• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990 – 2003)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990 – 2003)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG KECAMATAN BALIGE (1990-2003)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : EKO RENOLD TAMBUNAN

NIM : 080706018

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG KECAMATAN BALIGE (1990-2003)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : EKO RENOLD TAMBUNAN

NIM : 080706018 Pembimbing

Dra. Peninna Simanjuntak, M.S. Nip: 196102261986012001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG KECAMATAN BALIGE (1990-2003)

Yang diajukan oleh : Nama : Eko Renold Tambunan Nim : 080706018

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Dosen Pembimbing,

Dra. Peninna Simanjuntak, M.S. Tanggal 21 Mei 2014 NIP. 196102261986012001

Ketua Departemen Ilmu Sejarah,

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal 21 Mei 2014 NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Lembar Pengesahan Skripsi

PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG KECAMATAN BALIGE (1990-2003)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : EKO RENOLD TAMBUNAN

NIM : 080706018 Pembimbing

Dra. Peninna Simanjuntak, M.S. NIP. 196102261986012001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(5)

Lembar Persetujuan Ketua DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua,

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 196409221989031001

Medan, Mei 2014

(6)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Dekan,

Drs. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

(7)

ABSTRAK

Lumban Silintong sebagai salah satu desa di Balige memiliki perkembangan ekonomi yang layak untuk diteliti. Perkembangan dimaksud dipengaruhi antara lain oleh pemekaran kabupaten, pembangunan fisik, kepadatan penduduk hingga objek wisata. Meskipun demikian, sebagai sumber mata pencaharian terbesar, bidang pertanian juga mendapat pengaruh perkembangan yang menggambarkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong. Selain perkembangan ekonomi, dalam bidang sosial antara lain adat-istiadat, hubungan kekerabatan, dan sebagainya.

Skripsi ini bertujuan menjelaskan kondisi sosial ekonomi masyarakat Lumban Silintong pra-1990, kemudian pada dekade 1990-2003, dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong. Sementara itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik, mengumpulkan sumber dengan melakukan cross check wawancara narasumber dan dokumen yang terbatas. Kemudian melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilah sumber yang telah dikritik, diteruskan ke tahap penulisan.

Perkembangan sosial ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong mengalami pasang surut, walaupun tidak turun atau naik secara terjal. Pada masa sebelum 1990, Lumban Silintong tampak masih desa yang sepi, baik dari perbincangan apalagi kunjungan pendatang. Kehidupan warga yang mengandalkan pertanian tampaknya tidak cukup menjadi tumpuan hidup. Pasalnya di era ini, banyak keluarga dan juga kaum muda yang memilih merantau untuk menyambung hidup umumnya ke kota-kota besar. Sementara sepanjang dekade 1990-2003 ternyata dampak kehidupan di Indonesia seperti di kota-kota besar turut menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat Lumban Silintong yang sebelumnya merantau banyak pulang kampung. Perpindahan kembali penduduk ini khususnya pada paruh kedua tahun 1990-an yang mana negara ini tengah dilanda badai krisis. Namun seiring reformasi yang menjadi penanda menuju akhir1990-an, muncullah beberapa kebijakan berupa otonomi daerah seperti pemekaran yang walaupun gaungnya tidak spesifik ke Desa Lumban Silintong namun setidaknya membuat masyarakat perantau yang pulang kampung untuk memilih bertahan di kampung. Sebagai dampak positifnya adalah adanya pembukaan objek wisata pantai Lumban Silintong yang diawali oleh masyarakat setempat, khususnya perantau yang kembali ke kampung. Mereka kemudian meramaikan tempat tersebut dengan tempat-tempat rekreasi. Dengan demikian, satu bentuk mata pencaharian bertambah di desa ini. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa, perkembangan sosial ekonomi masyarakat Lumban Silintong mengalami peningkatan cukup signifikan.

(8)

KATA PENGANTAR

Indonesia sebagai negara agraris sangat terkenal dengan pedesaan yang menjadi

indikator pertanian. Desa sejak masa penjajahan kolonial Belanda telah menjadi lumbung

sumber daya alam terutama pertanian pangan yang banyak dikuasai para raja. Beras

umpamanya menjadi komoditi utama dalam perdagangan desa-desa untuk ditukarkan ke

berbagai bentuk barang dari daerah lain berupa perhiasan dan perlengkapan sehari-hari.

Saling hubung antara desa dan kota terlihat dari pertukaran barang-barang kebutuhan

masyarakat sesuai dengan perkembangan zamannya. Meskipun demikian, barang kebutuhan

maupun material lainnya tidak pernah berhenti dipasarkan di kota. Oleh karena itu, desa

sangat berperan penting dalam menjaga stabilitas kehidupan manusia. Sebaliknya kehidupan

kota yang lebih terlihat sejahtera patut menjadi harapan bagi orang desa. Dengan demikian,

desa sebagai simbol agraria menjadi sangat sentral pula bagi bangsa dan negara.

Perkembangan suatu desa acapkali terlihat dari objek pendapatan berupa hasil pertanian.

Pertanian hingga kini masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia.

Sekalipun di berbagai daerah, ekosistem wilayahnya ada yang sudah berubah menjadi daerah

perkotaan dan perindustrian, namun pertanian masih tetap merupakan andalan utama bagi

kehidupan masyarakat.

Pada kajian ini, Lumban Silintong diambil sebagai satu desa yang mendapat perhatian

seiring pemekaran Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dikarenakan bahwa pusat pemerintahan

yang terletak tidak jauh dari Desa Lumban Silintong, Balige. Dengan demikian, kehadiran

ibukota kabupaten serta pusat pemerintahan yang bersebelahan langsung dengan Lumban

(9)

Di samping sebagai petani, kehadiran institusi pemerintah dan swasta turut

mendorong sistem perekonomian baru. Adapun pertanian merupakan sistem utama

pencaharian masyarakat Desa Lumban Silintong. Selain itu, terdapat pula masyarakat yang

bermata pencaharian sebagai nelayan yang berjumlah 22 kepala keluarga. Sementara itu,

salah satu sistem perekonomian lain yang didorong oleh keberadaan kabupaten baru adalah

objek wisata pantai Lumban Silintong.

Lumban Silintong merupakan desa yang wilayahnya memanjang (sejajar) mengikuti

arah Utara pantai Danau Toba membuat desa ini berbeda dengan desa lainnya di Balige. Sisi

pantai Lumban Silintong merupakan objek wisata yang memiliki keindahan estetika. Tentu

saja tidak semua desa yang memiliki pantai berpotensi menjadi objek wisata. Sebagai lokasi

wisata, desa ini menjadi salah satu pilihan orang-orang setempat dan dari luar Balige, seperti

Tarutung bahkan Parapat, untuk menikmati indahnya Danau Toba sembari bersantai.

Medan, Mei 2014

Penulis,

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ungkapan ini adalah ucapan rasa syukur penulis kepada orang-orang yang telah

berjasa atau banyak membantu, namun tidak pernah sekalipun mengharapkan balasan

maupun imbalan hingga penulisan skripsi ini selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan puji dan syukur serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Tuhan Yang Maha Esa karena penyertaan-Nya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan

skripsi ini.

Dengan demikian, penulis menyampaikan terima kasih atas peranan:

1. Kepada Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya.

2. Kepada Drs. Edi Sumarno, M.Hum. selaku Ketua Departemen Sejarah dan Dra.

Nurhabsyah, M.Si. yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis.

3. Kepada Ibu Dra. Penina Simanjuntak, M.S. sebagai dosen pembimbing yang selalu

mengingatkan penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini dan banyak meluangkan

waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna membantu dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

4. Kepada Dra. Lila Pelita Hati, M.Si. selaku dosen wali penulis yang telah memberikan

arahan dan masukan kepada penulis semasa mengikuti perkuliahan di Departemen

Sejarah.

5. Serta tidak lupa kepada dosen-dosen Departemen Sejarah dan dosen departemen lain

yang pernah mengajar di Departemen Sejarah yang telah memberikan rangsangan

dalam belajar sejarah selama ini.

6. Kepada kedua orang tua saya, Ayah M. Tambunan dan Ibu T. Hutahayan yang selama

(11)

serta selalu mendukung penulis dalam setiap langkah. Semangat yang diberikan

kepada penulis sebagai anaknya untuk terus belajar dan menggapai pendidikan

setinggi-tingginya juga ketulusan serta kekuatan hati dalam mendidik penulis adalah

sebuah nilai yang tiada taranya dan sebagai penyulut semangat penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada keluarga besar yang banyak memberikan dorongan dan bantuan kepada

penulis, terkhusus kepada abangda Jekson Rommel Tambunan, Harry Norton

Tambunan, Josua Freddy Tambunan dan juga kepada kakak satu-satunya, Evi Silvana

Renata Tambunan, terima kasih atas semangat, nasehat dan dukungan yang diberikan

kepada penulis, sehingga menjadi salah satu pendorong bagi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

8. Untuk sahabat dekat, Jakob Siringoringo, yang selalu mengingatkan penulis agar

tetap semangat dalam menyusun hingga selesainya skripsi ini.

9. Kepada teman-teman stambuk 2008 (KOSLAP): Resty, Wenny, Marco, Suranta, Eri,

Mangihut dan semua teman-teman KOSLAP. Bagi kawan diKOSLAP yang sudah

wisuda semoga cepat sukses. Kepada teman-teman yang belum wisuda semoga masih

tetap semangat dan tetap konsisten akan tanggung jawab moral kita untuk

menamatkan studi. Terakhir teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah USU (HIMIS)

yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.

10.Teristimewa untuk Maria Casuarina Finzah Piniel Manik yang telah banyak

membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

11.Kepada GEMA PRODEM (Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi), terima kasih untuk

(12)

makna sebuah kehidupan. Penulis juga menyadari bahwa pencapaian segala

sesuatunya selama penulis menjadi mahasiswa tidak terlepas dari proses yang penulis

jalani bersama kawan-kawan seperjuangan. Tetaplah suarakan pekik perjuangan kita,

DEMOKRASI...untuk RAKYAT!

Penulis menyadari bahwa skripsi sejarah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik

historis yang ilmiah serta objektif sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki tulisan ini dalam

usaha melakukan rekonstruksi sejarah. Sebagai penutup penulis menyampaikan terima kasih

kepada semua pihak, semoga skripsi ini dapat menambah referensi dan perbendaharaan

tulisan sejarah.

Medan, Mei 2014 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

Halaman

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 10

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4.Tinjauan Pustaka ... 11

1.5.Metode Penelitian ... 13

BAB II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM 1990... 17

2.1. Letak Geografis ... 17

2.2. Latar Belakang Historis ... 20

2.3. Penduduk ... 23

2.4 Kelembagaan di Desa ... 28

2.5 Sosial Budaya ... 29

2.6 Mata Pencaharian ... 37

BAB III PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI DESA LUMBAN SILINTONG (1990-2003)... 45

3.1. Dampak Pemekaran Kabupaten ... 45

3.2. Kehidupan Ekonomi ... 57

3.3. Kehidupan Sosial ... 67

BAB IV FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG ... 73

(14)

4.2. Faktor Pendidikan ... 79

4.3. Faktor Mekanisasi Pertanian ... 81

4.4. Objek Wisata... 83

BAB V PENUTUP ... 86

5.1. Kesimpulan ... 86

5.2. Saran ... 87

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya ... 18

Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong ... 19

Tabel 3. Distribusi penduduk Desa Lumban Silintong berdasarkan jenis kelamin ... 21

Tabel 4. Jenis Sarana Sosial ... 26

Tabel 5. Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 40

Tabel 6. Jumlah penduduk Lumban Silintong tahun 2001 ... 52

(16)

ABSTRAK

Lumban Silintong sebagai salah satu desa di Balige memiliki perkembangan ekonomi yang layak untuk diteliti. Perkembangan dimaksud dipengaruhi antara lain oleh pemekaran kabupaten, pembangunan fisik, kepadatan penduduk hingga objek wisata. Meskipun demikian, sebagai sumber mata pencaharian terbesar, bidang pertanian juga mendapat pengaruh perkembangan yang menggambarkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong. Selain perkembangan ekonomi, dalam bidang sosial antara lain adat-istiadat, hubungan kekerabatan, dan sebagainya.

Skripsi ini bertujuan menjelaskan kondisi sosial ekonomi masyarakat Lumban Silintong pra-1990, kemudian pada dekade 1990-2003, dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong. Sementara itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik, mengumpulkan sumber dengan melakukan cross check wawancara narasumber dan dokumen yang terbatas. Kemudian melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilah sumber yang telah dikritik, diteruskan ke tahap penulisan.

Perkembangan sosial ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong mengalami pasang surut, walaupun tidak turun atau naik secara terjal. Pada masa sebelum 1990, Lumban Silintong tampak masih desa yang sepi, baik dari perbincangan apalagi kunjungan pendatang. Kehidupan warga yang mengandalkan pertanian tampaknya tidak cukup menjadi tumpuan hidup. Pasalnya di era ini, banyak keluarga dan juga kaum muda yang memilih merantau untuk menyambung hidup umumnya ke kota-kota besar. Sementara sepanjang dekade 1990-2003 ternyata dampak kehidupan di Indonesia seperti di kota-kota besar turut menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat Lumban Silintong yang sebelumnya merantau banyak pulang kampung. Perpindahan kembali penduduk ini khususnya pada paruh kedua tahun 1990-an yang mana negara ini tengah dilanda badai krisis. Namun seiring reformasi yang menjadi penanda menuju akhir1990-an, muncullah beberapa kebijakan berupa otonomi daerah seperti pemekaran yang walaupun gaungnya tidak spesifik ke Desa Lumban Silintong namun setidaknya membuat masyarakat perantau yang pulang kampung untuk memilih bertahan di kampung. Sebagai dampak positifnya adalah adanya pembukaan objek wisata pantai Lumban Silintong yang diawali oleh masyarakat setempat, khususnya perantau yang kembali ke kampung. Mereka kemudian meramaikan tempat tersebut dengan tempat-tempat rekreasi. Dengan demikian, satu bentuk mata pencaharian bertambah di desa ini. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa, perkembangan sosial ekonomi masyarakat Lumban Silintong mengalami peningkatan cukup signifikan.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara agraris sangat terkenal dengan pedesaan sebagai basis

pertanian. Desa sejak masa penjajahan kolonial Belanda telah menjadi lumbung sumber daya

alam terutama pertanian pangan yang banyak dikuasai para raja. Beras umpamanya menjadi

komoditi utama dalam perdagangan desa-desa untuk ditukarkan ke berbagai bentuk barang

dari daerah lain berupa perhiasan dan perlengkapan sehari-hari.

Berkaitan dengan ini, jenis mata pencaharian merupakan faktor pembeda yang pokok

dan penting.1

Petani secara umum sering dipahami sebagai suatu ketegori sosial yang seragam dan

bersifat umum. Artinya sering tidak disadari adanya differensiasi atau perbedaan-perbedaan

dalam berbagai aspek yang terkandung dalam komoditas petani. Perbedaan dalam skala besar

kecilnya usaha pertanian, jenis-jenis tanaman, sistem pertanian yang diterapkan akan

mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan terhadap pola kehidupan petani. Selama ini Pertanian sebagai ciri utama kehidupan masyarakat di pedesaan adalah

petunjuk betapa eratnya keterkaitan antara pertanian dan desa. Petani adalah subjek dan

sekaligus objek pertanian, tanpa petani pertanian tidak ada. Bidang pertanian cukup

mengandung variasi dan kompleksitas yang memiliki pengaruh terhadap proses perubahan

dan keberlangsungan kehidupan petani khususnya di daerah pedesaan.

1

(18)

kita lebih memperhatikan komoditas sebagai subjek dan sekaligus objek pertanian, akibatnya

petani sebagai inti dari pertanian sering luput dari pertanian.

Desa sebagai tempat tinggal maupun tempat pemenuhan kebutuhan mempunyai

karakteristik yang tentu tidak sama antara desa satu dengan yang lain. Keberagaman

kehidupan petani di pedesaan adalah ciri khas tersendiri yang dimiliki suatu desa berdasarkan

jenis tanaman, sumber penghasilan dan faktor lain yang mendukung kehidupan manusia di

desa tersebut. Perbedaan itu banyak terjadi di beberapa desa yang dapat membedakan pola

perubahan kehidupan.

Desa sebagai sumber komoditi tentu membutuhkan kota sebagai pangsa pasar yang

menampung segala hasil pertanian. Keterhubungan desa dan kota tentu tidak terelakkan

sebagaimana keduanya dipisahkan secara geografis maupun aktivitas. Di sinilah, saling

hubung antara desa dan kota terlihat dari pertukaran barang-barang kebutuhan masyarakat

sesuai dengan perkembangan zamannya. Hal ini tercermin dari sistem ekonomi tradisional

yang dipakai pada masyarakat pedagang dan pelayar. Mereka antara lain melakukan barter

guna memenuhi kebutuhannya, baik sendiri maupun kebutuhan umum.

Pada masyarakat pedagang dan pelayar misalnya, mereka melakukan perdagangan

dan pelayaran ke daerah-daerah di luar kampungnya untuk memenuhi atau guna mencukupi

kebutuhan hidup yang tidak bisa dipenuhinya atau dihasilkannya sendiri oleh mereka,

sehingga perlu melakukan perdagangan dan pelayaran.

Meskipun demikian, barang kebutuhan maupun material lainnya tidak pernah

berhenti dipasarkan di kota. Oleh karena itu, desa sangat berperan penting dalam menjaga

(19)

menjadi harapan bagi orang desa. Dengan demikian, desa sebagai simbol agraria menjadi

sangat sentral pula bagi bangsa dan negara.

Perkembangan suatu desa acapkali terlihat dari objek pendapatan berupa hasil

pertanian. Di sini, pertanian rakyat banyak sekali ragamnya. Pertanian yang awalnya

digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah untuk memenuhi kebutuhan semua

orang, sehingga pertanian mengalami pertumbuhan. Di samping itu, dalam waktu terakhir

terdapat berbagai perubahan, maka pertumbuhan pertanian kerapkali tidak berjalan dalam

garis lurus.

Lebih jauh, pembangunan ekonomi di Indonesia telah menimbulkan dampak serius,

antara lain kesenjangan pembangunan antara sektor perkotaan dan pedesaan atau sektor

modern dan sektor tradisional (sektor-sektor kerakyatan). Untuk itu diprioritaskan

upaya-upaya untuk memperkuat sektor tradisional-kerakyatan dan pemerintah menjadi fasilitator

penggeraknya. Sektor-sektor ini harus terbuka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan

dan kesempatan-kesempatan domestik maupun global.2

2

S, Sumarno M dalam makalah berjudul Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan Melalui Pengembangan Kimdes (Kawasan Industri Milik Masyarakat Desa), Malang: Unibraw.

Seringkali dari stadium tertentu dapat timbul suatu pertumbuhan dalam berbagai arah

yang dapat tergantung dari banyak keadaan. Pertumbuhan pertanian mencakup perubahan

penyesuaian kepada alam. Perubahan-perubahan itu dapat bertalian dengan bertambah

padatnya penduduk, sehingga diperlukan penggunaan tanah dengan lebih intensif, tetapi

mungkin juga ada sebab-sebab lain, misalnya bertumbuhnya lalu lintas yang menimbulkan

(20)

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka dari itu perlu dilakukan peningkatan

hasil pertanian dengan berbagai upaya. Di antaranya adalah sistem penanaman tanaman

tumpang sari dan penggunaan alat-alat pertanian yang lebih baik. Dalam membajak sawah

yang awalnya hanya menggunakan cangkul, membutuhkan waktu lama dapat diganti dengan

membajak memanfaatkan tenaga hewan.

Pertanian, sebagaimana diketahui hingga kini masih merupakan mata pencaharian

utama bagi masyarakat Indonesia. Sekalipun di berbagai daerah, ekosistem wilayahnya ada

yang sudah berubah menjadi daerah perkotaan dan perindustrian, namun pertanian masih

tetap merupakan andalan utama bagi kehidupan masyarakat. Pada tahun 1990, sumbangan

sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar 21,55%.3

Dalam perkembangannya, sejak era otonomi daerah bergulir, berdasarkan UU Nomor

12 Tahun 1998 Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten baru hasil pemekaran yang

diresmikan pada 09 Maret 1999. Toba Samosir memisahkan diri dari Kabupaten Tapanuli

Utara dan merupakan salah satu kabupaten pemilik Danau Toba yang menjadi destinasi Mata pencaharian utama ini perlu diperhatikan secara berkesinambungan agar

kelangsusngan hidup desa tidak selamanya terbelakang. Dalam hal ini perkembangan

sosial-ekonomi suatu desa layak ditulis untuk melihat perkembangan sekaligus membenahi

kekuarangan yang masih banyak terdapat di masyarakat. Di sini, Desa Lumban Silintong,

Kecamatan Balige merupakan fokus kajian skripsi ini.

3

(21)

wisata nasional.4 Pemekaran Toba Samosir menempatkan Balige sebagai ibukota setelah

melalui uji kelayakan menurut ketentuan dan tata kelola demi masa depan yang diharapkan.5

Pada kajian ini, Lumban Silintong diambil sebagai satu desa yang mendapat perhatian

penting di kecamatan Balige.

Pemekaran ini meninggalkan Tarutung sebagai pusat pemerintahan dan segala bagian

administrasi lokal. Untuk itu, Balige mengalami pergeseran peran bagi masyarakat sekitar

Toba Samosir. Dalam hal ini, pergeseran secara sosial-ekonomi menjadi sorotan penting,

bukan saja bagi Balige, namun juga bagi masyarakat Toba Samosir di bawah setiap

kecamatan. Sebagai kecamatan, Balige memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat

setempat di antaranya yang terdekat adalah Desa Lumban Silintong.

6

Di samping sebagai petani, kehadiran institusi pemerintah dan swasta turut

mendorong sistem perekonomian baru. Adapun pertanian merupakan sistem utama

pencaharian masyarakat Desa Lumban Silintong. Akan tetapi terdapat juga masyarakat yang Hal ini tidak terlepas dari pusat pemerintahan relatif dekat dari

Desa Lumban Silintong, Balige. Dengan demikian, kehadiran kecamatan serta pusat

pemerintahan yang bersebelahan langsung dengan Lumban Silintong tentu memberikan

dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat desa tersebut.

4

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Toba Samosir 1993-2003, Balige: Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Toba Samosir, 2004, hal. 35.

5

Safitri Simangunsong, Perkembangan Balige sebagai Ibukota Kabupaten Toba Samosir (1999-2011), Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah Pada Universitas Negeri Medan Tidak Diterbitkan, Medan: 2012, hal. 1-3.

6

Kecamatan Balige merupakan kecamatan terpadat penduduknya karena kecamatan ini merupakan pusat ibukota kabupaten. Jumlah penduduk kecamatan Balige sebanyak 44. 389 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 487,5/km persegi.

(22)

bermata pencaharian sebagai nelayan. Di samping mata pencaharian di atas muncul sistem

perekonomian baru yang didorong oleh keberadaan kabupaten baru yakni objek wisata pantai

Lumban Silintong.

Lumban Silintong merupakan desa yang wilayahnya memanjang (sejajar) mengikuti

sisi Selatan pantai Danau Toba, sehingga membuat desa ini berbeda dengan desa lainnya di

Balige. Sisi pantai Lumban Silintong merupakan objek wisata yang memiliki estetika. Tentu

saja tidak semua desa yang memiliki pantai berpotensi menjadi objek wisata. Sebagai lokasi

wisata, desa ini menjadi salah satu pilihan orang-orang setempat dan dari luar Balige, seperti

Tarutung bahkan Parapat, untuk menikmati indahnya Danau Toba sambil bersantai.

Pada tahun 1999, seorang warga memulai pondok-pondok sederhana sebagai modal

awal untuk menarik perhatian pengunjung.7

Dari pengamatan tersebut, mereka mulai percaya bahwa lokasi wisata akan turut

mendongkrak pendapatan mereka. Dengan kata lain, wisata tersebut diharapkan mampu

menjadi penopang ekonomi masyarakat. Melalui objek wisata yang terus mereka Ketika itu satu dua pengunjung berdatangan,

meskipun kondisi jalan belum diaspal. Usaha tersebut tetap berlangsung sambil menantikan

pembangunan menyentuh Lumban Silintong, khususnya tepi pantai. Perjalanan usaha

tersebut dilihat cukup menjanjikan, sehingga mereka memilih untuk terus mengubah sisi

pantai Desa Lumban Silintong.

7

(23)

kembangkan sendiri, Lumban Silintong secara perlahan mendapatkan perhatian para

pengunjung.

Sepanjang uraian di atas, Lumban Silintong sebagai salah satu desa di Balige

memiliki perkembangan ekonomi yang layak untuk diteliti. Perkembangan tersebut

dipengaruhi oleh pemekaran kabupaten, pembangunan di Balige, pasar tradisional, kepadatan

penduduk dan pariwisata. Selain perkembangan ekonomi, dalam bidang sosial antara lain

adat-istiadat, hubungan kekerabatan, dan sebagainya.

Berbicara mengenai perkembangan masyarakat desa, maka ada baiknya terlebih

dahulu diketahui latar belakang dari desa yang dibicarakan. Manusia hidup selalu

menyesuaikan diri dengan faktor lingkungannya dan tingkat pengalaman hidup mereka.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang “Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990-2003)”. Untuk menjelaskan kondisi sosial di desa ini akan dimulai dari keadaan alam lingkungannya dan perkembangan

pertanian mereka.

Pertanian merupakan faktor utama dari kelanjutan hidup masyarakat secara

keseluruhan. Di Desa Lumban Silintong perubahan-perubahan sosial yang ada serta keadaan

masyarakatnya tidak terlepas dari pengaruh kegiatan pertanian.

Kebiasaan-kebiasaan tradisional yang pada hakikatnya telah mendarah daging di

kalangan petani Desa Lumban Silintong berangsur-angsur berkurang akibat pengaruh

lingkungan dan pengaruh dari desakan-desakan sistem pertaniannya yang tidak lagi

mengenal masa istirahat. Pengaruh luar berproses melalui kegiatan pertanian yang mana

aktivitas masyarakat secara keseluruhan terlihat menonjol pada aspek pertanian dan agama.

(24)

Sebelum mereka mengenal mekanisasi pertanian dan pengaruh agama Kristen,

kehidupan mereka ditentukan oleh adat istiadat dan kepercayaan terhadap Debata Mulajadi

Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar). Cara bertani mereka dilakukan dengan

sistem tradisional. Kepercayaan terhadap kegaiban-kegaiban alam selalu dikaitkan dengan

kegiatan pertanian. Sebagai contoh yaitu tentang cara menanam padi. Menanam padi hanya

dilakukan sekali setahun dengan ketentuan harus serentak bagi setiap penanam padi.

Interaksi sosial secara intern maupun ekstern menunjang pula perkembangan sosial

secara keseluruhan ke tingkat kondisi masyarakat yang lebih baik. Kegiatan-kegiatan sosial

yang beragam dalam kehidupan tradisional dianggap sebagai pemborosan waktu. Pesta-pesta

adat diambil alih oleh kegiatan keagamaan yang selalu diselenggarakan dengan sederhana

saja.

Perkembangan ekonomi dan kelancaran komunikasi pada masyarakat desa selalu

terasa di dalam penentuan arah gerak dari kelanjutan hidupnya. Pengenalan unsur baru yang

sebelumnya tidak dijumpai dianggap terbaik, mengakibatkan berubahnya kondisi masyarakat

petani. Jaringan-jaringan sosial berdasarkan aktivitas sehari-hari dan ikatan kekeluargaan

berakibat langsung terhadap tinggi rendahnya pengaruh golongan mayoritas kepada golongan

minoritas. Di mana golongan minoritas selalu tidak mampu bertahan mengimbangi pengaruh

golongan mayoritas yang berlaku di antara penduduk desa sendiri dan juga

kenyataan-kenyataan yang dihadapi masyarakat memaksa mereka berlomba ke arah pengejaran mata

uang.

Desa Lumban Silintong dihuni oleh suku Batak Toba yang sebagian besar

penduduknya bermata pencaharian bertani, selalu mengalami perubahan-perubahan kondisi

(25)

program pemerintah selalu membutuhkan kerjasama dari penduduk. Dukungan dan ide-ide

baru dari penduduk desa sangat dibutuhkan dalam penciptaan keberhasilan pembangunan

khususnya di daerah pedesaan.

1. 2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong

sebelum 1990?

b. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong

1990-2003?

c. Faktor-faktor apa yang mendorong perubahan sosial-ekonomi masyarakat Desa

Lumban Silintong?

1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian

Dari permasalahan di atas, penulis berusaha menjelaskan poin-poin permasalahan

sebagaimana tersebut di bawah ini:

a. Menjelaskan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong sebelum

(26)

b. Menjelaskan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban Silintong pada

1990-2003.

c. Menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial-ekonomi

masyarakat Desa Lumban Silintong.

Manfaat penelitian

Setiap penelitian tentu harus bermanfaat secara teoritis dan praktis.

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan menambah perbendaharaan sejarah

sosial-ekonomi.

b. Secara umum bermanfaat sebagai acuan tambahan bagi siapa saja yang berminat

untuk mengetahui atau meneliti sejarah sosial-ekonomi masyarakat Desa Lumban

Silintong.

c. Secara praktis bermanfaat bagi pemerintah sebagai pedoman untuk mengambil

kebijakan untuk membangun dan memajukan Desa Lumban Silindung.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Setiap penelitian membutuhkan referensi yang akurat untuk memandu dan

mengarahkan penelitian tepat pada sasarannya. Adapun referensi yang digunakan dalam

penelitian ini sebagai berikut:

Tania Murray Li dalam Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia

(27)

secara umum di Indonesia.8

Robert Chambers dalam Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa secara

Partisipatif (1996). Karya ini mengkaji tentang metode penelitian yang mempelajari

permasalahan masyarakat pedesaan secara partisipatif. Robert Chambers dalam buku ini

memaparkan tentang metode dan pendekatan yang memungkinkan masyarakat secara

bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan dan

kebijakan secara nyata.

Buku ini membahas sejarah dan ciri-ciri masyarakat daerah

pedalaman yang terus berubah, khususnya dalam kaitannya dengan cara mereka mencari

nafkah, dan bergesernya hubungan dengan sumber daya alam, dengan pasar, dan dengan

negara. Dari buku ini juga dapat dilihat persoalan-persoalan mengenai proses perubahan

dalam masyarakat pedalaman serta memiliki kesamaan permasalahan dengan pedalaman

yang akan diteliti.

9

Seminar Sejarah Lokal: Dinamika Masyarakat Pedesaan (1983) menguraikan

tentang proses perubahan dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa dalam

kaitannya dengan mata pencaharian seperti bidang pertanian. Secara umum buku ini

menggambarkan ciri-ciri dari kehidupan masyarakat Indonesia. Gambaran beberapa desa di

Indonesia masing-masing menunjukkan cirinya, baik dalam proses adat-istiadat, kerukunan,

8

Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

9

(28)

gotong royong dalam bekerja maupun konflik yang terdapat pada masyarakat. Perbandingan

yang ditampilkan di antara beberapa desa di Indonesia sungguh berbeda.10

Selanjutnya Soetomo dalam Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat (2008).11

Mulyadi S dalam Ekonomi Sumber Daya Manusia: dalam Perspektif Pembangunan

(2006), pusat kajiannya adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk diakibatkan

oleh empat komponen yaitu kelahiran, kematian, migrasi masuk dan keluar. Selisih antara

kelahiran dan kematian disebut pertumbuhan alamiah, sedangkan selisih antara migrasi

masuk dan keluar disebut migrasi neto. Mulyadi juga menambahkan mengenai gambaran laju

pertumbuhan penduduk.

Implementasi beberapa pengaturan tata ruang tampak secara hirarkis melalui kebijakan

spasial yang terintegrasi, meskipun dapat mengurangi pemusatan perkembangan sosial

ekonomi di kota-kota besar. Namun demikian, tidak jarang dijumpai masih ada warga

masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun di daerah

pedesaan. Warga masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada pada satu

kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah kemiskinan.

Dengan kata lain terjadilah disparitas desa-kota dan disparitas antarwilayah.

12

10

---, Seminar Sejarah Lokal: Dinamika Masyarakat Pedesaan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.

11

Sutomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

12

(29)

1. 5 Metode Penelitian

Penulisan sejarah yang deskriptif-analitis selalu menggunakan metode penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian sejarah adalah heuristik (pengumpulan sumber);

verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber); interpretasi (analisis dan sintesis); dan

historiografi (penulisan).13

Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan

terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari

segi substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah sumber tertulis, misalnya,

buku-buku atau dokumen yang terkait dengan perpustakaan daerah. Kritik ini disebut kritik

Heuristik

Heuristik atau pengumpulan data yang sesuai dan mendukung sumber objek yang

diteliti. Dalam hal ini, dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, sejarah lisan,

dan penelitian lapangan.

Dalam penelitian kepustakaan, dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku,

majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan

dengan judul yang dikaji. Kemudian sejarah lisan. Penelitian lapangan akan dilakukan

dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap

mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Verifikasi

13

(30)

intern. Mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber

tersebut agar diperoleh keautentikannya disebut kritik ekstern.

Interpretasi

Tahapan ketiga adalah interpretasi. Dalam tahapan ini, data yang diperoleh dianalisis

sehingga melahirkan satu analisis baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek

yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang

ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang

tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif.

Historiografi

Tahap keempat adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat

dipercaya menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha memperhatikan

aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis.

Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta untuk mendapatkan penulisan sejarah yang

kritis dan ilmiah.

Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan bahan-bahan seperti telah disebutkan di

atas, juga digunakan “ilmu-ilmu bantu” yang relevan dan fokus terhadap penelitian.

Ilmu-ilmu bantu yang merupakan pendukung Ilmu-ilmu sejarah disebut auxiliary sciences atau sister

disciplines yang penggunaannya tergantung pada pokok atau perode sejarah yang dikaji. Ilmu

bantu mempunyai fungsi-fungsi penting yang digunakan oleh para sejarawan dalam

(31)

ilmiah. Konsep-konsep dari ilmu sosial membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian

sejarah yang analitis-kritis ilmiah.

Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama abad ke-20 dan ke-21

ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan sejumlah

konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu

sosial lain. Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan

menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok

kajian. Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan

karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini

memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman

(32)

BAB II

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990

2. 1 Letak Geografis

Desa Lumban Silintong terletak di dataran tinggi Danau Toba yang termasuk wilayah

Kecamatan Balige. Pusat kegiatan terdapat di desa itu sendiri, di mana terdapat fasilitas

kantor Kepala Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), Pemberdayaan Kepala Keluarga (PKK) sampai Karang

Taruna. Kecuali fasilitas pendidikan, di desa ini terdapat tempat peribadatan (Gereja) dan

Balai Pelayanan Masyarakat (Polindes).

Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan pusat kecamatan adalah 1,5 kilometer.

Keadaan jalannya belum dapat ditempuh oleh kendaraan roda empat karena belum beraspal.

Di desa ini terdapat areal pertanian yang terhampar luas. Seluruh areal pertanian penduduk

Desa Lumban Silintong merupakan milik perseorangan.

Jalan menuju desa dibangun sejak 1970-an. Saat itu kondisi jalan masih terbuat dari

pasir putih dan belum aspal. Walaupun demikian, jalan tersebut dipelihara dengan baik,

karena di samping berfungsi sebagai penghubung Lumban Silintong dengan pusat pasar

(onan), juga berfungsi sebagai jalan penghubung dengan desa lainnya.

Desa Lumban Silintong terletak antara 905-1200 meter di atas permukaan laut,

(33)

pertanian. Seluruh areal pertanian diusahakan seefektif mungkin dengan tanaman padi. Curah

hujan turun pada Agustus hingga Desember dan bulan berikutnya terdapat musim kemarau

yang diselingi oleh hujan yang tidak teratur.

Desa Lumban Silintong dapat ditempuh dari dua arah, yakni dari Simpang Pemandian

dan dari Simpang Meat. Lumban Silintong dapat dilalui transportasi darat dan menggunakan

kapal motor. Jarak desa ini kira-kira 250 km dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara

dan memerlukan waktu sekitar enam jam perjalanan kendaraan roda empat.

Luas wilayah Desa Lumban Silintong meliputi 1,74 Km2 atau 1584, 27 hektar. Dari

areal tersebut dapat diperinci sesuai dengan fungsinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

[image:33.612.84.547.414.530.2]

pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya

No Fungsi Tanah Luas Tanah (Ha)

1 Sawah 100

2 Perumahan 74

Total 174

Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990

Tanah kering pada umumnya tidak ditanami tanaman keras. Tanah kering lebih

banyak dibiarkan kosong dan sebagian jadi tempat penggembalaan ternak seperti kerbau. Di

samping bertani sawah, penduduk juga memiliki ternak sebagai sumber mata pencaharian

(34)
[image:34.612.86.546.108.309.2]

Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong

No Jenis Ternak Jumlah Pemilik (orang)

1 Kerbau 20

2 Sapi 4

3 Babi 72

4 Ayam 50

5 Itik/Bebek 250

Jumlah 396

Sumber: Kecamatan Balige dalam Angka 1990

Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan desa-desa di sekitarnya tidaklah begitu

jauh. Jarak antara satu desa dengan desa yang lainnya hanya dipisahkan oleh areal pertanian

penduduk dan pemukiman. Hubungan antara satu desa dengan desa yang lain dihubungkan

oleh jalan yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Adapun batas-batas Lumban

Silintong dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sangkarnihuta dan Silalahi Pagar

Batu

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Longat

- Sebelah Barat Daya berbatasan dengan Desa Hinalang Bagasan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pardedeonan

(35)

2. 2 Latar Belakang Historis

Penduduk Desa Lumban Silintong telah mendiami desanya sejak zaman nenek

moyang mereka. Mereka dari generasi ke generasi hingga sekarang telah menjadi penduduk

asli Lumban Silintong. Jauh sebelum kedatangan Belanda ke Balige, masyarakat Lumban

Silintong hidup rukun dan damai. Berada di bawah Patuan Nagari, penduduk Lumban

Silintong turut berperang membantu Sisingamangaraja XII saat Belanda datang.

Nama Desa Lumban Silintong juga telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda.

Penduduk menamakan desa ini dengan nama Lumban Silintong atas dasar bahwa nama

tersebut berasal dari penamaan terhadap sebuah sudut kampung. Lumban dalam arti luas

dapat diartikan sebagai huta atau pemukiman, namun pada awalnya lumban lebih spesifik

sebagai dusun atau sub-desa.14

Pada umumnya daerah-daerah yang terdapat di kawasan Toba Samosir didiami oleh

suku bangsa Batak Toba, begitu juga halnya dengan Desa Lumban Silintong. Berdasarkan

sensus penduduk tahun 1987 Desa Lumban Silintong mempunyai penduduk 517 jiwa yang Sedangkan Silintong berarti garis-garis. Hal ini berangkat dari

tepian huta tersebut yang melintang seperti garis-garis. Hubungan Desa Lumban Silintong ke

daerah perkotaan seperti Balige, Parapat, Siantar, Tarutung dan seterusnya dihubungkan

melalui jalan provinsi.

2. 3 Penduduk

14

(36)

terdiri dari 120 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk tersebut dapat diperinci berdasarkan jenis

[image:36.612.88.547.174.288.2]

kelamin, seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Distribusi penduduk Desa Lumban Silintong berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 250

2 Perempuan 267

Jumlah 517

Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990.

Dari 517 jiwa penduduk Desa Lumban Silintong, penduduknya mayoritas menganut

agama Kristen Protestan. Mereka mengenal agama Kristen sejak abad XIX yang dibawa oleh

missionaris Jerman L. I. Nommensen.15

Namun pada masa ini kearifan budaya lokal belum bisa ditinggalkan sepenuhnya,

meskipun mereka telah menganut agama Kristen. Adapun kearifan budaya lokal yang

dimaksud adalah berupa pelaksanaan upacara ritual yang sudah diterapkan secara

turun-temurun, seperti mengadakan makan bersama yang sebelumnya diawali dengan memberikan

sesajen kepada ruh nenek moyang yang mereka yakini akan memberikan kesuburan bagi

lahan pertanian mereka saat hendak menabur benih/menyemai. Kemudian pada masa panen, Pada awal abad XX penduduk desa ini telah

memeluk agama Kristen Protestan secara keseluruhan.

15

(37)

upacara ritual juga dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada nenek moyang yang mereka

percayai telah memberkati pekerjaan mereka dengan memberikan sesajen.

Sebelum mereka mengenal agama Kristen maupun agama yang lain, maka mereka

memiliki aliran kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan

Maha Besar). Penduduk masih percaya akan kekuatan-kekuatan gaib dan ruh-ruh nenek

moyangnya. Pada hari-hari tertentu yang dianggap tepat untuk mengadakan penjamuan bagi

kepercayaan masing-masing, maka mereka pun melakukan upacara-upacara dengan tujuan

untuk meminta rejeki dari unsur-unsur yang dianggap dapat memberikannya. Tradisi ini

perlahan-lahan bertransformasi menjadi adat-istiadat masyarakat setempat.

Adat pertama-tama merupakan kejadian berulang-ulang dan yang teratur, lalu

kemudian menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa. Kebiasaan itu dalam perjalanan

sejarah karena terus-menerus dipraktikkan, jadi bukan karena alasan praktis, kemudian

mendapat kekuatan hukumnya (legalitas). Oleh karena itu adalah kurang tepat untuk

mengerti adat sebagai kebiasaan saja atau hukum kebiasaan.16

Lebih jauh, adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa

susilanya. Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spritual, di mana kedamaian

menyeluruh ada karena kesepakatan bersama. Sebagai kebiasaan, adat dijalankan sesuai

irama alam yang kepadanya terikat kehidupan suku atau huta. Adat yang mengatur dengan

16

(38)

kokoh segenap kehidupan ke segala segi dan dalam segala hubungan adalah serentak

rangkuman segala hukum.17

Dalam hukum adat di Desa Lumban Silintong, pola kepemilikan (pembagian) tanah

untuk anak dan boru sangatlah berbeda. Hal ini disebut dengan istilah panjaean dan

pauseang (pemberian kasih sayang). Panjaean yaitu sebidang tanah warisan yang diberikan

kepada anak laki-laki, tanah panjaean biasanya diberi orang tuanya setelah anaknya sudah Sebelum adanya pengaruh modern ataupun pengaruh dari budaya lain, hukum

penguasaan tanah di Desa Lumban Silintong disesuaikan dengan hukum adat dan bius yang

berlaku. Adapun hukum adat penguasaan tanah yaitu: hukum pertanahan tanah adat (ulayat)

merupakan milik Raja Huta (pendiri huta), kawasan sumber daya komunal seperti tombak

(hutan), harangan (padang rumput penggembalaan), dan pemukiman dikuasai secara kolektif

berdasarkan hukum yang ditetapakan oleh Raja Huta, hukum adat satu klan atau wilayah

adalah hak pendiri huta atau pemilik huta sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Raja Huta.

Adanya pengaruh hukum adat yang menyatakan bahwa sebagian besar kawasan huta

(desa), merupakan hak pendiri huta dan didasarkan garis keturunan dari anak laki-laki.

Sistem kepemilikan tanah di desa ini lebih ditekankan kepada anak laki-laki yang merupakan

penyambung garis keturunan (patrilineal), dan sebagian tanah di berikan kepada boru (anak

perempuan).

17

(39)

marhasohotan (berumah tangga/ membentuk keluarga baru). Adapun pauseang yaitu

sebidang tanah yang menjadi bagian dari boru (anak perempuan), pemberian tanah untuk

boru sama halnya seperti untuk anak yaitu diberi setelah boru-nya marhamulian (menikah

dengan lelaki bermarga lain). Antara panjaean dan pauseang memang berbeda, luas tanah

panjaean yang diberikan kepada anak biasnya jauh berbeda dengan pauseang yang diberikan

kepada boru.

Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Oleh karena itu, adat bersifat sakral.

Dia datang dari DebataMulajadi Nabolon yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang.

Adat mengikat orang hidup dengan nenek moyang. Seperti dikatakan Adriani, keturunan

mereka hidup sesuai dengan aturan nenek moyang itu:

“Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang bersifat mutlak—yaitu jalannya dunia itu sendiri—seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang, sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan dengan para nenek moyang.”18

Setelah agama Kristen masuk dan diperkenalkan kepada masyarakat, maka kebiasaan

tradisional seperti upacara-upacara keagamaan tadi lenyap secara lambat laun. Di mana

masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kegaiban-kegaiban dan ruh nenek moyang. Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman dan

merupakan sikap hidup orang Batak Toba untuk dunianya, maka dia bersifat mutlak. Biarpun

orang Batak Toba sudah menjadi Kristen atau Islam atau terpelajar atau merantau, mereka

tetap menghargai dan melaksanakan adatnya. Mungkin pelaksanaannya tidak seperti dahulu

lagi, tetapi isinya tetap sama.

18

(40)

Mereka mulai yakin tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka ketahui dari

agama Kristen. Segala sesuatunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dikaitkan dengan

agama yang dianut.

Kebiasaan lama seperti adat-istiadat dipertahankan dengan sesungguhnya asal tidak

bertentangan dengan ajaran agama mereka. Pesta-pesta adat selalu diselingi oleh upacara

agama, misalnya pesta perkawinan biasanya dilakukan dengan cara agama dan cara-cara

adat.

Setelah upacara agama selesai dilanjutkan dengan upacara adat barulah perkawinan

tadi dianggap resmi oleh penduduk. Hidup saling ketergantungan di antara penduduk desa

tercermin melalui hidup beragama. Sarana-sarana sosial dipelihara dengan baik oleh

masyarakat.

Berita kematian, kelahiran, pernikahan dan diberitakan melalui perkumpulan Gereja

yang dilakukan setiap hari Minggu. Adapun sarana sosial yang terdapat di Desa Lumban

[image:40.612.85.546.535.678.2]

Silintong dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Jenis Sarana Sosial

No Jenis Sarana Sosial Jumlah

1 Sarana pendidikan -

2 Sarana kesehatan

-Poliklinik 1

(41)

-Gereja

-Masjid

-

-

Total 1

Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990

Dilihat dari segi kepemimpinan masyarakat, Desa Lumban Silintong dipimpin oleh

seorang kepala desa dibantu oleh lembaga-lembaga desanya. Masyarakat desa ini patuh

terhadap perintah pimpinan mereka. Di samping pemimpin formal seperti kepala desa, masih

terdapat satu bentuk kepemimpinan informal yang dipegang oleh pendeta, guru-guru agama

dan penatua-penatua Gereja serta para pemuka adat.

Acapkali cara yang dilakukan seorang kepala desa untuk mengajak warganya

bergotong royong adalah dengan menyampaikannya melalui pertemuan-pertemuan informal,

sehingga kesan demikian tampak tidak kaku. Sebagai contoh pembangunan desa, kebersihan

lingkungan peningkatannya selalu diterapkan melalui ceramah-ceramah agama dan

kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.

Sebelum adanya pengaruh agama Kristen, wilayah Tapanuli dikenal suatu bentuk

lapisan sosial yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Lapisan sosial yang dianggap lebih

tinggi atau golongan elite adalah keturunan marga penguasa tanah dan para datu (dukun).

Selain itu, lapisan sosial juga dibedakan berdasarkan perbedaan umur dan

pernikahan. Meskipun demikian, tidaklah begitu nyata adanya seperti yang dipengaruhi

langsung oleh Hindu. Dalam hal ini lapisan sosial yang lebih tinggi dapat berhubungan bebas

(42)

pesta-pesta adat yang sedang dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat lebih menghormati

klan penguasa tanah dan orang berilmu (kebatinan, umpamanya dukun).

Pendapat mereka selalu dihargai oleh penduduk. Namun setelah masuknya pengaruh

agama, di Desa Lumban Silintong pandangan demikian berubah ke arah persamaan hidup

berdasarkan ajaran agama. Masyarakat lebih menghormati marga penguasa tanah, guru

agama dan pendeta daripada dukun-dukun yang ada.

Dalam upacara pesta, baik pesta adat maupun yang lainnya peranan golongan dukun

sudah tidak kelihatan lagi. Mereka tidak mampu menonjolkan diri untuk menarik perhatian

masyarakat. Kegiatan-kegiatan serta pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selalu diawali

doa bersama yang bertujuan untuk menggantungkan diri terhadap Tuhan Maha Pencipta dan

Maha Besar.

Segala kegiatan sosial yang bertentangan dengan ajaran agama mereka sudah tidak

mendapat dukungan lagi dari masyarakat. Masyarakat yang patuh dengan ajaran agamanya

dianggap berhasil di kalangan masyarakat. Sikap tolong-menolong yang timbul di kalangan

masyarakat desa ini lebih besar terlaksana berdasarkan keagamaan daripada berdasarkan

ikatan kekeluargaan.

2.4 Kelembagaan di Desa

Lembaga yang ada di Desa Lumban Silintong:

- Pemerintah desa

- Lembaga adat

(43)

- Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)

- Kelompok Tani (Koptan)

- Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

- Karang Taruna

2.5 Sosial Budaya

Orang Batak Toba percaya bahwa kehidupan ada tiga yaitu kehidupan Banua Ginjang

(Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah), dan Banua Toru (Dunia Bawah). Kehidupan

Banua Ginjang adalah kehidupan dalam nirwana dan dilambangkan dengan warna putih.

Kehidupan Banua Tonga adalah kehidupan sekarang yang penuh dengan permusuhan, taktik,

dan pergolakan perilaku lainnya, dan ini disimbolkan dengan warna merah. Sedangkan

kehidupan Banua Toru merupakan kehidupan alam kubur yang dilambangkan dengan warna

hitam. Ketiga warna ini sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, baik itu

pada rumah, ulos, ukiran, dan pahatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.

Suku Batak Toba adalah suku yang berdiam di sekitar Danau Toba, yakni di Toba,

Humbang, Samosir, dan Silindung. Menurut sejarahnya, masyarakat Batak berasal dari

dataran Asia, yaitu dari rumpun Melayu Tua (Deutro Melayu) yang mendarat di pantai barat

pulau Sumatera dan meneruskan perjalanan ke pedalaman. Akan tetapi orang Batak percaya

bahwa mereka merupakan titisan dari Debata Mulajadi Nabolon melalui si Deak Parujar

yang turun ke bumi.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, yakni mengambil

garis keturunan dari laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba, anak laki-laki memegang

(44)

Sementara perempuan akan berhenti garis keturunannya karena menjadi bagian dari marga

suaminya.

Sistem kekerabatan masyarakat di Desa Lumban Silintong menganut sistem

kekerabatan patrinineal, artinya kedudukan ataupun peranan laki-laki lebih tinggi dari

perempuan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan ditentukan laki-laki. Di Desa

Lumban Silintong untuk urusan permasalahan perekonomian keluarga merupakan tanggung

jawab ayah dan ibu.

Bagi masyarakat di Desa Lumban Silintong, laki-laki juga merupakan tokoh utama

dalam tatanan kemasyarakatan. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di

samping kesibukannya sebagai kepala keluarga, berbagai kegiatan pada masyarakat Desa

Lumban Silintong selalu dipimpin dan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan lebih bersifat

sebagai pendukung atau penunjang. Dalam berbagai acara adat, pesta dan upacara-upacara

keagamaan pada umumnya lebih di dominasi oleh kaum laki-laki. Pimpinan-pimpinan

lingkungan seperti Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun yang ada di Desa Lumban

Silintong semuanya dijabat oleh laki-laki.

Sistem kekerabatan di Desa Lumban Silintong masih terlihat satu dan utuh. Pada

umumnya semua tatanan masyarakat mempunyai ikatan kekeluargaan antara satu dengan

yang lainnya. Hubungan marga sebelumnya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial

masyarakat di desa ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila tetangga mereka adalah

juga saudaranya. Dengan demikian, setiap warga saling mengenal antara satu dengan yang

(45)

Selanjutnya, masyarakat Batak Toba juga menganut kebudayaan Dalihan Na Tolu.

Secara harafiah Dalihan berarti tungku yang terbuat dari batu, sedangkan Tolu berarti

numerik tiga dan Na adalah kata penghubung yang dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi

yang hampir sama dengan penghubung “yang”. Jadi dalam tafsiran denotatif Dalihan Na

Tolu adalah tiga buah tungku batu tempat diletakkannya periuk untuk memasak.

Pada prinsipnya Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur yang kuat dalam mengatur

kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba, yakni:

Hula-hula: kelompok pemberi istri

Boru: kelompok penerima istri

Dongan tubu: kelompok semarga

Ketiga unsur ini masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan

kewajibannya sebagai pelaksana tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Di suatu

ketika pihak boru bisa saja menjadi pihak hula-hula atau dongan tubu dan demikian juga

sebaliknya tergantung pada pihak yang mengadakan pesta.

Boru tidak lebih rendah dari hula-hula. Ada ungkapan yaitu bahwa hula-hula haruslah

elek mar-boru” artinya agar hula-hula selalu bersikap membujuk dan sayang terhadap boru.

Sedangkan setiap boru haruslah “somba mar-hula-hula” artinya bahwa setiap boru haruslah

bersikap hormat terhadap hula-hula dan setiap perbuatan hula-hula harus dipandang hormat

oleh boru. Sedangkan suhut (tuan rumah adat) harus bersikap “manat mardongan tubu

(46)

Pesta nikah merupakan satu dari sekian banyak kegiatan adat yang di dalamnya

berlaku sistem Dalihan Na Tolu. Salah satu kegiatan sosial budaya yang ada di Desa Lumban

Silintong adalah upacara perkawinan. Perkawinan berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu

tersebut atau perkawinan sirkulasi asimetri tersebut berarti harus terdiri dari tiga kelompok

marga, yaitu kelompok ego (dongan tubu), kelompok pemberi istri (hula-hula), dan

kelompok penerima istri (boru).

Ketiga kelompok ini selalu dalam bentuk aliansi. Maka kelompok ego ialah ego

sendiri bersama dengan teman semarganya, yang disebut dongan sabutuha. Kelompok

hula-hula ialah mertua dan saudara mertua ego, saudara istri dan semua anggota dari garis

keturunan saudara istri. Kemudian masuk dalam kelompok ini juga ialah kelompok garis

keturunan saudara ibu ego dan semua kelompok garis keturunan pengambilan istri dari

nenek, ayah, saudara dan anak ego. Sedangkan yang masuk dalam kelompok boru ialah

semua kelompok marga yang mengambil wanita garis keturunan marga ego. Perlu juga

diperhatikan tentang istilah boru ini sebab kata ‘boru’ berlaku baik untuk anak putri maupun

marga penerima istri.

Masyarakat Lumban Silintong saling tolong-menolong untuk mengupayakan agar

perayaan ataupun pelaksanaan pesta adat suatu rumah tangga dapat berjalan lancar.

Istilah yang mereka pakai dalam bagian ini adalah marhobas. Marhobas maksudnya

membantu pihak suhut yang mengadakan pesta untuk mengerjakan ataupun melengkapi

kebutuhan-kebutuhan dalam pesta, seperti memasak, menerima tamu dan segala sesuatunya

sesuai dengan posisinya dalam konteks Dalihan Na Tolu yang sebelumnya aturan-aturan

(47)

masyarakat Lumban Silintong dan sanak famili dari luar kampung, baik dekat maupun jauh.

Bagi masyarakat setempat pergi marhobas dapat juga dikatakan dengan sebutan manghobasi.

Manghobasi suatu pesta dilakukan secara gotong royong, kecuali pihak tuan rumah.

Hal ini berlangsung secara bergantian. Dengan kata lain, setiap rumah tangga akan mendapat

giliran untuk dihobasi. Sebab suatu pesta terlaksana tidak menyesuaikan dengan suatu

peraturan lingkungan. Umpamanya untuk pesta pernikahan bisa terjadi jika seorang anak

sudah tergolong dewasa. Di sisi lain jika orang meninggal, maka siapa menduga suatu

keluarga akan mendapat gilirannya untuk dihobasi.

Marsiadapari biasanya bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum atau

kepentingan sesama warga masyarakat. Kegiatan marsiadapari pada umumnya diwujudkan

dalam kegiatan atau aktivitas kerja bersama dengan tujuan yang sama. Seperti kerja bakti

dalam membangun irigasi, menata lingkungan ataupun menyelenggarakan suatu kegiatan

upacara (ritual), masyarakat masih menerapkan sistem marsiadapari dalam mengolah lahan

pertanian.19

Ikatan kekeluargaan bagi masyarakat Desa Lumban Silintong masih terjaga erat, baik

yang tinggal di dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Eratnya bentuk

persaudaraan di desa ini terlihat dari kegiatan marsiadapari dan adanya rasa tolong

menolong di antara warga masyarakat dalam kehidupan bersama khususnya dalam kehidupan

agama dan adat. Para petani di desa ini menunjukkan adanya rasa senasib dan

sepenanggungan di antara mereka. Hal ini antara lain bila di antara mereka sedang

19

(48)

mengadakan suatu pesta (acara adat), ataupun bila di antara mereka sedang mengalami

musibah (dukacita). Dalam kehidupanya sebagai petani, mereka mempunyai tujuan yang

sama, yaitu bagaimana hasil produksi pertanian mereka semakin meningkat. Tujuan utama

sebagai petani ini pulalah yang mendorong adanya semangat gotong-royong dan sikap

tolong-menolong di sesama petani.

Salah satu bentuk marsiadapari dan tolong-menolong dalam kehidupan

bermasyarakat di Desa Lumban Silintong terlihat dalam sebuah acara pesta (adat). Bagi

masyarakat di Desa Lumban Silintong yang melakukan sebuah acara pesta baik pernikahan

(pamasu-masuon), mamestahon huta (pesta tugu / peresmian suatu huta), monding / saur

matua (meninggal), ulangtahun, dan sebagainya. Untuk meringankan beban dari keluarga

yang mengadakan pesta, para tetanga (dongan sahuta dan dongan saparadaton) biasanya

memberikan sumbangan (papungu tumpak) dalam bentuk uang ataupun beras. Sumbangan

ini dilakukan dalam bentuk kewajiban bagi anggota masyarakat yang mengadakan acara adat.

Hal ini juga dilakukan secara bergantian dalam setiap acara adat. Selain memberikan

sumbangan, para petani di desa ini juga turut berpatisipasi untuk membantu pihak yang

mengadakan pesta dalam bentuk materi dan tenaga.

Kegiatan tolong-menolong juga terlihat pada sebuah keluarga yang tertimpa

kemalangan, seperti ada salah satu dari anggota keluarga yang kecelakaan. Apabila ada

terdengar salah satu dari warga masyarakat yang kemalangan, para petani di desa ini pada

umumnya berdatangan untuk menjenguk. Biasanya bagi anggota masyarakat yang tertimpa

bencana, di desa ini diadakan sebuah acara mangapuli (menjenguk keluarga yang tertimpa

(49)

terdekat yang mengalami musibah biasanya mamboan sipanganon (membawa makanan)

sebagai bentuk adanya rasa senasip dan sependeritaan).

Budaya dan hukum adat selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pola

kehidupan masyarakat di desa ini diikat oleh sistem adat yang berlaku. Masyarakat

menggangap bahwa selain hukum agama, hukum tertinggi adalah hukum adat. Segala bentuk

permasalahan/perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, selalu diselesaikan

dengan hukum adat di samping hukum agama.

Adanya umpasa dan umpama (pribahasa dan pepatah) merupakan bagian dari budaya

adat yang berlaku di Desa Lumban Silintong. Masyarakat di desa ini menerapkan hukum adat

dalam bentuk pengucapan umpasa dan umpama yang banyak mengandung makna, nilai-nilai

ataupun norma-norma (falsafah hidup). Sistem politik, hukum dan adat diwujudkan/didasari

dari umpasa dan umpama yang merupakan indikator ataupun tolok ukur dalam kehidupan

bermasyarakat.

Menurut adat, kehidupan masyarakat di desa ini mempunyai status ataupun golongan

yang berbeda yaitu status parhuta (pemilik huta) dan boru ni huta / sonduk hela / maisolat

(marga boru). Namun, dalam hukum agama status dan golongan masyarakat sama tanpa ada

perbedaan. Dalam hukum agama setiap masyarakat yang melanggar hukum, dihukum sesuai

hukum yang berlaku tanpa memandang status maupun golongan.

Dalam pelaksanaan tatanan kehidupan sehari-hari di Desa Lumban Silintong terdapat

dua unsur kepemimpinan yang bekerja sama untuk mengatur tatanan hidup kemasyarakatan.

(50)

Kepemimpinan formal yaitu kepemimpinan yang berhubungan dengan pemerintahan desa

seperti kepala desa, kepala dusun, dan sekretaris desa. Kepemimpinan nonformal yaitu

kepemimpinan adat dan agama yang berfungsi sebagai pemimpin kehidupan yang

berhubungan dengan adat dan agama. Setiap acara adat biasanya dipimpin oleh dua unsur

yang berbeda yaitu raja huta dan raja adat. Pemimpin agama sering disebut dengan sintua

(penatua gereja) dan parhangir (pimpinan gereja). Kedua pimpinan ini biasanya berfungsi

untuk memimpin acara kerohanian yang ada dalam masyarakat.

2.6 Mata Pencaharian

Bercocok tanam adalah suatu mata pencaharian pokok bagi penduduk daerah

Tapanuli umumnya dan Desa Lumban Silintong khususnya. Hampir setiap rumah tangga di

Desa Lumban Silintong memiliki areal pertanian. Umumnya masyarakat Batak Toba sangat

berkeinginan untuk memiliki lahan pertanian, sehingga petani di daerah Tapanuli jarang

dijumpai tidak memiliki areal sendiri.

Sumber kehidupan masyarakat di Desa Lumban Silintong sangat bergantung kepada

pertanian. Tinggi rendahnya hasil pertanian juga sangat tergantung kepada luas tanah yang

dimiliki oleh masyarakat. Tidak salah masyarakat di desa ini menggangap bahwa tanah

merupakan aset yang sangat berharga.

Lahan pertanian yang cenderung berada di lereng perbukitan mengakibatkan

ketergantungan yang sangat erat dengan berhasil tidaknya pertanian masyarakat. Irigasi

dibangun dengan membuat aliran air yang menggunakan pipa terbuat dari bambu, lalu

(51)

mengalami kerusakan akibat kondisi alam bisa mengakibatkan kerusakan bahkan gagal

panen. Batas kepemilikan lahan ditandai dengan adanya parit-parit yang dalam bahasa

setempat disebut dengan bondar (golat),20

20

Gadu -gadu dan bondar artinya parit-parit, tanda pembatas tanah. Istilah gadu-gadu dipakai untuk pembatas tanah di persawahan dan bondar dipakai untuk pembatas tanah di areal perladangan.

di mana jarak antara parit-parit yang satu dengan

yang lain biasanya berkisar 20-40 cm. Selain sebagai pembatas tanah, gadu-gadu digunakan

sebagai jalan umum menuju areal pertanian masyarakat.

Proses keberlangsungan hidup sebagai petani bukan lagi hal baru bagi masyarakat di

Desa Lumban Silintong. Profesi sebagai petani adalah sistem kerja yang dilanjutkan secara

turun-temurun. Rerata mata pencaharian penduduk adalah dari bertani sawah.

Pada hakikatnya di Desa Lumban Silintong areal pertanian tidaklah begitu sempit.

Jika melihat perbandingan antara kepala keluarga dengan luas areal yang ada, ternyata dari

120 kepala keluarga tersedia areal pertanian seluas 150 hektar. Dengan demikian, maka tidak

jarang dijumpai penduduk yang memiliki areal pertanian lebih dari satu hektar.

Umumnya masyarakat di desa ini memiliki areal pertaniannya berdasarkan warisan

orangtuanya, sehingga mereka enggan menjualnya kepada orang lain. Hal ini merupakan

cerminan kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan tanah leluhur mereka. Sudah

menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan tanah bagi orang Batak Toba adalah merupakan

(52)

Tradisi adat masyarakat di Desa Lumban Silintong menganggap bahwa tanah itu

sering disebut dengan ulos na so buruk (sumber penghidupan yang tidak ada matinya).21

Masyarakat menjual tanah hanyalah karena adanya kebutuhan tertentu (keadaaan

paksaaan). Pada awalnya penjualan tanah dilakukan masyarakat selalu mengusahakan untuk

menjual tanahnya pada sesama keluarga (keluarga dekat).

Masyarakat juga mengganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga sebagai

warisan dari ompu si jolo-jolo tubu (nenek moyang) dan titipan dari Debata Mulajadi

Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar).

22

Selain bertani, masyarakat Lumban Silintong juga bekerja sebagai nelayan. Pada

umumnya, nelayan dilakoni oleh masyarakat yang bertempat tinggal di tepi Danau Toba. Sebagian masyarakat ada yang

menjual tanahnya dengan cara marbile (tanah dibayar dengan tanah), dan disesuaikan dengan

kondisi tanah.

Petani Desa Lumban Silintong umumnya menanam padi. Tanaman palawija ataupun

tanaman keras relatif tidak ada. Untuk pengolahan sawahnya, masyarakat Lumban Silintong

masih mempergunakan cara tradisio

Gambar

Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya
Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong
Tabel 3. Distribusi penduduk Desa Lumban Silintong berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4. Jenis Sarana Sosial
+4

Referensi

Dokumen terkait

(3) Bila Bank memandang perlu untuk menutup asuransi atas barang-barang Agunan secara langsung, maka semata-mata berdasarkan pertimbangan sendiri, Bank berhak

dijalankan oleh agraria, maka keseimbangan market akan tercapai dimana kondisi petani selain sudah ada yang menjamin kan dari segi permodalan, komunitasnya pun sudah

Pada pendederan benih teripang pasir, pemberian pakan hanya dengan penambahan probiotik saja dapat meningkatkan pertumbuhan, sintasan, dan aktivitas enzim (lipase, amilase,

Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri, D (2013), dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 87 pasien DM,

carburizing yaitu kemampuan dapur memancarkan panas, suhu pada dapur pemanas yang tidak selalu stabil saat penahanan waktu carburizing yang lama, karbon yang

Dan nilai rerata hasil belajar pengetahuan IPA pada kelompok kontrol yang dibelajarkan melalui pendekatan saintifik yang konvensional sebesar 70.38 dengan nilai

Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa persepsi kelompok tani terhadap peranan penyuluh pertanian dalam pengembangan Gabungan Kelompok Tani di Kabupaten Sukoharjo sudah

Pancasila oleh Inspektur Upcara, ditirukan oleh seluruh peserta upcara. a) Ajudan maju menyerahkan naskah Teks Pancasila kepada Irup dari sisi sebelah kiri. b) Irup