasai basis massa. Sehingga menjadi perhatian dari
organisasi yang berskala nasional. Organisasi PETANI (Persatuan Tani Nasional
1
Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai underbouw PKI muncul sebagai organisasi
yang kuat dan mendapat pengaruh yang luas ditingkatan nasional dan berdiri
tahun 1951 di Sumatera utara.
Era kekinian pasca reformasi, semangat perjuangan tani di Sumatera Utara
belum berubah secara substansi. Gejolak perlawanan yang dilakukan oleh kaum
petani menjadi alternatif sikap petani untuk mendapatkan keadilan. Karena jika
melewati prosedural resmi tersebut tidak mungkin dapat memperoleh persetujuan,
maka mereka menempuh dengan cara kekerasan, sehingga gerakan ini disebut
dengan aksi sepihak.
Kondisi di atas persis dengan metode perjuangan yang dilakukan oleh
Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara yang berorientasi pada reforma
agraria (pembaharuan agraria), reforma agraria sendiri adalah suatu upaya korektif
untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan
eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang
bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu
keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan
pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. (Yakub,2007 : 10)
Adapun semangat perjuangan Serikat petani wilayah Sumatera utara
tersebut menuju pada upaya pelaksanaan pembaharuan agraria dimulai dari
dilaksanakannya program land reform, yaitu suatu upaya yang mencakup
pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala
pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan
teknologi pertanian, sistem perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya
organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya.
Secara umum, tujuan gerakan SPI ini adalah untuk tujuan ekonomi,
sosial-politik dan sosial-budaya
Dari peninjauan sebelumnya, tercatat ada 13 kabupaten/kota yang telah
menyebar organisasi ini. Secara struktural Dewan Pengurus Wilayah Serikat
Petani Indonesia di Sumatera Utara sebagai pimpinan tertinggi di wilayah
Sumatera Utara menanggung jawabi kesemua itu sampai ketingkatan desa.
Maka atas dasar orientasi perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani
Indonesia wilayah Sumatera utara yang fokus terhadap permasalahan petani yang
semakin jauh dari rasa keadilan, dengan hal itulah penulis ingin melakukan
penelitian untuk melihat bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan
Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara secara
kongkrit.
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan penjabaran yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka
penulis dapat merumuskan masalah yang nantinya akan diteliti. Agar studi
terhadap masalah tersebut bisa fokus dan tidak keluar jalur, dalam pembahasan
Skripsi ini penulis mengajukan rumusan permasalahan pokok sebagai berikut :
1. Bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan oleh Dewan
1
2. Bagaimana wujud implementasi dan bentuk perjuangan yang dilakukan
oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara?
1.3 Tujuan dan manfaat penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk dapat mendeskripsikan dan mengetahui pola pengorganisasian tani
yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia
Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui wujud implementasi dan bentuk perjuangan tani yang
dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia
Sumatera Utara.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap
kajian dan bacaan di lingkungan mahasiswa Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial yang berminat mengenai studi tentang gerakan
sosial.
2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dlam penulisan
terhadap fenomena dan gejala sosial secara kritis. Sehingga dapat di follow
up kan dalam dunia nyata bagi penulis.
3. Secara praktis, diharapkan mampu memberi masukan dan kontribusi yang
signifikan terhadap perluasan agenda perjuangan dan gerakan tani di
Sumatera Utara khususnya bagi Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani
Sumatera Utara.
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan
tentang masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran,
definisi konsep dan definisi operasional
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik
1
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang profil organisasi Dewan Pengurus
Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara.
Selanjutnya juga pada bab ini juga menjelaskan sejarah singkat,
visi, misi, platform organisasi, struktur organisasi dan jumlah
satuan organisasi yang tersebar didaerah yang meliputi ranah kerja
organisasi serta keanggotan organisasi.
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil
penelitian baik melalui data kepustakaan maupun dengan
melakukan studi lapangan sehingga menjawab permasalahan yang
diangkat
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan
saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga akan
memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun
kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gerakan sosial
2.1.1 Pengertian gerakan sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai
program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan
perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.
Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu
bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sejumlah ahli
sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan
diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan
kesinambungan. Sebagai sebuah aksi kolektif, umur gerakan sosial tentu sama
tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Perubahan suatu peradaban ke
peradaban lain tidaklah selalu melalui jalan “damai” bahkan sejarah membuktikan
perubahan peradaban masyarakat kerap terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif
atau yang lebih dikenal dengan istilah gerakan sosial sekarang ini (Situmorang,
2007).
Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya
ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata
lain, gerakan sosial lahir dari raksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat
1
merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut
perubahan dalam institusi,kebijakan atau struktur pemerintahan. Disini terlihat
tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai
dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan kepentingan
masyarakat scara umum.
Gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan
bagi gerakan itu. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar
untuk menuntaskan sebuah proses perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini
gelombang pergerakan dari individu-individu, kelompok yang mempunyai tujuan
yang sama yaitu suatu perubahan sosial
Indikasi awal untuk menangkap gejala sosial tersebut adalah dengan
mengenali terjadinya perubahan-perubahan pada semua elemen arena publik dan
ditandai oleh kualitas “aliran” atau “gelombang”. Dalam prakteknya suatu
gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyak organisasi baru yang
terbentuk, dan bertambahnya anggota dalam suatu organisasi gerakan.
Selain itu menurut Lofland dua aspek empiris gelombang yang perlu
diperhatikan adalah Pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara
lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan akan melemah
dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses ‘cooled
down’. Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah menjadi
gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut diatas.
Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan sosial
pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis kapitalis) atau
pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal
tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan
itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan.
(Lofland, 2003 : 50)
Menurut John Lofland, ada 17 variabel yang berpengaruh terhadap
gerakan sosial, yaitu :
a. Perubahan dan ketimpangan sosial
b. Kesempatan politik
c. Campur tangan negara terhadap kehidupan warga
d. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi)
e. Konsentrasi geografis
f. Identitas kolektif
g. Solidaritas antar kelompok
h. Krisis kekuasaan
i. Melemahnya kontrol kelompok yang dominan
j. Pemfokusan krisis
k. Sinergi gelombang warga negara (penduduk)
1 m. Jaringan komunikasi
n. Integrasi jaringan di antara para pembentuk potensial
o. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensial
p. Kemampuan mempersatukan
Perlu diperhatikan juga ada beberapa faktor pengaruh terhadap jalannya
gerakan sosial, gagasan ini dapat digambarkan pada tabel dibawah ini.
Aspek mikro
(Internal diri aktor)
Aspek makro
(Eksternal diri aktor)
Ideologi diri Kondusivitas structural
Nilai-nilai diri Ketegangan structural
Perspektif memandang suatu fenomena Penyelenggaraan pemerintah
Sumber daya diri Strategi pembangunan
Komitmen diri Situasi dan kondisi yang sedang
berlangsung
Sumber : (Wahyudi,2005 : 198)
Maka dari itu, gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah
adanya kekuasaan secara struktural negara. Sehingga mengambil jalan untuk
mewujudkan tuntutan dengan berbagai macam metode perlawanan yang disajikan,
mulai dari yang bersifat taat asas hukum sampai kepada sebuah usaha yang
radikal progresif dalm payung hukum yang abnormal dalam implementasinya.
Walaupun nantinya konsekuensinya yang terjadi harus melibatkan semua potensi
material yang dimiliki oleh para pelaku gerakan sosial itu sendiri. Baik harta,
tenaga maupun nyawa sekalipun untuk mewujudkan harapan keadilan bagi semua
orang.
2.1.2 Pendekatan melalui teori Marxist
Dalam perspektif Marxisme tradisional perjuangan kelas ditempatkan pada
titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial.
Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas
yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis/Borjuis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh
karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu
dasar dan superstruktur.
Unsur dasar (base) adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan
yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan
superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di
tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian.
Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan
adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan
1
Pendekatan yang digunakan dalam Marxisme tradisional tersebut di atas
mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh antiesensialisme dan nonreduksionis,
termasuk Antonio Gramsci. Mereka menolak pendekatan bahwa kompleksitas
yang terjadi di masyarakat hanya direduksi secara sederhana dengan hubungan
sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri merupakan sebuah akibat dan demikian
pula sebaliknya. Inti pemikiran Antonio Gramsci adalah konsep hegemoni, yang
kaitan dengan studi tentang gerakan sosial dan perubahan sosial.
Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial
dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan
pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam
keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Socoety).
Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan
dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan
intelektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil
merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali
ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu
agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit
ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan
dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah
dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah dengan dahulu
menciptakan kesadaran kelas bagi mereka. (Fakih, 2004 : 23).
Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka
seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki
orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok
sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi
hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal
(misalnya sekolah dan perguruan tinggi). Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa
perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa
yang disebut dengan “perang manuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan
jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan
praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan kultural dan
ideologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah
meyakinkan kelas bawah bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk
kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan
sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang
membentuk kehidupan sosial global”. Dengan demikian, peran kependidikan
organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian
tujuan jangka pendek (bersifat praktis) dan tujuan jangka panjang (bersifat
ideologi) untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan
kesadaran dan pendidikan kritis (termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan
sosial) merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan sosial atau
transformasi sosial.
Robert Mirsel menambahkan dari dua pendekatan diatas, bahwa dalam
perkembangan teori-teori gerakan sosial selain adanya stimulus sebab-akibat dan
organisasi sosial jua perlu adanya mobilisasi sumber daya dan rasionalitas dari
setiap tindakan dalam gerakan kemasyarakatan. Serta menekankan perlunya
1
paradigma ini juga menaruh perhatian terhadap organisasi-organisasi gerakan.
Namun paradigma marxis berbeda dari paradigma mobilisasi sumber daya dalam
tiga hal. Pertama, paradigma ini lebih menaruh perhatian pada struktur-struktur
yang ada, tidak semata-mata sebagai ruang lingkup sebuah gerakan tetapi lebih
sebagai penyebab utama lahirnya gerakan kemasyarakatan. Sebuah gerakan tidak
semata-mata merupakan cara-cara yang rasional dalam hubunganya dalam ruang
lingkup gerakan sebagai sumber dari sumber-sumber daya atau dari perlawanan,
tetapi juga merupakan tujuan yang rasional dalam upaya membaharui atau
merubah struktur-struktur tersebut. Kedua, teori-teori marxis dalam analissi
akhirnya menghubungkan struktur-struktur ini dengan kapitalisme sebagai bentuk
sosial. Juga ketika membuat analisis tentang para elite kekuasaan Negara ataupun
lokal, para haluan marxis ini mengaitkan struktur dengan sistem kapitalisme
sebegitu luas. Ketiga, para penganut teori marxis cenderung menaruh perhatian
kepada gerakan-gerakan yang bersifat revolusioner, sementara para penganut teori
mobilisasi sumber daya cenderung mempelajari gerakan-gerakan pembaharuan.
(Mirsel, 2006 : 74)
Oleh karena itu, kepentingan mendasar dalam sebuah aktivitas gerakan
sosial ini diakibatkan oleh segelintiran orang dalam kelas tertindas yang tidak
mendapatkan keadilan yang absolut dalam praktek kenegaraan, sehingga muncul
suatu kontradiksi sikap untuk melawan semua hal yang diberi label ketidakadilan.
Karena konsepsi dasar gerakan sosial ini berorientasi pada perubahan
bentuk-bentuk struktural secara radikal. Keadaan ini menjadi opsi dari gerakan sosial
yang melihat bahwa terjadi proses eksploitasi dalam struktur yang ada di
2.1.3 Pendekatan interaksionisme simbolik
Teori interaksionisme simbolik (Simbolyc interactionism) dari mazhab
Chicago mengadopsi pendekatan serupa untuk mempelajari perilaku kolektif dan
gerakan sosial. Berangkat dari asumsi bahwa individu dan kelompok bertindak
berdasarkan eksperimen bersama, mereka berpendapat bahwa gerakan sosial
muncul dari sesuatu yang tidak terstruktur. Ini adalah situasi dimana hanya ada
sedikit pedoman kultural bersama atau pedoman itu berantakan dan didefenisikan
kembali. Gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dan rekonstruksi situasi sosial
tersebut. Gerakan sosial adalah perilaku kolektif yang bertujuan untuk
membangun tatanan kehidupan yang baru. (Outwaite, 2008:784).
Pendekatan ini pada studi gerakan sosial tidak berhasil mengembangkan
paradigma teoritis yang memadai. Secara keseluruhan, pendekatan ini masih
mendapat perhatian, sebab pendekatan ini di satu sisi menekankan pada aspek
sosial-psikologis dari aksi kolektif seperti emosi, perasaan solidaritas, prilaku
ekspresif dan komunikasi sedangkan di sisi lain menempatkan pada kemunculan
gerakan sosial didalam proses relasi dan interaksi yang terus berjalan.
2.1.4 Pendekatan struktural fungsionalisme
Pendekatan struktural adalah konsep pertama yang relatif sering
dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan sosial dalam menjelaskan
fenomena gerakan sosial. Konsep ini sangat populer diantara akademisi ilmu
pengetahuan sosial, bukan karena kata struktural menjadi kata penting dalam
pembendaharaan kata dalam ilmu pengetahuan sosial sekarang ini, tetapi karena
1
fungsionalisme struktural, strukturalisme dan pasca-strukturalisme. (Situmorang,
2007:17)
Dalam fungsionalisme struktural, istilah struktural dan fungsional tidak
selalu perlu dihubungkan, kita dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa perlu
mengetahui fungsinya begitu juga sebaliknya. Fungsionalisme kemasyarakatan
(societal fungsionalism), sebagai salah satu pendekatan fungsionalisme struktural,
paling dominan dipakai oleh fungsionalis structural. Perhatian utama dari
fungsionalisme struktural ini adalah struktur sosial dan intitusi masyarakat secara
luas, hubungannya dan pengaruhnya terhadap anggota masyarakat.
2.2 Kesejahteraan sosial
Istilah kesejahteraan sosial (social welfare) tidak merujuk pada suatu
kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran
sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli
yang lain. Pada umumnya orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah
yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, dilain pihak orang yang
miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru
lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya
orang kaya.
Wilensky dan Lebeaux merumuskan kesejahteraan sosial sebagai sistem
yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang
mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta
hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada
individu-individu pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya
dan meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. (Suud, 2006:7).
Pengertian kesejahteraan sosial dapat dikembangkan dari hasil
Pre-Conference Working for the 15th International Conference of Social Welfare,
yakni Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan
mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan
pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam
masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, pendidikan dan lain
sebagainya. (Huda, 2009:73).
Dalam konteks Indonesia sendiri, kesejahteraan dapat dimaknai
terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok atau masyarakat dalam hal
material,spiritual maupun sosial. Ini seperti tertuang dalam Undang-undang
tentang Kesejahteraan sosial yang baru disahkan pada 18 desember tahun 2008
yaitu Undang No. 11 than 2009 sebagai pengganti terhadap
Undang-undang No. 6 tahun 1974 juga tentang kesejahteraan sosial. Dalam pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa, “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
1
Dari sini dapat dipahami bahwa kesejahteraan sosial lebih mudah
dipahami sebagai sebuah kondisi. Tetapi kesejahteraan sosial pada dasarnya juga
dapat dipahami dalam dua konteks lain, yakni sebuah institusi (institution) dan
sebagai sebuah disiplin akademik (academic discipline). Sebagai institusi,
kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai sebuah program pelayanan maupun
pertolongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sedangkan sebagai sebuah
disiplin ilmu kesejahteraan sosial mengacu kepada suatu studi terhadap lembaga,
program maupun kebijakan yang fokus kepada pelayanan pada masyarakat.
(Zastrow, 2004:5).
Secara definisi, kesejahteraan sosial banyak diperdebatkan oleh para ahli,
karena beda ahli beda pula cara menafsirkan tentang apa itu kesejahteraan sosial.
Gambaran besar tentang definisi ini tidak lari dari, bahwa kesejahteraan sosial itu
merupakan kondisi, kesejahteraan sosial itu merupakan ilmu dan kesejahteraan
sosial itu merupakan upaya untuk merubah fakta sosial.
Kalau dilihat dari gambaran definisi yang dibangun oleh para tokoh atau
UU yang dipaparkan diatas, sebenarnya kesejahteraan sosial memiliki tiga
orientasi besar, Berikut 3 orientasi ilmu kesejahteraan sosial yaitu :
Kesejahteraan sosial dari segi akademis
Dari beberapa dispilin ilmu murni yang ada, kesejahteraan sosial ini
menjadi ketertarikan sendiri untuk dibahas dari pendekatan teoritis. Karena
dengan banyaknya fenomena-fenomena sosial yang ada taraf pemenuhan
mengapa sub kajian ini dapat melahirkan sintesis baru dalam penaggulangan
masalah-masalah sosial.
Kesejahteraan sosial dari segi klinis
Aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang kental dengan
pelayanan-pelayanan sosial yang ada menjadi bagian tak terpisahkan dari
kesejahteraan sosial. Ini bisa dilihat beberapa metode pekerja sosial yang menjadi
enabler, educator, advocate, activist, broker etc. memakai semua ilmu
kesejahteraan sosial untuk dapat mengintervensi masalah- masalah klien. Ini juga
sebenarnya bagian dari manifestasi seorang pekerja sosial. Selain itu sistem klien
dan sistem sumber juga dijadikan alat untuk membangun interaksi dalam
peneyelesaian masalah klien.
Kesejahteraan sosial dari segi strategis
Seorang pekerja sosial juga mengambil peranan penting dalam membuat
suatu rumusan pemenuhan kebutuhan yang bersifat publik. Biar bagaimanapun
ikut berpartisipasi dalam pembangunan publik juga dapat menjadi konsentrasi
sendiri bagi seorang pekerja sosial. Seperti misalnya yang dilakukan oleh
seoarang CD Worker, sosial planning maupun lain-lain yang masih berkonsentrasi
pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
(Suud, 2006 : 2)
Kegandaan arti, orientasi, dan konteks tersebutberhak mendapat perhatian
dari pemangku dan pemerhati kesejahteraan sosial agar memeperoleh pemahaman
1
2.2.1 Pengembangan masyarakat dalam ilmu kesejahteraan sosial
Dalam disiplin ilmu kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat
merupakan dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak langsung
(indirect practice). Istilah pengembangan masyarakat sering disepadankan dengan
Community organization, social administration, community practice ataupun
social work with community. (Hardcastle, 2004:3). Namun demikian,
istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yakni proses
pertolongan yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan
menggunakan pendekatan masyarakat (community).
Pengembangan masyarakat juga dapat dilihat dari beberapa cara pandang :
1. Sebagai sebuah Proses
2. Sebagai sebuah Metode
3. Sebagai sebuah Program
4. Sebagai sebuah Gerakan
Dengan demikian, sejak awal memang pengembangan masyarakat
diterapkan sebagai sebuah proses, metode, program dan gerakan untuk membantu
masyarakat dalam menigkatkan kesejahteraan sosialnya.
2.3 Kerangka pemikiran
Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara
terkena imbas dari ketidakadilan dari sebuah sistem yang ada khususnya di daerah
tanggungjawabnya yaitu di provinsi Sumatera Utara. Selain itu mampu
memberikan kesadaran petani untuk melakukan perjuangan secara kolektif dan
melakukan kaderisasi petani itu sendiri. Sehingga dengan suatu metode organisasi
yang dipakai mampu mewujudkan semangat perjuangan tani untuk menuju
tatanan sosial petani yang lebih ideal bagi petani dan memberi atmosfir keadilan,
semangat perjuangan ini lebih popular dikalangan aktivis petani adalah reforma
agraria sejati.
Reforma agraria adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur
agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia,
menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria.
Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi
berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada
segelintir orang. Pelaksanaan pembaruan agraria sendiri harus dapat menciptakan
proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat,
khususnya masyarakat pedesaan. (Ahmad Yakub,2007 : 10). Tetapi secara umum,
tujuan yang lebih besar lagi dapat dibagi dalam tiga hal, yaitu tujuan
sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya bagi petani yang ada di SPI
Mencita-citakan suatu perubahan bagi kondisi petani merupakan hal yang
wajar karena petani makinterhimpit oleh derasnya arus kapitalisasi di dunia
pertanian tersebut. Maka dari itu, selain dari pola pengorganisasian,
bentuk-bentuk perjuangan tani sebagai wujud konkrit dari semangat reforma agraria tadi
1
terangkum dalam nafas gerakan sosial yang ada, sehingga keadilan bagi petani
dapat terwujud.
Tabel I
Bagan kerangka pemikiran
Kelompok
Tani
Kelompok
Tani
Kelompok
Tani
Kelompok
Tani
Kelompok
Tani
DPW SERIKAT PETANI INDONESIA
SUMUT
GERAKAN SOSIAL
TUJUAN
SOSIAL-EKONOMI
TUJUAN
SOSIAL-BUDAYA
TUJUAN
2.4 Definisi Konsep
Konsep adalah elemen dari proposisi, seperti kata adalah elemen dari
kalimat. Konsep adalah abstrak di mana dapat menghilangkan perbedaan dari
segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik.
Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk
setiap extensinya. (Wikipedia.org)
Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah :
1. Gerakan secara garis besar adalah suatu tindakan persatuan yang
mengarah pada satu kesatuan unit fungsional. Pada dasarnya gerakan itu
timbul akibat ada keresahan masyarakat akan kondisi yang ada untuk
menuju perubahan yang diinginkan.
2. Organisasi adalah wadah atau tempat berkumpulnya dua orang atau lebih
karena memiliki tujuan, kepentingan dan cita-cita bersama untuk
menyelesaikan atau mencapai tujuan bersama itu. Sedangkan,
Pengorganisasian adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus bersama masyarakat dengan sistematis dan terencana untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama yakni perubahan kearah yang
lebih baik.
3. Petani adalah manusia yang memelihara dan mengembangkan tanaman
dan hewan untuk memperoleh produksi yang berguna.. Petani juga identik