RELIGIUSITAS PADA GAY
(STUDI FENOMENOLOGIS PADA GAY YANG BERAGAMA ISLAM)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
ARIANSYAH
111301063
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul “Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis
pada Gay yang Beragama Islam)” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 25 Mei 2015
ABSTRAK
Gay masih menjadi hal kontroversial dan dipandang negatif di dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar menganggap bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas. Namun kenyataannya kaum gay juga memiliki religiusitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay. Selain untuk mengetahui religiusitas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan partisipan menjadi gay. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan para partisipan menjadi gay adalah pengalaman gay di masa lalu (Partisipan pertama dan kedua) dan herediter (Partisipan ketiga). Dalam hal religiusitas, ketiganya memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, peribadatan, pengamalan, pengalaman, dan pengetahuan. Secara umum, keadaan mereka sebagai seorang gay tidak mempengaruhi keimanan dan menganggap bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah maka bisa menghindarkan mereka dari perbuatan negatif. Dan semua partisipan tidak memiliki keinginan untuk menjauh dari agama meskipun tahu bahwa gay menjadi hal yang dipermasalahkan dalam agama Islam.
ABSTRACT
Gay still be controversial and viewed negatively in Indonesian society. Most assume that it is impossible for gay to have religiosity. But in the reality, gays also have religiosity. This study aims to determine how the religiosity that is owned by a gay. In addition to knowing religiosity, this study also aims to determine the factors that led to participants being gay. This study used a qualitative phenomenological method. Participants in this study consists of 3 people. Methods of data collection is done with interviews. Data analysis was performed with data reduction, data presentation, and draw conclusions. These results indicate that the factors that caused the participants being gay is gay experience in the past (the first and second participant) and hereditary (third participant). In terms of religiosity, all of them have a different, includes belief, worship, practice, experience, and knowledge. In general , their situation as a gay does not affect the faith and assume that if they get closer to God then it could avoid them from the negative actions. And all of the participants did not have the desire to move away from religion despite knowing that gay becomes an issue in Islam
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Alah SWT, Tuhan Yang maha
Esa, karena berkat rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
yang berjudul “Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang
Beragama Islam)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan
ujian sarjana Psikologi di Fakultas Psikologis Universitas Sumatera Utara Medan.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Orang tua tercinta
Ayahanda Syahputra Syah dan Ibunda Nurmasiah yang telah memberikan
dorongan semangat sehingga peneliti bisa tetap bersemangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti juga menyampaikann terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu :
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen
pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti dan atas waktu
yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan kasih sayang dan nikmat-Nya kepada Ibu, Amin.
3. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog sebagai dosen pembimbing
akademik. Terimakasih atas nasehat dan bimbingan yang Ibu berikan
4. Terimakasih kepada Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog dan Kak Juliana
Irmayanti Saragih, M.Psi selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah
bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan saran
yang sangat berarti demi penyempurnanna skripsi ini. Semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan kasih sayang dan nikmat-Nya yang tidak
terhingga.
5. Bapak dan Ibu dosen staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang telah
memberikan ilmunya. Semoga ilmu tersebut menjadi amalan yang
pahalanya tidak terputus, amin. Dan semoga peneliti bisa memanfaatkan
ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan, amin.
6. Seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan
banyak bantuan kepada peneliti khususnya dalam hal administrasi.
7. Para partisipan yang terlibat di dalam penelitian ini, yaitu Rudi, Hadi,dan
Willy. Terima kasih telah berpartisipasi, dan atas waktu yang telah
diluangkan selama ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan nikmat
dan rahmat-Nya yang tidak terhingga.
8. Para alumni yang sudah memberikan ilmunya sehingga mempermudah
pengerjaan skripsi ini, yaitu Bang Reza dan Kak Mila.
9. Adik-adik tersayang Indah dan Rizki yang telah memberikan dorongan
semangat sehingga peneliti bisa tetap bersemangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10.Kepada para sahabat yang selalu setia selama ini Habibie, Roni, dan Kikin.
atas bantuan-bantuan yang telah kalian berikan selama berkuliah. Terima
kasih telah memberikan warna dalam kehidupan perkuliahan peneliti.
Semoga persahabatan kita akan terus berlanjut, amin.
11.Kepada adik-adik angkatan yaitu Ari, Fahmi, Faruq, Arif, dan Fauzi yang
juga telah banyak memberikan bantuan kepada peneliti selama ini.
12.Kepada teman-teman angkatan 2011, khususnya Yanade, Okta, Dinda,
Defi, Firman, Bagus dkk. Terima kasih atas kenangan yang tidak akan
terlupakan ini.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati peneliti menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun menjadi hal yang peneliti harapkan. Semoga penelitian ini
bermanfaat bagi peneliti khususnya dan umumnya bagi pembaca serta peneliti
selanjutnya.
Medan, 27 Juli 2015
Peneliti,
Ariansyah
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Pertanyaan Penelitian ... 12
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Manfaat Penelitian ... 12
1.4.1.Manfaat Teoritis ... 12
1.4.2. Manfaat Praktis ... 13
1.5. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1. Religiusitas ... 15
2.1.1. Pengertian Religiusitas ... 15
2.1.2. Dimensi Religiusitas ... 15
2.1.3. Religiusitas dalam Islam ... 17
2.2. Gay ... 19
2.2.1. Pengertian Gay ... 19
2.2.2. Faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi gay ... 20
2.3. Paradigma Teoritis ... 25
2.4. Kerangka Teoritis ... 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 27
3.1. Jenis Penelitian ... 27
3.2. Subjek Penelitian ... 28
3.2.1. Karakteristik Subjek ... 28
3.2.2. Jumlah subjek peneltian ... 28
3.3. Teknik Pengambilan Subjek ... 30
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31
3.5. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 31
3.6. Prosedur Penelitian ... 32
3.6.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 32
3.6.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 33
3.6.3. Tahap Setelah Penelitian ... 33
3.7. Metode Analisa Data ... 34
BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ... 36
A. Deskripsi Data ... 36
1. Partisipan I ... 36
1.1.Deskripsi Data Partisipan I ... 36
1.1.1. Sekilas Kehidupan Rudi ... 36
1.1.2. Sekilas Gambaran Kehidupan Rudi Sebagai Gay ... 38
1.1.4. Religiusitas Rudi di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 50
1.1.5. Religiusitas Rudi Saat ini Sebagai Gay ... 54
1.1.6. Rangkuman Religiusitas Rudi ... 67
2. Partisipan II ... 76
2.1.Deskripsi Data Partisipan II ... 76
2.1.1. Sekilas Kehidupan Hadi ... 76
2.1.2. Gambaran Kehidupan Hadi Sebagai Gay ... 79
2.1.3. Religiusitas Hadi Sebelum Menyadari Sebagai Gay ... 84
2.1.4. Religiusitas Hadi di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 91
2.1.5. Religiusitas Hadi Saat ini Sebagai Gay ... 99
2.1.6. Rangkuman Religiusitas Hadi ... 108
3. Partisipan III ... 122
3.1.Deskripsi Data Partisipan III ... 122
3.1.1. Sekilas Kehidupan Willy ... 122
3.1.2. Gambaran Kehidupan Willy Sebagai Gay ... 125
3.1.3. Religiusitas Willy Sebelum Menyadari Sebagai Gay ... 128
3.1.4. Religiusitas Willy di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 134
3.1.5. Religiusitas Willy Saat ini Sebagai Gay ... 139
3.1.6. Rangkuman Religiusitas Willy ... 148
B. Pembahasan ... 161
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 174
A. Kesimpulan... 174
1. Saran Praktis ... 181
2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 173
DAFTAR PUSTAKA ... 183
DAFTAR LAMPIRAN
A. Pedoman Wawancara ... 186
ABSTRAK
Gay masih menjadi hal kontroversial dan dipandang negatif di dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar menganggap bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas. Namun kenyataannya kaum gay juga memiliki religiusitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay. Selain untuk mengetahui religiusitas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan partisipan menjadi gay. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan para partisipan menjadi gay adalah pengalaman gay di masa lalu (Partisipan pertama dan kedua) dan herediter (Partisipan ketiga). Dalam hal religiusitas, ketiganya memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, peribadatan, pengamalan, pengalaman, dan pengetahuan. Secara umum, keadaan mereka sebagai seorang gay tidak mempengaruhi keimanan dan menganggap bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah maka bisa menghindarkan mereka dari perbuatan negatif. Dan semua partisipan tidak memiliki keinginan untuk menjauh dari agama meskipun tahu bahwa gay menjadi hal yang dipermasalahkan dalam agama Islam.
ABSTRACT
Gay still be controversial and viewed negatively in Indonesian society. Most assume that it is impossible for gay to have religiosity. But in the reality, gays also have religiosity. This study aims to determine how the religiosity that is owned by a gay. In addition to knowing religiosity, this study also aims to determine the factors that led to participants being gay. This study used a qualitative phenomenological method. Participants in this study consists of 3 people. Methods of data collection is done with interviews. Data analysis was performed with data reduction, data presentation, and draw conclusions. These results indicate that the factors that caused the participants being gay is gay experience in the past (the first and second participant) and hereditary (third participant). In terms of religiosity, all of them have a different, includes belief, worship, practice, experience, and knowledge. In general , their situation as a gay does not affect the faith and assume that if they get closer to God then it could avoid them from the negative actions. And all of the participants did not have the desire to move away from religion despite knowing that gay becomes an issue in Islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Fase usia dewasa awal merupakan fase yang menugaskan seorang individu
untuk memilih seorang pasangan yang nantinya akan dibawa ke jenjang hubungan
yang lebih intim yaitu pernikahan Havighurst ( dalam Hurlock, 2004). Seorang
pria umumnya akan mencari pasangan yang berjenis kelamin berbeda dengan
dirinya, yaitu wanita. Namun, kenyataannya ada pria yang mencari pasangan
yang berjenis kelamin sama dengan dirinya, inilah yang disebut dengan gay. Hal
ini sejalan dengan definisi homoseksual menurut Dede Oetomo (2001), yaitu
orang-orang yang orientasi atau pilihan seksnya diwujudkan ataupun tidak,
diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Awalnya gay dianggap sebagai sebuah
gangguan mental , seperti yang tercantum pada buku acuan DSM (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder) edisi pertama yang diterbitkan pada
tahun 1952 menggolongkan gay ke dalam gangguan kepribadian sosiopathik,
yaitu kepribadian yang menyimpang dari norma-norma sosial dan perlu
diperbaiki. Edisi DSM-II, diterbitkan tahun 1968, menghapus gay dari golongan
gangguan sosiopathik, dan sebagai gantinya, dipindahkan ke dalam golongan
Sexual Deviation, yaitu dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks. Selanjutnya
pada DSM-III yang diterbitkan tahun 1973, terjadi perubahan pandangan terhadap
homoseksual, yaitu gay dianggap sebagai gangguan hanya jika orang tersebut
2
dihapuskan dari daftar gangguan mental, yaitu sejak revisi DSM III diterbitkan,
setelah para komite DSM meninjau ulang dan mendapatkan kesimpulan bahwa
perasaan terganggu yang muncul pada diri seorang gay ketika ia pertama kali
menyadari bahwa ia adalah seorang gay merupakan hal yang wajar atau normal.
Dengan kata lain perasaan terganggu pada diri gay itu merupakan hal yang wajar
dan bukan gangguan. Oleh karena itulah sejak diterbitkannya edisi ini, dalam
dunia psikologi, gay tidak lagi dianggap sebagai sebuah gangguan mental.
Keadaan diri sebagai seorang gay pada fase dewasa awal ini, tentunya
sudah melewati sebuah proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan
keputusan menjadi seorang gay yang terjadi pada seorang individu dipengaruhi
oleh 2 faktor, yaitu internal dan juga eksternal. Penelitian yang dilakukan oleh
Sigit Cahyo Nugroho, Dra. Siswati, M.Si, dan Dra. Hastaning Sakti, M.Kes yang
berjudul Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-Laki Usia
Dewasa Awal mendapatkan hasil bahwa pada awalnya, seorang individu gay itu
belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksualnya. Ia hanya
mengikuti perasaannya dan juga menikmati sensasi ketertarikan yang timbul pada
dirinya terhadap sesama jenis, namun ia belum memikiran konsekuensi lanjutan
dari hal tersebut. Perasaan berupa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam
akan diwujudkan dalam bentuk komitmen menjalin hubungan. Ketertarikan secara
fisik maupun seksual, akan berlanjut menjadi keinginan untuk menjalin hubungan
secara intim. Hubungan ini yang kemudian akan menentukan seorang individu
akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai gay atau mengubah orientasi
terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan
sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksualnya sebagai
seorang gay. di samping itu, dari segi eksternal, dukungan dari lingkungan juga
bisa memberikan penguatan bagi seorang gay. Adanya imbalan positif dari
lingkungan berupa adanya dukungan dari pasangan, komunitas sesama gay, dan
material yang didapat dari pasangan, serta dukungan informasi dari peer membuat
seorang gay itu menjadi merasa semakin menikmatiorientasi seksualnya.
Seorang gay yang beragama pada dasarnya juga memiliki religiusitas.
Mangunwijaya (1986) mendeskripsikan religiusitas sebagai sebuah penghayatan
aspek di dalam hati, getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal yang terjadi
pada diri individu. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988)
religiusitas merupakan terjadinya internalisasi agama ke dalam diri seseorang
sebagai wujud dari sikap keberagamaan. Dari kedua definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah penghayatan dan internalisasi
agama ke dalam hati nurani dan sikap personal. Dan berdasarkan definisi tersebut,
dapat dikatakan pula bahwa religiusitas memang dimiliki oleh setiap orang yang
memiliki agama, termasuklah seorang gay.
Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan bahwa seorang gay juga
memiliki religiusitas :
“ Aku sholat loh, puasa juga, pokoknya aku masih takut sama Allah”
(Komunikasi personal, 10 Januari 2014)
4
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay
tersebut terkandung dimensi-dimensi religiusitas, yaitu dimensi keyakinan
(ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman
(eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan
agama (intelektual). Ia yakin akan adanya Tuhan, menjalankan ibadah, memiliki
perasaan dekat kepada Tuhan, memahami konsekuensi jika tidak menaati perintah
Tuhan, dan ia juga memiliki pengetahuan agama, yaitu tentang adanya larangan
terhadap perilaku hubungan seksual sesama jenis. Dimensi-dimensi ini kemudian
saling berhubungan untuk membangun suatu konsep religiusitas pada diri seorang
gay.
Sebuah thread yang ada di forum gay gayindonesia.net juga menunjukkan
bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas. Thread yang dikirim oleh akun
bernama doel tersebut berjudul Berbagi dan Berbuka Puasa Bersama di Panti
Asuhan. Thread tersebut berisikan pengumuman yang berupa undangan untuk
menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus memberikan santunan kepada
anak yatim yang ada di sebuah panti asuhan. Di dalam thread itu juga terdapat
nomor rekening yang bisa digunakan bagi para gay yang ingin memberikan infaq
untuk kemudian disalurkan kepada panti asuhan yang dituju. Hal ini menunjukkan
bahwa meskipun mereka gay, namun mereka juga mengamalkan nilai-nilai
kebaikan yang diperintahkan oleh Tuhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dzulkarnain (2011) juga mendukung
berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, dan hasilnya menunjukkan
bahwa di dunia pesantren juga ditemukan fenomena gay, namun hal tersebut tentu
tidak bisa digeneralisasikan pada semua pesantren. Peneliti menemukan bahwa
diantara para santri ada yang merupakan seorang gay dan jumlahnya juga tidak
sedikit. Di satu sisi, para santri yang gay menjalankan kegiatan pesantren yang
sangat bernuansa agama, namun di sisi lain para santri yang gay tersebut juga
melakukan hubungan seksual sesama jenis. Selain itu, penelitian yang dilakukan
oleh Trubus Raharjo dengan judul Dorongan Seksual dan Kecenderungan
Perilaku Homoseksual pada Santri Remaja di Pesantren juga menunjukkan bukti
bahwa fenomena gay juga terjadi di dunia pesantren. Hasil dari penelitian tersebut
mengatakan bahwa ada hubungan antara dorongan seksual dengan kecenderungan
perilaku homoseksual pada santri remaja di pesantren. Kutipan wawancara dan
penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay yang
beragama terdapat religiusitas.
Membahas religiusitas artinya juga membahas tentang agama. Karena
sesuai dengan definisi religiusitas, yaitu internalisasi agama ke dalam diri
seseorang (Glock & Stark, dalam Dister 1988). Salah satu agama yang melarang
praktek perilaku seksual kaum gay adalah agama Islam. Agama Islam merupakan
agama yang memberikan detil larangan dan bentuk hukuman terhadap perilaku
seksual kaum gay, yaitu melalui ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad
6
“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:
“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu
memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakanatas orang-orang yang diberi peringatan itu”
(Q.S Naml: 54-58)
“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “
(Q.S Al-A’raf : 8)
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”
(Q.S Hud : 82-83)
Hukuman terhadap perbuatan seksual kaum gay juga sudah ditetapkan
dalam agama Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang bentuk
hukumannya. Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para ulama fiqh berbeda pendapat
tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat,
yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum
menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan
yang terakhir dikenakan hukuman ta’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh
sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟i (dalam suatu
dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah
menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:
“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”
Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim
dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya,
akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah
dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama
jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka)
maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.
Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid
dari Ibn Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan
seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam,
berdasarkan hadis Rasulullah :
“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.
Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku
hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat
Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.
Namun di sisi lain, sebenarnya ada beberapa pendapat tentang bagaimana
8
mengatakan bahwa dengan menjadi gay saja itu artinya sudah merupakan
perbuatan dosa. Pandangan yang kedua adalah yang menyatakan bahwa seorang
gay belum tentu berdosa. Jika ia mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan
orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya
dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum
tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini,
sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi
Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom Boellstorff (2010),
yaitu seorang professor di bidang Antropologi di Universitas Stanford dan
Universitas California yang berjudul Antara Agama dan Hasrat : Muslim yang
Gay di Indonesia. Penelitiannya dilakukan di beberapa kota di Indonesia, salah
satunya untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang bagaimana
Islam dalam memandang gay. Dan hasilnya ada yang mengatakan bahwa gay
sudah pasti berdosa. Namun ada pula seorang guru agama di sebuah pesantren
yang mengisyaratkan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia tidak
melakukan hubungan seksual sesama jenis.
Pandangan yang mengatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa
selama ia mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual
dengan sesama jenis juga diungkapkan oleh seorang ustad, beliau mengatakan
“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “
(Komunikasi personal, 18 Mei 2015)
Agama Islam juga merupakan agama sampai saat ini tidak mengizinkan
adanya pernikahan sesama jenis di rumah ibadahnya. Selain itu, di dalam agama
Islam juga terdapat perintah untuk memasuki agama secara menyeluruh, seperti
yang terdapat dalam Al-Qur’an melalui ayat berikut ini :
“ Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
(Q.S Al-Baqarah : 208)
Maksud dari perintah tersebut adalah bahwa seseorang yang beragama
Islam harus menjalankan setiap perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang
telah ditetapkan oleh Tuhan. Jangan sampai memilih untuk hanya patuh pada
beberapa perintah lantas melupakan perintah yang lainnya.
Keberadaan ayat yang melarang perilaku seksual sesama jenis, perintah
untuk memasuki agama secara penuh, dan larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tercela, serta adanya dorongan-dorongan untuk menyukai sesama jenis,
menjadi dasar timbulnya masalah pada diri seorang gay yang beragama Islam
berkaitan dengan religiusitas yang mereka miliki. Masalah yang muncul pada diri
seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas adalah adanya
konflik antara nilai-nilai keagamaan yang sudah terinternalisasi dengan dorongan
seksualnya yang mengarah kepada sesama jenis (Okdinata, 2009). Penelitian
10
cenderung menyukai sesama jenis membuat diri mereka mengalami konflik
dengan nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi hati nurani dalam diri mereka.
Dilema memang merupakan suatu keadaan yang dialami oleh seorang gay
yang beragama Islam. Disatu sisi, ia ingin tetap patuh kepada nilai-nilai dan
peraturan-peraturan agama yang sudah ia hayati dan internalisasikan ke dalam
hatinya, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menghindar dari dorongan-dorongan
dan hasrat kepada sesama jenisnya. Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan
kenyataan tersebut :
“ Agama. Ini yang bikin aku super galau. Setiap kali nyari di internet, selalu ada kata bunuh bunuh bunuh bunuh dalam islam. Hukumannya kelak juga serem. Banget. Kalo ini jelas masalah iman aku yang goyah, ga kuat,dan masih egois n diisi kebahagiaan duniawi doang. Soalnya aku belum bisa bener2 pergi dari sini.. Walaupun aku udah tau apa konsekuensinya nanti... Itu aja sih paling masalah yang utama.”
(Komunikasi personal, 9 April 2014)
Konflik atau pertentangan dan dilema antara hal yang baik dan buruk yang
terjadi di dalam individu dapat disebut juga dengan konflik moral (Syaiful Hamali,
2013). Pada diri seorang gay, yang dimaksud dengan hal yang baik adalah
keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama, sedangkan yang
dimaksud dengan hal buruk adalah dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada
sesama jenis.
Konflik moral yang terjadi pada diri seseorang dapat dianggap sebagai
salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan (Syaiful Hamali, 2013).
Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konflik internal
agama yang telah terinternalisasi dengan dorongan hasrat kepada sesama jenis
dapat menentukan sikap keagamaan pada diri gay tersebut. Dengan kata lain,
konflik internal atau moral ini pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap
religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay.
Masalah lain yang menimbulkan ketertarikan adalah berkaitan dengan
religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay adalah adanya kontra terhadap
keberadaan religiusitas pada diri gay itu sendiri, baik yang berasal dari diri si gay
maupun yang berasal dari masyarakat. Yang berasal dari diri seorang gay adalah
adanya keresahan apakah ibdahnya diterima tau tidak, seperti yang terlihat dari
kutipan wawancara berikut ini :
“Sering kurang kushu karena berpikir „apa ibadah saya masih diterima’. Dan setelah sadar, saya berdoa lebih lama “
(Komunikasi personal, 10 januari 2014)
Bentuk kontra yang berasal dari masyarakat adalah bahwa seorang gay
mustahil memiliki religiusitas, seperti yang telihat dalam wawancara sebagai
berikut :
“ Ha ? emang mereka punya religiusitas ? kan mereka gay , kayak mana pulak bisa punya religiusitas ?”
(Komunikasi personal, 9 maret 2015)
“Kayaknya gak mungkinlah mereka punya religiusitas, kalo mereka punya religiusitas, gak mungkin mereka jadi gay”
(Komunikasi personal, 9 maret 2015)
12
memiliki religiusitas, karena jika mereka memiliki religiusitas tidak mungkin
mereka menjadi gay. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
religiusitas itu sebenarnya dimiliki oleh setiap orang yang beragama, termasuklah
gay yang beragama Islam.
Keberadaan konflik internal atau moral yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay, dan adanya anggapan
masyarakat bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas membuat
peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki
oleh kaum gay.
1.2Pertanyaan Penelitian
1.2.1 Bagaimana latar belakang pemilihan orientasi seksual seorang gay ?
1.2.2 Bagaimanakah religiusitas gay yang beragama Islam sebelum menyadari
sebagai gay, awal menyadari dirinya sebagai gay, dan saat ini menjalankan
hidupnya sebagai gay ?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pemahaman mengenai
religiusitas pada masing-masing gay yang beragama Islam.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah wacana berkaitan
dengan gay dan religiusitasnya sehingga mendapatkan pemahaman yang
komprehensif dan juga sebagai bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Bagi partisipan agar memahami bahwa religiusitas dapat mengendalikan
diri dari perilaku seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bagi
masyarakat, membuka mata masyarakat bahwa kaum gay itu ada dan juga
merupakan bagian dari masyarakat dan bahwa tidak semua gay itu berkonotasi
negatif sebab mereka pada dasarnya juga memiliki religiusitas.
1.5. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, dengan sistematika
pembagian sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah mengenai religiusitas
yang dimiliki oleh seorang gay, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi uraian tentang teori yang mendasari masalah yang menjadi
objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang
14
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan tentang alasan mengapa dipergunakannya
pendekatan kualitatif, karakteristik responden penelitian, metode pengumpulan
data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian
serta metode analisis data.
BAB IV : Deskripsi Data dan Pembahasan
Bab ini berisi deksripsi data dari hasil analisa data yang telah dilakukan
dan berisi pembahasan terhadap data-data tersebut.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Religiusitas
2.1.1 Pengertian Religiusitas
Pengertian atau definisi dari setiap variabel penelitian tentunya akan
berkembang dari tahun ke tahun, demikian pula dengan pengertian atau definisi
dari religiusitas. Religiusitas menurut Mangunwijaya (1986) merupakan aspek
yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan
sikap personal. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988)
religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi
agama ke dalam diri seseorang. Menurut Majid (1997) religiusitas adalah tingkah
laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau
alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris.
Jadi, dalam penelitian ini, pengertian yang dipakai untuk memaknai
religiusitas adalah sebagai suatu penghayatan dan internalisasi ajaran-ajaran
agama ke dalam hati dan sikap personal.
2.1.2 Dimensi Religiusitas
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994), religiusitas
memiliki lima dimensi, yaitu :
1. Dimensi keyakinan (ideologis), dimensi ini berkaitan dengan
16
doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan
yang diharapkan ditaati oleh para penganutnya.
2. Dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi ini berkaitan dengan perilaku
pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh seseorang untuk
menunjukkan komitmennya terhadap agama yang ia anut.
3. Dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi ini berisikan dan
memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung
pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang
yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan
subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir
bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural).
Seperti yang telah dikatakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi
yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok
keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun
kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan
terakhir, dengan otoritas transendental.
4. Dimensi pengetahuan agama (intelektual), dimensi ini berkaitan dengan
harapan bahwa orang-orang yang beragama setidaknya memiliki sejumlah
minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab
suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas
berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan
saja tidak diikuti oleh pengetahuan . Oleh karena itu, seseorang bisa saja
memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agamanya meski memiliki
pengetahuan yang minim tentang agamanya tersebut.
5. Dimensi pengamalan (konsekuensial), konsekuensi komitmen beragama
berbeda dari keempat dimensi lainnya. Dimensi ini mengacu pada
identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan , praktek, pengalaman,
dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ‘kerja’ dalam
pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak
menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak
dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana
konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen
keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
2.1.3 Religiusitas dalam Islam
Menurut Ancok & Suroso (1994), lima dimensi keberagamaan yang
diungkapkan oleh Glock & Stark, jika diterjemahkan ke dalam sudut pandang
Islam, maka hasilnya adalah sebagai berikut :
a. Dimensi keyakinan, bisa disebut juga akidah Islam menunjukkan
bagaimana tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran
ajaran-ajaran agama Islam, terutama terhadap ajaran-ajaran-ajaran-ajaran yang bersifat
fundamental dan dogmatik. Di dalam agama Islam, dimensi ini berkaitan
18
malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan
qadar.
b. Dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk pada
bagaimana tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan
kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diperintahkan oleh agama.
Dalam agama Islam, yang termasuk ke dalam dimensi ini adalah
melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, berzikir, dll.
c. Dimensi pengamalan atau akhlak, menunjukkan bagaimana tingkatan
seorang muslim dalam berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agama
Islam, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama
dengan manusia lain. Dalam kagama Islam, dimensi ini meliputi perilaku
suka menolong, berkerjasama, berderma, menyejahterakan orang lain,
menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga
lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak menipu, tidak mencuri,
mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk
hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.
d. Dimensi pengalaman / penghayatan, menunjuk pada bagimana tingkat
seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan
pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Islam, dimensi ini
terwujud dalam perasaan dekat/akrab dengan Allah Swt, perasaan
doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia karena menuhankan
Allah Swt, perasaan bertawakkal (pasrah diri kepada Allah Swt), perasaan
mendengar azan atau ayat-ayat Al-Qur’an, prasaan bersyukur kepada
Allah Swt, perasaan mendapat peringatan dan pertolongan dari Allah Swt.
e. Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada bagaimana tingkat
pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran
agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya. Dalam
keberislaman, ini meliputi pengetahuan tentang isi Al-Quran,
pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun
Iman), hukum-hukum Islam, dan sebagainya.
2.2 Gay
2.2.1 Pengertian Gay
Gay adalah ketertarikan seksual yang dimiliki oleh pria terhadap jenis
kelamin yang sama (Feldmen,1990). Selain itu, menurut Kendall dan Hammer
(1998), gay bukanlah hanya kontak seksual antara seseorang pria dengan pria,
tetapi juga menyangkut pria yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional,
dan sosial terhadap sesama pria.
Gay menurut Dede Oetomo (2001) merupakan orang-orang yang orientasi
atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan ataupun tidak, diarahkan
pada sesama jenis kelaminnya. Berdasarkan pengertian tersebut berarti
ketertarikan yang muncul bisa secara emosional dan seksual.
Berdasarkan beberapa pengertian yang disebutkan sebelumnya dapat
20
kepada pria, dan ketertarikan yang muncul tersebut semata-mata bukan hanya
dalam hal perilaku seksual saja, melainkan juga yang masih berwujud emosional /
belum dilanjutkan ke dalam bentuk perilaku.
2.2.2 Faktor yang Dapat Menyebabkan Individu Menjadi Gay
Menurut Kartono (1989) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
individu menjadi seorang gay, yaitu :
a. Faktor herediter.
Akibat adanya ketidakseimbangan hormon-hormon seks selama masa
kehamilan Ibu.
b. Lingkungan.
Ada pengaruh yang buruk dari lingkungan yang membahayakan
kematangan seksual yang normal.
c. Pengalaman gay di masa lalu.
Seseorang bisa saja mencari kepuasan melalui hubungan gay karena ia
telah pernah menghayati pengalaman gay yang menggairahkan di masa
lalu.
d. Pengalaman traumatis.
Seorang anak laki-laki yang mempunyai pengalaman traumatis dengan
ibunya bisa membuat timbulnya rasa kebencian atau antipati terhadap
ibunya dan akhirnya digeneralisasikan kepada seluruh wanita sehingga
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Dzulkarnain (2011) ,
salah satu penyebab seseorang menjadi gay adalah karena situasi tempat tinggal
yang mengharuskan mereka hidup terpisah dari pergaulan dengan wanita selama
bertahun-tahun.
2.3 Pandangan Islam terhadap Gay Ditinjau dari Perilakunya
Berdasarkan observasi, pada kenyataannya, ternyata ada beberapa kondisi
gay ditinjau dari bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai gay. Salah
satunya adalah kondisi gay yang aktif dalam menjalankan kehidupannya sebagai
gay, yaitu dengan menjalin hubungan dengan sesama jenis, mengajak dan
memperbolehkan melakukan hubungan seksual sesama jenis. Di sisi lain, ternyata
ada gay dengan kondisi yang berbeda, yaitu gay yang menganggap bahwa
keadaannya sebagai gay merupakan cobaan yang harus dijalani, sehingga dalam
kehidupannya ia tidak mau menjalin hubungan sesama jenis dan juga tidak mau
melakukan hubungan seksual sesama jenis, serta berusaha agar tidak ada yang
mengetahui orientasinya sebagai gay.
Kondisi yang pertama, yaitu gay yang mau menjalin hubungan dengan
sesama jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Pandangan
Islam terhadap kondisi ini adalah yang secara mutlak menganggap gay seperti itu
22
“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:
“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu
memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakanatas orang-orang yang diberi peringatan itu”
(Q.S Naml: 54-58)
“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “
(Q.S Al-A’raf : 8)
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”
(Q.S Hud : 82-83)
Berdasarkan pandangan dari ayat Al-Qur’an tersebut,maka ditetapkanlah
hukuman bagi para pelaku perilaku seksual gay, yaitu Sabiq (1981) menjelaskan
bahwa para para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku
hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak,
dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum menikah, ia harus didera, bila
pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman
ta’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin
para pelaku hubungan seksual sesama jenis dikenakan hukum bunuh, baik ia
seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar
hukumnya adalah hadis Rasulullah:
“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”
Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim
dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya,
akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah
dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama
jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka)
maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.
Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid
dari Ibnu Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan
seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam,
berdasarkan hadis Rasulullah :
“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.
Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku
hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat
24
Pandangan Islam terhadap kondisi yang kedua, yaitu gay yang bersabar
dengan orientasinya, tidak mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, apalagi
melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, adalah gay tersebut belum
tentu berdosa. Menurut seorang ustad yang diwawancarai oleh peneliti, Jika
seorang gay mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam
bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya dan jika ia mau
dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa
bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja
di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi Allah SWT
dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.
“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “
2.3. Paradigma Teoritis
Peribadatan Pengamalan Pengalaman Pengetahuan
26
2.4. Kerangka Teoritis
Religiusitas Remaja Awal
Memilih pasangan untuk dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim Dimiliki oleh
orang yang beragama
Kenyataannya ada yang dengan sesama jenis Seharusnya dengan
lawan jenis
Terjadi konflik antara keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama dengan dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada
sesama jenis Masyarakat
menganggap gay tidak memiliki
religiusitas
Mempengaruhi religiusitas
Jadi bagaimanakah sebenarnya religiusitas
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam
mengenai religiusitas pada gay yang beragama Islam. Untuk mendapatkan hasil
dari penelitian ini, diperlukan adanya prosedur yang relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti. Berdasarkan tujuan dari penelitian tersebut maka metodologi
penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
3.1 Jenis Penelitian
Peneliti bermaksud ingin mengetahui gambaran yang mendalam tentang
religiusitas pada gay. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif. Alasan penggunaan metode kualitatif adalah karena
metode penelitian kualitatif itu merupakan metode penelitian yang membuat
peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi
berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut. (Poerwandari, 2007). Jenis
penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologis.
Penelitian fenomenologis adalah penelitian yang menekankan pada pengalaman
manusia dan bagaimana pengalaman tersebut diinterpretasi olehnya (Moleong,
28
3.2 Subjek Penelitian
3.2.1 Karakteristik Subjek
Pemilihan subjek untuk penelitian ini didasarkan pada karekteristik
tertentu, yaiu :
1. Seorang pria yang telah mengidentifikasi bahwa dirinya seorang gay.
2. Menganut agama Islam.
3.2.2 Jumlah Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) partisipan yang telah sesuai dengan
karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya. Jumlah subjek yang sedikit ini
sesuai dengan ciri penelitian kualitatif yang tidak menekankan kuantitas,
melainkan pada kualitas. Selain itu juga karena fenomena yang diangkat juga
cukup spesifik. Hal tersebut sama seperti yang ciri penelitian kualitatif yang
diungkapkan oleh Saratakos dalam (Poerwandari, 2007), yaitu (a) tidak diarahkan
sampel yang berjumlah besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai yang
sesuai dengan kekhususan masalah penelitian, (b) penentuannya tidak secara kaku
sejak awal, namun dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik
sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang didapat/berkembang
selama penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau
peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.
Partisipan pertama dalam penelitian ini memiliki nama samaran Rudi,
dengan sesama jenisnya dan melakukan kontak fisik dengan sesama jenisnya
Jenis kelamin saudara kandung Anak kedua = Laki- Laki Anak Ketiga = Perempuan Kedekatan dengan Orang Tua Ibu
Pekerjaan Orang tua Ayah = Dokter Gigi Ibu = Dokter Gigi
Pendidikan Terakhir S1
Pekerjaan Mahasiswa
Menyadari Sebagai Gay pada saat 15 Tahun
Pemicu Pernah memiliki teman laki-laki yang
sangat perhatian dengannya
Partisipan kedua dalam penelitian ini memiliki nama samaran Hadi. Dalam
menjalankan kehidupan gaynya, Hadi mau menjalin hubungan dengan sesama
jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Berikut ini adalah
beberapa data tentang Hadi :
Perihal Data Partisipan
Nama Samaran Hadi
Usia 20 Tahun
Anak ke 9 dari 9 Bersaudara
Jenis Kelain Saudara Kandung Anak Pertama = Perempuan Anak Kedua = Laki-Laki Anak Ketiga = Perempuan Anak Keempat = Perempuan Anak Kelima = Laki-Laki Anak Keenam = Perempuan Anak Ketujuh = Laki- Laki Anak Kedelapan = Laki-Laki Kedekatan dengan Orang Tua Ibu
30
Ibu = Petani
Pendidikan Terakhir SMA
Pekerjaan Mahasiswa dan Penari Tradisional
Menyadari Sebagai Gay pada saat 13 Tahun
Pemicu Pernah mengalami pelecehan seksual
ketika kecil
Partisipan ketiga dalam penelitian ini memiliki nama samaran Willy.
Dalam menjalankan kehidupan gaynya, Willy tidak mau menjalin hubungan
dengan sesama jenis, apalagi melakukan hubungan seksual dengan sesama
jenisnya. Berikut ini adalah beberapa data tentang Willy :
Perihal Data Partisipan
Nama Samaran Willy
Usia 23 Tahun
Anak ke 1 dari 3 Bersaudara
Jenis Kelamin Saudara Kandung Anak Kedua = Perempuan Anak Ketiga = Laki-Laki Kedekatan dengan Orang Tua Ibu
Pekerjaan Orang Tua Wiraswasta (Ayah), Ibu Rumah Tangga (Ibu)
Pendidikan Terakhir S1
Pekerjaan -
Menyadari Sebagai Gay pada saat 16 Tahun
Pemicu Genetik
3.3 Teknik Pengambilan Subjek
Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan cara purposive
sampling dan snowball sampling. Teknik purposive sampling maksudnya adalah
subjek yang dicari adalah yang sesuai dengan karakteristik yang sudah disebutkan
(Poerwandari, 2007) adalah teknik pengambilan subjek dengan cara meminta
informasi dari subjek sebelumnya untuk mendapatkan subjek selanjutnya.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data di dalam penelitian ini adalah wawancara.
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan gabungan antara
wawancara informal dan wawancara pedoman umum. Menurut Patton (dalam
Poerwandari, 2007) wawancara informal dapat dipahami sebagai wawancara yang
pertanyaan-pertannyaannya berkembang secara spontan dalam situasi alamiah.
Sedangkan wawancara dengan pedoman umum adalah wawancara yang
dilengkapi dengan pedoman yang umum, dan mencantumkan isu-isu yang ingin
dibahas tanpa sesuai dengan kerangka teori yang digunakan. Selain wawancara,
penelitian ini juga melakukan observasi untuk mendapatkan data tambahan.
3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data
Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan sebagai pengingat agar peneliti tidak lupa
atau melewatkan masalah-masalah yang ingin dibahas. Selain itu agar
wawancara berjalan sesuai dengan urutan yang telah direncanakan.
2. Alat Perekam
Penggunaan alat perekam ini akan sangat memudahkan peneliti dalam
32
kesalahpahaman peneliti karena jika ada keraguan peneliti bisa memutar
ulang pembicaraan. Namun penggunaan alat perekam ini tentunya harus
sudah mendapat izin dari subjek.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Tahap Persiapan Penelitian
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah :
1. Memahami fenomena yang diteliti melalui teori-teori yang telah didapat.
2. Mengumpulkan teori-teori yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti.
3. Membuat pedoman wawancara yang disesuaikan dengan teori yang telah
digunakan. Tujuannya adalah agar wawancara yang akan dilakukan tidak
melebar ke arah yang tidak berkaitan dengan fenomena tersebut.
4. Melakukan persiapan pengumpulan data, yaitu mencari subjek yang sesuai
dengan kriteria.
5. Membangun rapport dengan calon subjek, tujuannya agar tercipta trust
pada diri subjek kepada peneliti.
6. Jika calon subjek telah bersedia menjadi subjek, maka selanjutnya adalah
3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Hal-hal yang dilakukan pada tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Mengonfirmasi ulang jadwal wawacara.
Hal ini berkaitan dengan waktu dan temapt wawancara. Konfirmasi ulang
ini dilakukan pada dua hari sebelum tanggal yang ditetapkan. Tujuan dari
konfirmasi ulang ini adalah untuk memastikan bahwa baik subjek maupun
peneliti dapat hadir.
2. Melakukan wawancara.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti akan meminta subjek untuk
menandatangani “Lembar Informed Consent”. Lembar tersebut tujuannya
untuk memastikan subjek mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab
pertanyaan yang diajukan, mengerti akan haknya untuk mengundurkan diri
dari penelitian, serta memahami bahwa hasil penelitian ini adalah rahasia
dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu peneliti
akan bertanya kepada subjek apakah wawancara ini boleh direkam atau
tidak, jika boleh maka akan direkam, dan jika tidak maka peneliti tidak
akan merekam.
3.6.3 Tahap Setelah Penelitian
Hal-hal yang dilakukan setelah penelitian berlangsung adalah :
34
Verbatim ini dibuat dengan cara memutar kembali wawancara yang telah
dilakukan.
2. Melakukan analisa data.
Proses yang ada dalam tahap ini adalah pengkodingan, merekonstruksi
data, dan merumuskannya ke dalam Bab IV.
3. Menarik kesimpulan.
Pada tahap ini peneliti akan membuat kesimpulan yang didapat dari
penelitian ini.
4. Membuat diskusi dan saran.
Setelah membuat kesimpulan, peneliti kemudian akan membuat diskusi
berdasarkan kesimpulan tersebut. kemudian membuat saran-saran yang
sesuai dengan kesimpulan yang didapat serta saran untuk peneliti
selanjutnya.
3.7 Metode Analisa Data
Analisa data menurut Patton dalam (Moleong, 2000) merupakan proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategorisasi, dann
satuan uraian dasar. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sesuai dengan konsep Miles dann Huberman (1992), yaitu model
interactive model yang mengelompokkan analisa data ke dalam tiga langkah
a. Reduksi data (data reduction) , dalam tahap ini, peneliti menulis ulang
hasil wawancara dengan melakuakan penyederhanaan data berdasarkan
pada data yang dibutuhkan oleh peneliti.
b. Penyajian data (display data), di tahap ini peneliti menyajikan data yang
sudah disederhanakan dalam benuk paparan deskriptif agar lebih mudah
dipahami.
c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi, pada tahap ini peneliti menarik
BAB IV
DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini memaparkan deskripsi data yang merupakan hasil dari analisa
data wawancara yang telah dilakukan selama pengambilan data penelitian. Hasil
yang didapat dari penelitian ini dianalisa per-partisipan agar dapat memperjelas
gambaran religiusitas pada gay yang beragama Islam.
A. Deskripsi Data
1. Partisipan I
1.1. Deskripsi Data Partisipan I
1.1.1. Sekilas Kehidupan Rudi
Rudi adalah sulung dari tiga bersaudara. Ia berasal dari keluarga yang
lumayan mapan dalam hal keuangan. Ayah dan ibunya berprofesi sebagai dokter
gigi. Di masa kecil, Rudi dan orangtuanya tinggal di salah satu kota di Propinsi
Kepualauan Riau.
Rudi kecil merupakan anak yang sangat tertutup kepada orang lain yang
belum ia kenal. Ia hanya mau berbicara kepada orang tuanya, adiknya, dan
teman-teman dekatnya, bahkan kepada saudaranya yang lain saja ia cuek. Jadi bagi orang
asing atau yang belum ia kenal, jangan berharap mendapatkan keramahan dari
dirinya.
Orang tua Rudi ketika ia masih di usia TK dan SD bisa dikatakan
teman-temannya. Sepulang sekolah ia langsung dijemput untuk pulang ke rumah.
Jika tetap ingin bermain, sebagai gantinya, teman-temannyalah yang disuruh
datang ke rumahnya.
Keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan yang tidak menyenangkan
bagi dirinya. Dan selayaknya anak kecil lainnya dalam keadaan itu, Rudi pernah
sesekali mencoba keluar rumah secara diam-diam agar dapat bermain bersama
teman-temannya. Namun keberaniannya tersebut sering berujung pada terjadinya
pelampiasan amarah dari sang ayah. Dalam melampiaskan amarah, ayah Rudi
sering memukul. Hal inilah yang membuat Rudi semakin kurang nyaman dengan
ayahnya. Ayah Rudi memang sangat mengekang padahal Ibunya sebenarnya
masih mau memberikan kelonggaran. Alasan orang tua Rudi mengekang adalah
agar Rudi tidak ikut-ikutan menjadi anak yang nakal.
Hubungan Rudi memang lebih dekat ke sang Ibu, ia lebih suka
mencurahkan isi hatinya kepada sang Ibu. Ia suka mencurahkan isi hati, bercerita
banyak hal, dna bertukar pikiran kepada Ibunya. Sebaliknya, Ia tidak suka
melakukan hal-hal tersebut dengan sang ayah. Alasannya karena sang ayah
nantinya bukan menenangkan namun justru marah-marah.
Kehidupan sekolah Rudi terasa diwarnai oleh dua hal yang sangat kontras,
yaitu kebahagiaan dan kegembiraan. Rudi merupakan murid yang tidak pernah
melawan guru, dan sering diuji-puji oleh guru. Hal ini tentunya merupakan hal
yang menyenangkan. Namun di sisi lain, kebahagiaan yang ia alami itu justru
laki-38
lakinya. Akhirnya Rudi menjadi sering dibully oleh teman laki-lakinya di sekolah.
Bentuk bully yang ia alami beragam, mulai dari sebatas ejekan, hingga kontak
fisik berupa semacam senggolan.
Respon Rudi tiap kali mendapatkan perlakuan tidak menyenagkan itu
adalah hanya diam, namun lama-kelamaan jika sudah tak tahan, barulah Rudi
berkelahi dengan temannya tersebut. Bahkan ia tidak segan berkelahi hingga
berdarah.
Seiring berjalannya waktu, orang tua Rudi mulai memberikan kelonggaran
kepada Rudi. Rudi sudah mulai boleh bermain keluar rumah pada saat SMP.
Alasannya karena ternyata ketakutan-ketakutan orang tuanya selama ini tidak
terbukti, dan juga karena semakin banyaknya aktivitas ekstrakurikuler yang
diikuti Rudi yang mengharuskan Rudi untuk keluar rumah.
1.1.2. Gambaran Kehidupan Rudi Sebagai Gay
Sekolah Menengah Atas merupakan masa awal mula perasaan suka pada
sesama jenis muncul dalam diri Rudi. Pada saat itu mulai terjadi gejolak pada diri
Rudi. Yang menjadi pemicu munculnya perasaan suka dan cinta kepada sesama
jenis itu adalah ketika tinggal di asrama ia bertemu dengan seorang laki-laki yang
sangat perhatian kepadanya yaitu Feri (nama samaran).
Feri yang mengajarkan Rudi untuk bisa terbuka dengan orang lain. Feri
telah berhasil mengubah pola pikir Rudi dalam waktu 6 bulan. Feri sering
bersama dengan teman asrama yang lain, ke mesjid dan menyuruhnya menjadi
imam. Hal-hal seperti itulah yang mengikis kesukaan Rudi pada kesendirian. Dan
menurut Rudi , saat ini ia justru sangat tidak nyaman jika sendirian dan memilih
untuk pergi ke rumah temannya. Intnya berkat Feri, kini Rudi mulai bisa terbuka
pada orang lain.
Feri memang telah membawa perubahan pada diri Rudi, namun meskipun
begitu ternyata dalam kehidupan sehari-hari di masa SMA itu, Rudi sering cuek,
dingin, dan menjaga image kepada Feri. Namun semua itu hanya pura-pura ia
lakukan karena terkadang ia sendiri merasa risih dengan perilaku Feri yang terlalu
bergembira jika sedang bersamanya. Feri sering terlalu berlebihan kepada Rudi. Ia
tidak segan-segan menunjukkan antusiasme dirinya pada Rudi dihadapan banyak
orang, misalnya selalu mengikutnya ke kantin, meminta dibelikan ini dan itu, dan
lain-lain. Hal inilah yang membuat Rudi merasa risih dan tidak nyaman sehingga
ia berusaha untuk bersikap cuek agar perlakuan Feri berkurang.
Rudi, meskipun ia dingin kepada Feri, namun di saat sedang tidak bersama
dengan Feri, Rudi justru merasakan suatu perasaan yang aneh, yaitu perasaan
kehilangan. Ia merasa kangen dan merindukan hal-hal aneh yang dilakukan oleh
Feri. Perasaan ini muncul misalnya jika ketika pulang sekolah ia tidak melihat
Feri, dan ketika Feri sedang mudik ke rumah keluarganya.
Rudi akhirnya menyadari bahwa ia telah jatuh hati kepada Feri. Namun, ia
hanya memendam perasaannya. Di saat itulah ia mulai menyadari bahwa dirinya