• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Prevalensi Postoperative Nausea and Vomiting(PONV) dan Jenis Tindakan pada Operasi Mata dengan Anestesi Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Prevalensi Postoperative Nausea and Vomiting(PONV) dan Jenis Tindakan pada Operasi Mata dengan Anestesi Umum"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PREVALENSI POSTOPERATIVE NAUSEA AND VOMITING (PONV) DAN JENIS TINDAKAN PADA OPERASI MATA DENGAN

ANESTESI UMUM

Oleh :

WIEDYA KRISTIANTI AN 110100198

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN PREVALENSI POSTOPERATIVE NAUSEA AND VOMITING (PONV) DAN JENIS TINDAKAN PADA OPERASI MATA DENGAN

ANESTESI UMUM

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

WIEDYA KRISTIANTI AN 110100198

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

PONV masih merupakan keluhan tersering oleh pasien pasca menjalani operasi dengan anestesi umum. PONV juga masih belum dimengerti dengan baik dan pengobatannya belum secara tuntas dapat dilakukan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir telah diketahui sejumlah faktor risiko yang memicu terjadinya PONV. Penyebab PONV bersifat multifaktorial dan diantaranya dikelompokkan sebagai faktor pasien, faktor operasi dan faktor farmakologi. Dari segi faktor operasi, operasi mata merupakan salah satu operasi dengan tingkat insidensi PONV yang tinggi dengan terdapat perbedaan insidensi dari masing-masing jenis operasi mata. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui hubungan prevalensi

postoperative nausea and vomiting (PONV) dan jenis operasi mata dengan anestesi umum pada pasien di Rumah Sakit Mata SMEC Medan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif analitik dengan studi cross-sectional. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dari wawancara dan rekam medis pasien dari Juli 2014 hingga November 2014. Sampel yang didapatkan berjumlah 53 orang, yang terdiri dari berbagai pasien dengan jenis operasi yang berbeda, baik intraokular maupun ekstraokular.

Hasil penelitian yang diperoleh sebanyak 5 orang (9,4%) didiagnosa PONV, dengan keluhan mual sebagai keluhan dari keseluruhan PONV (9,4%). Onset dari PONV dialami 8 jam pertama sebanyak 4 orang (80%) dan 1 orang (20%) untuk 8 jam kedua. Jenis operasi dengan insidensi PONV tertinggi ialah operasi intraokular sebanyak 4 orang (80%), dengan operasi vitrektomi sebagai operasi yang paling banyak didiagnosis dengan PONV yaitu sebanyak 2 orang (40%). Hasil analisis statistik dengan chi-square didapatkan tidak ada hubungan bermakna dengan nilai-p 0,199 (p>0,05).

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara prevalensi PONV dengan jenis operasi mata dengan anestesi umum. Disarankan bagi para peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian sejenis dengan cakupan yang lebih luas dan direncanakan dengan sebaran jumlah sampel yang lebih baik.

(5)

ABSTRACT

PONV is still the most common complaint by patients after undergoing surgery with general anesthesia. PONV is still not well understood and its treatment cannot be carried out completely yet. However, in recent years it has been known a number of risk factors that lead to PONV. Causes of PONV is multifactorial and included the classified as patient factors, surgery factors and pharmacological factors. In terms of surgery factors, eye surgery is one of the surgery with a high level of incidence of PONV with differences in incidence of each type of eye surgery. This study was conducted to determine the relationship between the prevalence of postoperative nausea and vomiting (PONV) and the type of eye surgery with general anesthesia in patients at SMEC Eye Hospital Medan.

The type of research is descriptive analytic with cross-sectional study. The study was conducted by using primary data from interviews and patients’s medical records from July 2014 to November 2014. The samples obtained were amounted to 53 people, consisting of a variety of patients with different types of surgery, both intraocular and extraocular.

The results obtained shows that 5 people (9.4%) were diagnosed with PONV, with complaints of nausea as the overall PONV (9.4%). Onset of PONV experienced in the first 8 hours by 4 people (80%) and 1 person (20%) for the second 8 hours. Type of surgerywiththe highestincidence ofPONVisintraocular surgeryby 4people(80%), withvitrectomyas the most diagnosed with PONV surgery,as many as2 people(40%).The results of the chi-square statistical analysis found no significant correlation with p-value 0.199 (p> 0.05).

Based on the analysis it can be concluded that there is no relationship between the prevalence of PONV with the type of eye surgery with general anesthesia. Suggested for subsequent researchers to conduct similar studies with wider coverage and planned a better distribution of the sample size.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti diberikan kesempatan untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul ”Hubungan Prevalensi Postoperative Nausea

and Vomiting(PONV) dan Jenis Tindakan pada Operasi Mata dengan Anestesi

Umum” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada Ayah, Ibu, dan keluarga peneliti yang telah memberikan motivasi dan masukan dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Dalam penulisan karya tulis ini pula, peneliti telah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Andriamuri Primaputra Lubis, Sp.AN, M.Ked(AN) selaku dosen pembimbing karya tulis ilmiah atas kesabaran dan waktu yang diberikannya untuk membimbing peneliti sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. dr. Meutia Sayuti, Sp.PD dan dr. Murniati Manik, M.Sc, Sp.KK, Sp.GK selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berarti dalam membuat karya tulis ilmiah ini menjadi lebih baik.

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan.

(7)

5. Dr. Dharmayanti, M.Kes, selaku Direktur RS Mata SMEC Medan, yang telah memberikan izin dan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan proses pengumpulan data di lokasi penelitian.

6. Seluruh perawat dan staf RS Mata SMEC Medan yang telah membantu administrasi perizinan untuk melakukan penelitian serta dalam mengumpulkan data.

7. Seluruh pasien yang menjalani operasi mata dengan anestesi umum di RS Mata SMEC Medan yang telah berkenan membantu peneliti dalam berpartisipasi sebagai sampel penelitian.

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti terutama orang tua peneliti.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan karya tulis ini karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peneliti. Oleh sebab itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi kualitas karya tulis ini. Akhir kata, peneliti berharap agar Karya Tulis Ilmiah ini memberi manfaat kepada semua orang.

Medan, 1 Desember 2014 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anestesi Umum ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Obat-Obatan dalam Anestesi Umum ... 6

2.1.3. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum ... 7

2.2. Operasi Mata dan Anestesi Umum ... 8

2.2.1. Pembagian Operasi Mata ... 8

2.2.2. Anestesi Umum pada Operasi Mata ... 9

2.2.3. Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum ... 10

2.2.3.1. Strabismus ... 10

2.2.3.2. Penetrating Keratoplasty ... 11

2.2.3.3. Katarak ... 12

2.2.3.4. Glaukoma ... 12

2.2.3.5. Bedah Vitroretinal ... 13

2.2.3.6. Bedah Orbital ... 14

2.3. Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) ... 14

2.3.1. Fisiologi Mual dan Muntah ... 16

2.3.2. Faktor Risiko PONV ... 18

2.3.3. Penatalaksanaan PONV ... 22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 24

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 24

3.2. Definisi Operasional ... 24

3.2.1. Anestesi Umum ... 24

(9)

3.2.3. Postoperative Nausea and Vomiting ... 25

3.2.4. Prevalensi ... 26

3.2.5. Faktor Risiko PONV ... 26

3.3. Hipotesis ... 26

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 27

4.1. Jenis Penelitian ... 27

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

4.2.1. Waktu Penelitian ... 27

4.2.2. Tempat Penelitian... 27

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

4.3.1. Populasi ... 27

4.3.2. Sampel ... 27

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 29

4.4.1. Data Primer ... 29

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Hasil Penelitian ... 30

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 30

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Individu ... 30

5.1.3. Deskriptif PONV / Mual Muntah Pasca Operasi Setelah Operasi Mata dengan Anestesi Umum ... 34

5.1.4. Hubungan Jenis Kelamin dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV ... 39

5.1.5. Hubungan Usia yang Dikelompokkan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV ... 40

5.1.6. Hubungan Berat Badan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV ... 41

5.1.7. Hubungan Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum dengan Prevalensi PONV ... 42

5.2. Pembahasan ... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1. Kesimpulan ... 48

6.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Komplikasi Anestesi Potensial pada Pasien Sehat ... 15

5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia ... 31

5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin ... 31

5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 32

5.4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Berat Badan ... 32

5.5. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum ... 33

5.6. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Operasi Mata dengan Anestesi Umum ... 33

5.7. Prevalensi atau Diagnosis PONV ... 34

5.8. Keluhan Mual dan/atau Muntah ... 34

5.9. Onset dari PONV/Mual Muntah Pasca Operasi ... 34

5.10. Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Usia yang Dikelompokkan ... 35

5.11. Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36

5.12. Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Berat Badan ... 36

5.13. Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Onset Terjadinya atau Insidensi PONV ... 37

5.14. Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum ... 37

5.15. Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Operasi Mata dengan Anestesi Umum ... 38

(11)

5.17. Hubungan Usia yang Dikelompokkan dengan Prevalensi atau

Diagnosis PONV ... 40 5.18. Hubunagan Berat Badan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV ... 41 5.19. Hubungan Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum dan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian Lampiran 3 Lembar Persetujuan Subjek Penelitian

Lampiran 4 Formulir Pengambilan Data Lampiran 5 Rincian Biaya Penelitian

Lampiran 6 Data Induk

(14)

ABSTRAK

PONV masih merupakan keluhan tersering oleh pasien pasca menjalani operasi dengan anestesi umum. PONV juga masih belum dimengerti dengan baik dan pengobatannya belum secara tuntas dapat dilakukan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir telah diketahui sejumlah faktor risiko yang memicu terjadinya PONV. Penyebab PONV bersifat multifaktorial dan diantaranya dikelompokkan sebagai faktor pasien, faktor operasi dan faktor farmakologi. Dari segi faktor operasi, operasi mata merupakan salah satu operasi dengan tingkat insidensi PONV yang tinggi dengan terdapat perbedaan insidensi dari masing-masing jenis operasi mata. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui hubungan prevalensi

postoperative nausea and vomiting (PONV) dan jenis operasi mata dengan anestesi umum pada pasien di Rumah Sakit Mata SMEC Medan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif analitik dengan studi cross-sectional. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dari wawancara dan rekam medis pasien dari Juli 2014 hingga November 2014. Sampel yang didapatkan berjumlah 53 orang, yang terdiri dari berbagai pasien dengan jenis operasi yang berbeda, baik intraokular maupun ekstraokular.

Hasil penelitian yang diperoleh sebanyak 5 orang (9,4%) didiagnosa PONV, dengan keluhan mual sebagai keluhan dari keseluruhan PONV (9,4%). Onset dari PONV dialami 8 jam pertama sebanyak 4 orang (80%) dan 1 orang (20%) untuk 8 jam kedua. Jenis operasi dengan insidensi PONV tertinggi ialah operasi intraokular sebanyak 4 orang (80%), dengan operasi vitrektomi sebagai operasi yang paling banyak didiagnosis dengan PONV yaitu sebanyak 2 orang (40%). Hasil analisis statistik dengan chi-square didapatkan tidak ada hubungan bermakna dengan nilai-p 0,199 (p>0,05).

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara prevalensi PONV dengan jenis operasi mata dengan anestesi umum. Disarankan bagi para peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian sejenis dengan cakupan yang lebih luas dan direncanakan dengan sebaran jumlah sampel yang lebih baik.

(15)

ABSTRACT

PONV is still the most common complaint by patients after undergoing surgery with general anesthesia. PONV is still not well understood and its treatment cannot be carried out completely yet. However, in recent years it has been known a number of risk factors that lead to PONV. Causes of PONV is multifactorial and included the classified as patient factors, surgery factors and pharmacological factors. In terms of surgery factors, eye surgery is one of the surgery with a high level of incidence of PONV with differences in incidence of each type of eye surgery. This study was conducted to determine the relationship between the prevalence of postoperative nausea and vomiting (PONV) and the type of eye surgery with general anesthesia in patients at SMEC Eye Hospital Medan.

The type of research is descriptive analytic with cross-sectional study. The study was conducted by using primary data from interviews and patients’s medical records from July 2014 to November 2014. The samples obtained were amounted to 53 people, consisting of a variety of patients with different types of surgery, both intraocular and extraocular.

The results obtained shows that 5 people (9.4%) were diagnosed with PONV, with complaints of nausea as the overall PONV (9.4%). Onset of PONV experienced in the first 8 hours by 4 people (80%) and 1 person (20%) for the second 8 hours. Type of surgerywiththe highestincidence ofPONVisintraocular surgeryby 4people(80%), withvitrectomyas the most diagnosed with PONV surgery,as many as2 people(40%).The results of the chi-square statistical analysis found no significant correlation with p-value 0.199 (p> 0.05).

Based on the analysis it can be concluded that there is no relationship between the prevalence of PONV with the type of eye surgery with general anesthesia. Suggested for subsequent researchers to conduct similar studies with wider coverage and planned a better distribution of the sample size.

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini semakin banyak pasien yang mendapatkan tindakan operasi sebagai salah satu pilihan pengobatan. Hal ini terlihat dengan adanya kecenderungan peningkatan jumlah tindakan operasi pada beberapa rumah sakit dari waktu ke waktu (Windiarto, 2010). Berkaitan dengan itu, salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam tindakan operasi adalah anestesi. Tindakan anestesi umum merupakan salah satu jenis anestesi yang sering dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi (Windiarto, 2010).

Anestesi umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi. Inilah sebab mengapa pembedahan dan pengobatan lain yang sebenarnya menyebabkan rasa yang sangat sakit dapat dilakukan (Torpy, 2011). Selama dalam keadaan anestesi, pasien tidak dapat dibangunkan, sekalipun diberikan stilmulasi yang menyakitkan, dan kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi serta sistem kardiovaskular sering mengalami gangguan (BlueCross BlueShield of North Carolina, 2014).

Walaupun penggunaan dan keefektivitasannya sangat diperlukan, namun ada beberapa efek samping yang dapat diakibatkan oleh anestesi umum. Salah satu efek samping yang cukup umum terjadi dan kerap dikeluhkan pasien adalah mual dan muntah pasca operasi atau yang disebut juga postoperative nausea and vomiting (PONV) (Torpy, 2011). PONV biasanya didefinisikan sebagaimual, muntah-muntah (vomiting)ataumuntah (retching)yang terjadiselama24-48 jampertamasetelah operasi pada pasien (Pierre dan Whelan, 2013; Rother, 2012). PONV juga didefinisikan sebagai mualdan/ataumuntahterjadidalam waktu 24 jamsetelah operasi (McCracken, 2008).

(17)

insidensi dari PONV yang dilaporkan adalah sekitar 10%. Tetapi, dengan tambahan faktor risiko yang terdapat pada masing-masing individu, rasio tersebut dapat meningkat terhadap proporsi yang berkisar antara 21% sampai 79% (Yavuz

et al., 2013).

PONV telah mendapat perhatian khusus dari bidang anestesi walaupun kejadiannya sudah menurun dengan adanya perkembangan obat anestesi dan antimuntah yang lebih baru. Hal ini dikarenakan PONV dapat menjadi komplikasi yang serius pada pasien dan masih merupakan penyebab ketidaknyamanan serta penderitaan pasien. Reaksi yang tidak menyenangkan ini memberikan dampak yang siknifikan pada pasien, yang menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan, peningkatan biaya perawatan menjadi lebih mahal, perpanjangan masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit (PACU), dan meningkatnya morbiditas.

Dalam banyak kasus pembedahan pun, menghindari PONV bahkan sudah menjadi sangat penting bagi pasien, sehingga menghindari PONV menjadi lebih penting dibandingkan dengan rasa nyeri paska operasi (Lichtor dan Kalghatgi, 2008).

PONV masih belum dimengerti dengan baik dan diobati secara tuntas (Tinsley dan Barone, 2012). Patogenesis PONV masih belum jelas. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini telah diketahui sejumlah faktor risiko untuk terjadinya PONV pada orang dewasa menggunakan metode multivariat (Rüsch, 2010).

Penyebab dari PONV bersifat multifaktorial dan termasuk diantaranya adalah pasien dan faktor risiko yang menyertainya, faktor operasi seperti jenis dari operasi, dan faktor farmakologi (Chandrakantan, 2011; Rother, 2012; Tinsley dan Barone, 2012).

(18)

oleh panjang masa pembedahan, agen anestetik yang digunakan, atau jenis dari prosedur operasi masih belum jelas (Sikka, 2007).

PONV umum terjadi pada operasi mata dan dapat menyebabkan kerusakan serius (Poeira et al., 2010). KomplikasiPONV termasuk berupa perubahansementara dalamtekanan intraokularyang dapatmengganggu penglihatan (Tinsley dan Barone, 2012).Setelahoperasi mata, hipertensiarterialyang disebabkan olehmuntah-muntahdapat menyebabkanperdarahanintraokulardenganefek merugikan padahasiloperasi (Eberhart, 2004). Faktor risiko terjadinya PONV dalam pengaturan ini masih juga tidak diketahui dan tidak ada randomized trial yang tersedia untuk

mengidentifikasi strategi profilaksis yang paling efektif (Poeira et al., 2010).

Padahal hal ini sangat diperlukan untuk menjamin kenyamanan pasien setelah menjalani operasi kedepannya. Hasil mengenai pengaruhjenis prosedur operasiterhadap risikoPONV pun bervariasi, dan diskusidiantaranya pada sidang pleno serta dalam literaturmenyebabkan adanya pertentanganpendapat (Apfel,2007; Gan, 2007).

Menurut Aftab (2008), pasien yang menjalani proseduroperasi mata strabismusmemilikifrekuensidua kalilebih tinggi untuk PONV dibandingkan dengan pasien lainyang menjalani prosedur operasi mata lainnya. Ini terlihat dari hasil penelitiannya dimana dari 15 pasien yang mengalami PONV pada operasi mata, 8 berasal dari operasi strabismus (3%), 4 dari operasi retinal detachment

(1,5%), dan 3 dari operasi katarak (Aftab, 2008). Ini mungkin disebabkan oleh

oculocardiac reflex vagal response dipicu oleh manipulasi otot mata (Aftab, 2008). Namun pada penelitian Koivuranta et al. (1997), operasi intraokular didapatkan insidensinya paling tinggi dibandingkan dengan operasi strabismus dan operasi kornea.

(19)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan: Apakah ada hubungan prevalensi postoperaative nausea and vomiting(PONV) dan jenis tindakan pada operasi mata dengan anestesi umum?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan prevalensi postoperaative nausea and vomiting(PONV) dan jenis tindakan pada operasi mata dengan anestesi umum.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui prevalensi postoperative nausea and vomiting(PONV)

pada operasi mata dengan anestesi umum.

2. Untuk menentukan prevalensi postoperative nausea and vomiting(PONV)

pada masing-masing jenis tindakan operasi mata.

3. Untuk menentukan jenis tindakan operasi mata yang paling banyak menyebabkan postoperative nausea and vomiting(PONV).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a. Dapat digunakan sebagai data dasar dan masukan bagi rumah sakit serta pihak lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan kejadian postoperative nausea and vomiting(PONV)

dengan jenis tindakan operasi mata.

b. Menambah pengetahuan peneliti mengenai faktor risiko postoperative nausea and vomiting(PONV).

c. Memberikan kontribusi ilmiah, menambah pengetahuan dan wawasan para pekerja medis maupun peneliti serta dapat dijadikan bahan informasi untuk mencari dan melakukan tindakan preventif

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi Umum 2.1.1. Definisi

Anestesi umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy, 2011). Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat relaksasi otot (Morgan et al., 2006). Ketidaksadaran tersebut yang memungkinkan pasienuntuk mentolerirprosedur bedahyang akanmenimbulkan rasa sakittak tertahankan, yang mempotensiasieksaserbasifisiologisyang ekstrim, danmenghasilkaningatan yang

tidak menyenangkan. Selamaanestesi umum, seseorang tersebut tidak sadar tetapitidakdalam keadaantidur yang alami. Seorang pasiendibiusdapat dianggapsebagai berada dalam keadaanterkontrol, keadaantidak sadar yang reversibel (Press, 2013).

Anestesi umumtidak terbatas padapenggunaan ageninhalasi. Banyakobat yangdiberikan secara oral, intramuskular, danintravena yangmenambah ataumenghasilkankeadaananestesidalamrentang dosisterapi (Morgan et al., 2006).

Tetapi saat ini anestesi umum biasanya menggunakansediaanintravenadaninhalasiuntuk memungkinkan aksesbedahyang

memadaike tempat yang akan dioperasi. Hal yang perludicatat adalah bahwaanestesi umummungkintidak selalumenjadi pilihan terbaik. Semua itu tergantung padapresentasiklinispasien, dan anestesilokal atau regionalmungkin lebih tepat. (Press, 2013).

Kombinasiagen anestesiyang digunakanuntuk anestesi umumsering meninggalkanpasiendenganklinis berikut (Press, 2013):

1. Tidak dapat dibangkitkan bahkansekunderterhadap rangsanganyang menyakitkan.

2. Tidak dapatmengingat apa yang terjadi(amnesia).

(21)

4. Perubahankardiovaskularsekunder terhadap efekstimulan/depresanagen anestesi.

Adapun tahapan-tahapananestesi umum, sebagai berikut (Ezekiel, 2008): 1. Tahap1(amnesia) dimulai denganinduksianestesi danberakhirdengan

hilangnyakesadaran(hilangnya reflekskelopak mata). Ambangpersepsi sakitselama tahap initidakditurunkan.

2. Tahap 2(delirium) ditandai denganeksitasiyang tidak terinhibisi. Agitasi,delirium, respirasi yang iregulerdanmenahan nafas. Pupil dilatasi dan matayangdivergensi. Respons terhadap stimuli berbahayadapat terjadi selamatahap inimungkin termasukmuntah, spasme laring, hipertensi, takikardia, dan gerakanyang tidak terkendali.

3. Tahap 3(anestesi bedah) ditandai dengantatapan terpusat, pupil konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalamananestesicukup ketikastimulasiyang menyakitkantidakmenimbulkanreflekssomatikataumengganggu respon otonom.

4. Tahap 4(kematian yang akan datang / overdosis) adalahditandai dengantimbulnyaapnea, pupil yang berdilatasi dantidak reaktif, danhipotensi.

2.1.2. Obat-Obatan dalam Anestesi Umum

Menurut Torpy (2011), beberapaobatyang paling umum digunakanuntuk memberikan anestesiumum adalah:

a. Propofol, menghasilkanketidaksadaran(induksi anestesi umum). Dalam dosiskecil, dapat digunakanuntuk memberikansedasi.

b. Benzodiazepin, mengurangi kecemasan tepatsebelum operasi. Beberapa obat-obatan yangmengurangi kecemasanjuga dapat membantumenahan terjadinya ingatan darisebuah kejadian.

c. Narkotika, mencegah ataumengobati rasa sakit.

(22)

e. Obat laintermasuk agenantiemetik(untuk melindungi terhadap mual dan muntah), relaksan otot, obat-obatanuntuk mengontroltekanan darahatau heart rate, dan obatantiinflamasi nonsteroid(NSAID).

2.1.3. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum

Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai. Atribut anestesi umum meliputi (Press, 2013):

• Keuntungan

- Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.

- Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang lama.

- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.

- Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen anestesi lokal. - Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang.

- Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga. - Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.

• Kekurangan

- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait. - Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.

- Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi aktif. - Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah,

sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang normal.

(23)

Dengan kemajuan modern di obat-obatan, teknologi pemantauan, dan sistem keamanan, serta penyedia anestesi yang berpendidikan tinggi, risiko yang disebabkan oleh anestesi kepada pasien yang menjalani operasi rutin sangat kecil. Kematian disebabkan anestesi umum dikatakan terjadi pada tingkat kurang dari 1:100.000. Komplikasi minor terjadi pada tingkat yang dapat diprediksi, bahkan pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan sehat. Frekuensi gejala yang terkait anestesi selama 24 jam pertama setelah operasi rawat jalan adalah sebagai berikut (Press, 2013):

- Muntah: 10-20 % - Mual: 10-40 %

- Sakit tenggorokan: 25 % - Nyeri Insisional: 30 %

2.2. Operasi Mata dan Anestesi Umum

Pilihan antaraanestesi umumatapunlokal harusdibuat bersama olehpasien, anestesiologis, dan ahli bedah. Beberapa pasienmenolak anestesi lokalkarenatakut akan terjagaselama prosedurbedah dan mendapatingatanrasa sakit selamateknikregional.Meskipun tidak adabukti yang meyakinkan bahwasalah satubentukanestesilebih aman, anestesi lokaltampaknya lebih kurang menyebabkan stres. Anestesi umumdiindikasikanpada anak-anakdan pasientidak kooperatif, karena bahkangerakan kepala yang kecil dapatmenyebabkan bencanaselama bedah mikro (Morgan et al., 2006).

2.2.1. Pembagian Operasi Mata

Menurut Smith (2004), operasi mata dapat dibagi menjadi dua kategori yang berbeda: ekstraokular dan intraokular.

(24)

dengan mudah dengan infiltrasi jaringan menggunakan anestesi lokal. Adrenalin (1 dalam 100.000) selalu digunakan dalam anestesi lokal untuk mengurangi perdarahan karena jaringan ini sangat vaskular. Dengan semua alasan tersebut, prinsip-prinsip operasi ekstraokular adalah sama dengan untuk operasi umum. Namun jaringan ekstraokular agak kecil dan melakukan pembesaran biasanya membantu dokter bedah.

b. Operasi intraokular, dilakukan pada mata itu sendiri. Struktur mata selain yang sangat kecil, juga sangat khusus dan rentan. Karena itu ada beberapa aturan dasar atau prinsip-prinsip lainnya untuk setiap jenis operasi intraokular. Karena bersifat khusus, mata hanya memiliki kekuatan terbatas dari pemulihan cedera termasuk cedera dari operasi. Bagian lain dari tubuh akan sering sembuh sepenuhnya sekalipun dari penanganan yang kasar pada operasi atau dari komplikasi seperti infeksi. Ataupun secara alternatif dapat dilakukan operasi lain untuk memperbaiki komplikasi pasca-operasi. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada mata. Operasi yang buruk atau komplikasi pascaoperasi sering akan menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen.

2.2.2. Anestesi Umum pada Operasi Mata

Anestesi umum digunakan pada sekitar 35 % dari kasus operasi mata, dan yang paling umum di antaranya adalah lengthy retinal surgerydan operasi strabismus pada pediatrik. Indikasi untuk anestesi umum meliputi berikut (Basta, 2008):

- Ketidakmampuan pasien untuk bekerja sama dengan monitored anesthesia care (MAC; misalnya, anak-anak, orang dewasa dengan defisit mental atau

psikologis, tremor, ketidakmampuan untuk berbaring terlentang). - Akinesia okular lengkap diinginkan oleh dokter bedah.

- Prosedur yang panjang (> 3-4 jam).

- Bagian bedah tidak setuju untuk anestesi regional, lokal, atau topikal (misalnya, rabun bola mata yang besar, koagulopati).

(25)

- Keinginan dokter bedah atau pasien.

Ada kontroversi mengenai keselamatan relatif dari anestesi umum dan regional pada operasi mata. Kedua teknik telah menunjukkan tidak ada perbedaan pasca operasi berkaitan dengan memori, fungsi kognitif dan saturasi oksigen. Kejadian kematian dan komplikasi utama adalah sama (Basta, 2008).

Anestesi regional telah dilaporkan berkaitan dengan episode yang lebih sedikit untuk desaturasi oksigen intraoperatif, fluktuasi hemodinamik, PONV, dan kurangnya nyeri awal pascaoperasi. Anestesi regional untuk operasi mata juga telah terbukti bebas dari respon stres hormonal yang dikaitkan dengan anestesi umum. Dengan pertimbangan ini, tampaknya bijaksana untuk menghindari anestesi umum, bila mungkin, pada pasien dengan penyakit jantung atau paru yang parah, serta pada mereka yang sangat rentan terhadap PONV (Basta, 2008).

Tujuan dari anestesi umum untuk operasi mata mencakup induksi yang lancar dengan TIO yang stabil, penghindaran atau pengobatan refleks okulokardiak yang parah, dan pemeliharaan lapangan bergerak. Tujuan ini dapat dicapai dalam berbagai cara, dengan menggunakan anestesi inhalasi, agen IV, atau teknik gabungan (Basta, 2008). Relaksan otot terutama berguna selama bedah mikro intraokular, ketika gerakan pasien yang sedikit saja dapat menjadi bencana (Basta, 2008).

2.2.3. Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum 2.2.3.1. Strabismus

Operasi strabismusseringdikaitkan dengan tingkat yang tinggi untuk mengalami PONV (Kranke etal., 2009).InsidenPONVbisa mencapai 88% tanpaprofilaksisantiemetikdengan tingkatadmisihingga 30% setelahprosedur (Aly

(26)

Koreksi bedah strabismus adalah reposisi otot ekstraokular. Koreksi ini memerlukan berbagai macam teknik untuk melemahkan otot ekstraokular dengan memindahkan insersinya pada bola mata atau untuk memperkuat otot ekstraokular dengan mengeliminasi sebuah strip pendek dari tendon atau otot (Barash, 2009). Untuk memperkuat otot, dilakukan reseksi. Untuk melemahkan otot, dilakukan resesi. Pada kasus yang parah, reseksi mungkin dilakukan pada satu otot dan resesi pada otot yang berlawanan. Karena pematangan visual terjadi pada usia 5 tahun, koreksi strabismus biasanya dicoba pada awal masa kanak-kanak. Jika tidak dikoreksi, amblyopia, atau cacat dalam penglihatan sentral, dapat terjadi (Aitkenhead et al., 2013).

Jahitan yang dapat disesuaikan kadang-kadang digunakan untuk meningkatkan peluang alignment dengan sebuah operasi tunggal. Penyesuaian

dilakukan langsung dalam periode pasca operasi, ketika pasien sepenuhnya terjaga dan bisa fokus. Pada pasien yang mempunyai riwayat operasi strabismus atau trauma orbital sebelumnya, dokter bedah mungkin perlu untuk membedakan antara pergerakan mata paretik dan restriksi dengan melakukan forced duction test

(Aitkenhead et al., 2013). Pasien anak banyak dan sering menjalani operasi

strabismus dan membutuhkan anestesi umum. Beberapa pasien dewasa cukup baik dengan teknik regional dan sedasi secara intravena (Basta, 2008).

Kebanyakan pasien lebih memilih anestesi umum dan memberikan hasil yang sangat memuaskan dengan propofol, remifentanil, antagonis 5HT3, dan/atau deksametason ,dan non-opiat untuk nyeri (Basta, 2008).

2.2.3.2. Penetrating Keratoplasty

Penetrating Keratoplasty mengacu pada bedah penggantian sebagian kornea dengan jaringan donor. Jaringan donor yang berasal dari pasien disebut

(27)

2.2.3.3. Katarak

Katarak adalah penyebab umum gangguan penglihatan pada orang tua. Karenatingginya prevalensikatarak, ekstraksi katarakadalahoperasi matayang paling umum(Uhr, 2003). Patogenesis katarak adalah multifaktorial tetapi pada dasarnya menghasilkan opasitas dari lensa. Lensa tertutup dalam lapisan yang disebut kapsul lensa. Operasi katarak memisahkan katarak dari kapsul lensa. Dalam kebanyakan kasus, lensa akan diganti dengan implan lensa intraokular (IOL). Jika IOL tidak dapat digunakan, lensa kontak atau kacamata harus dipakai untuk mengkompensasi kurangnya kemampuan lensa alami (Husney dan Karp, 2011).

Ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECCE) adalah metode yang paling disukai dari ekstraksi katarak rutin. Prosedur dilakukan melalui insisi yang lebih kecil dan kurang traumatis bagi endothelium kornea. Pengangkatan lensa dengan kapsul posterior utuh memberikan posisi yang lebih baik dari implan lensa intraokular. Fakoemulsifikasi adalah teknik ECCE yang dilakukan melalui insisi 3-4mm. Inti katarak terfragmentasi dengan jarum ultrasonik dan kemudian diaspirasi. Ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE) adalah teknik yang secara komplit menghilangkan lensa dengan kapsul melalui insisi yang jauh lebih besar. ICCE dilakukan pada kasus tertentu dan di lokasi di mana peralatan canggih tidak tersedia. Ekstraksi katarak biasanya dilakukan dengan injeksi retrobulbar atau peribulbar dan, jika diperlukan, blok saraf wajah. Sedasi intravena dan analgesia harus diberikan untuk menetapkan blok tersebut. Prosedur tersebut dapat dilakukan di bawah anestesi topikal pada pasien tertentu (Basta, 2008). Walau demikian, saat ini pada pasien katarak pediatrik dan beberapa orang dewasa (misalnya, retardasi mental), anestesi umum masih berperan dan digunakan (Shah, 2010).

2.2.3.4. Glaukoma

(28)

trabecular meshwork untuk meningkatkan aliran aqueous humor dari ruang anterior. Bayi dan anak-anak memerlukan anestesi umum untuk prosedur ini. Trabekulektomi adalah paling umum dilakukan pada orang dewasa. Sebuah blok jaringan limbal akan diangkat di bawah scleral flap, memungkinkan aliran aqueous. Antimetabolit, seperti di mitomisin, dapat disuntikkan intraoperatif untuk membantu mencegah kegagalan bedah sekunder terhadap jaringan paru. Iridektomi biasanya dilakukan dengan sebuah laser yttrium - aluminium garnet - ( YAG ); namun, sebuah iridektomi insisional kadang-kadang

diperlukan. Iridektomi adalah pengobatan definitif untuk glaukoma sudut tertutup. Anestesi untuk operasi glaukoma pada orang dewasa biasanya dilakukan dengan injeksi retrobulbar atau peribulbar dan , jika diperlukan , blok saraf wajah (Basta, 2008).

2.2.3.5. Bedah Vitreoretinal

Vitrektomi mengacu pada pembedahan ekstraksi isi ruang vitreous dan penggantian mereka dengan larutan fisiologis. Vitrektomi segmen anterior dilakukan untuk kehilangan vitreous selama operasi katarak. Vitrektomi segmen posterior diindikasikan untuk pengangkatan badan asing di intraokular, manajemen dari retinal detachment yang sulit dengan membran intraokular,

penghapusan kekeruhan media, dan pengentasan traksi vitreous pada retina. Karena operasi dapat diperpanjang dan banyak pasien memiliki kondisi medis yang menyertai (misalnya, diabetes, penyakit ginjal, atau penyakit jantung), vitrektomi dapat memberikan tantangan yang sulit untuk para anestesiologis (Basta, 2008).

(29)

2.2.3.6. Bedah Orbital

Kebanyakan operasi orbital membutuhkan anestesi umum kecuali prosedur terbatas pada anterior bola mata dan tidak melibatkan tulang orbita .

Orbitotomi

Orbitotomi dilakukan untuk mendapatkan akses bedah ke bola mata. Pendekatan yang dilakukan termasuk transkonjungtival, transseptal, dan transperiosteal. Indikasi untuk orbitotomi termasuk tumor, abses, benda asing, dan patah tulang orbital (Basta, 2008).

Dekompresi Orbital

Dekompresi orbital diindikasikan untuk koreksi eksoftalmus yang dihasilkan penyakit Graves. Akses ke orbita diperoleh dengan pendekatan

transkonjungtival atau transperiosteal. Beberapa ahli bedah menggunakan sayatan koronal dengan refleksi dari kulit kepala secara anterior ke tingkat se-level orbita. Kasus bisa panjang (4+ jam), dan kehilangan darah bisa cukup besar untuk memerlukan transfusi (Basta, 2008).

2.3. Postoperative Nausea and Vomiting (PONV)

(30)

mencapai70-80% (Doubravska et al., 2010). Insidensi dari mualnya sendiri sekitar 50% (Gan et al., 2014). Bahkan pasien dengan nolfaktor risiko diketahuimembawa10% risiko untuk PONV (Smith et al., 2012). FisiologiPONV juga kompleks dantidak secara sempurnadipahami. (Pierre DanWhelan, 2012). Pengenalan masalah ini, diikuti oleh perubahan dalam rencana anestesi telah menghasilkan perbaikan siknifikan dalam outcome dan kepuasan pasien. Namun bila tidak diobati, mual terjadi sebanyak 40 % dari pasien yang menjalani anestesi umum (Benedict dan Tremper, 2008).

Tabel 2.1. Komplikasi anestesi potensial pada pasien sehat Komplikasi Frekuensi (Referensi)

Postoperative nausea and

vomiting 1:3

11

Ocular injury 1:600-1:1600103,104

Unanticipated difficult airway 1:8-1:100045 Intraoperative awareness 1:100-1:50025,105 Malignant hyperthermia 1:30,00016,106

Sumber: Anaethesiology, 2008

Mualdan muntah pasca operasi(PONV) tetap merupakan masalahklinis yang signifikanyang dapatmengurangikualitashidup pasiendifasilitas rumah sakit/perawatan, sertapada hari dimana dapat segerapostdischarge. Selain itu,

PONVdapat meningkatkanbiayaperioperatif, meningkatkanmorbiditasperioperatif, meningkatkanlama perawatan di postanesthesia care unit (PACU),

memperpanjangrawat inap, memperlama waktu tinggal/delaydischarge, menunda

waktudimana pasiendapatkembali bekerja, danmenyebabkanadmisi kembali (Lichtor dan Kalghatgi, 2008). Sebuah episode dari muntah dapat memperpanjang lama inap di PACU sekitar selama 25 menit (Cheong et al., 2013). Mual PONV,

(31)

yang tidak terduga dari pasien anak-anak dan dewasa setelah operasi rawat jalan (Lichtor dan Kalghatgi, 2008).

Pasien tidak suka dengan muntah. Dalam satu survei yang diambil sebelum operasi, pasien menilai muntah sebagai hal yang paling tidak diinginkan dan menunjukkan bahwa jika mereka diberi $100, mereka akan menghabiskan sebagian besar uang untuk mencegahnya (Lichtor dan Kalghatgi, 2008).

PONVjarangmembunuhpasiendanhampir tidak pernahmenjadi kronis. TapiPONV adalah pengalaman yangsangat tidak menyenangkan bagipasien. Banyak orang dewasabahkan menganggapPONVlebih menyulitkandaripada nyeri pasca operasi (Doubravska et al., 2010).

2.3.1. Fisiologi Mual dan Muntah

Emesis atau muntah didefinisikan sebagai refleks mengejeksi secara paksa isi lambung melalui mulut. Muntah biasanya dimulai oleh retching. Hal ini

dikendalikan oleh sekelompok inti yang terkait erat dalam batang otak disebut sebagai 'pusat muntah' yang kaya akan reseptor dopaminergik, histamin, 5-hidroksitriptamin, neurokinin dan kolinergik muskarinik. Ketika pusat muntah dirangsang, serangkaian kompleks impuls saraf mengkoordinasikan relaksasi simultan dari otot-otot lambung serta kontraksi perut otot dan diafragma, mengeluarkan muntah dari perut. Gejala muntah bersifat subjektif untuk setiap pasien (Doubravska et al., 2010).

Mual adalah sensasi subjektif dan tidak menyenangkan terkait dengan kesadaran dari dorongan untuk muntah (Tinsley dan Barone, 2012). Mual, yang sering menjadi prekursor muntah, dipicu oleh rendahnya tingkat rangsangan yang sama yang bertanggung jawab untuk refleks muntah tetapi mekanisme pasti yang mendasari sensasi mual tersebut masih belum jelas. Hal ini sering disertai dengan salivasi, berkeringat dan pucat (Rother, 2012).

(32)

'Pusat muntah', terletak di formasi reticularis lateral medulla dan menerima masukan dari berbagai sumber aferen. Masukan dari mekanoreseptor dan kemoreseptor di saluran pencernaan dilakukan melalui saraf vagus, yang melibatkan reseptor 5HT dan dopamin. Input lainnya termasuk mereka yang berasal dari sistem vestibular, sistem kardiovaskular, faring dan rangsangan yang lebih kompleks dari pusat kortikal yang lebih tinggi yang menanggapi rasa sakit, rasa takut dan ansietas (Rother, 2012).

(33)
[image:33.595.117.508.116.283.2]

Gambar 2.1. Fisiologi mual dan muntah (Rother, 2012)

Menurut Tinsley dan Barone (2012), emesisdapat dibagi menjaditiga tahap: - Tahappreejeksi,ditandaiolehgejalamualsertatanda-tandaotonom berupa

peningkatanair liur, menelan, pucat, diaforesis, dantakikardia.

- Tahap ejeksi,terdiri darimuntah-muntah (vomiting)dan muntah (retching).

- Tahappascaejeksi,terdiri darirelaksasiotot-ototpernapasan danperut danpenghentian mual.

2.3.2. Faktor Risiko PONV

Etiologi PONV bersifat multifaktorial (Doubravska,2010). PenyebabPONVmeliputipasien sendiri danfaktor risikoterkaitnya, faktoroperasi, danfaktor farmakologi (Rother, 2012; Tinsley dan Barone, 2012; Ezekiel, 2008; Doubravska et al., 2010; Bryson,2007; Aftab, 2008; Pierre dan Whelan, 2012; Lichtor dan Kalghatgi, 2008; Cheong et al., 2013).

A.Faktor Pasien:

- Jenis kelamin perempuan (terutama jika menstruasi atau hamil)

(34)

memperhatikan hubungan antara kejadian PONV dengan fase siklus menstruasi, seperti operasi dalam waktu 1-7 hari dari siklus menstruasi. - Riwayat motion sickness atau PONV

Pasien dengan riwayat baik motion sickness atau PONV diyakini memiliki batas bawah toleransi yang rendah, sehingga meningkatkan risiko episode PONV di masa depan dua sampai tiga kali. Riwayat motion sickness atau emesis menpredisposisi PONV karena refleks untuk muntah diaktifkan dan lengkungan refleks telah terbentuk.

- Tidak merokok

Tidak merokokberada padarisiko lebih tinggi terkenaPONVdibandingperokok.Merokoktampaknyamenjadi faktor protektif. Di satu studi oleh Doubravska et al. (2010) padaperokok,

risikomengalamiPONVjelas lebih rendah(8,7%) bila dibandingkan dengannon-perokok (17,7%, p<0,0001). Hal ini disebabkan bahan kimia dalamasap rokokmeningkatkan metabolismebeberapaobat yang digunakan dalamanestesi, mengurangi risikoPONV.

- Usia

Anak-anak adalah yang paling berisiko dari PONV, meskipun risiko ini menurun dengan pubertas. Anak di bawah usia 3 tahun mengalami insiden terendah PONV; pasien antara usia 3 dan 50 adalah yang paling berisiko. PONV biasanya menurun setelah usia 50, meskipun pasien yang lebih tua yang menjalani operasi tulang belakang atau penggantian sendi memiliki risiko lebih besar kejadian PONV, karena panjang lamanya anestesi dan berkurangnya kemampuan untuk membersihkan medikasi tersebut.

- Obesitas

(35)

pemulihan. Penjelasanlainnya meliputi volume lambung yang lebih besar, refluks esofageal, dankesulitan saluran napas yangmenghasilkan lebih banyakinflasilambung.

- Gastroparesis

- Nyeri

- Status ASA I atau II

Klasifikasi status fisik ASA terkait denganrisikoPONV. Pasiendiklasifikasikan sebagaiASAI atauII(statusfisik yang lebih baik) lebih sering menderitaPONV(16,3%) dibandingkan dengan yang diklasifikasikansebagaiASAIIIatau lebih(11,7%). Perbedaan

inilebihditekankanpada wanita. Wanita denganASAI

atauIImengalamiPONVpada25,1%, tetapi mereka denganASAIIIatau lebih sebanyak 18,5% (p <0,0001). Pada pria, perbedaandalam insidenantara pasien ASAI atauIIdan orang-orangdenganASAIIIatau lebihsecara statistik tidak signifikan(6,1% vs7,0%, p=0,6162).

B. Faktor Operasi:

Apakah diakibatkan oleh jenis operasi, lokasi operasi, panjangprosedur, tipe atau agen anestesiyang digunakanmasih belum jelas. Namun menurut penelitian yang telah dilakukan, hal tersebut berkontribusi terhadap tingkat okurensi PONV.

- Operasi yang dikaitkan dengan peningkatan risiko PONV: • Laparoskopi untuk umum

• Bedah THT

• Bedah kepala dan leher • Operasi tiroid

• Operasi perut (mis., laparotomi)

(36)

dibandingkan denganproseduroftalmologislain, inimungkindisebabkanoleh responvagalrefleksokulokardiak yang dipicu

olehmanipulasi mata. • Operasi neurologis • Operasi payudara

• Operasi ginekologis (terutama laparoskopi) • Operasi plastik

• Bedah ortopedi - Durasi operasi

Resiko PONV meningkat dengan panjang prosedur pembedahan.Pada pasiendenganprosedur bedah yang kurang dari30 menit, risiko PONVadalah28%; untuk proseduryang berlangsung151-180menit, risikoPONVadalah46,2%. Operasi yang lebih lama dapat menyebabkanpasienmenerima agen anestesiemetogenik yang potensialselamawaktu yang lebih lama, sehinggameningkatkanpersentase pasien denganPONV.

C. Faktor Farmakologi:

- Teknik anestesi yang terkait dengan peningkatan risiko PONV:

• Anestesi umum (meningkatkan risiko PONV 11 kali lipat dibandingkan anestesi regional)

• Penggunaan obat anestesi volatil

• Penggunaan nitrous oxide, etomidate, metoheksital, ketamin

• Penggunaan agen anticholinesterase reversal, misalnya, neostigmin

• Penggunaan opioid baik intra atau pascaoperasi • Premedikasi (morfin dan opioidlain)

• Anestesi regional(risiko rendah) - Durasi anestesi yang lebih lama - Medikasi nyeriintraoperatif

(37)

D. Faktor lain:

- Pengalaman teknik anestesi yang kurang baik, misalnya ventilasi bag dan mask yang kurang baik dapat menyebabkan distensi lambung dan mual berikutnya.

- Hidrasi yang buruk selama atau segera setelah operasi - Hipotensi intraoperatif

- Stres/ansietas pasien

Semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar risiko untuk PONV. Bila faktor risiko pasien tertentu yang menaikkan risiko, atau sejarah yang kuat dari PONV ditemui, rencana anestesi harus mencakup penggunaan agen anestesi yang kurang kemungkinannya untuk menyebabkan gangguan (misalnya, pertimbangan dari anestesi intravena total [TIVA] dengan propofol). Selain itu, pertimbangan yang kuat harus diberikan untuk penggunaan profilaksis pencegahan, yang terbukti sangat efektif (Benedict dan Tremper, 2008).

2.3.3. Penatalaksanaan PONV

Mencegah PONV lebih mudah daripada mengobatinya. Antiemetik yang digunakan dalam anestesi umum dapat dianggap sebagai yang diresepkan untuk profilaksis dan yang diresepkan untuk 'rescue', atau untuk mengobati PONV. Profilaksis antiemetik biasanya diresepkan mengikuti pedoman dan protokol, tergantung pada risiko pasien setelah operasi. Profilaksis antiemetik jarang diperlukan pada pasien dengan risiko rendah. Pasien risiko sedang dapat mengambil manfaat dari pengobatan dengan antiemetik tunggal. Jika seorang pasien berada pada resiko tinggi menderita PONV atau jika muntah akan sangat bermasalah, terapi kombinasi sering digunakan. Terapi rescue diindikasikan untuk

(38)

Menurut tinjauan sistematis diterbitkan dalam Cochrane Database tahun

2008 (ref.15), delapan obat yang umum digunakan dalam mengobati PONV adalah droperidol, metoklopramid, ondansetron, tropisetron, dolasetron, deksametason, cyclizine dan granisetron. Tidak ada bukti sah yang ditemukan

mengenai perbedaan dalam keberhasilan antara obat ini (Doubravska et al., 2010).

Terapi antiemetik tradisional, yang merupakan first line therapy, meliputi

antikolinergik, antihistamin, antagonis D2-fenotiazin, juga sedatif / ansiolitik,

butyrophenones, antagonis 5-HT3 (mis. ondansetron, granisetron, dolasetron, palonosetron), kortikosteroid (mis. deksametason) dan kombinasinya (Doubravska

et al., 2010; Pierre dan Whelan, 2012).

(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

[image:39.595.146.505.260.336.2]

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar sementara yang ditimbulkan oleh agen anestestik dengan hilangnya rasa nyeri dari seluruh tubuh dan relaksasi otot pada pasien operasi mata dengan anestesi umum. Agen anestesi yang digunakan adalah :

• Premedikasi : midazolam, fentanyl • Induksi : propofol, atracurium • Maintenance : sevoflurane

3.2.2. Jenis Tindakan pada Operasi Mata

Jenis tindakan pada operasi mata adalah semua jenis operasi pada mata yang menggunakan anestesi umum sebagai anestesinya, baik operasi intraokuler maupun ekstraokuler pada pasien di Sumatera Eye Centre (SMEC).

Operasi ekstraokular, dilakukan pada struktur sekitar mata itu sendiri, misalnya pada operasi:

1. Strabismus 2. Trabekulektomi

Jenis Tindakan pada Operasi Mata dengan

Anestesi Umum

(40)

3. Repair Ptosis

4. Eksisi Tumor

Operasi intraokular, dilakukan pada mata itu sendiri, misalnya pada operasi:

1. Katarak 2. Glaukoma 3. Vitrektomi 4. Reposisi IOL 5. Eviscerasi 6. Trauma Oculi

3.2.3. Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) 1. Definisi

Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) merupakan suatu peristiwa mualdan/ataumuntahterjadidalam waktu 24 jamsetelah operasi. Pada penilitian ini dilihat ada atau tidaknya keluhan mual dan / atau muntah pada pasien setelah menjalani berbagai jenis operasi mata yang menggunakan anestesi umum.

2. Cara Ukur

Cara ukur Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) adalah dengan

cara wawancara. 3. Alat Ukur

Alat ukur Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) adalah dengan

kuesioner. 4. Skala Ukur

Skala ukur Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) adalah skala

(41)

5. Hasil Ukur

Hasil ukur yang digunakan adalah: 0 = tidak ada mual dan muntah 1 = mual (nausea)

2 = muntah (vomiting)

3.2.4. Prevalensi

Prevalensi adalah jumlah kasus penderita PONV pada suatu tempo tertentu dihubungkan dengan populasi (kasus lama maupun kasus baru).

3.2.5. Faktor Risiko PONV

Faktor risiko PONV adalah berbagai faktor terkait yang dapat memicu terjadinya PONV. Faktor pasien dapat berupa jenis kelamin, riwayat PONV atau

motion sickness, tidak merokok, usia, dan status ASA. Faktor operasi dapat berupa

jenis operasi, dan durasi operasi. Faktor farmakologi dapat berupa teknik anestesi, dan durasi anestesi.

Skor ASA adalah asesmen subjektif keseluruhan kesehatan pasien yang berdasarkan lima kelas (I sampai V) (Daabiss, 2011):

I. Pasien adalah pasien yang benar-benar fit dan sehat. II. Pasien memiliki penyakit sistemik ringan.

III. Pasien memiliki penyakit sistemik berat yang tidak melumpuhkan. IV. Pasien memiliki penyakit melumpuhkan yang merupakan ancaman

bagi kehidupan.

V. Seorang pasien sekarat yang tidak diperkirakan untuk hidup 24 jam dengan atau tanpa operasi.

3.3. Hipotesis

Ada hubungan antara jenis tindakan pada operasi mata dengan prevalensi

(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan jenis studi cross-sectional analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan prevalensi

postoperative nausea and vomiting (PONV) dan jenis tindakan pada operasi mata dengan anestesi umum.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2014 hingga November 2014.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sumatera Eye Centre (SMEC) Medan,

propinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini dipilih sebagai tempat yang akan dilaksanakannya penelitian berdasarkan evaluasi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Pada rumah sakit ini, terdapat berbagai jenis operasi mata yang dilakukan dan menggunakan anestesi umum. Selain itu, populasinya juga cukup banyak serta terdapat variasi dalam hal asal lingkungan dan sosial budaya.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang dan menjalani semua jenis operasi mata di Sumatera Eye Centre (SMEC) dari bulan Juli 2014 s/d November 2014.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien Sumatera Eye Centre (SMEC)

(43)

penelitian ini dilakukan dengan teknik non-probability sampling (Notoadmodjo, 2010).

Sampel diperoleh dengan metode consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Total sampling dipilih untuk penelitian ini karena diperkirakan jumlah pasien dan waktu

penelitian terbatas.

Adapun kriteria pemilihan sampel penelitian ini adalah: 1. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang menjalani operasi mata dengan anestesi umum. b. Pasien menjalani rawat inap selama ≥24 jam.

c. Pasien yang dapat berkomunikasi dengan peneliti. d. Pasien dengan umur antara 18-60 tahun.

e. Pasien yang memenuhi kriteria ASA I dan ASA II (American Society of Anaesthesiology Classification).

f. Pasien yang menjalani operasi <3 jam. 2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang sedang hamil, mempunyai riwayat penyalahgunaan obat-obatan, gangguan gastrointestinal (obstruksi usus, gangguan motilitas usus, gastroenteritis,

(44)

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang berasal dari sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan pasien menggunakan instrumen kuesioner dan juga berasal dari rekam medis pasien yang menjalani operasi mata dengan anestesi umum.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

(45)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Mata SMEC Medan yang berlokasi di Jalan Iskandar Muda No. 278/280, Kelurahan Medan Petisah, Kecamatan Petisah Tengah.Rumah Sakit SMEC Medan merupakan rumah sakit khusus yang menangani berbagai jenis operasi mata baik intraokular maupun ekstraokular, baik dengan pembiusan umum dan pembiusan lokal, dan dapat dijumpai berbagai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Rumah Sakit Mata SMEC ini memiliki 4 kategori ruang inap, yang terdiri dari 1 ruang VIP, 1 ruang Kelas I, 1 ruang Kelas II, dan 2 ruang Kelas III (Kelas IIIA dan IIIB). Selain itu juga terdapat fasilitas ruang tunggu, optik, apotek, mushola, kantin,

conference hall, ruang pertemuan, lahan parkir, dan pelayanan IGD 24 jam.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperoleh sebanyak 53 orang, pasien yang terdiri dari 17 pasien operasi katarak, 19 pasien operasi vitrektomi, 1 pasien operasi repair ptosis, 1 pasien operasi

(46)
[image:46.595.107.517.152.296.2]

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia

Berdasarkan kelompok usia pada tabel 5.1, terlihat bahwa kelompok terbesar pada usia antara 53 sampai 60 tahun yaitu sebesar 16 orang (30,2%), kelompok kedua terbesar pada usia di antara 46 sampai 52 tahun yaitu sebesar 11 orang (20,8%) dan terkecil pada kelompok usia di antara 25 sampai 31 tahun dan 32 sampai 38 tahun yaitu masing-masing sebanyak 5 orang (9,4%). Rata-rata atau

mean usia sampel yang diteliti adalah 42,30 tahun dengan standar deviasi 14,027

tahun (42,30±14,027 tahun).

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Laki-laki 33 62,3

2. Perempuan 20 37,7

Total 53 100,0

Berdasarkan jenis kelamin pada tabel 5.2, dapat dilihat bahwa sebagian besar sampel adalah laki-laki, yaitu berjumlah 33 orang (62,3%) dan sampel dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 20 orang (37,7%).

No. Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 18-24 9 17,0

2. 25-31 5 9,4

3. 32-38 5 9,4

4. 39-45 7 13,2

5. 46-52 11 20,8

6. 53-60 16 30,2

[image:46.595.106.517.496.575.2]
(47)
[image:47.595.113.517.133.323.2]

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No. Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Pegawai 12 22,6

2. Ibu Rumah Tangga 15 28,3

3. Wiraswasta 9 17,0

4. Supir 2 3,8

5. Pedagang 1 1,9

6. Petani 2 3,8

7. Dokter 2 3,8

8. Pensiun 3 5,7

9. Tidak Ada 7 13,2

Total 53 100,0

Berdasarkan jenis pekerjaan pada tabel 5.3, sebaran terbanyak terdapat pada kelompok ibu rumah tangga yang mencapai 15 orang (28,3%), diikuti oleh kelompok pegawai sebanyak 12 orang (22,6%), dan sebaran terkecil pada kelompok pegadang yaitu sebanyak 1 orang (1,9%).

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Berat Badan

Ditinjau dari berat badan sampel, diperoleh data seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.4, jumlah sampel terbanyak pada kelompok berat badan 60-69 kg sebanyak 20 orang (37,7%), diikuti pada kelompok berat badan 50-59 kg sebanyak 19 orang (35,8%).

No. Berat Badan (kg) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 40-49 4 7,5

2. 50-59 19 35,8

3. 60-69 20 37,7

4. 70-79 5 9,4

5. 80-89 4 7,5

6. 90-99 1 1,9

[image:47.595.112.517.476.617.2]
(48)
[image:48.595.103.521.142.211.2]

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum

No. Jenis Operasi Mata Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Intraokular 49 92,5

2. Ekstraokular 4 7,5

Total 53 100,0

Berdasarkan jenis operasi mata dengan anestesi umum pada tabel 5.5, sebaran terbanyak terdapat pada operasi intraokular yaitu sebanyak 49 orang (92,5%), dan diikuti oleh operasi ekstraokular sebanyak 4 orang (7,5%).

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Operasi Mata dengan Anestesi Umum

Berdasarkan operasi mata dengan anestesi umum pada tabel 5.6, sebaran terbanyak terdapat pada operasi vitrektomi yaitu sebanyak 19 orang (35,8%), dan diikuti oleh operasi katarak sebanyak 17 orang (32,1%).

No. Operasi Mata Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Katarak 17 32,1

2. Trabekulektomi 1 1,9

3. Vitrektomi 19 35,8

4. Repair Ptosis 1 1,9

5. Reposisi IOL 1 1,9

6. Eviscerasi 4 7,5

7. Trauma Oculi 6 11,3

8. Glaukoma 2 3,8

9. Eksisi Tumor 1 1,9

10. Strabismus 1 1,9

[image:48.595.110.516.345.549.2]
(49)
[image:49.595.105.517.177.249.2]

5.1.3. Deskripsi PONV/ Mual Muntah Pasca Operasi Setelah Operasi Mata dengan Anestesi Umum

Tabel 5.7 Prevalensi atau Diagnosis PONV

No. Prevalensi Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Ada 5 9,4

2. Tidak Ada 48 90,6

Total 53 100,0

Berdasarkan prevalensi atau diagnosis PONV seperti pada tabel 5.7, sampel yang menderita PONV sebanyak 5 orang (9,4%), sedangkan yang tidak ada gejala PONV sebanyak 48 orang (90,6%).

Tabel 5.8 Keluhan Mual dan/atau Muntah

No. Prevalensi Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Mual 5 9,4

2. Muntah 0 0

3. Mual dan Muntah 0 0

4. Tidak Ada 48 90,6

Total 53 100,0

[image:49.595.106.517.643.741.2]

Berdasarkan keluhan mual dan/atau muntah seperti pada tabel 5.8, sampel yang mengalami mual sebanyak 5 orang (9,4%), tidak ada yang mengalami muntah ataupun mual dan muntah, sedangkan yang tidak mengalami keluhan sebanyak 48 orang (90,6%).

Tabel 5.9 Onset dari PONV/ Mual Muntah Pasca Operasi

No. Onset PONV Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Tidak Ada 48 90,6

2. 8 jam pertama 4 7,5

3. 8 jam kedua 1 1,9

(50)

Ditinjau dari onset PONV seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.9, sebagian besar sampel sebanyak 48 orang (90,6%) tidak mengeluhkan gejala PONV. Selanjutnya diikuti 4 orang (7,5%) menunjukkan gejala PONV pada 8 jam pertama (setelah menjalani operasi mata dengan anestesi umum), dan 1 orang (1,9%) menunjukkan gejala PONV pada 8 jam kedua (setelah menjalani operasi mata dengan anestesi umum).

Tabel 5.10 Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Usia yang Dikelompokkan

Usia (tahun)

Prevalensi atau Diagnosis PONV

Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

18-24 1 20,0 8 16,7 9 17,0

25-31 0 0,0 5 10,4 5 9,4

32-38 1 20,0 4 8,3 5 9,4

39-45 1 20,0 6 12,5 7 13,2

46-52 1 20,0 10 20,8 11 20,8

53-60 1 20,0 15 31,3 16 30,2

Total 5 100,0 48 100,0 53 100,0

[image:50.595.110.518.305.524.2]
(51)
[image:51.595.99.518.141.276.2]

Tabel 5.11 Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Prevalensi atau Diagnosis PONV

Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

Laki-laki 4 80,0 29 60,4 33 62,3

Perempuan 1 20,0 19 39,6 20 37,7

Total 5 100,0 48 100,0 53 100,0

Dalam tabel 5.11, menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai persentase yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 4 orang (80%) dibandingkan dengan perempuan sebanyak 1 orang (20%).

Tabel 5.12 Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Berat Badan

Berat Badan (kg) Prevalensi atau Diagnosis PONV Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

40-49 0 0,0 4 8,3 4 7,5

50-59 1 20,0 18 37,5 19 35,8

60-69 3 60,0 17 35,4 20 37,7

70-79 1 20,0 4 8,3 5 9,4

80-89 0 0,0 4 8,3 4 7,5

90-99 0 0,0 1 2,1 1 1,9

Total 5 100,0 48 100,0 53 100,0

[image:51.595.107.517.439.646.2]
(52)
[image:52.595.105.518.140.297.2]

Tabel 5.13 Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Onset Terjadinya atau Insidensi PONV

Onset atau

Insidensi PONV Prevalensi atau Diagnosis PONV Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

Tidak Ada 0 0,0 48 100,0 48 90,6

8 jam pertama 4 80,0 0 0,0 4 7,5

8 jam kedua 1 20,0 0 0,0 1 1,9

Total 5 100,0 48 100,0 53 100,0

Dalam tabel 5.13, ditunjukkan onset atau insidensi terjadinya PONV terbanyak terdapat pada 8 jam pertama sebanyak 4 orang (80%).

Tabel 5.14 Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Jenis Operasi Mata dengan Anestesi Umum

Jenis Operasi Mata

Prevalensi atau Diagnosis PONV

Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

Intraokular 4 80,0 45 93,8 49 92,5

Ekstraokular 1 20,0 3 6,3 4 7,5

Total 5 100,0 48 100,0 53 100,0

(53)
[image:53.595.110.518.148.494.2]

Tabel 5.15 Distribusi Prevalensi atau Diagnosis PONV Berdasarkan Operasi Mata dengan Anestesi Umum

Operasi Mata Prevalensi atau Diagnosis PONV

Total

Ada Tidak Ada

n % n % N %

Katarak 1 20,0 16 33,3 17 32,1

Trabekulektomi 1 20,0 0 0,0 1 1,9

Vitrektomi 2 40,0 17 35,4 19 35,8

Repair Ptsosis 0 0,0 1 2,1 1 1,9

Reposisi IOL 0 0,0 1 2,1 1 1,9

Eviscerasi 1 20,0 3 6,3 4 7,5

Trauma Oculi 0 0,0 6 12,5 6 11,3

Glaukoma 0 0,0 2 4,2 2 3,8

Eksisi Tumor 0 0,0 1 2,1 1 1,9

Strabismus 0 0,0 1 2,1 1 1,9

Total 5 100,0 48 100,0 53 100,0

(54)

5.1.4. Hubungan Jenis Kelamin dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV

[image:54.595.106.520.227.405.2]

Hubungan jenis kelamin dengan prevalensi atau diagnosis PONV secara rinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 5.16 Hubungan Jenis Kelamin dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV

Berdasarkan hasil uji Fisher’s Exact Test pada tabel 5.16, dapat dilihat

bahwa nilai p untuk variabel jenis kelamin terhadap prevalensi atau diagnosis

PONV sebesar 0,639 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan prevalensi PONV.

Jenis Kelamin

Prevalensi atau Diagnosis PONV

Total

Nilai p Ada Tidak Ada

N % n % n %

Laki-laki 4 80,0 29 60,4 33 62,3

0,639 Perempuan 1 20,0 19 39,6 20 37,7

(55)

5.1.5. Hubungan Usia yang Dikelompokkan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV

[image:55.595.104.526.245.494.2]

Hubungan usia yang dikelompokkan dengan prevalensi atau diagnosis PONV secara rinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 5.17 Hubungan Usia yang Dikelompokkan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV

Berdasarkan hasil uji Chi-Square Test pada tabel 5.17, dapat dilihat bahwa

nilai p untuk variabel usia yang dikelompokkan terhadap prevalensi atau diagnosis

PONV sebesar 0,903 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara usia yang dikelompokkan dengan prevalensi PONV.

Usia (tahun)

Prevalensi atau diagnosis

PONV Total

Nilai p Ada Tidak Ada

N % n % n %

18-24 1 20,0 8 16,7 9 17,0

0,903

25-31 0 0,0 5 10,4 5 9,4

32-38 1 20,0 4 8,3 5 9,4

39-45 1 20,0 6 12,5 7 13,2

46-52 1 20,0 10 20,8 11 20,8

53-60 1 20,0 15 31,3 16 30,2

(56)

5.1.6. Hubungan Berat Badan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV

[image:56.595.107.532.219.491.2]

Hubungan berat badan dengan prevalensi atau diagnosis PONV secara rinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 5.18 Hubungan Berat Badan dengan Prevalensi atau Diagnosis PONV

Berdasarkan hasil uji Chi-Square Test pada tabel 5.18, dapat dilihat bahwa nilai p untuk variabel berat badan terhadap prevalensi atau diagnosis PONV sebesar 0,746 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara berat badan dengan prevalensi PONV.

Berat Badan (kg)

Prevalensi atau Diagnosis PONV

Total

Nilai p Ada Tidak Ada

N % n % n %

40-49 0 0,0 4 8,3 4 7,5

0,746

50-59 1 20

Gambar

Gambar 2.1. Fisiologi mual dan muntah (Rother, 2012)
Gambar 3.1.  Kerangka konsep penelitian
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Berat Badan
+7

Referensi

Dokumen terkait