Sukmaya Izzati Widari : 041301086
Pengaruh Religiusitas terhadap penalaran Moral Remaja yang Beragama Islam Penalaran moral merupakan konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi penalaran moral remaja adalah kontrol diri. Interaksi antara ayah dan remaja dapat membentuk persepsi tersendiri oleh remaja terhadap peran ayah. Persepsi terhadap peran ayah merupakan proses yang dialami seorang remaja yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang berasal dari fungsi seorang ayah sebagai orang tua laki-laki yang berperan sebagai pemberi nafkah, sebagai teman, sebagai pengawas dan pendisiplin, pemberi perlindungan, penasehat, pendidik dan sebagai teladan, pemberi perhatian, serta sebagai pembimbing dalam sebuah keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengaruh religiusitas terhadap penalarn moral remaja yang beragam Islam. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak klaster (cluster random sampling) dengan jumlah subjek usia 15-18 tahun sebanyak 219 pada awalnya dan setelah cek konsistensi, hanya 126 orang yang datany dapat dipakai. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala skala religiusitas dan DIT (Defining Issues Test) bentuk singkat. Skala religiusitas disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994). DIT (Defining Issues Test) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum Kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979).
Hasil analisa data penelitian menggunakan teknik regresi nonlinier model parabola kuadratik. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0.093, nilai F sebesar 0.532 dan nilai p = 0.558, sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral.
Kata kunci : penalaran moral, religiusitas.
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
SUKMAYA IZZATI WIDARI
041301086
FAKULTAS PSIKOLOGI
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., berkat hidayah dan curahan kasih sayang-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Remaja yang Beragama Islam.” Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW. serta orang-orang yang beriman di jalan-Nya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada ibunda tercinta (Rosmaini) dan ayahanda tersayang (Sudirmo Tjandra Kirana) atas segala do’a, dukungan dan kasih sayangnya dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Kepada mbak-mbakku (mbak Ila, mbak Ita, dan mbak Anti) penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala perhatian dan dukungannya. Semoga kita bisa memberi yang terbaik untuk kedua orangtua tercinta.
Terselesaikannya proposal penelitian ini tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K)., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara.
selama proses penelitian ini pernah membuat ibu kesal. Semoga Allah selalu membalas setiap kebaikan ibu dengan pahala yang melimpah. Amin.
3. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psikolog, sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasehat dan bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di fakultas psikologi USU. Semoga Allah membalas segala kebaikan ibu selama ini dengan yang terbaik.
4. Ibu Etti Rahmawati, M.Si yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran dan ilmunya pada penulis. Semoga Allah membalas segala kebaikan ibu dengan Jannah-Nya.
5. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga penulis dapat memanfaatkan ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya.
6. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Bapak Aswan, Bapak Iskandar, Kak Ari, Kak Devi, dan Kak Ade yang telah banyak membantu penulis khususnya dalam hal administrasi.
7. Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 dan SMA Al-Washliyah 3 Medan beserta para staf, guru, dan para siswa.
9. Saudariku yang kucintai karena Allah, Citra Suastika dan Eka Diyah Ardiyati, jazakillah khairan katsir atas segala pengertian, dukungan, do’a dan bantuannya selama ini.
10.Saudara-saudara senasib seperjuangan, Kak Dwi Hairani, Kak Sari, Reni Tania, Debi Fadhillah, Hanifa Laura, Ikhwanisifa, Sukmadiarti, Kerry Desiana, Mutia Khairani, Dona Ardalisa, Sonya P. Melinda, Ari Sinta dan Rahmadaini. Terima kasih atas bantuan, masukan dan semangatnya.
11.Untuk pembimbing ruhiyah sekaligus sahabat dan orangtua keduaku, saudara-saudaraku tercinta dalam ikatan mahabbatullah, jazakillah khairan katsir atas perhatian, kasih sayang, semangat, nasehat dan dukungannya.
12.Kepada adik-adik di psikologi, Adik-adik ’05 : Dian, Faqih, Zulvia, Retno, Rena, dan Afni. Adik-adik ’06 : Putri, Fitri, Fira, Nella, Yanda, Fenny, Uyu, Suri, Minda, Tisa, dan Dea. Adik-adik ’07 : Irma, Septriani, Fitri, Tari, Imelvi, Putri, Fida, dan Sari. Terima kasih atas semangatnya selama ini.
13.Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak guna penyempurnaannya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GRAFIK... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Penalaran Moral ... 11
1. Pengertian penalaran moral ... 11
2. Komponen penalaran moral ... 12
3. Perkembangan penalaran moral ... 13
4. Faktor yang mempengaruhi prkembangan penalaran moral ... 18
B. Religiusitas ... 20
1. Pengertian religiusitas ... 20
2. Dimensi religiusitas ... 21
4. Prinsip pengukuran religiusitas dari perspektif Islam ... 29
C. Remaja ... 30
1. Pengertian remaja ... 30
2. Tugas perkembangan remaja... 31
3. Ciri-ciri masa remaja ... 32
D. Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Remaja yang Beragama Islam ... 34
E. Hipotesa Penelitian ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39
1. Penalaran moral ... 39
2. Religiusitas ... 40
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 42
1. Populasi dan sampel ... 42
2. Metode pengambilan sampel ... 43
D. Alat Ukur Penelitian ... 44
E. Validitas, Reliabilitas, dan Uji Daya Diskrimnasi Aitem ... 50
1. Validitas ... 50
2. Reliabilitas ... 50
3. Uji daya diskriminasi aitem ... 51
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 58
1. Persiapan penelitian ... 58
2. Pelaksanaan penelitian ... 59
3. Analisis data ... 60
H. Metode Analisis Data ... 61
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 64
A. Gambaran Subjek Penelitian ... 64
1. Asal sekolah subjek ... 64
2. Jenis kelamin subjek ... 66
3. Usia subjek ... 67
4. Kelas subjek ... 68
B. Hasil Penelitian ... 69
1. Hasil uji asumsi penelitian ... 70
2. Hasil utama penelitian ... 72
3. Kategorisasi data penelitian ... 73
4. Hasil tambahan penelitian ... 77
C. Pembahasan ... 82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Tahap Perkembangan Religiusitas Fowler ... 28
Tabel 2 Cetak Biru Skala Religiusitas I ... 47
Tabel 3 Cetak Biru Skala Religiusitas II ... 47
Tabel 4 Cetak Biru Skala Religiusitas III... 47
Tabel 5 Cara Penyekoran Skala Religiusitas... 49
Tabel 6 Cetak Biru Skala Religiusitas I Sebelum Uji Coba ... 54
Tabel 7 Cetak Biru Skala Religiusitas I Setelah Uji Coba ... 54
Tabel 8 Distribusi Aitem Skala Religiusitas I untuk Penelitian ... 55
Tabel 9 Cetak Biru Skala Religiusitas II Sebelum Uji Coba ... 56
Tabel 10 Cetak Biru Skala Religiusitas II Setelah Uji Coba... 56
Tabel 11 Cetak Biru Skala Religiusitas III Sebelum Uji Coba ... 57
Tabel 12 Cetak Biru Skala Religiusitas III Setelah Uji Coba ... 57
Tabel 13 Distribusi Aitem Skala Religiusitas III untuk Penelitian ... 58
Tabel 14 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Sekolah ... 65
Tabel 15 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 66
Tabel 16 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 67
Tabel 17 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Kelas ... 68
Tabel 18 Deskriptif Data Penelitian ... 69
Tabel 19 Normalitas Sebaran Variabel Religiusitas dan Penalaran Moral ... 70
Tabel 22 Deskripsi Skor Variabel Religiusitas ... 73
Tabel 23 Deskripsi Kategorisasi Skor Religiusitas ... 74
Tabel 24 Deskripsi Pengelompokan Tahap Penalaran Moral ... 75
Tabel 25 Deskripsi Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Penalaran Moral ... 76
Tabel 26 Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Ditinjau dari Asal
Sekolah Subjek ... 77
Tabel 27 Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Ditinjau dari Jenis
Kelamin Subjek ... 78
Tabel 28 Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Ditinjau dari Usia
Subjek ... 79
Tabel 29 Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Ditinjau dari Kelas
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Sekolah ... 65
Grafik 2 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 66
Grafik 3 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 67
Grafik 4 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Kelas ... 68
Grafik 5 Normalitas Sebaran Variabel Religiusitas dan Penalaran Moral ... 71
Grafik 6 Diagram Pencar (Scatter Plot) Hubungan antara Penalaran Moral dan Religiusitas... 72
Grafik 7 Deskripsi Kategorisasi Skor Religiusitas... ... 74
Grafik 8 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tahap Penalaran Moral ... 76
Sukmaya Izzati Widari : 041301086
Pengaruh Religiusitas terhadap penalaran Moral Remaja yang Beragama Islam Penalaran moral merupakan konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi penalaran moral remaja adalah kontrol diri. Interaksi antara ayah dan remaja dapat membentuk persepsi tersendiri oleh remaja terhadap peran ayah. Persepsi terhadap peran ayah merupakan proses yang dialami seorang remaja yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang berasal dari fungsi seorang ayah sebagai orang tua laki-laki yang berperan sebagai pemberi nafkah, sebagai teman, sebagai pengawas dan pendisiplin, pemberi perlindungan, penasehat, pendidik dan sebagai teladan, pemberi perhatian, serta sebagai pembimbing dalam sebuah keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengaruh religiusitas terhadap penalarn moral remaja yang beragam Islam. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak klaster (cluster random sampling) dengan jumlah subjek usia 15-18 tahun sebanyak 219 pada awalnya dan setelah cek konsistensi, hanya 126 orang yang datany dapat dipakai. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala skala religiusitas dan DIT (Defining Issues Test) bentuk singkat. Skala religiusitas disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994). DIT (Defining Issues Test) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum Kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979).
Hasil analisa data penelitian menggunakan teknik regresi nonlinier model parabola kuadratik. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0.093, nilai F sebesar 0.532 dan nilai p = 0.558, sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral.
Kata kunci : penalaran moral, religiusitas.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menurut data statistik Indonesia tahun 2005, jumlah remaja usia 15-19 tahun
mencapai 20,329,673 juta jiwa. Jumlah ini termasuk cukup besar, karena berada
pada peringkat ketiga terbanyak setelah kelompok usia 5-9 tahun dan 10-14 tahun
(Statistics Indonesia, 2008). Melihat kondisi ini, wajar saja bila pembahasan
mengenai remaja seolah tidak pernah henti. Kasus-kasus yang menimpa remaja
pun sering diberitakan. Ini terbukti dengan adanya artikel yang memuat sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Direktur PKPA (Pusat Kajian Perlindungan Anak)
pada tahun 2007, Ahmad Sofian. Penelitian itu menunjukkan bahwa ratusan
remaja putri di Medan terjun ke dunia pelacuran. Selama proses penelitian, ada
seorang responden yang menuturkan bahwa di kelasnya saja ada 15 temannya
yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, bahkan yang tua bangka alias
tubang (istilah yang biasa digunakan mereka untuk menyebut pelanggan yang
berusia rata-rata 30-50 tahun). Ternyata, para pelajar itu banyak yang melakukan
kegiatan pelacuran pada siang hari (Ikhwan, 2007).
Tidak hanya kasus di atas, akhir-akhir ini isu moral di kalangan remaja juga
semakin merebak, seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, perkosaaan,
pengrusakan milik orang lain, perampasan, penipuan, hamil di luar nikah, aborsi,
pelaku-pelaku beserta korbannya adalah para remaja (Willis, 2005). Belakangan
ini tampak fenomena HIV/AIDS yang merebak di kalangan remaja. Dalam sebuah
harian surat kabar, Pengurus Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI),
Purwadi mengatakan bahwa perkembangan peningkatan temuan kasus HIV-AIDS
di sejumlah daerah di Indonesia, hingga Maret 2008 menunjukkan kondisi yang
kian mengkhawatirkan, dan yang lebih memprihatinkan lagi, data HIV/AIDS dari
Ditjen PPL dan PM Depkes menunjukkan bahwa kelompok usia remajalah yang
merupakan kelompok yang paling banyak terkena HIV/AIDS.
Melihat fenomena yang ada, dunia remaja seolah-olah menjadi momok yang
mengkhawatirkan karena sangat rawan dengan pengaruh-pengaruh negatif. Secara
psikologis, masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Selama masa remaja, terjadi berbagai perubahan
pada individu, baik itu perubahan fisik, sosial, minat, moral, sikap, bahkan
perilaku. Berbagai perubahan itu membutuhkan proses penyesuaian diri.
Penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan dengan menjalani tugas-tugas
perkembangan selama masa periode ini (Hurlock, 1980).
Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan kelompok darinya dan kemudian membentuk
perilaku agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi,
didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja
kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam
kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja harus
bisa mengendalikan perilakunya sendiri. Bagi kebanyakan remaja, tugas-tugas
tersebut merupakan tugas yang sulit. Dalam kenyataannya, ada yang berhasil
menjalaninya dan ada juga yang tidak berhasil (Hurlock, 1980). Oleh karena itu,
Medinnus dan Dusek menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang
menentukan bagi perkembangan moral seseorang (Martani, 1995).
Moral merupakan suatu dimensi dasar dalam penyesuaian seseorang dengan
lingkungannya dan merupakan salah satu komponen dasar bagi kelangsungan
bermasyarakat. Menurut Rogers dan Baron, moral merupakan suatu standar salah
atau benar bagi seseorang (Martani, 1995). Hal ini sejalan dengan definisi dari
kamus Webster edisi ketujuh yang menyatakan bahwa moralitas adalah seperangkat aturan, dogma, dan pelajaran yang memuat prinsip-prinsip benar dan
salah pada perilaku manusia (Geyer & Baumeister, 2005). Gibbs dan
neo-Kohlbergian lainnya mengemukakan bahwa aspek penting dari moralitas adalah
bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2007). Menurut Kohlberg,
penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai, penilaian sosial yang
mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Kematangan penalaran moral
dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada
situasi yang melibatkan moral. Penalaran moral itu dipengaruhi oleh level
perkembangan kognitif yang tinggi dan pengalaman sosiomoral (Glover, 1997).
Pernyataan ini diperkuat oleh Rest yang menyatakan bahwa pendidikan dan IQ
dan IQ merupakan indikator tak langsung dari perkembangan kognitif (Rest,
1979).
Ada faktor lain yang mempengaruhi penalaran moral yaitu sifat dasar manusia
yang memiliki kemampuan untuk menahan dan mengontrol dirinya, sehingga
cenderung melakukan tindakan yang bermoral. Kemampuan ini disebut dengan
kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri, orang memiliki standar mengenai apa
yang harus dilakukannya sehingga ia akan berusaha memonitor perilakunya dan
melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan standarnya itu. Namun, bila tidak ada
kontrol diri maka seseorang cenderung akan melakukan tindakan amoral. Hal ini
dapat dilihat dari kasus yang menimpa seorang remaja yang hamil di luar nikah.
Peneliti menemukan kasus ini dari hasil wawancara yang dilakukan dengan DY,
seorang pelajar di sekolah X, berikut penuturannya :
”ee..iya, kak. Anak-anak kelas tiganya model pacarannya yang begitu-begituan kak...bahkan sekarang ada yang lagi hamil karena melakukan begituan dengan pacarnya..itu kak si A. DY taunya karena di sekolah lagi heboh. Hebohnya, gini kak...ada abang-abang yang kenal dengan si A ke sekolah, terus nyari-nyari si B (mantan pacarnya si A). Di situlah kak, baru ketauan kalo si A lagi hamil sekarang, dan mau minta pertanggungjawaban si B. Tapi si Bnya gak mau la kak, kan belum tentu dia bapaknya. Soalnya pacarnya si A banyak sich” (Komunikasi personal, Maret 2008).
Kasus yang sama juga peneliti temukan dari hasil wawancara dengan L, pelajar di
sekolah Y, berikut penuturannya :
”L punya teman yang hamil di luar nikah dan dia terpaksa berhenti dari sekolah, mbak. L juga awalnya gak nyangka, soalnya selama ini kami sering jalan bareng. Trus, tiba-tiba L nerima undangan dari dia kalo dia mau nikah, padahal saat itu kami baru mau naik kelas 3, mbak” (Komunikasi personal, November 2008).
Berdasarkan kasus yang ada, tampak bahwa ternyata penalaran moral dan
kebijakan, yang dapat mengarahkan seseorang pada perbuatan baik dan
menghindari dosa. Kontrol diri ini dapat dipengaruhi oleh religiusitas pada
berbagai cara, dan kebanyakan memberi hasil yang positif. Religiusitas
merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha
kontrol diri seseorang (Geyer & Baumeister, 2005). Ini diperkuat dengan hasil
penelitian Ancok dkk yang menunjukkan bahwa religiusitas remaja dan kegiatan
mereka dalam aktivitas keagamaan memiliki pengaruh yang cukup berarti
terhadap kepribadiannya. Makin tinggi religiusitas dan makin aktif dalam kegiatan
keagamaan makin baik pula kepribadiannya, dan begitu pula sebaliknya (Astuti,
1999).
Menurut Glock & Stark, agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat
pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (Ancok &
Suroso, 1994). Setiap agama pasti mengandung ajaran-ajaran kebenaran, begitu
juga dalam Islam. Dalam Islam, moral (akhlak) mulia adalah tujuan utama dari
risalah Islam, seperti yang tertera dalam Q.S. Al-Hajj [22] : 41, yang berbunyi :
”(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”
Moral (akhlak) mulia merupakan bukti dan buah keimanan yang benar, dan
implementasi berbagai bentuk ibadah dalam Islam, karena tanpa moral (akhlak)
ibadah hanya menjadi ritual dan gerakan yang tidak memiliki nilai dan manfaat.
Orang yang memeluk Islam dengan sungguh-sungguh, memandang dunia sebagai
ridha-Nya. Seluruh hidupnya, baik aktivitas, perniagaan, harta, rumah, waktu, maupun
pikiran mereka digunakan untuk mencapai tujuan itu. Mereka berbeda dengan
kaum materialis yang menggunakan segala sesuatu untuk memuaskan nafsu dan
syahwatnya (Yakan, 2007).
Pandangan di atas diperkuat oleh pernyataan Gladding, Lewis dan Adkins,
bahwa individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal,
melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka. Religiusitas yang tinggi tampak pada
adanya penempatan terhadap konsep-konsep nilai yang lebih tinggi. Sementara
itu, individu yang memiliki religiusitas yang lebih rendah, melihat harapan dan
makna yang lebih sedikit dari kehidupan mereka, yang membedakan diri mereka
dari masyarakat. Mereka cenderung menempatkan nilai-nilai ”hedonistik” seperti,
kesenangan, kenyamanan, dan kegembiraan, karena penundaan kepuasan
dianggap tidak bernilai dan kehidupan dipandang sebagai kesempatan untuk
memuaskan hasrat/keinginan dasar pada saat tertentu. Pada dasarnya, mereka
lebih berorientasi individualis dan sering berprasangka pada orang lain (Glover,
1997).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif
antara religiusitas dengan penalaran moral, dimana bila semakin tinggi religiusitas
seseorang maka penalaran moralnya juga semakin, dan begitu sebaliknya. Hal ini
dikarenakan orang yang religiusitasnya tinggi cenderung memunculkan dan
menempatkan konsep-konsep nilai yang lebih tinggi yang dilakukannya dalam
melakukan penalaran terhadap situasi yang memerlukan pertimbangan moral.
Hal ini didasarkan pada penelitian Sapp dan Gladding yang memperoleh nilai
korelasi r = -0.26 dengan p < 0.05, yang berarti bahwa ada korelasi negatif antara
religiusitas dan penalaran moral. Penelitian Glover terhadap 210 partisipan juga
menunjukkan hasil yang sama bahwa ada korelasi signifikan antara religiusitas
dan penalaran moral, dimana nilai korelasi r adalah sebesar -0.2 (Glover, 1997).
Bertentangan dengan pernyataan di atas, Kohlberg menyatakan bahwa tidak
ada hubungan yang jelas diantara penalaran moral dan religiusitas, karena
moralitas dan religiusitas merupakan dua area yang berbeda pada diri manusia dan
keduanya tidak bisa disatukan. Dalam pembuatan suatu keputusan moral yang
berperan adalah argumen rasional terhadap prinsip keadilan, sementara penalaran
religius didasarkan pada wahyu yang ada. Sementara itu, Richards dan Davison
menyatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara religiusitas dengan penalaran
moral. Menurut Wahrman, hubungan antara penalaran moral dan religiusitas itu
tergantung pada tingkat dogmatisme dan afiliasi seseorang. Dari penelitian yang
dilakukannya terhadap kelompok-kelompok religius, dia menemukan bahwa ada
hubungan yang lemah antara penalaran moral dengan dogmatisme (Glover, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian dan pernyataan-pernyataan dari para tokoh yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul ”Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Remaja yang
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka pertanyaan yang akan diteliti ialah adakah pengaruh
religiusitas terhadap penalaran moral remaja yang beragama Islam?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh
religiusitas terhadap penalaran moral remaja yang beragama Islam.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat sekaligus, baik
secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan kajian ilmu di bidang psikologi, khususnya psikologi
perkembangan yang menyangkut permasalahan mengenai religiusitas dan
penalaran moral remaja yang beragama Islam.
b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan
menambah daftar temuan penelitian yang berkaitan dengan religiusitas dan
penalaran moral remaja yang beragama Islam. Selain itu, untuk berbagi dasar
pengetahuan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
2. Manfaat Praktis
a. Bagi remaja yang beragama Islam
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi remaja yang
beragama Islam mengenai pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral
mereka, sehingga dapat melakukan upaya untuk meningkatkan penalaran
moralnya.
b. Bagi masyarakat
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat dapat lebih objektif dan rasional
dalam menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan pengaruh religiusitas
terhadap penalaran moral remaja yang beragama Islam.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Proposal penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang
diteliti yaitu teori penalaran moral, teori religiusitas dan teori
mengenai remaja. Bab ini juga memuat teori mengenai pengaruh
BAB III : Metodologi Penelitian
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel
penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan
metode pengambilan sampel, alat ukur penelitian, validitas dan
reliabilitas alat ukur, uji daya diskriminasi aitem, hasil uji coba alat
ukur penelitian, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode
analisis data.
BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian tentang gambaran subjek penelitian, hasil
penelitian, hasil uji asumsi, hasil utama penelitian, hasil tambahan
penelitian dan pembahasan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini memuat mengenai kesimpulan dan saran dari hasil
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENALARAN MORAL
1. Pengertian penalaran moral
Menurut Gunarsa, moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti adat
istiadat, kebiasaan atau tatacara dalam kehidupan (Martani, 1995). Moralitas dapat
didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat
dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah,
bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika
melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar
tersebut (Hasan, 2006).
Aspek penting dari moralitas menurut Gibss adalah bagaimana penalaran
moral individu karena penalaran moral menentukan suatu tindakan yang akan
dilakukannya. Penalaran moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk
berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks (Papalia dkk, 2007).
Menurut Kohlberg, penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai,
penilaian sosial yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan.
Kematangan penalaran moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap
dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral (Glover,
1997).
tindakan apa yang akan dilakukannya. Jadi, penalaran moral diindikasikan sebagai
aspek penting dari kepribadian.
Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian penalaran moral,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran moral adalah
kemampuan/konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah
sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu
terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
2. Komponen penalaran moral
Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal, yang dimulai
dari penginterpretasian situasi sampai dengan pelaksanaan atau
pengimplementasiannya (Kurtines & Gerwitz, 1992). Adapun 4 komponen utama
penalaran moral yang dikemukakan oleh Rest antara lain :
a. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup
empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana
masing-masing pelaku dalam suatu situasi tertentu terpengaruh oleh pelbagai
tindakan tertentu).
b. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang, merumuskan
suatu rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu
ide tertentu (mencakup konsep kewajaran dan keadilan, pertimbangan moral,
penerapan nilai moral sosial).
c. Mengevaluasi pelbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana
caranya orang memberikan penilaian moral atau yang bertentangan dengan
(mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, perilaku
mempertahankan diri).
d. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot
moral (mencakup ”ego-strength” dan proses pengaturan diri).
3. Perkembangan penalaran moral
Sejalan dengan kematangan perkembangan intelektual dan pengalaman
seseorang, pemahaman terhadap masalah moralitas semakin lebih berkembang.
Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan
sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah
struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang
dibandingkan dengan struktur sebelumnya (Muslimin, 2004).
Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan
manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence
Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan konvensi sosial,
menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri dari prakonvensional,
konvensional, dan pascakonvensional (Hasan, 2006).
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang
terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat
tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini peraturan masih bersifat eksternal dan belum terinternalisasi.
Anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap
ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman,
keuntungan, pertukaran kebaikan). Atau dari segi kekuatan fisik mereka yang
memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Terdapat dua tahap pada
tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya,
tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut.
Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk
pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang
bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat
terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh
hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau
alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang
juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang
seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan
yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi
ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan
hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan
menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa
mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas
terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal
terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan
seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau
kelompok yang terlibat. Aturan dan norma sosial dipatuhi untuk mendapatkan
persetujuan orang lain atau untuk memelihara aturan sosial. Penghargaan dan
penolakan sosial mengganti hadiah dan hukuman yang konkret sebagai
motivator perilaku etik. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu
orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak
konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku
mayoritas atau ”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya,
ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi
penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi ”baik”.
Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai
dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan
masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan
Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara
keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau
buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan
terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi
peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau
kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan
aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi
sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib
sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
c. Tingkat Pascakonvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas
pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau
buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan
masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Ada dua tahap pada
tingkat ini.
Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian.
dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah
disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas
mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian
dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk
mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati
secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal ”nilai” dan
”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut
pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional
mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu
sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Di luar bidang hukum,
persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban.
Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada
komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis.
Keenam tingkat penalaran moral tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya
bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai
4. Faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral
Pada dasarnya, perkembangan penalaran moral dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Kohlberg menjelaskan faktor-faktor penting yang dapat merangsang
peningkatan tahap perkembangan penalaran moral, antara lain (Muslimin, 2004) :
a. Kesempatan alih peran
Alih peran berarti mengambil sikap dari sudut pandang orang lain atau
menempatkan diri pada posisi orang lain.
b. Iklim moral
Iklim moral yang merangsang peningkatan tahap perkembangan penalaran
moral adalah lingkungan sosial yang memiliki potensi untuk dipersepsi lebih
tinggi dari tahap penalaran moral anggotanya.
c. Konflik sosio-kognitif
Konflik sosio-kognitif adalah adanya pertentangan antara struktur penalaran
moral seseorang dengan struktur lingkungan yang tidak mungkin dipersepsi
dengan menggunakan dasar struktur tahap penalaran moral yang dimiliki
orang tersebut.
Kohlberg juga menambahkan bahwa penalaran moral dipengaruhi oleh tahap
perkembangan kognitif yang tinggi (seperti pendidikan) dan pengalaman
sosiomoral (seperti, kesempatan mengambil peran) (Glover, 1997). Pendidikan
adalah prediktor yang kuat dari perkembangan penalaran moral, karena
lingkungan pendidikan yang lebih tinggi menyediakan kesempatan, tantangan dan
lingkungan yang lebih luas yang dapat merangsang perkembangan kognitif.
yang tingkat perkembangan kognitifnya tinggi, cenderung memiliki intelegensi
yang tinggi pula. Intelegensi berperan dalam perkembangan moral seseorang,
karena intelegensi mendasari struktur individu. Untuk mencapai tahap penalaran
moral yang lebih tinggi diperlukan kemampuan berpikir serta menyesuaikan diri.
Keduanya merupakan komponen dari intelegensi (Martani, 1995).
Ada faktor lain yang mempengaruhi penalaran moral yaitu sifat dasar manusia
yang memiliki kemampuan untuk menahan dan mengontrol dirinya, sehingga
cenderung melakukan tindakan yang bermoral. Kemampuan ini disebut dengan
kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri, orang memiliki standar mengenai apa
yang harus dilakukannya sehingga ia akan berusaha memonitor perilakunya dan
melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan standarnya itu. Kontrol diri ini dapat
dipengaruhi oleh religiusitas pada berbagai cara, dan kebanyakan memberi hasil
yang positif. Religiusitas merupakan sumber standar moral yang penting untuk
mengarahkan usaha-usaha kontrol diri seseorang (Geyer & Baumeister, 2005).
Faktor yang juga dapat mempengaruhi penalaran moral adalah peran orang
tua. Kurangnya bimbingan dari orang tua dan penekanan kedisiplinan yang hanya
terletak pada pemberian hukuman saat berlaku salah, tanpa memberikan
penjelasan mengenai salah tidaknya suatu perilaku, dapat menghambat proses
perkembangan penalaran moral. Dilaporkan bahwa anak yang mempunyai IQ
tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat
kecerdasannya, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang
Rest (1979) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang
konsisten dan jelas dengan penalaran moral,
Penalaran moral tidak akan berkembang tanpa adanya rangsangan, karena
rangsangan merupakan hal yang penting bagi perkembangan penalaran moral.
Beberapa faktor yang telah dikemukakan sebelumnya, merupakan rangsangan
untuk perkembangan penalaran moral seseorang.
B. RELIGIUSITAS
1. Pengertian religiusitas
Menurut Driyarka, kata ”religi” berasal dari bahasa Latin ”religio” yang akar
katanya adalah ”religare”, yang berarti mengikat (Astuti, 1999). Anshari
mengatakan bahwa istilah religi (religion, bahasa Inggris) dan diin (al-diin,
bahasa Arab), sering disamartikan dengan agama. Walaupun secara etimologis
diartikan sendiri-sendiri, namun secara terminologis dan teknis istilah di atas
berinti makna sama (Diana, 1999). Dengan demikian dapat juga disamakan
pengertian keberagamaan dan pengertian religiusitas (religiosity). Agama, dalam
pengertian Glock dan Stark, adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai,
dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate
meaning). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ancok dan Suroso, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak (Ancok & Suroso, 1994).
Menurut Jalaluddin (1996), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu
sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Ini sejalan dengan pernyataan
Kibuuka (2005) yang menyatakan bahwa religiusitas merupakan perasaan
spiritual yang berkaitan dengan model perilaku sosial dan individual, yang
membantu seseorang mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya.
Gladding, Lewis dan Adkins mengemukakan bahwa religiusitas merupakan
tujuan dan intensitas keyakinan religius seseorang, termasuk keyakinan akan
adanya Tuhan, hubungan antara keyakinan dan tindakan personal, usaha religius,
dan konsistensi antara keyakinan dan tindakan dalam istilah ”orang religius” pada
umumnya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi
internal, melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka. (Glover, 1997). Religiusitas
juga merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan
usaha-usaha kontrol diri seseorang (Geyer & Baumeister, 2005).
Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian religiusitas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah sistem yang berdimensi
banyak, perasaan spiritual, dan keyakinan religius yang mendorong seseorang
untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama dan
membantunya mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya.
2. Dimensi Religiusitas
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang
didorong oleh kekuatan akhir, bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang
dalam hati seseorang. Berdasarkan hal tersebut, keberagamaan seseorang akan
meliputi berbagai macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 1994).
Glock dan Stark menyatakan bahwa ada lima dimensi religiusitas, yaitu :
a. Dimensi keyakinan (ideologis).
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang
teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut.
b. Dimensi peribadatan atau praktik agama (ritualistik).
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang
dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya.
Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu :
1) Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan
praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk
melaksanakannya.
2) Ketaatan. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas
publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan
persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan
khas pribadi.
c. Dimensi pengalaman atau penghayatan (eksperiensial).
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika
akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan
terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan
kekuatan supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman
keagamaaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang
dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau
suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu
esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas
transendental.
d. Dimensi pengetahuan agama (intelektual).
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi.
e. Dimensi pengamalan (konsekuensial).
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah
”kerja” dalam pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak
menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak
dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana
konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan
atau semata-mata berasal dari agama (Ancok & Suroso, 1994).
Ancok dan Suroso (1994) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang
membagi religiusitas menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu memiliki
a. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah.
Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat
keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama
terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam
keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang Allah, para
malaikat, Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
b. Dimensi peribadatan atau praktik agama disejajarkan dengan syariah.
Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada seberapa
tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual
sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman,
dimensi praktik agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji,
membaca Al-Qur’an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di mesjid di bulan
puasa, dan sebagainya.
c. Dimensi pengalaman atau penghayatan disejajarkan dengan ihsan.
Dimensi pengalaman (atau penghayatan) atau ihsan menunjuk pada seberapa
jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami
perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi
ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan
doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram dan bahagia karena menuhankan
Allah, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah,
perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar
ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan bersyukur kepada
d. Dimensi pengetahuan agama disejajarkan dengan ilmu.
Dimensi pengetahuan agama atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat
pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran
agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya,
sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini
menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Qur’an, pokok-pokok ajaran yang
harus diimani dan dilaksanakan (rukun iman dan rukun Islam), hukum-hukum
Islam, sejaran Islam, dan sebagainya.
e. Dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak.
Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan seorang
muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana
individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam
keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerja sama,
berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain,
menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga
lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak
menipu, tidak berjudi, tidak meminum-minuman yang memabukkan,
mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup
sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.
Dari penjelasan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa konsep religiusitas
versi Glock dan Stark melihat keberagamaan atau religiusitas bukan hanya dari
satu atau dua dimensi, tapi mencoba memperhatikan segala dimensi. Untuk
memahami adanya beragam dimensi dalam berislam, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : (208), yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu” (Albaqarah :208).
Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya
pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan.
Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau
dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus
didasarkan pada Islam. Berdasarkan pertimbangan itulah, peneliti menggunakan
kelima dimensi di atas dalam pengukuran religiusitas.
3. Perkembangan religiusitas
Sama halnya seperti penalaran moral yang mengalami proses perkembangan,
maka religiusitas juga berkembang sejalan dengan usia seseorang. James W.
Fowler dalam buku Stages of Faith mengembangkan teori tentang tahap
perkembangan dalam keyakinan seseorang sepanjang rentang kehidupan manusia.
Fowler membaginya kedalam enam tahap antara lain (Hasan, 2006):
a. Intuitif-proyektif (intuitive-projective)
Pada tahap kepercayaan intuitif-proyektif (usia 3-7 tahun), masih terdapat
karakter kejiwaan yang belum terlindungi dari ketidaksadaran. Anak masih
belajar untuk membedakan khayalannya dengan realitas sesungguhnya.
b. Mythikal-literal (mythical-literal)
Pada tahap mythikal-literal (usia sekolah), seseorang telah mulai
sudah mulai mengalami prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta,
namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat
pada manusia (anthomorphic).
c. Sintetik-konvensional (synthetic-conventional)
Pada tahap sintetik-konvensional (usia remaja), seseorang mengembangkan
karakter keimanan terhadap kepercayaan yang dimilikinya. Ia mempelajari
sistem kepercayaan dari orang lain di sekitarnya, namun masih terbatas pada
sistem kepercayaan yang sama.
d. Individuatif-reflektif (individuative-reflective)
Pada tahap individuatif-reflektif (usia 20-40), individu mulai mengembangkan
tanggung jawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya.
e. Konjungtif (conjungtive)
Pada tahap konjungtif (usia 40-60), seseorang mulai mengenali berbagai
pertentangan yang terdapat dalam realitas kepercayaannya. Terjadi
transendensi terhadap kenyataan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh
sistem.
f. Universal (universalizing)
Pada tahap universal (usia 60 ke atas), terjadi sesuatu yang disebut
pencerahan. Manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang
lebih tinggi sebagai hasil dari pemahamannya terhadap lingkungan yang
konfliktual dan penuh paradoksal.
Tahap perkembangan keyakinan seseorang yang dikemukakan oleh Fowler
Tabel 1. Tahap Perkembangan Religiusitas Fowler
No Dari Sampai Kepercayaan Karakteristik Kebenaran Perbandingan
1 0 7
Intuitif-proyektif Khayalan adalah realitas Konsekuen terhadap diri sendiri Kepercayaan vs ketidakpercayaan, praoperasional 2 7 11
Mythikal-literal Menerjemahkan kisah agama secara literal Pertukaran yang adil Pra sampai konkret operasional 3 11 20
Sintetik-konvensional Patuh terhadap kepercayaan orang lain/ paparan kecil terhadap alternatif Bahaya pada hubungan/ apa yang dikatakan orang lain Formal operasional dan moralitas konvensional
4 20 40 Individuatif-reflektif Memperluas usaha untuk menemukan jalan sendiri Kesejahteraan diri sendiri dan orang lain Formal operasional dalam perkembangan 5 40 60 Konjungtif Kesadaran
terhadap keterhinggaan dan keterbatasan; terbuka terhadap paradoks dan pandangan orang lain Penengah
6 60 Mati Universal Transendensi
dari sistem kepercayaan khusus/ lingkungan yang konfliktual, bukan paradoks Kesatuan dengan segalanya
Sumber : Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian, 2006
4. Prinsip pengukuran religiusitas dari perspektif Islam
Religiusitas atau kehidupan beragama amat penting di dalam kehidupan
manusia karena religiusitas memberi pengaruh yang besar terhadap tingkah laku,
personaliti, ketenangan emosi, keyakinan diri manusia, serta kebahagiaan hidup.
penting. Pengukuran religiusitas dari perspektif Islam dapat dibuat, namun
mempunyai prinsip tertentu yang perlu dipatuhi agar pengukuran menjadi tepat
dan selaras dengan ajaran Islam (Manap dkk, 2007).
Menurut Manap dkk (2007), prinsip-prinsip pengukuran religiusitas dari
perspektif Islam adalah:
a. Hukuman atau penilaian religiusitas dari perspektif Islam individu atau
kelompok adalah berasaskan kepada aspek zahir (overt/tampak) saja.
b. Pengukuran religiusitas dari perspektif Islam dapat dibuat, namun penilaian
sebenarnya dan pengukuran yang paling tepat tentang diri seseorang atau
kelompok adalah di sisi Allah.
c. Pengukuran religiusitas dari perspektif Islam adalah berasaskan manifestasi
iman, islam dan ihsan.
d. Iman perlu dibuktikan dengan amalan.
e. Penghayatan syariat Islam yang sempurna melahirkan akhlak yang mulia.
f. Simbol yang mempunyai kaitan dengan religiusitas tidak semestinya
mempunyai interpretasi yang sama bagi individu yang berbeda.
g. Standar pengukuran religiusitas dari perspektif Islam adalah Al-Quran dan
C. REMAJA
1. Pengertian remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini,
mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial,
dan fisik. Piaget mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia
dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak
lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980).
Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang
dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut
Monks (2002), remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang
sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan
pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan
dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
Berdasarkan uraian beberapa tokoh tentang pengertian remaja, maka dapat
disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang
sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan
pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan
dan 18-21 tahun masa remaja akhir, yang dimulai saat anak secara seksual matang
2. Tugas perkembangan remaja
Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat
atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan
menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas berikutnya (Hurlock, 1999). Adapun tugas
perkembangan pada masa remaja meliputi:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku-mengembangkan ideologi.
Menurut Hurlock (1999), salah satu tugas perkembangan penting yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan kelompok darinya dan
kemudian membentuk perilaku agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus
dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu
anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi
perilakunya. Remaja harus bisa mengendalikan perilakunya sendiri. Bagi
kebanyakan remaja, tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Dalam
kenyataannya, ada yang berhasil menjalaninya dan ada juga yang tidak berhasil.
Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap
dan pola perilaku anak Setiap tugas perkembangan memegang peranan penting
untuk menentukan arah perkembangan yang normal.
3. Ciri-ciri masa remaja
Menurut Siegler masa remaja merupakan masa mempertanyakan dan
memeriksa kembali sistem keyakinan, dimana perasaan dan kepercayaan religius
dievaluasi kembali. Selain itu, remaja menemukan kemampuan kognitif yang
baru, yang membuat mereka memformulasikan prinsip-prinsip dan pandangan
personal mengenai benar dan salah. Mereka merealisasikan kemungkinan yang
satu dengan yang lain. Mereka mulai berpikir bagaimana dunia dapat berubah dan
mempertanyakan makna keadilan dan moralitas (Kaplan, 2000).
Menurut Monks (2002), ada tiga tahap proses perkembangan yang dilalui
remaja dalam proses menuju kedewasaan. Masing-masing tahap memiliki
karakteristik, antara lain:
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan
dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan
buruk apa yang ditolak orang lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran
agama mulai timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima
saat masih kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.
b. Remaja madya (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja berada dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari
pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan
salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Keraguan semacam ini
juga jelas dalam sikap terhadap masalah mencontek, pada waktu remaja duduk
di sekolah menengah atas. Karena hal ini sudah agak umum, remaja
menganggap bahwa teman-teman akan memaafkan perilaku ini, dan
membenarkan perbuatan mencontek bila selalu ditekan untuk mencapai nilai
yang baik agar dapat diterima di sekolah tinggi dan yang akan menunjang
keberhasilan dalam kehidupan sosial dan ekonomi di masa-masa mendatang.
Corak keagamaan pada tahap ini ditandai dengan adanya pertimbangan sosial.
Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan
moral dan material. Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan
kewajiban untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat
mempertanggungjawabkannya secara pribadi.
c. Remaja akhir (18-21 tahun)
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan.
Individu mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi.
atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan
harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja
sudah mulai memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah
laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Pada tahap
ini, remaja mulai menyadari bahwa keyakinan religius penting bagi mereka.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa usia remaja terbagi atas tiga tahap, yaitu remaja awal, madya,
dan akhir dimana masing-masing tahap memiliki karakteristik tersendiri.
D. PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP PENALARAN MORAL
REMAJA YANG BERAGAMA ISLAM
Banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja. Berbagai perubahan itu
membutuhkan proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan
dengan menjalani tugas-tugas perkembangan selama masa periode ini. Salah satu
tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mengganti
konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip
moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan
berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja harus bisa mengendalikan
perilakunya sendiri. Bagi kebanyakan remaja, tugas-tugas tersebut merupakan
tugas yang sulit. Dalam kenyataannya, ada yang berhasil menjalaninya dan ada
juga yang tidak berhasil (Hurlock, 1980). Oleh karena itu, Medinnus dan Dusek
menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang menentukan bagi
Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Gibbs dan
neo-Kohlbergian lainnya mengemukakan bahwa aspek penting dari moralitas
adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2007). Menurut
Kohlberg, penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai, penilaian sosial
yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Kematangan penalaran
moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan
tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Penalaran moral itu dipengaruhi oleh
sifat dasar manusia yang disebut dengan kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri,
orang memiliki standar mengenai apa yang harus dilakukannya sehingga ia akan
berusaha memonitor perilakunya dan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan
standarnya itu. Kontrol diri ini dapat dipengaruhi oleh religiusitas pada berbagai
cara, dan kebanyakan memberi hasil yang positif. Religiusitas merupakan sumber
standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha kontrol diri
seseorang (Geyer & Baumeister, 2005). Hasil penelitian Ancok dkk menunjukkan
bahwa religiusitas remaja dan kegiatan mereka dalam aktivitas keagamaan
memiliki pengaruh yang cukup berarti terhadap kepribadiannya. Makin tinggi
religiusitas dan makin aktif dalam kegiatan keagamaan makin baik pula
kepribadiannya, dan begitu pula sebaliknya (Astuti, 1999).
Agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem
perilaku yang terlembagakan (Ancok & Suroso, 1994). Setiap agama pasti
mengandung ajaran-ajaran kebenaran, begitu juga dalam Islam. Dalam Islam,
Moral (akhlak) mulia merupakan bukti dan buah keimanan yang benar, dan
implementasi berbagai bentuk ibadah dalam Islam, karena tanpa moral (akhlak)
ibadah hanya menjadi ritual dan gerakan yang tidak memiliki nilai dan manfaat
(Yakan, 2007). Pandangan ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan
oleh Gladding, Lewis dan Adkins. Penelitian ini menggunakan 210 partisipan dan
hasilnya menunjukkan ada korelasi signifikan antara penalaran moral dan
religiusitas, dimana p < 0.01. Penelitian ini mengindikasikan bahwa individu
yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal, melihat tujuan
akhir dari kehidupan mereka. Religiusitas yang tinggi tampak pada adanya
penempatan terhadap konsep-konsep nilai yang lebih tinggi. Sementara itu,
individu yang memiliki religiusitas yang lebih rendah, melihat harapan dan makna
yang lebih sedikit dari kehidupan mereka, yang membedakan diri mereka dari
masyarakat. Mereka cenderung menempatkan nilai-nilai ”hedonistik” seperti,
kesenangan, kenyamanan, dan kegembiraan, karena penundaan kepuasan
dianggap tidak bernilai dan kehidupan dipandang sebagai kesempatan untuk
memuaskan hasrat/keinginan dasar pada saat tertentu. Pada dasarnya, mereka
lebih berorientasi individualis dan sering berprasangka pada orang lain (Glover,
1997).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif
antara religiusitas dengan penalaran moral, dimana bila semakin tinggi religiusitas
seseorang maka penalaran moralnya juga semakin, dan begitu sebaliknya. Namun,
tidak sepenuhnya religiusitas berkorelasi positif dengan penalaran moral. Hal ini
-0.26 dengan p < 0.05, yang berarti bahwa ada korelasi negatif antara religiusitas
dan penalaran moral. Penelitian Glover terhadap 210 partisipan juga menunjukkan
hasil yang sama bahwa ada korelasi signifikan antara religiusitas dan penalaran
moral, dimana nilai korelasi r adalah sebesar -0.2 (Glover, 1997).
Bertentangan dengan pernyataan di atas, Kohlberg menyatakan bahwa tidak
ada hubungan yang jelas diantara penalaran moral dan religiusitas, karena
moralitas dan religiusitas merupakan dua area yang berbeda pada diri manusia dan
keduanya tidak bisa disatukan. Dalam pembuatan suatu keputusan moral yang
berperan adalah argumen rasional terhadap prinsip keadilan, sementara penalaran
religius didasarkan pada wahyu yang ada. Sementara itu, Richards dan Davison
menyatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara religiusitas dengan penalaran
moral. Menurut Wahrman, hubungan antara penalaran moral dan religiusitas itu
tergantung pada tingkat dogmatisme dan afiliasi seseorang. Dari penelitian yang
dilakukannya terhadap kelompok-kelompok religius, dia menemukan bahwa ada
hubungan yang lemah antara penalaran moral dengan dogmatisme (Glover, 1997).
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai
berikut “Ada pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral remaja yang
BAB III
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
yaitu ingin melihat pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral remaja yang
beragama Islam maka peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Menurut Creswell, penelitian kuantitatif adalah penelitian yang bekerja dengan
angka, yang datanya berujud bilangan (skor atau nilai, peringkat atau frekuensi),
yang dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau
hipotesis penelitian yang sifatnya spesifik, dan untuk melakukan prediksi bahwa
suatu variabel tertentu mempengaruhi variabel yang lain. Oleh karena itu,
penelitian kuantitatif secara tipikal dikaitkan dengan proses induksi enumeratif,
yaitu menarik kesimpulan berdasar angka dan melakukan abstraksi berdasar
generalisasi. Jadi yang menjadi masalah penting dalam penelitian kuantitatif
adalah kemampuan untuk melakukan generalisasi hasil penelitian; seberapa jauh
hasil penelitian dapat digeneralisasi dalam populasi (Alsa, 2004).
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian.
Variabel-variabel dalam penelitian ini, terdiri dari :
1. Variabel tergantung : Penalaran Moral
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
1. Penalaran moral
Penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk
menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang
akan dilakukannya (Rest, 1979). Menurut Rest, ada empat komponen utama
penalaran moral (Kurtines & Gerwitz, 1992), antara lain:
a. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup
empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana
masing-masing pelaku dalam suatu situasi tertentu terpengaruh oleh pelbagai
tindakan tertentu).
b. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang, merumuskan
suatu rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu
ide tertentu (mencakup konsep kewajaran dan keadilan, pertimbangan moral,
penerapan nilai moral sosial).
c. Mengevaluasi pelbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana
caranya orang memberikan penilaian moral atau yang bertentangan dengan
moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang
(mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, perilaku
mempertahankan diri).
d. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot
moral (mencakup ”ego-strength” dan proses pengaturan diri).
Penalaran moral diuku