• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

RELIGIUSITAS PADA GAY

(STUDI FENOMENOLOGIS PADA GAY YANG BERAGAMA ISLAM)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

ARIANSYAH

111301063

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul “Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis

pada Gay yang Beragama Islam)” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 25 Mei 2015

(4)

ABSTRAK

Gay masih menjadi hal kontroversial dan dipandang negatif di dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar menganggap bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas. Namun kenyataannya kaum gay juga memiliki religiusitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay. Selain untuk mengetahui religiusitas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan partisipan menjadi gay. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan para partisipan menjadi gay adalah pengalaman gay di masa lalu (Partisipan pertama dan kedua) dan herediter (Partisipan ketiga). Dalam hal religiusitas, ketiganya memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, peribadatan, pengamalan, pengalaman, dan pengetahuan. Secara umum, keadaan mereka sebagai seorang gay tidak mempengaruhi keimanan dan menganggap bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah maka bisa menghindarkan mereka dari perbuatan negatif. Dan semua partisipan tidak memiliki keinginan untuk menjauh dari agama meskipun tahu bahwa gay menjadi hal yang dipermasalahkan dalam agama Islam.

(5)

ABSTRACT

Gay still be controversial and viewed negatively in Indonesian society. Most assume that it is impossible for gay to have religiosity. But in the reality, gays also have religiosity. This study aims to determine how the religiosity that is owned by a gay. In addition to knowing religiosity, this study also aims to determine the factors that led to participants being gay. This study used a qualitative phenomenological method. Participants in this study consists of 3 people. Methods of data collection is done with interviews. Data analysis was performed with data reduction, data presentation, and draw conclusions. These results indicate that the factors that caused the participants being gay is gay experience in the past (the first and second participant) and hereditary (third participant). In terms of religiosity, all of them have a different, includes belief, worship, practice, experience, and knowledge. In general , their situation as a gay does not affect the faith and assume that if they get closer to God then it could avoid them from the negative actions. And all of the participants did not have the desire to move away from religion despite knowing that gay becomes an issue in Islam

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Alah SWT, Tuhan Yang maha

Esa, karena berkat rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

yang berjudul “Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang

Beragama Islam)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan

ujian sarjana Psikologi di Fakultas Psikologis Universitas Sumatera Utara Medan.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Orang tua tercinta

Ayahanda Syahputra Syah dan Ibunda Nurmasiah yang telah memberikan

dorongan semangat sehingga peneliti bisa tetap bersemangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti juga menyampaikann terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen

pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti dan atas waktu

yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam

penyusunan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa

melimpahkan kasih sayang dan nikmat-Nya kepada Ibu, Amin.

3. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog sebagai dosen pembimbing

akademik. Terimakasih atas nasehat dan bimbingan yang Ibu berikan

(7)

4. Terimakasih kepada Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog dan Kak Juliana

Irmayanti Saragih, M.Psi selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah

bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan saran

yang sangat berarti demi penyempurnanna skripsi ini. Semoga Allah SWT

senantiasa melimpahkan kasih sayang dan nikmat-Nya yang tidak

terhingga.

5. Bapak dan Ibu dosen staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang telah

memberikan ilmunya. Semoga ilmu tersebut menjadi amalan yang

pahalanya tidak terputus, amin. Dan semoga peneliti bisa memanfaatkan

ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan, amin.

6. Seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan

banyak bantuan kepada peneliti khususnya dalam hal administrasi.

7. Para partisipan yang terlibat di dalam penelitian ini, yaitu Rudi, Hadi,dan

Willy. Terima kasih telah berpartisipasi, dan atas waktu yang telah

diluangkan selama ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan nikmat

dan rahmat-Nya yang tidak terhingga.

8. Para alumni yang sudah memberikan ilmunya sehingga mempermudah

pengerjaan skripsi ini, yaitu Bang Reza dan Kak Mila.

9. Adik-adik tersayang Indah dan Rizki yang telah memberikan dorongan

semangat sehingga peneliti bisa tetap bersemangat dalam menyelesaikan

skripsi ini.

10.Kepada para sahabat yang selalu setia selama ini Habibie, Roni, dan Kikin.

(8)

atas bantuan-bantuan yang telah kalian berikan selama berkuliah. Terima

kasih telah memberikan warna dalam kehidupan perkuliahan peneliti.

Semoga persahabatan kita akan terus berlanjut, amin.

11.Kepada adik-adik angkatan yaitu Ari, Fahmi, Faruq, Arif, dan Fauzi yang

juga telah banyak memberikan bantuan kepada peneliti selama ini.

12.Kepada teman-teman angkatan 2011, khususnya Yanade, Okta, Dinda,

Defi, Firman, Bagus dkk. Terima kasih atas kenangan yang tidak akan

terlupakan ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati peneliti menyadari bahwa

skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun menjadi hal yang peneliti harapkan. Semoga penelitian ini

bermanfaat bagi peneliti khususnya dan umumnya bagi pembaca serta peneliti

selanjutnya.

Medan, 27 Juli 2015

Peneliti,

Ariansyah

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1.Manfaat Teoritis ... 12

1.4.2. Manfaat Praktis ... 13

1.5. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Religiusitas ... 15

2.1.1. Pengertian Religiusitas ... 15

2.1.2. Dimensi Religiusitas ... 15

2.1.3. Religiusitas dalam Islam ... 17

2.2. Gay ... 19

2.2.1. Pengertian Gay ... 19

2.2.2. Faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi gay ... 20

(10)

2.3. Paradigma Teoritis ... 25

2.4. Kerangka Teoritis ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Jenis Penelitian ... 27

3.2. Subjek Penelitian ... 28

3.2.1. Karakteristik Subjek ... 28

3.2.2. Jumlah subjek peneltian ... 28

3.3. Teknik Pengambilan Subjek ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.5. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 31

3.6. Prosedur Penelitian ... 32

3.6.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 32

3.6.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 33

3.6.3. Tahap Setelah Penelitian ... 33

3.7. Metode Analisa Data ... 34

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Deskripsi Data ... 36

1. Partisipan I ... 36

1.1.Deskripsi Data Partisipan I ... 36

1.1.1. Sekilas Kehidupan Rudi ... 36

1.1.2. Sekilas Gambaran Kehidupan Rudi Sebagai Gay ... 38

(11)

1.1.4. Religiusitas Rudi di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 50

1.1.5. Religiusitas Rudi Saat ini Sebagai Gay ... 54

1.1.6. Rangkuman Religiusitas Rudi ... 67

2. Partisipan II ... 76

2.1.Deskripsi Data Partisipan II ... 76

2.1.1. Sekilas Kehidupan Hadi ... 76

2.1.2. Gambaran Kehidupan Hadi Sebagai Gay ... 79

2.1.3. Religiusitas Hadi Sebelum Menyadari Sebagai Gay ... 84

2.1.4. Religiusitas Hadi di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 91

2.1.5. Religiusitas Hadi Saat ini Sebagai Gay ... 99

2.1.6. Rangkuman Religiusitas Hadi ... 108

3. Partisipan III ... 122

3.1.Deskripsi Data Partisipan III ... 122

3.1.1. Sekilas Kehidupan Willy ... 122

3.1.2. Gambaran Kehidupan Willy Sebagai Gay ... 125

3.1.3. Religiusitas Willy Sebelum Menyadari Sebagai Gay ... 128

3.1.4. Religiusitas Willy di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 134

3.1.5. Religiusitas Willy Saat ini Sebagai Gay ... 139

3.1.6. Rangkuman Religiusitas Willy ... 148

B. Pembahasan ... 161

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 174

A. Kesimpulan... 174

(12)

1. Saran Praktis ... 181

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 173

DAFTAR PUSTAKA ... 183

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Pedoman Wawancara ... 186

(14)

ABSTRAK

Gay masih menjadi hal kontroversial dan dipandang negatif di dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar menganggap bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas. Namun kenyataannya kaum gay juga memiliki religiusitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay. Selain untuk mengetahui religiusitas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan partisipan menjadi gay. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan para partisipan menjadi gay adalah pengalaman gay di masa lalu (Partisipan pertama dan kedua) dan herediter (Partisipan ketiga). Dalam hal religiusitas, ketiganya memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, peribadatan, pengamalan, pengalaman, dan pengetahuan. Secara umum, keadaan mereka sebagai seorang gay tidak mempengaruhi keimanan dan menganggap bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah maka bisa menghindarkan mereka dari perbuatan negatif. Dan semua partisipan tidak memiliki keinginan untuk menjauh dari agama meskipun tahu bahwa gay menjadi hal yang dipermasalahkan dalam agama Islam.

(15)

ABSTRACT

Gay still be controversial and viewed negatively in Indonesian society. Most assume that it is impossible for gay to have religiosity. But in the reality, gays also have religiosity. This study aims to determine how the religiosity that is owned by a gay. In addition to knowing religiosity, this study also aims to determine the factors that led to participants being gay. This study used a qualitative phenomenological method. Participants in this study consists of 3 people. Methods of data collection is done with interviews. Data analysis was performed with data reduction, data presentation, and draw conclusions. These results indicate that the factors that caused the participants being gay is gay experience in the past (the first and second participant) and hereditary (third participant). In terms of religiosity, all of them have a different, includes belief, worship, practice, experience, and knowledge. In general , their situation as a gay does not affect the faith and assume that if they get closer to God then it could avoid them from the negative actions. And all of the participants did not have the desire to move away from religion despite knowing that gay becomes an issue in Islam

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Fase usia dewasa awal merupakan fase yang menugaskan seorang individu

untuk memilih seorang pasangan yang nantinya akan dibawa ke jenjang hubungan

yang lebih intim yaitu pernikahan Havighurst ( dalam Hurlock, 2004). Seorang

pria umumnya akan mencari pasangan yang berjenis kelamin berbeda dengan

dirinya, yaitu wanita. Namun, kenyataannya ada pria yang mencari pasangan

yang berjenis kelamin sama dengan dirinya, inilah yang disebut dengan gay. Hal

ini sejalan dengan definisi homoseksual menurut Dede Oetomo (2001), yaitu

orang-orang yang orientasi atau pilihan seksnya diwujudkan ataupun tidak,

diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Awalnya gay dianggap sebagai sebuah

gangguan mental , seperti yang tercantum pada buku acuan DSM (Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorder) edisi pertama yang diterbitkan pada

tahun 1952 menggolongkan gay ke dalam gangguan kepribadian sosiopathik,

yaitu kepribadian yang menyimpang dari norma-norma sosial dan perlu

diperbaiki. Edisi DSM-II, diterbitkan tahun 1968, menghapus gay dari golongan

gangguan sosiopathik, dan sebagai gantinya, dipindahkan ke dalam golongan

Sexual Deviation, yaitu dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks. Selanjutnya

pada DSM-III yang diterbitkan tahun 1973, terjadi perubahan pandangan terhadap

homoseksual, yaitu gay dianggap sebagai gangguan hanya jika orang tersebut

(17)

2

dihapuskan dari daftar gangguan mental, yaitu sejak revisi DSM III diterbitkan,

setelah para komite DSM meninjau ulang dan mendapatkan kesimpulan bahwa

perasaan terganggu yang muncul pada diri seorang gay ketika ia pertama kali

menyadari bahwa ia adalah seorang gay merupakan hal yang wajar atau normal.

Dengan kata lain perasaan terganggu pada diri gay itu merupakan hal yang wajar

dan bukan gangguan. Oleh karena itulah sejak diterbitkannya edisi ini, dalam

dunia psikologi, gay tidak lagi dianggap sebagai sebuah gangguan mental.

Keadaan diri sebagai seorang gay pada fase dewasa awal ini, tentunya

sudah melewati sebuah proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan

keputusan menjadi seorang gay yang terjadi pada seorang individu dipengaruhi

oleh 2 faktor, yaitu internal dan juga eksternal. Penelitian yang dilakukan oleh

Sigit Cahyo Nugroho, Dra. Siswati, M.Si, dan Dra. Hastaning Sakti, M.Kes yang

berjudul Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-Laki Usia

Dewasa Awal mendapatkan hasil bahwa pada awalnya, seorang individu gay itu

belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksualnya. Ia hanya

mengikuti perasaannya dan juga menikmati sensasi ketertarikan yang timbul pada

dirinya terhadap sesama jenis, namun ia belum memikiran konsekuensi lanjutan

dari hal tersebut. Perasaan berupa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam

akan diwujudkan dalam bentuk komitmen menjalin hubungan. Ketertarikan secara

fisik maupun seksual, akan berlanjut menjadi keinginan untuk menjalin hubungan

secara intim. Hubungan ini yang kemudian akan menentukan seorang individu

akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai gay atau mengubah orientasi

(18)

terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan

sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksualnya sebagai

seorang gay. di samping itu, dari segi eksternal, dukungan dari lingkungan juga

bisa memberikan penguatan bagi seorang gay. Adanya imbalan positif dari

lingkungan berupa adanya dukungan dari pasangan, komunitas sesama gay, dan

material yang didapat dari pasangan, serta dukungan informasi dari peer membuat

seorang gay itu menjadi merasa semakin menikmatiorientasi seksualnya.

Seorang gay yang beragama pada dasarnya juga memiliki religiusitas.

Mangunwijaya (1986) mendeskripsikan religiusitas sebagai sebuah penghayatan

aspek di dalam hati, getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal yang terjadi

pada diri individu. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988)

religiusitas merupakan terjadinya internalisasi agama ke dalam diri seseorang

sebagai wujud dari sikap keberagamaan. Dari kedua definisi tersebut dapat

dikatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah penghayatan dan internalisasi

agama ke dalam hati nurani dan sikap personal. Dan berdasarkan definisi tersebut,

dapat dikatakan pula bahwa religiusitas memang dimiliki oleh setiap orang yang

memiliki agama, termasuklah seorang gay.

Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan bahwa seorang gay juga

memiliki religiusitas :

“ Aku sholat loh, puasa juga, pokoknya aku masih takut sama Allah”

(Komunikasi personal, 10 Januari 2014)

(19)

4

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay

tersebut terkandung dimensi-dimensi religiusitas, yaitu dimensi keyakinan

(ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman

(eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan

agama (intelektual). Ia yakin akan adanya Tuhan, menjalankan ibadah, memiliki

perasaan dekat kepada Tuhan, memahami konsekuensi jika tidak menaati perintah

Tuhan, dan ia juga memiliki pengetahuan agama, yaitu tentang adanya larangan

terhadap perilaku hubungan seksual sesama jenis. Dimensi-dimensi ini kemudian

saling berhubungan untuk membangun suatu konsep religiusitas pada diri seorang

gay.

Sebuah thread yang ada di forum gay gayindonesia.net juga menunjukkan

bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas. Thread yang dikirim oleh akun

bernama doel tersebut berjudul Berbagi dan Berbuka Puasa Bersama di Panti

Asuhan. Thread tersebut berisikan pengumuman yang berupa undangan untuk

menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus memberikan santunan kepada

anak yatim yang ada di sebuah panti asuhan. Di dalam thread itu juga terdapat

nomor rekening yang bisa digunakan bagi para gay yang ingin memberikan infaq

untuk kemudian disalurkan kepada panti asuhan yang dituju. Hal ini menunjukkan

bahwa meskipun mereka gay, namun mereka juga mengamalkan nilai-nilai

kebaikan yang diperintahkan oleh Tuhan.

Penelitian yang dilakukan oleh Dzulkarnain (2011) juga mendukung

(20)

berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, dan hasilnya menunjukkan

bahwa di dunia pesantren juga ditemukan fenomena gay, namun hal tersebut tentu

tidak bisa digeneralisasikan pada semua pesantren. Peneliti menemukan bahwa

diantara para santri ada yang merupakan seorang gay dan jumlahnya juga tidak

sedikit. Di satu sisi, para santri yang gay menjalankan kegiatan pesantren yang

sangat bernuansa agama, namun di sisi lain para santri yang gay tersebut juga

melakukan hubungan seksual sesama jenis. Selain itu, penelitian yang dilakukan

oleh Trubus Raharjo dengan judul Dorongan Seksual dan Kecenderungan

Perilaku Homoseksual pada Santri Remaja di Pesantren juga menunjukkan bukti

bahwa fenomena gay juga terjadi di dunia pesantren. Hasil dari penelitian tersebut

mengatakan bahwa ada hubungan antara dorongan seksual dengan kecenderungan

perilaku homoseksual pada santri remaja di pesantren. Kutipan wawancara dan

penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay yang

beragama terdapat religiusitas.

Membahas religiusitas artinya juga membahas tentang agama. Karena

sesuai dengan definisi religiusitas, yaitu internalisasi agama ke dalam diri

seseorang (Glock & Stark, dalam Dister 1988). Salah satu agama yang melarang

praktek perilaku seksual kaum gay adalah agama Islam. Agama Islam merupakan

agama yang memberikan detil larangan dan bentuk hukuman terhadap perilaku

seksual kaum gay, yaitu melalui ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad

(21)

6

“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu

memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakanatas orang-orang yang diberi peringatan itu”

(Q.S Naml: 54-58)

“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

(Q.S Al-A’raf : 8)

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”

(Q.S Hud : 82-83)

Hukuman terhadap perbuatan seksual kaum gay juga sudah ditetapkan

dalam agama Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang bentuk

hukumannya. Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para ulama fiqh berbeda pendapat

tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat,

yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum

menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan

yang terakhir dikenakan hukuman ta’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh

sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟i (dalam suatu

(22)

dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah

menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:

“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”

Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim

dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya,

akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah

dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama

jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka)

maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya

adalah sabda Rasulullah SAW :

“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid

dari Ibn Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan

seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam,

berdasarkan hadis Rasulullah :

“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku

hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat

Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.

Namun di sisi lain, sebenarnya ada beberapa pendapat tentang bagaimana

(23)

8

mengatakan bahwa dengan menjadi gay saja itu artinya sudah merupakan

perbuatan dosa. Pandangan yang kedua adalah yang menyatakan bahwa seorang

gay belum tentu berdosa. Jika ia mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan

orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya

dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum

tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini,

sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi

Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom Boellstorff (2010),

yaitu seorang professor di bidang Antropologi di Universitas Stanford dan

Universitas California yang berjudul Antara Agama dan Hasrat : Muslim yang

Gay di Indonesia. Penelitiannya dilakukan di beberapa kota di Indonesia, salah

satunya untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang bagaimana

Islam dalam memandang gay. Dan hasilnya ada yang mengatakan bahwa gay

sudah pasti berdosa. Namun ada pula seorang guru agama di sebuah pesantren

yang mengisyaratkan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia tidak

melakukan hubungan seksual sesama jenis.

Pandangan yang mengatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa

selama ia mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual

dengan sesama jenis juga diungkapkan oleh seorang ustad, beliau mengatakan

(24)

“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “

(Komunikasi personal, 18 Mei 2015)

Agama Islam juga merupakan agama sampai saat ini tidak mengizinkan

adanya pernikahan sesama jenis di rumah ibadahnya. Selain itu, di dalam agama

Islam juga terdapat perintah untuk memasuki agama secara menyeluruh, seperti

yang terdapat dalam Al-Qur’an melalui ayat berikut ini :

“ Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”

(Q.S Al-Baqarah : 208)

Maksud dari perintah tersebut adalah bahwa seseorang yang beragama

Islam harus menjalankan setiap perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang

telah ditetapkan oleh Tuhan. Jangan sampai memilih untuk hanya patuh pada

beberapa perintah lantas melupakan perintah yang lainnya.

Keberadaan ayat yang melarang perilaku seksual sesama jenis, perintah

untuk memasuki agama secara penuh, dan larangan untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tercela, serta adanya dorongan-dorongan untuk menyukai sesama jenis,

menjadi dasar timbulnya masalah pada diri seorang gay yang beragama Islam

berkaitan dengan religiusitas yang mereka miliki. Masalah yang muncul pada diri

seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas adalah adanya

konflik antara nilai-nilai keagamaan yang sudah terinternalisasi dengan dorongan

seksualnya yang mengarah kepada sesama jenis (Okdinata, 2009). Penelitian

(25)

10

cenderung menyukai sesama jenis membuat diri mereka mengalami konflik

dengan nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi hati nurani dalam diri mereka.

Dilema memang merupakan suatu keadaan yang dialami oleh seorang gay

yang beragama Islam. Disatu sisi, ia ingin tetap patuh kepada nilai-nilai dan

peraturan-peraturan agama yang sudah ia hayati dan internalisasikan ke dalam

hatinya, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menghindar dari dorongan-dorongan

dan hasrat kepada sesama jenisnya. Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan

kenyataan tersebut :

“ Agama. Ini yang bikin aku super galau. Setiap kali nyari di internet, selalu ada kata bunuh bunuh bunuh bunuh dalam islam. Hukumannya kelak juga serem. Banget. Kalo ini jelas masalah iman aku yang goyah, ga kuat,dan masih egois n diisi kebahagiaan duniawi doang. Soalnya aku belum bisa bener2 pergi dari sini.. Walaupun aku udah tau apa konsekuensinya nanti... Itu aja sih paling masalah yang utama.”

(Komunikasi personal, 9 April 2014)

Konflik atau pertentangan dan dilema antara hal yang baik dan buruk yang

terjadi di dalam individu dapat disebut juga dengan konflik moral (Syaiful Hamali,

2013). Pada diri seorang gay, yang dimaksud dengan hal yang baik adalah

keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama, sedangkan yang

dimaksud dengan hal buruk adalah dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada

sesama jenis.

Konflik moral yang terjadi pada diri seseorang dapat dianggap sebagai

salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan (Syaiful Hamali, 2013).

Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konflik internal

(26)

agama yang telah terinternalisasi dengan dorongan hasrat kepada sesama jenis

dapat menentukan sikap keagamaan pada diri gay tersebut. Dengan kata lain,

konflik internal atau moral ini pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap

religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay.

Masalah lain yang menimbulkan ketertarikan adalah berkaitan dengan

religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay adalah adanya kontra terhadap

keberadaan religiusitas pada diri gay itu sendiri, baik yang berasal dari diri si gay

maupun yang berasal dari masyarakat. Yang berasal dari diri seorang gay adalah

adanya keresahan apakah ibdahnya diterima tau tidak, seperti yang terlihat dari

kutipan wawancara berikut ini :

“Sering kurang kushu karena berpikir „apa ibadah saya masih diterima’. Dan setelah sadar, saya berdoa lebih lama “

(Komunikasi personal, 10 januari 2014)

Bentuk kontra yang berasal dari masyarakat adalah bahwa seorang gay

mustahil memiliki religiusitas, seperti yang telihat dalam wawancara sebagai

berikut :

“ Ha ? emang mereka punya religiusitas ? kan mereka gay , kayak mana pulak bisa punya religiusitas ?”

(Komunikasi personal, 9 maret 2015)

“Kayaknya gak mungkinlah mereka punya religiusitas, kalo mereka punya religiusitas, gak mungkin mereka jadi gay”

(Komunikasi personal, 9 maret 2015)

(27)

12

memiliki religiusitas, karena jika mereka memiliki religiusitas tidak mungkin

mereka menjadi gay. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa

religiusitas itu sebenarnya dimiliki oleh setiap orang yang beragama, termasuklah

gay yang beragama Islam.

Keberadaan konflik internal atau moral yang pada akhirnya berpengaruh

terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay, dan adanya anggapan

masyarakat bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas membuat

peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki

oleh kaum gay.

1.2Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Bagaimana latar belakang pemilihan orientasi seksual seorang gay ?

1.2.2 Bagaimanakah religiusitas gay yang beragama Islam sebelum menyadari

sebagai gay, awal menyadari dirinya sebagai gay, dan saat ini menjalankan

hidupnya sebagai gay ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pemahaman mengenai

religiusitas pada masing-masing gay yang beragama Islam.

1.4. Manfaat Penelitian

(28)

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah wacana berkaitan

dengan gay dan religiusitasnya sehingga mendapatkan pemahaman yang

komprehensif dan juga sebagai bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Bagi partisipan agar memahami bahwa religiusitas dapat mengendalikan

diri dari perilaku seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bagi

masyarakat, membuka mata masyarakat bahwa kaum gay itu ada dan juga

merupakan bagian dari masyarakat dan bahwa tidak semua gay itu berkonotasi

negatif sebab mereka pada dasarnya juga memiliki religiusitas.

1.5. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, dengan sistematika

pembagian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah mengenai religiusitas

yang dimiliki oleh seorang gay, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi uraian tentang teori yang mendasari masalah yang menjadi

objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang

(29)

14

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan tentang alasan mengapa dipergunakannya

pendekatan kualitatif, karakteristik responden penelitian, metode pengumpulan

data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian

serta metode analisis data.

BAB IV : Deskripsi Data dan Pembahasan

Bab ini berisi deksripsi data dari hasil analisa data yang telah dilakukan

dan berisi pembahasan terhadap data-data tersebut.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Religiusitas

2.1.1 Pengertian Religiusitas

Pengertian atau definisi dari setiap variabel penelitian tentunya akan

berkembang dari tahun ke tahun, demikian pula dengan pengertian atau definisi

dari religiusitas. Religiusitas menurut Mangunwijaya (1986) merupakan aspek

yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan

sikap personal. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988)

religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi

agama ke dalam diri seseorang. Menurut Majid (1997) religiusitas adalah tingkah

laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau

alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris.

Jadi, dalam penelitian ini, pengertian yang dipakai untuk memaknai

religiusitas adalah sebagai suatu penghayatan dan internalisasi ajaran-ajaran

agama ke dalam hati dan sikap personal.

2.1.2 Dimensi Religiusitas

Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994), religiusitas

memiliki lima dimensi, yaitu :

1. Dimensi keyakinan (ideologis), dimensi ini berkaitan dengan

(31)

16

doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan

yang diharapkan ditaati oleh para penganutnya.

2. Dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi ini berkaitan dengan perilaku

pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh seseorang untuk

menunjukkan komitmennya terhadap agama yang ia anut.

3. Dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi ini berisikan dan

memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung

pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang

yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan

subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir

bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural).

Seperti yang telah dikatakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman

keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi

yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok

keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun

kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan

terakhir, dengan otoritas transendental.

4. Dimensi pengetahuan agama (intelektual), dimensi ini berkaitan dengan

harapan bahwa orang-orang yang beragama setidaknya memiliki sejumlah

minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab

suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas

berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan

(32)

saja tidak diikuti oleh pengetahuan . Oleh karena itu, seseorang bisa saja

memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agamanya meski memiliki

pengetahuan yang minim tentang agamanya tersebut.

5. Dimensi pengamalan (konsekuensial), konsekuensi komitmen beragama

berbeda dari keempat dimensi lainnya. Dimensi ini mengacu pada

identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan , praktek, pengalaman,

dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ‘kerja’ dalam

pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak

menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak

dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana

konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen

keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

2.1.3 Religiusitas dalam Islam

Menurut Ancok & Suroso (1994), lima dimensi keberagamaan yang

diungkapkan oleh Glock & Stark, jika diterjemahkan ke dalam sudut pandang

Islam, maka hasilnya adalah sebagai berikut :

a. Dimensi keyakinan, bisa disebut juga akidah Islam menunjukkan

bagaimana tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran

ajaran-ajaran agama Islam, terutama terhadap ajaran-ajaran-ajaran-ajaran yang bersifat

fundamental dan dogmatik. Di dalam agama Islam, dimensi ini berkaitan

(33)

18

malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan

qadar.

b. Dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk pada

bagaimana tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan

kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diperintahkan oleh agama.

Dalam agama Islam, yang termasuk ke dalam dimensi ini adalah

melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, berzikir, dll.

c. Dimensi pengamalan atau akhlak, menunjukkan bagaimana tingkatan

seorang muslim dalam berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agama

Islam, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama

dengan manusia lain. Dalam kagama Islam, dimensi ini meliputi perilaku

suka menolong, berkerjasama, berderma, menyejahterakan orang lain,

menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga

lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak menipu, tidak mencuri,

mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk

hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

d. Dimensi pengalaman / penghayatan, menunjuk pada bagimana tingkat

seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan

pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Islam, dimensi ini

terwujud dalam perasaan dekat/akrab dengan Allah Swt, perasaan

doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia karena menuhankan

Allah Swt, perasaan bertawakkal (pasrah diri kepada Allah Swt), perasaan

(34)

mendengar azan atau ayat-ayat Al-Qur’an, prasaan bersyukur kepada

Allah Swt, perasaan mendapat peringatan dan pertolongan dari Allah Swt.

e. Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada bagaimana tingkat

pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran

agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya. Dalam

keberislaman, ini meliputi pengetahuan tentang isi Al-Quran,

pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun

Iman), hukum-hukum Islam, dan sebagainya.

2.2 Gay

2.2.1 Pengertian Gay

Gay adalah ketertarikan seksual yang dimiliki oleh pria terhadap jenis

kelamin yang sama (Feldmen,1990). Selain itu, menurut Kendall dan Hammer

(1998), gay bukanlah hanya kontak seksual antara seseorang pria dengan pria,

tetapi juga menyangkut pria yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional,

dan sosial terhadap sesama pria.

Gay menurut Dede Oetomo (2001) merupakan orang-orang yang orientasi

atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan ataupun tidak, diarahkan

pada sesama jenis kelaminnya. Berdasarkan pengertian tersebut berarti

ketertarikan yang muncul bisa secara emosional dan seksual.

Berdasarkan beberapa pengertian yang disebutkan sebelumnya dapat

(35)

20

kepada pria, dan ketertarikan yang muncul tersebut semata-mata bukan hanya

dalam hal perilaku seksual saja, melainkan juga yang masih berwujud emosional /

belum dilanjutkan ke dalam bentuk perilaku.

2.2.2 Faktor yang Dapat Menyebabkan Individu Menjadi Gay

Menurut Kartono (1989) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan

individu menjadi seorang gay, yaitu :

a. Faktor herediter.

Akibat adanya ketidakseimbangan hormon-hormon seks selama masa

kehamilan Ibu.

b. Lingkungan.

Ada pengaruh yang buruk dari lingkungan yang membahayakan

kematangan seksual yang normal.

c. Pengalaman gay di masa lalu.

Seseorang bisa saja mencari kepuasan melalui hubungan gay karena ia

telah pernah menghayati pengalaman gay yang menggairahkan di masa

lalu.

d. Pengalaman traumatis.

Seorang anak laki-laki yang mempunyai pengalaman traumatis dengan

ibunya bisa membuat timbulnya rasa kebencian atau antipati terhadap

ibunya dan akhirnya digeneralisasikan kepada seluruh wanita sehingga

(36)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Dzulkarnain (2011) ,

salah satu penyebab seseorang menjadi gay adalah karena situasi tempat tinggal

yang mengharuskan mereka hidup terpisah dari pergaulan dengan wanita selama

bertahun-tahun.

2.3 Pandangan Islam terhadap Gay Ditinjau dari Perilakunya

Berdasarkan observasi, pada kenyataannya, ternyata ada beberapa kondisi

gay ditinjau dari bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai gay. Salah

satunya adalah kondisi gay yang aktif dalam menjalankan kehidupannya sebagai

gay, yaitu dengan menjalin hubungan dengan sesama jenis, mengajak dan

memperbolehkan melakukan hubungan seksual sesama jenis. Di sisi lain, ternyata

ada gay dengan kondisi yang berbeda, yaitu gay yang menganggap bahwa

keadaannya sebagai gay merupakan cobaan yang harus dijalani, sehingga dalam

kehidupannya ia tidak mau menjalin hubungan sesama jenis dan juga tidak mau

melakukan hubungan seksual sesama jenis, serta berusaha agar tidak ada yang

mengetahui orientasinya sebagai gay.

Kondisi yang pertama, yaitu gay yang mau menjalin hubungan dengan

sesama jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Pandangan

Islam terhadap kondisi ini adalah yang secara mutlak menganggap gay seperti itu

(37)

22

“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu

memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakanatas orang-orang yang diberi peringatan itu”

(Q.S Naml: 54-58)

“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

(Q.S Al-A’raf : 8)

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”

(Q.S Hud : 82-83)

Berdasarkan pandangan dari ayat Al-Qur’an tersebut,maka ditetapkanlah

hukuman bagi para pelaku perilaku seksual gay, yaitu Sabiq (1981) menjelaskan

bahwa para para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku

hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak,

dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum menikah, ia harus didera, bila

pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman

ta’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin

(38)

para pelaku hubungan seksual sesama jenis dikenakan hukum bunuh, baik ia

seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar

hukumnya adalah hadis Rasulullah:

“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”

Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim

dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya,

akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah

dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama

jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka)

maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya

adalah sabda Rasulullah SAW :

“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid

dari Ibnu Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan

seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam,

berdasarkan hadis Rasulullah :

“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku

hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat

(39)

24

Pandangan Islam terhadap kondisi yang kedua, yaitu gay yang bersabar

dengan orientasinya, tidak mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, apalagi

melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, adalah gay tersebut belum

tentu berdosa. Menurut seorang ustad yang diwawancarai oleh peneliti, Jika

seorang gay mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam

bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya dan jika ia mau

dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa

bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja

di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi Allah SWT

dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.

“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “

(40)

2.3. Paradigma Teoritis

Peribadatan Pengamalan Pengalaman Pengetahuan

(41)

26

2.4. Kerangka Teoritis

Religiusitas Remaja Awal

Memilih pasangan untuk dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim Dimiliki oleh

orang yang beragama

Kenyataannya ada yang dengan sesama jenis Seharusnya dengan

lawan jenis

Terjadi konflik antara keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama dengan dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada

sesama jenis Masyarakat

menganggap gay tidak memiliki

religiusitas

Mempengaruhi religiusitas

Jadi bagaimanakah sebenarnya religiusitas

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam

mengenai religiusitas pada gay yang beragama Islam. Untuk mendapatkan hasil

dari penelitian ini, diperlukan adanya prosedur yang relevan dengan permasalahan

yang akan diteliti. Berdasarkan tujuan dari penelitian tersebut maka metodologi

penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Peneliti bermaksud ingin mengetahui gambaran yang mendalam tentang

religiusitas pada gay. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode kualitatif. Alasan penggunaan metode kualitatif adalah karena

metode penelitian kualitatif itu merupakan metode penelitian yang membuat

peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi

berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut. (Poerwandari, 2007). Jenis

penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologis.

Penelitian fenomenologis adalah penelitian yang menekankan pada pengalaman

manusia dan bagaimana pengalaman tersebut diinterpretasi olehnya (Moleong,

(43)

28

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Karakteristik Subjek

Pemilihan subjek untuk penelitian ini didasarkan pada karekteristik

tertentu, yaiu :

1. Seorang pria yang telah mengidentifikasi bahwa dirinya seorang gay.

2. Menganut agama Islam.

3.2.2 Jumlah Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) partisipan yang telah sesuai dengan

karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya. Jumlah subjek yang sedikit ini

sesuai dengan ciri penelitian kualitatif yang tidak menekankan kuantitas,

melainkan pada kualitas. Selain itu juga karena fenomena yang diangkat juga

cukup spesifik. Hal tersebut sama seperti yang ciri penelitian kualitatif yang

diungkapkan oleh Saratakos dalam (Poerwandari, 2007), yaitu (a) tidak diarahkan

sampel yang berjumlah besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai yang

sesuai dengan kekhususan masalah penelitian, (b) penentuannya tidak secara kaku

sejak awal, namun dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik

sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang didapat/berkembang

selama penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau

peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.

Partisipan pertama dalam penelitian ini memiliki nama samaran Rudi,

(44)

dengan sesama jenisnya dan melakukan kontak fisik dengan sesama jenisnya

Jenis kelamin saudara kandung Anak kedua = Laki- Laki Anak Ketiga = Perempuan Kedekatan dengan Orang Tua Ibu

Pekerjaan Orang tua Ayah = Dokter Gigi Ibu = Dokter Gigi

Pendidikan Terakhir S1

Pekerjaan Mahasiswa

Menyadari Sebagai Gay pada saat 15 Tahun

Pemicu Pernah memiliki teman laki-laki yang

sangat perhatian dengannya

Partisipan kedua dalam penelitian ini memiliki nama samaran Hadi. Dalam

menjalankan kehidupan gaynya, Hadi mau menjalin hubungan dengan sesama

jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Berikut ini adalah

beberapa data tentang Hadi :

Perihal Data Partisipan

Nama Samaran Hadi

Usia 20 Tahun

Anak ke 9 dari 9 Bersaudara

Jenis Kelain Saudara Kandung Anak Pertama = Perempuan Anak Kedua = Laki-Laki Anak Ketiga = Perempuan Anak Keempat = Perempuan Anak Kelima = Laki-Laki Anak Keenam = Perempuan Anak Ketujuh = Laki- Laki Anak Kedelapan = Laki-Laki Kedekatan dengan Orang Tua Ibu

(45)

30

Ibu = Petani

Pendidikan Terakhir SMA

Pekerjaan Mahasiswa dan Penari Tradisional

Menyadari Sebagai Gay pada saat 13 Tahun

Pemicu Pernah mengalami pelecehan seksual

ketika kecil

Partisipan ketiga dalam penelitian ini memiliki nama samaran Willy.

Dalam menjalankan kehidupan gaynya, Willy tidak mau menjalin hubungan

dengan sesama jenis, apalagi melakukan hubungan seksual dengan sesama

jenisnya. Berikut ini adalah beberapa data tentang Willy :

Perihal Data Partisipan

Nama Samaran Willy

Usia 23 Tahun

Anak ke 1 dari 3 Bersaudara

Jenis Kelamin Saudara Kandung Anak Kedua = Perempuan Anak Ketiga = Laki-Laki Kedekatan dengan Orang Tua Ibu

Pekerjaan Orang Tua Wiraswasta (Ayah), Ibu Rumah Tangga (Ibu)

Pendidikan Terakhir S1

Pekerjaan -

Menyadari Sebagai Gay pada saat 16 Tahun

Pemicu Genetik

3.3 Teknik Pengambilan Subjek

Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan cara purposive

sampling dan snowball sampling. Teknik purposive sampling maksudnya adalah

subjek yang dicari adalah yang sesuai dengan karakteristik yang sudah disebutkan

(46)

(Poerwandari, 2007) adalah teknik pengambilan subjek dengan cara meminta

informasi dari subjek sebelumnya untuk mendapatkan subjek selanjutnya.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data di dalam penelitian ini adalah wawancara.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan gabungan antara

wawancara informal dan wawancara pedoman umum. Menurut Patton (dalam

Poerwandari, 2007) wawancara informal dapat dipahami sebagai wawancara yang

pertanyaan-pertannyaannya berkembang secara spontan dalam situasi alamiah.

Sedangkan wawancara dengan pedoman umum adalah wawancara yang

dilengkapi dengan pedoman yang umum, dan mencantumkan isu-isu yang ingin

dibahas tanpa sesuai dengan kerangka teori yang digunakan. Selain wawancara,

penelitian ini juga melakukan observasi untuk mendapatkan data tambahan.

3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan sebagai pengingat agar peneliti tidak lupa

atau melewatkan masalah-masalah yang ingin dibahas. Selain itu agar

wawancara berjalan sesuai dengan urutan yang telah direncanakan.

2. Alat Perekam

Penggunaan alat perekam ini akan sangat memudahkan peneliti dalam

(47)

32

kesalahpahaman peneliti karena jika ada keraguan peneliti bisa memutar

ulang pembicaraan. Namun penggunaan alat perekam ini tentunya harus

sudah mendapat izin dari subjek.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Tahap Persiapan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah :

1. Memahami fenomena yang diteliti melalui teori-teori yang telah didapat.

2. Mengumpulkan teori-teori yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti.

3. Membuat pedoman wawancara yang disesuaikan dengan teori yang telah

digunakan. Tujuannya adalah agar wawancara yang akan dilakukan tidak

melebar ke arah yang tidak berkaitan dengan fenomena tersebut.

4. Melakukan persiapan pengumpulan data, yaitu mencari subjek yang sesuai

dengan kriteria.

5. Membangun rapport dengan calon subjek, tujuannya agar tercipta trust

pada diri subjek kepada peneliti.

6. Jika calon subjek telah bersedia menjadi subjek, maka selanjutnya adalah

(48)

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan pada tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai

berikut :

1. Mengonfirmasi ulang jadwal wawacara.

Hal ini berkaitan dengan waktu dan temapt wawancara. Konfirmasi ulang

ini dilakukan pada dua hari sebelum tanggal yang ditetapkan. Tujuan dari

konfirmasi ulang ini adalah untuk memastikan bahwa baik subjek maupun

peneliti dapat hadir.

2. Melakukan wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti akan meminta subjek untuk

menandatangani “Lembar Informed Consent”. Lembar tersebut tujuannya

untuk memastikan subjek mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab

pertanyaan yang diajukan, mengerti akan haknya untuk mengundurkan diri

dari penelitian, serta memahami bahwa hasil penelitian ini adalah rahasia

dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu peneliti

akan bertanya kepada subjek apakah wawancara ini boleh direkam atau

tidak, jika boleh maka akan direkam, dan jika tidak maka peneliti tidak

akan merekam.

3.6.3 Tahap Setelah Penelitian

Hal-hal yang dilakukan setelah penelitian berlangsung adalah :

(49)

34

Verbatim ini dibuat dengan cara memutar kembali wawancara yang telah

dilakukan.

2. Melakukan analisa data.

Proses yang ada dalam tahap ini adalah pengkodingan, merekonstruksi

data, dan merumuskannya ke dalam Bab IV.

3. Menarik kesimpulan.

Pada tahap ini peneliti akan membuat kesimpulan yang didapat dari

penelitian ini.

4. Membuat diskusi dan saran.

Setelah membuat kesimpulan, peneliti kemudian akan membuat diskusi

berdasarkan kesimpulan tersebut. kemudian membuat saran-saran yang

sesuai dengan kesimpulan yang didapat serta saran untuk peneliti

selanjutnya.

3.7 Metode Analisa Data

Analisa data menurut Patton dalam (Moleong, 2000) merupakan proses

mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategorisasi, dann

satuan uraian dasar. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sesuai dengan konsep Miles dann Huberman (1992), yaitu model

interactive model yang mengelompokkan analisa data ke dalam tiga langkah

(50)

a. Reduksi data (data reduction) , dalam tahap ini, peneliti menulis ulang

hasil wawancara dengan melakuakan penyederhanaan data berdasarkan

pada data yang dibutuhkan oleh peneliti.

b. Penyajian data (display data), di tahap ini peneliti menyajikan data yang

sudah disederhanakan dalam benuk paparan deskriptif agar lebih mudah

dipahami.

c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi, pada tahap ini peneliti menarik

(51)

BAB IV

DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini memaparkan deskripsi data yang merupakan hasil dari analisa

data wawancara yang telah dilakukan selama pengambilan data penelitian. Hasil

yang didapat dari penelitian ini dianalisa per-partisipan agar dapat memperjelas

gambaran religiusitas pada gay yang beragama Islam.

A. Deskripsi Data

1. Partisipan I

1.1. Deskripsi Data Partisipan I

1.1.1. Sekilas Kehidupan Rudi

Rudi adalah sulung dari tiga bersaudara. Ia berasal dari keluarga yang

lumayan mapan dalam hal keuangan. Ayah dan ibunya berprofesi sebagai dokter

gigi. Di masa kecil, Rudi dan orangtuanya tinggal di salah satu kota di Propinsi

Kepualauan Riau.

Rudi kecil merupakan anak yang sangat tertutup kepada orang lain yang

belum ia kenal. Ia hanya mau berbicara kepada orang tuanya, adiknya, dan

teman-teman dekatnya, bahkan kepada saudaranya yang lain saja ia cuek. Jadi bagi orang

asing atau yang belum ia kenal, jangan berharap mendapatkan keramahan dari

dirinya.

Orang tua Rudi ketika ia masih di usia TK dan SD bisa dikatakan

(52)

teman-temannya. Sepulang sekolah ia langsung dijemput untuk pulang ke rumah.

Jika tetap ingin bermain, sebagai gantinya, teman-temannyalah yang disuruh

datang ke rumahnya.

Keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan yang tidak menyenangkan

bagi dirinya. Dan selayaknya anak kecil lainnya dalam keadaan itu, Rudi pernah

sesekali mencoba keluar rumah secara diam-diam agar dapat bermain bersama

teman-temannya. Namun keberaniannya tersebut sering berujung pada terjadinya

pelampiasan amarah dari sang ayah. Dalam melampiaskan amarah, ayah Rudi

sering memukul. Hal inilah yang membuat Rudi semakin kurang nyaman dengan

ayahnya. Ayah Rudi memang sangat mengekang padahal Ibunya sebenarnya

masih mau memberikan kelonggaran. Alasan orang tua Rudi mengekang adalah

agar Rudi tidak ikut-ikutan menjadi anak yang nakal.

Hubungan Rudi memang lebih dekat ke sang Ibu, ia lebih suka

mencurahkan isi hatinya kepada sang Ibu. Ia suka mencurahkan isi hati, bercerita

banyak hal, dna bertukar pikiran kepada Ibunya. Sebaliknya, Ia tidak suka

melakukan hal-hal tersebut dengan sang ayah. Alasannya karena sang ayah

nantinya bukan menenangkan namun justru marah-marah.

Kehidupan sekolah Rudi terasa diwarnai oleh dua hal yang sangat kontras,

yaitu kebahagiaan dan kegembiraan. Rudi merupakan murid yang tidak pernah

melawan guru, dan sering diuji-puji oleh guru. Hal ini tentunya merupakan hal

yang menyenangkan. Namun di sisi lain, kebahagiaan yang ia alami itu justru

(53)

laki-38

lakinya. Akhirnya Rudi menjadi sering dibully oleh teman laki-lakinya di sekolah.

Bentuk bully yang ia alami beragam, mulai dari sebatas ejekan, hingga kontak

fisik berupa semacam senggolan.

Respon Rudi tiap kali mendapatkan perlakuan tidak menyenagkan itu

adalah hanya diam, namun lama-kelamaan jika sudah tak tahan, barulah Rudi

berkelahi dengan temannya tersebut. Bahkan ia tidak segan berkelahi hingga

berdarah.

Seiring berjalannya waktu, orang tua Rudi mulai memberikan kelonggaran

kepada Rudi. Rudi sudah mulai boleh bermain keluar rumah pada saat SMP.

Alasannya karena ternyata ketakutan-ketakutan orang tuanya selama ini tidak

terbukti, dan juga karena semakin banyaknya aktivitas ekstrakurikuler yang

diikuti Rudi yang mengharuskan Rudi untuk keluar rumah.

1.1.2. Gambaran Kehidupan Rudi Sebagai Gay

Sekolah Menengah Atas merupakan masa awal mula perasaan suka pada

sesama jenis muncul dalam diri Rudi. Pada saat itu mulai terjadi gejolak pada diri

Rudi. Yang menjadi pemicu munculnya perasaan suka dan cinta kepada sesama

jenis itu adalah ketika tinggal di asrama ia bertemu dengan seorang laki-laki yang

sangat perhatian kepadanya yaitu Feri (nama samaran).

Feri yang mengajarkan Rudi untuk bisa terbuka dengan orang lain. Feri

telah berhasil mengubah pola pikir Rudi dalam waktu 6 bulan. Feri sering

(54)

bersama dengan teman asrama yang lain, ke mesjid dan menyuruhnya menjadi

imam. Hal-hal seperti itulah yang mengikis kesukaan Rudi pada kesendirian. Dan

menurut Rudi , saat ini ia justru sangat tidak nyaman jika sendirian dan memilih

untuk pergi ke rumah temannya. Intnya berkat Feri, kini Rudi mulai bisa terbuka

pada orang lain.

Feri memang telah membawa perubahan pada diri Rudi, namun meskipun

begitu ternyata dalam kehidupan sehari-hari di masa SMA itu, Rudi sering cuek,

dingin, dan menjaga image kepada Feri. Namun semua itu hanya pura-pura ia

lakukan karena terkadang ia sendiri merasa risih dengan perilaku Feri yang terlalu

bergembira jika sedang bersamanya. Feri sering terlalu berlebihan kepada Rudi. Ia

tidak segan-segan menunjukkan antusiasme dirinya pada Rudi dihadapan banyak

orang, misalnya selalu mengikutnya ke kantin, meminta dibelikan ini dan itu, dan

lain-lain. Hal inilah yang membuat Rudi merasa risih dan tidak nyaman sehingga

ia berusaha untuk bersikap cuek agar perlakuan Feri berkurang.

Rudi, meskipun ia dingin kepada Feri, namun di saat sedang tidak bersama

dengan Feri, Rudi justru merasakan suatu perasaan yang aneh, yaitu perasaan

kehilangan. Ia merasa kangen dan merindukan hal-hal aneh yang dilakukan oleh

Feri. Perasaan ini muncul misalnya jika ketika pulang sekolah ia tidak melihat

Feri, dan ketika Feri sedang mudik ke rumah keluarganya.

Rudi akhirnya menyadari bahwa ia telah jatuh hati kepada Feri. Namun, ia

hanya memendam perasaannya. Di saat itulah ia mulai menyadari bahwa dirinya

Referensi

Dokumen terkait

Energi listrik di gedung perpustakaan ini digunakan untuk instalasi penerangan, air conditioning (AC), kipas angin, komputer, dan mesin-mesin lain yangn dioperasikan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan metode pembelajaran Quick on The Draw dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Agama Islam materi

Doolklan aaka pcnotapan lnl dianbil dldalan ddang pomu- eyatsaratan pada harl Rabu, tanggal 3 Aguotus 1977 oloh kanl, J0NA8TI SH» Ilakln, dongan dlhadllrl oleh Hy, M# Soomarto, Panl

Buku pedoman yang memuat berbagai informasi tentang pengelolaan vegetasi kampus UGM yang meliputi sejarah pengelolaannya, arti penting vegetasi yang ada di kampus dan manfaat

EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Hubungan FDR dengan CAR dalam jangka pendek yaitu hubungan yang signiikan negatif, sedangkan dalam jangka panjang terdapat hubungan (pengaruh) signiikan positif antara FDR dengan

Rekapitulasi Hasil Angket dan Wawancara Pandangan Guru Selama Kegiatan Inkuiri Ilmiah Berlangsung... Hasil Uji Prasyarat dan Uji Statistik D.1 Uji Prasyarat

Pembuatan Aplikasi Pembacaan 10 Surat Terpendek Dalam Juz Amma Dengan Menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 merupakan sebuah aplikasi multimedia yang berisi 10 surat juz amma