STUD1 PEMBERIAN MA
TAMBAHAN
P'ENDAMPING AS1 (MPASI)
USIA BAWAH
DUA TAHUN
OLEH :
MARMAEL
PROGRAM PASC
INSTITUT
h4ARDIAH. Studi Pemberian Makanan Tambahp (MPASI) pada Anak Usia Bawah Dua Tahun (Baduta) untuk Mencegah ~enyus&xn Protein Otot. Dibimbing oleh FRANSISKA ZAKARIA RUNGKAT dan ALI K/HoMsAN.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menqtebabkan banyak anak menderita gizi buruk. Kondisi ekonomi yang bunk menyeb&kan daya beli masyarakat menjadi lrmah sehingga tidak dapat menyediakan pang* yang baik. Dalam penelitian ini dicoba membuat makanan pendamping AS1 yabg terbuat dari bahan pangan lokal yaitu kacang kedelai yang ditambah dengan ma1
.
Kedelai merupakan sumber protein yang penting dan penambahan malt ini dimaksu&
an
untuk meningkatkan daya cerna hdPASI. Intervensi pemberian MPASI diujikan ada anak usia 6-24 bulan selama 2 bulan di dua desa di Bogor, yaitu desa Bojon Pi! erta sebagai Desa Kontrol dan desa Cimahpar sebagai Desa Perlakuan. Sebeluml dan sesudah intervensi dilakukan pengukuran antropometri dan pengujian biokur/ia urin anak. Analisis urin meliputi kadar kreatinin, ureadan
protein urin. ~enguji+ terhadap kadar kreatinindan
urea urin adalah untuk melihat seberapa jauh bongqran protein otot yang sering terjadi akibat ketidakcukupan asupan protein dan energii Dalam penelitian ini juga dilakukan pendidikan gizi kepada ibu baduta yaitu berupa @nyuluhan yang dilakukan seminggu dua kali untuk meningkatkan keberhasilan intervqnsi pemberian MPASI.SURAT PERNYATAAN
Dbengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang beltjudul :
STUD1
PEMBERIAN
MAKANAN
TAMBAmN
(MPASI) PADA ANAK USIA B W A H DUA TAHUN
(BADUTA) UNTUK MENCEqAH PENYUSUTAN
PROTEIN OTOT
STUD1 PEMBERIAN MAWNAN TAMBAHAN
PENDAMPING AS1 (MPASI) PAOA ANAK USIA BAWAH
DUA TAHUN (BADUTA)
UNTUK
MENCEGAH
PENYUSUTAN PROTEIN
OTOT
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains gads
Program Studi Ilmu Pangan
PROGRAM PASCAPARJANA
INSTITUT PERTANIlAN BOGOR
Judul Tesis : Studi Pemberian Makaqan Tambahan Pendamping AS1 (MPASI) pada Anak Usiai Bawah Dm Tahun (Baduta) untuk Mencegah Penyusutan Pro*in Otot
blama : Mardiah
hIRP : 98149
Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui :
1. Komisi Pernbirhbing
&k.Ir.Fransiska Zakaria Rungbt,MSc Prof.Dr.Ir.Ali Khomsan
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Promam Studi Ilmu Pangan A&
e r o f . ~ r . ~ r . ~ e t t v Sri Laksmi Jenie. M\k
3
&&program Pascasarj ana
RIWAYAT
HIOUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada +ggal 8 Oktober 1968 dari Bapak (Aim) Djalil Harun dan Ibu Rohani. Penulis berupakan anak kedua
c
h
i
empat be:rsaudara.Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Nege$8 Jakarta clan diterima di IPB pada tiihun yang sama melalui jalur PMDK dengan mebilih jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Tahun 1992 penulis lulus sarjana S 1. Ta un 1998 penulis melanjutkan studi Pascasarjana S2 dengan mengambil Program Stu !ci Ilmu Pangan atas biaya BPPS dari Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesi
Penulis bekerja sebagi dosen PNS Kope is Wilayah IV yang ditempat di
Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.
k
Puji dan syukur penulis panjatkan k e p & Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Pdnelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari
-
April 2000 dengan judul Studi Pembedan Makanan Tambahan PendampingA S 1 (MPASI) pa& Anak Usia Bawah Dua Tahun (Baduta)
untuk
Mencegah Penyusutan Protein Otot.Terima kasih penulis ucapkan kepada D$.Ir.Fransiska Zakaria Rungkat, MSc
dan Prof.Dr.1r.Ali Khomsan selaku pembimbinq. Terima kasih kepada Ir. Soetrisno K-oswara selaku penguji dan juga tumt membMtu &lam pembuatan MPASI yang
diujicobakan. Terima kasih kepada WFP (Wotld Food Programme) atas bantuan dananya selama penelitian
dan
kepada LSM YEH (Youth Ending Hunger) atas bantuan ke jasamanya di lapangan. Terima kasihi kepada Lurah Desa Bojongkerta dan Desa Cimahpar atas kerjasamanya. Terima kasih kepada adik-adik Susi, Ana, Oke,Meti clan Fuji atas bantuannya di lapang. Terima kasih kepada my best @lend AJsuhendra, mbak Mega, rekan-rekan & PascasalrJana IPB, teman sejawat di UNIDAyang banyak memberi masukan saran dan d-gan moril. Terima kasih pada h4amaku tercinta yang selalu memberi motivagi penulis untuk terus berjuang dan
berkarya. Ungkapan terima kasih yang tulus penuis sampaikan kepada suarni tercinta atas kesabarannya, anak-anakku tersayang Izza, Fbdhlan dan Amel atas pengertian clan
pengorbanan kalian semua serta seluruh kelqarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2002
DAFTAR ISiI
Halaman
...
D AFTAR LAMPIRAN
...
PI3lDAHULUAN... Latar Belakang
...
Tujuan Penelitian
... Hipotesis
Manfmt Penelitian ...
... T [NJAUAN PUSTAKA
Kurang Energi Protein ... ... Metabolisme Protein
... Makanan Pendamping AS1
...
Pengetahuan Gizi... Pengukuran Status Gizi
NIETODOLOGI PENELITIAN ... Tempat
dan
Waktu Penelitim ......
Bahan dan AlatPembuatan MPASI ... ... Cara Pemilihan Responden
...
Tempat dan Cara Penyuluhan GiziCara Pemberian Makanan Tambahan ... ... Cara Pengambilan Data
... Pengolahan dan Analisis Data
... Metode Analisis
HlASIL DAN PEMBAHASAN
...
... Keadaan Umurn Lokasi Penelitian
...
Kandungan Gizi dm Pengujian Aktivitas &lase Tepung Delvita Uji Hedonik terhadap WAS1...
.,. ... Pendidikan Gizi ... , ......
Konsumsi Makanan Tambahan... ;.
... Peningkatan Berat Badan
NESIMPULAN DAN SARAN ... 76 Kesimpulan ... 76 Saran ... 77
...
DAFTAR TANEL
Halaman
1 . Komposisi Air Susu Ibu ... 15 2
.
Kecukupan Energi dan Protein menurut FAOPiVHO (1983) ... 17...
3
.
Komposisi Kimia Biji-Bijian dan Kacang.Kacbgan 20... .
4 Kandungan Asam Amino Esensial Berbagai S p b e r Protein 21
... .
5 Komposisi Kimia dan Kualitas Gizi Kedelai 23
...
6
.
Tahapan Kekurangan Zat Gizi dan Cara Penilqian Status Gizi 30...
7 . D a h r Menu MPASI 41
8
.
Jumlah Responden Anak Menurut Jenis Kelanhin ... 49 ...9 . Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden Anak 52
10 . Jumlah Anak dalam Keluarga Responden di Diesa Bojongkerta
...
531 1
.
Jwnlah Anak dalam Keluarga Respondendi
Dlesa Cimahpar...
5312 . Komposisi Gizi Tepung Delvita ... 57
1 .3
.
Komposisi Gizi Campuran Kedelai dan Berm ... 57... 14 . Rata-Rata Hasil Skor Nilai Pengetahuan Gizi Responden Ibu 62
...
1.5. Kategori Pengetahuan Gizi Responden Ibu 62
116 . Rata-Rata Jumlah Konsumsi Makanan ~amb&an & Desa Perlakuan
(Desa Cimahpar)
...
66...
1 7 . Perubahan Berat Badan Responden Anak setelah Pemberian MPASI 68
18
.
Tingkat Kecukupan Gizi Berdasarkan Hasil Recall Desa Kontrol (Desa Bojongkerta) ... 70 19 . Tingkat Kecukupan Gizi Berdasarkan Hasil Recall Desa Perlakuan20. Status Gizi Responden Anak Desa Kontrol Meburut BBIU (2 Score). . .
.
, . 722 I . Status Gizi Responden Anak Desa Perlakuan nYIenurut BBIU (Z Score). . . 73
2;!. Uji Biokimia Urin Responden Anak di Desa Kbntrol (Desa Bojongkerta) 74
DAFTAR GAMBAR
Halaman
... .
1 Jalur Metabolisme Protein dan Asam Amino 13
2 . Skema Pembuatan MPASI ... 37
3 . Cara Penyiapan Bubur ... 40
4 . Grafik Tingkat Pendidikan Ibu ... 50 ...
.
5 Grafik Tingkat Pendidikan Ayah 50
6 . Grafik Hasil Uji Organoleptik Produk ... 60
...
7 . Alasan Ibu memberi MPASI pada Anak Usia 6124 bulan 64
...
8
.
Cara Pengolahan MPASI di Rumah oleh Ibu 64DAFTAR LAMHRAN
Balaman
1
.
Kuesioner Pemilihan Responden...
842 . Formulir Uji Organoleptik ... 85
3 . Daftar Kuesioner ... 86
4 . Contoh Materi Penyuluhan ... 89
5 . Produk Delvita.
...
906 . Recall Konsurnsi Harian ... 91
7 . Hail Analisis Produk ... 92
...
8 . Status Gizi Berdasarkan Metode Z Score ... , 93
...
9
.
Jurnlah Peserta Penyuluhan Desa Cimahpar (Dpsa Perlakuan) 94...
A. Latar Belakang
Salah satu kebijakan di bidang pangaq dan gizi adalah peningkatan gizi
bayi, balita, dan ibu hamil serta penwzlnan penyakit gizi kurang atau Kurang
Energi Protein (KEP). Hal ini sangat tepat mqngingat saat ini prevalensi keadaan
gizi kurang dan
buruk
di Indonesia relatif mas* tinggi. Keadaan gizi kurang akan mengakibatkan meningkatnya angka kematian bayi dan anak, meningkatnya angkakesakitan, terharnbatnya pertumbuhan fisik daq perkembangan kecerdasan anak.
I
Krisis ekonomi yang sampai sek@ang masih m e l d Indonesia
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah denderita gizi kurang, terutama pada
anak di bawah usia lima tahun. Helen Keller I$ternational(1999) telah melakukan
p e n p p u 1 a n data kecukupan gizi anak-a& di bawah lima
tahun
antara bulan Januari sampai Mei 1999 di daerah Jakarta, Sqrabaya, Ujung Pandang, Semarang,Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok. Hasilnya menunjukkan
bahwa 20-30% anak-anak usia 12-23 bulan mempunyai status gizi kurang bila
digunakan pengukuran berdasarkan berat b@an menurut tinggi badan untuk
daerah Jakarta, Swabaya dan Ujung Pandahg. Keadaan ini disebabkan oleh
rendahnya daya beli masyarakat sehingga tic$& marnpu menyediakan makanan
dengan kandungan zat gizi yang cukup untuk
pnak.
Asupan makanan yang tidak mencukupi dapat menyebabkan gangguan gizi.Data Survai Sosial Ekonomi Nasionali (BPS, 1999) menunjukkan bahwa
mencapai 34.47%, dimana prevalensi status gizi buruk 8.11% dan status gzi
kurang sebesar 26.36%. Sementara itu di Prppinsi Jawa Barat prevalensi status
gizi buruk balita sebesar 6.16%
dan
status gizii kurang sebesar 23.56%. Sebanyak5.4% an& berusia 6-17 bulan menderita gizi b u d dan sebanyak 16.2%
diantaranya menderita gizi sangat buruk di kabppaten Bogor.
Kurang Energi Protein (KEP) di nqara berkembang paling banyak
ditemukan pada anak usia 12-24 bulan (S+ardjo, 1989), sedangkan menurut
Brown et al. (1995)
dan
HKI (2000) Kmanb Energi Protein terjadi pada usia antara 6-
24 bulan. Selanjutnya dinyatakan o Claulfield et al. (1999) masalahkurang gizi mulai muncul pada usia 6 bulan 1 ini disebabkan oleh beberapa
kemungkmm yaitu (a) usia penyapihan alu dini, (b) usia penyapihan
terlalu lama tanpa diimbangi den* pemberiarB makanan tambahan yang memadai
(c) insiden penyakit infeksi (d) makanan yane diberikan pada anak tidak cukup
mengandung energi, protein, mikronutrien b n (e) cara penyiapan dan cara
pemberian makanan yang ti& baik. LebiQ lanjut dikatakan status gizi anak
sangat dipengaruhi oleh beberapa ha1 antara lain ketersediaan atau keberadaan
sumber bahan pangan setempat, tingkat penclapatan, pendidikan dan pengetahuan
gizi ibu.
Dampak yang tejadi akibat k w h energi protein banyak sekali,
diantaranya adalah adanya gangguan perturnbuhan (growth faltering)
(Brown et al., 1995) dan gangguan pada perl+embangan otak yang dalarn jangka
tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas (Tandyo, 2000).
Hal ini perlu upaya untuk mencegah terjadinyd lost generation dengan melakukan
perbaikan konsurnsi pangan baik kuantitas mJaupun kualitasnya untuk mencapai
status gizi yang baik. Salah satu ha1 yang 4enyebabkan kurang energi protein
pada anak yaitu karena ketidakcukupan asupad energi yang disebabkan rendahnya
densitas energi yang dikonsumsi anak dan bahan makanan berprotein tinggt
dengan harga terjangkau. Dalarn penelitiajr ini dicoba membuat suatu produk
pangan lokal yang telah terbukti bermutu tin$@ dari beberapa penelitian, yaitu
kedelai sebagai sumber protein yang ditambaQl dengan malt. Penambahan malt
sebagai sumber enzim malt bertujuan untbk meningkatlcan densitas energi
makanan. Produk MPASI ini merupakan l& (sumber protein) pendamping
makanan pokok, sehingga diharapkan penggu+annya dapat lebih bervariasi, tidak
menimbulkan rasa bosan, disamping itu hareanya yang murah memungkinkan
untuk diproduksi dengan harga yang terjwgkau sesuai dengan daya beli
masyarakst. Menurut Zakaria (1999) pemberiw MPASI lokal, dalam arti terbuat
dari bahan dan resep lokal sesuai dengan k u l w setempat, merupaSEan praktek yang
dapat membuat program intervensi berhasil,
Salah satu gejala kekurangan energi protein anak yaitu adanya penyusutan
protein otot tubuh dapat dilihat dari jwnldh kreatinin dalam urin. Tingkat
kecukupan protein dan kalori MPASI dapat diukur dari kadar urea urin anak.
Pengukuran hasil metabolit ini adalah untuki melihat seberapa jauh intervensi
Pemberian makanan pendamping AS1 berb#han baku kedelai ini diharapkan
mampu mengurangi penyusutan protein tubuh ~ n a k sehingga dapat berperan dalam
mengatasi kurang protein pada anak. Beherapa faktor yang mempengaruhi
keadaan gizi kurang pada anak seperti graktek pemberian makan, tingkat
pengetahuan gizi ibu juga dijadikan patarneger yang hams diukur untuk melihat
dampaknya terhadap perbaikan status gizi am&.
B. Tujuan Penelitian
Secara
umum
penelitian ini bertujm untuk mempelajari pengaruhpemberian makanan tambahan dengan bahan dasar kedelai terhadap status gizi
anak baduta.
Tujuan Khusus :
1. Mempelajari pengaruh pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI)
berbasis kacang kedelai dan malt terhadafl perbaikan status gizi anak baduta
(anak bawah dua tahun).
2. Mengevaluasi pengaruh pemberian MPASI terhadap pertumbuhan dan
perputaran protein tubuh (Protein Turnoverj
.
3. Mempelajari pengaruh penyuluhan gizi pa* ibu terhadap tingkat pengetahuan
gizi dan tingkat keberhasilan pemberian @kanan dengan penyuluhan.
C. Bipotesis
1. Pemberian makanan tambahan pendampitrg AS1 (MPASI) berbasis kedelai
enzim amilase dapat meningkatkan densit+ energ MPASI.
2. Pemberian MPASI berbasis bahan bcang kedelai dan malt ini dapat
memberikan asupan makanan yang c*p bagi anak, sehingga dapat
mengurang penyusutan protein otot
Qan
&pat menjaga keseimbangan nitrogen agar dapat mencapai pertumbuhab yang optimal bagi anak.I
3. Penyuluhan gizi terhadap responden ibu +pat meningkatkan pengetahuan gizi
ibu, sehingga akan mempengaruhi pebbahan sikap dalarn memberikan
makanan kepada anak.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan &pat :
1. Membantu keluarga yang tergolong tidaq mampu dalam mengatasi masalah
kurang gizi yang dialami oleh anak baduga dengan memberikan W A S 1 yang
murah clan bergizi.
2. Menambah asupan protein pada pkoduk MPASI, sehingga dapat
meningkatkan status gizi baduta yang mengalami KEP (Kurang Energ
Protein).
3. Memberikan gambaran bagaimana konldisi pertumbuhan clan perputaran
protein dalam tubuh anak baduta setel& mengkonsurnsi MPASI berbasis
kacang kedelai dan malt.
4. Pedoman pendidikan gizi untuk meningkatkan perilaku ibu dalam pola
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Kurang Energi Protein
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan kondisi defisiensi gzi
(malnutrisi) yang timbul bila energi dan prdtein yang dikonsumsi tidak cukup.
Masalah kekurangan gizi merupakan manifeftmi dari kekulangan pangan yang
terjadi pa& level individu dalam rumah angga. Kekurangan pangan atau
makanan yang bergizi pa& level rumah tan* dapat diakibatkan oleh dua faktor
yaitu rendahnya daya beli keluarga dan r e n w y a ketersediaan pangan secara
regional (Zakaria, 1999).
Malnutrisi banyak melanda anak-an* di negara berkembang. Hasil
laporan dari UNICEF (2002) bahwa anak-mak yang mengalami malnutrisi di
negara berkembang berkisar antara 32-38% atau k 150 juta anak. Hampir
setengahnya berada di Asia Selatan dan sepertiga ada di Afrika. Malnutrisi
menyebabkan hampir 12 juta kernatian anak sletiap tahun (WHO, 2002). Keadaan
kehidupan yang miskin mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya h a n g
energi protein. Menurut Sartono (1999) status gizi buruk balita sebesar 1.3% dan
gizi kurang 15%, namun setelah krisis ekogomi kasus gizi buruk meningkat
menjadi 2.2%, gizi sedang 18.2%, gzi baik 72:9% dan gizi lebih 6.7%.
Menurut Tandyo (2000) dan Soeyirman (2000) ada 3 ha1 yang
menyebabkan KEP yaitu (1) Tidak cukupqya diet makanan yang masuk (2)
yang tidak memadai serta lingkungan hidup y@ng bwuk. Menurut UNICEF (2002)
malnutrisi disebabkan karena kerniskinan dan rendahnya pengetahuan gizi.
Menurut Abunain et al. (1989) rnalnutridi terjadi akibat terlalu dini usia
penyapihan dan terlalu lama periode peqyapihan tanpa diimbangi dengan
pemberian makanan tambahan yang memadai dan masalah ekonomi, dimana
sebagtan besar ibu-ibu berupaya mencari nafkah untuk membantu k a d w n
ekonomi keluarga dan sebagai konsekwensin~a pengasuhan anak menjadi kurang
diperhatikan. Ekonomi juga merupakan faktw penting bagi tersedianya makanan
yang cukup dan upaya memperoleh pelayana~ kesehatan yang layak. Penelitian
yang dilakukan oleh Brown et al. (1995) m$njelaskan bahwa rendahnya energi
yang dikonsumsi anak disebabkan oleh densit@ energi yang rendah dalam dietnya,
ketidakcukupan jumlah makanan yang dikonswsi dan rendahnya nafsu makan.
Tanda-tanda khusus anak yang mengalmi KEP yaitu badan menjadi kurus.
Penyusutan otot mudah terlihat pada bagian l&-qpn atas dan bahu bagian atas dan
bahu bagian belakang. Biasanya KEP disertai keadaan perut menjadi buncit, anak
menjadi kurang responsif mengarah kepada apatis, perkembangan kepandaian
lebih lambat dari normal (Suhardjo, 1989). Mpnurut WHO (1996) malnutrisi pada
anak ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan fisik yaitu rendahnya nilai
BBIumw;, gangguan tumbuh kernbang
am&,
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit serta meningkatnya angka kqmatian pada anak.Bila masalah kurang gizi tidak teratqi, maka akan mempunyai dampak
masa balita dapat berpengaruh negatif terhaqfap perkembangan intelektual pada
masa dewasanya. Pengaruh gizi kurang terha@ap perkernbangan otak mempunyai
hubungan yang erat terhadap perkembangan mental
dan
kemampuan berfikir.Kekurangan protein dan energi menyebabkan perkembangan otak terganggu, yang
ditandai dengan terjadinya kehilangan IQ 5
-
10 poin (UNICEF, 1997). Anakyang mengalami gizi kurang semasa bayi inempunyai IQ yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang lain (Suhardjo, 1989). Menurut Pujiadi (1990)
Kurang Enerp Protein
(KEP)
yang diderita pada masa dini menghambatperkembangan otak karena akan mengur~gi sintesis protein DNA otak.
Pemberian rnakanan yang baik &an memwngaruhi perkembangan otak anak.
Menurut Husaini et al. (1991) terdapat hubungan linier antara pemberian rnakanan
dengan perubahan berat badan dan perkembangan motorik anak yaitu adanya
peningkatan &vasi sel otak yang mempengmhi tingkah laku anak. Menurut
Pujiadi (1990) akibat KEP yang dialarni pada masa dini (usia anak kurang dari dua
tahun) perkembangan otak akan menguran$i sintesis protein DNA sehingga
jumlah sel otak berkurang walaupun besar c~taknya normal. Jika KEP tejadi
setelah masa divisi sel otak berhenti, hambatar) sintesis protein akan menghasilkan
otak dengan jumlah sel yang normal tetapi ukuran otaknya lebih kecil. Program
perbaikan
gizi
untuk bayi dm balita perlu mendapat perhatian utarna sebab pembentukan dan pertumbuhan otak khpsusnya yang berkaitan dengankemampuan fungsional masih berlanjut sarnpi kurang lebih 3 tahun (Khumaidi,
orang dewasa sebelum benunur 3 tahun, sefilngga apabila pada masa ini terjadi
gangguan gizi kurang dapat menimbulkag kelainan fisik maupun mental
(Suhardjo,l989). Dobbing (1974) dalarn S1-rhardjo (1989) menyatakan bahwa
masa luitis dalarn perkembangan otak manusla yang rawan terhadap gizi kurang
adalah dari usia 3 bulan dalam kandungan ~ p a i umur 2 tahun. Menurut Sartono
(1999) prevalensi gizi buruk banyak teqadi pada usia 9 bulan hingga 2 tahun.
KEP di negara berkembang banyak terjadi mda usia 6-24 bulan (Brown et al.,
1995)
Menurut WHO (1996) ada beberapg program yang diberikan kepada
masyarakat guna menanggulangi malnutrisi yqitu diantaranya promosi pemberian
AS1 dan keluarga berencana, pemberian MPASI, pendidikan gizi pada ibu,
monitoring pertumbuhan an& dan kontrol terhadap defisiensi mikronutrien,
penyediaan air bersih dan terapi &are dengan pmberian oralit. Program UNICEF
(2002) dalam mengatasi kurang energt protein yaitu dengan melibatkan seluruh
kekuatan keluarga, kerjasarna berbagai lintas sektoral dan pelayanan kesehatan.
B.
Metabolisme ProteinProtein dari diet, setelah dicerna asap aminonya akan diabsorpsi dan
masuk ke dalam pool asam amino untuk dimqtabolisme lebih lanjut yaitu melalui
reaksi katabolisme dan anabolisme. Katabolisae merupakan proses pembongkaran
asam amino menjadi energi atau disimpan ntenjadi glikogen atau lemak tubuh,
selanjutnya difungsikan sebagai enzim pembentukan sel baru, antiboh,
hemoglobin, horrnon, glutation dan heath. Menurut Guthrie (1975) laju
pembentukm protein tergantung pada jumlah kalori. Jika kalori cukup, asam
amino dari diet
akan
digunakan untuk sinte.'s protein. Jika kalori tidak ~ukup, maka sel akan rnembongkar asam amino yang ada dalam tubuh yangakan
digunakan sebagai energi dengan melepaskan
NH2
(amonia) dan tidak ada proteinyang terbentuk. Proses ini disebut deaminasi. Arnonia merupakm senyawa toksik
yang tidak boleh terakumulasi dalam sel (Warn konsentrasi tinggi). Tubuh
mendetoksifikasi amonia dengan mengubahnya menjadi glutamin untuk diangkut
di hati. Deaminasi glutamin dalam hati akan melepaskan amonia yang diubah
menjadi senyawa non toksik yaitu urea dan diikeluarkan melalui ginjal bersama
urin. Sisa asam amino yang tidak mengandung gugus nitrogen akan rnasuk siklus
metabolik karbohidrat dan lemak untulc selanjumya dioksidasi menjadi energ atau
dibentuk menjadi lemak yang disimpan sebagai energi cadangan (Cantarow,
1963). Hal ini menyebabkan berkurangnya sintesis protein yang menyebabkan
prtumbuhan terhambat. Proses ini yang terjadi pada kasus kelapamn atau
lcuangnya masukan zat gizi (Kurang Energi Protlein)(Guthrie, 1 975).
Sirkulasi urea meningkat bila te jadi pendatahan, shock, trauma, sepsis atau
tumor, dimana dapat menyebabkan peningk- bongkaran protein (protein
breakdown). Hal ini juga terjadi jika diet tidak cukup mengandung protein tingg
dalam diet. Peningkatan diet protein akan meningkatkan konsentrasi asam amino
dalarn darah dan meningkatnya urea dalam urin.
Kandungan energi dalarn diet memwngaruhi metabolisme protein yang
dapat dilihat dar~ keseimbangan nitrogen. EkSkresi nitrogen meningkat jika kalori
yang masuk lebih rendah dari yang dibutuhktan. Sebaliknya peningkatan kalori
yang masuk dapat menurunkan ekskresi nitrogen dalam urin. Nitrogen dikatakan
seimbang jika nitrogen yang
masuk
seimbang dengan nitrogen yang dikeluarkan untuk memelihara jaringan tubuh yang rusak tetapi ti& ada pembentukanjaringan baru. Keseimbangan positif terjadi jika nitrogen yang masuk melebih
nitrogen yang dikeluarkan. Pada keseinibangan ini w a d i pertumbuhan.
Keseimbangan positif biasa terjadi pada mak-anak, ibu hamil maupun ibu
menyusui. Keseimbangan negatif terjadi bila nitrogen yang masuk kurang dari
nitrogen yang dikeluarkan. Hal ini disebabkm oleh ketidakcukupan protein yang
masuk dalarn tubuh. Keseimbangan negatif juga terjadi pada diet yang tidak
mengandung asam amino esensial (Cantarow, 1963 dan Jackson et al., 1993).
Kondisi ini menyebabkan terjadinya bongkafan protein tubuh (Guthrie, 1975).
Pada kasus malnutrisi berat kondisi yang terjadi yaitu keseimbangan negatif
dengan laju katabolisme lebih tinggi
dari
anab~lisme.Kekurangan energi protein yang pac& pa& anak dapat menyebabkan
timbulnya penyakit kwashiorkor dan marasmqs gizi. Penyakit marasmus ditandai
dengan kehilangan massa otot. Umumnya terjadi karena k e h g a n masukan
kurang gizi protein-energl. Kwashiorkor wring disebabkan oleh penyakit infeksi
karena diet rendah protein. Kwashiorkor tidak menyebabkan pengurangan protein
otot, tetapi pengurangan pool protein dan menyebabkan terjadinya odema.
Ada hubungan linier antara massa otot dengan ekskresi kreatinin selama
masa pertumbuhan. Kteatinin adalah substmi yang berasal dari bongkaran otot,
yang terbentuk dari fosfokreatin dan kreatin. Fosfokreatin merupakan simpanan
keratin yang berenergi tinggi yang terdapat &lam otot. Kreatin terbentuk dalam
otot dari kreatinfosfat melalui proses dehidnasi nonenzimatik yang irreversible
dengan hilangnya fosfat. Kreatin clan fosfoheatin membentuk massa otot dalam
tubuh. Kadar kreatinin urin 24 jam secara proporsional berhubungan langsung
dengan jurnlah total massa otot tubuh. Dengan demikian ekskresi kreatinin dapat
digwakan sebagai indeks massa otot. Hal ini diasumsikan pada (1) semua kreatin
berasal dari otot rangka (98%) (2) diet tidak mengandung kreatin, (3) total pool
kreatin dan rata-rata konsentrasi heatinkg otot konstan dan (4) kreatin diubah
menjadi kreatinin secara stabil setiap
hari
secara non-enzimatik (Gibson, 1990).Ekskresi kreatinin dapat menunjuklqan adanya bongkaran otot yang
menentukan laju perputarm metabolisme protein (protein turnover) (Welle et at.,
1996). Ekskresi kreatinin akan meningkat j
ika
katabolisme jaringan meningkat (Cantarow, 1962). Berdasarkan hasil penelitian Pannemans et al. (1995) lajuprotein turnover tubuh menurun menurut
umw.
Laju sintesis protein otot makinDietary Protei:iO
m
I
Dietary Protein1
Asam amiflo Turunan nikotinamida]
Creatinin
Lemak &
Intemediate
KH & Intermediate ornit in
Asam urat Urea
Siklus Krebs
c02 Hz0
yang diberi 12% energi dari protein dibanding dengan subyek yang diberi 21%
energi dari protein.
Menurut Cantarow (1962) laju protein turnover tinggi pada protein yang
terdapat di mukosa intestinal, pankreas dan ginjal, dengan waktu paruh (half life)
10 hari. Laju protein turnover rendah pada protein otot, kulit dan otak dengan
waktu paruh 80 hm.
C.
Makanan Pendamping AS1Makanan tambahan untuk anak dibewan menjadi makanan bayi (infant
food) yang diberikan pada bayi berusia di bawah enam bulan, dan makanan
tambahan (weaning food) yang diberikan pa& bayi berusia 6-36 bulan. Makamn
bayi berupa makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak yaitu
dapat mensubstitusi air susu ibu (biasanya s u ~ u sapi yang diformulasi. Makanan
tambahan berupa makanan pelengkap disamping ASI. Makanan jenis ini dikenal
dengan istilah makanan pendarnping AS1 @IP-+ASI) ( Winarno, 1987).
Masa perturnbuhan bayi yang cepat pada
umur
enarn bulan ke atasmerupakan masa kritis dimana sering terjadi kegagalan pertumbuhan. Pada saat
itu pula, bay1 mulai memerlukan makanan tambahan disamping ASI. Air susu ibu
merupakan makanan bayi utama sejak lahir hingga bayi berusia dua tahun. Air
susu ibu mengandung hampir semua zat gizi dengan komposisi yang sesuai
bulan jumlah dan komposisi AS1 mulai b$rkurang sehingga perlu diberikan
makanan tambahan pendamping AS1 (MPASI] (Mochji, 1989).
[
Energi (KaI/l)I
680I
Protein (dl) 9_
Lemak (dl) Laktosa &/I)42 70
Ca (mM)
Fosfat (mMl
Surnber : Poslutt, E.M.E. (1994)
9
5 Besi (pM)
Vitamin A (pg/I) Vitamin C (mdl) Vitamin D (pg/l)
Pemberian makanan tarnbahan pa@ bayi dimaksudkan sebagai
12.5 600 3 8 0.4
komplemen terhadap ASI agar anak memperoieh cukup energi, protein dan zat-zat
gizi lain (vitamin dan mineral) untuk turnbw dan berkembang
secara
normal(Zakaria, 1999). Beberapa alasan pemberian qakanan pendamping AS1 yaitu : (1)
ASI yang dihasilkan mulai tidak menc$upi atau mengalami penurunan
jumlahnya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan bayi
yang bertambah tens (2) Untuk membiaqakan bayi pada berbagai macarn
makanan yang bergizi, mudah dicerna dengarl berbagai macam rasa, bentuk, dan
nilai gizi.
Makanan yang baik untuk bayi merupapCan makanan yang dapat memenuhi
kebutuhan untuk tumbuh dan kembang (Berg, 1986). Menurut Zakaria (1999)
agar dapat memenuhi kebutuhan bayi, pemberian MPASI hams memenuhi
beberapa persyaratan yaitu (1) Makanan ( t e r w u k ASI) harus memberikan semua
zat gizi yang #iperlukan oleh bayi. Untuk menjamin kebutuhan gizi bayi yang
baik, makanan tersebut hams mengandung s&ligus zat tenaga, zat pembangun,
dan zat pengatur (2) Bayi
dan
balita memerl@n lebih dari satu kali makan seharisebagai komplemen terhadap ASI. Karena kagasitas perutnya masih kecil, volume
makanan yang diberikan pada bayi tidak boleh terldu banyak (3) Bayi yang
berumur 4-6 bulan perlu diberi makan 4-6 kali sehari sebagai tambahan terhadap
AS1 (4) MPASI sebaiknya diberikan setelah bayi selesai menyusu agar bayi tidak
terhambat untuk terns menyusu secara pen~h, sehingga asupan gizi bayi dan
produksi AS1 tetap tinggi (5) Pada permul& WAS1 harm diberikan dalam
bentuk halus, sampai umur 9 bulan bayi sudah mulai menyukai makanan yang
bentuk dan bertekstur lain. Setelah umur d~ tahun, bayi sudah dapat menerima
makanan seperti orang dewasa normal.
Menurut Zakaria (1999) pembuatan WAS1 sebaiknya diformulasi secara
optimum dalam bentuk bahan m a k a w cam- sehingga diperoleh mutu yang
baik. Penyediaan makanan ini merrupakan pilihan yang beralasan, karena mudah
untuk diolah, didistibusikan dan disimpan, lebih terjamin keamanannya dan
berpotensi
untuk
menjadi wahana fortifikasi gizi mikro (vitamindan
mineral). Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahan bakq utama untuk pembuatan MPASIsebaiknya bersumber pada komaditi pangan lokal. Hal ini dimaksudkan supaya
produksinya cukup murah. Disamping itu ppnggunaan pangan lokal juga akan
berdampak positif pada peningkatan clan pem&rdayaan ekonomi di pedesaan.
Makanan bayi merupakan faktor y k g sangat berpengaruh terhadap I
keadaan gizi, karena b a n g gizi pada anak d$ awal pertumbuhannya berpengaruh
buruk terhadap pertumbuhan fisik dan mebtal.
Makanan
pendamping AS1 sebaiknya mengandung gizi yang lengkap, yang terdiri dari zat tenaga, zatpembangun dan zat pengatur. Makanan pendt/mping AS1 harus memenuhi syarat-
syarat tertentu yaitu menghasilkan energi setjnggi mungk_ln, sekurang-kurangnya
mengandung energi 360 Kkal1100 gram bahanl Kecukupan energi bayi h s i a 6-
12 bulan adalah sekitar 800 Kkal, kecukupaq protein per hari adalah sekitar 15
gram. Sedan- kecukupan energi anak us/la 1 sampai 3 tahun adalah sekitar
1250 Kkal, dan kecukupan protein per hari a/dalah sekitar 23 gram. Kecukupan
energi dan protein menurut Muhilal et al, dal* Widyakarya Nasional Pangan dm
Gizi (1998) dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kecuku~an Enerei dan Protein
7- 12 bulan
1-3 tahun
Makanan pendamping AS1 hendaknya bersifat padat gizi, dan mengandung
serat kasar, serta bahan lain yang sukar dice- seminirnal mungkin. Serat kasar
yang terlalu banyak jumlahnya akan menwggu pencernaan. MPASI ham
mengandung energi setinggi mungkin, minimum 360 Ka1/100g dengan kadar
protein 20 d l 0 0 g. WAS1 tidak boleh bersifat kamba (voluminous), sebab akan
cepat memberi rasa kenyang pada bayi. Sifat kamba terutama t a d a p t pada bahan
berkarbohidrat atau pati yang tinggi seperti serealia dan umbi-umbian, Menurut
Walker dan Rolls (1994) ada beberapa cara
mtuk
meningkatkan densitas energimakanan bayi yaitu (1) melalui penambahan enerp dengan penambahan gula dan
minyak (2) melalui modifikasi kandungan patti baik secara fisik dengan ekstrusi
maupun secara kimia dengan germinasi (penambahan malt) yang kaya akan
arnilase. Penambahan malt dapat mengubah pati yang terdapat dalam biji-bijian
menjadi dekstrin. Dekstrin lebih sedikit manyerap air dan tidak mengembang
sehingga dengan volume yang kecil dapat membawa energi yang tinggi. (Zakaria,
1999).
1. Teknologi Pembuatan MPASI
Beberapa teknologi yang digunakan
untuk
memproduksi makanan bay1 diantaranya yaitu teknik drum dryer, teknik ekstrusi &an metoda sa.ngrai danpengglingan. Pada teknik drum dver, a d o m yang akan dikeringkan bersifat cair
atau kental
dan
untuk pengeringannya dilewatkan pada dmdrum
panas yang berdekatan dan berputar denganarab
yang berlawanan.Drum
tersebut mendapatpemanasan dari uap panas. Selama adonan mengalir dan drum panas berputar,
terjadi proses pengeringan dm adonan menjadi lempeng kering yang dikeruk dari
drum oleh pisau pengeruk. Lempeng kering yang dihasilkan lalu digiling sehingga
diperoleh produk bubuk kering yang matang (Fellows, 1992).
Teknik ekstrusi menggunakan mesin ekstruder. Bahan yang akan
diekstrusi berupa tepung, adonan padat, biji-bijian ataupun pecahan biji. Produk
hasil ekstrusi dapat bersifat matang bila mesin dilengkapi dengan sistem
pemanasan misalnya m p panas. Bila diinginkan produk berbentuk tepung, setelah
diekstrusi produk dapat digiling (Fellows, 1992). Teknik lain yaitu metoda sangrai
dan penggilingan. Pada sistem ini, bahan baku urnumnya adalah biji-bijian atau
kacang-kacangan. Bahan baku disangrai dengan wajan besi atau tungku beton
yang mendapat panas dari api. Setelah matang, biji-bijian dan kacang-kacangan
digiling lalu diayak. Alat untuk proses ini sangat sederhw,
Dari ketiga teknik pembuatan WAS1 diatas, teknik yang paling ekonomis
dan sederhana adalah teknik sangrai dan penggilingan. Tektllk ini dapat
diterapkan
ds
rumah
tangga atau kelompok karena alat yang dlgunakan bisa berupa alat yang terdapat di rumah tangga dengan kapasitas produksi kecil.2. Tepung Kedelai
Bahan baku yang sering digunakan untuk pembuatan MPASI adalah susu,
beras, gandum, serealia dan kmmg-kacangan. Di antara jenis hang-kacangan,
kedelai merupakan sumber protein yang paling baik yaitu harnpir mencapai 40-
tersebut dapat dilihat bahwa kedelai mempunyai nilai protein tertinggi dan
kandungan mineral yang cukup tinggi.
Protein dalam b a n g kedelai bermutu tinggi dengan pola asam amino yang Kalori (Kal)
Protein (g) . Karbohidrat (g)
Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg)
mendekati pola yang direkomendasikan oleh FAO, dengan asam amino pembatas
metionin dan sistin (Muchtadi, 1979). Asam-asam amino pembatas merupakan
asarn amino esensial yang terdapat dalarn jumlah sedikit sehingga menjadi
pembatas bagi nilai grzi protein yang bersangkutan. Meskipun demikian kacang Sumber : Hardinsyah dan Briawan, D. (1990)
33 1 34.9 34.8 18.1 227 585 8.0
-
0.1-
kedelai mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang relatif tinggi. Salah
satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi protein kedelai adalah dengan
mencampurkan kacang kedelai dengan k o m d t i sumber protein lain yang banyak
mengandung metionin, misalnya beras. Protein berm mengandung lisin &lam
jumlah rendah, sehingga kombinasi kacang kedelai
clan
beras akan menghasilkanyang lebih baik. Komposisi asam amino kacang kedelai dan beberapa sumber
protein lain dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Asam Amino Esensial Berbagai Surnber Protein
Aaslh
mi&@
(at#&
B)
I
adlld
I
&?I"SW ~&8U&k@lf@kW8~$3BIsoleusin Leusin Lisin
- Fenilalanin
Tirosin Sistin
Sumber : Koswara (1 992) Treonin
Triftofan Valin Metionin
Kandungan lemak kacang kedelai adalah 19.1% dari berat kering, dengan 340 480 400 310 200 110
total asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi (85%). Menurut Messina (1999) 250
90 330
80
rasio asarn lemak linoleat dengan
asam
lemak linolenat dalam kacang kedelai 320 535 236 307 269 80adalah (7.5 : 1). Dalam tubuh asam lemak linoleat dapat Qubah menjadi EPA 24 1
65 415
142
(Eikosapentaenoic acid) dan EPA &pat dikonversi menjadi DHA 407
630 496 31 1 323 57
(Dokosaheksaenoic acid), dirnana DHA sangat dibutuhkan untuk perkembangan 415 553 403 365 262 149 292 90 440 149 otak bayi. 317 100 454 197
Kandungan karbohidrat h a n g kedelai cukup tinggi yaitu 28% dengan
komponen terbesar terdiri dan polisakarida (amilosa dan amilopektin yaitu
mencapai 12-14%), serat yang tidak dapat dicerna dm disakarida (rafinosa dan
dan
mineral yang baik terutama asarn folat, zat besidan
kalsium. Komposisikimia dan kualitas zat gizi kedelai dapat dilihat dalam Tabel 5.
Dalam kacang kedelai disamping mengmdung senyawa yang bergma,
terdapat zat antigizi dan senyawa penyebab oflflavor (penyimpangan cita rasa dan
aroma pada produk olahan kedelai). OgJEmor pada kacang kedelai yaitu bau
langu dan adanya rasa palut dan rasa kapur disebabkan oleh adanya senyawa-
senyawa glikosida, saponin, estrogen dalarn biji kedelai. Bau langu dihasilkan
oleh enzim lipoksidase yang terdapat dalam h a n g kedelai. Enzim lipoksidase
menghidrolisis lemak kedelai menghasilkan senyawa yang termasuk dalam
kelompok heksanal dan heksanol penyebab bau langu. Pada suhu tinggi enzim
lipoksigenase menjadi tidak aktif (Koswara, 1992).
Zat antigizi yang terdapat dalm kacang kedelai yaitu antitripsin,
hemaglutinin, asam fitat, saponin
dan
oligosakarida. Antitripsin dapatmenghalangi pencernaan protein dan dapat memperbesar pankreas pada tikus
percobaan. Fitat dapat menunurkan ketersediaan mineral. Oligosakarida yang
terdiri dari rafinosa, stakiosa dan verbaskosa dapat menyebabkan flatulensi karena
dalam tubuh tidak tersedia enzim a galaktosidase.
Kacang kedelai yang digunalslan sebagai makanan tambalun (MPASI) yaitu
berupa tepung yang telah mengalami proses pemanasan. Proses pemanasan ini
bertujuan untuk menginaktifkan antitripsin dan menginaktiflcan enzim lipoksidase,
sehingga bau langu kedelai dapat dihilangkan (Koswara, 1992). Menurut Racks
mengurangi aktivitas antitripsin. Pemanasan kering dapat mereduksi antitripsin
80-90% (MessinbM. J., 1999).
1
Protein(
46.2I
I
Lemak
1
19.11
Abu 16.1I
1
I
Kalsiwn (mg)I
254I
Karbohidrat
Serat
/
Fosfor (mg)1
781I
28.5
3.7
I
Besi (mg) I11
1
I
Riboflavin (pg)**1
25I
Folat (pg)**
Zn (mg)*
*
I
Nilai cema1
75-85 (83)I
47
0.99
I
Nilai hayati1
41 -74 (58)I
Penggunaan kacang kedelai sebagai m h n pendamping AS1 telah
dicoba di Malawi, Afiika untuk mengatasi kasus malnutrisi pada anak. Tepung
kacang kedelai sebagai sumber protein dicampur dengan tepung maizena sebagai
sumber karbohidratnya. Campuran tepung ini cukup disukai sehingga &pat
3. Malt
Menurut Claulfield et al. (1999) makanan pendamping AS1 untuk anak usia
6-12 bulan umumnya mengandung densitas energi dan protein yang tidak cukup.
Jumlah energr dalam MPASI dipengamhi oleh dua faktor yaitu volume makanan
dan densitas energi, dimana dua ha1 tersebut mempengaruhi kecukupan asupan
energi. Sistem pencernaan pada anak mempunyai keterbatasan dalam
mengkonsurnsi makanan sehingga densitas energi merupakan faktor yang harus
diperhatikan dalam membuat WAS1 guna meningkatkan asupan energi sesuai
dengan jwnlah energi yang dibutuhkan. Hasil penelitian Capdevila et al. (1998)
menunjukkan bahwa densitas energi mernpunyai pengaruh besar terhadap asupan
energi.
Penarnbahan malt pada makanan WAS1 ini bertujuan untuk meningkatkan
densitas energi makanan. Kandungan enzim amilase yang terdapat dalam malt
diharapkan dapat menghidrolisis pati (nasi) menjadi dekstrin. Hal ini dapat
menurunkan viskositasnya sehingga perlu tambahan pati yang lebih banyak untuk
mencapai viskositas yang baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Brown et 01.
(1995) konsurnsi energi
untuk
makanan anak usia 6-12 bulan ditentukan oleh viskositasnya. Penambahan enzim amilase yang berasal dari Aspergillus oryzae,dapat meningkatkan densitas energi makanan yang diberikan.
Enzim amilase banyak terdapat pada biji-bijian berkecambah, yang
berfungsi untuk memecah pati menjadi gula sederhana. Enzim a amilase secara
hasil fermentasi mikroba (Winarno, 1983). Enzim amilase tergolong endoamilase,
yaitu enzim yang memecah amilosa pati secara a& dari tengah atau bagian dalam
molekul (Kulp, 1975). Selain itu enzim a amilase merupakan jenis enzim
hidrolase (Fogarty, 1983). Aktivitas optimal dari enzim dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor penting yang berpengaruh yaitu pH dan suhu. Kisaran pH optimum
untuk enzim a amilase berkisar antara 4.5
-
6.5. Suhu optimum aktivitas enzimantara 40
-
60°C (Fogarty, 1983), sedangkan menurut Purnomo (1987) suhuoptimum antara 50 -60°C.
Enzim a amilase menghidrolisis ikatan a 1,4 glukosidik amilosa,
amilopektin dan glikogen. Enzim
a
amilase lebih mudah menghidrolisis ikatanpolimer pada amilosa daripada arnilopektin. Hidrolisis amilosa oleh a amilase
terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan
maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti
dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan
pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak
(Winamo, 1983). Laju hidrolisis akan meningkat pada rantai yang lurus dan
menurunnya tingkat polimerisasi. Hidrolisis enzim amilase pa& amilopektm lebih
lambat (Girindra, 1983). Ke rja a amilase pada amilopektin akan menghasilkan
glukosa, maltosa dan berbagai jenis a limit dekstrin. Alpha limit dekstrin adalah
oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu g d a yang semuanya
D.
Pengetahuan GiziKondisi kemislunan dan kurangnya persediaan pangan yang bergizi
bukanlah satu-satunya faktor penyebab timbulnya pernasalahan gizi khususnya
masalah KEP di masyarakat. Sebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan permasalahannya, kurangnya
kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali
kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh.
Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
menggabungkan informasi grzi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan
yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan (Saap dan Helen, 1997).
Menurut Suhadjo (1989) kurang energi protein juga disebabkan oleh
sanitasi lingkungan yang kurang baik dan ketidaktahuan orang tua terhadap gzi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Devi dan Geervani (1994) kasus KEP pada
anak selain disebabkan oleh ketidakcukupan pangan juga karena ketidakpedulian
ibu dalam pemberian makanan.
Pendidikan ibu mempunyai peranan penting terhadap praktek pemberian
makan pada anak. Pengaruh pendidikan terutama pendidikan ibu terhadap praktek
hidup sehat telah banyak didokwnentasikan. Banyak bukti menyebutkan bahwa
pendidikan ibu mempengaruhi kesehatan dan status gizi anaknya melalui praktek
ibu dalam pemeliharaan kesehatan. Ibu yang lebih berpendidikan tampaknya lebih
dibandingkan ibu yang kurang berpendidikan (Dionisio, 2002). Menurut Piechulek
et al. (1999) ibu yang berpendidikan dapat memberikan praktek pemberian
makanan yang lebih baik. Menurut Abunain et a1.(1989) pada masyarakat yang
rata-rata pendidikannya rendah prevalensi gizi kurang tinggi, sebaliknya pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan cukup tinggi maka prevalensi gizi kurang
rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Marce et al. (1999) menunjukkan bahwa
tingkat kepedulian ibu terhadap anak melalui cara pemberian makan anak
merupakan penentu terkuat untuk peningkatan status gizi an&, terutama untuk
anak yang berasal dari keluarga mislun dan anak yang ibunya berpendidikan
rendah. Dalam penelitian ini juga diperlihatkan bahwa anak yang berasal dari
keluarga miskin
clan
berpendidikan rendah dapat memperoleh skor status giziyang sarna bahkan setengahnya mempunyai Z skor yang lebih tinggi dibandingan
dengan anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan berpendidikan tinggi.
Menurut Hardinsyah dan Guhardja (1986) tingginya status ekonomi seseorang
belum dapat menjamin tercapainya keadaan gizi yang baik bila tidak dlsertai
dengan pengetahuan yang baik pula.
Menurut Ardi (1987) makanan yang dikonsumsi an& dan terbentuknya
pola makan anak yang baik sangat ditentukan oleh peranan dm pengetahuan gizi
ibunya, sebab anak balita belum bisa memilih makanannya sendiri. Sanjur (1982)
menyatakan bahwa pengetahuan gizi ikut menentukan praktek atau membentuk
praktek pemberian makan pada anak secara langsung. Pengetahuan ibu terhadap
penting bagi ibu sebab ibu berperan dalarn menentukan pola penyusunan makanan
untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan anak. Lebih lanjut Satoto
(1990) menjelaskan bahwa faktor yang cukup dominan yang menyebabkan
meluasnya keadaan gizi kurang adalah perilaku yang kurang baik di kalangan
masyarakat Indonesia &lam memilih dan memberikan makan kepada anggota
keluarganya, terutarna anak-anak. Oleh karena itu berbagai kegratan harus
dilaksanakan untuk memberikan makanan dan perawatan yang benar untuk
mencapai status gizi yang baik, salah satunya melalui jalur penyuluhan gizi.
Pengetahuan gizi ibu yang baik dapat diukur melalui tingkat pengetahuan,
sikap atau pola pikir dan praktek &lam pemberian makan pada anak. Penelitian
yang dilakukan oleh Claulfield et al. (1999) dengan memberikan MPASI pada
anak usia 6-12 bulan sekaligus memberikan pendidikan berupa penyuluhan pada
ibu tentang gizi clan cara pemberian makan pada anak, hasilnya memberikan
pengaruh positif terhadap status grzi anak sehingga dapat mereduksi kasus
malnutrisi pada anak. Peningkatan energi dalarn MPASI dan pola pemberian
makanan pada anak yang baik dapat m e n d a n kasus malnutrisi pada anak.
Bhandori et al. (2001) melakukan penelitian terhadap kelompok yang hanya diberi
penyuluhaa gizi saja dan kelompok yang diberi WAS1 dan penyuluhan. Hasilnya
menunjukkan bahwa kelompok yang hanya diberi penyuluhan saja tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan, sedangkan kelompok yang diberi penyuluhan
KJkari. Dalam ha1 ini penyuluhan merupakan media komunikasi dan memberikan
dorongan untuk ibu dalam mernberikan makanan kepada anak secara optimal.
E.
Pengukuran Status GiziAdanya masalah pada anak balita di suatu masyarakat dapat diketahui
dengan melakukan penilaian status gizi. Anak yang menderita Kurang Energr
Protein (KEP) akan menunjukkan status gizi yang ti& baik. Sebaliknya anak
yang tidak menderita KEP akan menunjukkan status gizi yang baik. Penentuan
status gizi balita dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan konsumsi
makanan, perneriksaan klinis, biokimia, biofisik, dan pengukuran antropometri
(Jellife, 1966; Harper et al., 1986; Suhardjo & Riyadi, 1990; Gibson, 1990; Riyadi,
1995 ).
Penilaian status gizi berdasarkan konsurnsi pangan dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu cara inventaris (inventory method), cara pendahan fiod list
method), cara recall dan cam penimbangan (weighing method). Penilaian status
gizi secara klinis dapat dilakukan dengan pendeteksian gejala kekurangan gizi
secara klinis, Penilaian status gizi secara biokimia merupakan cara penilain secara
obyektif dan digunakan untuk mendeteksi keadaan defisiensi subklinis. Penilaian
status gizi berdasarkan pengukuran antropometri dapat dilakukan dengan
pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh (Riyadi, 1995).
Menurut Gibson (1990) penentuan cara yang Qgunakan untuk menilai
status gizi sangat tergantung pada tahapan kekurangan gizi. Tahapan kekurangan
penilaian status g z i tersebut dapat dipergunakan secara tunggal, yaitu satu
indikator saja, tetapi akan lebih efektif apabila dipergunakan secara gabungan atau
lebih dari satu indikator.
/
Ketidakcukupan makananI
Konsumsi makananI
n.
In.
1V.
P e n m a n cadangan zat gizi dalam jaringan tubuh
Penurunan kadar zat gizi dalam cairan
V.
I
VIII.I I
I
Tanda-tanda anatomisI
KlinisBiokimia
Biokimia tubuh
Penurunan taraf fungsional dalam jaringan
VI.
VII.1 I I .
Surnber : Gibson (1990)
Antropometri/Bioki tub&
Penurunan aktivitas enzim-enzirn yang
1. Pengukuran Antopometri
mia Biokirnia tergantung pada zat gzi
Perubahan fungsional
Gejala klinis
Antrojmmetri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung
yang paling umum dipergunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di Tingkah
lakulfisiologi Klinis
dunia, yaitu masalah gizi kurang terutarna pada anak-anak dan wanita hamil clan
masalah g z i lebih pada semua kelompk umur (Jellife dan Jellife, 1989).
Pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif
murah, obyektif, mudah dilalcukan pada populasi yang besar serta memberikan
cara antropometri relatif cepat dalarn pelaksanaannya, tidak melukai dan tidak
terlalu banyak membutuhkan alat.
Penilaian dengan cara antropometri terdiri dari
dua
dimensi, yaitupengukuran perturnbuhan dan komposisi tubuh (Rryadi, 1995). Penilaiannya
antara lain meliputi bemt badan, tinggi badan, rasio lingkar pinggang terhadap
lingkar pinggul, lapisan lemak bawah kulit dan rasio berat badan terhadap kuadrat
tinggi badan (BMI) (Gibson, 1990). Indeks yang dipergunakan dalarn pengukuran
status gizi secara antropometri antara lain berat badan menurut umur (BBAJ),
tinggi badan menurut wnur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BBrrS) ( W O , 1993).
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan
gambaran tentang massa tubuh (tulang, otot dan lemak). Massa tubuh sangat
sensitif terhadap penibahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang
penyalut infeksi sehingga mengurangi nafsu makan atau menurunkan jumlah
makanan yang dikonsurnsi (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Berdasarkan sifat-
sifatnya, indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi, dan
karena sifat pengukuran berat badan yang lebih labil maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritionnl statw).
Penggunaan indeks BBAJ sebagai indikator status gizi sensitif untuk melihat
perubahan status gizi jangka pendek dan merupakan indikator yang baik untuk
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang dapat menggambarkan
keadaan pertumbuhan rangka tubuk Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh
bersarnaan dengin pertambahan umur. Pertwnbuhan tinggi
badan
tidak seperti berat badan, yaitu relatif tidak sensitif terhadap keadaan kurang gizi dalarn jangkapendek. Pengaruh kurang gizi terhaciap tinggi badan baru akan tampak dalam
jangka waktu yang relatif lama (Riyadi, 1995). Berdasarkan sifat in. indeks TBIU
lebih menggambarkan status gizi masa lalu.
Berat badan berhubungan dengan tinggi badan secara linier (Riyadi, 1995).
Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan
pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BBfTB merupakan
indikator yang menyatakan status gizi masa kini dan biasa dipergunakan apabila
data umur yang akurat sulit untuk diperoleh.
Lingkar lengan atas merupakan pengukuran terhadap otot, femak dan
tulang pada daerah yang diukur. Indeks lingkar lengan atas menunjukkan
inhkator kurang kalori protein (KKP) brat. Indeks LLA cukup dengan nilai
tunggal saja karena antara anak berumur satu sampai lima tahun, perbedaannya
relatif kecil (Riyadi, 1995).
Pada prinsipnya ada 3 cara penyajian distribusi indeks antropometri yaitu
sebagai persen terhadap median, persentil dan Z Skor. Penyajian dlstribusi indeks
antropometri dengan Z skor dilakukan degan melihat distribusi normal kurva