• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENALARAN MORAL PADA REMAJA YANG TINGGAL DI DAERAH KONFLIK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

SOLVIA KARINA TARIGAN 071301004

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN PENALARAN MORAL PADA REMAJA YANG TINGGAL DI DAERAH KONFLIK

Dipersiapkan dan disusun oleh:

SOLVIA KARINA TARIGAN 071301004

Telah dipertahankan didepan Dosen Penguji Pada Tangal 19 Juli 2012

Mengesahkan

Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Ade Rahmawati Siregar, M.Psi., PsikologPenguji I ____________ NIP. 198104032005022001 Merangkap Pembimbing

2. Elvi Andriani, M.Si,. Psikolog Penguji II ____________ NIP. 196405232000032001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2012

(4)

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati Siregar

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik. Remaja adalah individu yang mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana dalam masa peralihan tersebut terjadi perubahan dan perkembangan pada aspek fisik, psikologis, kognisi, dan sosialnya termasuk perkembangan penalaran moral. Penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan penilaian terhadap perilaku yang baik atau buruk, timbul dari dalam diri sendiri bukan karena adanya paksaan dari luar, dengan disertai dengan tanggung jawab. Perkembangan penalaran moral banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Remaja yang tinggal di lingkungan konflik perkelahian akan cenderung untuk meniru dan mengikuti perilaku kekerasan yang sering dilihatnya. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa remaja harus mencapai tahap 5 atau 6 pada tingkat pascakonvensional.

Penelitian ini dilakukan pada 56 orang remaja yang tinggal di daerah konflik di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Alat ukur pada penelitian ini adalah Defining Issue Test (DIT) versi pendek. Defining Issues Test (DIT) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum Kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979). Analisa data yang dilakukan adalah analisa deskriptif. Dari hasil analisa diperoleh bahwa 31 orang berada pada tahap 4 dan 21 orang pada tahap 3 yang artinya 52 orang subjek berada pada tingkat konvensional dimana pada tingkat ini orientasinya pada otoritas hukum dan ketertiban sosial dengan ditandai adanya konformitas dengan teman sebaya. Keterhambatan perkembangan penalaran moral pada subjek dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal.

(5)

Description Of Adolescent’s Moral Reasoning Who Live In Conflicted Area

Solvia Karina Tarigan and Ade Rahmawati Siregar ABSTRACT

This research was a descriptive-quantitative study purposed to describe moral reasoning in adolescene who live in conflicted area. Adolescene is transitioning stage between childhood to adulthood, where change and progress in physic psychological, cognition, and social, include moral reasoning development, will be occured. Moral reasoning is individual's ability to conduct and assess good or bad behavior, which arise within themselves, not because of coercion from society, and to be responsible with their behavior. Individual’s moral reasoning mostly being influenced by the environment where individual’s live. Adolescent who live in conflicted area will tend to imitate violent behavior they have seen. Kohlberg (1995), adolescent must be achieve on stage 5 or stage 6 which is in level post conventional.

This research involved 56 adolescent who live at Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan in North Sumatera. The sampling technique was used simple random sampling. The instrument that being used in this research was Defining Issue Test (DIT) short version. Defining Issues Test (DIT) short version was made by Rest based on a combination of Kohlberg's general theoretical orientation with a psychometric test construction procedures (Rest, 1979). Statistical analysis was used descriptive analysis. Based on analysis found 31 adolescents was categorized on stage 4 and 21 adolescents on stage 3 which means 52 adolescents was categorized on level conventional which this orientation to authority and social order with characterized by conformity with peers. Delayed in development of moral reasoning caused by individual’s living environment.

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : “Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah

Konflik”. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW,

serta orang-orang beriman di jalan-Nya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada kedua orangtua tersayang Dr. Pendastaren Tarigan SH. MS dan Dra. Netty Herawatty Sinulingga atas segala do’a, dukungan, dan kasih sayangnya dalam mendampingi penulis selama ini. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

(7)

3. Ibu Gustiarti Leila, M.Psi . M.Kes, psikolog sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasehat dan bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di Fakultas Psikologi USU.

4. Ibu Elvi Andriani, M.Si,. Psikolog selaku dosen penguji II dalam skripsi ini yang bersedia membimbing penulis dalam menyempurnakan penelitian ini khususnya pada pembahasan teoritis.

5. Bapak Zulkarnain, Ph.D selaku dosen penguji III dalam penelitian ini yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji skripsi ini serta membimbing penulis dalam menyempurnakan penelitian ini khususnya di pembahasan metodologi penelitian.

6. Seluruh dosen Departemen Psikologi Perkembangan atas dukungan dan kesempatan menyelesaikan penelitian ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang diberikan menjadi bekal dikemudian hari.

8. Terima kasih kepada para Kepala Lingkungan di Kelurahan Belawan1 Kecamatan Medan Belawan Pak Syamsir beserta Ibu, Pak Tempo beserta Ibu yang sudah sangat banyak membantu peneliti dalam proses pengambilan data dalam penelitian ini.

(8)

10.Sahabat-sahabat tersayang Inge Amelia Nst, Debby Oktaria, Crizti Nuara, Devi Pratami, Liza Harlini, Safa Maqdisa yang sudah membantu memberi dorongan semangat serta menemani saat survei lokasi dan saat pengambilan data penelitian walau dengan kondisi tempat yang unsecured. Thanks guys, i love both of you.

11.Teman-teman seperjuangan Milna, Ina. Dan teman-teman angkatan 07 yang tiada duanya yang telah mengisi hari-hari penulis selama berkuliah di Fakultas Psikologi Usu. Adik-adik kesayangan penulis UF 2010.

12. Abangnda H. OK. Tun Hidayat beserta sahabat-sahabat di DPW Partai NasDem Sumatera Utara yang turut memberikan semgangat motivasi serta bantuan kepada penulis agar tetap dapat menyelesaikan penelitian ini. 13.Rekan-rekan Liga Mahasiswa Nasdem Se Sumatera Utara yang turut memberikan bantuan dan semangat kepada penulis dalam mengerjakan serta menyelesaikan penelitian ini.

14.Kakak Tapi Yanda Sari ’06 dan kakak Sukmaya Izzati ’04 selaku senior sesama pengguna DIT yang telah banyak memberikan bimbingan singkat dan padat di sela-sela kesibukan kakak-kakak sekalian terutama kak yanda yang ada di kota Panyabungan yang hingga mengutus sepupunya bang Fadli untuk mengantarkan buku DIT terimakasih kakak.

(9)

16.Kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, terima kasih banyak atas bantuannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, mohon maaf bila ada salah. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2012

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN ABSTRAK ... i

HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Penalaran Moral 1. Pengertian Moral ... 9

2. Perkembangan Moral ... 10

3 Penalaran Moral ... 14

4. Perkembangan Penalaran Moral ... 15

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penalaran Moral ... 20

B. Remaja 1. Pengertian Remaja ... 21

2. Karakteristik Masa Remaja ... 22

3. Ciri-ciri Remaja ... 24

4. Perkembangan pada masa Remaja ... 27

5. Penalaran Moral Pada Remaja ... 31

C. Konflik 1. Pengertian Konflik ... 34

(11)

D. Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja Yang

Tinggal Di Daerah Konflik ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 40

B. Definisi Operasional ... 40

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi Penelitian ... 41

2. Sampel Penelitian ... 42

3. Metode Pengambilan Sampel ... 43

4. Jumlah Sampel Penelitian ... 44

D. Alat Ukur Penelitian ... 44

E. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... 45

F. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 46

2. Pelaksanaan Penelitian ... 47

3. Tahap Pengolahan Data ... 48

G. Metode Analisa Data ... 48

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data 1. Gambaran subjek penelitian ... 50

B. Hasil Penelitian 1. Hasil uji asumsi penelitian ... 54

2. Hail utama penelitian ... 55

3. Hasil tambahan penelitian a. Gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik berdasarkan jenis kelamin ... 57

(12)

daerah konflik berdasarkan tingkat pendidikan ... 59 d. Gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di

daerah konflik berdasarkan status tempat tinggal ... 61 C. Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Aspek yang di kembangkan dalam

Defining Issue Test (DIT) ... 47

Tabel 2 Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 52

Tabel 3 Penyebaran subjek berdasarkan usia ... 52

Tabel 4 Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan ... 53

Tabel 5 Penyebaran subjek berdasarkan status tempat tinggal ... 53

Tabel 6 Hasil uji normalitas ... 54

Tabel 7 Deskriptif data penelitian ... 55

Tabel 8 Deskripsi kategorisasi tahap penalaran moral ... 56

Tabel 9 Deskripsi kategorisasi subjek berdasarkan tingkat penalaran moral ... 57

Tabel 10 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan jenis kelamin ... 58

Tabel 11 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan usia ... 59

Tabel 12 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan Tingkat pendidikan ... 60

(14)

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati Siregar

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik. Remaja adalah individu yang mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana dalam masa peralihan tersebut terjadi perubahan dan perkembangan pada aspek fisik, psikologis, kognisi, dan sosialnya termasuk perkembangan penalaran moral. Penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan penilaian terhadap perilaku yang baik atau buruk, timbul dari dalam diri sendiri bukan karena adanya paksaan dari luar, dengan disertai dengan tanggung jawab. Perkembangan penalaran moral banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Remaja yang tinggal di lingkungan konflik perkelahian akan cenderung untuk meniru dan mengikuti perilaku kekerasan yang sering dilihatnya. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa remaja harus mencapai tahap 5 atau 6 pada tingkat pascakonvensional.

Penelitian ini dilakukan pada 56 orang remaja yang tinggal di daerah konflik di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Alat ukur pada penelitian ini adalah Defining Issue Test (DIT) versi pendek. Defining Issues Test (DIT) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum Kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979). Analisa data yang dilakukan adalah analisa deskriptif. Dari hasil analisa diperoleh bahwa 31 orang berada pada tahap 4 dan 21 orang pada tahap 3 yang artinya 52 orang subjek berada pada tingkat konvensional dimana pada tingkat ini orientasinya pada otoritas hukum dan ketertiban sosial dengan ditandai adanya konformitas dengan teman sebaya. Keterhambatan perkembangan penalaran moral pada subjek dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal.

(15)

Description Of Adolescent’s Moral Reasoning Who Live In Conflicted Area

Solvia Karina Tarigan and Ade Rahmawati Siregar ABSTRACT

This research was a descriptive-quantitative study purposed to describe moral reasoning in adolescene who live in conflicted area. Adolescene is transitioning stage between childhood to adulthood, where change and progress in physic psychological, cognition, and social, include moral reasoning development, will be occured. Moral reasoning is individual's ability to conduct and assess good or bad behavior, which arise within themselves, not because of coercion from society, and to be responsible with their behavior. Individual’s moral reasoning mostly being influenced by the environment where individual’s live. Adolescent who live in conflicted area will tend to imitate violent behavior they have seen. Kohlberg (1995), adolescent must be achieve on stage 5 or stage 6 which is in level post conventional.

This research involved 56 adolescent who live at Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan in North Sumatera. The sampling technique was used simple random sampling. The instrument that being used in this research was Defining Issue Test (DIT) short version. Defining Issues Test (DIT) short version was made by Rest based on a combination of Kohlberg's general theoretical orientation with a psychometric test construction procedures (Rest, 1979). Statistical analysis was used descriptive analysis. Based on analysis found 31 adolescents was categorized on stage 4 and 21 adolescents on stage 3 which means 52 adolescents was categorized on level conventional which this orientation to authority and social order with characterized by conformity with peers. Delayed in development of moral reasoning caused by individual’s living environment.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan bagian dari penduduk Indonesia, angkanya pada saat ini mencapai 43.548.576 orang dari penduduk Indonesia (BPS, 2010). Jumlah ini tidak kecil, maka diperlukan perhatian yang cukup besar karena remaja merupakan generasi penerus bangsa. Pada kenyatannya, banyak remaja yang justru menjadi penghambat perkembangan bangsa ini melalui beberapa tindakan kriminal, seperti terlibat dalam pengedaran narkoba ataupun terlibat dalam perkelahian pelajar. Jumlah perkelahian pelajar yang terjadi dari tahun ke tahun pun terus meningkat. Hal ini yang menyebabkan jumlah korban dari setiap terjadinya bentrokan juga terus bertambah (http://www.epsikologi. com/remaja/161001.htm).

(17)

Remaja tidak lagi terfokus pada fakta yang bersifat konkrit tetapi sudah mampu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada. Remaja juga belajar bahwa peraturan diciptakan dan dipertahankan berdasarkan persetujuan sosial dan pengaplikasikannya bersifat relatif bagi setiap orang maupun situasi (Rice, 1993). Furter (1965) menambahkan moral merupakan masalah yang penting dalam masa remaja. Proses perkembangan yang terjadi dalam diri seorang remaja terbentuk dengan apa yang dialami dan diterimanya selama masa anak-anak, sedikit demi sedikit hal tersebut akan mempengaruhi perkembangannya yang akan menuju dewasa. Masalah moral merupakan salah satu aspek penting yang perlu di tumbuh kembangkan dalam diri seseorang.

Penalaran moral berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010). Penalaran moral berperan penting bagi pengembangan prinsip moral. Pada penalaran moral diharapkan seorang remaja yang menghadapi dilema-dilema moral secara reflektif mengembangkan prinsip-prinsip moral pribadi yang dapat bertindak sesuai dasar moral yang diyakini dan bukan merupakan tekanan sosial. Penalaran moral yang seperti ini dapat terbentuk karena penerimaan nilai moral yang diperoleh melalui lingkungan sosial, seperti: keluarga, sekolah, dan kelompok agama yang diproses melalui penalaran dan dicamkan dalam batin.

(18)

ekuilibrasi yang merupakan berbagai logika moral yang kurang lebih komprehensif, yang mana tahap-tahap yang satu secara logis perlu menyusul tahap sebelumnya dan bahwa tidak satupun dapat diloncati.

Köhlberg (1995) menyatakan penalaran moral mencapai tahap tertinggi pada usia sekitar 16 tahun, di mana remaja berhasil menerapkan prinsip keadilan yang universal pada penilaian moralnya. Hal ini sesuai dengan konsep perkembangan penalaran moral yang dikemukakan Kohlberg pada enam tahapan.

Penalaran moral remaja banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), aspek moral remaja tidak dapat berkembang. Nilai-nilai moral yang dimiliki remaja lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar. Remaja belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkahlaku yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik. Lingkungan ini dapat berarti orangtua, saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya (Gunarsa & Gunarsa, 2003).

(19)

watak, kepribadian dan moral anak akan sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi yang terdapat dalam lingkungan keluarganya (Mardiya, 2005).

Lingkungan tempat tinggal berpengaruh pada perkembangan kehidupan seseorang. Tinggal di daerah konflik berpengaruh bagi kehidupan warganya. Tinggal di daerah yang berkonflik dapat membawa dampak bagi kehidupan warganya. Menurut Richard Nelson Jones (1996) dampak negatif dari konflik adalah banyak dan bervariasi. Dampak yang terjadi bisa berupa dampak fisik dan dampak psikis. Dampak fisik seperti kerusakan-kerusakan yang terjadi pada rumah, bisa juga luka-luka pada warga bahkan sampai jatuhnya korban jiwa. Sedangkan dampak psikis seperti trauma, kecendrungan berprilaku agresif, berdampak bagi perkembangan moralnya, serta banyak hal lainnya.

(20)

perebutan penguasaan lahan parkir di sekitar taman pemakaman yang merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar warga disekitar taman pemakaman.

Penanggulangan yang dilakukan belum juga tuntas, terutama masalah perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Hasil wawancara yang dilakukan kepada Kapolsek Medan Belawan bahwa setiap minggu beliau mengirimkan 10 personil untuk menjaga kawasan yang terdiri dari 28 lingkungan tersebut, dan menitikkan personil dari kepolisian pada 5 daerah yang rawan terjadinya perkelahian atau konflik warga antar lingkungan tersebut. Setiap hari pihak kepolisian Medan Belawan melakukan apel (upacara) setiap pagi di lingkungan yang rawan konflik tersebut. secara letaknya, 5 wilayah yang sering terjadi konflik ini hanya dibatasi oleh tempat pemakaman umum (TPU) yang menjadi batas wilayah daerah-daerah tersebut.

Kapolsek juga menambahkan konflik sosial antar lingkungan ini seringkali dipicu oleh masalah sepele dan kesalah fahaman. Dicontohkannya, konflik yang dipicu oleh perkelahian antar anak remaja dalam permainan sepak bola. Selain itu, ketersinggungan yang terjadi ketika saling mengejek oleh anak-anak. Hal-hal seperti ini lah yang sering mengacu perkelahian dilingkungan ini. Lapisan masyarakat yang terlibat bukan hanya pada kalangan orang dewasa, remaja bahkan anak usia 5 tahun pun ikut larut ke dalam perkelahian yang terjadi. tidak ketinggalan juga kaum ibu-ibunya.

(21)

warga karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa penalaran moral dibentuk oleh lingkungan sekitar individu tersebut.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik antar warga.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penalaran moral remaja yang tinggal di daerah konflik. Penelitian ini dilakukan di daerah konflik antar warga di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis

(22)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi para remaja khususnya yang tinggal di daerah konflik sebagai informasi dalam hal penalaran moral.

b. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan para orangtua remaja yang tinggal di daerah konflik sebagai informasi tentang perkembangan moral pada remaja agar dapat lebih memahami tentang masalah moral remaja.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian

(23)

uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

BAB IV : Hasil dan Analisa Data

Bab ini memuat interpretasi dan analisis data sebagai hasil penelitian

BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini memuat kesimpulan dari pembahasan terhadap hasil penelitian, diskusi dan saran-saran untuk pendalaman penelitian selanjutnya.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penalaran Moral 1. Moral

Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Daradjad (1983) mengemukakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran atau nilai-nilai masyarakat yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan dari luar, yang disertai rasa penuh tanggung jawab atas tindakan tersebut. Moralitas dapat dikatakan

sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah,

bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri

ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika

melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).

(25)

Hurlock (1990) menyatakan bahwa ada perilaku moral; yaitu perilaku yang sesuai dengan harapan sosial, ada perilaku tidak bermoral; yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial, perilaku yang demikian tidak semata disebabkan karena ketidakacuhan akan harapan sosial saja melainkan karena ketidaksetujuan dengan standart sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta ada perilaku amoral; yang lebih disebabkan oleh ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran terhadap standar kelompok.

Selanjutnya dapat diambil kesimpulan bahwa moral adalah nilai-nilai perbuatan perilaku yang baik dan buruk yang berhubungan dengan kelompok sosial sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan yang berasal dari luar dirinya.

2. Perkembangan Moral

(26)

dirinya. Dengan kata lain lingkungan termasuk lingkungan budaya dapat merangsang atau bahkan menghambat perkembangan moral seorang individu (Hurlock, 1990).

Hasil penelitian Köhlberg (1995) menyatakan bahwa untuk mendapatkan tahap penalaran moral yang lebih tinggi diperlukan kemampuan menyesuaikan diri dan berperilaku abstrak. Kemampuan menyesuaikan diri dan kemampuan berpikir abstrak sendiri merupakan unsur inteligensi. Dengan demikian, untuk membuat keputusan-keputusan moral seseorang harus memikirkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat dari keputusan tersebut, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Uraian di atas menjelaskan bahwa perkembangan moral merupakan hasil kemampuan yang semakin berkembang dalam memahami kenyataan sosial atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial. Faktor-faktor penentu utama yang didapatkan dari pengalaman bagi perkembangan moral menurut Köhlberg (1995) antara lain adalah jumlah dan keanekaragan pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang yang lain.

(27)

mengenal pandangan anak dan bisa mendorong terjadinya perbandingan pandangan lewat dialog merupakan anak yang lebih maju dalam hal moral (Kohlberg, 1995).

Keluarga memang memegang peranan penting, namun tersedianya kesempatan untuk mengambil peran moral dari teman sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas akan memberikan akibat-akibat positif bagi perkembangan moral seorang individu. Bahkan agama dan pendidikan keagamaan tampaknya tidak memberikan peran khusus apapun dalam perkembangan moral, ini sesuai dengan studi Köhlberg yang memperlihatkan bahwa perbedaan dalan hal keanggotaan religius dan kehadiran dalam peribadatan tidak berhubungan dengan proses perkembangan moral (Köhlberg, 1995).

Sebelum anak memasuki masa remaja, kehidupannya teratur dan mengikuti tata cara tertentu. Setelah memasuki masa remaja tindak tanduknya acapkali mengalami tantangan baik dari teman sebaya maupun generasi yang lebih tua, terutama orang tua mereka. Maka pada masa remaja awal perkembangan moral sangat penting. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengembangkan moral seorang anak adalah dengan pemberian pendidikan disiplin. Disiplin merupakan cara yang akan mengajarkan pada anak apa-apa saja yang dianggap oleh kelompok sosialnya; baik itu tradisi, peraturan dan adat istiadat, tentang benar dan salah, dan mengusahakan agar anak-anak bertindak sesuai dengan pengetahuan yang telah diajarkan ini (Kohlberg, 1995).

(28)

tidak ditolak dan mempertahankan statusnya dalam kelompok sebaya tersebut, tetapi bukan berarti anak remaja meninggalkan kode moral keluarga dan mengikuti kode moral kelompok. Oleh karena itu, penggunaan teknik-teknik disiplin yang efektif ketika remaja masih kanak-kanak cenderung menyebabkan kebencian pada saat anak memasuki masa remaja. Oleh karenanya dibutuhkan perkembangan suara hati, rasa bersalah, dan rasa malu untuk mencegah kebencian seorang remaja pada orang tua atau standar masyarakat (Kohlberg, 1995).

(29)

3. Penalaran Moral

Tugas perkembangan pada masa remaja salah satunya adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok kepada dirinya dan kemudian membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti pada masa kanak-kanak. Konsep moral yang dikembangkan oleh Köhlberg lebih menekankan pada alasan yang menjadi dasar seseorang bisa melakukan suatu tindakan. Alasan-alasan mengapa seseorang bisa melakukan suatu tindakan tersebut oleh Köhlberg disebut sebagai penalaran moral (Hurlock, 1999). Penalaran moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari kegiatan rasional. Kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah (faktor-faktor afektif) ikut berperan dalam penalaran moral, akan tetapi situasi-situasi moralnya sendiri ditentukan secara kognitif oleh penalaran moral pribadi (Hurlock, 1999).

Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) terkait dengan jawaban dari pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik-buruk atau benar-salah. Kemampuan penalaran moral merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memakai cara berpikir tertentu yang dapat menerangkan apa yang telah dipilihnya, mengapa melakukan ataupun tidak melakukan suatu tindakan.

(30)

merupakan alasan dari suatu tindakan. Dengan demikian penalaran moral bukanlah apa yang baik atau yang buruk. Masih menurut Setiono (1982), penalaran moral dipandang Köhlberg sebagai isi yang baik atau yang buruk akan sangat tergantung kepada sosio-budaya tertentu sehingga relatif sifatnya. Tetapi bila penalaran moral dipandang sebagai struktur, maka dapat dikatakan adanya perbedaan penalaran moral antara seorang anak dan orang dewasa, sehingga dapat dilakukan identifikasi terhadap perkembangan moral. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu untuk melakukan suatu penilaian atau mempertimbangkan nilai-nilai perilaku mana yang benar dan salah atau mana yang baik dan buruk, yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan dari luar dirinya, yang disertai rasa penuh tanggungjawab serta pengalaman sosial yang turut mempengaruhi perbedaan penilaian ataupun pertimbangan dalam diri individu tersebut (Setiono, 1982).

4. Perkembangan Penalaran Moral

(31)

Pada perkembangan penalaran moral ini orang tua dan guru perlu mengerti betul dan bertanggung jawab atas penuntunan cara penyelesaian suatu masalah. Pendidikan di rumah dan di sekolah juga dapat membantu perkembangan moral remaja. Yaitu dengan disiplin yang tetap memberikan kesempatan pada remaja untuk membuat keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral (Kohlberg, 1995).

Atkinson, Atkinson & Hilgard (1999), mengemukakan bahwa kemampuan individu untuk mengambil keputusan tentang moral berhubungan erat dengan perkembangan kognitif. Hal ini berarti bahwa individu yang berusia lebih tua lebih memikirkan konsep abstrak dan menarik kesimpulan yang lebih logis mengenai interaksi sosial dibandingkan dengan mereka yang masih muda, dalam hal ini adalah remaja.

Penalaran moral seorang individu berkembang dari semenjak dari bayi sampai menjadi dewasa. Perkembangannya sendiri merupakan suatu proses yang melalui pentahapan tertentu. Perkembangan penalaran moral sendiri lebih terlihat sebagai usaha seorang individu untuk memelihara keseimbangan (equilibrium) antara asimilasi dan akomodasi. Asimilasi disini adalah kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sedang akomodasi adalah kecenderungan individu untuk mengubah lingkungannya agar sesuai dengan dirinya (Setiono, 1982).

(32)

keadaan seimbang (equilibrium). Pada saat kesimbangan (equilibrium) terpenuhi, maka individu dapat mencapai perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi (Setiono, 1982).

Perkembangan penalaran dari Köhlberg menekankan pada alasan yang digunakan oleh seseorang dalam menilai suatu perilaku. Dalam mengembangkan teorinya Köhlberg berpegang pada undang-undang dan hukum yang merupakan tata tertib yang disetujui oleh suatu masyarakat, dan bukan dari apa yang paling baik dan adil bagi masyarakat yang mempunyai sistem yang berbeda-beda (Pratidarmanastiti, 1991).

Dengan demikian ini membuktikan bahwa tata tertib ideal dapat terwujud dari hasil akal pribadi yang otonom dan lepas dari pandangan-pandangan yang dianut masyarakat. Sikap otonomi inilah yang merupakan sikap etis dan moral yang adekuat. Maka berdasar pemikiran ini dapat disimpulkan bahwa manusia atau seorang individu itu adalah merupakan suatu pribadi yang mandiri (Pratidarmanastiti, 1991).

Pokok pemikiran Köhlberg (1995) mengenai tahapan penalaran moral sebagai berikut :

1) Inti moral adalah keadilan. Keadilan disini mempunyai arti bahwa individu dituntut untuk jujur, menghargai dan memperhatikan hak-hak pribadi. Dan tahap-tahap penalaran moral yang diajukan selalu menuju kearah maju dalam menerapkan prinsip-prinsip keadailan.

(33)

3) Tahap-tahap penalaran moral ini menunjukkan tingkatan seorang individu dalam memecahkan dilema moral yang terjadi kepadanya.

4) Tahap-tahap penalaran moral ini bersifat universal, maksudnya setiap individu akan melalui urutan tahap yang sama. Perbedaannya hanya pada hal kecepatan dan sejauhmana tahap dapat dicapai.

Penalaran moral dalam konsep Köhlberg berkembang melalui tahapan tertentu. Perkembangan penalaran moral menurut Köhlberg dibagi menjadi tiga tingkatan, dimana tiap tingkatannya terbagi lagi menjadi dua tahap yang saling berkaitan, yaitu :

1) Tingkat pra-konvensional

Individu memandang kebaikan identik dengan kepatuhan terhadap otoritas dan menghindari hukuman. Tingkatan moral pra-konvensional dalam konteks interaksi antar individu dengan lingkungan sosialnya ditandai oleh baik-buruk yang berdasarkan pada keinginan diri sendiri.

Tingkatan pra-konvensional dibagi menjadi dua tahapan, yaitu :

Tahap 1 : orientasi hukuman dan kepatuhan (sekitar 0-7 tahun).

(34)

Tahap 2 : orientasi relativitas instrumental (sekitar 10 tahun).

Pada tahap ini anak beranggapan bahwa perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. Anak sudah lebih menyadari tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi dan keinginan-keinginan, serta bertindak demi orang lain tetapi dengan mengharapkan suatu balasan. Hubungan antar manusia kadang-kadang ditandai relasi timbal balik. 2) Tingkat konvensional

Individu pada tingkat ini memandang bahwa memenuhi harapan-harapan keluarga dan kelompok dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga pada diri sendiri, tidak mempedulikan lagi pada akibat-akibat yang langsung dan nyata (kelihatan). Sikapnya sangat konformis terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial. Bahkan, individu sangat loyal dan aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini meliputi :

Tahap 3 : orientasi kesepakatan antar pribadi (sekitar usia 13 tahun). Tahap ini biasa disebut sebagai orientasi “Anak Manis”. Tahap ini memadang perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Tindakan seseorang direncanakan untuk mendapatkan penerimaan dan persetujuan dari lingkungan sosial dan kelompoknya. Pada tahap ini perilaku sering di nilai menurut niatnya.

Tahap 4 : orientasi hukum dan ketertiban (sekitar 16 tahun)

(35)

tahap ini perilaku yang baik adalah yang melakukan kewajiban, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial yang ada sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3) Tingkat paska-konvensional

Pada tingkat paska-konvensional terdapat usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan serta dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip moral yang universal, yang tidak terkait dengan aturan-aturan setempat atau seluruh masyarakat. Tingkatan ini terbagi menjadi :

Tahap 5 : orientasi kontrak sosial yang legalistik (sekitar dewasa awal) Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat.

Tahap 6 : orientasi prinsip etika universal (masa dewasa)

Benar atas suatu perbuatan ditentukan oleh keputusan suara hati, sesuai dengan prinsip etis yang dipilih sendiri, hukum tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting tetapi ada nilai-nilai yang lebih tinggi yaitu prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak dan keamanan martabat manusia sebagai seorang pribadi (Köhlberg, 1995).

(36)

(2) Faktor keluarga, (3) Faktor budaya, (4) faktor Gender, (5) Faktor pendidikan. Menurut Duska dan Whelan (1982) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral adalah lingkungan sosial, perkembangan kognitif, empati dan konflik kognitif. Sedangkan menurut Haderman sebagaimana dikutip Jersild (1975) yang menunjukkan faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan moral adalah status sosial-ekonomi, tingkat inteligensi, sikap orang tua serta latarbelakang budaya.

Keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan penalaran moral merupakan proses perubahan yang terjadi secara bertahap menuju kematangan dalam penilaian atau pertimbangan terhadap nilai-nilai perbuatan yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan dari luar, yang disertai pula dengan rasa tanggung jawab.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah Adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1990). Piaget (dalam Hurlock, 1990) menyatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

(37)

seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks, Knoers, & Haditono (2002) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Batasan usia remaja menurut WHO adalah 10-20 tahun, hal ini di dasarkan atas kesehatan remaja yang mana kehamilan pada usia-usia tersebut memang mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada kehamilan dalam usia-usia diatasnya (Sarwono, 2002).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan remaja adalah individu yang sedang mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dalam rentangannya terjadi perubahan-perubahan dan perkembangan pada aspek fisik, psikologis, kognisi, dan sosialnya. Rentang usia pada masa remaja tersebut adalah antara 12-21 tahun.

2. Karakteristik Masa Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks, Knoers, & Haditono (2002) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Remaja awal (12-15 tahun)

(38)

sendiri tentang benar dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan buruk apa yang ditolak oaring lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima saat masih kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja berda dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat mempertanggungjawabkannya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

(39)

3. Ciri-ciri Remaja

Hurlock (1999) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa kanak-kanak dan dewasa. Ciri-ciri tersebut antara lain :

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan tertentu, baik yang bersifat fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru (Hurlock, 1999).

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

(40)

Pada masa peralihan ini remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Perubahan itu adalah :

a) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi

b) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan menimbulkan masalah. Remaja akan tetap ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya.

c) Perubahan minat dan pola perilaku menyebabkan nilai-nilai juga berubah. Misalnya, sebagian besar remaja tidak lagi menganggap bahwa banyak teman merupakan petunjuk popularitas, mereka mulai mengerti bahwa kualitas pertemanan lebih penting daripada kuantitas teman.

(41)

bertanggung jawab akan akibat perbuatan mereka dan meragukan kemampuan mereka sendiri untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masa remaja dikatakan sebagai usia bermasalah karena sepanjang masa kanak-kanak sebagian permasalahan anak-anak diselesaikan oleh guru atau orang tua mereka, sehingga pada masa remaja mereka tidak cukup berpengalaman dalam menyelesaikan masalah. Namun, pada masa remaja mereka merasa ingin mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-gurunya sampai pada akhirnya remaja itu menemukan bahwa penyelesaian masalahnya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada akhir masa kanak-kanak sampai pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan standar kelompok jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada individualitas. Namun, pada masa remaja mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya dalam segala hal.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

(42)

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain seperti yang mereka inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini tidak saja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain disekitarnya (keluarga dan teman-temannya) yang akhirnya menyebabkan meningginya emosi. Kemarahan, rasa sakit hati, dan perasaan kecewa ini akan lebih mendalam lagi jika ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Meskipun belumlah cukup, remaja yang sudah pada ambang remaja ini mulai berpakaian dan bertindak seperti orang-orang dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam perbuatan seks dengan harapan bahwa perbuatan ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

4. Perkembangan pada masa remaja

Periode yang disebut masa remaja akan dialami oleh semua individu. Awal timbulnya masa remaja ini dapat melibatkan perubahan-perubahan yang mendadak dalam tuntutan dan harapan sosial atau sekedar peralihan bertahap dari peranan sebelumnya. Meskipun bervariasi, satu aspek remaja bersifat universal dan memisahkannya dari tahap-tahap perkembangan sebelumnya.

(43)

Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas. Pubertas ialah suatu periode di mana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja. Empat perubahan yang paling menonjol pada perempuan ialah menarche, pertambahan tinggi badan yang cepat, pertumbuhan buah dada, dan pertumbuhan rambut kemaluan; sedangkan empat perubahan tubuh yang paling menonjol pada laki-laki adalah pertumbuhan tinggi badan yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis, dan pertumbuhan rambut kemaluan (Santrock, 2002).

2) Perkembangan psikis

(44)

Remaja berusaha keras melakukan adaptasi terhadap tuntunan lingkungan hidupnya, penilaian yang amat tinggi terhadap orang tua kini makin berkurang, dan digantikan dengan respek terhadap pribadi-pribadi lain yang dianggap lebih memenuhi kriteria afektif-intelektual remaja sendiri. Contohnya adalah pribadi-pribadi ideal berwujud seorang guru atau pemimpin (Mussen, 1994).

3) Perkembangan kognisi

Kemampuan kognitif pada masa remaja berkembang secara kuantitatif dan kualititatif. Kuantitatif artinya bahwa remaja mampu menyelesaikan tugas-tugas intelektual dengan lebih mudah, lebih cepat dan efisien dibanding ketika masih kanak-kanak. Dikatakan kualitatif dalam arti bahwa perubahan yang bermakna juga terjadi dalam proses mental dasar yang digunakan untuk mendefinisikan dan menalar permasalahan (Mussen, 1994). Pemikiran remaja yang sedang berkembang semakin abstrak, logis dan idealistis. Remaja menjadi lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Santrock, 2002).

4) Perkembangan sosial

(45)

Dalam proses ini remaja secara bertahap mengembangkan suatu filsafat kehidupan dan pengertian akan identitas diri (Mussen, 1994).

Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat, penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang singkat remaja mengalami perubahan yang bertolak belakang dari masa kanak-kanak, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya. Kegiatan dengan sesama jenis ataupun dengan lawan jenis biasanya akan mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas (Hurlock, 1999).

5) Perkembangan moral

Dalam catatan perkembangan moral psikoanalisis, penghukuman diri sendiri atas suatu kesalahan bertanggung jawab untuk mencegah anak dari melakukan pelanggaran. Yaitu anak-anak menyesuaikan diri dengan standar-standar masyarakat untuk menghindari rasa bersalah. (Santrock, 2002).

(46)

saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya (Gunarsa & Gunarsa, 2003).

5. Penalaran Moral Pada Remaja

Köhlberg (dalam Santrock, 2002) menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan pada perspektif kognitif terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Köhlberg percaya bahwa ketiga tingkatan dan keenam tahapan moral tersebut terjadi dalam suatu urutan dan berkaitan dengan usia.

Pada saat bayi, mereka tidak mempunyai hierarki nilai dan suara hati, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral. Bayi akan mempelajari kode moral dari orang tua dan lingkungan sosialnya serta belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral. Karena tidak memiliki norma yang pasti tentang benar-salah, maka bayi menilai benar atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang lain. Bayi menganggap suatu tindakan salah hanya bila ia sendiri mengalami akibat buruknya. (Santrock, 2002).

(47)

anggota kelompok sosial. Oleh karenanya anak harus belajar berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus. Anak hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa dia melakukan tindakan tersebut. Köhlberg (Hurlock, 1999) memperinci, bahwa sebelum anak-anak usia 9 (sembilan) tahun mereka kebanyakan berpikir tentang dilema moral dengan cara pra-konvensional.

Ini berarti individu pada tingkat pra-konvensional belum sampai pada pemahaman yang sesungguhnya mengenai kepatuhan terhadap konvensi atau aturan-aturan masyarakat. Dalam tahap pertama, anak-anak berorientasi patuh dan hukuman, ia menilai benar-salahnya perbuatan berdasarkan akibat-akibat fisik dari perubahan itu. Dalam tahap kedua anak-anak mulai menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian. Konsep benar-salah yang ada pada tingkat prakonvensional masih bersifat umum, konsep-konsep moral yang digeneralisasikan yang mencerminkan nilai moral anak tidak statis. Ini akan berubah dengan bertambah luasnya lingkup sosial anak (Hurlock, 1999).

(48)

Pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan cara paska-konvensional. Mereka memahami aturan-aturan masyarakat atau penguasa, tetapi penerimaannya didasarkan atas penerimaan prinsip-prinsip moral yang mendasari aturan-aturan tersebut. Dengan kata lain individu pada tingkat paska-konvensional akan membuat keputusan moral dengan lebih mengutamakan prinsip-prinsip moral dari pada konvensi atau aturan-aturan masyarakat dan penguasa (Hurlock, 1999).

Hurlock (1999) menyatakan selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, orang tua lebih mudah menerapkan nilai moral dan disiplin dibandingkan selama masa remaja. Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, perkembangan kognitif anak sudah semakin matang sehingga memungkinkan orang tua untuk bermusyawarah dengan mereka tentang penolakan penyimpangan dan pengendalian perilaku mereka. Namun pada masa remaja, penalaran anak-anak menjadi lebih canggih, dan mereka cenderung kurang dapat menerima disiplin orang tua, menuntut kemandirian lebih tegas, yang akhirnya menimbulkan kesulitan bagi hubungan antara orang tua dengan remaja itu sendiri.

(49)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran moral pada remaja merupakan kemampuan kognitif yang berpindah dari tingkat konvensional ke tingkat paska konvensional yang dipengaruhi oleh nilai-nilai moral yang berasal dari pengalaman-pengalaman lingkungan, hasil dari mengatasi konflik terhadap perubahan yang muncul dalam perkembangan moral remaja dan interaksi yang semakin luas seperti pengalaman hidup bersama dengan orang lain serta peristiwa dan situasi-situasi yang mereka alami sehari-hari, yang akhirnya akan menumbuhkan perasaan dan kepekaan mereka terhadap realitas.

C. Konflik

1. Pengertian Konflik

Konflik, perselesihan, percekcokan, pertentangan dan perkelahian, merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Seperti pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat bila konflik itu diuraikan dan dilukiskan.

a. Konflik menurut Webster (dalam pickering 2000) mendefinisikan konflik sebagai berikut yaitu

1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain

(50)

3. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan

4. Perseteruan

b. Dahrendorf (dalam Soekanto, 1990) membahas suatu tendensi yang melekat pada konflik di dalam masyarakat.

Kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan akan memperjuangkan kepentingan-kepentinganya, dan kelompok yang tak memiliki kekuasaan akan berjuang, dan kepentingan-kepentingan mereka sering berebeda, bahkan saling bertentangan. Cepat atau lambat menurut Dahrendorf (dalam Soekanto, 1990) di dalam beberapa sistem yang kekuasaannya kuat mungkin secara cermat membuat kubu-keseimbangan antara kekuasaan dan perubahan oposisi, dan masyarakat berubah. Jadi, konflik adalah “kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”. Dari uraian di atas kesimpulannya, konflik ialah proses atau keadaan dimana dua atau lebih dari pihak-pihak itu melakukan persaingan, pertentangan, perselisihan dan perseteruan dengan berusaha menggagalkan tujuan masing-masing pihak dan hal itu merupakan “kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”.

2. Faktor Penyebab Konflik Perkelahian Warga

(51)

a. Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik

b. Konflik-konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur sosial masyarakat.

c. Kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua kelompok yang saling bertentangan.

d. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan deferensial distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang berkuasa dan dikuasai

e. Penjelasan suatu konflik akan menimbulkan perangkat kepentingan baru yang saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu menimbulkan konflik

f. Perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga.

D. Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja Yang Tinggal Di Daerah Konflik

(52)

tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).

Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia, Olds & Fieldman 2001). Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan

bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).

(53)

Banyak faktor yang mempengaruhi penalaran moral. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penalaran moral remaja adalah lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), aspek moral remaja tidak dapat berkembang. Nilai-nilai moral yang dimiliki remaja lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar. Remaja belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkahlaku yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik. Lingkungan ini dapat berarti orangtua, saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya (Gunarsa & Gunarsa, 2003).

(54)
(55)

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan (Hadi, 2002). Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode kuantitatif yang bersifat dekriptif yang dimaksud untuk melihat bagaimana gambaran perkembangan penalaran moral remaja yang tinggal di daerah konflik antar warga di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara.

Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Metode deskriptif bertujuan untuk mengambarkan suatu fenomena yang terjadi, tanpa bermaksud mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum (Hadi, 2000).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk dapat menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan identifikasi variabel-variabel yang ada pada penelitian ini. Dalam penelitian ini variabel yang terlibat adalah penalaran moral remaja.

B. Definisi Operasional

(56)

diri, bukan karena paksaan dari luar, yang disertai dengan tanggung jawab. Tahap penalaran moral dalam penelitian ini mengacu pada tahapan penalaran moral yang dikemukakan oleh Köhlberg (1995).

Penalaran moral diukur dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT) versi pendek (Rest,1979) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Defining Issues Test (DIT) versi pendek merupakan tes tertulis yang menyediakan tiga permasalahan moral bagi subjek dalam bentuk cerita, dimana setiap cerita diikuti dengan 12 pernyataan. Setiap pernyataan ini mencerminkan suatu tahap perkembangan moral tertentu.

Penalaran moral dalam penelitian ini ditunjukkan melalui nilai P dari test DIT (Defining Issues Test). Rentang nilai P dari 0-95 dimana Nilai P (principle morality) yang merupakan penilaian relative (relative impertance) subjek tentang pertimbangan prinsip moral dalam menghadapi suatu dilema moral, diperoleh dari penjumlahan nilai yang diperoleh subjek untuk tahap 5A, 5B, dan 6. Tahap 5A, 5B, dan 6 berhubungan dengan morality of sosial contract, morality of intuitive humanism dan morality of principle of idea social cooperation. Semakin tinggi nilai P menunjukkan semakin tinggi penalaran moral. Sebaliknya, semakin rendah nilai P menunjukkan semakin rendah penalaran moral.

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi Penelitian

(57)

yang sama (Hadi, 2002). Populasi didefinisikan sebagai kelompok orang yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 1997). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di daerah konflik. 2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi (Hadi, 2000). Menurut Sugiyono (2004) populasi adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Karena Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel. Sampel dari penelitian ini remaja yang tinggal di daerah konflik di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan.

Ciri-ciri atau karakteristik dari sampel penelitian ini adalah : 1. Tinggal di daerah Kelurahan Belawan 1

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Belawan 1 karena daerah ini merupakan daerah terjadinya konflik antarwarga.

2. Berusia 18-21 tahun

(58)

3. Pendidikan SMP-SMA

Pada penelitian ini menggunskan subjek yang tingkat pendidikannya SMP sampai dengan SMA hal ini karena menurut Supeni (dalam Muslimin, 2004) menyatakan bahwa faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral. Dalam hal ini remaja yang tinggal di daerah Kelurahan Belawan 1 mayoritas tingkat pendidikannya SMP sampai dengan SMA.

3. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menurut Kerlinger (Dalam Mustafa, 2000) berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau semesta itu. Teknik sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar benar-benar mewakili populasi.

Teknik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Menurut Mustafa (2002), simple random sampling adalah cara atau teknik yang dapat dilakukan jika analisis penelitian cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi bukan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa dipilih menjadi sampel.

(59)

didapatkan hasil jumlah keseluruhan maka dipilihlah secara acak sebanyak 60 orang remaja sebagai subjek dalam penelitian ini.

4. Jumlah Sampel Penelitian

Azwar (2007), menyatakan bahwa secara tradisional, statistik menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka jumlah sampel yang direncakan dalam penelitian ini adalah sekitar 100 orang. Menurut Siegel (1992), kekuatan sebuah tes secara statistik akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel.

D. Alat Ukur yang Digunakan

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Hadi, 2000). Alat ukur yang digunakan dalam penlitian ini adalah Defining issues test (DIT) yang dikembangakan oleh Rest (1979). Alat ukur ini bertujuan untuk melihat bagaimana pandangan seseorang dalam menyelesaikan suatu situasi yang mengandung dilema moral. DIT merupakan suatu tes pilihan berganda yang bersifat objektif, disusun berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg. Saat ini telah ada dua versi, yaitu DIT-1 dan DIT-2. Dalam penelitian ini digunakan DIT-1 bentuk pendek (short form)

(60)

moral tertentu. Untuk setiap pernyataan subjek harus memilih salah satu pertimbangan dari lima pertimbangan yang ada, yaitu : sangat penting, penting, agak penting, kurang pening, dan tidak penting. Langkah selanjutnya adalah menentukan urutan (ranking), pertanyaan mana yang menurut subjek merupakan pernyataan terpenting pertama, terpenting kedua, terpenting ketiga, dan terpenting keempat.

Pada intinya, tahap yang ditampilkan dalam DIT mengikuti tahap perkembangan penalaran moral dari Kohlberg, tetapi Rest tidak menggunakan urutan yang sama persis. Dalam DIT urutan yang digunakan adalah tahap 2, 3, 4, 5A, 5B dan 6. Tahap 5A dan tahap 5B merupakan penjabaran dari tahap 5 Kohlberg. Tahap 1 tidak digunakan dalam DIT karena Rest tidak menggunakan anak kecil sebagai subjek penelitian dalam menyusun DIT. Hasil akhir tes tidak meletakkan seseorang pada tahap perkembangan tertentu, tapi menghasilkan skor kuantitatif yang menunjukkan kemampuan yang lebih dalam memahami dan menetapkan prinsip moral abstrak, dalam bentuk indeks P (0-95). Indeks P diperoleh dengan menjumlahkan skor berdasarkan prinsip, yaitu pada tahap 5A, 5B dan 6 (Rest, 1979).

E. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur

(61)

melakukan fungsi ukurnya dan memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2001). Oleh karena itu alat ukur yang digunakan harus memiliki validitas dan reliabilitas sebagai alat ukur.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rest (1979), reliabilitas tes DIT menunjukkan koefisien 0,44 hingga 0,92. Koefisien validitasnya adalah 0,68. Skala Pengungkap Pendapat Tentang Masalah-Masalah Sosial telah digunakan oleh Pratidarmanastiti (1991) pada siswa SMA se-Yogyakarta dalam penelitiannya dan didapatkan rtt = 0,830, yang berarti tes ini dapat diandalkan.

[image:61.595.105.518.421.591.2]

Aspek-aspek yang dikembangkan dalam Defining Issue Test (DIT) seperti pada tabel di bawah ini

Tabel 1. Aspek yang di kembangkan dalam Defining Issue Test (DIT)

No Aspek

1. Menimbang kekuatan relatif akan sistem nilai yang berkompetisi didalam suatu situasi

2. Memperhitungkan apa yang harus dilakukan seseorang dalam suatu situasi atas dasar prioritas pertimbangan tertentu

3. Merumuskan rencana tindakan atas dasar system nilai yang relevan

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian a. Persiapan Alat Ukur

(62)

berganti nama menjadi “Skala Pengungkap Pendapat Tentang Masalah-Masalah Sosial” berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya.

b. Uji Coba Alat Ukur

Penelitian yang menggunakan alat ukur tunggal Defining Issue Test (DIT) tidak melakukan ujicoba alat ukur karena menurut penelitian Davidson dan Robbins (dalam Rest, 1979) konsistensi internal Alpha Cronbach pada DIT adalah antara 0.70-0.80. Pada penelitian Wahareni (2006) dilakukannya uji coba alat ukur pada Skala Pengungkap Pendapat Tentang Masalah Masalah Sosial, item yang dinyatakan valid

menunjukkan rhitung terendah sebesar 0,507 dan rhitung sebesar 0,882. Ini

berarti rhitung lebih besar rtabel. Ini berarti dari 12 item Skala pengungkap

pendapat tentang masalah-masalah sosial semuanya valid.

2. Pelaksanaan Penelitian

(63)

3. Tahap Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah memperoleh data dari skala Defining Issue Test (DIT) yang dalam penelitian ini menggunakan “Skala Pengungkap Pendapat Tentang Masalah-Masalah Sosial”. Selain menggunakan perhitungan manual sesuai dengan panduan revised manual book for Defining Issues Test peneliti juga menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS for windows 17.0 version dalam mengolah data penelitian.

G. Metode Analisa Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif. Hadi (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif akan menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Analisis deskriptif ini bertujuan untuk melihat gambaran mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh untuk kelompok subjek yang diteliti dan tidak bermaksud untuk pengujian hipotesis. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh.

(64)

penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah secara tidak terlalu mendalam.

Azwar (1999) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dapat ditafsirkan. Pengolahan data hasil Skala Pengungkap Pendapat Tentang Masalah-Masalah Sosia

Gambar

Tabel 1. Aspek yang di kembangkan dalam Defining Issue Test (DIT)
Tabel 2. Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4. Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan
Tabel 5. Penyebaran subjek berdasarkan status tempat tinggal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan Kuantitatif Analisis SWOT Pendekatan kuantitatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui posisi objek wisata Pemandian Manigom pada

[r]

Berdasarkan kesimpulan dari hasil analisis diatas, penulis merekomendasikan beberapa usulan kepada KP-RI BERINGIN Tuban untuk dapat meningkatkan efektivitas pemberian kredit seperti

KEADAAN TEMPAT KERJA : Bekerja dalam ruangan dengan kondisi umum tempat kerja dan lingkungan kerja tidak terdapat karakteristik yang berpengaruh negatif

Dengan melihat gaya belajar dari sebagian besar mahasiswa IT di UKM yang Extroversion – Intuition dan gaya belajar yang Individu “visual” maka proses

Data yang diperoleh dari lembar observasi yang diisi oleh observer dijadikan masukan bagi peneliti untuk melakukan refleksi pada kegiatan berikutnya...

Seperti disampaikan oleh Hamalik (Arsyad, 2006: 16), bahwa pemakaian media dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan

Temporary Piping Restraints: A Solution (http://www.spartaengineering.com/temporary­ piping­restraints­engineering­ solution/) May 8th, 2016 Temporary Line Pipe Restraint