• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pemberian Makanan Tambahan Pendamping AS1 (MPASI) pada Anak Usiai Bawah Dm Tahun (Baduta) untuk Mencegah Penyusutan Protein Otot

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pemberian Makanan Tambahan Pendamping AS1 (MPASI) pada Anak Usiai Bawah Dm Tahun (Baduta) untuk Mencegah Penyusutan Protein Otot"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)

STUD1 PEMBERIAN MA

TAMBAHAN

P'ENDAMPING AS1 (MPASI)

USIA BAWAH

DUA TAHUN

OLEH :

MARMAEL

PROGRAM PASC

INSTITUT

(120)

h4ARDIAH. Studi Pemberian Makanan Tambahp (MPASI) pada Anak Usia Bawah Dua Tahun (Baduta) untuk Mencegah ~enyus&xn Protein Otot. Dibimbing oleh FRANSISKA ZAKARIA RUNGKAT dan ALI K/HoMsAN.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menqtebabkan banyak anak menderita gizi buruk. Kondisi ekonomi yang bunk menyeb&kan daya beli masyarakat menjadi lrmah sehingga tidak dapat menyediakan pang* yang baik. Dalam penelitian ini dicoba membuat makanan pendamping AS1 yabg terbuat dari bahan pangan lokal yaitu kacang kedelai yang ditambah dengan ma1

.

Kedelai merupakan sumber protein yang penting dan penambahan malt ini dimaksu

&

an

untuk meningkatkan daya cerna hdPASI. Intervensi pemberian MPASI diujikan ada anak usia 6-24 bulan selama 2 bulan di dua desa di Bogor, yaitu desa Bojon Pi! erta sebagai Desa Kontrol dan desa Cimahpar sebagai Desa Perlakuan. Sebeluml dan sesudah intervensi dilakukan pengukuran antropometri dan pengujian biokur/ia urin anak. Analisis urin meliputi kadar kreatinin, urea

dan

protein urin. ~enguji+ terhadap kadar kreatinin

dan

urea urin adalah untuk melihat seberapa jauh bongqran protein otot yang sering terjadi akibat ketidakcukupan asupan protein dan energii Dalam penelitian ini juga dilakukan pendidikan gizi kepada ibu baduta yaitu berupa @nyuluhan yang dilakukan seminggu dua kali untuk meningkatkan keberhasilan intervqnsi pemberian MPASI.
(121)

SURAT PERNYATAAN

Dbengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang beltjudul :

STUD1

PEMBERIAN

MAKANAN

TAMBAmN

(MPASI) PADA ANAK USIA B W A H DUA TAHUN

(BADUTA) UNTUK MENCEqAH PENYUSUTAN

PROTEIN OTOT

(122)

STUD1 PEMBERIAN MAWNAN TAMBAHAN

PENDAMPING AS1 (MPASI) PAOA ANAK USIA BAWAH

DUA TAHUN (BADUTA)

UNTUK

MENCEGAH

PENYUSUTAN PROTEIN

OTOT

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains gads

Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM PASCAPARJANA

INSTITUT PERTANIlAN BOGOR

(123)

Judul Tesis : Studi Pemberian Makaqan Tambahan Pendamping AS1 (MPASI) pada Anak Usiai Bawah Dm Tahun (Baduta) untuk Mencegah Penyusutan Pro*in Otot

blama : Mardiah

hIRP : 98149

Program Studi : Ilmu Pangan

Menyetujui :

1. Komisi Pernbirhbing

&k.Ir.Fransiska Zakaria Rungbt,MSc Prof.Dr.Ir.Ali Khomsan

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Promam Studi Ilmu Pangan A&

e r o f . ~ r . ~ r . ~ e t t v Sri Laksmi Jenie. M\k

3

&&program Pascasarj ana

(124)

RIWAYAT

HIOUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada +ggal 8 Oktober 1968 dari Bapak (Aim) Djalil Harun dan Ibu Rohani. Penulis berupakan anak kedua

c

h

i

empat be:rsaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Nege$8 Jakarta clan diterima di IPB pada tiihun yang sama melalui jalur PMDK dengan mebilih jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Tahun 1992 penulis lulus sarjana S 1. Ta un 1998 penulis melanjutkan studi Pascasarjana S2 dengan mengambil Program Stu !ci Ilmu Pangan atas biaya BPPS dari Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesi

Penulis bekerja sebagi dosen PNS Kope is Wilayah IV yang ditempat di

Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.

k

(125)

Puji dan syukur penulis panjatkan k e p & Allah SWT atas segala karuniaNya

sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Pdnelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari

-

April 2000 dengan judul Studi Pembedan Makanan Tambahan Pendamping

A S 1 (MPASI) pa& Anak Usia Bawah Dua Tahun (Baduta)

untuk

Mencegah Penyusutan Protein Otot.

Terima kasih penulis ucapkan kepada D$.Ir.Fransiska Zakaria Rungkat, MSc

dan Prof.Dr.1r.Ali Khomsan selaku pembimbinq. Terima kasih kepada Ir. Soetrisno K-oswara selaku penguji dan juga tumt membMtu &lam pembuatan MPASI yang

diujicobakan. Terima kasih kepada WFP (Wotld Food Programme) atas bantuan dananya selama penelitian

dan

kepada LSM YEH (Youth Ending Hunger) atas bantuan ke jasamanya di lapangan. Terima kasihi kepada Lurah Desa Bojongkerta dan Desa Cimahpar atas kerjasamanya. Terima kasih kepada adik-adik Susi, Ana, Oke,Meti clan Fuji atas bantuannya di lapang. Terima kasih kepada my best @lend AJsuhendra, mbak Mega, rekan-rekan & PascasalrJana IPB, teman sejawat di UNIDA

yang banyak memberi masukan saran dan d-gan moril. Terima kasih pada h4amaku tercinta yang selalu memberi motivagi penulis untuk terus berjuang dan

berkarya. Ungkapan terima kasih yang tulus penuis sampaikan kepada suarni tercinta atas kesabarannya, anak-anakku tersayang Izza, Fbdhlan dan Amel atas pengertian clan

pengorbanan kalian semua serta seluruh kelqarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2002

(126)

DAFTAR ISiI

Halaman

...

D AFTAR LAMPIRAN

...

PI3lDAHULUAN

... Latar Belakang

...

Tujuan Penelitian

... Hipotesis

Manfmt Penelitian ...

... T [NJAUAN PUSTAKA

Kurang Energi Protein ... ... Metabolisme Protein

... Makanan Pendamping AS1

...

Pengetahuan Gizi

... Pengukuran Status Gizi

NIETODOLOGI PENELITIAN ... Tempat

dan

Waktu Penelitim ...

...

Bahan dan Alat

Pembuatan MPASI ... ... Cara Pemilihan Responden

...

Tempat dan Cara Penyuluhan Gizi

Cara Pemberian Makanan Tambahan ... ... Cara Pengambilan Data

... Pengolahan dan Analisis Data

... Metode Analisis

HlASIL DAN PEMBAHASAN

...

... Keadaan Umurn Lokasi Penelitian

...

Kandungan Gizi dm Pengujian Aktivitas &lase Tepung Delvita Uji Hedonik terhadap WAS1

...

.,. ... Pendidikan Gizi ... , ...

...

Konsumsi Makanan Tambahan

... ;.

... Peningkatan Berat Badan

(127)

NESIMPULAN DAN SARAN ... 76 Kesimpulan ... 76 Saran ... 77

...

(128)

DAFTAR TANEL

Halaman

1 . Komposisi Air Susu Ibu ... 15 2

.

Kecukupan Energi dan Protein menurut FAOPiVHO (1983) ... 17

...

3

.

Komposisi Kimia Biji-Bijian dan Kacang.Kacbgan 20

... .

4 Kandungan Asam Amino Esensial Berbagai S p b e r Protein 21

... .

5 Komposisi Kimia dan Kualitas Gizi Kedelai 23

...

6

.

Tahapan Kekurangan Zat Gizi dan Cara Penilqian Status Gizi 30

...

7 . D a h r Menu MPASI 41

8

.

Jumlah Responden Anak Menurut Jenis Kelanhin ... 49 ...

9 . Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden Anak 52

10 . Jumlah Anak dalam Keluarga Responden di Diesa Bojongkerta

...

53

1 1

.

Jwnlah Anak dalam Keluarga Responden

di

Dlesa Cimahpar

...

53

12 . Komposisi Gizi Tepung Delvita ... 57

1 .3

.

Komposisi Gizi Campuran Kedelai dan Berm ... 57

... 14 . Rata-Rata Hasil Skor Nilai Pengetahuan Gizi Responden Ibu 62

...

1.5. Kategori Pengetahuan Gizi Responden Ibu 62

116 . Rata-Rata Jumlah Konsumsi Makanan ~amb&an & Desa Perlakuan

(Desa Cimahpar)

...

66

...

1 7 . Perubahan Berat Badan Responden Anak setelah Pemberian MPASI 68

18

.

Tingkat Kecukupan Gizi Berdasarkan Hasil Recall Desa Kontrol (Desa Bojongkerta) ... 70 19 . Tingkat Kecukupan Gizi Berdasarkan Hasil Recall Desa Perlakuan
(129)

20. Status Gizi Responden Anak Desa Kontrol Meburut BBIU (2 Score). . .

.

, . 72

2 I . Status Gizi Responden Anak Desa Perlakuan nYIenurut BBIU (Z Score). . . 73

2;!. Uji Biokimia Urin Responden Anak di Desa Kbntrol (Desa Bojongkerta) 74

(130)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

... .

1 Jalur Metabolisme Protein dan Asam Amino 13

2 . Skema Pembuatan MPASI ... 37

3 . Cara Penyiapan Bubur ... 40

4 . Grafik Tingkat Pendidikan Ibu ... 50 ...

.

5 Grafik Tingkat Pendidikan Ayah 50

6 . Grafik Hasil Uji Organoleptik Produk ... 60

...

7 . Alasan Ibu memberi MPASI pada Anak Usia 6124 bulan 64

...

8

.

Cara Pengolahan MPASI di Rumah oleh Ibu 64
(131)

DAFTAR LAMHRAN

Balaman

1

.

Kuesioner Pemilihan Responden

...

84

2 . Formulir Uji Organoleptik ... 85

3 . Daftar Kuesioner ... 86

4 . Contoh Materi Penyuluhan ... 89

5 . Produk Delvita.

...

90

6 . Recall Konsurnsi Harian ... 91

7 . Hail Analisis Produk ... 92

...

8 . Status Gizi Berdasarkan Metode Z Score ... , 93

...

9

.

Jurnlah Peserta Penyuluhan Desa Cimahpar (Dpsa Perlakuan) 94

...

(132)

A. Latar Belakang

Salah satu kebijakan di bidang pangaq dan gizi adalah peningkatan gizi

bayi, balita, dan ibu hamil serta penwzlnan penyakit gizi kurang atau Kurang

Energi Protein (KEP). Hal ini sangat tepat mqngingat saat ini prevalensi keadaan

gizi kurang dan

buruk

di Indonesia relatif mas* tinggi. Keadaan gizi kurang akan mengakibatkan meningkatnya angka kematian bayi dan anak, meningkatnya angka

kesakitan, terharnbatnya pertumbuhan fisik daq perkembangan kecerdasan anak.

I

Krisis ekonomi yang sampai sek@ang masih m e l d Indonesia

menyebabkan semakin meningkatnya jumlah denderita gizi kurang, terutama pada

anak di bawah usia lima tahun. Helen Keller I$ternational(1999) telah melakukan

p e n p p u 1 a n data kecukupan gizi anak-a& di bawah lima

tahun

antara bulan Januari sampai Mei 1999 di daerah Jakarta, Sqrabaya, Ujung Pandang, Semarang,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok. Hasilnya menunjukkan

bahwa 20-30% anak-anak usia 12-23 bulan mempunyai status gizi kurang bila

digunakan pengukuran berdasarkan berat b@an menurut tinggi badan untuk

daerah Jakarta, Swabaya dan Ujung Pandahg. Keadaan ini disebabkan oleh

rendahnya daya beli masyarakat sehingga tic$& marnpu menyediakan makanan

dengan kandungan zat gizi yang cukup untuk

pnak.

Asupan makanan yang tidak mencukupi dapat menyebabkan gangguan gizi.

Data Survai Sosial Ekonomi Nasionali (BPS, 1999) menunjukkan bahwa

(133)

mencapai 34.47%, dimana prevalensi status gizi buruk 8.11% dan status gzi

kurang sebesar 26.36%. Sementara itu di Prppinsi Jawa Barat prevalensi status

gizi buruk balita sebesar 6.16%

dan

status gizii kurang sebesar 23.56%. Sebanyak

5.4% an& berusia 6-17 bulan menderita gizi b u d dan sebanyak 16.2%

diantaranya menderita gizi sangat buruk di kabppaten Bogor.

Kurang Energi Protein (KEP) di nqara berkembang paling banyak

ditemukan pada anak usia 12-24 bulan (S+ardjo, 1989), sedangkan menurut

Brown et al. (1995)

dan

HKI (2000) Kmanb Energi Protein terjadi pada usia antara 6

-

24 bulan. Selanjutnya dinyatakan o Claulfield et al. (1999) masalah

kurang gizi mulai muncul pada usia 6 bulan 1 ini disebabkan oleh beberapa

kemungkmm yaitu (a) usia penyapihan alu dini, (b) usia penyapihan

terlalu lama tanpa diimbangi den* pemberiarB makanan tambahan yang memadai

(c) insiden penyakit infeksi (d) makanan yane diberikan pada anak tidak cukup

mengandung energi, protein, mikronutrien b n (e) cara penyiapan dan cara

pemberian makanan yang ti& baik. LebiQ lanjut dikatakan status gizi anak

sangat dipengaruhi oleh beberapa ha1 antara lain ketersediaan atau keberadaan

sumber bahan pangan setempat, tingkat penclapatan, pendidikan dan pengetahuan

gizi ibu.

Dampak yang tejadi akibat k w h energi protein banyak sekali,

diantaranya adalah adanya gangguan perturnbuhan (growth faltering)

(Brown et al., 1995) dan gangguan pada perl+embangan otak yang dalarn jangka

(134)

tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas (Tandyo, 2000).

Hal ini perlu upaya untuk mencegah terjadinyd lost generation dengan melakukan

perbaikan konsurnsi pangan baik kuantitas mJaupun kualitasnya untuk mencapai

status gizi yang baik. Salah satu ha1 yang 4enyebabkan kurang energi protein

pada anak yaitu karena ketidakcukupan asupad energi yang disebabkan rendahnya

densitas energi yang dikonsumsi anak dan bahan makanan berprotein tinggt

dengan harga terjangkau. Dalarn penelitiajr ini dicoba membuat suatu produk

pangan lokal yang telah terbukti bermutu tin$@ dari beberapa penelitian, yaitu

kedelai sebagai sumber protein yang ditambaQl dengan malt. Penambahan malt

sebagai sumber enzim malt bertujuan untbk meningkatlcan densitas energi

makanan. Produk MPASI ini merupakan l& (sumber protein) pendamping

makanan pokok, sehingga diharapkan penggu+annya dapat lebih bervariasi, tidak

menimbulkan rasa bosan, disamping itu hareanya yang murah memungkinkan

untuk diproduksi dengan harga yang terjwgkau sesuai dengan daya beli

masyarakst. Menurut Zakaria (1999) pemberiw MPASI lokal, dalam arti terbuat

dari bahan dan resep lokal sesuai dengan k u l w setempat, merupaSEan praktek yang

dapat membuat program intervensi berhasil,

Salah satu gejala kekurangan energi protein anak yaitu adanya penyusutan

protein otot tubuh dapat dilihat dari jwnldh kreatinin dalam urin. Tingkat

kecukupan protein dan kalori MPASI dapat diukur dari kadar urea urin anak.

Pengukuran hasil metabolit ini adalah untuki melihat seberapa jauh intervensi

(135)

Pemberian makanan pendamping AS1 berb#han baku kedelai ini diharapkan

mampu mengurangi penyusutan protein tubuh ~ n a k sehingga dapat berperan dalam

mengatasi kurang protein pada anak. Beherapa faktor yang mempengaruhi

keadaan gizi kurang pada anak seperti graktek pemberian makan, tingkat

pengetahuan gizi ibu juga dijadikan patarneger yang hams diukur untuk melihat

dampaknya terhadap perbaikan status gizi am&.

B. Tujuan Penelitian

Secara

umum

penelitian ini bertujm untuk mempelajari pengaruh

pemberian makanan tambahan dengan bahan dasar kedelai terhadap status gizi

anak baduta.

Tujuan Khusus :

1. Mempelajari pengaruh pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI)

berbasis kacang kedelai dan malt terhadafl perbaikan status gizi anak baduta

(anak bawah dua tahun).

2. Mengevaluasi pengaruh pemberian MPASI terhadap pertumbuhan dan

perputaran protein tubuh (Protein Turnoverj

.

3. Mempelajari pengaruh penyuluhan gizi pa* ibu terhadap tingkat pengetahuan

gizi dan tingkat keberhasilan pemberian @kanan dengan penyuluhan.

C. Bipotesis

1. Pemberian makanan tambahan pendampitrg AS1 (MPASI) berbasis kedelai

(136)

enzim amilase dapat meningkatkan densit+ energ MPASI.

2. Pemberian MPASI berbasis bahan bcang kedelai dan malt ini dapat

memberikan asupan makanan yang c*p bagi anak, sehingga dapat

mengurang penyusutan protein otot

Qan

&pat menjaga keseimbangan nitrogen agar dapat mencapai pertumbuhab yang optimal bagi anak.

I

3. Penyuluhan gizi terhadap responden ibu +pat meningkatkan pengetahuan gizi

ibu, sehingga akan mempengaruhi pebbahan sikap dalarn memberikan

makanan kepada anak.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan &pat :

1. Membantu keluarga yang tergolong tidaq mampu dalam mengatasi masalah

kurang gizi yang dialami oleh anak baduga dengan memberikan W A S 1 yang

murah clan bergizi.

2. Menambah asupan protein pada pkoduk MPASI, sehingga dapat

meningkatkan status gizi baduta yang mengalami KEP (Kurang Energ

Protein).

3. Memberikan gambaran bagaimana konldisi pertumbuhan clan perputaran

protein dalam tubuh anak baduta setel& mengkonsurnsi MPASI berbasis

kacang kedelai dan malt.

4. Pedoman pendidikan gizi untuk meningkatkan perilaku ibu dalam pola

(137)

TINJAUAN

PUSTAKA

A. Kurang Energi Protein

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan kondisi defisiensi gzi

(malnutrisi) yang timbul bila energi dan prdtein yang dikonsumsi tidak cukup.

Masalah kekurangan gizi merupakan manifeftmi dari kekulangan pangan yang

terjadi pa& level individu dalam rumah angga. Kekurangan pangan atau

makanan yang bergizi pa& level rumah tan* dapat diakibatkan oleh dua faktor

yaitu rendahnya daya beli keluarga dan r e n w y a ketersediaan pangan secara

regional (Zakaria, 1999).

Malnutrisi banyak melanda anak-an* di negara berkembang. Hasil

laporan dari UNICEF (2002) bahwa anak-mak yang mengalami malnutrisi di

negara berkembang berkisar antara 32-38% atau k 150 juta anak. Hampir

setengahnya berada di Asia Selatan dan sepertiga ada di Afrika. Malnutrisi

menyebabkan hampir 12 juta kernatian anak sletiap tahun (WHO, 2002). Keadaan

kehidupan yang miskin mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya h a n g

energi protein. Menurut Sartono (1999) status gizi buruk balita sebesar 1.3% dan

gizi kurang 15%, namun setelah krisis ekogomi kasus gizi buruk meningkat

menjadi 2.2%, gizi sedang 18.2%, gzi baik 72:9% dan gizi lebih 6.7%.

Menurut Tandyo (2000) dan Soeyirman (2000) ada 3 ha1 yang

menyebabkan KEP yaitu (1) Tidak cukupqya diet makanan yang masuk (2)

(138)

yang tidak memadai serta lingkungan hidup y@ng bwuk. Menurut UNICEF (2002)

malnutrisi disebabkan karena kerniskinan dan rendahnya pengetahuan gizi.

Menurut Abunain et al. (1989) rnalnutridi terjadi akibat terlalu dini usia

penyapihan dan terlalu lama periode peqyapihan tanpa diimbangi dengan

pemberian makanan tambahan yang memadai dan masalah ekonomi, dimana

sebagtan besar ibu-ibu berupaya mencari nafkah untuk membantu k a d w n

ekonomi keluarga dan sebagai konsekwensin~a pengasuhan anak menjadi kurang

diperhatikan. Ekonomi juga merupakan faktw penting bagi tersedianya makanan

yang cukup dan upaya memperoleh pelayana~ kesehatan yang layak. Penelitian

yang dilakukan oleh Brown et al. (1995) m$njelaskan bahwa rendahnya energi

yang dikonsumsi anak disebabkan oleh densit@ energi yang rendah dalam dietnya,

ketidakcukupan jumlah makanan yang dikonswsi dan rendahnya nafsu makan.

Tanda-tanda khusus anak yang mengalmi KEP yaitu badan menjadi kurus.

Penyusutan otot mudah terlihat pada bagian l&-qpn atas dan bahu bagian atas dan

bahu bagian belakang. Biasanya KEP disertai keadaan perut menjadi buncit, anak

menjadi kurang responsif mengarah kepada apatis, perkembangan kepandaian

lebih lambat dari normal (Suhardjo, 1989). Mpnurut WHO (1996) malnutrisi pada

anak ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan fisik yaitu rendahnya nilai

BBIumw;, gangguan tumbuh kernbang

am&,

menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit serta meningkatnya angka kqmatian pada anak.

Bila masalah kurang gizi tidak teratqi, maka akan mempunyai dampak

(139)

masa balita dapat berpengaruh negatif terhaqfap perkembangan intelektual pada

masa dewasanya. Pengaruh gizi kurang terha@ap perkernbangan otak mempunyai

hubungan yang erat terhadap perkembangan mental

dan

kemampuan berfikir.

Kekurangan protein dan energi menyebabkan perkembangan otak terganggu, yang

ditandai dengan terjadinya kehilangan IQ 5

-

10 poin (UNICEF, 1997). Anak

yang mengalami gizi kurang semasa bayi inempunyai IQ yang lebih rendah

dibandingkan dengan anak yang lain (Suhardjo, 1989). Menurut Pujiadi (1990)

Kurang Enerp Protein

(KEP)

yang diderita pada masa dini menghambat

perkembangan otak karena akan mengur~gi sintesis protein DNA otak.

Pemberian rnakanan yang baik &an memwngaruhi perkembangan otak anak.

Menurut Husaini et al. (1991) terdapat hubungan linier antara pemberian rnakanan

dengan perubahan berat badan dan perkembangan motorik anak yaitu adanya

peningkatan &vasi sel otak yang mempengmhi tingkah laku anak. Menurut

Pujiadi (1990) akibat KEP yang dialarni pada masa dini (usia anak kurang dari dua

tahun) perkembangan otak akan menguran$i sintesis protein DNA sehingga

jumlah sel otak berkurang walaupun besar c~taknya normal. Jika KEP tejadi

setelah masa divisi sel otak berhenti, hambatar) sintesis protein akan menghasilkan

otak dengan jumlah sel yang normal tetapi ukuran otaknya lebih kecil. Program

perbaikan

gizi

untuk bayi dm balita perlu mendapat perhatian utarna sebab pembentukan dan pertumbuhan otak khpsusnya yang berkaitan dengan

kemampuan fungsional masih berlanjut sarnpi kurang lebih 3 tahun (Khumaidi,

(140)

orang dewasa sebelum benunur 3 tahun, sefilngga apabila pada masa ini terjadi

gangguan gizi kurang dapat menimbulkag kelainan fisik maupun mental

(Suhardjo,l989). Dobbing (1974) dalarn S1-rhardjo (1989) menyatakan bahwa

masa luitis dalarn perkembangan otak manusla yang rawan terhadap gizi kurang

adalah dari usia 3 bulan dalam kandungan ~ p a i umur 2 tahun. Menurut Sartono

(1999) prevalensi gizi buruk banyak teqadi pada usia 9 bulan hingga 2 tahun.

KEP di negara berkembang banyak terjadi mda usia 6-24 bulan (Brown et al.,

1995)

Menurut WHO (1996) ada beberapg program yang diberikan kepada

masyarakat guna menanggulangi malnutrisi yqitu diantaranya promosi pemberian

AS1 dan keluarga berencana, pemberian MPASI, pendidikan gizi pada ibu,

monitoring pertumbuhan an& dan kontrol terhadap defisiensi mikronutrien,

penyediaan air bersih dan terapi &are dengan pmberian oralit. Program UNICEF

(2002) dalam mengatasi kurang energt protein yaitu dengan melibatkan seluruh

kekuatan keluarga, kerjasarna berbagai lintas sektoral dan pelayanan kesehatan.

B.

Metabolisme Protein

Protein dari diet, setelah dicerna asap aminonya akan diabsorpsi dan

masuk ke dalam pool asam amino untuk dimqtabolisme lebih lanjut yaitu melalui

reaksi katabolisme dan anabolisme. Katabolisae merupakan proses pembongkaran

asam amino menjadi energi atau disimpan ntenjadi glikogen atau lemak tubuh,

(141)

selanjutnya difungsikan sebagai enzim pembentukan sel baru, antiboh,

hemoglobin, horrnon, glutation dan heath. Menurut Guthrie (1975) laju

pembentukm protein tergantung pada jumlah kalori. Jika kalori cukup, asam

amino dari diet

akan

digunakan untuk sinte.'s protein. Jika kalori tidak ~ukup, maka sel akan rnembongkar asam amino yang ada dalam tubuh yang

akan

digunakan sebagai energi dengan melepaskan

NH2

(amonia) dan tidak ada protein

yang terbentuk. Proses ini disebut deaminasi. Arnonia merupakm senyawa toksik

yang tidak boleh terakumulasi dalam sel (Warn konsentrasi tinggi). Tubuh

mendetoksifikasi amonia dengan mengubahnya menjadi glutamin untuk diangkut

di hati. Deaminasi glutamin dalam hati akan melepaskan amonia yang diubah

menjadi senyawa non toksik yaitu urea dan diikeluarkan melalui ginjal bersama

urin. Sisa asam amino yang tidak mengandung gugus nitrogen akan rnasuk siklus

metabolik karbohidrat dan lemak untulc selanjumya dioksidasi menjadi energ atau

dibentuk menjadi lemak yang disimpan sebagai energi cadangan (Cantarow,

1963). Hal ini menyebabkan berkurangnya sintesis protein yang menyebabkan

prtumbuhan terhambat. Proses ini yang terjadi pada kasus kelapamn atau

lcuangnya masukan zat gizi (Kurang Energi Protlein)(Guthrie, 1 975).

Sirkulasi urea meningkat bila te jadi pendatahan, shock, trauma, sepsis atau

tumor, dimana dapat menyebabkan peningk- bongkaran protein (protein

breakdown). Hal ini juga terjadi jika diet tidak cukup mengandung protein tingg

(142)

dalam diet. Peningkatan diet protein akan meningkatkan konsentrasi asam amino

dalarn darah dan meningkatnya urea dalam urin.

Kandungan energi dalarn diet memwngaruhi metabolisme protein yang

dapat dilihat dar~ keseimbangan nitrogen. EkSkresi nitrogen meningkat jika kalori

yang masuk lebih rendah dari yang dibutuhktan. Sebaliknya peningkatan kalori

yang masuk dapat menurunkan ekskresi nitrogen dalam urin. Nitrogen dikatakan

seimbang jika nitrogen yang

masuk

seimbang dengan nitrogen yang dikeluarkan untuk memelihara jaringan tubuh yang rusak tetapi ti& ada pembentukan

jaringan baru. Keseimbangan positif terjadi jika nitrogen yang masuk melebih

nitrogen yang dikeluarkan. Pada keseinibangan ini w a d i pertumbuhan.

Keseimbangan positif biasa terjadi pada mak-anak, ibu hamil maupun ibu

menyusui. Keseimbangan negatif terjadi bila nitrogen yang masuk kurang dari

nitrogen yang dikeluarkan. Hal ini disebabkm oleh ketidakcukupan protein yang

masuk dalarn tubuh. Keseimbangan negatif juga terjadi pada diet yang tidak

mengandung asam amino esensial (Cantarow, 1963 dan Jackson et al., 1993).

Kondisi ini menyebabkan terjadinya bongkafan protein tubuh (Guthrie, 1975).

Pada kasus malnutrisi berat kondisi yang terjadi yaitu keseimbangan negatif

dengan laju katabolisme lebih tinggi

dari

anab~lisme.

Kekurangan energi protein yang pac& pa& anak dapat menyebabkan

timbulnya penyakit kwashiorkor dan marasmqs gizi. Penyakit marasmus ditandai

dengan kehilangan massa otot. Umumnya terjadi karena k e h g a n masukan

(143)

kurang gizi protein-energl. Kwashiorkor wring disebabkan oleh penyakit infeksi

karena diet rendah protein. Kwashiorkor tidak menyebabkan pengurangan protein

otot, tetapi pengurangan pool protein dan menyebabkan terjadinya odema.

Ada hubungan linier antara massa otot dengan ekskresi kreatinin selama

masa pertumbuhan. Kteatinin adalah substmi yang berasal dari bongkaran otot,

yang terbentuk dari fosfokreatin dan kreatin. Fosfokreatin merupakan simpanan

keratin yang berenergi tinggi yang terdapat &lam otot. Kreatin terbentuk dalam

otot dari kreatinfosfat melalui proses dehidnasi nonenzimatik yang irreversible

dengan hilangnya fosfat. Kreatin clan fosfoheatin membentuk massa otot dalam

tubuh. Kadar kreatinin urin 24 jam secara proporsional berhubungan langsung

dengan jurnlah total massa otot tubuh. Dengan demikian ekskresi kreatinin dapat

digwakan sebagai indeks massa otot. Hal ini diasumsikan pada (1) semua kreatin

berasal dari otot rangka (98%) (2) diet tidak mengandung kreatin, (3) total pool

kreatin dan rata-rata konsentrasi heatinkg otot konstan dan (4) kreatin diubah

menjadi kreatinin secara stabil setiap

hari

secara non-enzimatik (Gibson, 1990).

Ekskresi kreatinin dapat menunjuklqan adanya bongkaran otot yang

menentukan laju perputarm metabolisme protein (protein turnover) (Welle et at.,

1996). Ekskresi kreatinin akan meningkat j

ika

katabolisme jaringan meningkat (Cantarow, 1962). Berdasarkan hasil penelitian Pannemans et al. (1995) laju

protein turnover tubuh menurun menurut

umw.

Laju sintesis protein otot makin
(144)

Dietary Protei:iO

m

I

Dietary Protein

1

Asam amiflo Turunan nikotinamida

]

Creatinin

Lemak &

Intemediate

KH & Intermediate ornit in

Asam urat Urea

Siklus Krebs

c02 Hz0

(145)

yang diberi 12% energi dari protein dibanding dengan subyek yang diberi 21%

energi dari protein.

Menurut Cantarow (1962) laju protein turnover tinggi pada protein yang

terdapat di mukosa intestinal, pankreas dan ginjal, dengan waktu paruh (half life)

10 hari. Laju protein turnover rendah pada protein otot, kulit dan otak dengan

waktu paruh 80 hm.

C.

Makanan Pendamping AS1

Makanan tambahan untuk anak dibewan menjadi makanan bayi (infant

food) yang diberikan pada bayi berusia di bawah enam bulan, dan makanan

tambahan (weaning food) yang diberikan pa& bayi berusia 6-36 bulan. Makamn

bayi berupa makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak yaitu

dapat mensubstitusi air susu ibu (biasanya s u ~ u sapi yang diformulasi. Makanan

tambahan berupa makanan pelengkap disamping ASI. Makanan jenis ini dikenal

dengan istilah makanan pendarnping AS1 @IP-+ASI) ( Winarno, 1987).

Masa perturnbuhan bayi yang cepat pada

umur

enarn bulan ke atas

merupakan masa kritis dimana sering terjadi kegagalan pertumbuhan. Pada saat

itu pula, bay1 mulai memerlukan makanan tambahan disamping ASI. Air susu ibu

merupakan makanan bayi utama sejak lahir hingga bayi berusia dua tahun. Air

susu ibu mengandung hampir semua zat gizi dengan komposisi yang sesuai

(146)

bulan jumlah dan komposisi AS1 mulai b$rkurang sehingga perlu diberikan

makanan tambahan pendamping AS1 (MPASI] (Mochji, 1989).

[

Energi (KaI/l)

I

680

I

Protein (dl) 9

_

Lemak (dl) Laktosa &/I)

42 70

Ca (mM)

Fosfat (mMl

Surnber : Poslutt, E.M.E. (1994)

9

5 Besi (pM)

Vitamin A (pg/I) Vitamin C (mdl) Vitamin D (pg/l)

Pemberian makanan tarnbahan pa@ bayi dimaksudkan sebagai

12.5 600 3 8 0.4

komplemen terhadap ASI agar anak memperoieh cukup energi, protein dan zat-zat

gizi lain (vitamin dan mineral) untuk turnbw dan berkembang

secara

normal

(Zakaria, 1999). Beberapa alasan pemberian qakanan pendamping AS1 yaitu : (1)

ASI yang dihasilkan mulai tidak menc$upi atau mengalami penurunan

jumlahnya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan bayi

yang bertambah tens (2) Untuk membiaqakan bayi pada berbagai macarn

makanan yang bergizi, mudah dicerna dengarl berbagai macam rasa, bentuk, dan

nilai gizi.

Makanan yang baik untuk bayi merupapCan makanan yang dapat memenuhi

kebutuhan untuk tumbuh dan kembang (Berg, 1986). Menurut Zakaria (1999)

(147)

agar dapat memenuhi kebutuhan bayi, pemberian MPASI hams memenuhi

beberapa persyaratan yaitu (1) Makanan ( t e r w u k ASI) harus memberikan semua

zat gizi yang #iperlukan oleh bayi. Untuk menjamin kebutuhan gizi bayi yang

baik, makanan tersebut hams mengandung s&ligus zat tenaga, zat pembangun,

dan zat pengatur (2) Bayi

dan

balita memerl@n lebih dari satu kali makan sehari

sebagai komplemen terhadap ASI. Karena kagasitas perutnya masih kecil, volume

makanan yang diberikan pada bayi tidak boleh terldu banyak (3) Bayi yang

berumur 4-6 bulan perlu diberi makan 4-6 kali sehari sebagai tambahan terhadap

AS1 (4) MPASI sebaiknya diberikan setelah bayi selesai menyusu agar bayi tidak

terhambat untuk terns menyusu secara pen~h, sehingga asupan gizi bayi dan

produksi AS1 tetap tinggi (5) Pada permul& WAS1 harm diberikan dalam

bentuk halus, sampai umur 9 bulan bayi sudah mulai menyukai makanan yang

bentuk dan bertekstur lain. Setelah umur d~ tahun, bayi sudah dapat menerima

makanan seperti orang dewasa normal.

Menurut Zakaria (1999) pembuatan WAS1 sebaiknya diformulasi secara

optimum dalam bentuk bahan m a k a w cam- sehingga diperoleh mutu yang

baik. Penyediaan makanan ini merrupakan pilihan yang beralasan, karena mudah

untuk diolah, didistibusikan dan disimpan, lebih terjamin keamanannya dan

berpotensi

untuk

menjadi wahana fortifikasi gizi mikro (vitamin

dan

mineral). Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahan bakq utama untuk pembuatan MPASI

sebaiknya bersumber pada komaditi pangan lokal. Hal ini dimaksudkan supaya

(148)

produksinya cukup murah. Disamping itu ppnggunaan pangan lokal juga akan

berdampak positif pada peningkatan clan pem&rdayaan ekonomi di pedesaan.

Makanan bayi merupakan faktor y k g sangat berpengaruh terhadap I

keadaan gizi, karena b a n g gizi pada anak d$ awal pertumbuhannya berpengaruh

buruk terhadap pertumbuhan fisik dan mebtal.

Makanan

pendamping AS1 sebaiknya mengandung gizi yang lengkap, yang terdiri dari zat tenaga, zat

pembangun dan zat pengatur. Makanan pendt/mping AS1 harus memenuhi syarat-

syarat tertentu yaitu menghasilkan energi setjnggi mungk_ln, sekurang-kurangnya

mengandung energi 360 Kkal1100 gram bahanl Kecukupan energi bayi h s i a 6-

12 bulan adalah sekitar 800 Kkal, kecukupaq protein per hari adalah sekitar 15

gram. Sedan- kecukupan energi anak us/la 1 sampai 3 tahun adalah sekitar

1250 Kkal, dan kecukupan protein per hari a/dalah sekitar 23 gram. Kecukupan

energi dan protein menurut Muhilal et al, dal* Widyakarya Nasional Pangan dm

Gizi (1998) dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kecuku~an Enerei dan Protein

7- 12 bulan

1-3 tahun

(149)

Makanan pendamping AS1 hendaknya bersifat padat gizi, dan mengandung

serat kasar, serta bahan lain yang sukar dice- seminirnal mungkin. Serat kasar

yang terlalu banyak jumlahnya akan menwggu pencernaan. MPASI ham

mengandung energi setinggi mungkin, minimum 360 Ka1/100g dengan kadar

protein 20 d l 0 0 g. WAS1 tidak boleh bersifat kamba (voluminous), sebab akan

cepat memberi rasa kenyang pada bayi. Sifat kamba terutama t a d a p t pada bahan

berkarbohidrat atau pati yang tinggi seperti serealia dan umbi-umbian, Menurut

Walker dan Rolls (1994) ada beberapa cara

mtuk

meningkatkan densitas energi

makanan bayi yaitu (1) melalui penambahan enerp dengan penambahan gula dan

minyak (2) melalui modifikasi kandungan patti baik secara fisik dengan ekstrusi

maupun secara kimia dengan germinasi (penambahan malt) yang kaya akan

arnilase. Penambahan malt dapat mengubah pati yang terdapat dalam biji-bijian

menjadi dekstrin. Dekstrin lebih sedikit manyerap air dan tidak mengembang

sehingga dengan volume yang kecil dapat membawa energi yang tinggi. (Zakaria,

1999).

1. Teknologi Pembuatan MPASI

Beberapa teknologi yang digunakan

untuk

memproduksi makanan bay1 diantaranya yaitu teknik drum dryer, teknik ekstrusi &an metoda sa.ngrai dan

pengglingan. Pada teknik drum dver, a d o m yang akan dikeringkan bersifat cair

atau kental

dan

untuk pengeringannya dilewatkan pada dm

drum

panas yang berdekatan dan berputar dengan

arab

yang berlawanan.

Drum

tersebut mendapat

pemanasan dari uap panas. Selama adonan mengalir dan drum panas berputar,

(150)

terjadi proses pengeringan dm adonan menjadi lempeng kering yang dikeruk dari

drum oleh pisau pengeruk. Lempeng kering yang dihasilkan lalu digiling sehingga

diperoleh produk bubuk kering yang matang (Fellows, 1992).

Teknik ekstrusi menggunakan mesin ekstruder. Bahan yang akan

diekstrusi berupa tepung, adonan padat, biji-bijian ataupun pecahan biji. Produk

hasil ekstrusi dapat bersifat matang bila mesin dilengkapi dengan sistem

pemanasan misalnya m p panas. Bila diinginkan produk berbentuk tepung, setelah

diekstrusi produk dapat digiling (Fellows, 1992). Teknik lain yaitu metoda sangrai

dan penggilingan. Pada sistem ini, bahan baku urnumnya adalah biji-bijian atau

kacang-kacangan. Bahan baku disangrai dengan wajan besi atau tungku beton

yang mendapat panas dari api. Setelah matang, biji-bijian dan kacang-kacangan

digiling lalu diayak. Alat untuk proses ini sangat sederhw,

Dari ketiga teknik pembuatan WAS1 diatas, teknik yang paling ekonomis

dan sederhana adalah teknik sangrai dan penggilingan. Tektllk ini dapat

diterapkan

ds

rumah

tangga atau kelompok karena alat yang dlgunakan bisa berupa alat yang terdapat di rumah tangga dengan kapasitas produksi kecil.

2. Tepung Kedelai

Bahan baku yang sering digunakan untuk pembuatan MPASI adalah susu,

beras, gandum, serealia dan kmmg-kacangan. Di antara jenis hang-kacangan,

kedelai merupakan sumber protein yang paling baik yaitu harnpir mencapai 40-

(151)

tersebut dapat dilihat bahwa kedelai mempunyai nilai protein tertinggi dan

kandungan mineral yang cukup tinggi.

Protein dalam b a n g kedelai bermutu tinggi dengan pola asam amino yang Kalori (Kal)

Protein (g) . Karbohidrat (g)

Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg)

mendekati pola yang direkomendasikan oleh FAO, dengan asam amino pembatas

metionin dan sistin (Muchtadi, 1979). Asam-asam amino pembatas merupakan

asarn amino esensial yang terdapat dalarn jumlah sedikit sehingga menjadi

pembatas bagi nilai grzi protein yang bersangkutan. Meskipun demikian kacang Sumber : Hardinsyah dan Briawan, D. (1990)

33 1 34.9 34.8 18.1 227 585 8.0

-

0.1

-

kedelai mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang relatif tinggi. Salah

satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi protein kedelai adalah dengan

mencampurkan kacang kedelai dengan k o m d t i sumber protein lain yang banyak

mengandung metionin, misalnya beras. Protein berm mengandung lisin &lam

jumlah rendah, sehingga kombinasi kacang kedelai

clan

beras akan menghasilkan
(152)

yang lebih baik. Komposisi asam amino kacang kedelai dan beberapa sumber

protein lain dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Asam Amino Esensial Berbagai Surnber Protein

Aaslh

mi&@

(at#&

B)

I

adlld

I

&?I"SW ~&8U&k@lf@kW8~$3B

Isoleusin Leusin Lisin

- Fenilalanin

Tirosin Sistin

Sumber : Koswara (1 992) Treonin

Triftofan Valin Metionin

Kandungan lemak kacang kedelai adalah 19.1% dari berat kering, dengan 340 480 400 310 200 110

total asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi (85%). Menurut Messina (1999) 250

90 330

80

rasio asarn lemak linoleat dengan

asam

lemak linolenat dalam kacang kedelai 320 535 236 307 269 80

adalah (7.5 : 1). Dalam tubuh asam lemak linoleat dapat Qubah menjadi EPA 24 1

65 415

142

(Eikosapentaenoic acid) dan EPA &pat dikonversi menjadi DHA 407

630 496 31 1 323 57

(Dokosaheksaenoic acid), dirnana DHA sangat dibutuhkan untuk perkembangan 415 553 403 365 262 149 292 90 440 149 otak bayi. 317 100 454 197

Kandungan karbohidrat h a n g kedelai cukup tinggi yaitu 28% dengan

komponen terbesar terdiri dan polisakarida (amilosa dan amilopektin yaitu

mencapai 12-14%), serat yang tidak dapat dicerna dm disakarida (rafinosa dan

(153)

dan

mineral yang baik terutama asarn folat, zat besi

dan

kalsium. Komposisi

kimia dan kualitas zat gizi kedelai dapat dilihat dalam Tabel 5.

Dalam kacang kedelai disamping mengmdung senyawa yang bergma,

terdapat zat antigizi dan senyawa penyebab oflflavor (penyimpangan cita rasa dan

aroma pada produk olahan kedelai). OgJEmor pada kacang kedelai yaitu bau

langu dan adanya rasa palut dan rasa kapur disebabkan oleh adanya senyawa-

senyawa glikosida, saponin, estrogen dalarn biji kedelai. Bau langu dihasilkan

oleh enzim lipoksidase yang terdapat dalam h a n g kedelai. Enzim lipoksidase

menghidrolisis lemak kedelai menghasilkan senyawa yang termasuk dalam

kelompok heksanal dan heksanol penyebab bau langu. Pada suhu tinggi enzim

lipoksigenase menjadi tidak aktif (Koswara, 1992).

Zat antigizi yang terdapat dalm kacang kedelai yaitu antitripsin,

hemaglutinin, asam fitat, saponin

dan

oligosakarida. Antitripsin dapat

menghalangi pencernaan protein dan dapat memperbesar pankreas pada tikus

percobaan. Fitat dapat menunurkan ketersediaan mineral. Oligosakarida yang

terdiri dari rafinosa, stakiosa dan verbaskosa dapat menyebabkan flatulensi karena

dalam tubuh tidak tersedia enzim a galaktosidase.

Kacang kedelai yang digunalslan sebagai makanan tambalun (MPASI) yaitu

berupa tepung yang telah mengalami proses pemanasan. Proses pemanasan ini

bertujuan untuk menginaktifkan antitripsin dan menginaktiflcan enzim lipoksidase,

sehingga bau langu kedelai dapat dihilangkan (Koswara, 1992). Menurut Racks

(154)

mengurangi aktivitas antitripsin. Pemanasan kering dapat mereduksi antitripsin

80-90% (MessinbM. J., 1999).

1

Protein

(

46.2

I

I

Lemak

1

19.1

1

Abu 16.1

I

1

I

Kalsiwn (mg)

I

254

I

Karbohidrat

Serat

/

Fosfor (mg)

1

781

I

28.5

3.7

I

Besi (mg) I11

1

I

Riboflavin (pg)**

1

25

I

Folat (pg)**

Zn (mg)*

*

I

Nilai cema

1

75-85 (83)

I

47

0.99

I

Nilai hayati

1

41 -74 (58)

I

Penggunaan kacang kedelai sebagai m h n pendamping AS1 telah

dicoba di Malawi, Afiika untuk mengatasi kasus malnutrisi pada anak. Tepung

kacang kedelai sebagai sumber protein dicampur dengan tepung maizena sebagai

sumber karbohidratnya. Campuran tepung ini cukup disukai sehingga &pat

(155)

3. Malt

Menurut Claulfield et al. (1999) makanan pendamping AS1 untuk anak usia

6-12 bulan umumnya mengandung densitas energi dan protein yang tidak cukup.

Jumlah energr dalam MPASI dipengamhi oleh dua faktor yaitu volume makanan

dan densitas energi, dimana dua ha1 tersebut mempengaruhi kecukupan asupan

energi. Sistem pencernaan pada anak mempunyai keterbatasan dalam

mengkonsurnsi makanan sehingga densitas energi merupakan faktor yang harus

diperhatikan dalam membuat WAS1 guna meningkatkan asupan energi sesuai

dengan jwnlah energi yang dibutuhkan. Hasil penelitian Capdevila et al. (1998)

menunjukkan bahwa densitas energi mernpunyai pengaruh besar terhadap asupan

energi.

Penarnbahan malt pada makanan WAS1 ini bertujuan untuk meningkatkan

densitas energi makanan. Kandungan enzim amilase yang terdapat dalam malt

diharapkan dapat menghidrolisis pati (nasi) menjadi dekstrin. Hal ini dapat

menurunkan viskositasnya sehingga perlu tambahan pati yang lebih banyak untuk

mencapai viskositas yang baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Brown et 01.

(1995) konsurnsi energi

untuk

makanan anak usia 6-12 bulan ditentukan oleh viskositasnya. Penambahan enzim amilase yang berasal dari Aspergillus oryzae,

dapat meningkatkan densitas energi makanan yang diberikan.

Enzim amilase banyak terdapat pada biji-bijian berkecambah, yang

berfungsi untuk memecah pati menjadi gula sederhana. Enzim a amilase secara

(156)

hasil fermentasi mikroba (Winarno, 1983). Enzim amilase tergolong endoamilase,

yaitu enzim yang memecah amilosa pati secara a& dari tengah atau bagian dalam

molekul (Kulp, 1975). Selain itu enzim a amilase merupakan jenis enzim

hidrolase (Fogarty, 1983). Aktivitas optimal dari enzim dipengaruhi oleh berbagai

faktor. Faktor penting yang berpengaruh yaitu pH dan suhu. Kisaran pH optimum

untuk enzim a amilase berkisar antara 4.5

-

6.5. Suhu optimum aktivitas enzim

antara 40

-

60°C (Fogarty, 1983), sedangkan menurut Purnomo (1987) suhu

optimum antara 50 -60°C.

Enzim a amilase menghidrolisis ikatan a 1,4 glukosidik amilosa,

amilopektin dan glikogen. Enzim

a

amilase lebih mudah menghidrolisis ikatan

polimer pada amilosa daripada arnilopektin. Hidrolisis amilosa oleh a amilase

terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan

maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti

dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan

pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak

(Winamo, 1983). Laju hidrolisis akan meningkat pada rantai yang lurus dan

menurunnya tingkat polimerisasi. Hidrolisis enzim amilase pa& amilopektm lebih

lambat (Girindra, 1983). Ke rja a amilase pada amilopektin akan menghasilkan

glukosa, maltosa dan berbagai jenis a limit dekstrin. Alpha limit dekstrin adalah

oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu g d a yang semuanya

(157)

D.

Pengetahuan Gizi

Kondisi kemislunan dan kurangnya persediaan pangan yang bergizi

bukanlah satu-satunya faktor penyebab timbulnya pernasalahan gizi khususnya

masalah KEP di masyarakat. Sebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan permasalahannya, kurangnya

kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali

kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh.

Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk

menggabungkan informasi grzi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan

yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan (Saap dan Helen, 1997).

Menurut Suhadjo (1989) kurang energi protein juga disebabkan oleh

sanitasi lingkungan yang kurang baik dan ketidaktahuan orang tua terhadap gzi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Devi dan Geervani (1994) kasus KEP pada

anak selain disebabkan oleh ketidakcukupan pangan juga karena ketidakpedulian

ibu dalam pemberian makanan.

Pendidikan ibu mempunyai peranan penting terhadap praktek pemberian

makan pada anak. Pengaruh pendidikan terutama pendidikan ibu terhadap praktek

hidup sehat telah banyak didokwnentasikan. Banyak bukti menyebutkan bahwa

pendidikan ibu mempengaruhi kesehatan dan status gizi anaknya melalui praktek

ibu dalam pemeliharaan kesehatan. Ibu yang lebih berpendidikan tampaknya lebih

(158)

dibandingkan ibu yang kurang berpendidikan (Dionisio, 2002). Menurut Piechulek

et al. (1999) ibu yang berpendidikan dapat memberikan praktek pemberian

makanan yang lebih baik. Menurut Abunain et a1.(1989) pada masyarakat yang

rata-rata pendidikannya rendah prevalensi gizi kurang tinggi, sebaliknya pada

masyarakat dengan tingkat pendidikan cukup tinggi maka prevalensi gizi kurang

rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Marce et al. (1999) menunjukkan bahwa

tingkat kepedulian ibu terhadap anak melalui cara pemberian makan anak

merupakan penentu terkuat untuk peningkatan status gizi an&, terutama untuk

anak yang berasal dari keluarga mislun dan anak yang ibunya berpendidikan

rendah. Dalam penelitian ini juga diperlihatkan bahwa anak yang berasal dari

keluarga miskin

clan

berpendidikan rendah dapat memperoleh skor status gizi

yang sarna bahkan setengahnya mempunyai Z skor yang lebih tinggi dibandingan

dengan anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan berpendidikan tinggi.

Menurut Hardinsyah dan Guhardja (1986) tingginya status ekonomi seseorang

belum dapat menjamin tercapainya keadaan gizi yang baik bila tidak dlsertai

dengan pengetahuan yang baik pula.

Menurut Ardi (1987) makanan yang dikonsumsi an& dan terbentuknya

pola makan anak yang baik sangat ditentukan oleh peranan dm pengetahuan gizi

ibunya, sebab anak balita belum bisa memilih makanannya sendiri. Sanjur (1982)

menyatakan bahwa pengetahuan gizi ikut menentukan praktek atau membentuk

praktek pemberian makan pada anak secara langsung. Pengetahuan ibu terhadap

(159)

penting bagi ibu sebab ibu berperan dalarn menentukan pola penyusunan makanan

untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan anak. Lebih lanjut Satoto

(1990) menjelaskan bahwa faktor yang cukup dominan yang menyebabkan

meluasnya keadaan gizi kurang adalah perilaku yang kurang baik di kalangan

masyarakat Indonesia &lam memilih dan memberikan makan kepada anggota

keluarganya, terutarna anak-anak. Oleh karena itu berbagai kegratan harus

dilaksanakan untuk memberikan makanan dan perawatan yang benar untuk

mencapai status gizi yang baik, salah satunya melalui jalur penyuluhan gizi.

Pengetahuan gizi ibu yang baik dapat diukur melalui tingkat pengetahuan,

sikap atau pola pikir dan praktek &lam pemberian makan pada anak. Penelitian

yang dilakukan oleh Claulfield et al. (1999) dengan memberikan MPASI pada

anak usia 6-12 bulan sekaligus memberikan pendidikan berupa penyuluhan pada

ibu tentang gizi clan cara pemberian makan pada anak, hasilnya memberikan

pengaruh positif terhadap status grzi anak sehingga dapat mereduksi kasus

malnutrisi pada anak. Peningkatan energi dalarn MPASI dan pola pemberian

makanan pada anak yang baik dapat m e n d a n kasus malnutrisi pada anak.

Bhandori et al. (2001) melakukan penelitian terhadap kelompok yang hanya diberi

penyuluhaa gizi saja dan kelompok yang diberi WAS1 dan penyuluhan. Hasilnya

menunjukkan bahwa kelompok yang hanya diberi penyuluhan saja tidak

berpengaruh terhadap pertumbuhan, sedangkan kelompok yang diberi penyuluhan

(160)

KJkari. Dalam ha1 ini penyuluhan merupakan media komunikasi dan memberikan

dorongan untuk ibu dalam mernberikan makanan kepada anak secara optimal.

E.

Pengukuran Status Gizi

Adanya masalah pada anak balita di suatu masyarakat dapat diketahui

dengan melakukan penilaian status gizi. Anak yang menderita Kurang Energr

Protein (KEP) akan menunjukkan status gizi yang ti& baik. Sebaliknya anak

yang tidak menderita KEP akan menunjukkan status gizi yang baik. Penentuan

status gizi balita dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan konsumsi

makanan, perneriksaan klinis, biokimia, biofisik, dan pengukuran antropometri

(Jellife, 1966; Harper et al., 1986; Suhardjo & Riyadi, 1990; Gibson, 1990; Riyadi,

1995 ).

Penilaian status gizi berdasarkan konsurnsi pangan dapat dilakukan dengan

berbagai cara yaitu cara inventaris (inventory method), cara pendahan fiod list

method), cara recall dan cam penimbangan (weighing method). Penilaian status

gizi secara klinis dapat dilakukan dengan pendeteksian gejala kekurangan gizi

secara klinis, Penilaian status gizi secara biokimia merupakan cara penilain secara

obyektif dan digunakan untuk mendeteksi keadaan defisiensi subklinis. Penilaian

status gizi berdasarkan pengukuran antropometri dapat dilakukan dengan

pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh (Riyadi, 1995).

Menurut Gibson (1990) penentuan cara yang Qgunakan untuk menilai

status gizi sangat tergantung pada tahapan kekurangan gizi. Tahapan kekurangan

(161)

penilaian status g z i tersebut dapat dipergunakan secara tunggal, yaitu satu

indikator saja, tetapi akan lebih efektif apabila dipergunakan secara gabungan atau

lebih dari satu indikator.

/

Ketidakcukupan makanan

I

Konsumsi makanan

I

n.

In.

1V.

P e n m a n cadangan zat gizi dalam jaringan tubuh

Penurunan kadar zat gizi dalam cairan

V.

I

VIII.

I I

I

Tanda-tanda anatomis

I

Klinis

Biokimia

Biokimia tubuh

Penurunan taraf fungsional dalam jaringan

VI.

VII.

1 I I .

Surnber : Gibson (1990)

Antropometri/Bioki tub&

Penurunan aktivitas enzim-enzirn yang

1. Pengukuran Antopometri

mia Biokirnia tergantung pada zat gzi

Perubahan fungsional

Gejala klinis

Antrojmmetri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung

yang paling umum dipergunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di Tingkah

lakulfisiologi Klinis

dunia, yaitu masalah gizi kurang terutarna pada anak-anak dan wanita hamil clan

masalah g z i lebih pada semua kelompk umur (Jellife dan Jellife, 1989).

Pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif

murah, obyektif, mudah dilalcukan pada populasi yang besar serta memberikan

(162)

cara antropometri relatif cepat dalarn pelaksanaannya, tidak melukai dan tidak

terlalu banyak membutuhkan alat.

Penilaian dengan cara antropometri terdiri dari

dua

dimensi, yaitu

pengukuran perturnbuhan dan komposisi tubuh (Rryadi, 1995). Penilaiannya

antara lain meliputi bemt badan, tinggi badan, rasio lingkar pinggang terhadap

lingkar pinggul, lapisan lemak bawah kulit dan rasio berat badan terhadap kuadrat

tinggi badan (BMI) (Gibson, 1990). Indeks yang dipergunakan dalarn pengukuran

status gizi secara antropometri antara lain berat badan menurut umur (BBAJ),

tinggi badan menurut wnur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan

(BBrrS) ( W O , 1993).

Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan

gambaran tentang massa tubuh (tulang, otot dan lemak). Massa tubuh sangat

sensitif terhadap penibahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang

penyalut infeksi sehingga mengurangi nafsu makan atau menurunkan jumlah

makanan yang dikonsurnsi (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Berdasarkan sifat-

sifatnya, indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi, dan

karena sifat pengukuran berat badan yang lebih labil maka indeks BB/U lebih

menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritionnl statw).

Penggunaan indeks BBAJ sebagai indikator status gizi sensitif untuk melihat

perubahan status gizi jangka pendek dan merupakan indikator yang baik untuk

(163)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang dapat menggambarkan

keadaan pertumbuhan rangka tubuk Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh

bersarnaan dengin pertambahan umur. Pertwnbuhan tinggi

badan

tidak seperti berat badan, yaitu relatif tidak sensitif terhadap keadaan kurang gizi dalarn jangka

pendek. Pengaruh kurang gizi terhaciap tinggi badan baru akan tampak dalam

jangka waktu yang relatif lama (Riyadi, 1995). Berdasarkan sifat in. indeks TBIU

lebih menggambarkan status gizi masa lalu.

Berat badan berhubungan dengan tinggi badan secara linier (Riyadi, 1995).

Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan

pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BBfTB merupakan

indikator yang menyatakan status gizi masa kini dan biasa dipergunakan apabila

data umur yang akurat sulit untuk diperoleh.

Lingkar lengan atas merupakan pengukuran terhadap otot, femak dan

tulang pada daerah yang diukur. Indeks lingkar lengan atas menunjukkan

inhkator kurang kalori protein (KKP) brat. Indeks LLA cukup dengan nilai

tunggal saja karena antara anak berumur satu sampai lima tahun, perbedaannya

relatif kecil (Riyadi, 1995).

Pada prinsipnya ada 3 cara penyajian distribusi indeks antropometri yaitu

sebagai persen terhadap median, persentil dan Z Skor. Penyajian dlstribusi indeks

antropometri dengan Z skor dilakukan degan melihat distribusi normal kurva

Gambar

Gambar 1.  Jalur  Metabolisme Protein  dan  Asm  Amino (Cantarow  dan
Tabel 2. Kecuku~an  Enerei  dan Protein
Tabel 4. Kandungan Asam Amino Esensial Berbagai Surnber Protein
Gambar 2. Skema Pembuatan MPASI  (WFP,  1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Particle size and degree of partial cement replacement by treated LUSI mud affect the compressive strength, the strength activity index (SAI), the rate of pozzolanic

Uji validasi merupakan uji instrumen data untuk mengetahui seberapa cermat suatu item dalam mengukur apa yang ingin diukur. Item dapat dikatakan valid jika adanya

Hasil yang diperoleh memperlihatkan prevalensi infeksi STH pada siswa Madrasah Ibtidaiyah Ittihadiyah Kecamatan Gandus Kota palembang adalah sebesar 29,3%.. Kata

Riwayat persalinan yang lalu: anak pertama lahir tahun 2002, di puskesmas, cukup bulan, persalinan normal, oleh bidan, jenis kelamin laki-laki, BB: 3300 gram, PB :50 cm, nifas baik,

Dosen Pembimbing : La Ode Syarfan, SE, M.Si. Fakultas

ibadah merupakan pengaturan hidup seorang muslim, yang pelaksanaannya telah menyatukan umat Islam dalam satu tujuan yaitu pengahambaan kepada Allah serta penerimaan

Kadar tepung kedelai optimum yang ditambahkan dalam pembuatan fish bah kwa ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) adalah 3% dan 10% untuk

Setelah pengakuan awal, pinjaman dan utang yang dikenakan bunga selanjutnya diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif. Keuntungan