• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas penutupan lamun di perairan Pulau Panjang tahun 1990 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas penutupan lamun di perairan Pulau Panjang tahun 1990 2010"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas

Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990

2010

MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas

Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990

2010

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

(3)

iii

RINGKASAN

MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan, dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 – 2010. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan INDARTO HAPPY

SUPRIYADI.

Padang lamun berperan penting di ekosistem laut dangkal, karena

merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya. Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin ekosistem ini tetap terjaga, di beberapa daerah telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga akibat pengaruh aktivitas manusia. Salah satu daerah yang banyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun adalah Teluk Banten. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan perubahan luas tutupan lamun di Pulau Panjang pada kurun waktu 1990 – 2010.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2010 di Perairan Pulau Panjang, Teluk Banten dan pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 3 – 5 Juli 2010. Pengamatan lamun dilakukan di setiap sub-stasiun mulai dari tepi pantai sampai batas tubir dengan menggunakan metode transek garis. Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun, menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun, dan pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Data Fisika Kimia yang diukur adalah suhu, salinitas, kedalaman,

kecerahan, dan Total Suspended Solid (TSS). Analisis data TSS dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK - IPB. Analisis data lamun

meliputi komposisi jenis lamun, kerapatan jenis lamun dan persen penutupan lamun. Perubahan luasan lamun dihitung dengan menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing pada Citra Landsat rekaman tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010.

Berdasarkan hasil identifikasi didapatkan tiga spesies lamun di wilayah perairan Pulau Panjang, yaitu Enhalus acoroides,Syringodium isoetifolium dan

Cymodocea serrulata. Kerapatan total lamun tertinggi ditemukan di Stasiun III dengan nilai kerapatan total 110 ind/m2 dibandingkan dengan nilai kerapatan di Stasiun II sebesar 45 ind/m2 dan di Stasiun I sebesar 13 ind/m2. Kerapatan jenis tertinggi pada Stasiun III adalah Enhalus acoroides sebesar 8 ind/m2, Cymodocea serrulata 12 ind/m2, dan Syringodium isoetifolium 89 ind/m2. Kondisi perairan yang cukup baik di Stasiun III diduga karena rendahnya nilai TSS dan perairan relatif dalam sehingga lamun tetap terendam walaupun dalam kondisi surut rendah.

Persen penutupan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun III sebesar 23,3% dan terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Persen penutupan lamun dipengaruhi oleh kerapatan pada masing-masing stasiun.

Hasil analisis citra memperlihatkan terjadinya pengurangan luasan areal padang lamun dari tahun ke tahun. Kerusakan parah terlihat dari tahun 2000 – 2005 dengan luas perubahan 22,9 ha, sedangkan pada tahun 1990 – 2000 terjadi

(4)

iv

© Hak Cipta milik IPB tahun 2011

Hak Cipta dilindingi Undang-Undang

(5)

v

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan, dan Luas

Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990

2010

MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(6)

Judul Penelitian : KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, PERSEN PENUTUPAN, DAN LUAS PENUTUPAN LAMUN DI PERAIRAN PULAU PANJANG TAHUN 1990 – 2010.

Nama Mahasiswa : Muhammad Ismail Sakaruddin Nomor Pokok : C54062195

Departemen : Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si NIP. 19651213 199403 2 002 NIP. 19620428 199003 1 004

Mengetahui, Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Dinamika perubahan luasan suatu lingkungan di perairan dangkal sangat menarik untuk diteliti terutama topik yang terkait dengan lamun. Lamun merupakan salah satu komunitas penting di perairan dangkal. Perubahan luasan lamun saat ini terus mengalami degradasi baik disebabkan oleh faktor alam atau aktifitas manusia, untuk itu topik yang diajukan adalah mengenai “Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 – 2010”. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Mujizat Kawaroe M.Si selaku Pembimbing I dan Drs. Indarto Happy Supriyadi M.Si selaku Pembimbing II yang bersedia berdiskusi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Keluarga di Makassar yang senantiasa menjadi inspirasi, terutama bagi kedua Orang Tua H. Sakaruddin dan Hj. Jumriah Umar, yang selalu mendukung secara moril dan finansial, serta ketiga saudara, Ilham, Iksan, dan Reski atas kasih sayang dan do’a yang diberikan.

3. Staff Pengajar dan Staff Pembantu Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB yang memberikan ilmu dan mendukung berjalannya proses belajar mengajar di Departemen.

(8)

5. Keluarga Pak Hasbullah di Pulau Panjang yang telah membantu penulis dalam menyiapkan segala akomodasi di lokasi penelitian.

6. Penulis juga ingin mengungkapkan apresiasi yang sedalam-dalamnya kepada semua rekan-rekan di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB, khususnya angkatan 43, untuk semua pengalaman yang tidak akan

terlupakan.

7. Penghuni Wisma Mahasiswa Latimojong serta sahabat-sahabat IKAMI Bogor. 8. Seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca dan memberikan suatu informasi yang dapat memajukan dan melestarikan dunia kelautan Indonesia.

Bogor, Januari 2011

(9)

ix

2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun .... 7

2.2.1. Suhu ... 7

2.4. Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi ... 10

2.5. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Penginderaan Jauh ... 11

(10)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Parameter Fisika dan Kimia air ... 25

4.2. Perubahan Komposisi Jenis Lamun ... 27

4.3. Kerapatan Jenis Lamun ... 31

4.4. Persen Penutupan Lamun ... 34

4.5. Perubahan Luas Lamun ... 36

4.6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi ... 39

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1. Kesimpulan ... 41

5.2. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 46

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ... 13

Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra ... 23

Gambar 3. Komposisi Jenis Lamun di Tiap Stasiun ... 28

Gambar 4. Kerapatan Total Lamun ... 31

Gambar 5. Kerapatan Rata-rataJenis Lamun ... 32

Gambar 6. Kerapatan Rata-rata Lamun Teluk Banten pada Tahun 2000 ... 34

Gambar 7. Persen Penutupan Lamun ... 35

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips

& Menez (1988) ... 5

Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian ... 14

Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air Pulau Panjang ... 25

Tabel 4. Komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010 ... 30

Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990 – 2010 ... 36

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Lapang ... 46

Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan ... 49

Lampiran 3. Data Ground Truth untuk Uji Akurasi ... 52

(14)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Padang lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya (Nontji, 2009). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philllips dan Menez, 1988), dan fungsinya sebagai

penyerap karbon di lautan (Kawaroe, 2009).

Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin ekosistem ini tetap terjaga, diperkirakan kerusakan padang lamun di Indonesia telah mencapai 30 – 40%. Sekitar 60% padang lamun di perairan pesisir Pulau Jawa telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga akibat pengaruh aktivitas manusia (Fortes, 1994 dalam Nontji, 2009). Salah satu daerah yang banyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun yang

(15)

2

Kondisi padang lamun diduga terus mengalami kerusakan dari tahun ke tahun, sehingga perlu dilakukan pengamatan secara temporal, terutama terkait masalah perubahan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas tutupan lamun agar dapat diketahui luas perubahan dan dapat dilakukan perencanaan rahabilitasi. Laporan perubahan luas lamun secara temporal tidak mudah untuk diperoleh, dibutuhkan banyak data dengan penggunaan biaya yang tidak sedikit, sehingga diperlukan suatu metode yang lebih efisien. Salah satu metode yang dapat

digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh (Remote Sensing). Kelebihan Remote Sensing adalah mampu merekam area yang luas dan sulit dijangkau sekalipun serta secara temporal merekam objek atau fenomena pada suatu wilayah (Lillesand dan Kiefer, 1994). Hasil dari pengolahan data citra akan ditumpang tindihkan sehingga diperoleh data temporal yang dapat memberikan informasi mengenai tutupan padang lamun dari waktu ke waktu.

Satelit sumberdaya alam yang banyak digunakan untuk mengolah vegetasi adalah Landsat, beberapa kelebihan Landsat adalah memiliki resolusi spasial 30 meter dengan resolusi temporal 16 hari yang mengorbit secara polar. Hasil pengolahan citra satelit akan dilihat akurasinya dengan ground check sehingga didapatkan hasil yang cukup valid untuk melihat perubahan luas dan

membandingkannya dengan data lapang yang terbaru dengan data lapang sebelumnya untuk melihat perubahan luas tutupan lamun.

(16)

informasi dalam pengambilan kebijakan dalam pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir di wilayah tersebut.

1.2. Tujuan

(17)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Lamun

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery, dan spawning ground,

sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrient (Philips dan Menez, 2008), dan fungsi lain dari padang lamun yang tidak kalah penting dan banyak diteliti saat ini adalah perspektifnya dalam menyerap CO2 (carbon sink) (Kawaroe, 2009).

Terdapat 60 jenis jenis lamun di seluruh dunia (Kuang, 2006 dalam Supriyadi, 2008), 20 jenis di ditemukan di Asia Tenggara 12 diantaranya dapat dijumpai di perairan Indonesia (Nontji, 2005). Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir seluruh perairan nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Lamun dapat tumbuh pada daerah perairan dangkal yang agak berpasir atau berlumpur dan masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Hemminga dan Duarte, 2000).

(18)

dalam divisi Magnoliophyta dan merupakan kelas Angiospermae, klasifikasi jenis lamun di Indonesia secara lengkap disajikan dalam Tabel 1. Sebagian besar lamun berumah dua, yang artinya hanya terdapat satu jantan dan satu betina saja dalam satu individu. Sistem perkembangbiakannya tergolong khas karena melalui penyerbukan dalam air (hydrophillous pollination) (Kawaroe, 2009).

Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips & Menez (1988)

Divisi Magnoliophyta

Kelas Angiospermae

Sub Kelas Monocotyledonae

Bangsa Helobiae

Suku (1) Hydrocharitaceae

Marga Enhalus Thalassia Halophila

Jenis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Halophila decipiens

Halophila ovalis

Halophila minor

Halophila spinulosa

Suku (2) Cymodoceaceae/Potamogetonaceae

Marga Cymodocea Halodule Syringodium Thalassodendron

Jenis

2.2. Kondisi Lamun di Teluk Banten

Secara geografis Teluk Banten terletak pada posisi 5°55’ – 6°5’ LS dan 106°

(19)

6

terdiri dari lumpur serta pasir (Kiswara, 1995). Lamun dijumpai di rataan terumbu pulau dan gosong karang serta perairan pantai sebelah barat yang tumbuh pada dasar lumpur, pasir, dan pecahan karang mati. Zonasi sebaran lamun di Teluk Banten terdapat dari pantai sampai dengan tubir, dengan perbedaan yang dijumpai hanyalah dalam bentuk vegetasi tunggal atau vegetasi campuran dan luas

tutupannya terdiri dari kelompok jarang, sedang, tinggi atau sangat tinggi (Kiswara, 2004).

Kiswara (2004) melaporkan bahwa pada tahun 1998 - 2001 di daerah Teluk Banten terdapat tujuh jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan

Thalassia hemprichii, sedangkan Zulkarnain (2009) melaporkan bahwa pada tahun 2008 di daerah Pulau Panjang hanya terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus

acoroides, Thalassis hemprichii, Cymodocea serrulata, Halophila spinullosa.

Habitat padang lamun di Teluk Banten mempunyai karakteristik yang

berbeda. Sebaran lamun yang terdapat pada bagian barat Teluk Banten tumbuh di pantai yang memiliki substrat dasar lumpur yang bersifat terrigenous (materi yang berasal dari daratan) (Kiswara, 2004), dipengaruhi oleh muara sungai sehingga memiliki tingkat fluktuasi salinitas yang tinggi dan penetrasi cahaya yang relatif kurang turun ke dalam. Sebaran lamun yang tumbuh di rataan terumbu pulau dan gosong karang terdapat pada substrat pasir, salinitasnya cenderung stabil dan penetrasi cahaya yang dalam. Luas padang lamun di Teluk Banten pada tahun 1999 diperkirakan sekitar 366,9 ha yang tersebar sekitar 247 ha di perairan barat Teluk Banten dan sekitar 119,9 ha di rataan terumbu karang dan gosong karang.

(20)

yang terus meningkat dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2002, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2006. Penurunan luas padang lamun di pantai barat Teluk Banten dari tahun 1989 sampai tahun 2006 seluas 23,9 hektar atau telah terjadi pengurangan luasan padang lamun rata-rata seluas 1,4 hektar/tahun. Diduga hal ini dipengaruhi oleh terjadinya pertambahan luas daratan seluas 6,3 hektar atau rata-rata 0,4 hektar/tahun. Selain karena perubahan tata guna lahan, kegiatan lain yang mengancam keberadan ekosistem padang lamun di Teluk Banten antara lain disebabkan oleh kegiatan reklamasi pantai, penambangan batu, perusakan terumbu karang, perusakan mangrove, lalu lintas kapal dan penggunaan alat tangkap yang merusak.

2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun 2.3.1. Suhu

Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 ⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 ⁰C (Marsh et al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45 ⁰C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008).

2.3.2. Salinitas

(21)

8

berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10 – 45 ‰(Hemminga dan Duarte, 2000), dan dapat bertahan hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara gradien (Mckenzie, 2008).

Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35 ‰, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas 3.5 – 60 ‰dengan waktu toleransi yang singkat (Zieman, 1986 dalam Hemminga dan Duarte, 2000).

2.3.3. Kedalaman

Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Humminga dan Duarte, 2000). Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai

kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, sedangkan

Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air.

2.3.4. Kecerahan

(22)

partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan

sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4 – 29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte, 2000).

2.3.5. Total Suspended Solid (TSS)

Total Suspended Solid (TSS) menunjukkan banyaknya bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 µm (Effendi, 2003). Total Suspended Solid terdiri dari lumpur, pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab tingginya kandungan TSS yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Nilai TSS yang berlebih akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.

2.3.6. Substrat

(23)

10

hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun (Humminga dan Duarte, 2000).

2.4. Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi

Penginderaan jauh (Remote Sensing) didefenisikan sebagai ilmu, teknologi, dan seni dalam mendeteksi dan/atau mengukur objek atau fenomena di bumi tanpa menyentuh objek itu sendiri (Lillesand dan Kiefer, 1994). Kelebihan teknologi penginderaan jauhdiantaranya adalah : 1) Pengambilan data dilakukan dalam cakupan wilayah yang luas dan serentak. 2) Jumlah data yang banyak dalam sekali pengambilan data. 3) Pengambilan data berulang-ulang sehingga dapat dianalisis variasinya secara temporal. 4) Dapat menjangkau lokasi yang sulit dijangkau oleh manusia.

Sistem penginderaan jarak jauh secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit atau kapal yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas (Thomas dan Ralph, 2000). Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit Landsat.

(24)

Burough (1986) dalam Dewayani (2000), menjelaskan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan,

menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaan bumi. Sistem Informasi Geografis tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan, sehingga memperoleh lebih banyak informasi baru dan dapat dianalisa sesuai dengan parameter yang diinginkan.

2.5. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Penginderaan Jauh

Berkembangnya berbagai jenis sensor dan metode pengolahan data citra saat ini telah meningkatkan penggunaan penginderaan jauh dalam memantau dan memetakan lingkungan pesisir. Asumsi dasar yang digunakan pada pemetaan dengan menggunakan penginderaan jauh adalah setiap energi yang dipantulkan oleh objek berbeda-beda, relatif terhadap besarnya energi yang diterima (Lillesand dan Kiefer, 1994). Berbeda dengan daratan, pada perairan energi gelombang elektromagnetik yang dapat menembus perairan hanya energi yang memiliki panjang gelombang yang relatif kecil, dalam konteks penginderaan jarak jauh pasif hanya spektrum sinar tampak (400-700 nm), sedangkan pada spektrum yang lebih tinggi dari sinar tampak (>700 nm) hampir semua energinya diserap oleh air.

(25)

12

karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari bentuk morfologi dan juga

kerapatan dari padang lamun tersebut. Lamun yang memiliki densitas tinggi (>80 g/m2) memiliki karakteristik pantulan yang tinggi jika dibandingkan dengan lamun yang memiliki densitas rendah (<80 g/m2) (Shepard, 1995 dalam Green, 2000). Selain dilihat dari karakteristik pantulan energinya, juga dilihat dari lokasi

(26)

13 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 – 2010 dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2010 dengan waktu pengambilan data lapang pada tanggal 3 – 5 Juli 2010. Lokasi penelitian bertempat di daerah perairan Pulau Panjang, Teluk Banten, Provinsi Banten yang ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

(27)

14

berbatasan dengan Tanjung Kopo dan Pelabuhan Grenyang, sedangkan bagian utara Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah beberapa alat untuk penentuan posisi, pengukuran lamun, dan pengambilan contoh air. Jenis peralatan, jumlah dan fungsinya dijelaskan pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian

Jenis Peralatan Jumlah Keterangan Unit

Transek Kuadrat ukuran

1x1m 1 buah

Sebagai batasan

pengamatan meter

Roll Meter 2 buah Mengukur jarak tiap transek meter

Global Positioning System

lamun 2 lembar Sebagai acuan literatur -

Termometer 1 buah Mengukur suhu perairan °C

Refraktometer 1 buah Mengukur salinitas ppt

Botol Contoh 5 buah Media Penyimpanan Air

Contoh -

Tongkat ukur 1 buah Mengukur Kedalaman

Perairan meter

Pipa Paralon 1 buah Mengambil contoh sedimen -

(28)

Data citra yang digunakan adalah Citra Landsat 4 (TM dan MSS) tahun 1990 dan Citra Landsat 7 (+ETM) tahun 2000, 2005, dan 2010. Citra Landsat diperoleh dari http://glovis.usgs.gov yang merupakan Citra Landsat Level 1 yang telah terkoreksi secara radiometrik dan juga distorsi terkait sensor . Informasi kondisi pasang surut saat pengukuran data citra oleh satelit dapat dilihat pada Lampiran 4. Alat yang digunakan untuk mengolah data citra adalah perangkat laptop, perangkat lunak Er Mapper 6.4, dan Arc GIS9.3.

3.3. Metode Pengambilan Data 3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian

Metode pengambilan data yang digunakan adalah transek garis yang tegak lurus terhadap garis pantai dengan jarak antar stasiun 100 m dengan membagi lokasi penelitian ke dalam tiga stasiun yang tiap stasiunnya terbagi lagi menjadi 3 - 4 sub-stasiun. Pengambilan plot/titik dilakukan di setiap sub-stasiun

pengamatan dari tepi pantai sampai batas tubir.

Stasiun I terletak di sebelah timur Pulau Panjang dimana terdapat aliran air yang merupakan hasil buangan dari limbah rumah tangga, limbah pencucian rumput laut, buangan limbah kapal, dan pada stasiun ini juga terdapat vegetasi mangrove. Stasiun II terletak di sebelah selatan Pulau Panjang dimana terdapat vegetasi mangrove, sedangkan Stasiun III terdapat di sebelah barat daya Pulau Panjang. Lokasi ini cukup representatif karena karakteristik wilayah yang banyak dipengaruhi oleh masukan dari daratan terutama dari kegiatan reklamasi pantai, kegiatan pelabuhan dan aktivitas budidaya rumput laut. Sebagai contoh,

(29)

16

barat Pulau Panjang. Hal ini tercermin dengan gradasi kekeruhan di wilayah perairan barat Pulau Panjang. Kegiatan di wilayah pesisir seperti pelabuhan perikanan diduga juga memberikan pengaruh pada perairan permukaan

khususnya pada daerah Pelabuhan Grenyang, Pelabuhan Peres dan Pelabuhan Pasir Putih. Kondisi di masing-masing stasiun ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap perubahan luasan dan komposisi jenis lamun di Pulau Panjang.

Berbeda dengan stasiun pengamatan lamun, stasiun untuk pengukuran padatan tersuspensi dilakukan di lima lokasi. Tiga stasiun pertama di stasiun pengamatan lamun, stasiun ke empat berada di lepas pantai, dan stasiun kelima berada di Pelabuhan Grenyang, Bojonegara. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh masukan padatan tersuspensi dari berbagai sumber yang terdapat di Pulau Panjang dan Bojonegara. Kondisi lokasi di tiap stasiun ditampilkan pada Lampiran 1.

3.3.2. Pengamatan Lamun

Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun, menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun dan

pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Pengamatan lamun ini dibatasi hanya pada transek kuadrat dan pengamatan dilakukan dengan cara snorkeling di permukaan air mengikuti jalur dari transek garis. Hasil data pengamatan lamun disajikan pada Lampiran 1.

3.3.3. Pengambilan, Preservasi Contoh Air dan Sedimen

(30)

dengan aquades dan contoh air. Contoh air diambil pada lapisan permukaan pada kedalaman 1 m – 2 m. Contoh air ditutup kemudian diberi label seterusnya dipreservasi dengan dimasukkan ke kotak pendingin dan dijaga agar tetap dalam suhu dibawah 10 oC selama transportasi ke laboratorium untuk dilakukan analisis lebih lanjut.

Sedimen diambil dengan menggunakan pipa paralon yang ditancapkan pada substrat dan disimpan dalam plastik satu kilogram. Contoh sedimen ditutup rapat dan tidak dilakukan preservasi khusus karena pada penelitian ini hanya mengukur jenis sedimen berdasarkan ukurannya.

3.3.4. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Air 3.3.4.1. Suhu

Suhu perairan permukaan diukur dengan menggunakan termometer air raksa dari atas perahu. Termometer dimasukkan ke dalam air selama kurang lebih 1 menit, pembacaan nilai suhu dilakukan sesaat setelah termometer diangkat ke permukaan agar menghindari perubahan nilai akibat pengaruh suhu permukaan udara. Pengukuran suhu dilakukan pada setiap sub-stasiun dengan tiga kali ulangan serta mencatat waktu pengukuran. Pada Stasiun I dan stasiun II suhu diukur pada pagi hari sedangkan pada Stasiun III suhu diukur pada siang hari.

3.3.4.2. Salinitas

(31)

18

contoh pada kaca objek. Pengukuran dilakukan setiap substasiun dengan tiga kali ulangan.

3.3.4.3. Kedalaman Perairan

Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan tongkat berskala. Tongkat berskala dimasukkan secara tegak lurus ke dalam perairan sampai mencapai dasar perairan. Kemudian diukur tinggi muka air pada skala dan juga waktu pengukuran.

3.3.4.4. Sedimen

Pemantauan jenis sedimen berdasarkan ukuran butir sedimen dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK – IPB pada tanggal 23 – 24 Agustus 2010. Sebelum mengambil contoh sedimen terlebiih dahulu dikeringkan dan ditimbang berat awalnya, sampel sedimen yang diukur sebanyak 100 gr. Pengayakan sedimen dilakukan dengan menggunakan ayakan dengan bukaan

mesh 8 mm, 4 mm, 2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,250 mm, 0,125 mm, dan 0,063 mm. Setelah disaring maka akan dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan

(32)

……… (1)

……….. (2)

3.3.4.5. Kecerahan

Alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah seichi disk. Seichi disk dibenamkan ke dalam air kemudian diamati saat seichi disk mulai tidak terlihat dan diukur sebagai kedalaman pertama (L1). Seichi disk kemudian diangkat perlahan, sampai terlihat kembali dan diukur sebagai kedalaman kedua (L2). Selain itu diukur pula kedalaman perairan (Lo). Nilai kecerahan (C)

didapatkan dari rumus :

3.3.4.5. Total Suspended Solid (TSS)

Pengukuran TSS dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK-IPB pada tanggal 6 – 7 Juli 2010. Sebelumnya kertas saring miliopore 0.45 µm ditimbang terlebih dahulu sebagai berat filter (A mg), kemudian air contoh yang diambil 100ml dan disaring dengan menggunakan filter miliopore 0.45 µm melalui vacuum pump, kemudian dikeringkanpada suhu 105 ⁰C dan ditimbang sebagai berat filter+residu (B mg). Setelah didapatkan berat filter dan filter+residu, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus :

3.3.5. Analisis Data

3.3.5.1. Komposisi Jenis Lamun

(33)

20

………. (3)

………. (3)

Keterangan :

Ki = Komposisi jenis ke-i (%)

ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind) N = Jumlah total individu (ind)

3.3.5.2. Kerapatan Jenis Lamun

Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah total individu suatu jenis lamun dalam unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus (English et al., 1997) :

Keterangan :

Ki = Kerapatan Jenis ke – i (ind/m2)

ni = Jumlah individu atau tegakan dalam transek ke – i (ind) A = Luas total pengambilan sampel (m2)

3.3.5.3. Persentase Penutupan Lamun

Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan lamun. Persentase penutupan lamun ditentukan berdasarkan rumus (English et al., 1997)

(34)

Keterangan :

C = nilai persentase penutupan lamun (%) Mi = nilai tengah kelas penutupan ke – i

Fi = Frekuensi munculnya kelas penutupan ke – i = Jumlah total frekuensi penutupan kelas

3.4. Pengolahan Data Citra

Proses pengolahan data citra menggunakan perangkat lunak Er Mapper 6.4 untuk melakukan proses klasifikasi dan ArcView 3.3 untuk menampilkan hasil klasifikasi. Tahapan-tahapan pengolahan data citra ditampilkan seperti pada Gambar 2.

Pengolahan data citra terdiri dari beberapa tahap yaitu pengolahan awal dan proses klasifikasi. Pengolahan awal terdiri dari pemotongan daerah kajian, koreksi geometrik, koreksi radiometrik, dan menghilangkan nilai darat (masking). Citra satelit Landsat yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan dalam analisis, untuk itu perlu adanya pemotongan citra yang membatasi daerah sesuai lokasi penelitian.

Koreksi radiometrik bertujuan menghilangkan faktor-faktor yang

menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histrogram (histogram adjustment). Respon spektral terendah pada setiap band pada metode ini bernilai nol, sehingga perlu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua band sehingga nilai minimumnya sama.

Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan nilai pantulan dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Penelitian ini menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification)

(35)

22

pada metode ini adalah jumlah kelas, standar deviasi dan jumlah ulangan dalam merata-ratakan kelas. Klasifikasi tak terbimbing mengelompokkan data dengan menganalisa kelas secara otomatis berdasarkan standar deviasi dan jumlah kelas, kemudian menghitung kembali rata-rata kelas tersebut sebanyak jumlah ulangan yang kita berikan. Klasifikasi citra dilakukan pada perangkat lunak Er Mapper 6.4 dengan membagi kelas sebanyak dua puluh kelas, menggunakan nilai standar deviasi tiga dan menggunakan lima ratus kali ulangan.

(36)

Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra

(37)

24

…… (5)

……. (6)

(38)

25 4.1. Parameter Fisika-Kimia Air

Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau Panjang didapatkan hasil yang disajikan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau Panjang

Parameter Stasiun LIPI

(2001) Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Suhu (⁰C) 29,0 – 29,5 29,0 – 29,5 29,5 – 30,0 29,4 – 30,5

Suhu yang terukur selama penelitian cenderung homogen, hanya pada

Stasiun III yang memiliki nilai yang relatif lebih tinggi karena diukur pada waktu siang hari. Menurut LIPI (2001) suhu perairan di Teluk Banten pada bulan Juni berkisar antara 29,4 oC – 30,5 oC. Hal ini tidak berbeda jauh dari hasil pengukuran lapang dan dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu di daerah Teluk Banten belum memiliki perubahan yang cukup besar. Kisaran suhu seperti ini merupakan kondisi yang optimum bagi lamun untuk melakukan fotosintesis, karena suhu yang optimal bagi lamun untuk berfotosintesis menurut Marsh et al (1986) berkisar 25,0 oC

(39)

26

Kisaran salinitas yang terukur selama penelitian berkisar 28,5 ‰– 30,0 ‰, nilai salinitas di wilayah ini banyak dipengaruhi oleh pengenceran akibat masukan air dari darat, hal yang serupa dilaporkan Hadikusumah (2008) bahwa nilai salinitas di Teluk Jakarta (0,5 ‰– 33,46 ‰) banyak dipengaruhi oleh masukan air dari darat. Berdasarkan laporan LIPI (2001) kisaran distribusi salinitas di perairan Teluk Banten pada Bulan Juni 2001 berkisar 30,7 ‰– 31,6 ‰, dimana pada perairan teluk bagian barat massa air terlihat relatif lebih tawar. Masukan air dari darat yang

mempengaruhi salinitas di Pulau Panjang banyak berasal dari Tanjung Kapo dan Pulau Panjang sendiri.

Hasil pengukuran sedimen pada semua stasiun umumnya didominasi oleh fraksi pasir, dominasi fraksi pasir tertinggi terdapat pada Stasiun II dan Stasiun III dengan persentase 98,22% pada Stasiun III dan 94,81% pada Stasiun II. Jenis fraksi debu relatif banyak terdapat di Stasiun I sebesar 28,62% jika dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tinginya fraksi debu pada Stasiun I diakibatkan oleh banyaknya masukan dari darat yang diduga berasal dari limbah rumah tangga dan akumulasi serasah mangrove yang jatuh ke perairan. Penyebaran sedimen di Teluk Banten dipengaruhi oleh energi arus pada bulan-bulan tertentu, berdasarkan

pengukuran sedimen yang dilakukan oleh LIPI (2001) didapatkan bahwa fraksi lumpur dan pasir mendominasi fraksi sedimen pada perairan Pulau Panjang bagian barat pada bulan Juli, sedangkan pada bagian timur Pulau Panjang terdiri dari kerikil dan lempung berpasir.

(40)

Kondisi perairan dengan tingkat kecerahan seperti ini sangat baik bagi pertumbuhan lamun karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Lamun membutuhkan rata-rata radiasi cahaya 11% untuk dapat tumbuh (Hemminga dan Duarte, 2000). Hal ini sangat berbeda dengan kondisi kecerahan perairan Teluk Banten pada tahun 1990, dilaporkan bahwa pada tahun tersebut perairan Teluk Banten termasuk dalam kategori kecerahan yang sangat keruh (lKiswara, 1997). Hal ini disebabkan karena adanya perubahan tata guna lahan dan reklamasi pantai untuk dijadikan daerah pelabuhan dan industri yang dilakukan pada tahun 1989 – 2006 (Yunus, 2008).

Nilai kecerahan perairan secara langsung dipengaruhi oleh nilai total suspended solid, semakin tinggi nilai TSSmaka semakin rendah persentase nilai kecerahan di perairan tersebut. Nilai kecerahan di tiga stasiun pengamatan cukup rendah berkisar 7 mg/L – 11 mg/L jika dibandingkan dengan nilai TSS yang diukur pada daerah Grenyang yang mencapai 30 mg/L. Berdasarkan Laporan LIPI tentang Studi Perairan Teluk Banten (2001), pada tahun 2001 nilai padatan tersuspensi di Pulau Panjang mencapai 32 mg/L dan digolongkan sangat keruh.

4.2. Perubahan Komposisi Jenis Lamun

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di tiga stasiun penelitian didapatkan tiga jenis spesies lamun di wilayah perairan Pulau Panjang. Diantara tiga jenis spesies yang ditemukan dua diantaranya merupakan suku

Potamogetonaceae, yaitu Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulata,

(41)

28

(a) (b)

(c)

Gambar 3. Komposisi jenis lamun di tiap stasiun (a). Stasiun I (b) Stasiun II (c) Stasiun III

Ditemukan dua jenis lamun pada Stasiun I, yaitu Enhalus acoroides dan

(42)

mengalami pemaparan saat surut. Hal yang sama pernah diteliti oleh Terrados et al

(1998) dalam Hemminga dan Duarte (2000) dengan melakukan pengukuran di daerah Asia Tenggara, dalam laporannya disebutkan bahwa hilangnya jenis lamun

Syringodium isoetifolium yang disebabkan karena mendangkalnya perairan akibat tingginya padatan tersuspensi (TSS) sehingga terjadi sedimentasi di perairan tersebut. Larkum et al. (2006)melaporkan bahwa kemungkinan hanya jenis lamun

Enhalusacoroides dan jenis lamun yang memiliki pertumbuhan stem secara vertikal yang cepat (Cymodoceanodosa dan C. serrulata) yang dapat beradaptasi di

perairan yang memiliki karakteristik seperti ini. Pendapat ini diperkuat oleh Kiswara (1997) yang melaporkan bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dapat tumbuh subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air, dan sulit tumbuh di daerah yang dangkal. Stasiun I merupakan daerah yang dekat dengan perumahan padat

penduduk, diduga tingginya TSS akibat dari masukan limbah rumah tangga dan akumulasi serasah yang dihasilkan oleh mangrove.

Berbeda dengan Stasiun I, pada Stasiun II dan Stasiun III didominasi oleh jenis lamun Syringodium isoetifolium. Komposisi terbesar ditemukan di Stasiun III dengan persentase 81% sedangkan pada Stasiun II sebesar 60%. Jenis lamun

Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata juga ditemukan di stasiun ini tetapi dengan persentase yang sedikit.

(43)

30

Tabel 4. Komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010

Jenis

2009) (data penelitian)

Enhalus acoroides x x x

Kiswara (1997) mengambil data di perairan Teluk Banten pada tahun 1989, sedangkan Zulkarnain pengambilan data dilakukaan perairan Pulau Panjang pada tahun 2008.

Kiswara (1997) melaporkan pada tahun 1989 di Teluk banten terdapat 7 jenis lamun antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Tahun 1998 – 2001 jumlah lamun yang ditemukan pada daerah yang sama

(44)

pada tahun 2010 dimana hanya ditemukan tiga jenis lamun yaitu jenis Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, dan Syringodium isoetifolium. Lamun jenis

Thalassia hemprichi tidak ditemukan lagi di Pulau Panjang, berdasarkan laporan Kiswara (1997) jenis lamun Thalassia hemprichi tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah yang berasosiasi dengan mangrove, sedangkan daerah Pulau Panjang memiliki komunitas mangrove yang cukup luas di bagian barat dan selatan.

4.3. Kerapatan Jenis Lamun

Kerapatan jenis lamun mempunyai ketergantungan terhadap jenisnya, lamun jenis Syringodium isoetifolium akan lebih rapat jika dibandingkan dengan lamun jenis

Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata karena berhubungan dengan ukuran daun dan letak pertumbuhan daun. Kerapatan total lamun di Pulau Panjang

digambarkan pada grafik yang disajikan dalam Gambar 4, sedangkan kerapatan jenis lamun digambarkan pada Gambar 5.

Gambar 4. Kerapatan total lamun

0 20 40 60 80 100 120

(45)

32

Kerapatan lamun tertinggi ditemukan di Stasiun III yang mencapai 110 ind/m2, sedangakan terendah pada Stasiun I mencapai 13 ind/m2. Tidak ditemukannya jenis

Syringodium isoetifolium pada Stasiun I menjadi penyebab rendahnya nilai kerapatan total di wilayah ini. Pertumbuhan lamun yang kurang baik di Stasiun I diantaranya disebabkan oleh tingginya nilai TSS yang disebabkan oleh buangan limbah rumah tangga, kapal dan serta serasah mangrove, dangkalnya perairan sehinggatersingkap pada saat surut yang diduga dapat mengakibatkan tidak optimalnya pertumbuhan lamun dan tidak terdapatnya beberapa jenis lamun yang didapatkan di Stasiun lain.

Gambar 5. Kerapatan rata-rata jenis lamun

Jenis lamun Enhalus acoroides dapat ditemukan di Stasiun I, Stasiun II, dan stasiun III, namun kerapatan tertinggi ditemukan di Stasiun II (10 ind/m2)

dibandingkan dengan Stasiun I (9 ind/m2) dan Stasiun III (8 ind/m2). Sulitnya lamun

0

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Enhalus

Cymodocea

(46)

berkembang di Stasiun I diduga karena relatif dangkalnya perairan pada saat surut rendah serta merupakan perairan yang relatif banyak mendapat dampak

antropogenous yang berasal dari limbah rumah tangga, kapal, limbah pencucian rumput laut, buangan kapal, serta serasah mangrove sehingga memiliki padatan tersuspensi yang relatif tinggi, yaitu 13 mg/L.

Jenis lamun Syringodium isoetifolium merupakan jenis lamun yang memiliki nilai kerapatan yang tinggi di Stasiun III maupun di Stasiun II. Syringodium

isoetifolium dapat tumbuh dengan baik pada Stasiun II dan Stasiun III, karena

tumbuh pada perairan yang relatif dalam walaupun sedang surut dangkal dan sedikit mendapat dampak antropogenous sehingga tidak terlalu mengalami sedimentasi. Wilayah perairan yang memiliki padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengalami sedimentasi dan menyebabkan Syringodium isoetifolium sulit untuk berkembang (Hemminga dan Duarte, 2000). Tinginya kerapatan Syringodium isoetifolium di Stasiun III disebabkan karena substrat yang cocok untuk habitatnya, yang sebagian besar merupakan pasir berlumpur dengan nilai TSS 9 mg/L. Jenis lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata juga tumbuh dengan baik dan membentuk komunitas campuran yang berasosiasi dengan beberapa jenis alga, seperti Sargassum, Padina, dan Halimeda.

Laporan Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Perairan Teluk Banten 1998 - 2001 (Kiswara, 2004) mendapatkan kerapatan jenis Enhalus acoroides berkisar (40

(47)

34

Gambar 6. Kerapatan rata-rata lamun Teluk Banten pada tahun 2000 (Kiswara, 2004)

Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang, diduga banyak disebabkan karena meningkatnya aktifitas penggerukan wilayah daratan pada kisaran tahun 1989 - 2002 sehingga meningkatnya nilai kekeruhan di perairan (Yunus, 2008). Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah tingginya nilai padatan tersuspensi yang masuk ke perairan yang mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan dan juga perubahan struktur komposisi sedimen.

4.4. Persen Penutupan Lamun

Persen penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi oleh lamun. Mengukur persen penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat

(48)

status dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi (Humminga dan Duarte, 2000). Hasil persentase penutupan lamun di berbagai stasiun ditampilkan seperti pada Gambar 7.

Gambar 7. Persen penutupan lamun

Persen penutupan lamun tertinggi berada pada Stasiun III sebesar 23,3% dan terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Tingginya persen penutupan lamun di Stasiun III dipengaruhi oleh tingginya kerapatan jenis lamun di stasiun ini. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada Stasiun III merupakan habitat yang ideal bagi beberapa jenis lamun untuk tumbuh dan berkembang. Tingginya kerapatan jenis lamun Syringodium isoetifolium danCymodocea serrulata menjadi alasan mengapa persen penutupan lamun di Stasiun III menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Stasiun I dan Stasiun II.

14,6

17,8

23,3 Stasiun I

Stasiun II

(49)

36

4.5. Perubahan Luas Lamun

Berdasarkan hasil pengolahan citra didapatkan nilai perubahan luas lamun dari tahun 1990 sampai dengan 2010 yang tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990 – 2010

Tahun Luas Lamun (ha) Perubahan Luas (ha) Perubahan Luas (%)

1990 67,0 - -

2000 54,3 -12,7 - 19,0

2005 31,4 -22,9 - 53,2

2010 24,2 -7,2 - 63,9

Hasil analisis citra memperlihatkan pengurangan luas padang lamun dari tahun ke tahun terus bertambah. Selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi pengurangan luas lamun sebesar 63,9 % dari tahun 1990. Pengurangan terbesar terjadi pada selang waktu 2000 - 2005 dengan penurunan sekitar 22,9 ha.

Kerusakan padang lamun terus bertambah di daerah Teluk Banten pada selang waktu 1989 – 2002 akibat dari aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan reklamasi pantai untuk dijadikan daerah industri dan pelabuhan (Yunus, 2008). Meningkatnya aktivitas tersebut mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi yang terkandung di perairan, pada pengukuran TSS di wilayah barat Teluk Banten dan Pulau Panjang pada tahun 2000 adalah 37,8 mg/L dan 33,3 mg/L (LIPI, 2001) sedangkan data yang didapatkan dari hasil pengukuran pada tahun 2010 di daerah yang sama adalah 9 mg/L dan 30 mg/L.

(50)

dengan daerah reklamasi. Hal yang serupa juga pernah terjadi di beberapa negara lain seperti Australia bagian selatan pada tahun 1990 dan Eropa Selatan akibat tingginya materi tersuspensi yang masuk ke perairan karena sedimentasi yang dihasilkan oleh kegiatan industri dan pelabuhan (Cambridge dan McComb, 1984). Selain itu Peres dan Pickard (1975) dalam Hemminga dan Duarte (2000)

melaporkan bahwa limbah dan sedimentasi merupakan faktor penting dalam hilangnya Posidonia oceanica dari perairan pesisir laut Tengah Perancis.

Masalah lain yang dapat menimbulkan hilangnya lamun akibat aktivitas manusia adalah peletakan jangkar perahu, baling-baling motor, dan pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Faktor alami yang turut mengancam

keberadaan lamun adalah bencana alam seperti tsunami dan badai, gelombang pantai, komunitas ikan, overgrazing oleh bulu babi,dan sedimentasi.

Pola perubahan luas tutupan padang lamun pada tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 ditampilkan seperti pada Gambar 8. Wilayah yang mengalami kehilangan padang lamun terbanyak adalah di bagian barat dan timur Pulau Panjang.

Hilangnya padang lamun di bagian barat Pulau Panjang diduga diakibatkan karena aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan reklamasi pantai untuk

dijadikan daerah industri dan pelabuhan di bagian barat Teluk Banten (Bojonegara). Wilayah ini berhadapan langsung dengan bagian barat Pulau Panjang sehingga mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi barat Pulau Panjang yang

(51)

38

Gambar 8. Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang 38

(52)

Kehilangan lamun di wilayah timur Pulau Panjang diduga diakibatkan oleh arus dan padatan tersuspensi masukan dari limbah rumah tangga. Wilayah timur Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa sehingga rata-rata

kecepatan arusnya relatif tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh LIPI (2001) kecepatan arus di wilayah ini berkisar 1,0 cm/det – 35 cm/det pada bulan April dan 1,1 cm/det – 19,4 cm/det pada bulan Oktober sehingga sedimen yang ditemukan pada bulan-bulan ini berupa kerikil, pasir dan pasir lanau.

Pengukuran padatan terlarut (TSS) pada bagian tenggara Pulau Panjang adalah 28 mg/L, tingginya nilai padatan terlarut ini diduga merupakan masukan dari limbah rumah tangga dan serasah mangrove. Perairan yang dangkal dan tingginya laju sedimentasi akibat masukan dari darat dan serasah mangrove, menjadikan wilayah ini tersingkap pada saat terjadi air surut rendah.

4. 6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi

Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat matriks kontingensi. Matriks ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi unsupervised citra dengan data lapang (ground truth). Hasilnya didapatkan nilai akurasi total, sebesar 57 % dan akurasi lamun sebesar 60%, seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Akurasi

Peta Klasifikasi Survey Lapang Jumlah Akurasi Lamun (%)

Akurasi Total (%)

Lamun Substrat Lain

Lamun 30 20 50 60 57

Substrat Lain 23 27 50

(53)

40

Hasil dari uji akurasi lamun menggambarkan 60% dari kelas lamun hasil klasifikasi terkelaskan dengan benar di lapangan. Relatif rendahnya nilai akurasi yang didapatkan berhubungan dengan resolusi spasial citra dan tipe GPS yang digunakan pada saat ground truth. Shepard (1995) dalam Green et al. (2000) yang melakukan uji akurasi Citra Landsat TM di Pulau Caicos, Turki mendapatkan nilai akurasi sebesar 59% untuk lamun dan 73% untuk akurasi total. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dekker (2005) dalam Yang dan Chaoyu (2009) meneliti perubahan luas lamun di wilayah Australia dari tahun 1988 – 2002 mendapatkan akurasi sebesar 76%. Green et al. (2000) menyatakan bahwa citra yang digunakan mempengaruhi besarnya nilai akurasi yang didapatkan, semakin baik resolusi spasial sebuah citra semakin baik nilai akurasi yang bisa didapatkan. Hal lain yang juga dapat mempengaruhi akurasi citra hasil klasifikasi adalah kekeruhaan perairan dan kedalaman ojek.

(54)

41 5.1. Kesimpulan

Pulau Panjang merupakan daerah yang cukup baik untuk ditumbuhi oleh jenis lamun tertentu terutama jenis lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata, kecuali Syringodium isoetifolium yang tidak dapat tumbuh di Stasiun I (sebelah tenggara Pulau Panjang) tetapi tumbuh baik di Stasiun II (sebelah selatan Pulau Panjang) dan Stasiun III (sebelah Barat Pulau Panjang).

Komposisi jenis lamun yang ditemukan terdiri dari Enhalus acoroides,

Cymodocea serrulata, dan Syringodium isoetifolium. Kerapatan jenis Syringodium isoetifolium tertinggi di Stasiun III. Jenis lamun Syringodium isoetifolium tertinggi ditemukan di Stasiun III, dan terendah pada Stasiun I. Komposisi jenis lamun dan kerapatan jenis lamun di Pulau Panjang dan Teluk Banten berkurang mulai dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2010, yang diduga akibat dari aktivitas manusia berupa reklamasi pantai dan pembangunan industri.

Persen penutupan lamun tertinggi didapatkan di Stasiun III (23,3 %) dan terendah ditemukan di Stasiun I (14,6 %), tinggi dan rendahnya kerapatan lamun jenis Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium dapat mempengaruhi persen penutupan di wilayah tersebut.

(55)

42

5.2. Saran

Stasiun III merupakan tempat yang cocok untuk diadakan rehabilitasi lamun, karena tingginya komposisi, kerapatan, dan persen penutupan di wilayah tersebut yang menjadi indikasi bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulata tertentu tumbuh baik di wilayah ini. Sebagai rekomendasi Pemerintah Daerah, perlunya dilakukan rehabilitasi transplantasi lamun di daerah Pulau Panjang, sehingga penurunan luas daerah lamun dapat dikurangi. Selain itu perlu adanya kajian sosial ekonomi masyarakat setempat akibat dari berkurangnya komunitas lamun di daerah tersebut.

Ketelitian hasil klasifikasi citra juga tergantung dari akurasi spasial citra dan akurasi GPS yang digunakan. Peneliti disarankan menggunakan citra yang

(56)

43

DAFTAR PUSTAKA

Cambridge, M. L., dan McComb, A. J. (1984). The Loss of Seagrasses in Cockburn Sound, Western Australia, the Time Courseand Magnitude of Seagrass Decline in Relation to Industrial Development. Aquat Bot. 20: 229–243. Congalton, R.G. 1991. A Review of Assessing the Accuracy of Classifications of

Remotely Sensed Data. Remote Sensing of Environment. 37 : 35–46. Dewayani, S. 2000. Manfaat Inderaja SIG untuk Pengembangan Perikanan Laut:

Potensi Pengembangan Budidaya Ikan dalam Keramba Apung. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor : 29 Oktober – 3 November 2001. Hal : 226-235.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius : Yogyakarta.

English, S., Wilkinson, C., dan Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fyfe, S. K. 2004. Hyperspectral studies of New South Wales Seagrass with

Particular Emphasis on the Detection of Light Stress in Eelgrass Zostera capricorni. PhD thesis. School of Earth and Environment Science, University of Wollungong. New South Wales, Australia.

Green, P. E., Peter, J. M., dan Clark, K. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing. Paris.

Hadikusumah. 2008. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Cisadane. Makara Sains. 12 (2) : 82-88.

Hemminga, M. A. dan Duarte. C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge : Cambridge University Press. Australia.

Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta, Indonesia.

Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.

(57)

44

Kiswara, W, 1995. Degradasi Padang Lamun di Teluk Banten: Pengaruhnya Terhadap Sumberdaya Perikanan. Prosiding pada Simposium Perikanan I. 25-27 Agustus 1993. Jakarta, Indonesia.

Kiswara, W. 1997. Inventarisasi dan evaluasi Sumberdaya Pesisir : Struktus Komunitas Padang Lamun di Teluk Banten. Makalah Kongres Biologi Indonesia XV. Jakarta, Indonesia.

Kiswara, W. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 – 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Kuriandewa, T. E. 2009. Tinjauan Tentang Lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.

Larkum, A. W., Roberth, J. O., dan Duarte, C. M. 2006. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht, Netherlands.

Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia. 2001. Laporan Penelitian Wilayah Pesisir Teluk Banten Tahap Kedua. Jakarta, Indonesia.

Lillesand, T. M., dan Kiefer, R. W. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Edisi Ketiga., Alih Bahasa : Dulbahri, S., Hartono, P., Suharyadi. Gajah Mada Press.

Marsh J. A, Dennison, W. C. dan Alberte, R. C. 1986. Effects of Temperature on Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) Journal Exp Mar Biol Ecol. 101: 257–267.

McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 - 20 Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9 – 16.

Nontji. A. 2005. Laut Nusantara Edisi Ke-4. Jakarta: Djambatan.

Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.

Phillips, R.C. and Menez, E. G. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contributions to the Marine Sciences, No. 34. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C. Supriyadi, I. H. 2008. Pemetaan Kondisi Lamun dan Bahaya Ancamannya dengan

(58)

Thomas M. L., dan Ralph W. K. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. John Willey & Sons Inc. New York.

Yang, D. dan Chaoyu, Y. 2009. Detection of Seagrass Distribution Changes from 1991 to 2006 in Xincun Bay, Hainan, with Satellite Remote Sensing. Sensors. 9 : 830-844

Yunus. S. 2008. Penilaian Dampak Aktivitas Manusia Pada Kerusakan Ekosistem Padang Lamun di Pantai Barat Teluk Banten. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan – Universitas Indonesia.

(59)
(60)
(61)
(62)
(63)

49

Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan

Transek Kuadrat Roll Meter

Seichi disck Termometer

(64)

Stasiun I Kondisi Lamun St. I

Stasiun II Kondisi Lamun St. II

(65)

51

(66)

Lampiran 3. Data Ground Truth untuk Uji Akurasi

Waypoint Klasifikasi Lapang No. Tematik Lapang

1 Substrat Lain Substrat Lain 51 Lamun Lamun

14 Substrat Lain Substrat Lain 64 Lamun Substrat Lain

15 Substrat Lain Lamun 65 Lamun Lamun

16 Substrat Lain Substrat Lain 66 Substrat Lain Substrat Lain

17 Substrat Lain Substrat Lain 67 Substrat Lain Substrat Lain

18 Substrat Lain Substrat Lain 68 Substrat Lain Substrat Lain

19 Substrat Lain Substrat Lain 69 Substrat Lain Substrat Lain

20 Substrat Lain Substrat Lain 70 Substrat Lain Lamun

(67)

53

Lanjutan …

Waypoint Klasifikasi Lapang No. Tematik Lapang

36 Lamun Substrat Lain 86 Substrat Lain Substrat Lain

37 Lamun Lamun 87 Substrat Lain Lamun

38 Lamun Lamun 88 Substrat Lain Substrat Lain

39 Lamun Substrat Lain 89 Substrat Lain Substrat Lain

40 Lamun Lamun 90 Lamun Substrat Lain

41 Lamun Substrat Lain 91 Lamun Substrat Lain

42 Lamun Substrat Lain 92 Lamun Substrat Lain

43 Lamun Substrat Lain 93 Lamun Substrat Lain

44 Lamun Substrat Lain 94 Lamun Substrat Lain

45 Lamun Substrat Lain 95 Lamun Substrat Lain

46 Lamun Substrat Lain 96 Lamun Lamun

47 Lamun Substrat Lain 97 Substrat Lain Substrat Lain

48 Lamun Substrat Lain 98 Substrat Lain Lamun

49 Lamun Lamun 99 Substrat Lain Lamun

(68)

Lampiran 4. Koreksi Kondisi Pasang Surut

Citra Landsat mengorbit secara polar dengan waktu perekaman yang sama di wilayah ekuator yaitu pukul 09.45 – 10.15.

a. Koreksi Data Pasang Surut Citra Landsat TM MSS 2000 Perekaman Citra 14 Mei 2000

Berikut ini adalah data pasut perekaman bulan Mei tahun 2000

Pola Pasang Surut Tanggal 14 Mei 2000

(69)

55

b. Citra Koreksi Data Pasang Surut Landsat ETM+ Tahun 2005 Perekaman Citra 22 April 2005

Berikut ini adalah data pasut perekaman bulan April tahun 2005

Pola Pasang Surut Tanggal 22 April 2005

(70)

c. Koreksi Data Pasang Surut Citra Landsat ETM+ 2010 Perekaman Citra 4 Maret 2010

Berikut ini adalah data pasut perekaman bulan Maret tahun 2010

Pola Pasang Surut Tanggal 4 Maret 2010

(71)

57

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Makassar pada tanggal 10 Agustus 1988 dari pasangan Bapak Drs. H. Sakaruddin M. Pd dan Ibu Hj. St. Jumriah Umar S. E, sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Lulus dari SMU Negeri 5 Makassar pada tahun 2006, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan memilih masuk ke Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun ke II.

Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi

kemahasiswaan, seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa TPB (2006-2007) dan FPIK (2007/2008). Penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi

Kelautan (Himiteka) pada tahun 2007-2009 dan sempat menjabat sebagai Ketua Umum pada periode 2008-2009. Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Biologi Laut tahun 2007-2009, Pemetaan Sumber Hayati Laut 2008-2009, dan Sistem Informasi Geografis 2010-2011.

Gambar

Tabel 1.  Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips & Menez (1988)
Gambar 1.  Peta lokasi penelitian
Tabel 2.  Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 2.  Diagram Alir Pengolahan Citra
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hipertensi  merupakan  peningkatan  tekanan  darah  yang  memberi  gejala  yang  berlanjut  untuk  suatu  target  organ, 

Dinding panel dengan perkuatan tulangan diagonal bambu memiliki kekakuan lebih besar karena bambu memiliki kuat tarik yang tinggi sehingga dapat menahan defleksi

Kompresi dada dengan kecepatan lebih rendah dari 100 x/ menit atau lebih cepat dari 120 x/ menit. Kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inchi

Hal ini dapat menunjukkan bahwa rusaknya terumbu karang diperkirakan sebagai akibat sebagian besar kelompok penduduk lokal secara sosial dan ekonomi tergolong tidak berdaya

reaksi terhadap kejadian, masalah atau trauma yang sangat berat pada individu akibat ketidakmampuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang dialami7. •

Menanggapi berbagai orientasi ideologis gerakan-gerakan Islam yang muncul, Muhammad Abduh (dalam Gibb: 1978:33) memperjuangkan pemurnian Islam dengan empat rumusan,

sesuai dengan proposisi rasionalitas adalah aktor yang memaksimalkan kegunaannya. Manusia sebagai aktor akan membanding-bandingkan jumlah hadiah dari hasil tindakan yang

Selain itu, siswa yang berada pada kategori ren- dah sebelum perlakuan 4 siswa sesudah perlakuan menjadi 2 siswa, dengan rincian 1 siswa saat pra tes rendah menjadi