• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Fase usia dewasa awal merupakan fase yang menugaskan seorang individu

untuk memilih seorang pasangan yang nantinya akan dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim yaitu pernikahan Havighurst ( dalam Hurlock, 2004). Seorang pria umumnya akan mencari pasangan yang berjenis kelamin berbeda dengan

dirinya, yaitu wanita. Namun, kenyataannya ada pria yang mencari pasangan yang berjenis kelamin sama dengan dirinya, inilah yang disebut dengan gay. Hal

ini sejalan dengan definisi homoseksual menurut Dede Oetomo (2001), yaitu orang-orang yang orientasi atau pilihan seksnya diwujudkan ataupun tidak, diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Awalnya gay dianggap sebagai sebuah

gangguan mental , seperti yang tercantum pada buku acuan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) edisi pertama yang diterbitkan pada

tahun 1952 menggolongkan gay ke dalam gangguan kepribadian sosiopathik, yaitu kepribadian yang menyimpang dari norma-norma sosial dan perlu

diperbaiki. Edisi DSM-II, diterbitkan tahun 1968, menghapus gay dari golongan gangguan sosiopathik, dan sebagai gantinya, dipindahkan ke dalam golongan Sexual Deviation, yaitu dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks. Selanjutnya

pada DSM-III yang diterbitkan tahun 1973, terjadi perubahan pandangan terhadap homoseksual, yaitu gay dianggap sebagai gangguan hanya jika orang tersebut

(2)

dihapuskan dari daftar gangguan mental, yaitu sejak revisi DSM III diterbitkan, setelah para komite DSM meninjau ulang dan mendapatkan kesimpulan bahwa

perasaan terganggu yang muncul pada diri seorang gay ketika ia pertama kali menyadari bahwa ia adalah seorang gay merupakan hal yang wajar atau normal.

Dengan kata lain perasaan terganggu pada diri gay itu merupakan hal yang wajar dan bukan gangguan. Oleh karena itulah sejak diterbitkannya edisi ini, dalam dunia psikologi, gay tidak lagi dianggap sebagai sebuah gangguan mental.

Keadaan diri sebagai seorang gay pada fase dewasa awal ini, tentunya sudah melewati sebuah proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan

keputusan menjadi seorang gay yang terjadi pada seorang individu dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu internal dan juga eksternal. Penelitian yang dilakukan oleh Sigit Cahyo Nugroho, Dra. Siswati, M.Si, dan Dra. Hastaning Sakti, M.Kes yang

berjudul Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-Laki Usia Dewasa Awal mendapatkan hasil bahwa pada awalnya, seorang individu gay itu

belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksualnya. Ia hanya mengikuti perasaannya dan juga menikmati sensasi ketertarikan yang timbul pada

dirinya terhadap sesama jenis, namun ia belum memikiran konsekuensi lanjutan dari hal tersebut. Perasaan berupa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam akan diwujudkan dalam bentuk komitmen menjalin hubungan. Ketertarikan secara

fisik maupun seksual, akan berlanjut menjadi keinginan untuk menjalin hubungan secara intim. Hubungan ini yang kemudian akan menentukan seorang individu

(3)

terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksualnya sebagai

seorang gay. di samping itu, dari segi eksternal, dukungan dari lingkungan juga bisa memberikan penguatan bagi seorang gay. Adanya imbalan positif dari

lingkungan berupa adanya dukungan dari pasangan, komunitas sesama gay, dan material yang didapat dari pasangan, serta dukungan informasi dari peer membuat seorang gay itu menjadi merasa semakin menikmati orientasi seksualnya.

Seorang gay yang beragama pada dasarnya juga memiliki religiusitas. Mangunwijaya (1986) mendeskripsikan religiusitas sebagai sebuah penghayatan

aspek di dalam hati, getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal yang terjadi pada diri individu. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988) religiusitas merupakan terjadinya internalisasi agama ke dalam diri seseorang

sebagai wujud dari sikap keberagamaan. Dari kedua definisi tersebut dapat dikatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah penghayatan dan internalisasi

agama ke dalam hati nurani dan sikap personal. Dan berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan pula bahwa religiusitas memang dimiliki oleh setiap orang yang

memiliki agama, termasuklah seorang gay.

Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas :

“ Aku sholat loh, puasa juga, pokoknya aku masih takut sama Allah”

(Komunikasi personal, 10 Januari 2014)

“... dan yang paling terakhir tapi paling penting. Agama. Ini yang bikin aku super galau. “

(4)

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay tersebut terkandung dimensi-dimensi religiusitas, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman

(eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual). Ia yakin akan adanya Tuhan, menjalankan ibadah, memiliki

perasaan dekat kepada Tuhan, memahami konsekuensi jika tidak menaati perintah Tuhan, dan ia juga memiliki pengetahuan agama, yaitu tentang adanya larangan

terhadap perilaku hubungan seksual sesama jenis. Dimensi-dimensi ini kemudian saling berhubungan untuk membangun suatu konsep religiusitas pada diri seorang gay.

Sebuah thread yang ada di forum gay gayindonesia.net juga menunjukkan bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas. Thread yang dikirim oleh akun

bernama doel tersebut berjudul Berbagi dan Berbuka Puasa Bersama di Panti Asuhan. Thread tersebut berisikan pengumuman yang berupa undangan untuk menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus memberikan santunan kepada

anak yatim yang ada di sebuah panti asuhan. Di dalam thread itu juga terdapat nomor rekening yang bisa digunakan bagi para gay yang ingin memberikan infaq

untuk kemudian disalurkan kepada panti asuhan yang dituju. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka gay, namun mereka juga mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang diperintahkan oleh Tuhan.

(5)

berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, dan hasilnya menunjukkan bahwa di dunia pesantren juga ditemukan fenomena gay, namun hal tersebut tentu

tidak bisa digeneralisasikan pada semua pesantren. Peneliti menemukan bahwa diantara para santri ada yang merupakan seorang gay dan jumlahnya juga tidak

sedikit. Di satu sisi, para santri yang gay menjalankan kegiatan pesantren yang sangat bernuansa agama, namun di sisi lain para santri yang gay tersebut juga melakukan hubungan seksual sesama jenis. Selain itu, penelitian yang dilakukan

oleh Trubus Raharjo dengan judul Dorongan Seksual dan Kecenderungan Perilaku Homoseksual pada Santri Remaja di Pesantren juga menunjukkan bukti

bahwa fenomena gay juga terjadi di dunia pesantren. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa ada hubungan antara dorongan seksual dengan kecenderungan perilaku homoseksual pada santri remaja di pesantren. Kutipan wawancara dan

penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay yang beragama terdapat religiusitas.

Membahas religiusitas artinya juga membahas tentang agama. Karena sesuai dengan definisi religiusitas, yaitu internalisasi agama ke dalam diri

seseorang (Glock & Stark, dalam Dister 1988). Salah satu agama yang melarang praktek perilaku seksual kaum gay adalah agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang memberikan detil larangan dan bentuk hukuman terhadap perilaku

(6)

“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu

memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu

orang-orang yang (menda‟wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia

beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu”

(Q.S Naml: 54-58)

“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

(Q.S Al-A’raf : 8)

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”

(Q.S Hud : 82-83) Hukuman terhadap perbuatan seksual kaum gay juga sudah ditetapkan

dalam agama Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang bentuk hukumannya. Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para ulama fiqh berbeda pendapat

tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum

menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman ta‟zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟i (dalam suatu

(7)

dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:

“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

„Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi

Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”

Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya,

akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama

jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid

dari Ibn Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam,

berdasarkan hadis Rasulullah :

“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.

(8)

mengatakan bahwa dengan menjadi gay saja itu artinya sudah merupakan perbuatan dosa. Pandangan yang kedua adalah yang menyatakan bahwa seorang

gay belum tentu berdosa. Jika ia mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya

dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi

Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom Boellstorff (2010),

yaitu seorang professor di bidang Antropologi di Universitas Stanford dan Universitas California yang berjudul Antara Agama dan Hasrat : Muslim yang Gay di Indonesia. Penelitiannya dilakukan di beberapa kota di Indonesia, salah

satunya untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang bagaimana Islam dalam memandang gay. Dan hasilnya ada yang mengatakan bahwa gay

sudah pasti berdosa. Namun ada pula seorang guru agama di sebuah pesantren yang mengisyaratkan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia tidak

melakukan hubungan seksual sesama jenis.

Pandangan yang mengatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual

(9)

“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “

(Komunikasi personal, 18 Mei 2015) Agama Islam juga merupakan agama sampai saat ini tidak mengizinkan adanya pernikahan sesama jenis di rumah ibadahnya. Selain itu, di dalam agama

Islam juga terdapat perintah untuk memasuki agama secara menyeluruh, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an melalui ayat berikut ini :

“ Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara

keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”

(Q.S Al-Baqarah : 208) Maksud dari perintah tersebut adalah bahwa seseorang yang beragama

Islam harus menjalankan setiap perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Jangan sampai memilih untuk hanya patuh pada beberapa perintah lantas melupakan perintah yang lainnya.

Keberadaan ayat yang melarang perilaku seksual sesama jenis, perintah untuk memasuki agama secara penuh, dan larangan untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tercela, serta adanya dorongan-dorongan untuk menyukai sesama jenis, menjadi dasar timbulnya masalah pada diri seorang gay yang beragama Islam

berkaitan dengan religiusitas yang mereka miliki. Masalah yang muncul pada diri seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas adalah adanya konflik antara nilai-nilai keagamaan yang sudah terinternalisasi dengan dorongan

(10)

cenderung menyukai sesama jenis membuat diri mereka mengalami konflik dengan nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi hati nurani dalam diri mereka.

Dilema memang merupakan suatu keadaan yang dialami oleh seorang gay yang beragama Islam. Disatu sisi, ia ingin tetap patuh kepada nilai-nilai dan

peraturan-peraturan agama yang sudah ia hayati dan internalisasikan ke dalam hatinya, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menghindar dari dorongan-dorongan dan hasrat kepada sesama jenisnya. Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan

kenyataan tersebut :

“ Agama. Ini yang bikin aku super galau. Setiap kali nyari di internet, selalu ada kata bunuh bunuh bunuh bunuh dalam islam. Hukumannya kelak juga serem. Banget. Kalo ini jelas masalah iman aku yang goyah, ga kuat,dan masih egois n diisi kebahagiaan duniawi doang. Soalnya aku belum bisa bener2 pergi dari sini.. Walaupun aku udah tau apa konsekuensinya nanti... Itu aja sih paling masalah yang utama.”

(Komunikasi personal, 9 April 2014) Konflik atau pertentangan dan dilema antara hal yang baik dan buruk yang

terjadi di dalam individu dapat disebut juga dengan konflik moral (Syaiful Hamali, 2013). Pada diri seorang gay, yang dimaksud dengan hal yang baik adalah keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama, sedangkan yang

dimaksud dengan hal buruk adalah dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada sesama jenis.

Konflik moral yang terjadi pada diri seseorang dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan (Syaiful Hamali, 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konflik internal

(11)

agama yang telah terinternalisasi dengan dorongan hasrat kepada sesama jenis dapat menentukan sikap keagamaan pada diri gay tersebut. Dengan kata lain,

konflik internal atau moral ini pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay.

Masalah lain yang menimbulkan ketertarikan adalah berkaitan dengan religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay adalah adanya kontra terhadap keberadaan religiusitas pada diri gay itu sendiri, baik yang berasal dari diri si gay

maupun yang berasal dari masyarakat. Yang berasal dari diri seorang gay adalah adanya keresahan apakah ibdahnya diterima tau tidak, seperti yang terlihat dari

kutipan wawancara berikut ini :

“Sering kurang kushu karena berpikir „apa ibadah saya masih diterima‟.

Dan setelah sadar, saya berdoa lebih lama “

(Komunikasi personal, 10 januari 2014) Bentuk kontra yang berasal dari masyarakat adalah bahwa seorang gay

mustahil memiliki religiusitas, seperti yang telihat dalam wawancara sebagai berikut :

“ Ha ? emang mereka punya religiusitas ? kan mereka gay , kayak mana pulak bisa punya religiusitas ?”

(Komunikasi personal, 9 maret 2015)

“Kayaknya gak mungkinlah mereka punya religiusitas, kalo mereka punya religiusitas, gak mungkin mereka jadi gay”

(Komunikasi personal, 9 maret 2015)

Pembicaraan singkat dengan beberapa orang tersebut menunjukkan bahwa

(12)

memiliki religiusitas, karena jika mereka memiliki religiusitas tidak mungkin mereka menjadi gay. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa

religiusitas itu sebenarnya dimiliki oleh setiap orang yang beragama, termasuklah gay yang beragama Islam.

Keberadaan konflik internal atau moral yang pada akhirnya berpengaruh terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay, dan adanya anggapan masyarakat bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas membuat

peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay.

1.2Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Bagaimana latar belakang pemilihan orientasi seksual seorang gay ? 1.2.2 Bagaimanakah religiusitas gay yang beragama Islam sebelum menyadari

sebagai gay, awal menyadari dirinya sebagai gay, dan saat ini menjalankan hidupnya sebagai gay ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pemahaman mengenai

religiusitas pada masing-masing gay yang beragama Islam.

1.4. Manfaat Penelitian

(13)

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah wacana berkaitan dengan gay dan religiusitasnya sehingga mendapatkan pemahaman yang

komprehensif dan juga sebagai bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Bagi partisipan agar memahami bahwa religiusitas dapat mengendalikan diri dari perilaku seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bagi masyarakat, membuka mata masyarakat bahwa kaum gay itu ada dan juga

merupakan bagian dari masyarakat dan bahwa tidak semua gay itu berkonotasi negatif sebab mereka pada dasarnya juga memiliki religiusitas.

1.5. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, dengan sistematika pembagian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah mengenai religiusitas

yang dimiliki oleh seorang gay, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi uraian tentang teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang

(14)

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan tentang alasan mengapa dipergunakannya

pendekatan kualitatif, karakteristik responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian

serta metode analisis data.

BAB IV : Deskripsi Data dan Pembahasan

Bab ini berisi deksripsi data dari hasil analisa data yang telah dilakukan dan berisi pembahasan terhadap data-data tersebut.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Ekstraksi dan Uji Stabilitas Zat Warna Alami dari Daun Jati (Tectona grandis Linn. F.) sebagai Pengganti Pewarna Sintetik Pada Produk Minuman1. Pewarna alami sebagai

[r]

Doolklan aaka pcnotapan lnl dianbil dldalan ddang pomu- eyatsaratan pada harl Rabu, tanggal 3 Aguotus 1977 oloh kanl, J0NA8TI SH» Ilakln, dongan dlhadllrl oleh Hy, M# Soomarto, Panl

Secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mmenyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia

EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Rekapitulasi Hasil Angket dan Wawancara Pandangan Guru Selama Kegiatan Inkuiri Ilmiah Berlangsung... Hasil Uji Prasyarat dan Uji Statistik D.1 Uji Prasyarat

Pembuatan Aplikasi Pembacaan 10 Surat Terpendek Dalam Juz Amma Dengan Menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 merupakan sebuah aplikasi multimedia yang berisi 10 surat juz amma

Sejalan dengan itu maka diizinkan berdirinya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ruang lingkup usahanya meliputi wilayah kecamatan dimana BPR tersebut