OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK
PENGEMBANGAN EKONOMI DAN
KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM
DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR
DISERTASI
SLAMET SUBARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul :
OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI DAN KONSERVASI
SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR
merupakan gagasan dan hasil penelitian disertasi saya sendiri dibawah bimbingan
komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2007
SLAMET SUBARI, Optimizing of Use of Land for Economic Development and Natural Resources Conservation in Coastal Area Sidoarjo Re gency East Java
(PARULIAN HUTAGAOL as chairman, WILSON H. LIMBONG and
HARIANTO as members of the advisory committee)
Sidoarjo regency has an area of 71 424.25 ha. One third of it is coastal area rich in fish production as source of living for 3 257 fish farmers and 3 282 fishermen along the seashore. There are many various activities done by the community, i.e., running intensive shrimp ponds, organic shrimp ponds, salt business, mangrove forest conservation, fuel wood seller and molusca. Meanwhile, government has an interest in managing the land use. Up to now, there is no integrated planning and management as so each businessman has its own criteria and individual goal in doing their business. This Phenomenon resulted in conflict of using the land. The questions are “How can the plan of land use that compromise many various local interest and trigger the development of local economy without destructing natural environment be arranged?”. The research aimed at (1) setting land use allocation that can compromise all local interest, (2) selecting the best alternative strategy of land using implemented in Sidoarjo coastal area, and (3) studying whether the plan of land using can be implemented or not.
Data analysis used Goal Programming Model with some constrains, among of them is mangrove forest area estimated by regressing the data on the quality of soil water. Economic valuation of mangrove forest was done by using substitute method. To determine the priority scale, stakeholders preferences were analyzed by Analytical Hierarchy Process (AHP).
The results of the research could be concluded that
1. The model of land using allocation in Sidoarjo coastal area covered six decision variables, ten considered commodities and nine resources constrains. 2. The scenario of economy development accommodating externalities and the
way of solving was the best alternative of the land using strategy because of covering three development criteria, i.e., econo my, environment and employment criteria.
3. Although there are probably indigenous local income (PAD) increasing Rp 2 327 329 977 but if institution system still like now (existing condition), the optimal land use concept will not be implemented because the system can not attend to effectively and efficiency of mechanism for coordination and negotiation of stakeholders conflict.
SLAMET SUBARI. Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Pengembangan Ekonomi dan Konservasi Sumberdaya Alam di Pesisir Sidoarjo Jawa Timur
(PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua, WILSON H. LIMBONG dan
HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kabupaten Sidoarjo memiliki luas 71 424,25 ha sepertiganya merupakan kawasan pesisir yang kaya akan hasil- hasil perikanan dan dapat menjadi sumber penghidupan bagi 3 257 KK petani tambak dan 3 282 KK nelayan pencari ikan. Beragam aktivitas yang dilakukan masyarakat meliputi : usaha udang intensif, udang organik, usaha garam, konservasi hutan mangrove, pencari kayu bakar dan remis, serta pemerintah berkepentingan melakukan penatagunaan lahan. Tiap-tiap pelaku ekonomi memiliki kriteria dan tujuan masing- masing, belum ada perencanaan dan pengelolaan secara terintegrasi. Padahal fenomena ini memperlihatkan hubungan yang kurang menguntungkan. Permasalahannya adalah : bagaimana menyusun suatu rencana penggunaan lahan yang dapat mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat dan dapat menunjang hasil-hasil ekonomi tanpa merusak lingkungan? Penelitian ini bertujuan : (1) menentukan alokasi penggunaan lahan yang mampu mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat, (2) mencari alternatif strategi penggunaan lahan yang paling baik untuk diterapkan di Pesis ir Kabupaten Sidoarjo, dan (3) melakukan kajian terhadap kemungkinan konsep rencana penggunaan lahan dapat diterapkan atau tidak.
Analisis data menggunakan model Goal Programming dengan beberapa faktor pembatas diantaranya adalah luas hutan mengrove lestari diestimasi dengan melakukan regresi terhadap data kualitas air tanah. Valuasi ekonomi hutan mangrove menggunakan metode substitusi dan untuk menentukan skala prioritas pembangunan lingkungan didekati dengan teknik proses hirarkhi analisis (AHP) terhadap preferensi stakeholders. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan : (1) model alokasi penggunaan lahan di Pesisir Sidoarjo terdiri dari enam variabel keputusan, sepuluh komoditas yang dipertimbangkan dengan sembilan kendala sumberdaya, (2) skenario pembangunan ekonomi dengan mempertimbangkan eksternalitas dan cara mengatasinya merupakan alternatif strategi penggunaan lahan yang terbaik, karena memenuhi tiga kriteria pembangunan yaitu kriteria ekonomi, lingkungan dan penyerapan tenaga kerja, dan (3) walaupun ada potensi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 2 327 329 977 namun jika sistem kelembagaan tetap seperti sekarang, maka konsep penggunaan lahan optimal tidak akan bisa diimplementasikan, karena tidak memungkinkan terjadinya suatu mekanisme koordinasi, negosiasi, dan kompromi antara pihak-pihak yang ber-konflik secara efektif dan efisien.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya tanpa ijin tertulis dari
PENGEMBANGAN EKONOMI DAN
KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM
DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR
SLAMET SUBARI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ekonomi dan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Sidoarjo – Jawa Timur
Nama Mahasiswa : Slamet Subari
Nomor Pokok : A161024011
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS. Dr. Ir. Harianto, MS.
Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1963 di Surabaya.
Merupakan anak ke tujuh dari sebelas bersaudara dari Bapak Kamsuri
Doelmanan (Almarhum) dan Ibu Ngadinem.
Pada tahun 1977 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Menur
Pumpungan 1 Surabaya, kemudian melanjutkan sekolah pada SMP Negeri 6
Surabaya dan lulus pada tahun 1981, Tahun 1984 lulus dari SMA Negeri 6
Surabaya.
Penulis melanjutkan studinya ke Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
– Malang dan lulus tahun 1989. Tahun 1996 melanjutkan studi Program Magister
Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Daerah dan
Pedesaan (PWD) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun
2002 penulis melanjutkan studi Program Doktoral pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1989 – sekarang, penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas
Pertanian Universitas Bangkalan (sekarang Universitas Trunojoyo Madura).
Tahun 1989 menikah dengan Yuli Susetyoningtyas dan dikaruniai tiga
orang anak : Riza Dyah Puspit asari (1990), Mirza Ardiansyah (1996), dan Fauzan
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat-Nya disertasi dengan judul Optimalisasi Penggunaan Lahan
Untuk Pengembangan Ekonomi dan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan
Pesisir Kabupaten Sidoarjo – Jawa Timur dapat diselesaikan. Tema ini dipilih
karena masih banyaknya pola-pola pengelolaan pembangunan khususnya yang
berkaitan dengan penggunaan lahan yang masih bersifat parsial sehingga hasilnya
kurang optimal. Dalam jangka panjang hal itu akan menimbulkan degradasi
sumberdaya alam dan menurunkan potensinya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan sekaligus
menyampaikan rasa hormat setinggi tingginya kepada Dr. Ir. Parulian Hutagaol,
MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan
bimbingan terutama mengenai relevansi tulisan dengan fenomena yang terjadi di
lapangan dan sistem analisis secara komprehensif dan konsisten. Kepada Prof.
Dr. Ir. W.H. Limbong, MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing terutama
mengenai konsistensi tulisan, teknik penulisan dan penyajian. Disamping itu
beliau dengan senang hati memberikan dorongan semangat terutama ketika
penulis sedang dalam situasi yang sulit. Kepada Dr. Ir. Harianto, MS. selaku
Anggota Komisi Pembimbing terutama mengenai pemodelan, analisis data dan
konsistensi dalam penulisan disertasi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Mantan Rektor
Universitas Trunojoyo Madura, Prof. Dr. Ir. Iksan Semaoen, MSc yang telah
mendorong, memberikan kesempatan dan memberikan rekomendasi untuk
Pascasarja dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah
menerima penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang strata tiga.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. baik sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian maupun sebagai pribadi atas keihlasan beliau untuk menyediakan waktu
konsultasi bagi penulis. Beliau juga peduli untuk memberikan pengarahan
terhadap langkah- langkah yang harus dilakukan guna mempercepat proses
penyelesaian studi.
Terima kasih kepada Ir. Nyoto Santoso, MS. selaku Direktur Lembaga
Penelitian dan Penge mbangan Mangrove (LPP Mangrove) – Bogor yang telah
menyediakan waktu untuk berdiskusi dan memberikan data-data sekunder
berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut di Pesisir Sidoarjo. Kepada Bapak Ir.
Tidar Hadipurnomo, MS. yang telah banyak membantu penulis baik dalam
berdiskusi maupun dalam pengolahan data. Kepada Bapak Ir. Edwin Aldrianto,
MSi dan Bapak Ir. Muhammad Yusuf, MM atas kerjasamanya dalam berbagai
kegiatan sehingga penulis dapat membiayai penelitian lapangan dan biaya-biaya
lainnya yang berkaitan dengan proses penyelesaian studi. Kepada rekan-rekan
Dosen di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun materiil serta kepada rekan-rekan pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian khususnya angkatan 2002 sebagai teman
belajar dan diskusi bersama dalam menghadapi ujian-ujian semester dan prelim.
Terima kasih kepada Ibu dan Ayahk u (Almarhum), kedua mertua, istriku
kesabaran dan kasih sayangnya, sehingga penulis merasa nyaman untuk
melakukan tugas dan misi studinya sampai selesai. Semoga amal baik
beliau-beliau tersebut dan pihak-pihak lainnya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu
persatu mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Amin ya Robbal
A’lamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan
dan pembangunan nusa dan bangsa Indonesia..amin.
Bogor, Januari 2007
i
Halaman
DAFTAR TABEL... ...iv
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah... 4
1.3. Tujuan Penelitian... 7
1.4. Kegunaan Penelitian... 7
1.5. Batasan Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1. Konsepsi Umum Tentang Lahan ... 11
2.2. Pengelolaan Lahan ... 12
2.3. Alokasi Sumberdaya Lahan ... 15
2.3.1. Goal Programming ... 22
2.3.2. Konservasi Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Berkelanjutan ... 31
2.3.3. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 38
2.4. Kelembagaan Pengelolan Sumberdaya Lahan ... 50
2.4.1. Pilihan Bentuk Organisasi ... 54
2.4.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Secara Partisipatif . 57 III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 61
3.1. Membangun Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo 61
3.2. Menentukan Alternatif Strategi Penggunaan Lahan Terbaik 65 3.3. Analisis Kelembagaan ... 66
IV. METODE PENELITIAN... 72
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 72
ii
4.2.2. Analisis Lahan... 73
4.2.3. Kendala Penggunaan Lahan dan Luas Minimal Hutan Mangrove ... 76
4.2.4. Alokasi Penggunaan Lahan ... 78
4.2.5. Pengembangan Model – Skenario Untuk Simulasi.... 80
4.3. Analisis Komparatif ... 83
4.4. Analisis Kelembagaan ... 84
V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 86
5.1. Karakteristik Kabupaten Sidoarjo ... 86
5.2. Kebijakan Strategi Pengembangan Kawasan ... 92
5.2.1. Strategi Pemantapan Kawasan Lindung ... 92
5.2.2. Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya ... 93
5.3. Kebijakan Perencanaan Tata Ruang Wilayah ... 94
5.3.1. Kebijakan Keseimbangan Ekologi Wilayah ... 94
5.3.2. Kebijakan Struktur Tata Ruang ... 95
5.4. Sektor – Sektor Prioritas Pembangunan ... 96
5.5. Rencana Pengembangan Kawasan Perikanan ... 97
5.6. Hutan Mangrove ... 98
5.7. Target Produksi Barang dan Jasa ... 100
VI. MODEL DAN SIMULASI PENGGUNAAN LAHAN ... 105
6.1. Membangun Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo 106
6.1.1. Analisis Lahan ... 106
6.1.2. Kendala – Kendala Penggunaan Lahan ... 114
6.1.3. Asumsi – Asumsi Model ... 119
6.1.4. Model Operasional Penggunaan Lahan ... 120
6.2. Pengembangan Model – Skenario Untuk Simulasi ... 123
VII. SOLUSI MODEL DAN PEMBAHASAN ... 137
7.1. Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi ... 138
iii
7.4. Solusi Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan
Mangrove ... 146
7.5. Solusi Model Untuk Skenario Tahun 2011 ... 148
7.6. Solusi Model Untuk Skenario Konsep RTRW 2002-2011 ... 151
VIII. IMPLIKASI STRATEGI PENGGUNAAN LAHAN ... 155
8.1. Analisis Komparatif ... 155
8.2. Analisis Kelembagaan ... 159
8.2.1. Potensi Peningkatan Keuntungan ... 160
8.2.2. Sistem Koordinasi Saat Ini ... 167
8.2.3. Kreasi Sistem Koordinasi ... 170
IX. KESIMPULAN DAN SARAN... 176
9.1. Kesimpulan... 176
9.2. Saran ... 177
DAFTAR PUSTAKA... 179
iv
Nomor Halaman
1. pH dan Kandungan Hara Tanah di Hutan Mangrove Cimanuk ... 35
2. Produk Langsung Dari Ekosistem Mangrove ... 40
3. Produk Tidak Langsung Dari Ekosistem Mangrove ... 41
4. Metode Estimasi Nilai Sumberdaya Lingkungan ... 46
5. Distribusi Responden Menurut Lokasi ... 75
6. Luas Wilayah Kabupaten Sidoarjo ... 87
7. Sektor – Sektor Prioritas di Kabupaten Sidoarjo ... 96
8. Rencana Kawasan Perikanan Tambak di Kabupaten Sidoarjo ... 98
9. Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sidoarjo ... 99
10. Produksi Perikanan Kabupaten Sidoarjo dan Target Produksi ... 101
11. Prakiraan Nilai Hutan Mangrove Kabupaten Sidoarjo Per Tahun ... 103
12. Total Keuntungan Pengelolaan Pesisir Tahun 2006 ... 104
13. Hasil Produksi Pesisir Sidoarjo ... 104
14. Satuan – Satuan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005... 107
15. Satuan – Satuan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005 Menurut Kriteria Kesesuaian Lahan ... 108
16. Kesesuaian Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005... 109
17. Hasil Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005... 110
18. Alternatif Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005 ... 112
19. Koefisien Teknologi Pilihan Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005... 113
v
Ekonomi ... 124
22. Model Alokasi Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006 125
23. Model Alokasi Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006 Setelah Dimoneterkan ... 126
24. Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan Barang-Barang Produksi di Pesisir Sidoarjo ... 127
25. Hasil Analisis AHP Penetapan Skala Prioritas Untuk
Pembangunan Lingkungan... 128
26. Perubahan Koefisien Teknologi Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas ... 130
27. Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ... 131
28. Target Produksi Barang dan Jasa di Pesisir Sidoarjo Tahun 2011 ... 132
29. Target Keuntungan Pengelolaan Pesisir Sidoarjo Tahun 2011 ... 133
30. Model Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Tahun 2011 ... 135
31. Moodel Untuk Skenario Penerapan RTRW 2002-2011... 136
32. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi 139
33. Deviasi Target Untuk Skenario Pembangunan Ekonomi ... 140
34. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Skenario Pembangunan Ekonomi ... 140
35. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan
Lingkungan ... 141
36. Deviasi Target Untuk Skenario Pembangunan Lingkungan ... 142
37. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Skenario Pembangunan Lingkungan ... 143
38. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Terjadinya
Eksternalitas dan Upaya Mengatasinya ... 144
vi
Terjadinya Eksternalitas ... 146
41. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ... 147
42. Deviasi Target Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove .. 147
43. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ... 148
44. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Tahun 2011 ... 149
45. Deviasi Target Untuk Skenario Tahun 2011 ... 150
46. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Tahun 2011... 151
47. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario RTRW 2002-2011... 152
48. Deviasi Target Untuk Skenario Konsep RTRW 2002-2011... 152
49. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Konsep RTRW 2002-2011 ... 153
50. Perbandingan Beberapa Skenario Alokasi Penggunaan Lahan ... 161
vii
Nomor Halaman
1. Hubungan Hipotetik Antara Peubah – Peubah Sosial Ekonomi
Masyarakat Terhadap Tataguna Lahan ... 14
2. Kurve Kemungkinan Produksi ... 15
3. Eksternalitas Negatif ... 17
4. Eksternalitas Positif ... 17
5. Pemecahan Masalah Optimasi Secara Grafis ... 25
6. Pengaruh pH Terhadap Perikanan Kolam ... 35
7. Hubungan Antara Kadar Polutan dengan Jarak Dari Garis Pantai ... 38
8. Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya Dengan Metode Valuasi ... 49
9. Komponen – Komponen Biaya Transaksi ... 53
10. Modalitas Dari Hubungan Organisasi Internal ... 56
11. Diagram Hiootetis Hubungan Antara Berbagai Kegiatan Ekonomi di Pesisir Sidoarjo ... 63
12. Diagram Tahapan Penelitian Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo ... 64
13. Kurve Kemungkinan Produksi ... 66
14. Pola Implementasi Pengelolaan Lahan Dalam Kaitannya Dengan Masalah Dalam Hubungan Agensi Antara Pemerintah versus Petambak ... 69
15. Kelompok Otonom Sebagai Sebuah Struktur Yang Berkemampuan 71 16. Hierarki : Sasaran – Kriteria (Stakeholders) – Alternatif (Komoditi) ... 81
17. Klas Lahan Menurut Kesesuaian Untuk Usaha Budidaya ... 111
viii
Mangrove ... 117
20. Diagram Pola Hubungan Kelembagaan Sistem Pembangunan di Pesisir Sidoarjo ... 170
21. Kreasi Diagram Pola Hubungan Kelembagaan Sistem
ix
Nomor Halaman
1. Skenario Pembangunan Ekonomi Tahun 2006 ... 186
2. Program – Output : Skenario Pembangunan Lingkungan Tahun 2006 ... 188
3. Program – Output : Skenario Pembangunan Ekonomi Yang Mengakomodir Faktor Eksternalitas dan Upaya Mengatasinya ... 190
4. Program – Output : Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ... 192
5. Program – Output : Skenario Tahun 2011 ... 193
6. Program – Output : Skenario Konsep RTRW 2002-2011... 195
7. Perhitungan Ketebalan Hutan Mangrove ... 197
8. Peta Kabupaten Sidoarjo ... 201
1.1. Latar Belakang
Fokus pengembangan ekonomi di Indonesia bergerak dari sumberdaya
terrestrial ke sumberdaya laut dan pesisir dalam PJP II (1993-2018). Pergeseran
itu sendiri didukung oleh fakta bahwa : (1) 63%(3.1 juta km2) dari wilayah
Indonesia adalah lautan yang kaya akan sumberdaya alam, dan (2) sumberdaya
daratan akan semakin bekurang dan sulit untuk dikembangkan. Pengalaman dalam
pengembangan sumberdaya pesisir dan laut selama PJP I (1967-1992)
menghasilkan tidak hanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga degradasi
sumberdaya alam. Di wilayah pesisir degradasi akan sampai pada level yang
mengancam kelangsungan ekosistem pesisir dan laut untuk mensupport
pengembangan ekonomi Indonesia kedepan. Meskipun terjadi degradasi
lingkungan, Indonesia tidak dapat menghentikan pembangunan sumberdaya
pesisir dan laut karena Negara ini masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi
untuk mencapai masyarakat yang makmur. Tantangan untuk manajer dan
perencana pesisir di Indonesia sekarang adalah mengembangkan sumberdaya
pesisir dan laut untuk mencapai manfaat yang maksimum dan saat yang
bersamaan merawat kapasitas lestari dari ekosistem, tidak berarti melebihi daya
dukung ekosistem (Dahuri, 1998).
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan
(Dahuri et al., 2001). Wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki fungsi
sangat penting, karena menyediakan berbagai sumberdaya alam (SDA) baik yang
pulih (non renewable resource). Menurut Mulyadi (2005), sumberdaya yang
dapat pulih terdiri atas : hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
rumput laut serta sumberdaya perikanan laut. Hutan mangrove merupakan
ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir.
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi.
Masih menurut Mulyadi (2005), wilayah pesisir Indonesia dengan panjang
pantai mencapai 95 181 km1, juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan yang
sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup
manusia. Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir
dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan
komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan pelatihan, pertahanan dan
keamanan, pengatur iklim, kawasan perlindungan.
Dengan terbatasnya luas lahan dan sumberdaya di daratan serta
meningkatnya jumlah penduduk, maka banyak kegiatan pembangunan dialihkan
dari daratan ke arah pesisir dan lautan. Sehubungan dengan semakin banyaknya
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat yang
mengambil tempat di wilayah pesisir, antara lain untuk budidaya perikanan,
pelabuhan, pariwisata, industri dan perluasan kota, maka sering timbul adanya
konflik.
Konflik dalam pemanfaatan sumberdaya oleh berbagai sektor yang terjadi
pada lokasi yang sama, pada akhirnya menimbulkan kerusakan ekosistem seperti
erosi, pencemaran lingkungan dan degradasi lahan. Pengelolaan kawasan yang
bersifat sektoral yang hanya bertujuan untuk memaksimumkan produksi tanpa
1
memperhitungkan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta
keterbatasan kemampuan daya asimilasinya, maka akan memicu terjadinya
degradasi lingkungan dan menurunnya nilai sumberdaya ala m itu sendiri. Oleh
karena itu dalam pengelolaan pembangunan wilayah pesisir diperlukan
keterpaduan dalam perencanaannya agar sumberdaya bersangkutan terjaga
keberlanjutannya.
Kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan daratan yang antara lain
meliputi pemanfaatan sumberdaya lahan, selain memberikan dampak lingkungan
yang positif juga memberikan dampak yang negatif. Hal positif dari perubahan
itu adalah kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat, melalui peningkatan
ekonomi. Sedangkan dampak negatif dari perubahan itu adalah tingginya tingkat
erosi tanah, timbulnya pencemaran yang mengakibatkan lingkungan menjadi
terdegradasi yang berdampak pada perubahan kesejahteraan masyarakat. Setiap
eleman masyarakat akan menanggung peningkatan/penurunan kesejahteraan yang
berbeda-beda tergantung pada tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap
sumberdaya pesisir tersebut yang dicerminkan dari pola usaha yang dilakukan
oleh masyarakat selama ini.
Penurunan kualitas lingkungan dan munculnya berbagai konflik
kepentingan akan menimbulkan gangguan pada keseimbangan ekosistem yang
pada gilirannya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Atas dasar hal tersebut, masyarakat dan pemerintah semakin
menyadari perlunya melakukan pembangunan berkelanjut an untuk menjamin
kehidupan yang berkelanjutan pula. Menurut (UNEP dan WWF, 1993) dalam
sebagai kegiatan yang menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dengan
kepentingan menjaga kualitas lingkungan dan ekosistem sehingga tidak
melampaui batas kemampuannya, serta keseimbangan pemanfaatan SDA dan
sumberdaya lahan (SDL) antara generasi sekarang dengan generasi yang akan
datang termasuk keadilan sosial dan suatu lingkungan yang sehat.
Salah satu strategi dalam pembangunan berkelanjutan adalah perlunya
melakukan suatu penatagunaan lahan yang meliputi perencanaan, persediaan,
peruntukan, penggunaan dan pengendalian lahan. Wujud tataguna lahan di
Indonesia misalnya terlihat pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun hingga kini penerapan konsep
tata ruang tersebut belum efektif dilapangan. Konsep RUTR kurang
implementatif salah satunya disebabkan karena kurang terakomodirnya berbagai
kepentingan masyarakat (Rachman 2000). Karena itu diperlukan suatu penelitian
untuk menelaah bagaimana merumuskan rencana penggunaan lahan secara
terintegrasi sehingga bisa memkompromikan berbagai kepentingan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Salah satu kekayaan sumberdaya alam yang paling menonjol di Kabupaten
Sidoarjo adalah sumberdaya pesisir dengan luas tambaknya mencapai 15 530.41
ha dan sumberdaya hutan mangrove yang terbentang sepanjang lebih kurang 27
km dengan lebar atau ketebalan mencapai 100 s/d 200 m yang mampu
memberikan kesejahteraan kepada 3 257 KK petani tambak (PT. Intermulti
Planindo, 2004). Dari luas total Kabupaten Sidoarjo yang mencapai 71 424.25 ha
subsektor perikanan laut dan pesisir terhadap PDRB sektor pertanian mencapai
49.53 persen (BPS Kabupaten Sidoarjo, 2004). Tidak kurang dari 945 260 kg
kupang, 267 460 kg kerang dan 9000 kubik kayu bakar per tahun dihasilkan dari
hutan mangrove yang mampu menghidupi 3 282 KK (Berbagai Sumber Diolah).
Sementara itu menurut laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabuaten Sidoarjo
(2005), di kawasan tambak sendiri terdapat berbagai aktivitas masyarakat
diantaranya : budidaya Bandeng (6 481.8 ha), Tumpanggilir Bandeng dengan
Garam (12 ha), Udang Organik (8 541.7 ha), Udang Intensif (50 ha), dan Udang
Semi Intensif ( 680.7 ha). Bahkan belakangan ada aktivitas LSM (OISCA Jepang
dan LPP – Mangrove) tengah melakukan usaha- usaha konservasi lingkungan
dengan menanam jenis-jenis bakau untuk mempertebal hutan mangrove yang ada.
Dengan keberadaan sumberdaya pesisir tersebut terdapat berbagai pihak
yang berkepentingan dalam pengelolaannya. Nelayan berkepentingan memungut
hasil hutan mangrove seperti kupang dan kerang. Pencari kayu bakar
berkepentingan memungut hasil kayu dari hutan mangrove. Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) berkepentingan melestarikan keanekaragaman hayati di hutan
mangrove. Bahkan demi menjaga kelestarian hutan mangrove DPRD Kabupaten
telah mengesahkan Perda No. 17 Tahun 2003 Tentang Kawasan Lindung
Mangrove yang bertujuan untuk melindungi hutan mangrove dari ancaman
penebangan liar. Petambak berkepntingan untuk mendapatkan keuntungan dari
bentuk-bentuk usaha yang dikelolanya tersebut.
Sejauh ini arahan dari pemerintah dalam usaha pengelolaan lahan kawasan
pesisir belum efektif. Tidak dilibatkannya stakeholders dalam proses penyusunan
implementasinya belum efektif. Konflik kepentingan antara berbagai anggota
masyarakat tidak terakomodir dalam konsep RTRW yang ada. Contohnya,
penetapan kawasan lindung mangrove yang mencapai 400 m dari garis pantai dan
kawasan tambak organik yang mencapai 7 000 ha muncul tiba-tiba tanpa
memperhatikan adanya kepentingan anggota masyarakat petambak lainnya.
Memang kebijakan pembangunan yang pro lingkungan itu penting, namun jika
hal tersebut tidak didasari oleh pertimbangan sosial dan ekonomi jelas hal itu
akan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Akibat tidak efektifnya arahan penggunaan lahan dari pemerintah,
sehingga masing- masing pihak merencanakan penggunaan lahan untuk
kepentingan sendiri-sendiri dengan kriteria pendekatan yang berbeda-beda
(ekonomi, ekologi, dan kebijakan politik). Padahal fenomena ini memperlihatkan
hubungan yang kurang menguntungkan. Implikasi dari kondisi ini adalah tidak
optimalnya alokasi penggunaan sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya,
seperti misalnya potensi tenaga kerja yang ada belum teralokasi dengan baik
sehingga di pesisir Sidoarjo masih terdapat pengangguran terbuka mencapai lebih
kurang 5 persen (Kecamatan Dalam Angka 20042). Menurunnya produktivitas
pesisir dalam tiga tahun terakhir (2003 – 2005) khususnya untuk komoditi udang.
Untuk udang organik produksi tahun 2003 mencapai 4 185.043 ton turun menjadi
3 580.340 ton pada tahun 2005, serta untuk udang intensif produksi tahun 2003
mencapai 6 657 ton turun menjadi 3 960 ton pada tahun 2005.
Dengan demikian terdapat permasalahan pokok dalam pengelolaan
sumberdaya la han di kawasan pesisir Kabup aten Sidoarjo yang terbatas itu yaitu
2
”bagaimana menyusun suatu rencana penggunaan lahan yang dapat
mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat sehingga dapat menunjang
hasil- hasil ekonomi dengan tetap terpeliharanya kelestarian lingkungan?”
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menyusun suatu konsep penggunaan
lahan di pesisir Sidoarjo yang dapat mengkompromikan berbagai kepentingan
masyarakat dan mampu mengintegrasikan aspek lingkungan dengan aspek
ekonomi sehingga kelestarian sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya
lingkungan (SDL) akan tetap terjaga. Secara lebih spesifik penelitian ini
bertujuan :
1. Membangun model penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik fisik,
sosial dan ekonomi yang ada.
2. Mencari alternatif strategi penggunaan lahan terbaik untuk diterapkan di
pesisir Sidoarjo.
3. Mengkaji apakah rencana penggunaan lahan sesuai konsep RTRW 2002 –
2011 Kabupaten Sidoarjo dapat diimplementasikan atau tidak.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai salah satu alternatif
metode untuk mengarahkan dalam penatagunaan lahan dan penentuan kebijakan
pembangunan khususnya di pesisir Sidoarjo. Selain itu hasil penelitian ini
diharapkan juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam penentuan
kawasan hutan mangrove dengan tidak mengurangi kemungkinan masyarakat
untuk mengambil manfaat ekonomi semaksimal mungkin dari sumberdaya lahan
yang ada di pesisir Sidoarjo.
1.5. Batasan Penelitian
Penelitian mengambil kasus di pesisir Sidoarjo, sehingga solusi model dan
pendekatan model belum tentu sesuai diterapkan di daerah lain. Pesisir Sidoarjo
dianggap sebagai satu kesatuan wilayah, untuk tujuan optimasi satuan-satuan
penggunaan lahan hanya dibatasi oleh faktor-faktor teknis agronomis dan bukan
batas-batas wilayah politis administraitf, status lahan dan faktor- faktor non teknis
lainnya.
Model utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah model goal
programming atau lebih dikenal dengan Model multi objective multi party yang
mengandung beberapa keterbatasan yaitu :
1. Model multi objective multi party, namun multi party-nya tidak dinyatakan
secara eksplisit.
2. Nilai jasa lingkungan hutan mangrove hanya didekati berdasarkan manfaat
keberadaan dan manfaat pilihan.
3. Yang dimaksud dengan konflik adalah konflik antara berbagai kelompok
masyarakat dalam pemanfaatan lahan di pesisir Sidoarjo.
4. Yang dimaksud dengan kawasan pesisir adalah wilayah daratan meliputi
kawasan tambak dan hutan mangrove termasuk tanah timbul (oloran).
5. Eksternalitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah eksternalitas yang
ekonomi salah satu kelompok masyarakat dan akibatnya akan ditanggung
oleh kelompok masyarakat lainnya.
6. Yang dimaksud dengan polutan adalah zat-zat tertentu atau suatu senyawa
biokimia yang berpotensi mengganggu kualitas ekosistem tambak, seperti
salinitas, kadar BOD, kadar COD, senyawa nitrat dan senyawa phospat.
7. Yang termasuk dalam stakeholders adalah :
(1) Petani tambak intensif yaitu petani tambak yang menerapkan sistem
pengelolaan tambaknya secara intensif dengan mengandalkan teknologi
modern sebagai faktor utama yang menentukan keberhasilan usahanya.
(2) Petani tambak organik (tradisional) yaitu petani tambak yang
menerapkan sistem pengelolaan tambaknya dengan mengandalkan alam
sebagai faktor utama yang menentukan keberhasilan usahanya.
(3) Petani tambak semi intensif yaitu petani tambak ya ng
mengkombinasikan antara pola usaha tambak intensif dan tradisional.
(4) Pemerintah yang meliputi seluruh unsur pemerintahan di Kabupaten
Sidoarjo.
(5) Pemanfaat hutan mangrove yaitu petani dan atau nelayan yang mencari
hasil- hasil hutan mangrove baik kayu, ikan, molusca, dan lain- lain, dan.
Tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang :
teori-teori yang mendukung model sehingga akan membantu membangun
kerangka berfikir logis, justifikasi terhadap alat analisis yang digunakan sehingga
membantu dalam membangun kerangka metodologi, serta review dari penelitian
terdahulu dalam aplikasi teori dan metodologi yang pernah digunakan. Dalam
tinjauan pustaka terdiri dari :
1. Konsepsi umum tentang lahan ; berisikan pengertian dan definisi tentang
lahan. hal ini karena isu utama dalam penelitian ini berkaitan dengan masalah
lahan.
2. Pengelolaan lahan ; berisikan tentang aspek campur tangan manusia dalam
pe-manfaatan lahan, penggunaan berbagai input untuk tujuan-tujuan ekonomi,
adanya peranan ganda dari lahan sehingga dalam pengelolaannya sering
terjadi benturan-benturan. Acapkali karena desakan ekonomi, sosial dan
kependudukan sehingga menimbulkan tekanan dan perubahan peruntukan
lahan.
3. Alokasi sumberdaya lahan ; berisikan tentang pilihan alokasi sumberdaya
lahan untuk tujuan pembangunan ekonomi atau lingkungan, serta konsekuensi
terjadinya eksternalitas akibat kita memilih salah satu alternatif tujuan
pembangunan tersebut. Dalam sub bab ini juga disajikan berbagai
kemungkinan alat-alat (tools) yang digunakan baik dalam kaitannya dengan
kreasi data dan analisis data, serta penggunaan model goal programming
4. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Lahan ; berisikan tentang dasar teori
organisasi dan kelembagaan yang relevan untuk suatu tujuan implementasi
penggunaan lahan.
2.1. Konsepsi Umum Tentang Lahan
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta
segenap karakteristik yang ada padanya dan penting bagi peri kehidupan manusia
(Cristian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat
didefinisikan sebagai suatu wilayah dipermukaan bumi, mencakup semua
komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di
atas dan dibawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief
hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh
aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya itu berpengaruh
terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan dimasa
mendatang (Brikman dan Smyth 1973; Vink 1975).
Berdasarkan pengertian di atas, lahan dapat dipandang sebagai suatu
sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Komponen-komponen itu dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu : komponen struktural yang sering disebut
karakteristik lahan, dan komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan.
Lahan sebagai sistem mempunyai komponen-komponen yang terorganisir secara
spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu.
Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubungannya
dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
yang bersifat alamiah dan sumberdaya lahan buatan yang merupakan hasil
aktivitas budidaya manusia. Berdasarkan konsepsi tersebut maka pengertian
sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik lahan dan proses-proses yang
terjadi di dalamnya, yang dengan cara-cara tertentu dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Menurut Soerianegara (1977) ada tiga aspek kepentingan pokok dalam
pengelolaan dan penggunaan sumberdaya lahan, yaitu : lahan diperlukan manusia
untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, memelihara ternak, memelihara
ikan dan lainnya, lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa,
dan lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia.
Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya,
sering terjadi benturan diantara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan
lahan. Fenomena seperti ini sering kali mengakibatkan penggunaan lahan kurang
sesuai dengan kapabilitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kapabilitas
lahan ini adalah : jenis tanah dan kesuburannya, keadaan lapangan, relief,
topografi dan ketinggian tempat, aksesibilitas, kemampuan dan kesesuaian lahan,
dan besarnya tekanan penduduk (Soerianegara 1977).
Di tinjau dari sudut pandang penguasaan dan pengalokasiannya, maka
sebagian lahan di suatu daerah aliran sungai khususnya di kawasan pesisir adalah
merupakan public land dan sebagian lainnya merupakan private land. Dalam
kenyataannya public land tersebut merupakan kawasan hutan lindung (mangrove)
Sedangkan private land merupakan lahan usaha pertanian dan permukiman yang
dikuasai dan dikelola oleh penduduk.
Bertambahnya jumlah penduduk, secara langsung atau tidak langsung akan
mengakibatkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan, dan hal ini pada
kenyataannya dapat menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya lahan
dan lingkungan hidup serta berbagai konsekuensi sosial ekonominya.
Pentingnya pengelolaan sumberdaya lahan karena dia mempunyai peranan
sangat penting bagi kehidupan manusia. Program-program pengelolaan lahan
(pesisir) merupakan suatu usaha besar yang amat pelik; sesuatu yang dirancang
untuk melestarikan atau memperbaiki kondisi wilayah pesisir dengan cara
mengatur penggunaan dan kegia tan pada tanah dan perairan. Koordinasi
kegiatan-kegiatan pengelolaan oleh berbagai dinas dan instansi pemerintah,
mendorong munculnya aturan mandiri melalui pendekatan dan pendidikan serta
beragam kegiatan lainnya. Pemilihan jenis dan skala intenvensi serta mitra kerja
dan permasalahan pengelolaan secara tepat sesungguhnya merupakan suatu seni,
namun sangat menentukan sekali pada keberhasilan program (Tobey, 2000).
Nikijuluw (1998) dalam penelitiannya di desa Jemluk Bali menemukan bahwa
pengelolaan sumberdaya (pesisir) melalui suatu skema tertentu yang diinisiasi
oleh masyarakat ternyata membawa dampak positif terhadap perbaikan hasil dan
distribusi, sehingga secara individual masyarakat pesisir merasakan adanya suatu
peningkatan kesejahteraan.
Analisis sosial ekonomi dalam suatu sistem kawasan pesisir dapat
diarahkan untuk identifikasi subsistem sosial ekonomi dan sekaligus mengkaji
erat antara perubahan penggunaan laha n dengan beberapa perubahan sosial
ekonomi dan kependudukan. Hubungan hipotetik antara perubahan-perubahan ini
disajikan pada Gambar 1.
Pertambahan jumlah penduduk di suatu wilayah yang menghadapi pilihan
mata pencaharian yang terbatas akan dapat mengakib atkan peningkatan usaha
intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani. Kebutuhan akan pemukiman dan
sumber energi juga meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
taraf kebudayaannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut ada hubungannya
dengan beberapa peubah penting seperti mobilitas (migrasi masuk dan kaluar),
fertilitas, struktur umur, faktor lingkungan dan sosial-budaya. Mobilitas
penduduk mempunyai hubungan yang sangat erat dengan daya tarik dan daya
dorong ekonomis.
Gambar 1. Hubungan Hipotetik Antara Peubah-Peubah Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Tataguna Lahan
Kelompok Perubahan Sosial: - Pelayanan pranata sosial - Sarana dan prasarana sosial - Status lahan - Harga lahan tingkat upah
Di suatu daerah yang sumberdaya lahannya secara agroekologis
mempunyai kapabilitas dan tingkat kesesuaian lahan yang tinggi biasanya pola
usahataninya melibatkan jenis-jenis tanaman (komoditi) komersial.
2.3. Alokasi Sumberdaya Lahan
Dalam proses produksi pertanian masukan yang berupa lahan dapat
digunakan untuk menghasilkan berbagai produk barang dan jasa. Acapkali terjadi
trade off terhadap berbagai tujuan penggunaan lahan tersebut. Ketika kita telah
memutuskan untuk suatu tujuan produksi barang atau jasa tertentu maka kita harus
rela kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil produksi barang dan jasa
lainnya. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui gambar kurva kemungkinan
produksi (KKP) sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Barang Lingkungan (B)
QL
Barang Ekonomi (A) QE
Gambar 2. Kurva Kemungkinan Produksi
Kondisi pareto me nyatakan bahwa tingkat marjinal dari transformasi
produk barang lingkungan (B) bagi barang ekonomi (A) – atau (MRPTBA :
kemiringan dari KKP) akan sama dengan MRSBA. Jika MRSBA = PA / PB ;
memproduksi A. Jadi kita dapat menyatakan bahwa PB = Pa / MPaB. Dengan
mensubstitusikan untuk PA dan PB kita dapatkan :
MRSBA = = =
Pada kondisi ini tingkat produksi barang ekonomi yang optimal adalah QE
sementara tingkat produksi barang lingkungan yang optimal adalah QL. Jika
karena sesuatu dan lain hal tingkat produksi barang ekonomi melebihi QE,
sehingga harus menurunkan tingkat produksi barang lingkungan QL menjadi lebih
kecil maka hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi ya itu turunnya kualitas
lingkungan. Kelebihan produksi barang ekonomi tersebut akan menghasilkan
produk-produk sampingan dan limbah dalam bentuk misalnya : sedimentasi, hasil
air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah
ini biasanya diangkut keluar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya
eksternal dan efek eksternalitas. Eksternalitas terjadi karena individu yang tidak
ikut menikmati harus menanggung biaya atau individu ikut menikmati tetapi tidak
menanggung biaya, tanpa adanya kompensasi yang diterima atau dibayar.
Eksternalitas negatif mengakibatkan jumlah produk yang dihasilkan tidak berada
tepat pada kondisi yang optimal.
Dalam kondisi demikian, sebagaimana pada Gambar 3, pemerintah dapat
mengatasi masalah eksternalitas dengan memaksa perusahaan menurunkan
produksinya, yaitu melalui internalisasi efek samping yang diderita masyarakat ke
dalam MC perusahaan (private). Internalisasi tersebut dapat dilakukan melalui
pembebanan pajak atau membuat aturan-aturan tertentu sehingga MCprivate
bergeser kekiri kearah MCsocial ; MCsocial = MCprivate + EC ; dimana EC adalah
Harga (P)
MCSocial MCprivate
P*
0 Q*Social Q*private Q
Gambar 3. Eksternalitas Negatif
Pada kasus eksternalitas positif sebagaimana pada Gambar 4, jumlah
produk terlalu sedikit dihasilkan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus
merangsang perusahaan meningkatkan produksinya dengan memberikan subsidi
kepada perusahaan sebesar “external benefit” akibatnya perusahaan akan
menggeser anggaran perusahaannya yang tercermin dari pergeseran MCprivate ke
MCsocial sehingga output meningkat dari Q private ke Qsocial.
Harga (P)
MCprivate MCsocial
P*
0 Q*private Q*social Q
Gambar 4. Eksternalitas Positif
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas
tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan karena
Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan pemerintah. Davies dan
Kamin (1972) dalam Anwar (1995) mengemukakan beberapa campur tangan
pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu berupa : larangan,
pengarahan, kegiatan percontohan, pengenaan pajak atau subsidi, pengaturan
(regulasi), hukuman atau denda, dan tindakan pengamanan. Efek eksternalitas
dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya lahan
yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di
daerah hulu sungai proses degradasi lahan dan efek eksternalitas tersebut biasanya
berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan.
Beberapa metode untuk mengalokasikan jenis-jenis penggunaan lahan
telah dikembangkan diantaranya adalah : (1) alokasi berdasarkan klasifikasi
kemampuan lahan, (2) alokasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, (3) alokasi
berdasarkan analisis sistem, dan (4) alokasi berdasarkan pemrograman matematik
(Riset Operasi).
Alokasi penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan
adalah cara yang paling praktis karena penentuan kelas-kelas kemampuan lahan
hanya didasarkan pada kondisi faktor- faktor biofisik suatu kawasan. Metode ini
sangat sedikit atau kurang sekali mempertimbangkan faktor sosial ekonomi yang
mempengaruhi penggunaan lahan (Vink, 1975).
Pendekatan alokasi lahan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi
pernah dikemukakan oleh Gregory (1955) dan Valdepenas (1969) seperti telah
dilaporkan oleh Balangue (1988). Melalui penggunaan teori produksi gabungan
(joint production) dalam model grafik dua dimensi, dapat ditentukan satu pilihan
alokasi terletak pada posisi expantion path yang digambar melalui satu
kumpulan grafik isocost dan isorevenue. Jika expantion path letaknya dekat
dengan axis penggunaan lahan single use, keputusannya adalah lahan hutan
single-use lebih dominan dari multiple-use. Sebaliknya jika expantion path lebih
dekat dengan axis lahan multiple-use, maka penggunaan lahan yang dominan
adalah jenis penggunaan hutan multiple-use. Jika expantion path lokasinya tepat
ditengah-tengah kedua axis, keputusannya adalah penggunaan lahan hutan sama
baiknya.
Balangue (1988) menggunakan kriteria ekonomi (total net return) untuk
memecahkan kombinasi alokasi lahan untuk menghasilkan kayu dengan lahan
untuk menghasilkan ternak. Secara grafik digambarkan sekumpulan isocost dan
isorevenue untuk beberapa tingkat biaya dan kombinasi optimum produknya
(penerimaan maksimum). Pendapatan total bersih dicari dengan mengurangkan
biaya dari pendapatan kotor. Akhirnya tingkat biaya yang menghasilkan
pendapatan bersih tertinggi dikatakan sebagai tingkat biaya dan aktivitas produksi
paling efisien secara ekonomi.
Alokasi lahan hutan dengan prinsip ekonomi ini mempunyai kelemahan
karena tidak semua hasil dari hutan dapat dihitung secara ekonomi dengan nilai
uang. Net return yang hanya didasarkan pada kuantifikasi tujuan (target), output
dan input secara moneter belum tentu mencerminkan net benefit yang sebenarnya
(Balangue, 1988).
Pendekatan analisis sistem untuk alokasi penggunaan lahan dimulai
dengan mengidentifikasi sistem dan subsistem yang ada di daerah studi. Setiap
keterkaitannya dengan unsur lainnya. Pendekatan ini biasanya memerlukan
masukan dari berbagai disiplin ilmu sehingga tim perencanan biasanya terdiri dari
latar belakang yang berbeda. Setiap alternatif penggunaan lahan dievaluasi
dengan menggunakan kriteria-kriteria ekologis, ekonomis, sosial budaya dan
mungkin juga politik. Jenis penggunaan lahan yang mempunyai nilai positif
tertinggi dalam hal kualitas hidup akan dialokasikan di daerah studi (Soerianegara,
1977). Pendekatan analisis sistem ini juga dapat dikombinasikan dengan metode
lainnya seperti dengan metode pemrograman matematik (Soemarno, 1991).
Penggunaan pemrograman matematik seperti linear programming, goal
programming, STEP method sangat berguna dalam memecahkan permasalahan
alokasi jenis-jenis penggunaan lahan. Problem alokasi sumberdaya muncul
apabila terdapat sejumlah aktivitas yang harus dilakukan dan terdapat keterbatasan
(kendala), baik dalam jumlah ketersediaan sumberdaya maupun dalam cara dan
waktu penggunaannya. Dalam kondisi seperti ini maka tujuan yang ingin dicapai
adalah mengalokasikan sumberdaya yang tersedia kepada aktivitas-aktivitas yang
ada secara optimal. Permasalahan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai
kondisi optimal ini dicakup dalam teknik-teknik optimalisasi dengan
menggunakan beberapa model matematika dan simulasi (Jeffers 1978; Soemarno
1991).
Optimalisasi mengisyaratkan upaya penemuan nilai maksimal atau
minimal dari beberapa fungsi matematis dengan jalan menetapkan harga bagi
paubah-peubah yang dapat dikendalikan hingga batas-batas tertentu.
Maksimalisasi merupakan proses penemuan nilai maksimal dari suatu fungsi
(Mize dan Cock, 1968). Kedua proses ini sering digunakan dalam pengalokasian
sumberdaya lahan pertanian yang menghadapi beberapa kendala.
Seringkali kita juga ingin mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan
yang mampu meningkatkan keluaran yang diinginkan dari suatu sistem dengan
jalan memodifikasi struktur sistem atau mengubah cara pengelolaan sistem yang
ada. Hal ini merupakan alasan utama bagi penggunaan model- model yang
memungkinkan kita untuk mengungkapkan dan menelaah
konsekuensi-konsekuensi dari perubahan tersebut.
Salah satu model yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah
optimalisasi berkendala adalah pemrograman matematika (Agrawal dan Heady,
1972). Suatu bentuk yang sederhana dari model ini adalah pemrograman linear
atau linear programming.
Keuntungan dari model- model optimalisasi adalah bahwa mereka mampu
mengungkapkan dua hal penting dari permasalahan yang dihadapi, yaitu : (1)
penyelesaiannya memberikan nilai- nilai bagi alternatif aktivitas yang diperlukan
untuk mencapai nilai maksimal atau minimal dari fungsi tujuan, dan (2)
menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan guna memperbaiki
nilai optimal dari fungsi tujuan (Dantzig, 1963).
Penggunaan model program linear untuk menyelesaikan permasalahan
menghendaki beberapa persyaratan dan asumsi. Lima macam persyaratannya
adalah : adanya tujuan yang ingin dicapai, adanya alternatif kombinasi aktivitas
yang dapat saling diperbandingkan, rumusan kuantitatif (model matematik),
sumberdaya yang terbatas, dan keterkaitan peubah (hubungan fungsional).
proporsionalitas, aditivitas, kontinuitas (divisibilitas), dan deterministik (Nasendi
dan Anwar 1985).
Apabila suatu permasalahan mempunyai tujuan lebih dari satu (bertujuan
ganda) dan tidak saling menenggang, maka model program linear harus
dimodifikasi. Hasil modifikasi ini disebut Program Tujuan Ganda (PTG) atau
Goal Programming atau Multiple Objective Goal Programming (Ignizio, 1978).
Pada dasarnya analisis PTG ini bertujuan untuk meminimalkan simpangan
(deviasi) terhadap berbagai tujuan, sasaran atau target yang telah ditetapkan
dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut
secara memuaskan sesuai dengan kendala yang ada. Sehingga dengan prosedur
analisis ini dapat dicoba untuk mendeteksi sedekat mungkin target-target tersebut
sesuai dengan skala prioritasnya (Keeney dan Raiffah, 1976).
2.3.1. Goal Programming
Dalam keadaan dimana seseorang pengambil keputusan dihadapkan pada
persoalan yang mengandung beberapa tujuan didalamnya, maka program linier
tidak dapat membantunya untuk memberikan pertimbangan ya ng rasional karena
program linier hanya terbatas pada analisis tujuan tunggal. Berangkat dari
kelemahan ini maka dikembangkan Program Tujuan Ganda (multi objectives goal
programming). Salah satuya adalah Goal Programming yang dikembangkan oleh
Charnes dan Cooper tahun 1961. Menurut Bottoms (1975) Satu dari kelemahan
utama penggunaan Linear Programming dalam pengelolaan sumberdaya adalah
bahwa hanya satu kriteria untuk menentukan strategi optimal yang digunakan.
ber-konflik. Trade off antar tujuan didemonstrasikan oleh perbandingan hasil- hasil
dari banyak target yang diperkirakan dari pilihan-pilihan tujuan adalah bervariasi.
Goal Programming merupakan alat pengambilan keputusan yang sangat fleksible
yang dapat mengnyelesaikan banyak masalah keputusan secara lebih efektif.
Sebagai ilustrasi masalah tersebut dicontohkan oleh Charnes dan Cooper
dalam Balangue (1979) sebagai berikut :
Maksimumkan : Z = X1 + X2 ……….…. (1)
Dengan syarat ikatan (kendala) :
3X1 + 2X2 < 12 ……..……….. (2)
5X1 < 10 …..………. (3)
X1 + X2 < 8 ……….……….……… (4)
- X1 + X2 < 4 ……….….…………..………… (5)
X1, X2 > 0 ……….….……….…. (6)
Pemecahan masalah secara grafis menggambarkan adanya dua daerah
kemungkinan solusi yang memenuhi persyaratan kendala akan tetapi tidak saling
overlap (Gambar 5). Kondisi demikian tidak menghasilkan daerah penyelesaian
yang layak (infeasibele) sehingga permasalahan tidak dapat dipecahkan dengan
program linier biasa. Pemecahannya adalah mempertimbangkan persamaan (1),
(4), dan (5) untuk dijadikan tujuan, sedang persamaan (2) dan (3) sebagai kendala.
Tujuan diubah menjadi ;
Meminimumkan Z = (X1 + X2 – 8 ) + (-X1 +X2 – 4). Inilah ide dasar dari
konsep goal programming. Goal programming mencoba meminimisasi jumlah
deviasi dari tujuan-tujuan atau target-target yang ingin dicapai daripada
linear programming. Yang dimaksud dengan deviasi pada goal programming
terdiri dari deviasi positif dan negatif adalah tidak lain dari peubah surplus dan
slack pada linear programming.
Cara memformulasikan program tujuan ganda hampir sama dengan
program linier, dimana pada tahap pertama dispesifikasikan permasalahan yang
dihadapi yang ingin dianalisis, kemudian ditetapkan peubah-peubah keputusan,
identifikasi kendala-kendala yang ada baik kendala-kendala sumberdaya maupun
kendala-kendala tujuan dan tentukan fungsi tujuannya. Asumsi-asumsi dasar
yang berlaku pada program linier juga berlaku pada program tujuan ganda seperti
additivitas, linearitas, proporsionalitas, deterministik, divisibilitas dan
non-negativity.
Model umum goal programming menurut Nasendi dan Anwar (1985), adalah :
di-, di+ : jumlah unit deviasi yang kekurangan (underachievement) dan deviasi kelebihan (overachievement) terhadap target (bi)
Wi,y : bobot yang diberikan terhadap deviasi kekurangan pada urutan ke- y
Wi,s : bobot yang diberikan terhadap deviasi kelebihan dalam urutan ke-s
Py & Ps : faktor- faktor prioritas ke- y dan ke-s
aij : koefisien teknologi dari fungsi kendala tujuan, yang berhubungan dengan peubah pengambilan keputusan (Xj) (Xj) : peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang dinamakan
sebagai sub tujuan (bi) : target yang ingin dicapai
gjk : koefisien teknologi untuk fungsi kendala fungsional Ck : jumlah sumberdaya k yang tersedia
Dalam model goal programming diatas terdapat m tujuan, p kendala
fungsional dan n peubah pengambilan keputusan. Pendekatan dengan model goal
programming ini solusinya tidak menjamin kondisi pareto optimal akan tetapi
berupa compromise solution atau satisfying solution, yaitu meminimalkan ketidak
puasan dan konflik antara pihak-pihak yang terkait sehingga hasilnya bersifat
second best solution. Jika dalam solusinya tercapai kondisi pareto optimal
hanyalah suatu kebetulan saja.
Program tujuan ganda telah banyak dipakai di berbagai disiplin ilmu dan
bidang pembangunan dalam rangka memecahkan permasalahan yang menyangkut
pengambilan keputusan pengelolaan dan administrasi secara tepat guna dan
berdaya guna. Nasendi dan Anwar (1985) menyatakan metode ini telah
menyusupi kehampir setiap bidang pembangunan seperti bidang pemasaran,
keuangan, pendidikan dan latihan kerja, kesehatan, militer, pertanian, kehutanan,
perencanaan wilayah dan tataguna lahan.
Bidang kehutanan, aplikasi mathematical programming telah dicoba oleh
Nasendi (1982) yang mengkombinasikan linear programming, transportasi
dengan goal programming yang kemudian disebut MOSKAYUINDO singkatan
dari Model Optimasi Sektor Perkayuan Indonesia (Nasend i dan Anwar, 1985).
MOSKAYUINDO merupakan model ekonomi untuk melakukan analisis dan
penilaian atau evaluasi tentang berbagai alternatif pengembangan dibidang
ekonomi dan perencanaan kehutanan, khususnya pengembangan perkayuan
Indonesia baik secara nasional, regional maupun local. Tujuan MOSKAYUINDO
antara lain :
1. Menganalisis dan mengidentifikasi pola suplai kayu paling efisien untuk
memenuhi berbagai permintaan pasar baik tingkat lokal, nasional maupun
internasional.
2. Menyusun suatu strategi yang optimal dalam sistem angkutan kayu antar
pulau dan distribusi kayu dari wilayah produsen ke wilayah konsumen.
3. Menentukan lokasi- lokasi yang optimal untuk kegiatan pembalakan dan
pembukaan wilayah, pembangunan industri, serta analisis kapasitas dan
Model ini berhasil memperlihatkan proses perencanaan hutan yang
memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan dalam kerangka politik yang
interaktif, partisipatif, dan kompromistik. Kelemahan studi ini adalah
digunakannya data hipotetik sehingga proses tawar- menawar dalam studi ini
masih diragukan.
Balangue (1979) menerapkan goal programming untuk memecahkan
masalah pengelolaan hutan secara terpadu di kawasan hutan Makiling seluas
4 244 ha di Los Banos Philipina. Hutan ini diperuntukkan bagi berbagai tujuan
diantaranya : rekreasi (kenyamanan), keanekaragaman hayati dan suplai air.
Karena itu harus ada pengaturan alokasi penggunaan areal hutan secara tepat yang
memuaskan permintaan tersebut tanpa mengorbankan kualitas lingkungan dan
menurunkan produktivitas hutan itu sendiri. Model goal programming
dikembangkan dengan kendala tujuan berupa produksi 26 jenis barang dan jasa,
net present value (NPV) pengelolaan hutan. Sedangkan kendala fungsionalnya
adala h biaya pengelolaan, sedimentasi, erosi, unsur nitrogen dan phosfor, jatah
tebangan tahunan dan luas areal tiap unit lahan (luas DAS, daerah rekreasi,
agroforestry, dan hutan tanaman).
Balteiro (2003) melakukan perbandingan dua model pendekatan analisis
yaitu model program tujuan ganda dengan model tujuan tunggal untuk
menyelesaikan masalah kebutuhan karbon ditangkap dalam pengelolaan
ekosistem hutan di Pinar de Navafria yang berlokasi di gunung “Sierra de
Guadarrama” dekat Madrid Spanyol. Hasilnya, solusi dengan pendekatan GP
menunjukan keunggulan-keunggulan dalam hal volume, area dan nilai akhir
pengurangan sekitar 11% dari NPV dan peningkatan sekitar 24% dalam total
keseimbangan karbon. Selanjutnya, volume kayu yang dipanen dan umur rotasi
hutan untuk delapan solusi yang didapat adalah agak mirip. Ringkasnya, solusi
yang diperoleh sungguh dapat diterima dari sudut pandang manajerial.
Bidang Pertanian, Pal (1996) mendemonstrasikan model perencanaan
penggunaan lahan di sektor pertanian melalui model GP yang berbasis pada
prioritas, analisis sensitivitas dengan variasi struktur prioritas dilakukan untuk
menunjukan bagaimana solusi sensitif terhadap perubahan struktur prioritas. Dan
fungsi “Euclidean Distance” ditunjukan untuk mengukur ketepatan struktur
prioritas dalam suatu perencanaan. Struktur prioritas mana yang terbaik untuk
solusi ideal yang disetujui teridentifikasi sebagai struktur prioritas yang tepat
untuk menghasilkan solusi yang sangat memuaskan.
Bidang Pengelolaan Anggaran Pembangunan, model goal
programming telah digunakan oleh Masduki (2005), untuk menentukan alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Indramayu. Target
maksimisasi Output, maksimisasi tenaga kerja, dan maksimisasi pajak diperoleh
dengan melakukan analisis optimasi dengan model program linier dengan
kendala-kendala yang dipertimbangkan antara lain : input antara, input primer,
kapasitas produksi dan anggaran. Model ini merupakan kombinasi goal
programming dengan model input-output.
Bidang Pengelolaan Lahan, Ruslan (1989) menerapkan model goal
programming untuk studi penggunaan lahan di daerah aliran sungai (DAS)
Peusangan Aceh. Model serupa juga dilakukan oleh Soemarno (1991) di DAS
didasarkan pada hasil analisis secara parsial dari model- model erosi, hidrologi,
agroekologi (kesesuaian lahan), produksi pertanian dan model kependudukan.
Widaningsih (1991) menga nalisis penggunaan lahan kering yang dikelola dengan
sistem agroforestry di bagian DAS Cimanuk Jawa Barat dan Rachman (2000)
menggunakan model goal programming untuk menyusun strategi pengalokasian
lahan di Pulau Siberut Sumatera Barat.
Menurut Rachman (2000) pemodelan memerlukan tahapan dan ruang
lingkup guna memperoleh data yang diinginkan yaitu meliputi tahap-tahap:
penilaian situasi, stratifikasi/klasifikasi lahan, analisis kesesuaian lahan, evaluasi
penggunaan lahan dan alokasi penggunaan lahan. Tahapan-tahapan tersebut
diarahkan untuk mengidentifikasi tujuan penggunaan lahan, alternatif kegiatan
penggunaan lahan dan kendala-kendala sumberdaya untuk mencapai tujuan
penggunaan lahan.
Penilaian situasi yang ada ditujukan untuk mengetahui potensi ekosistem,
sistem sosial ekonomi, kebijakan pembangunan, isu- isu dan permasalahan yang
ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan masa lalu dan masa kini yang berkaitan
dengan penggunaan lahan. Survei dan inventarisasi faktor-faktor biofisik
ekosisitem mencakup luas dan distribusi satuan lahan, jenis-jenis tanah, air,
topografi, iklim, vegetasi dan satwa serta hubungan ekologis diantara
faktor-faktor tersebut. Kondisi tanah yang dihubungkan dengan faktor-faktor biofisik lain
sangat berguna dalam analisis berikutnya, yaitu analisis kemampuan lahan dan
penentuan kelas-kelas lahan yang lebih homogen. Data luas satuan lahan
merupakan salah satu data penting karena merupakan kendala fungsional dalam
Situasi sosial secara spesifik dilihat melalui data kependudukan,
pengetahuan tentang bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang terkait dengan
pengelolaan lahan, kehidupan keluarga, budaya, adat istiadat, mata pencaharian,
dan isu-isu sosial akibat adanya perubahan kondisi biofisik dan ekosistem.
Sedangkan situasi ekonomi dapat dilihat dari aspek-aspek pola penggunaan dan
pemilikan lahan, produktivitas lahan, pendapatan dan konsumsi keluarga, harga
faktor produksi lain, harga dan perdagangan hasil- hasil produksi pertanian,
tindakan-tindakan konserva si sumberdaya alam dan fasilitas perekonomian.
Pemahaman yang komprehensif terhadap hal- hal tersebut diatas
memberikan inspirasi dalam perhitungan demand (permintaan) akan barang dan
jasa yang dihasilkan oleh lahan baik pada saat penelitian maupun perkiraan
permintaan dimasa yang akan datang. Permintaan dan kebutuhan tersebut bisa
dibedakan dalam permintaan lokal, regional dan nasional. Permintaan lokal
mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal, sedangkan permintaan regional dan
nasional bisa berupa targe t produksi kabupaten maupun provinsi dan kebijakan
pemerintah tentang prioritas penggunaan lahan yang terkait dengan pembangunan
regional dan nasional. Berdasarkan pada perhitungan permintaan akan lahan,
barang dan jasa dari lahan dan data hasil inventarisasi kebijakan pemerintah, maka
diketahui tujuan penggunaan lahan atau pengelolaan kawasan, yang dapat
dikuantifikasi menjadi target dalam penyusunan model penggunaan lahan. Target
ini bukan hanya dalam bentuk jumlah permintaan barang yang dihasilkan dari
lahan, tetapi juga menyangkut ekonomi lingkungan yang dicerminkan dengan Net
Present Value (NPV) dan tingkat erosi yang diinginkan dari usaha
tenaga kerja dan modal petani merupakan parameter yang penting karena menjadi
kendala fungsional dalam model yang disusun.
Stratifikasi atau klasifikasi lahan diarahkan pada penilaian sifat-sifat lahan
seperti topografi, sifat fisik dan kimia tanah dibandingkan dengan kriteria yang
biasa dipakai di Indonesia. Keluaran dari analisis ini adalah peta kelas-kelas
satuan lahan yang dianggap mempunyai keseragaman sifat-sifat dan diskripsi
kemampuan lahan untuk arahan pemanfaatannya dalam kelompok penggunaan
lahan.
Analisis kesesuaian lahan berhubungan dengan evaluasi alternatif
penggunaan lahan yang lebih spesifik dari arahan penggunaan lahan yang telah
ditetapkan dalam stratifikasi satuan lahan. Kombinasi satuan lahan dan alternatif
penggunaannya untuk menghasilkan komoditas tertentu menjadi variabel
keputusan dalam model yang disusun.
Evaluasi Penggunaan Lahan : alternatif strategi pengelolaan lahan tersebut
perlu dievaluasi dampaknya secara sosial (acceptability), secara ekonomi
(produktivitas, biaya dan keuntungan) dan secara lingkungan.
Alokasi Penggunaan Lahan : tahap ini meliputi perumusan model
operasional penggunaan lahan, simulasi model dengan berbagai skenario dan
interpretasi hasil.
2.3.2. Konservasi Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Western Cape Education Depertment/WECD (1987) dalam
Siregar (2004) pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi