• Tidak ada hasil yang ditemukan

@UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "@UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Agama adalah untuk dan oleh manusia. Agama adalah jalan manusia mengenal Tuhannya. Melalui agama, manusia mendapatkan pedoman-pedoman menjalani hidupnya. Agama seharusnya dapat membantu penganutnya memperoleh kedamaian. Untuk itu, seharusnya agama bermanfaat bagi manusia. Faktanya, agama tidak dirasakan manfaatnya sebagaimana mestinya. Agama tidak selalu membawa kedamaian tetapi ketidakadilan, ketakutan, dan permusuhan.

Seperti yang terjadi di Indonesia, menurut pemantauan the Wahid Institute, pada tahun 2013 terjadi sebanyak 245 kasus atau peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB). Wilayah yang paling banyak kasus intoleransi antar umat beragama adalah Jawa Barat (40 kasus). Bentuk intoleransi yang paling banyak dilakukan adalah menghambat/melarang/penyegelan rumah ibadah (28 kasus), kemudian diikuti pemaksaan keyakinan (19 kasus), melarang/menghentikan kegiatan keagamaan (15 kasus), dan pada peringkat empat kriminalisasi atas dasar agama (14 kasus). Pelaku intoleransi yang dilakukan oleh negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah kota/kabupaten (32 tindakan). Pada peringkat kedua, dengan jumlah yang tidak jauh berbeda yaitu 30 tindakan, dilakukan oleh aparat kepolisian. Sementara pelaku intoleransi dari aktor non-negara paling tinggi dilakukan oleh pelaku kelompok: masa tanpa identitas (57 tindakan), pelaku institusi: MUI (18 tindakan), pelaku individu: tidak teridentifikasi (11 tindakan). Korban intoleransi dibagi menjadi tiga yaitu korban institusi, korban individu, dan korban kelompok. Yang melibatkan negara, korban institusi paling banyak jumlahnya yaitu gereja. Sedangkan korban individu dan kelompok paling banyak yaitu Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sedangkan yang melibatkan aktor non-negara, korban institusi paling banyak adalah gereja. Korban kelompok paling banyak diderita oleh jemaat Syiah, dan korban individu paling banyak adalah anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia.1

Konflik antar agama yang terjadi, atau dapat dikatakan konflik yang mengatas namakan agama yang terjadi di Indonesia terjadi karena beberapa sebab. Konflik tersebut bisa terjadi karena faktor historis yaitu ingatan dan trauma pada masa kolonial di mana kemudian menimbulkan

1

The Wahid Institute, Laporan Tahunan: Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013, (Jakarta: The Wahid Institute, 2014), h. 23-29

(2)

2

prasangka dan kecurigaan Kristenisasi dan Islamisasi. Di era modern saat ini segala media ‘penyebar’ berita seperti televisi, radio, internet yang menyebarkan berita-berita konflik antar agama juga sedikit banyak mempengaruhi prasangka antar warga yang dapat memicu tumbuhnya kekerasan di berbagai daerah di Indonesia. Prasangka dan kecurigaan agama yang satu dengan yang lainnya bertumbuh subur. Hal ini merambah pada permasalah identitas serta konteks sosial. Apakah anda Kristen atau Islam akan menjadi masalah tersendiri jika anda tinggal di Ambon atau Poso.2

Selain agama, Indonesia juga memiliki beragam bahasa daerah, suku, budaya dan makanan khas. Gus Dur mengungkapkan bahwa keberagaman makanan khas yang dimiliki Indonesia merupakan fakta bahwa pluralisme merupakan rahmat Tuhan. Tidak mungkin ditiadakan, karena merupakan realita pemberian Ilahi.3 Keberagaman Indonesia dapat menjadi berkat kekayaan tersendiri bagi Indonesia, tetapi juga rentan akan konflik. Keanekaragaman yang ada tidak dilihat sebagai realita rahmat Tuhan tetapi sebagai musuh besar dari kesatuan yang diidentikan dengan keseragaman. Yang berbeda dipaksa untuk menjadi sama.

Berkaitan dengan persoalan antar agama, diperlukan adanya dialog. Hans Kung seperti dikutip oleh Robert B. Baowollo mengatakan bahwa tidak ada keberlangsungan hidup umat manusia tanpa sebuah etos global, tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama, tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa ada dialog antar agama.4 Dialog sejatinya adalah proses komunikasi dua arah. Menuntut kedua atau beberapa pihak untuk saling mengutarakan pemikiran dan saling mendengarkan, sehingga dibutuhkan keterbukaan satu dengan yang lainnya dengan landasan saling menghargai. Paul F. Knitter dalam bukunya Jesus

and The Other Names, menyebut dialog yang saling menghargai itu dengan sebutan dialog

korelasional. Dialog model korelasional ini berlandaskan pada persamaan dan menghargai satu dengan yang lainnya. Dialog ini dapat terjadi hanya bila berangkat dari keyakinan yang teguh seseorang akan agamanya. Keyakinan iman ini yang dibagikan kepada mereka yang dari agama

2 Robert B. Baowollo, Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia; Sebuah

dialog antara Franz Magnis-Suseno, SJ, M. Amin Abdullah, K. H Said Aqiel Siradj, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h.

36-46

3 K. H Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 149 4

Robert B. Baowollo, Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia; Sebuah

dialog antara Franz Magnis-Suseno, SJ, M. Amin Abdullah, K. H Said Aqiel Siradj, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 34

(3)

3

lain. Karenanya dalam dialog korelasional ini diperlukan saling mendengar dan menghargai karena bisa jadi apa yang diutarakan oleh ‘yang lain‘ itu akan terasa sangat asing.5

Namun, dialog antar agama ini masih menjadi hal yang asing, terutama di Indonesia yang rawan konflik antar agama. Seperti misal di konteks kota Cirebon6, konteks di mana gereja asal penulis berada. Dialog antar agama tidak terlalu ‘diminati’ oleh orang-orang Kristiani di kota Cirebon. Hanya beberapa orang saja yang aktif untuk mengikuti kegiatan dialog antar umat beragama. Orang-orang yang aktif tersebut dari kalangan gereja-gereja arus utama seperti Lutheran dan Calvinis, sedangkan mereka yang dari kalangan Karismatik, Pantekosta, Injili tidak aktif dalam kegiatan dialog antar agama tersebut. Mereka baru mau berdialog ketika ada ancaman dari GAPAS (Gerakan Anti Permutadan dan Aliran Sesat, salah satu ormas Islam garis keras di Cirebon). Dialog yang dibangun tidak bertujuan untuk menghadapi suatu permasalahan kemanusiaan tertentu, tetapi untuk menyelesaikan masalah atau ketakutan yang ditimbulkan dari ancaman yang ditujukan pada mereka. Dengan kata lain, dialog untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Kaum eksklusif baik dari kalangan Kristen maupun Islam tidak dapat bertemu dalam satu dialog yang bersahabat demi kepentingan masyarakat. Sebab, bagi keduanya, dialog adalah untuk mengalahkan yang lainnya, dan yang terpenting agar masuk ke dalam ‘agama saya‘. Bagi kaum eksklusif Kristen, di luar Yesus tidak ada keselamatan. Adanya ajaran agama lain dicurigai untuk menarik seseorang berpindah kepada agama lain tersebut. Pemahaman ini terlihat dari beberapa pengalaman Pdt. Sugeng Daryadi dalam memimpin PGIS (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia Setempat). Beliau bercerita bahwa pernah kelompok eksklusif Kristen mengutarakan sebuah usulan program di mana dalam rangka misi penginjilan, akan diadakan gerakan menginjili keluarga terutama pembantu. Tentu saja sebagai tokoh pluralis, Pdt. Sugeng menentang hal tersebut dengan mengutarakan beberapa alasan sehingga akhirnya rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan. Pengalaman lainnya adalah ketika beliau diundang oleh sebuah gereja Pantekosta di Cirebon dalam acaranya yang mengundang seorang pembicara dari aliran Karismatik. Isi pembicaraannya adalah bagaimana caranya mengkristenkan Indonesia di mana setiap orang Kristen dilatih untuk menginjili teman-teman dekatnya. Hal ini dilakukan dengan berlandaskan

5 Paul F. Knitter, Jesus and The Other Names; Christian Mission and Global Responsibility, (Maryknoll, N. Y: Orbis

Books, 1996), h. 23-24

6 Konteks dialog antar agama di kota Cirebon ini merupakan hasil wawancara via telepon dengan Pdt. Sugeng

Daryadi pada tanggal 28 April 2014, pukul 20.00 WIB. Beliau adalah ketua PGIS (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia Setempat) Cirebon periode (2002-2009, 2014-2019). Beliau juga adalah ketua forum lintas agama, yaitu Forum Sabtuan.

(4)

4

Matius 28:19-20. Bagi siapa yang berhasil melaksanakannya akan mendapat imbalan kesempatan bersekolah secara gratis. Di Cirebon pun ada sebuah radio milik aliran Karismatik yang juga menjadi sarana penginjilan. Hal ini membuat kalangan Islam, terutama kelompok Islam eksklusif menjadi gerah.

Dengan pemahaman dan pandangan yang demikian, dialog antar agama di Cirebon hanya terjadi di kalangan moderat, terutama moderat Kristen dan moderat Islam. Yang juga menjadi keprihatinan tersendiri, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) tidak mendukung terciptanya kesatuan sesuai nama yang disandangnya. FKUB hanya menjadi semacam stempel, maksudnya tugas FKUB hanya mensahkan/tidaknya sebuah tempat ibadah. Mereka tidak mau memfasilitasi adanya dialog, meski sudah diberi masukan demikian. Sebenarnya tidak terlalu mengherankan, karena sebagian besar pengurus FKUB di kota Cirebon adalah kalangan eksklusif sekalipun ada yang dari kelompok NU (Nahdlatul Ulama). Namun, hal ini tentu membahayakan cita-cita kesatuan antar umat beragama. ‘Kesatuan Umat Beragama‘ hanya menjadi label kosong, karena kegiatan yang ditunjukkan tidak mencerminkan namanya.

Terlihat bahwa hingga saat ini di kalangan Kristen masih terdapat pemahaman bahwa misi utama umat Kristen adalah menjadikan orang sebagai murid Kristus. Menjadikan murid tidak ada lain artinya selain membaptisnya. Yang kemudian juga dipahami mengkristenkan orang-orang non Kristen. Kecurigaan kristenisasi menjadi sangat beralasan di kalangan non Kristen (khususnya kalangan Islam eksklusif).

Konteks kota Cirebon menjadi salah satu konteks konkret potret kehidupan relasi antar agama di Indonesia. Konflik antar agama, khususnya antara Islam dengan Kristen, bukanlah sebuah potensi lagi tetapi memang sudah kerap terjadi. Sayangnya, melihat fakta yang demikian belum juga mampu menggerakkan kesadaran semua gereja-gereja di Cirebon untuk membangun suatu relasi yang baik melalui dialog antar agama demi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan masyarakat. Di tengah keadaan yang rawan konflik antar agama ini, sebaiknya misi Kristen yang mengutamakan orang untuk menjadi Kristen ditinjau ulang. Menurut KH Marzuki Wahid7, Jawa Barat merupakan provinsi yang bertengger pada peringkat pertama se-Indonesia berkenaan

7 Beliau adalah Pengurus Harian Yayasan Fahmina (sebuah lembaga yang bergerak dalam persoalan dialog antar

agama , pembelaan hak dan perlindungan perempuan, serta kajian budaya lokal) dan Deputi Rektor ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Cirebon

(5)

5

dengan persoalan kasus tindak kekerasan atas nama agama sepanjang tahun 2013.8 Sebagai salah satu kota yang berada di provinsi Jawa Barat, tentunya permasalahan di kota Cirebon turut andil dalam menambah jumlah kasus konflik antar agama di Jawa Barat. Tinjauan ulang terhadap misi Kristen tentu menjadi kebutuhan yang semakin mendesak.

Yang juga menjadi keprihatinan adalah peran pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh FKUB. FKUB sebagai lembaga pemerintah tidak membantu membuka jalan untuk terciptanya perdamaian antar agama dengan memfasilitasi dialog antar agama. Menurut keterangan Pdt. Sugeng, ini dikarenakan mereka yang duduk sebagai pengurus di FKUB (khususnya kota Cirebon) dari keseluruhan yaitu 17 orang pengurus, 12 diantaranya dari kalangan Islam fundamental. Sesuai dengan peraturan pemerintah di mana agama mayoritas berarti juga memiliki ‘kursi‘ mayoritas dalam kepengurusan FKUB. Agama selain Islam hanya mendapat satu kursi. Menjadi bahaya tersendiri karena ternyata golongan fundamental yang eksklusif memegang kebijakan bagi masyarakat banyak yang berbeda agama dengannya. Mereka memiliki kuasa yang dapat menentukan keputusan seperti apa yang hendak diputuskan atau diambil.

Berkenaan dengan dialog antar agama, dalam bukunya yang berjudul Jesus and The Other

Names, Paul F. Knitter menawarkan satu cara berpikir yang unik. Ia menawarkan tentang dialog

antar agama dengan keunikan Yesus sebagai ‘jalan keselamatan‘ itu menjadi dasar atau titik berangkat menuju dialog dengan ‘yang lain‘. Baginya, Yesus sebagai ‘jalan keselamatan‘ seharusnya tidak hanya dipahami sebagai ajaran dan tradisi gereja. Lebih dari pada itu, Yesus sebagai ‘jalan keselamatan‘ menunjukkan Allah yang bertindak dengan kasihNya untuk seluruh umat manusia Menjadi pengikut Kristus yang sejati berarti meneladani apa yang dilakukanNya, apa yang sudah diteladankanNya. Oleh karena itu, ayat-ayat yang mengungkapkan Yesus sebagai ‘jalan keselamatan satu-satunya‘ (misal 1 Kor 8:6, Yoh 1: 18, Yoh 14: 6, Kis 4: 12) seharusnya tidak dipahami secara sempit. Jika ‘jalan keselamatan satu-satunya‘ dipakai untuk mengungkapkan eksklusifitas, maka menurut Knitter ayat-ayat tersebut telah disalahgunakan.9 Menjadi pengikut Yesus yang setia adalah dengan meneladaniNya. ‘Jalan keselamatan satu-satunya‘ jika tidak diikuti dengan suatu tindakan kasih yang membebaskan dari pengikut Kristus maka hanya menjadi sesuatu yang kosong, yang hampa, tidak ada artinya. Tindakan kasih yang

8CP-08, Fahmina: Tahun 2013, Cirebon Banyak Diwarnai Konflik Kekerasan Atas Nama Agama, 01 Januari 2014,

dalam http://cirebonpost.com/index.php/component/k2/item/642-fahmina-tahun-2013-jawa-barat-banyak-diwarnai-konflik-kekerasan-atas-nama-agama, diakses pada 06 Mei 2014

9

Paul F. Knitter, Jesus and The Other Names; Christian Mission and Global Responsibility, (Maryknoll, N. Y: Orbis Books, 1996), h. 66-68

(6)

6

membebaskan ini terwujud dalam dialog korelasional dan tanggung jawab global umat Kristen bersama dengan umat beragama lainnya.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dialog yang terjadi antar agama, menurut Knitter, merupakan dialog yang korelasional. Dialog ini menuntut masing-masing pihak yang berdialog untuk mau saling mendengarkan dengan kerendahan hati di samping memberi kesaksian mengenai kebenaran agamanya. Namun dialog korelasional antar agama tidak hanya mendialogkan mengenai kebenaran agama masing-masing. Bagi Knitter, dialog tersebut juga harus menjadi dialog yang membebaskan. Para pemeluk agama harus bisa menengok dan bertindak untuk mereka yang menderita, baik manusia maupun alam ini. Inilah yang disebut Knitter sebagai tanggung jawab global, artinya komitmen bersama untuk mencapai kesejahteraan manusia dan lingkungan.10 Inilah nilai universal, berlaku bagi semua umat beragama di mana hanya ada satu bumi dan semua agama hadir di sana sehingga memiliki tanggung jawab bersama untuk bumi yang menderita. Inilah yang diungkapkan Knitter dalam bukunya yang berjudul Satu

Bumi Banyak Agama. Oleh karenanya, jika membahas buku Knitter yaitu Jesus and The Other Names tidak akan lengkap jika tanpa membahas Satu Bumi Banyak Agama.

Sayangnya, di kota Cirebon, dialog yang terjadi antar umat beragama masih jarang mengangkat masalah ekologi untuk dibahas bersama dalam dialog antar umat beragama. Ketika antar umat beragama bertemu dalam dialog, masalah yang banyak dibahas adalah menanggulangi masalah konflik agama khususnya Islam-Kristen. Kepolisian sendiri seakan ‘ogah-ogahan‘ untuk menanggulangi konflik agama di Cirebon. Misal, kasus di gereja asal penulis, GKI Pamitran, yang didatangi FPI saat berlangsung ibadah Minggu. FPI mengatakan bahwa GKI Pamitran tidak memiliki ijin membangun gereja. Untuk itu tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan ibadah.

Memang saat itu (sekitar tahun 2010, bahkan sebenarnya sejak tahun 1989 hingga kini) GKI Pamitran ‘terpaksa’ masih mengadakan kegiatan gereja di kapel SD BPK Penabur Cirebon di Jalan Kromong. Penulis katakan ‘terpaksa’ sebab hingga saat ini, GKI Pamitran, yang sebenarnya sudah memiliki tanah daerah Sukalila, tidak mendapat ijin membangun gedung gereja dari masyarakat setempat. Padahal permasalahan ini telah digumuli sejak tahun 1989. Ketika itu, FPI mengancam jika minggu depan masih mengadakan ibadah di kapel SD BPK Penabur tersebut, maka FPI akan memporak-porandakan gereja. Ketika pendeta setempat meminta bantuan kepada kepolisian, kepolisian menolak dengan halus. Hingga akhirnya banser

10

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama; Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj: Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 80

(7)

7

NU yang bergerak mengamankan jalannya ibadah di minggu berikutnya setelah kedatangan FPI. Keengganan aparat kepolisian berhadapan dengan konflik antar umat beragama semakin terasa ketika markas Kepolisian Resor Cirebon menjadi sasaran bom bunuh diri pada April 2011.

Fokus perhatian masih lebih banyak diberikan kepada manusia yang lain yang menderita, belum mencakup masalah ekologi. Bisa jadi ini karena konflik antar umat beragama berdampak pada rasa aman sehingga lebih nyata dirasakan kebutuhannya ketimbang persoalan ekologi yang dampaknya masih dirasa beberapa tahun ke depan. Padahal, seperti apa yang Knitter katakan, dialog antar umat beragama belum cukup bahkan tidak efektif jika tidak menyangkut pembebasan terhadap bumi yang juga menderita.

Salah satu masalah lingkungan di Jawa Barat yang juga melanda Cirebon adalah masalah banjir. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), pada tahun 2014 ini Jawa Barat akan mengalami cuaca yang ekstrem. Cuaca ekstrem ini ditandai dengan curah hujan yang tinggi dan perbedaan suhu yang tajam. Berbagai daerah di Jawa Barat dilanda banjir, seperti Kabupaten Bandung, Subang, Indramayu, Cirebon, Bekasi, Depok. Curah hujan yang tinggi bukanlah penyebab utama dari banjir yang terjadi di berbagai daerah tersebut. Curah hujan yang tinggi merupakan penyebab pendukung dari penyebab utama banjir. Penyebab utama banjir menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat (WALHI Jabar) yaitu buruknya tata kelola ruang dan lingkungan hidup di daerah bantaran sungai, serta salah urus Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Jawa Barat. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak memberikan perlindungan terhadap infrastruktur alam yang menopang daya dukung dan keberlanjutan wilayah.11

Berkaitan dengan banjir di Jawa Barat, banjir yang terjadi menyebabkan berbagai kerugian, yaitu kerugian waktu, tenaga, uang bahkan dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Banjir yang menggenangi jalur pantura khususnya di Indramayu dan Cirebon (sebagai jalur lintas provinsi) menyebabkan jalan-jalan di jalur pantura rusak parah. Air yang menggenang (baca: banjir) menggerus aspal sehingga menyebabkan jalan-jalan berlubang. Jalan-jalan yang berlubang ini dapat menjadi salah satu penyebab kecelakaan. Jalan yang berlubang juga menyebabkan

11 WALHI, Banjir Akibat Dari Salah Urus Ruang dan Tata Kelola Lingkungan Hidup, dalam

http://www.walhijabar.org/banjir-akibat-dari-salah-urus-ruang-dan-tata-kelola-lingkungan-hidup/, diakses pada 05 September 2014

(8)

8

kemacetan parah karena ada truk yang mogok. Hampir setiap hari dapat dipastikan ada saja truk tronton yang mogok karena ban pecah atau as patah akibat jalan berlubang.12

Dari segi ekonomi, kemacetan di jalur pantura ini merugikan para pengusaha. Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mendistribusikan barang menjadi semakin panjang. Waktu tempuh normal Cirebon-Bandung yaitu tiga jam, tetapi karena macet dan jalan yang berlubang ini menyebabkan waktu tempuh menjadi enam jam. Lebih panjangnya waktu tempuh ini menyebabkan biaya yang dibutuhkan, misal untuk bahan bakar, menjadi bertambah. Ini tentu saja mempengaruhi harga barang di pasaran. Harga barang menjadi tinggi (mahal). Di kalangan pengusaha angkutan, terutama bus, juga mengeluhkan kerugian yang dideritanya akibat jalur pantura yang rusak dan macet akibat banjir. Mereka mengalami penurunan pendapatan sebab penumpang kebanyakan beralih pada sarana transportasi lain untuk Bandung-Cirebon. Penurunan pendapatan ini juga berdampak pada kesulitan para pengusaha bus untuk menutup biaya operasional bus.13

Masalah banjir merupakan satu permasalahan yang menambah daftar permasalahan lingkungan di Cirebon yang telah ada sebelumnya, seperti misal masalah rendahnya kepedulian terhadap mangrove di pesisir pantai Cirebon14 dan artikel dari WALHI pada tahun 2008 mengenai menurunnya hasil udang akibat pengelolaan budidaya yang tidak tepat, abrasi laut yang menghancurkan tambak udang, serta limbah industri yang mencemari air laut. Menurut artikel tersebut, Cirebon telah ‘kehilangan’ predikatnya sebagai Kota Udang.15

Permasalahan lingkungan ini tidak bisa hanya diserahkan kepada satu pihak saja, yaitu pemerintah. Permasalahan lingkungan juga merupakan tanggung jawab orang beragama. Permasalahan lingkungan merupakan satu hal yang dapat menjadi keprihatinan bersama (common concern) bagi setiap orang dari berbagai agama dan kepercayaan. Keprihatinan bersama ini menjadi semacam penggerak bagi dialog korelasional antar umat beragama yang bertanggung jawab terhadap bumi, sehingga dialog antar umat agama yang demikian dapat

12

Farid Firdaus, dkk, Jalur Pantura Rusak Parah, 17 April 2014, dalam http://www.koran-sindo.com/node/362174 diakses pada 05 September 2014

13Adi Ginanjar Maulana, Kerusakan Jalur Bandung-Cirebon Hambat Distribusi Barang, 12 Juni 2014, dalam http://kabar24.bisnis.com/read/20140612/78/235475/kerusakan-jalur-bandung-cirebon-hambat-distribusi-barang

diakses pada 05 September 2014

14 Ari Lukman dkk, “Analisis Kerusakan Mangrove Akibat Aktifitas Penduduk di Pesisir Kota Cirebon”, Antologi

Geografi vol. 1, edisi 2 Oktober 2013, h. 5-9

15

Asep Saefullah, Cirebon, Kota Udang yang Pudar, 16 Januari 2008, dalam

http://walhijabar.wordpress.com/2008/01/16/cirebon-kota-udang-yang-pudar/ diakses pada 05 September 2014

@UKDW

(9)

9

berjalan dengan efektif. Dialog antar umat beragama dapat menjadi dialog yang benar-benar membebaskan dan mentransformasi bumi ini menjadi lebih baik.

Pada konteks Kota Cirebon, yang terjadi adalah relasi antar agama yang tidak berjalan baik terutama kalangan Islam eksklusif dengan orang-orang Kristen. Jangankan berdialog, bertemu saja enggan. Ada kecurigaan Kristenisasi yang sebenarnya kecurigaan ini termasuk beralasan karena dari kalangan Kristen eksklusif bagi kalangan Islam eksklusif jelas melakukan usaha Kristenisasi tersebut, misal melalui siaran radio yang dimiliki dijadikan sarana penginjilan. Relasi yang buruk ini tidak lepas juga dari pengaruh intern umat Kristen sendiri di mana masih ada paham misi Kristenisasi yang terus diajarkan kepada jemaat awamnya. Namun di sisi lain, di kalangan umat Kristen pun ada ketakutan terhadap kalangan Islam (khususnya kelompok Islam eksklusif yang diwakili oleh FPI dan GAPAS). Islam dipandang identik dengan kekerasan baik fisik maupun tekanan psikologis. Tentunya yang terjadi adalah jurang relasi yang lebar di antara dua agama Abrahamik ini.

Tidak heran jika relasi yang ada tidak berjalan baik karena di antara relasi antar umat beragama dibangun tembok kecurigaan dan juga eksklusifitas. Tembok eksklusifitas ini membuat orang beragama memandang bahwa agamanyalah yang paling benar sementara yang lain salah bahkan tidak memperoleh keselamatan. Hanya melalui agamanya-lah orang dapat memperoleh keselamatan. Seorang yang memeluk agama tertentu memang harus memiliki keyakinan iman yang teguh mengenai kebenaran agamanya, tetapi bagaimana jika kebenaran itu dipertemukan dengan ‘yang dianggap kebenaran’ juga oleh yang lain? Dengan demikian, bagaimana dapat bertanggung jawab terhadap bumi bersama dengan yang lain?

Dengan konteks kota Cirebon yang rawan konflik agama, pemikiran Paul F. Knitter terutama dalam bukunya Jesus and The Other Names dan Satu Bumi Banyak Agama dirasa cocok oleh penulis untuk memberikan tambahan wawasan bagi umat Kristen di kota Cirebon. Diharapkan pendekatan Paul F. Knitter melalui dialog korelasional dapat membuat umat beragama, khususnya umat Kristen di kota Cirebon, dapat terbuka dan menerima keberagaman ‘klaim kebenaran‘. Juga dengan tambahan ‘bertanggung jawab terhadap bumi‘ dapat mengingatkan bahwa juga ada tanggung jawab yang diemban untuk memperhatikan dan memelihara masalah eko-manusiawi. Dengan demikian, umat Kristen di Kota Cirebon dapat membangun relasi yang baik dengan umat beragama lain dengan dialog korelasional yang bertanggung jawab terhadap bumi.

(10)

10

Penulis memilih Paul F. Knitter karena ia adalah seorang yang ahli di bidang pluralisme agama. Beliau adalah seorang profesor studi interreligius pada Seminari Union Theology di New York. Paul F. Knitter tidak hanya ahli dalam studi interreligius tersebut, namun lebih dari pada itu selama 40 tahun lebih, beliau juga menghidupi (living) realita plural dalam hidupnya. Ini terlihat dari bagaimana beliau menceritakan pengalaman hidupnya bersama dengan umat beragama lain.16 Ia menyebut perjalanan hidupnya tersebut sebagai perjalanan hidup yang dialogis.17 Paul F. Knitter telah berhasil merumuskan sebuah kristologi yang pluralis di mana kristologi selama ini merupakan pembahasan yang dihindari dalam pertemuan dengan ‘kebenaran’ yang lain (baca: dialog antar umat beragama).18 Hasil pemikiran dan relfeksinya ini, ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Jesus and The Other Names. Dalam buku tersebut, beliau hendak membuka dan memperluas cara pandang orang Kristen mengenai Yesus Kristus.

Beliau juga bergerak di ranah Teologi Pembebasan. Ini juga yang menjadi keistimewaan Knitter, di mana ia membuat teologi agama-agama –dialog korelasional- bergandengan tangan dengan teologi pembebasan. Keterlibatannya dalam teologi pembebasan diawali dari keprihatinannya terhadap pengungsi Amerika Tengah yang lari dari negara mereka untuk menghindari penindasan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh pemerintah negara mereka. Dari pengalamannya tersebut, ia menyadari bahwa yang lain bukan hanya mereka yang beragama lain, tetapi mereka yang menderita akibat ketidakadilan dan penindasan.

Pertemuannya dengan suku asli Amerika, membuatnya menarik diri pada lingkup yang lebih luas berkaitan dengan mereka yang menderita, yaitu bumi. Bumi –hewan, tumbuhan, alam- juga mengalami ketidakadilan dan penindasan. Bumi telah dieksploitasi sedemikian rupa demi keuntungan pihak-pihak tertentu. Masalah eko-manusiawi ini belum terlalu banyak dibahas jika dikaitkan dengan dialog interreligius. Selain itu, Knitter juga memberikan langkah-langkah praktis pelaksanaan model dialog korelasional dan bertanggung jawab terhadap bumi ini. Maka dari itu, menjadi satu hal yang menarik mengulas mengenai pemikiran Paul F. Knitter, yaitu mengenai dialog korelasional antar umat beragama yang bertanggung jawab terhadap bumi yang menderita.

16 Paul F. Knitter, The Vocation of an Interreligious Theologian: My Retrospective on 40 Years Dialogue, dalam http://crcs.ugm.ac.id/interview/20/Paul-F-Knitter-My-Retrospective-on-40-Years-in-Dialogue diunduh pada 04 September 2014

17 Paul F. Knitter, Jesus and The Other Names, (Maryknoll, N. Y: Orbis Books, 1996), h. 2

18 Paul F. Knitter, The Vocation of an Interreligious Theologian: My Retrospective on 40 Years Dialogue, http://crcs.ugm.ac.id/interview/20/Paul-F-Knitter-My-Retrospective-on-40-Years-in-Dialogue diakses pada 04 September 2014

(11)

11

Model dialog korelasional dan bertanggung jawab terhadap bumi yang menderita yang ditawarkannya ini pernah dipraktekkannya di Sri Lanka dan India pada saat cuti Sabbatikalnya. India, bagi Knitter, memiliki keberagaman yang kaya tetapi juga memiliki permasalahan kemiskinan yang kompleks. Sementara itu, untuk konteks Indonesia, pada tahun 2003 Knitter mengajar sebagai dosen tamu di Center for Religion and Cross Cultural Studies Universitas Gajah Mada (CRCS UGM) Yogyakarta. Di tahun yang sama, bukunya yang berjudul One Earth

Many Religions (diterbitkan oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta dengan judul Satu Bumi Banyak Agama) didiskusikan di Yogyakarta. Pada bulan Mei 2006, ia bersama Farish Esack (seorang

teolog Muslim terkemuka), menjadi pembicara dalam seminar Religion and Globalization yang diselenggarakan oleh CRCS UGM.19 Ia juga diminta menjadi pembicara dalam seminar dialog antar umat beragama di Universitas Kristen Satya Wacana pada tahun 2004. Karenanya, Knitter tidak asing dengan konteks Asia.

1. 2 Permasalahan

Dengan latar belakang permasalahan demikian, penulis hendak mengangkat beberapa permasalahan:

a. Bagaimana Paul F. Knitter melihat keunikan Yesus dalam rangka model dialog korelasional dengan umat beragama lain?

b. Bagaimana Paul F. Knitter melihat peran umat Kristen dalam rangka tanggung jawab bersama dengan umat beragama lain untuk dunia yang lebih baik?

c. Di tengah konteks rawan konflik antar agama, apa yang dapat dilakukan umat Kristen di kota Cirebon untuk membangun relasi yang lebih baik dengan umat beragama lain?

1. 3 Tujuan Penelitian

Dialog antar umat beragama merupakan media yang penting dalam rangka membangun relasi yang baik di kala ‘kebenaran’ yang satu bertemu dengan ‘kebenaran’ yang lain. Maka yang menjadi konsern utama dalam penulisan ini adalah bagaimana memandang dialog antar agama sebagai sebuah jalan menuju dunia yang damai. Untuk meneliti hal tersebut, penulis hendak melihat dari dua buku Paul F. Knitter yaitu Jesus and The Other Names: Christian Mission and

Global Responsibility dan Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab

19 Paul F. Knitter, The Vocation of an Interreligious Theologian: My Retrospective on 40 Years Dialogue, http://crcs.ugm.ac.id/interview/20/Paul-F-Knitter-My-Retrospective-on-40-Years-in-Dialogue diakses pada 04 September 2014

(12)

12

Global. Di mana buku Jesus and The Other Names membahas keunikan Yesus dilihat dalam

hubungan dengan jalan keselamatan yang lain. Buku yang satu lagi yaitu Satu Bumi Banyak

Agama berbicara tentang bagaimana orang Kristen bisa terlibat dalam (sebenarnya semua agama

harus terlibat) membangun satu dunia yang lebih baik. Penulis berharap melalui buku-buku tersebut, penulis dapat menemukan satu jawaban yang bermanfaat bagi umat Kristen di kota Cirebon dalam kaitannya membangun relasi yang baik dengan umat beragama lain.

Dengan demikian tujuan penelitian adalah:

1. Hendak mengetahui teori Paul F. Knitter mengenai keunikan Yesus sebagai dasar dan jalan untuk model dialog korelasional dengan umat beragama lain.

2. Kemudian, juga hendak mengetahui mengapa umat Kristen bersama dengan umat beragama lain harus bekerja sama dalam rangka tanggung jawab terhadap bumi yang menderita.

3. Lalu hendak melihat bagaimana kedua pemikiran Paul F. Knitter tersebut di atas dapat memberi cara berpikir yang baru dan sebuah strategi bagi umat Kristen di kota Cirebon dalam memulai dan membangun hubungan yang lebih baik dengan umat beragama lain. Dengan demikian, pemikiran Paul F. Knitter dapat memberi inspirasi bagaimana sebaiknya umat Kristen kota Cirebon memahami keunikan Yesus dalam rangka berdialog dengan umat beragama lain dan tanggung jawab bersama dengan umat beragama lain terhadap bumi ini.

1. 4 Judul

Melihat dari permasalahan yang diangkat dan tujuan penulisan, maka penulis mengusulkan judul:

“Sumbangan Pemikiran Paul F. Knitter Bagi Cara Pandang Baru Umat Kristen di Kota Cirebon dalam Kaitan dengan Dialog Antar Agama di Kota Cirebon“

1. 5 Alasan Pemilihan Judul

Dua buku Paul F. Knitter yaitu Jesus and The Other Names dan Satu Bumi Banyak Agama menjadi buku acuan utama sebab penulis hendak membahas permasalahan dialog antar agama dari sisi umat Kristiani, khususnya dengan latar belakang konteks Cirebon sebagai potret konkret relasi antar agama di Indonesia, menurut pandangan Paul F. Knitter. Kedua buku ini dipilih

(13)

13

diantara sekian banyak buku karya Paul F. Knitter karena menurut penulis, kedua buku ini dapat memberikan suatu pandangan baru khususnya di kalangan awam mengenai keseimbangan antara keterbukaan pada kebenaran ‘yang lain’ dan komitmen pada ajaran gereja mengenai Yesus Kristus. Yang kemudian diikuti dengan tanggung jawab bersama, bertindak bersama mengatasi penderitaan bumi ini. Dengan demikian, judul yang diberikan dianggap tepat untuk mewakili apa yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dari studi pemikiran Paul F. Knitter diharapkan ditemukan satu model atau cara pemikiran yang baru bagi umat Kristen di kota Cirebon ketika memandang sesama yang berbeda agama dan memandang dialog antar umat beragama.

1. 6 Metode Penelitian

Penulis akan menggunakan metode deskriptif-analitis. Penulis melakukan studi literatur berkaitan dengan permasalahan pada konteks Kota Cirebon. Selain itu, juga dilengkapi dengan satu wawancara dengan Ketua PGIS (yang sekaligus juga Ketua Forum Sabtuan). Untuk dapat memiliki cara pandang baru dan mewujudkan kesejahteraan eko-manusiawi di Kota Cirebon, maka penulis mempertemukan konteks Kota Cirebon ini dengan pemikiran Paul F. Knitter. Dua buku Paul F. Knitter yaitu Jesus and The Other Names dan Satu Bumi Banyak Agama akan menjadi dua buku acuan utama untuk menjawab permasalahan yang diangkat. Kedua buku tersebut juga digunakan penulis menemukan satu cara berpikir yang baru sebagai sumbangan dari Paul F. Knitter bagi cara berpikir baru umat Kristen di kota Cirebon dalam membangun relasi yang lebih baik dengan umat beragama lain. Penulis melihat dua buku ini dari titik berangkatnya, yaitu dari sebuah landasan teologis bagi dialog korelasional yang kemudian diikuti dengan suatu tindakan etis praktis, mengenai tanggung jawab bersama untuk kesejahteraan manusia dan bumi.

1. 7 Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Dalam bab satu ini dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan penelitian, judul serta alasan pemilihannya, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Yesus dan Nama-Nama Lain

Pada bab ini, dijabarkan mengenai pemikiran Knitter berkenaan dengan keunikan Yesus di tengah agama-agama lain. Keunikan Yesus ditinjau ulang, untuk semakin meneguhkan iman tetapi di saat yang bersamaan membuka diri akan kebenaran/keunikan ‘yang lain‘.

(14)

14

BAB III Sebuah Tanggung Jawab Bersama untuk Bumi

Pada bab ketiga ini akan dijabarkan pemikiran Knitter yang berasal dari bukunya yang berjudul

Satu Bumi Banyak Agama. Dalam buku ini kalimat kunci yang penting adalah komitmen

bersama akan kesejahteraan manusia dan bumi.

BAB IV Keunikan Yesus bagi dialog yang membebaskan

Pada bab ini akan dibahas secara singkat hasil atau ringkasan dari pemikiran Paul F. Knitter yang diungkapkan dalam bab II dan III. Setelah itu, melihat bagaimana pandangan atau pemikiran Knitter ini dapat berguna bagi konteks umat Kristen di kota Cirebon. Berguna dalam artian hendak melihat model pemikiran yang bagaimana yang ditawarkan oleh Paul F. Knitter bagi umat Kristen di kota Cirebon sehingga mereka dapat hidup dalam relasi yang lebih baik dengan umat beragama lain di samping tetap berkomitmen pada iman Kristen. Selain itu juga mengaitkan bagaimana tanggung jawab umat Kristen bersama umat beragama lain untuk bekerjasama bagi bumi yang menderita.

BAB V Penutup

Bab terakhir ini berisi kesimpulan seluruh pembahasan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini peneliti akan merancang draft awal berbentuk prototype media interaktif elektronik, perencanaan media dikembangkan dengan menggunakan aplikasi Adobe

Dengan media pengumpulan data wawancara penulis dapat menggunakan hasil jawaban dari responden sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kriteria apa saja yang akan digunakan

China sebagai negara tujuan ekspor dengan nilai tertinggi sejak tahun 2016 sampai tahun 2017 dengan komoditi utamanya sebagian besar sama dengan komiditi ekspor

Berdasarkan analisis hasil studi dan pembahasan tentang Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Pendidikan, dan Kesempatan Kerja Terhadap Disparitas

Apabila pada akhir semester 4 (akhir tahun kedua), sesuai dengan kalender akademik yang berlaku, mahasiswa belum lulus ujian komprehensif, maka mahasiswa Program Doktor

Berdasarkan hasil pengujian guna mengetahui performansi waktu pencarian, jarak dan simpul yang diperiksa dari titik awal menuju titik tujuan dengan Algoritma A*

Biar terserah dengan gosip seperti itu tadi. Yang pasti sampai waktu ini keduanya masih rukun dan tetap dengan janjinya semula, akan menikah secepatnya. Sebenarnya

Valbury Asia Securities hanya sebagai informasi dan bukan ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada siapa pun untuk membeli atau.. menjual suatu