• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI STREPTOKOKUS GRUP B (SGB)

YANG DIISOLASI DARI PENDERITA KOMPLIKASI

OBSTETRI SEBAGAI LANDASAN PEMBERIAN

TERAPI DAN IMUNOPROFILAKSIS TERHADAP

INFEKSI NEONATAL

ZINATUL HAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

“KARAKTERISASI STREPTOKOKUS GRUP B (SGB) YANG DIISOLASI DARI PENDERITA KOMPLIKASI OBSTETRI

SEBAGAI LANDASAN PEMBERIAN TERAPI DAN IMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI NEONATAL”

Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 20 Mai 2005

(3)

ABSTRAK

ZINATUL HAYATI. Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN sebagai Ketua, SRI BUDIARTI POERWANTO, IMAM SUPARDI dan KAMALUDDIN ZARKASIE, masing-masing sebagai Anggota Komisi.

Streptokokus Grup B (SGB) adalah penyebab utama infeksi serius pada neonatus seperti pneumonia, septikemia dan meningitis. Komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting timbulnya insidensi infeksi neonatal. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri yang digunakan sebagai landasan dalam mencari cara pencegahan yang efektif terhadap infeksi neonatal. Identifikasi bakteri dilakukan dengan uji CAMP dan imunodifusi menggunakan antiserum spesifik terhadap SGB. Dari 38 orang penderita komplikasi obstetri dapat diisolasi SGB sebanyak 10 orang (26,32%). Sembilan puluh persen isolat tumbuh keruh pada media cair dan memperlihatkan bentuk koloni yang difus pada soft-agar. Streptokokus Grup B yang tumbuh keruh dan koloni difus mengekspresikan karakter hidrofilik pada salt aggregation test (SAT). Sebaliknya satu isolat SGB lainnya tumbuh dengan supernatan yang jernih dan sedimen di dasar tabung pada media cair, bentuk koloni kompak pada soft-agar dan memiliki karakter hidrofobik. Distribusi serotipe SGB yang diperoleh adalah serotipe VI (40%), VII (30%), III (20%) dan VIII (10%). Pada skrining hialuronidase dengan uji plate agar-hyaluronidase, semua isolat memperlihatkan adanya aktivitas hialuronidase. Streptokokus Grup B SV-14 dipilih dan digunakan untuk investigasi selanjutnya. Purifikasi hialuronidase dilakukan dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel. Hasil purifikasi SGB SV-14 menunjukkan aktivitas spesifik hialuronidase sebesar 0.32 U/mg dengan konsentrasi protein sebesar 2.3 mg/ml. Berat molekul hialuronidase yang ditentukan dengan SDS-PAGE kira-kira 100 kD. Uji patogenisitas SGB yang dilakukan pada mencit neonatus yang diinjeksi suspensi bakteri secara intraperitoneal menunjukkan bahwa bakteri ini umumnya menyebabkan infeksi early-onset. Isolat SR-7 yang merupakan SGB serotipe VI yang diisolasi dari penderita abortus (mola hidatidosa) adalah isolat yang paling patogenik. Hasil uji sensitivitas antibiotika yang ditentukan dengan metode difusi cakram Kirby-Bauer menunjukkan bahwa semua isolat SGB masih sensitif terhadap penisilin dan ampisilin sedangkan terhadap gentamisin, tertasiklin dan eritromisin telah mengalami resistensi masing-masing sebanyak 100%, 90% dan 60%. Uji imunogenisitas dilakukan dengan mengukur konsentrasi IgG spesifik serum mencit bunting pascavaksinasi dengan masing-masing isolat bakteri yang diinaktivasi dengan pemanasan melalui indirect-ELISA. Hasil uji menunjukkan bahwa umumnya konsentrasi IgG menurun dengan cepat kecuali vaksin SR-7 yang memperlihatkan konsentrasi IgG yang terus meningkat sampai hari ke-5 pascavaksinasi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pemberian kemoprofilaksis intrapartum dengan antibiotika golongan penisilin lebih efektif dalam usaha pencegahan infeksi neonatal.

(4)

ABSTRACT

ZINATUL HAYATI. Characterization of Group B Streptococci Isolated from the Obstetrical Complication Patients as the Based of Therapy and Immunoprophylaxis on Neonatal Infection. Under guidance by I WAYAN TEGUH WIBAWAN as a chairman, SRI BUDIARTI POERWANTO, IMAM SUPARDI and KAMALUDDIN ZARKASIE as members of advisory committee.

Group B Streptococci (GBS) are the major cause of serious infections in neonates, including pneumonia, septicemia and meningitis. Obstetric complications are important risk factor of insidence of neonatal infection. This research was conducted in order to characterize of GBS isolated from obstetric complication patients and used as base of prevention of neonatal infection. The identification of GBS was done by CAMP test and immunodiffusion using specific serum against Group B Streptococci. Group B Streptococci could be isolated from 10 of 38 pregnant women with obstetric complication. Most of GBS culture (90%) grew turbid in fluid media and showed diffuse colonies in soft-agar. Group B Streptococci with turbid growth and diffuse colonies expressed hydrophylic characters in salt aggregation test (SAT). Contrary, one culture of GBS grew as sediment with clear supernatan in fluid media, compact colonies in soft-agar and had hydrofobic character. Serotype distribution of GBS are VI (40%), VII (30%), III (20%) and VIII (10%). All GBS isolates showed hyaluronidase activity on agar-hyaluronidase plate test. Group B Streptococci SV-14 is selected and used for further investigation. Hyaluronidase purification was done using gel filtration chromatography. Purified hyaluronidase of GBS SV-14 had specific activity of 0.32 U/mg with protein concentration 2.3 mg/ml. The patogenicity test of GBS was done in neonatal mouse pups injected with bacterial suspensions intraperitoneally. The results of patogenicity test showed that most of GBS isolates caused early-onset infection. Interestingly, that GBS SR-7 (serotype VI, isolated from abortus/mola hidatidosa) was the most pathogen. Antibiotic sensitivity tests using Kirby-Bauer disk diffussion methode indicated that all GBS isolates were sensitive against penicillin and ampicillin but resistant to gentamisin (100%), tertacycline (90%) and erythromycin (60%). The imunogenicity of each GBS isolates were determined by measuring the spesific IgG concentration against respective GBS isolates with indirect-ELISA. The results showed that the concentration of specific IgG decrease significantly in 3 days after vaccination, except IgG against SR-7, which significantly increase until 5 days of observation. The results of this research indicated that the use of intrapartum chemoprophylaxis were more effective than immunoprophylaxis in preventing GBS infections.

(5)

KARAKTERISASI STREPTOKOKUS GRUP B (SGB)

YANG DIISOLASI DARI PENDERITA KOMPLIKASI

OBSTETRI SEBAGAI LANDASAN PEMBERIAN

TERAPI DAN IMUNOPROFILAKSIS TERHADAP

INFEKSI NEONATAL

ZINATUL HAYATI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal.

Nama : Zinatul Hayati NIM : B046010011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Ketua

Dr. dr. Sri Budiarti Poerwanto Anggota

Prof. Dr. dr. Imam Supardi, Sp.MK Anggota

Dr. drh. Kamaluddin Zarkasie Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner

Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan karunianya sehingga karya tulis penelitian ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini disusun setelah penulis melaksanakan penelitian sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal, dilakukan selama 2 tahun 8 bulan sejak April 2002 hingga Desember 2004 di Laboratorium Bakteriologi dan Laboratorium Terpadu FKH-IPB serta Laboratorium Biotekeknologi Hewan dan Biomedis Pusat Riset Bioteknologi-IPB. Tempat pengambilan sampel penelitian adalah di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta.

Penelitian ini dapat berjalan dengan lancar berkat bimbingan dan dukungan moril maupun materil dari ketua komisi pembimbing Bapak Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Anggota Komisi Pembimbing yang terdiri dari Ibu Dr. dr. Sri Budiarti Poerwanto, Bapak Prof. Dr. dr. Imam Supardi, Sp.MK dan Bapak Dr. drh. Kamaluddin Zarkasie, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS sebagai Ketua Program Studi Sains Veteriner dan seluruh dosen di lingkungan Program Studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu di Laboratorium Bakteriologi FKH-IPB dan Ibu Dr. drh. Retno D. Soejoedono MS di Laboratorium Terpadu FKH-IPB yang telah banyak membantu kelancaran penelitian ini. Tak lupa pula terima kasih kepada dr. Bambang Fajar, Sp.OG sebagai Kepala Bagian Obstetri di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Proyek Hibah Bersaing XI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini dan juga kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) kepada penulis, selain itu juga terima kasih atas beasiswa pendidikan yang diberikan oleh PEMDA NAD.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan AETH Wahyuni, Lili Zalizar, Ros Sumarni, Ani, Tati Nurhayati, Sri Murtini, Ening Wiedosari, Wendry Setiyadi P, M. Amrullah Pagala dan lain-lain yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan, saran dan kerjasamanya. Terima kasih juga kepada mahasiswa bimbingan Dhillah Pujowaty, Erwan Hendrawan, Lina Anggraini, Roesma Yanti dan Sapto yang telah ikut serta membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Kepada Bapak Drs. Agus Soemantri dan Ibu Dewi sebagai laboran juga penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala bantuannya.

(8)

merelakan kehilangan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula terima kasih kepada almarhum Ayahanda Drs. H. M. Ali Muhammad dan almarhumah Ibunda Rohani Djuned yang telah memberi bekal kepada ananda sejak kecil hingga dapat menempuh pendidikan tertinggi ini. Kepada saudara-saudaraku Prof. Dr. H. Rusydi Ali Muhammad, Dra. Raihan Putri MPd, Drs. Zulfa Fuadi, Ir. Badrunnisa MM, Syamsul Rizal dan Abdul Mukti yang telah banyak membantu baik moril maupun materil penulis ucapkan banyak terima kasih.

Dalam kesempatan ini izinkan penulis memohon maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan, kekurangan serta kelemahan penulis baik dalam perkuliahan, pelaksanaan penelitian maupun penulisan disertasi. Harapan penulis semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaan disertasi ini.

Bogor, 20 Mai 2005

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 5 Maret 1964 sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Drs. H. M. Ali Muhammad (Alm) dan Rohani Djuned (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan memperoleh gelar dokter pada tahun 1994. Pada tahun 1998 penulis diterima di Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Dasar Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan memperoleh gelar Magister Kesehatan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis juga mendapat gelar Spesialis Mikrobiologi Klinik dari Kolegium Mikrobiologi Indonesia. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan pada Program Doktor Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor ini. Selama mengikuti pendidikan program pascasarjana penulis mendapat beasiswa dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan beasiswa pendidikan dari PEMDA NAD. Penulis juga mendapat dana penelitian dari Proyek Hibah Bersaing XI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003 dan 2004 dengan judul penelitian “Peran Kapsul dan Hialuronidase Streptokokus Grup B pada Kasus Abortus, Ketuban Pecah Sebelum Waktu dan Infeksi Neonatal serta Peluang Pencegahannya”.

Penulis pernah bekerja sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Departemen Kesehatan dan menjabat sebagai Kepala Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Propinsi NAD dari tahun 1995 hingga 1998. Sejak tahun 1998 hingga sekarang penulis diterima sebagai Staf Pengajar di Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis mendapat kepercayaan untuk mengisi tenaga medis di Poliklinik IPB. Penulis juga mendapat kepercayaan untuk menjadi Anggota Pembimbing Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.

Selama mengikuti Program Pascasarjana di IPB penulis menjadi anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) dan Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI). Penulis pernah mendapat penghargaan “The Best Oral Presenter” dari Focus Biotech, Malaysia - PERMI pada Annual Meeting 2003 Indonesian Society for Microbiology di Bandung. Karya ilmiah yang berjudul “Insidensi Kolonisasi Asimtomatik SGB pada Ibu Hamil Sehat” telah diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Vol. X (2) tahun 2004. Satu buah poster dengan judul “Penapisan Kolonisasi Asimtomatik Streptokokus Grup B pada Ibu Hamil Berdasarkan Trimester Kehamilan” telah dipamerkan pada Symposium on Microbial Infections Future Strategies for Global Crisis yang dilaksanakan oleh PAMKI tahun 2003 di Jakarta. Selain itu 4 buah karya ilmiah telah disajikan pada Seminar Nasional yaitu:

1. Serotype Distribution and Fenotype Expression of Group B Streptococci Isolates from Pregnant Women with Obstetric Complication pada Seminar Nasional XI PERSADA tahun 2004 di Bogor.

(10)

3. The Incidence of Group B Streptococcal Asymtomatic Colonization in Healthy Pregnant Women pada Seminar Nasional X PERSADA tahun 2003 di Jakarta.

4. Distribusi Serotipe Streptokokus Grup B Isolat asal Ibu Hamil pada PIT PERMI 2003 di Bandung.

(11)

DAFTAR ISI

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat penelitian... 4

1.5 Kerangka Pemikiran... 4

1.6 Hipotesis... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Ciri Umum Streptokokus Grup B………. 9

2.2 Identifikasi Bakteri... 10

2.3 Diagnosa Penyakit SGB Neonatal... 11

2.4 Epidemiologi Penyakit SGB………. 11

2.5 Spektrum Penyakit... 14

2.6 Faktor Virulensi Streptokokus Grup B... 15

2.6.1 Antigen Kapsul Polisakarida... 15

2.6.2 Antigen Protein Permukaan……… 17

2.6.3 Asam Lipoteikoat (Lipoteichoic Acid/LTA)... 17

2.6.4 Produk-produk Ekstraseluler... 17

2.7 Patogenesis infeksi neonatal SGB... 18

2.8 Mekanisme Pertahanan Inang... 19

2.9 Pencegahan Infeksi Neonatal SGB... 21

2.10 Pengobatan Penyakit SGB... 23

III. METODE PENELITIAN... 24

3.1 Tempat dan Waktu... 24

3.2 Bahan dan Alat Penelitian... 24

3.3 Metode Penelitian... 25

3.3.1 Isolasi dan Identifikasi Bakteri... 25

3.3.2 Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul polisakarida... 27

3.3.3 Penentuan Serotipe Antigen Kapsul Polisakarida... 28

3.3.4 Penentuan Hialuronidase... 28

3.3.5 Uji Patogenisitas ... 33

3.3.6 Uji Sensitivitas Antibiotika... 34

3.3.7 Uji Imunogenisitas... 34

(12)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN... 37

4.1 Isolasi dan Identifikasi SGB... 37

4.2 Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul Polisakarida…………... 41

4.3 Penentuan Serotipe Kapsul Polisakarida... 46

4.4 Penentuan Hialuronidase... 49

4.5 Uji Patogenisitas SGB……….. 53

4.6 Uji Sensitivitas Antibiotika……….. 58

4.7 Uji Imunogenisitas SGB……….. 60

V. SIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1 Simpulan... 66

5.2 Saran... 66

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Bakteri patogen terbanyak penyebab meningitis menurut usia…….. 15 Tabel 2. Hasil isolasi dan identifikasi SGB dari penderita komplikasi

obstetri……… 37

Tabel 3. Ekspresi Fenotipe SGB dari penderita komplikasi obstetri…….…… 42 Tabel 4. Hasil uji kespesifikan antiserum terhadap tipe SGB sebelum

absorbsi……… 47

Tabel 5. Hasil uji kespesifikan antiserum terhadap tipe SGB setelah

absorbsi……… ……… 47

Tabel 6. Distribusi serotipe SGB isolat dari kasus komplikasi obstetri………. 48 Tabel 7. Hasil Uji Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Hialuronidase……… 50 Tabel 8. Hasil uji patogenisitas SGB isolat dari penderita komplikasi

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Reaksi positip uji CAMP……….. …. 38

Gambar 2. Reaksi positip uji AGPT ……….. ….. 38

Gambar 3. Morfologi koloni SGB pada plate agar darah……….. 40

Gambar 4. Morfologi bakteri SGB dengan pewarnaan Gram ………. 40

Gambar 5. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media cair……….. …. 44

Gambar 6. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media soft agar... ... 44

Gambar 7. Distribusi serotipe SGB……… …. 48

Gambar 8. Uji Plate Agar-Hyaluronidase………. …. 50

Gambar 9. Hasil SDS-PAGE Hialuronidase SGB... ... 52

Gambar 10. Mencit neonatal yang mengalami kematian……….. 55

Gambar 11. Mencit neonatal yang sehat... 55

Gambar 12. Mencit yang mengalami kekerdilan ... ... 56

Gambar 13. Hasil uji sensitivitas antibiotika ... 59

Gambar 14. Kurva strandar IgG mouse standar……… 61

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil uji ANOVA konsentrasi IgG pascavaksinasi……… 77 Lampiran 2. Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)

Konsentrasi IgG pascavaksinasi……….. 78

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak merupakan program prioritas di Departemen Kesehatan. Sementara itu, infeksi Streptokokus Grup B (SGB) atau Streptococcus agalactiae pada neonatus telah menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas bayi di seluruh dunia, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Bakteri SGB merupakan penyebab utama infeksi yang serius pada bayi baru lahir antara lain menyebabkan pneumonia, septikemia dan meningitis neonatal (Edwards dan Baker 1995).

Peningkatan insidensi infeksi neonatal yang disebabkan oleh SGB telah dilaporkan oleh banyak peneliti sejak 20 tahun terakhir. Hal ini telah menggeser insidensi infeksi neonatal yang disebabkan Escherichia coli yang banyak dilaporkan sebelum tahun 1970an. Schuchat et al. (2000) melaporkan angka kejadian infeksi neonatal early-onset yang disebabkan oleh SGB adalah 1,4 kasus per 1000 kelahiran, sedangkan yang disebabkan oleh Escherichia coli hanya 0,6 kasus per 1000 kelahiran.

Bakteri SGB umumnya diperoleh bayi dari ibunya ketika ia melewati jalan lahir. Beberapa keadaan komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting timbulnya infeksi neonatal SGB early-onset antara lain adalah kelahiran prematur (preterm delivery) sebelum usia kehamilan 37 minggu, partus lama (prolonged rupture of membranes) >18 jam, ketuban pecah sebelum waktu/KPSW (preterm

prematur rupture of membranes) 18 jam sebelum kelahiran dan demam maternal

> 380C (Tumbaga dan Philip 2003; Anthony et al. 1994).

Ada dua pendekatan dasar yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya infeksi neonatal SGB yaitu kemoprofilaksis dan imunoprofilaksis. Pemberian kemoprofilaksis intrapartum (intrapartum antibiotic prophylaxis/IAP) yang telah direkomendasikan oleh American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG), American Academy of Pediatrics (AAP) dan Central for

Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1996 adalah berdasarkan 2

(17)

strategy). Pemberian IAP untuk strategi yang pertama ditujukan pada ibu hamil

yang disertai dengan faktor resiko. Strategi ini mempunyai banyak kelemahan diantaranya adalah lebih dari 60% infan yang menderita penyakit SGB, lahir dari ibu yang memiliki kolonisasi asimtomatik dan tidak menunjukkan adanya faktor-faktor resiko. Hasil studi CDC menyimpulkan bahwa strategi berdasarkan faktor-faktor resiko kurang efektif dalam mencegah penyakit SGB. Strategi yang kedua adalah dilakukan skrining yang universal pada semua ibu hamil pada usia kehamilan 35-37 minggu. Namun strategi ini membutuhkan biaya yang sangat besar dalam mengimplementasikan skrining (Schuchat et al. 1996; Eschenbach 2002; Tumbaga dan Philip 2003).

Walaupun usaha pencegahan dengan pemberian kemoprofilaksis intrapartum telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian infeksi neonatal SGB, namun morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh bakteri ini masih cukup tinggi. Data surveillance CDC tahun 1999 memperkirakan dalam era penggunaan antibiotika profilaksis masih ada 1600 infan di Amerika Serikat yang mati tiap tahunnya setelah terinfeksi SGB (Tumbaga dan Philip 2003). Selain itu, kecenderungan resistensi terhadap berbagai antibiotika dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Penggunaan IAP yang tidak rasional untuk mencegah infeksi neonatal SGB ternyata telah menimbulkan peningkatan resistensi Escherichia coli terhadap antibiotika golongan β-laktam (Eschenbach 2002).

(18)

Di luar negeri, penelitian-penelitian tentang SGB sejak 20 tahun terakhir telah dilakukan dengan pesat. Di Indonesia penelitian-penelitian tentang SGB masih sangat terbatas, bahkan dikalangan medis infeksi bakteri ini pada neonatus belum begitu populer. Dari hasil penelitian sebelumnya, Hayati et al. (2004) melaporkan hasil isolasi SGB pada wanita hamil sehat di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung (RUSP-HS) dan Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia (RSU-PMI) Bogor sebanyak 10,09%.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana karakteristik SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri secara fenotipe, keberadaan faktor-faktor virulensinya, distribusi serotipe, patogenisitas, sensitivitas terhadap antibiotika dan imunogenisitas. Dengan melakukan isolasi dan karakterisasi bakteri SGB yang dapat menimbulkan infeksi invasif diharapkan penelitian ini dapat memberi informasi dan rekomendasi sebagai landasan dalam mencari cara pencegahan yang efektif terhadap infeksi neonatal SGB.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Apakah karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal SGB dan dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis?

2. Apakah karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal SGB dan dapat dicegah dengan pemberian imunoprofilaksis?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mencari cara pencegahan infeksi SGB yang efektif dengan mengetahui karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dalam menimbulkan infeksi neonatal.

Dengan maksud tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

(19)

2. Melihat adanya kemungkinan pencegahan infeksi neonatal SGB dengan pemberian imunoprofikaksis.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Akademis

Memperoleh informasi tentang karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri.

Manfaat Praktis

1. Memberi rekomendasi kepada praktisi dalam mempertimbangkan pemberian antibiotika sebagai kemoprofilaksis intrapartum guna mencegah infeksi neonatal SGB.

2. Memperoleh bakteri yang dapat dijadikan kandidat vaksin sebagai imunoprofilaksis guna mencegah infeksi neonatal SGB.

1.5 Kerangka Pemikiran

Streptokokus Grup B pada ibu hamil sehat merupakan kolonisasi asimtomatik (asymptomatic colonization) yang dijumpai pada traktus gastrointestinal dan traktus urogenital. Kira-kira 5-30% wanita hamil memiliki kolonisasi ini dan 29-72% bayi yang dilahirkannya, akan mendapat kolonisasi yang sama melalui transmisi vertikal dari ibunya ketika ia melewati jalan lahir (Edwards dan Baker 1995).

(20)

pada 5-10% kasus. Insidensi infeksi early-onset meningkat pada infan prematur, hal ini mungkin disebabkan karena adanya defisiensi opsonin dan terbatasnya transfer antibodi maternal (Edwards dan Baker 1995; Tumbaga & Philip 2003).

Infeksi late-onset terjadi setelah minggu pertama kelahiran hingga usia 2-3 bulan dimana manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah meningitis. Pada bayi-bayi yang selamat dari infeksi meninggal, 25-50% kasus akan meninggalkan gejala sisa neurologik yang permanen (sequele) seperti retardasi mental, kebutaan dan ketulian. Manifestasi klinik lain dari bentuk infeksi late-onset pada neonatus adalah artritis septik (Edwards dan Baker, 1995; Gibbs dan Sweet, 1994; Eriksen dan Blanko 1993; Tissi et al. 1998).

Transmisi horizontal dari perawat atau pengunjung rumah sakit juga bisa diperoleh neonatus yang negatip SGB pada saat lahir. Kontaminasi silang dari neonatus yang terinfeksi juga dapat terjadi melalui teknik cuci tangan yang buruk oleh juru rawat. Infeksi nosokomial tersebut mempunyai peranan yang signifikan terhadap infeksi SGB late-onset, walaupun sumber maternal juga tak kalah penting pada infeksi SGB jenis tersebut (Eriksen dan Blanco 1993).

Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara kolonisasi SGB dengan kejadian abortus, prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Regan et al (1996) melaporkan infan yang lahir prematur dan BBLR berkaitan erat dengan heavy colonization SGB dalam cervicovaginal pada usia kehamilan 23-26 minggu.

Bakteri SGB tidak hanya menyebabkan infeksi pada infan, pada maternal bakteri ini dapat berkembang menjadi infeksi klinik seperti bekteremia, endometritis postpartum, chorioamnionitis dan infeksi saluran kemih. Lebih dari 50.000 maternal di Amerika Serikat dilaporkan terinfeksi SGB tiap tahunnya (Tumbaga dan Philip 2003).

(21)

mengekspresikan kapsul polisakarida pada permukaan selnya (Wibawan dan Laemmler 1991).

Berdasarkan serologi, antigen polisakarida kapsul pada permukaan bakteri SGB terdiri dari beberapa serotipe yaitu Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. Distribusi serotipe yang dijumpai di beberapa wilayah sangat variatif. Di Amerika Serikat dilaporkan distribusi serotipe SGB yang paling sering muncul adalah serotipe Ia dan III (Hulse et al. 1993; Lin et al. 1998). Di Jepang serotipe VIII dan VI adalah serotipe yang paling sering muncul pada SGB yang diisolasi dari ibu hamil sehat (Lachenauer et al. 1999). Di dalam negeri, Hayati et al. (2003) melaporkan bahwa serotipe VI merupakan serotipe yang paling sering muncul pada SGB yang diisolasi dari ibu hamil sehat. Menurut Lin et al. (1998) distribusi serotipe dipengaruhi oleh lokasi geografi, oleh karena itu perlu dilakukan serotyping pada suatu wilayah. Vormulasi vaksin multivalen kapsul polisakarida yang ditujukan untuk suatu wilayah sangat ditentukan oleh distribusi serotipe di wilayah tersebut.

Penelitian-penelitian tentang vaksin kapsul polisakarida SGB telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Kandidat vaksin SGB kapsul polisakarida tipe III murni pertama kali dilakukan uji klinik pada orang sehat tahun 1978 (Baker dan Edwards 2003). Penelitian-penelitian tentang vaksin konyugat kapsul polisakarida SGB dengan suatu protein karier telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain adalah vaksin konyugat SGB tipe II-tetanus toksoid (TT) oleh Paoletti et al (1992), Vaksin konyugat SGB tipe III-TT oleh Wessels et al. (1998), vaksin konyugat SGB tipe Ia dan Ib – TT oleh Wessels et al. (1993) dan Baker et al. (1999), vaksin konyugat tipe III-rCTB (rekombinant cholera toxin B) oleh Shen et al (2000), vaksin konyugat SGB tipe IV dan VII-TT dilakukan oleh Paoletti dan Kasper (2002), Vaksin konyugat bivalen SGB tipe II dan III-TT oleh Baker et al (2003b) dan lain-lain.

(22)

1997; Wibawan et al. 1999). Pritchard dan Lin (1993) mengatakan bahwa enzim ekstraseluler dari SGB yang sebelumnya dilaporkan sebagai neuraminidase (sialidase), sebenarnya adalah hialuronidase.

Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit SGB perinatal adalah penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum (IAP), vaksinasi maternal dan pemberian imunoterapi. Pemberian IAP sesuai rekomendasi CDC tahun 1996, telah terbukti terjadi penurunan insidensi infeksi early-onset SGB pada neonatus. Di Amerika Serikat dilaporkan telah terjadi penurunan insidensi infeksi neonatal SGB dari 1.7 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1993 menjadi 0.6 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1998 (Schrag et al. 2000). de Cueto et al. (1998) melaporkan ibu yang terkolonisasi SGB, bila mendapat IAP maka hanya 10% bayinya yang memperoleh kolonisasi yang sama, sedangkan bila tidak mendapat IAP, 47% bayi akan mendapat kolonisasi yang sama.

Tingginya insidensi infeksi neonatal SGB berkaitan dengan rendahnya level antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida dalam serum maternal. Baker et al. (1999) melaporkan konsentrasi antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida tipe Ia SGB pada wanita sehat sebelum vaksinasi adalah </= 0.6 µg/ml. Konsentrasi antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida tipe Ia SGB meningkat setelah vaksinasi secara intramuskuler dengan kapsul polisakarida Ia-TT dan mencapai puncak pada minggu ke-8 pascavaksinasi menjadi 26.2 µg/ml, namun 1 tahun pascavaksinasi konsentrasi IgG menurun sebanyak 50%.

Pemberian vaksinasi maternal dan pemberian imunoterapi pada maternal ataupun pada neonatus telah terbukti dapat melindungi neonatus dari infeksi SGB pada hewan percobaan. Paoletti dan Kasper (2002) melaporkan hasil maternal vaccination-neonatal challenge pada kelinci, kelinci betina diberi vaksinasi secara

(23)

Paoletti et al. (1997) melaporkan pemberian imunisasi pasif pada mencit neonatus (usia < 48 jam) secara intraperitoneal dengan 0.05 ml serum kelinci yang mengandung antibodi spesifik kapsul polisakarida tipe III-TT (4.2 mg/ml; 213 µg/neonatus) 4 jam setelah ditantang dengan SGB tipe III secara intraperitoneal dapat melindungi neonatus dari bakteremia sebanyak 93%, sedangkan yang diberi serum normal dan NaCl masing-masing hanya dapat melindungi neonatus 11% dan 30%. Namun bila antiserum diberikan 12 jam setelah infeksi maka hanya dapat memberi perlindungan pada neonatus sebanyak 33%.

Kling et al. (1997) melaporkan pemberian imunisasi pasif pada mencit bunting (usia kebuntingan 19-20 hari) secara intraperitoneal dengan 0.5 ml serum yang mengandung antibodi spesifik polipeptida N-terminal protein C SGB A909 dan antibodi spesifik kapsul polisakarida tipe Ia-TT masing-masing memberi perlindungan pada neonatus 69% dan 98% setelah ditantang dengan SGB A909. Sedangkan induk mencit yang diberi serum normal hanya memberi perlindungan 15% pada neonatus.

Beberapa peneliti telah melakukan uji klinik dan melaporkan bahwa vaksin kapsul polisakarida baik yang bebas maupun yang dikonyugasi dengan tetanus toksoid aman digunakan pada wanita hamil (Baker et al 2003a; Baker et al 2003b; Baker et al 2000).

1.6 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian di atas, maka hipotesis yang dibuat adalah:

1. Streptokokus Grup B yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal dan masih sensitif terhadap beberapa jenis antibiotika sehingga kemoprofilaksis intrapartum dapat digunakan untuk mencegah infeksi neonatal.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ciri Umum Streptokokus Grup B

Lancefield pada tahun 1933 menemukan 2 antigen karbohidrat pada Streptokokus Grup B (SGB) berdasarkan serologi yaitu antigen karbohidrat spesifik-grup pada dinding sel (substansi “C”) yang ada pada semua golongan streptokokus dan antigen karbohidrat spesifik-tipe (substansi “S”) pada kapsul bakteri SGB. Berdasarkan antigen spesifik-grup, sampai saat ini telah ditemukan 20 grup streptokokus yang terdiri dari serogrup A hingga V kecuali I dan J. Streptokokus grup B yang termasuk ke dalam genus ini, memiliki komposisi karbohidrat spesifik-grup tertentu yang terdiri dari D-glukosamin, D-galaktosa, glusitol dan L-rhamnosa (Lancefield 1933; Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995).

Pada pemeriksaan mikroskopis, streptokokus grup B tergolong ke dalam bakteri Gram-positip, berbentuk bulat atau ovoid dengan diameter 0,6-1,2 µµm, tidak bergerak dan tidak berspora (Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995). Bakteri ini umumnya tersusun dengan rantai yang pendek (diplokoki), namun panjang rantainya dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada medium cair umumnya tumbuh dengan rantai yang lebih panjang (Joklik et al. 1992). Menurut Wahyuni (2002), panjang rantai juga dipengaruhi oleh sifat hidrofobisitas dari komponen permukaan bakteri. Bakteri yang memiliki sifat hidrofilik tersusun dengan rantai yang pendek sedangkan bakteri yang hidrofobik tersusun dengan rantai yang panjang. Streptokokus grup B yang diisolasi dari manusia umumnya memiliki rantai yang pendek, sedangkan SGB yang diisolasi dari mastitis subklinis pada sapi perah umumnya memiliki rantai yang panjang.

(25)

kuning, merah atau orange. Bakteri ini umumnya resisten terhadap basitrasin, hal ini membedakan bakteri SGB dengan Streptokokus Grup A yang sensitif basitrasin (Wibawan et al. 1991; Joklik et al. 1992; Holt et al. 1994).

2.2 Identifikasi Bakteri

Untuk melakukan preidentifikasi SGB, uji CAMP memberikan hasil 98-100% positip. Hal ini disebabkan karena faktor CAMP yang dimiliki oleh SGB, yang merupakan protein ekstrasel yang termostabil, menghasilkan hemolisis yang sinergis pada agar darah domba dengan Staphylococcal ββ -lysin (sphingomyelinase C) yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus.

Fenomena hemolisis sempurna dari uji CAMP akan membentuk zona seperti kepala panah (arrowhead) (Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995; Ruoff 1995). Sphingomyelinase menginisiasi sphingomielin menjadi seramida yang membuat eritrosit mudah dilisiskan oleh aktivitas faktor CAMP. Eritrosit mamalia mempengaruhi kinerja faktor CAMP secara berbeda-beda tergantung dari kandungan sphingomielin pada membran sel. Pada darah domba kandungan sphingomielin sebesar 51% sedangkan pada darah kelinci dan manusia adalah 26% dan 19%. Semakin besar kandungan sphingomielin maka semakin jelas reaksi positip yang terbentuk pada uji CAMP (Lang dan Palmer 2003).

Identifikasi definitip untuk SGB, dapat dideteksi berdasarkan antigen dinding sel spesifik-grup B melalui uji serologi dengan menggunakan antiserum spesifik grup B. Sejumlah metode diagnosis baik untuk menentukan serogrup maupun serotipe yang dapat digunakan antara lain adalah imunodifusi, countercurrent immunoelectrophoresis, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), imunofloresen tidak langsung, koaglutinasi

(26)

suatu alternatif. Metode ini juga mudah dilakukan dan cepat (30 detik) serta memberi hasil yang akurat (Wibawan dan Pasaribu 1993; Edwards dan Baker 1995; Ruoff 1995).

2.3 Diagnosa Penyakit SGB Neonatal

Untuk mengisolasi bakteri SGB pada neonatus, bahan pemeriksaan dapat diambil dari darah, cairan serebrospinal, trakhea dan lain-lain. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan jumlah darah komplit, level C-reactive protein (CRP), interleukin-6 (IL-6), IL-8, uji antigen dan pemeriksaan radiografi paru untuk mendiagnosa adanya pneumonia (Tumbaga dan Philip 2003).

Pengukuran IL-6 dilakukan untuk membantu melakukan identifikasi adanya infeksi SGB intraamniotik secara non progresif dalam sekresi serviks. Level sitokin ini akan meningkat secara signifikan bila adanya infeksi intraamnion, hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang signifikan antara konsentrasi reseptor antagonis IL-6 dalam cairan amnion dan sekresi serviks (Rizzo et al. 1996). Interleukin-6 adalah suatu mediator awal dari proses inflamasi, pada infeksi sistemik level IL-6 awalnya meningkat tapi kemudian menurun dengan cepat. Pengukuran C-reactive protein (CRP) yang merupakan suatu acute-phase reactant seperti halnya IL-6, biasanya juga meningkat pada keadaan inflamasi. Nilai normal CRP pada neonatus adalah kurang dari 1 mg/dL (Tumbaga dan Philip 2003).

Pemeriksaan darah rutin dapat mendukung diagnosa adanya infeksi walaupun mungkin akan dijumpai nilai normal pada fase awal. Jumlah sel darah putih mungkin kurang dari 5.0x103/mcL namun hal ini tidak begitu menolong memprediksi adanya infeksi, sedangkan jumlah neutrofil yang kurang dari 1.75x103/mcL banyak digunakan untuk memprediksi adanya infeksi (Tumbaga dan Philip 2003).

(27)

2.4 Epidemiologi Penyakit SGB

Streptokokus Grup B (SGB) yang disebut juga dengan Streptococcus agalactiae, sudah sejak lama dikenal sebagai penyebab mastitis sub klinis pada

sapi perah (Wibawan et al. 1993). Pada tahun 1935, bakteri ini pertama kali dilaporkan oleh Fry sebagai patogen pada manusia yang menyebabkan sepsis pascasalin. Sejalan dengan berkembangnya pemahaman kolonisasi bakteri pada neonatus, sejak tahun 1970-an SGB mulai diperhitungkan sebagai penyebab penting infeksi neonatal (Rubens et al. 1992; Tamura et al. 1994; Edwards dan Baker 1995). Sejak saat itu pula penelitian tentang SGB di luar negeri telah berkembang dengan pesat.

Kolonisasi SGB dapat dijumpai pada traktus genital dan gastrointestinal bagian bawah ibu hamil sehat sebagai kolonisasi asimtomatik (asymptomatic colonization). Sedangkan pada traktus urinarius saat kehamilan, bakteri ini

dikaitkan dengan bakteriuria asimtomatik yang disebabkan oleh adanya rekolonisasi secara asenden. Kira-kira 5-30% wanita hamil memiliki kolonisasi SGB dan 29-72% bayi-bayi yang dilahirkannya, akan mendapatkan kolonisasi yang sama melalui transmisi vertikal, yaitu melalui saluran kelamin ibu pada saat melahirkan (Antony 1992; McKenzie dan Patel 1994; Edwards dan Baker 1995; Chaaya et al. 1996).

(28)

1992 terisolasi bakteri SGB. Di dalam negeri Hayati (2003) mendapatkan angka kejadian kolonisasi SGB asimtomatik pada ibu hamil sehat sebesar 10,09%.

Bakteri SGB umumnya diperoleh bayi dari ibunya ketika ia melewati jalan lahir. Helmig et al. (1993) telah membuktikan bahwa kolonisasi SGB yang dijumpai pada traktus genital ibu berkaitan dengan kolonisasi SGB pada bayinya. Dari 31 pasang isolat SGB yang diisolasi dari ibu dan anaknya (26 pasang dengan sepsis dan meningitis neonatal, 2 pasang dengan abortus dan 3 pasang dengan KPSW), didapatkan bahwa serotipe isolat yang dijumpai pada ibu semuanya identik dengan serotipe isolat yang dijumpai pada anak kecuali satu koloni dari ibu dengan serotipe Ib, sedangkan pada anaknya dijumpai serotipe Ia.

Beberapa keadaan komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting timbulnya infeksi neonatal SGB early-onset antara lain adalah kelahiran prematur (preterm delivery) sebelum usia kehamilan 37 minggu, partus lama (prolonged rupture of membranes) >18 jam, ketuban pecah sebelum waktu/KPSW (preterm

prematur rupture of membranes) 18 jam sebelum kelahiran dan demam maternal

> 380C (Tumbaga dan Philip 2003; Anthony et al. 1994). Pada wanita dengan KPSW yang terkolonisasi SGB, induksi kelahiran dapat menjadi pencetus berkembangnya infeksi neonatal. Pada keadaan tersebut induksi kelahiran dengan oksitosin intra vena mungkin lebih baik dari pada penggunaan induksi dengan gel vaginal prostaglandin E2 dan kelompok ekspektan (Hannah et al. 1997).

Pada orang dewasa bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi invasif dimana dijumpai adanya beberapa keadaan sebagai faktor predisposisi antara lain malignan neoplasma, diabetes melitus, infeksi human immunodeficiency virus tipe 1, trauma dan usia tua (Edwards dan Baker 1995; Maniatis et al. 1996; Marodi et al. 2000). Bakteri SGB bukan hanya dapat diisolasi dari darah namun juga dapat

(29)

2.5 Spektrum Penyakit

Infeksi neonatal SGB dapat terjadi dalam dua bentuk sindroma yaitu infeksi neonatal dengan onset-dini (early-onset) dan infeksi neonatal dengan onset-lambat (late-onset). Kira-kira 75% dari kasus infeksi SGB adalah bentuk early-onset. Infeksi early-onset biasanya terjadi usia 1 hingga 6 hari, umumnya bayi sudah menderita sakit dalam 24 jam setelah lahir. Spektrum klinik yang paling terjadi adalah pneumonia (35-55% kasus). Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi sepsis yang disertai dengan kegagalan pernafasan (respiratory distress), apnea, perfusi yang jelek dan shok. Septikemia terjadi pada 25-40% kasus, keadaan ini dapat menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Spektrum klinik yang lain adalah meningitis pada 5-10% kasus. Insidensi infeksi early-onset meningkat pada infan prematur, hal ini mungkin disebabkan karena adanya defisiensi opsonin dan terbatasnya transfer antibodi maternal (Edwards dan Baker 1995; Tumbaga &

Philip 2003).

Infeksi late-onset terjadi setelah minggu pertama kelahiran hingga usia 2-3 bulan dimana spektrum klinik yang paling sering terjadi adalah meningitis. Pada bayi-bayi yang selamat dari infeksi meninggal, 25-50% kasus akan meninggalkan gejala sisa neurologik yang permanen. Spektrum klinik lain dari bentuk infeksi late-onset pada neonatus adalah artritis septik. Pada keadaan ini memerlukan

pemberian antibiotik dalam jangka waktu yang lama untuk menghindari timbulnya komplikasi. Streptokokus grup B serotipe III adalah tipe yang paling sering menimbulkan infeksi late-onset di Amerika Serikat, sedangkan yang menyebabkan artritis septik dilaporkan tidak ada perbedaan serotipe yang nyata (Edwards dan Baker 1995; Gibbs dan Sweet, 1994; Eriksen dan Blanko 1993; Tissi et al. 1998).

(30)

Tabel 1. Bakteri patogen terbanyak penyebab meningitis menurut usia Usia penderita Bakteri patogen terbanyak

0-4 minggu Streptokokus agalactiae, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Klebsiella pneumonia, Enterococcus

spp., Salmonella spp.

4-12 minggu Streptokokus agalactiae, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Haemophilus influenzae,

Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis .

3 bulan-18 tahun Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia.

18-50 tahun Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis. > 50 tahun Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis,

Listeria monocytogenes, aerobic gram-negative

bacilli

2.6 Faktor Virulensi SGB

Faktor virulensi bakteri SGB dapat dibagi menjadi faktor virulensi struktural dan non struktural. Faktor virulensi struktural dibentuk oleh komponen-komponen penyusun sel baik komponen permukaan maupun komponen penyusun dinding sel bakteri. Faktor virulensi tersebut antara lain adalah antigen kapsul polisakarida, antigen protein dan asam lipoteikoat. Faktor virulensi non struktural (metabolit) yang merupakan produk ekstraseluler dari bakteri ini antara lain adalah hialuronidase, protease, hipurikase, nuclease, C5a-ase, hemolisin dan faktor CAMP (Pritchard and Lin 1993; Pagala et al. 1994; Edwards dan Baker 1995; Takahashi et al. 1999; Lang dan Palmer 2003).

(31)

Pada tahun 1933 Lancefield menemukan 4 klasifikasi antigen kapsul polisakarida SGB berdasarkan uji serologi yaitu serotipe Ia, Ib, II dan III. Antigen ini dapat berdiri sendiri namun dapat juga bergabung bersama-sama dengan antigen protein permukaan. Antigen protein c dapat ditemukan bergabung bersama-sama dengan antigen Ia atau Ib. Sampai saat ini antigen kapsul polisakarida pada permukaan bakteri SGB telah ditemukan sebanyak 9 serotipe yaitu Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. Komposisi antigen polisakarida spesifik-tipe tersebut adalah galaktosa, glukosa, N-asetil glukosamin dan asam N-asetilneuraminik (sialic acid = asam sialat) (Tissi et al. 1998; Hulse et al. 1993; Takahashi et al. 1998).

Perbedaan untuk masing-masing serotipe terletak pada rantai tulang punggung dan ikatan rantai antar cabang gugus polisakarida serta ketebalan kandungan asam sialat. Perbedaan antigenisitas dari masing-masing serotipe disebabkan oleh molar rasio residu monosakarida. Kapsul polisakarida SGB tipe IV mempunyai berat molekul 81.000 Dalton (Paoletti and Kasper 2002). Kapsul polisakarida tipe VI mempunyai berat molekul 200.000 Dalton dan mengandung galaktosa, glukosa dan asam sialat dengan molar rasio 2:2:1 (Paoletti et al. 1999). Kapsul polisakarida tipe VII mengandung D-glukosa, D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin dan asam N-asetilneuraminat (asam sialat) dengan molar rasio 2:2:1:1 (Kogan et al. 1995). Kapsul polisakarida tipe VIII mempunyai berat molekul 200.000 Dalton dan mengandung D-glukosa, D-galaktosa, L-rhamnosa dan asam sialat dengan molar rasio 1:1:1:1. (Kogan et al. 1996).

(32)

dan III-1 yang telah dibuang asam sialatnya dengan suatu treatmen neuraminidase atau dengan transposon-insertional mutagenesis, terbukti dapat meningkatkan deposisi fragmen C3 opsonik (C3b dan C3bi) sehingga terjadi aktivasi komplemen jalur alternatif (Takahashi et al. 1999)

Tipe Ia dan Ib memiliki kesamaan struktur tulang punggung dan rantai samping, perbedaannya hanya pada ikatan cabang galaktosa ke gugus glukosamin. Tipe II memiliki dua monosakarida rantai samping yaitu galaktosa dan asam sialat yang secara langsung memanjang dari pengulangan tulang punggungnya. Tipe III terdiri dari suatu polimer yang mengandung pengulangan unit-unit tulang punggung trisakarida glukosa – N-asetilglukosamin – galaktosa dan rantai samping asam sialat – galaktosa yang terikat ke gugus N-asetilglukosamin (Takahashi et al. 1999; Wessels et al. 1998; Campbell et al. 1992).

2.6.2 Antigen Protein Permukaan

Antigen protein yang dijumpai pada permukaan bakteri merupakan faktor virulensi struktural yang imunogenik, berperan dalam proses adhesi dan kolonisasi. Antigen ini terdiri dari protein C, protein R, protein X dan protein Rib. Protein C dibagi lagi menjadi Cα yang merupakan komponen resisten tripsin dan Cβ yang merupakan komponen sensitif tripsin. Sekarang bahkan sudah ditemukan Cγ dan Cδ. Antigen protein R dibagi lagi menjadi R1 hingga R4, antigen ini jarang ditemukan pada SGB asal sapi. Sebaliknya antigen protein X biasanya dijumpai pada SGB asal sapi, jarang ditemukan pada SGB asal manusia (Gravekamp et al. 1997; Kling et al. 1997; Maeland 1997; Larsson et al. 1996).

Protein C SGB memiliki regio N-terminal dan terminal dimana regio C-terminal menancap pada dinding sel bakteri. Regio C-C-terminal tidak memperlihatkan peranan dalam imunitas protektif, sebaliknya regio N-terminal mengandung epitop protektif (Gravekamp et al. 1997).

2.6.3 Asam Lipoteikoat (Lipoteichoic Acid/LTA)

(33)

Asam lipoteikoat dapat memperantarai penempelan (adhesi) bakteri pada permukaan sel epitel (Tamura et al. 1994).

2.6.4 Produk-produk Ekstraseluler Hialuronidase

Beberapa produk ekstraseluler dari SGB berkaitan dengan virulensi bakteri diantaranya adalah hialuronidase. Hialuronidase adalah enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kebanyakan streptokokus, merupakan faktor virulensi bakteri yang dapat mendegradasi asam hialuronat jaringan konektif untuk memudahkan penyebaran bakteri, sehingga enzim ini disebut juga sebagai “spreading factor” (Wibawan et al. 1999).

Asam hialuronat (hialuronan) dapat didegradasi oleh hialuronidase yang menghidrolisa ikatan β(1-4). Molekul asam hialuronat mempunyai komposisi 250-25.000 β(1-4)- ikatan unit disakarid mengandung asam D-glukuronat dan N-asetil-D-glukosamin yang terikat oleh suatu ikatan β(1-3). Asam hialuronat adalah suatu komponen glikosaminoglikan yang merupakan matriks ekstraseluler (ECM) yang banyak dijumpai sebagai substansi dasar cairan sinovial. Lavel hialuronan meningkat selama perkembangan embriologik, pada penyembuhan luka, bila terjadi regenerasi jaringan dan selama pertumbuhan tumor. Asam hialuronat juga dijumpai dalam kapsul bakteri patogen seperti Streptokokus grup A, Streptococcus equi subsp. zooepidemicus dan Staphylococcus aureus. Pemotongan

chondroitin sulfat oleh enzim telah dilaporkan oleh Baker et al (1997). Glikosaminoglikan lain selain asam hialuronat adalah khondroitin-4-sulfat, khondroitin-6-sulfat, dermatan sulfat, keratan sulfat dan heparin (Afifi et al. 1993; Voet and Voet, 1995; Wibawan et al. 1999).

β

β-hemolisin

Produksi β-hemolisin SGB dikaitkan dengan injuri sel epitel paru dan brain microvascular endothelial cells (BMEC) secara in vitro. Hal ini mengindikasikan

peran patogenik dari enzim ini pada tahap invasif dari penyakit neonatal SGB early-onset (Nizet et al. 1997).

(34)

Beberapa strain bakteri SGB telah dipelajari dapat mengekspresikan C5a-ase. Enzim ini memberi kontribusi terhadap patogenesis infeksi neonatal SGB dengan melakukan inaktivasi secara cepat terhadap C5a, suatu molekul pro-inflamatori yang potensial (Takahashi et al. 1999; Bohsak et al. 1993).

2.7 Patogenesis Infeksi Neonatal SGB

Patogenesis infeksi SGB terjadi dalam proses multistep. Perlekatan SGB pada sel epitel mungkin intergral dari beberapa step tersebut. Kolonisasi SGB pada rektum dan vagina ibu berkorelasi dengan sepsis pada bayi baru lahir, hal ini mengindikasikan bahwa kolonisasi pada tempat tersebut adalah prasyarat terjadinya infeksi. Perlekatan SGB pada sel epitel vagina dan rektum mengawali kolonisasi pada tempat tersebut. Bakteri ini dapat menempel dengan derajat yang tinggi pada sel amnion dan sel khorion monolayer kemudian melakukan invasi dalam sel tersebut secara in vitro. Bakteri masuk ke dalam vakuola intraseluler dari sel khorion dengan cara transitosis tanpa disrupsi intraseluler junctions yang diperlihatkan dengan transmisi mikroskop elektron. Infeksi pada fetus terjadi setelah adanya infeksi dalam cavitas amnion dan selalu dimulai dengan timbulnya pneumonia, implikasi dari paru-paru sebagai tempat infeksi inisial. Bakteri masuk dalam alveolar space setelah fetus teraspirasi dengan cairan amnion yang telah terinfeksi. Invasi bakteri dalam sel epitel paru merupakan step penting timbulnya infeksi pada infan. Bakteri SGB intraseluler dijumpai dalam sel epitel dan endotel paru dari neonatus primata setelah dipapar dengan SGB secara in utero melalui inokulasi ke dalam cairan amnion. Selain itu SGB juga memperlihatkan invasi ke dalam sel epitel dan sel endotel paru secara in vitro. Kemudian SGB diduga merusak endotel paru dimana proses ini merupakan suatu jalan untuk masuk ke dalam sirkulasi (Edwards dan Baker 1995; Tamura et al. 1994; Gibson et al. 1993; Winram et al. 1998).

Kemampuan SGB masuk ke dalam barier sel endotel telah memberikan suatu mekanisme untuk masuknya SGB dalam vasculer space dari alveolar space atau masuk dalam interstisial space dari vasculer kompartemen sehingga menimbulkan septikemia (Gibson et al. 1993).

(35)

Inang mempunyai sejumlah mekanisme pertahanan yang dapat menghalangi agregasi bakteri. Mekanisme pertahanan tersebut dapat dikatagorikan dalam 2 kelompok: (1) Non-spesifik/kekebalan alamiah dan (2) spesifik/kekebalan didapat. Respons imun spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda asing dan pengenalan selanjutnya, serta reaksi terhadapnya. Sebaliknya respons imun nonspesifik terjadi pada saat pertemuan pertama antara hospes dengan benda asing (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).

a. Fagositosis

Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan non-spesifik yang sangat penting yang diperantarai oleh sel-sel scavenger dengan memakan organisme-organisme yang menyerang dan menghancurkannya secara intraseluler melalui aksi enzim-enzim. Fagositosis dapat dilakukan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) yang disebut mikrofag dan dapat dilakukan oleh fagosit mononuklear yaitu makrofag. Mikrofag dihasilkan di sum-sum tulang dan ketika matur ia masuk dalam sirkulasi pembuluh darah selama 6-7 jam. Sel- sel yang mempunyai masa hidup yang pendek tiba secara cepat pada lokasi infeksi yang ditarik oleh bahan-bahan kemotaktik yang meningkat selama proses inflamasi. Makrofag dihasilkan dalam sum-sum tulang dan sel ini dibawa sebagai monosit-monosit didalam pembuluh darah yang berperan sebagai “makrofag bebas” (didalam alveoli paru, peritoneum dan granuloma-granuloma radang), atau “makrofag terikat” yang berintegrasi dalam jaringan (dalam limfnode, limfa, hati yang disebut sel-sel kupfer, CNS yang disebut mikroglia, dan jaringan ikat yang disebut histiosit) (Bellanti 1993; Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).

Makrofag menghasilkan beberapa sitokin yang penting antara lain adalah interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor (TNF) yang dapat berperan sebagai mediator-mediator radang dan menyebabkan demam. Makrofag memproses antigen bakteri dan membawanya kepada limfosit untuk merangsang suatu respon imun spesifik, ia juga memainkan suatu bahagian penting dalam imunitas berperantara sel (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).

(36)

membungkus bakteri, fusi ini membentuk suatu kawah atau fagosom. Lisosom-lisosom yang mengandung enzim hidrolitik dan substansi bakterisidal lain bermigrasi kearah fagosom dan berfusi dengan membrannya untuk membentuk suatu fagolisosom sehingga terjadi proses ingesti. Pembunuhan intraseluler terhadap bakteri yang diingesti, dapat terjadi dalam beberapa menit, walaupun degradasi sel bakteri dapat menghabiskan waktu dalam beberapa jam (Bellanti 1993).

b. Komplemen

Komplemen adalah suatu famili dari protein-protein yang ada dalam serum yang bereaksi bersama satu sama lainnya dalam suatu kaskade. Bakteri SGB dapat melakukan pengelakan terhadap komplemen. Hal ini disebabkan karena adanya kapsul pada permukaan bakteri dimana kapsul tersebut mengandung asam sialat yang mempunyai sifat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aktivasi jalur komplemen alternatif. Kapsul tersebut mempunyai afinitas yang sangat rendah terhadap C3b, dengan demikian opsonisasi tidak terjadi. Streptococcus Grup B juga dapat menghasilkan Streptococcal C5a peptidase (C5aAse) yang dapat menguraikan C5a sehingga tidak terjadi fagositosis (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).

2.9 Pencegahan Infeksi Neonatal SGB

a. Kemoprofilaksis

Sebelum era penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum awal tahun 1990-an, diperkirakan 8000 kasus infeksi SGB early-onset terjadi di Amerika Serikat terjadi tiap tahun (2 kasus per 1000 kelahiran hidup). Setelah era penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum, insidensi sepsis neonatal SGB early-onset menurun hingga 70% (Schuchat et al. 2000; Tumbaga dan Philip

2003).

(37)

kemoprofilaksis maternal dan neonatal dengan pemberian ampisilin intravena intrapartum 2 gram per 6 jam untuk maternal yang dikombinasikan dengan penisilin G dosis tunggal intramuskular dalam waktu 1 jam setelah lahir untuk semua neonatus yang dilahirkan oleh ibu dengan faktor resiko. Penisilin G diberikan dengan dosis 60.000 U (1 ml) untuk bayi yang cukup bulan dan 30.000 U (0.5 ml) untuk bayi dengan berat lahir < 2 kg. Untuk maternal dengan chorioamnionitis selain ampisilin diberikan juga gentamisin dengan dosis awal 120 mg dilanjutkan 80 mg intravena setiap 8 jam. Klindamisin diberikan untuk wanita yang mempunyai riwayat alergi terhadap antibiotika β-laktam dengan dosis 900 mg intravena setiap 8 jam. Protokol tersebut telah terbukti secara signifikan mengurangi infeksi SGB early-onset.

Penggunaan antibiotik profilaksis terhadap ibu hamil resiko tinggi yang diidentifikasi melalui skrining dapat mencegah kira-kira 3300 kasus (47%) penyakit neonatal SGB tiap tahunnya di Amerika Serikat sehingga dapat menghemat biaya kesehatan kira-kira 16 juta dollar. Penggunaan kemoprofilaksis pada ibu hamil resiko tinggi yang diidentifikasi dengan menggunakan kriteria epidemiologi juga efektif dalam mencegah penyakit neonatal SGB (mencegah kira-kira 3200 kasus tiap tahunnya), namun karena kriteria ini tidak memerlukan skrining sehingga dapat menghemat biaya kira-kira 66 juta dollar. Akan tetapi

vaksinasi dapat mencegah kira-kira 4100 kasus penyakit neonatal tiap tahunnya sehingga dapat menghemat 131 juta dollar. Dengan demikian skrining prenatal yang universal terhadap SGB dan kemoprofilaksis untuk ibu hamil yang terkolonisasi masih membutuhkan biaya yang sangat besar dibanding vaksinasi (Mohle-Boetani et al. 1993).

b. Imunoprofilaksis

(38)

melintas secara transplasental ke janinnya. Namun pemberian vaksin pada infan prematur yang lahir sebelum usia kehamilan 32 minggu, tidak ada manfaatnya karena transfer antibodi maternal sangat terbatas pada usia kehamilan yang masih muda (Schuchat et al. 1996; Cunningham et al. 1997; Tumbaga & Philip 2003).

Kapsul polisakarida SGB adalah merupakan target imunitas antibodi. Hal ini desebabkan karena antibodi terhadap kapsul polisakarida sangat protektif dalam mencegah penyakit SGB. Karena kapsul polisakarida SGB terdiri dari beberapa serotipe maka vaksin SGB harus multivalen, termasuk di dalamnya adalah kapsul polisakarida dari serotipe yang dominan pada suatu wilayah. Vaksin yang efektif untuk digunakan di Amerika Serikat telah diteliti berdasarkan serotipe yang dominan adalah serotipe Ia, Ib, II, III dan V (Tumbaga & Philip 2003).

2.10 Pengobatan Penyakit SGB

Penisilin G sampai saat ini masih merupakan obat pilihan untuk penyakit SGB. Untuk orang dewasa dengan bakteremia, dosis penisilin G adalah 10-12 juta Unit/hari, sedangkan untuk kasus meningitis 20-30 juta Unit/hari. Untuk neonatus dengan kasus bakteremia dapat diberikan ampisilin dengan dosis inisial 150 mg/kg/hr ditambah aminoglikosida, kemudian diteruskan dengan penisilin G dengan dosis 200.000 unit/kg/hr. Pada kasus tanpa komplikasi bakteremia, terapi diberikan selama 7-10 hari, sedangkan pada kasus dengan bakteremia terapi dilanjutkan sampai 14 hari, namun bila ada komplikasi menigitis terapi diberikan selama 21-28 hari. Pada kasus dengan osteomilitis atau endokarditis, pemberian antibiotika memerlukan waktu 4-6 minggu (Edwards & Baker 1995; Tumbaga &

(39)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Laboratorium yang digunakan adalah Lab. Bakteriologi dan Lab. Terpadu FKH-IPB serta Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis Pusat Riset Bioteknologi-IPB. Tempat pengambilan sampel penelitian di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta. Penelitian ini telah berlangsung dari April 2002 hingga Desember 2005.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian terdiri dari sampel swab vagina dan swab rektum dari ibu hamil yang mengalami komplikasi obstetri. Bahan penunjang lain adalah media perbenihan bakteri berupa media agar darah domba 5% (Merck, Darmstadt, Jerman), Todd-Hewitt Broth (THB) (Gibco, Karlsruhe, Jerman), soft-agar (10 ml Brain Heart Infusion dari Gibco ditambah 0,15% agar) dan Tryptic Soy Agar.

Bahan kimiawi yang digunakan antara lain adalah Agarose (Serva, Heiderberg, Jerman), Polyetylen-glycol (PEG) 6000 (Serva), Phosphat buffer saline (PBS), asam hialuronat (Sigma), Bovine Serum Albumin (BSA) (Serva), amonium sulfat (NH4)2SO4, sephadex (Sigma), bufer Tris-HCl 0,1M; SDS 10%, Acrylamide/bis,

Amonium persulfat 10%, TEMED, Comassie blue R 250 (Serva, Jerman), molekul marker untuk protein, antimouse IgG Peroxidase Conjugate (Sigma),

mouse IgG (Sigma) dan reagen-reagen untuk ELISA.

Hewan yang digunakan adalah kelinci lokal, mencit (strain DDY) yang diperoleh dari PT. Biofarma. Bakteri referens SGB (International Referens Strain) yang digunakan untuk membuat antiserum monospesifik: Strain 090 (tipe

Ia), R36B (tipe Ib), 18RS21 (tipe II), COH-1 (tipe III), 3139 (tipe IV), SS1169 (tipe V), NT6 (tipe VI), 7271 (tipe VII), JM9-130013 (tipe VIII). Staphylococcus aureus K-39 digunakan untuk uji CAMP.

(40)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Bakteri diisolasi dari swab vagina dan swab rektum ibu hamil yang mengalami komplikasi obstetri dengan menumbuhkannya pada plate agar darah domba 5%. Identifikasi dilakukan dengan uji CAMP dan uji imunodifusi melalui Agar Gel Presipitation Test (AGPT) (Hayati et al. 2004).

3.3.1.1 Uji Christie, Atkins and Munch Petersen (CAMP)

Bakteri yang morfologinya koloninya mirip dengan morfologi koloni SGB yang diperoleh dari hasil isolasi primer dipilih untuk isolasi sekunder. Preidentifikasi terhadap kandidat SGB tersebut dilakukan dengan uji CAMP. Untuk melakukan uji CAMP dibutuhkan agar darah domba 5% (Merck, Darmstadt, jerman). Staphylococcus aureus strain K-39 digoreskan secara vertikal, kemudian tegak lurus dengan goresan ini dibuat goresan dari semua isolat kandidat SGB berjarak kira-kira 3 – 5 mm. Biakan diinkubasi dalam inkubator selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC. Bakteri menunjukkan reaksi positif bila adanya hemolisis sempurna berbentuk kepala panah (arrowhead) atau bentuk setengah bulan di daerah zona hemolitik S. aureus. Bakteri-bakteri yang menunjukkan reaksi positif pada uji ini selanjutnya ditentukan serogrupnya dengan mengunakan uji imunodifusi.

3.3.1.2 Penentuan Serogrup

a. Ekstraksi Antigen Autoklaf

(41)

yang dihasilkan digunakan sebagai antigen. Sebelum digunakan antigen tersebut disimpan pada suhu –200C.

b. Produksi Antibodi Monospesifik-grup terhadap SGB

Bakteri referens dibiakkan dalam 50 ml Todd-Hewitt Broth (THB) selama 18-24 jam pada suhu 370C. Sedimen bakteri yang diperoleh setelah disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, disuspensikan ke dalam PBS 5 ml kemudian diagitasi. Hal ini dilakukan 3 kali dan untuk sedimen yang terakhir ditambahkan 5 ml PBS/NaCl fisiologis lalu diagitasi. Untuk melakukan inaktivasi, suspensi ini ditangas dalam waterbath selama 1-2 jam pada suhu 600C. Suspensi ini siap digunakan sebagai vaksin.

Minggu pertama hari ke-1, kelinci disuntik secara intravena (vena auricularis) dengan 1 ml vaksin. Pada minggu kedua dan ketiga hari ke-1, 2 dan 3 kelinci diberikan boster masing-masing sebanyak 1 ml. Pada minggu ketiga hari ke-7 dilakukan pengambilan darah dari arteri aurikularis sebanyak 2 ml, masukkan dalam inkubator selama 2 jam kemudian simpan dalam frizer selama satu malam. Cairan bening yang terbentuk dimasukkan dalam tabung baru, lalu kespesifikan antibodi diuji dengan mereaksikan antiserum dengan antigen ekstraksi autoklaf melalui AGPT. Jika belum memberikan reaksi positif maka vaksinasi dilanjutkan pada minggu keempat. Pada hari ke-7 serum diuji kembali, jika hasil uji ini memberikan reaksi positif maka darah kelinci dapat dipanen seluruhnya.

c. Uji serogrup melalui Agar Gel Presipitation Test (AGPT)

Untuk membuat media agar, ke dalam sebuah erlenmeyer dicampur 0,4 gram agarose (Serva, Heiderberg, Jerman) dan 1,2 gram polyetylen-glycol (PEG 6000, Serva), kemudian dilarutkan dalam 20 ml akuades dan 20 ml phosphat buffer salin (PBS) 0,5 M, pH 7,2. Suspensi ini ditangas pada air mendidih

(42)

pada sumur-sumur yang mengelilinginya. Rak yang berisi gelas objek ini kemudian ditaruh pada tempat yang telah diberi alas kertas saring basah untuk menjaga kelembabannya. Reaksi ini dibaca setelah 18 – 48 jam dengan melihat garis presipitasi pada daerah antigen dan anti-sera yang homolog.

3.3.2 Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul polisakarida

Ekspresi fenotipe bakteri diuji dengan melihat pola pertumbuhannya pada media cair dan soft-agar serta melihat sifat hidrofobisitasnya dengan salt agregation test (SAT) (Wibawan dan Laemmler 1991).

3.3.2.1 Pertumbuhan pada Media Cair dan Soft-Agar

Untuk melihat pola pertumbuhan bakteri pada media cair, isolat SGB ditumbuhkan dalam medium THB, diinkubasi selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC, dan diamati sifat pertumbuhannya tanpa mengocok biakan tersebut. Pola pertumbuhan bakteri dinyatakan keruh apabila supernatan tampak keruh serta jernih bila supernatan tampak jernih dan ada sedimen sel bakteri di bawah tabung dan atau adhesif/menempel pada dinding tabung.

Untuk melihat sifat pertumbuhan bakteri pada agar lunak, satu Ose SGB yang telah ditumbuhkan pada THB, diencerkan dalam 10 ml NaCl fisiologis steril. Satu Ose suspensi ini diinokulasikan pada medium soft-agar (10 ml Brain Heart Infusion, Gibco, 0,15% agar) yang telah dihangatkan hingga suam-suam kuku,

diagitasi dengan vortex selama 30 detik, diinkubasi 18 – 24 jam pada suhu 37oC. Pertumbuhan koloni dibedakan atas dua tipe yaitu difus dan kompak.

3.3.2.2 Uji Hidrofobisitas dengan SAT.

Bakteri ditumbuhkan dalam 10 ml THB selama semalam pada suhu 37oC kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Pelet yang diperoleh dilarutkan dalam 2 mM PBS pH 6.8 dan kekeruhannya disetarakan dengan BaSO4 transmisi 10% pada panjang gelombang 620 nm sehingga suspensi ini mengandung 109 sel per ml. Amonium sulfat dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 1.2, 1.6, 2, 2.4, 2.8 dan 3 M. Sebanyak 25 µl suspensi bakteri dicampurkan dengan larutan (NH4)2SO4 sama banyak di atas gelas objek. Reaksi positip ditandai dengan

(43)

3.3.3 Penentuan Serotipe Antigen Kapsul Polisakarida

Penentuan serotipe dilakukan dengan mereaksikan antigen yang dipreparasi secara ekstraksi HCl dengan antisera monospesifik-tipe melalui uji AGPT (Wibawan & Laemmler 1991).

a. Antigen Ekstraksi HCl

Untuk preparasi antigen ekstraksi HCl, bakteri dibiakkan dalam 50 ml THB selama 18 - 24 jam dalam inkubator pada suhu 370C, disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, sedimen ditambah dengan 0,35 ml HCl 0.2 N, dihomogenkan secara sempurna. Suspensi kemudian ditangas dalam penangas air selama 2 jam dengan suhu 520C. Setelah dingin ditetesi indikator dan dinetralkan dengan NaOH 0,1 N kemudian disentrifus 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm, sedimen yang diperoleh dibuang dan supernatan diambil sebagai antigen.

b. Pembuatan Antisera Monospesifik-tipe

Prosedur pembuatan antisera monospesifik-tipe sama dengan pembuatan antisera monospesifik-grup, tetapi untuk ini digunakan 9 bakteri referens international strain 090, R36B, 18RS21, COH-1, 3139, SS1169, NT6, 7271, JM9-130013 masing-masing tipe Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII.

c. Uji serotipe melalui Agar Gel Presipitation Test (AGPT)

Untuk membuat media agar sama dengan uji serogrup. Ke dalam sumur di bagian tengah diisikan anti-sera spesifik-tipe sedangkan antigen-antigen ekstraksi HCl yang akan diuji dimasukkan pada sumur-sumur yang mengelilinginya. Rak yang berisi gelas objek ini kemudian ditaruh pada tempat yang telah diberi alas kertas saring basah untuk menjaga kelembabannya. Reaksi ini dibaca setelah 18 – 48 jam dengan melihat garis presipitasi pada daerah antigen dan anti-sera yang homolog.

3.3.4 Penentuan Hialuronidase

3.3.4.1 Uji Plate Agar- Hyaluronidase

(44)

Detroit) lalu disterilkan dalam autoklaf. Kemudian ditambahkan 50 mg asam hialuronat (Sodium-salt from human umbilical cord, Sigma, Stockholm) dalam 25 ml air dan 1,25 g bovines serum albumin (BSA, Serva) yang dipreparasi secara steril lalu dimasukkan dalam plate. Bakteri SGB diinkubasikan dalam media ini selama 24 jam pada suhu 370C, Kemudian dialirkan 5 ml asam cuka 2 mol/l. Streptokokus yang positip hialuronidase akan memperlihatkan zona bening disekelilingnya.

3.3.4.2 Isolasi Hialuronidase dalam Supernatan

Bakteri SGB ditumbuhkan dalam 50 ml THB yang diencerkan 2 kali, diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 jam (nilai absorbansi 0,8 pada λλ 650

nm), kemudian suspensi ini diinokulasikan kembali dalam 500 ml THB (mengandung 0,2% asam hialuronat) pada suhu 37oC selama 18 jam. Untuk mengamati fase pertumbuhan bakteri, dilakukan pengamatan dengan melihat nilai optical density (λλ 650 nm) selama masa inkubasi. Suspensi bakteri ini kemudian disentrifugasi 4000 rpm selama 30 menit pada suhu 40C. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk pengujian kadar protein sesuai dengan metode Bradford (1976) dan pengujian aktivitas hialuronidasenya pada substrat asam hialuronat metode Bergmeyer (1987).

3.3.4.3 Pengendapan dengan Amonium Sulfat

(45)

3.3.4.4 Dialisis

Dialisis dilakukan untuk menghilangkan garam yang tersisa pada proses pengendapan dengan amonium sulfat. Kantong dialisis (Sigma) dengan lebar 25 mm dan diameter 16 mm dipotong sepanjang 10 cm dan dicuci dengan air mengalir selama 3-4 jam. Kantong ini selanjutnya dipanaskan selama 30 menit dalam 1 mM EDTA, selanjutnya dilakukan pencucian dengan air bebas ion. Sebanyak 10 ml sampel enzim dimasukkan kedalam kantung dialisis dan diikat dengan benang pada kedua ujungnya. Kantung dimasukkan dalam bufer phosfat pH 6,4 dengan volume 100 kali sampel, diagitasi secara perlahan selama 1 jam pada suhu dingin.

3.3.4.5 Kromatografi Filtrasi Gel

Pemurnian dengan teknik kromatografi filtrasi gel dilakukan berdasarkan pada perbedaan kemampuan dari berbagai molekul protein enzim memasuki pori-pori yang terdapat pada fase diam. Sebanyak 1,7 gram Sephadex G-100 direndam dalam air bebas ion steril dan diaduk secara perlahan selama 30 menit, kemudian didiamkan semalam pada suhu 4oC. Air bebas ion dibuang dan diganti dengan bufer phosfat pH 6,4 sambil diaduk perlahan selama 30 menit kemudian didiamkan selama semalam pada suhu 4oC. Gel dicuci sebanyak tiga kali dengan bufer phosfat pH 6,4 dan didiamkan selama satu jam. Secara perlahan gel dituang ke dalam kolom kromatografi yang berdiameter 1 cm yang telah terisi bufer phosfat hingga mencapai tinggi 40 cm, diusahakan tidak ada gelembung yang terperangkap dalam kolom. Kolom diekuilibrasi dengan mengalirkan bufer phosfat pH 6,4 sebanyak 200 ml selama semalam pada suhu 4oC.

Gambar

Gambar 1. Reaksi positip uji CAMP ditunjukkan oleh adanya hemolisis sempurna  berbentuk kepala panah (arrowhead) sebagai hasil hemolisis yang sinergis antara Staphylococcal β-lysin dari Staphylococcus aureus K-39 (goresan vertikal) dengan faktor CAMP yang
Gambar 4. Morfologi bakteri SGB dengan pewarnaan Gram yang diamati dengan mikroskop.
Tabel 3. Ekspresi Fenotipe SGB dari penderita komplikasi obstetri
Gambar 5. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media cair; jernih dengan endapan di dasar tabung (A) dan keruh (B)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasilnya, data-data yang sesuai akan tersaring dan dibawa ke proses selanjutnya yaitu pengolahan data handphone dengan metode fuzzy logic guna mendapatkan hasil rekomendasi

Menurut Depdiknas (2007) kompetensi pedagogik untuk guru mata pelajaran meliputi beberapa kompetensi inti meliputi: (1) Menguasai karakteristik peserta didik dari

Manajemen strategi merupakan sebuah proses yang terdiri dari tiga kegiatan antara lain perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi. Perumusan strategi

merupakan jenis leguminosa pohon yang memiliki tinggi tanaman antara 1-2 meter bahkan lebih dan dapat dipanen pada umur antara 6-8 bulan dengan produksi biomasa serta

Pada Kelurahan Rangga Mekar yang akan dibangun area perumahan, dilakukan uji infiltrasi menggunakan infiltrometer cincin ganda dengan acuan SNI: 7752:2012 dan analisis

Hubungan fungsi antara satu variabel dependen dengan lebih dari satu variabel independen dapat dilakukan dengan analisis regresi linier berganda, dimana perataan

kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL, karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak

Pada suhu annealing 45 o C berupa pita ganda yang menunjukkan bahwa pada suhu ini belum tepat untuk menghasilkan produk yang baik. Hal ini dikarenakan untuk melihat