• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sifat Kimia dan Fisik Sub Grup Tanah Ultisol di Wilayah Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Sifat Kimia dan Fisik Sub Grup Tanah Ultisol di Wilayah Sumatera Utara"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Kriteria Penilaian Sifat – Sifat Tanah

Menurut : 1) Balai Penelitian Tanah Bogor, 2009 2) Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983 Sifat Tanah Satuan Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

(2)

Lampiran 2. Titik koordinat pengambilan sampel tanah pada Typic Hapludults di Desa Tonduhan Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun

Sampel Koordinat X Koordinat Y

Ketinggian tempat

(dpl)

Vegetasi

(3)

Lampiran 3. Titik koordinat pengambilan sampel tanah pada Typic Paleudults di Desa Gergas Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

Sampel Koordinat X Koordinat Y

(4)

Lampiran 4. Titik koordinat pengambilan sampel tanah pada Psammentic Paleudults di Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Sampel Koordinat X Koordinat Y

Ketinggian

14 99o52’33.99’’ 01o51’09.30’’ 108 m Bekas replanting tanaman karet

(5)

Lampiran 5. Titik koordinat pengambilan sampel tanah pada Typic Plinthudults di Desa Langgapayung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Sampel Koordinat X Koordinat Y

(6)

Lampiran 6. Titik koordinat pengambilan sampel tanah pada Typic Ochraquults di Desa Sukaluwe Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Deli Serdang

Sampel Koordinat X Koordinat Y

Ketinggian

10 98o50’06.97’’ 03o20’35.19’’ 148 m Tumpang sari tanaman kelapa sawit dan jagung

(7)

Lampiran 7. Titik koordinat pengambilan sampel tanah pada Typic Paleaquults di Desa Tanah Jawa Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun

Sampel Koordinat X Koordinat Y

Ketinggian tempat

(dpl)

Vegetasi

(8)

Lampiran 8. Peta titik pengambilan sampel tanah pada Typic Hapludults di Desa Tonduhan Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun

(9)

Lampiran 10. Peta titik pengambilan sampel tanah pada Psammentic Paleudults di Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

(10)

Lampiran 12. Peta titik pengambilan sampel tanah pada Typic Ochraquults di Desa Sukaluwe Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Deli Serdang

(11)

Lampiran 14. Vegetasi Pada Masing-Masing Sub Grup Ultisol

Gambar 1. a) vegetasi kelapa sawit pada umur ± 17 tahun pada Typic Hapludults, b) vegetasi kelapa sawit pada umur ± 10 tahun pada Typic Hapludults

Gambar 2. a) vegetasi karet pada umur ± 15 tahun pada Typic Paleudults, b) vegetasi karet pada umur ± 2 tahun pada Typic Paleudults

(a) (b)

(12)

Gambar 3. a) vegetasi karet pada Psammentic Paleudults, b) vegetasi pakis dan alang-alang pada Psammentic Paleudults, c) vegetasi ubi kayu pada Psammentic Paleudults

(a) (b)

(c)

(13)

Gambar 4. a) vegetasi karet pada Typic Plinthudults, b) vegetasi kelapa sawit pada Typic Plinthudults, c) vegetasi kelapa sawit, anakan kayu, pakis-pakisan pada Typic Plinthudults

Gambar 5. Vegetasi jagung dan kelapa sawit yang ditumpangsarikan pada Typic Ochraquults

(14)

Gambar 6. a) vegetasi ubi kayu pada Typic Paleaquults, b) vegetasi jagung pada Typic Paleaquults

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Adiwiganda, R., A. Purba., dan Z. Poeloengan. 1996. Pengolahan Tanah Areal Peremajaan Kelapa Sawit Berdasarkan Sifat Tanah Pada Tingkat Sub Grup (Macam). Warta PPKS. Vol. 4(1) : 9 – 22.

Adiwiganda, R., A. U. Lubis., dan P. Purba. 1994. Karakteristik Tanah Pada Beberapa Tingkat Famili di Areal Kelapa Sawit Indonesia. Berita PPKS. Vol. 2

Basyuni, Z. 2009. Mineral dan Batuan Sumber Unsur Hara P dan K. Universitas Jenderal Soedirman. Purbalingga.

Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin dan H. Hanum. 2011. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.

Fitriatin, B. N., A. Yuniarti., T. Turmuktini., dan F. K. Ruswandi. 2014. The Effect of Phosphate Solubilizing Microbe Producing Growth Regulators on Soil Phosphate, Growth and Yield of Maize and Fertilizer Efficiency on Ultisol. Eurasian J. of Soil Sci. Indonesia. Hal:101-107.

Foth, H. D. 1995. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Edisi ketujuh. Terjemahan Purbayanti, dkk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 782 hal.

Hakim, N. M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., S. G. Nugroho., M. R. Saul., M. Diha., G. B. Hong., dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.

Hidayat, A., dan A. Mulyani. 2005. Lahan Kering Untuk Pertanian. hal: 7-37 dalam Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Pengembangan dan Agroklimat. Bogor.

Kasno, A. 2009. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah. Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Kustantini, D. 2013. Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani Melalui Penggunaan Pola Tanam Tumpangsari Pada Produksi Benis Kapas. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan. Surabaya.

(16)

Mukhlis. 2014. Analisis Tanah Tanaman. Edisi kedua. USU Press. Medan.

Mukhlis dan Fauzi. 2003. Pergerakan Unsur Hara Nitrogen Dalam Tanah. USU digital Library. Medan.

Mukhlis., Sarifuddin., dan H. Hanum. 2011. Kimia Tanah, Teori dan Aplikasi. USU Press. Medan.

Mulyani, A., A. Rachman., dan A. Dairah. 2010. Penyebaran Lahan Masam, Potensi dan Ketersediaannya Untuk Pengembangan Pertanian. dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal: 23-34

Munir, M. 1995. Tanah-Tanah Utama Indonesia, Karakteristik, Klasifikasi, dan Pemanfaatannya. PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.

Nita, I., E. Listyarini., dan Z. Kusuma. 2014. Kajian Lengas Tersedia Pada Toposekuen Lereng Utara G. Kawi Kabupaten Malang Jawa Timur. J. Tanah Dan Sumberdaya Lahan. Vol.1(2). Hal: 49-57.

Nugroho, P. A dan Istianto. 2009. Karakteristik dan Potensi Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Tanaman Karet di Sebagian Wilayah Pulau Laut, Kalimantan Selatan. J. Penelitian Karet. Vol. 27(2). Hal:51-64

Nurmasyitah., Syafruddin., dan M. Sayuthi. 2013. Pengaruh Jenis Tanah dan Dosis Fungi Mikoriza Arbuskular Pada Tanaman Kedelai Terhadap Sifat Kimia Tanah. J. Agrista. Vol.17(3). Hal: 103-110.

Nursyamsi, D., K. Idris., S. Sabiham., D. A. Rachim., dan A. Sofyan. 2007. Sifat-Sifat Tanah Dominan yang Berpengaruh Terhadap K Tersedia pada Tanah-Tanah yang Didominasi Smektit. J. Tanah dan Iklim. No.26

Prasetyo, B. H. 2009. Tanah Merah dari Berbagai Bahan Induk diIndonesia: Prospek dan Strategi Pengelolaannya. J. Sumberdaya Lahan. Vol. 3(1). Hal: 47-60

Prasetyo, B. H., D. Subardja., dan B. Kaslan. 2005. Ultisols Bahan Volkan Andesitik: Diferensiasi Potensi Kesuburan dan Pengelolaannya. J. Tanah dan Iklim. No. 23

Prasetyo, B. H., N. Suharta., H. Subagyo., and Hikmatullah. 2001. Chemical and Mineralogical Properties of Ultisols of Sasamba Area, East Kalimantan. Indo. J. of Agri. Sci. Vol. 2(2) Hal: 37-47.

(17)

Regional Office for Asia and the Pacific. 1994. AEZ in Asia. Proceedings af the Regional Workshop on Agro-Ecological Zones Methodology and Applications. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Thailand.

Sarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.

Saeed, S., M.Y.K. Barozai., dan S.H. Shah. 2014. Impact of Altitude on Soil Physical and Chemical Properties in Sra Ghurgai (Takatu Mountain Range) Quetta, Balochistan. International J. of Sci. and Engineering Research. Vol. 5(3) hal: 730-735.

Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB Bandung. Bandung.

Septiana, M. 2013. Penilaian Kualitas Tanah Ultisols dibawah Vegetasi Karet di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Agroscientiae. J. Ilmiah. Vol. 20(2) hal: 74-79.

Soil Survey Staff. 2014. Key to Soil Taxonomy Twelfth Edition. United States Department of Agriculture Natural Resources Concervation Service. USA.

Subagyo, H., N. Suharta., dan A. B. Siswanto. 2004. Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia. Hal:21-66 dalam Buku Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

. 2000. Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia. Hal:21-66 dalam Buku Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai Pada Lahan Kering Masam. Iptek Tanaman Pangan. Vol.2(1).

Subandiono, R. E., E. Suryani., dan D. Subardja. 2014. Sifat-Sifat Tanah pada Lahan Potensial Untuk Pengembangan Pertanian di Provinsi Jambi dan Implikasi Pengelolaannya. J. Tanah dan Iklim. Vol. 38(1) Hal: 51-62.

Sudaryono. 2009. Tingkat Kesuburan Tanah Ultisol Pada Lahan Pertambangan Batubara Sangatta Kalimantan Timur. J. Tek. Ling. Vol. 10(3). Hal:337-346.

(18)

Suharta, N dan B. H. Prasetyo. 2008. Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau. J. Tanah dan Iklim. No. 28.

Supriyadi, S. 2007. Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura. Embryo Vol.4(2).

Sutaryo, B., A. Purwantoro., dan Nasrullah. 2005. Seleksi Beberapa Kombinasi Persilangan Padi Untuk Ketahanan Terhadap Keracunan Aluminium. J. Ilmu Pertanian. Vol. 12(1). Hal: 20-31.

Tambunan, W. A. 2008. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tanah Hubungannya Dengan Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Kebun Kwala Sawit PTPN II. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Diterjemahkan oleh Didiek Hadjar Goenadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Utomo, B. 2008. Perbaikan Sifat Tanah Ultisol Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Eucalyptus urophylla Pada Ketinggian 0 – 400 meter. Karya Ilmiah. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Winarna, F., S. Sutarta., dan S. Rahutmono. 2002. Karakteristik Tanah Oxisol dan Kesesuaiannya Untuk Tanaman Kelapa Sawit: Studi Kasus Perkebunan Pelaihari Kalimantan Selatan. J. Penelitian Kelapa Sawit. Vol. 10(1). Hal: 1-9.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah: Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gaya Media. Yogyakarta.

(19)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di wilayah Sumatera Utara yang terdiri dari

beberapa Desa yaitu Desa Tonduhan, Desa Gergas, Desa Aek Goti, Desa

Langgapayung, Desa Sukaluwe dan Desa Tanah Jawa dan analisis tanah di

lakukan di Laboratorium Research and Development PT. NPK Analytical & QC

Laboratory, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, penelitian ini dilaksanakan pada

bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Agustus 2015.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah peta

administrasi penelitian skala 1:1.000.000, peta jenis tanah skala 1:1.000.000,

jenis tanah Ultisol dengan 6 sub grup tanah yaitu Typic Hapludults, Typic

Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults, dan

Typic Paleaquults, serta bahan kimia yang digunakan untuk analisis tanah

dilaboratorium.

Adapun alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah GPS (Global

Positioning System) untuk menentukan titik pengambilan sampel, bor tanah untuk

mengambil sampel tanah, cangkul untuk membersihkan permukaan tanah,

kantong plastik sebagai wadah sampel tanah, spidol permanent untuk menandai

setiap perlakuan, kertas label, alat tulis, serta alat-alat lain yang mendukung dalam

penelitian ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan

(20)

Ultisol. Teknik sampling berdasarkan metode purposive random sampling.

Contoh tanah pada 6 sub grup masing - masing di ambil dengan menggunakan bor

tanah pada kedalaman 0-30 cm.

Adapun lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada

Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel tanah pada setiap sub grup tanah Ultisol

Pelaksanaan Penelitian Tahap persiapan

Sebelum melakukan penelitian di lapangan, terlebih dahulu di lakukan

konsultasi dengan komisi pembimbing, pengadaan peralatan, studi literatur,

penyusunan usulan penelitian, penyediaan peta lokasi penelitian, pengumpulan

data-data sekunder daerah penelitian serta penyediaan bahan dan peralatan yang

akan digunakan di lapangan.

Pelaksanaan kegiatan

Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan mengadakan survei pendahuluan

untuk orientasi lapangan penelitian. Pengambilan contoh tanah di lakukan dengan

pengeboran pada kedalaman 0-30 cm. Sampel tanah diambil pada setiap sub grup No. Sub Grup

Tanah Ultisol Lokasi

1. Typic Hapludults Desa Tonduhan, Kecamatan Tonduhan, Kabupaten Simalungun

2. Typic Paleudults Desa Gergas, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat

3. Psammentic Paleudults

Desa Aek Goti, Kecamatan Silangkitan, Kabupaten Labuhan Batu Selatan

4. Typic Plinthudults Desa Langgapayung, Kecamatan Sungai Kanan, Kabupaten Labuhan Batu

5. Typic Ochraquults Desa Sukaluwe, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang

(21)

tanah berdasarkan lokasi yang telah tentukan. Sebelum dilakukan pengambilan

sampel, permukaan tanah dibersihkan terlebih dahulu dari rumput-rumputan, batu,

dan sisa-sisa tanaman. Pengambilan contoh tanah pada setiap sub grup di ambil

secara zig-zag pada beberapa titik sampel, kemudian tanah yang sudah diambil di

kompositkan menjadi satu sampel. Sampel tanah yang telah di kompositkan

dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah diberi tanda perlakuan dan di

catat titik koordinat posisi pengeboran, bujur, lintang, vegetasi, dan ketinggian

tempat dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Kemudian contoh

tanah tersebut dikering udarakan dan di analisis di Laboratorium Research and

Development PT. NPK Analytical & QC Laboratory, Tebing Tinggi, Sumatera

Utara, yang meliputi : tekstur tanah, pH tanah, Al-dd, C-organik, N-total, P-total,

P-tersedia, K-tukar, kapasitas tukar kation, kejenuhan aluminium, dan kejenuhan

basa.

Parameter yang Diamati

- Tekstur tanah dengan metode Hydrometer

- pH H2O tanah dengan metode elektrometri

- Al-dd (me/100 g) tanah dengan metode KCl 1 N

- C-organik (%) tanah dengan metode Walkley and Black

- N-total (%) tanah dengan metode Kjeldhal

- P-tersedia (ppm) tanah dengan metode Bray II

- P-total (%) tanah dengan metode destruksi asam asam perkhlorat (HClO4)

pekat

(22)

- Kapasitas tukar kation (me/100 g) tanah dengan metode ekstraksi 1 N NH4Oac

pH 7

- Kejenuhan basa (%) tanah dengan menggunakan metode ekstraksi1 N NH4Oac

pH 7

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat

yang dinyatakan dalam persen. Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena

butir-butirnya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram)

mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan)

air dan unsur hara. Tanah-tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap

satuan berat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan

menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Berdasarkan hasil analisis

tekstur tanah yang dilakukan pada enam sub grup tanah Ultisol diperoleh data

yang tertera pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hasil Analisis Tekstur Tanah Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol Pasir Debu Liat Tekstur ---%---

Typic Hapludults 58,59 3,45 37,96 Liat Berpasir Typic Paleudults 36,88 17,53 45,59 Liat

Psammentic Paleudults 82,72 13,81 3,46 Pasir Berlempung Typic Plinthudults 23,59 41,67 34,74 Lempung Berliat Typic Ochraquults 38,01 10,33 51,66 Liat

Typic Paleaquults 55,24 24,10 20,67 Lempung Liat Berpasir

Dari hasil analisis tekstur tanah, pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tekstur

tanah pada 6 (enam) sub grup Ultisol secara umum berbeda kecuali pada Typic

Paleudults dan Typic Ochraquults memiliki tekstur tanah yang sama yaitu liat,

dimana pada kedua sub grup tersebut kandungan fraksi liat yang lebih tinggi yaitu

45,59 % dan 51,66 %. Sementara itu pada pada sub grup Psammentic Paleudults,

Typic Hapludults dan Typic Paleaquults masing-masing memiliki tekstur pasir

berlempung, liat berpasir, dan lempung liat berpasir, dimana pada ketiga sub grup

(24)

yaitu 82,72 %, 58,59 %, dan 55,24 %. Perbedaan tekstur pada masing-masing sub

grup disebabkan oleh komposisi mineral pada bahan induk yang berbeda pada

setiap sub grup. Sesuai dengan yang dikemukakan Prasetyo dan Suriadikarta

(2006) bahwa tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk

tanahnya. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti

batuan granit dan batu pasir cenderung mempunyai tekstur yang lebih kasar.

Sebaliknya bahan induk yang kaya mineral mudah lapuk seperti batuan andesit,

batu kapur cenderung mempunyai tekstur tanah yang halus.

Tekstur tanah sangat penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui

tekstur tanah maka akan diketahui pula vegetasi dan pengolahan tanah yang tepat

untuk tanah tersebut. Tanah dengan tekstur yang lebih halus (kandungan liat yang

tinggi) memiliki ruang pori lebih padat yang menyebabkan perkembangan akar

menjadi terhambat sehingga diperlukan pengolahan tanah yang intensif. Selain itu

tanah dengan tekstur lebih halus memiliki status hara yang lebih tinggi karena

mempunyai luas permukaan tanah yang lebih luas menyebabkan kapasitas tukar

kation yang lebih tinggi dibandingkan pada tanah dengan tekstur yang lebih kasar

(kandungan pasir yang tinggi) sehingga hanya diperlukan pengolahan tanah secara

manual atau tanpa olah tanah (TOT). Hal ini sesuai penelitian Adiwiganda dkk

(1996) bahwa pengolahan tanah secara intensif sangat ditekankan terhadap

tanah-tanah yang berasal dari formasi tersier terutama pada tanah-tanah Typic Paleudults dan

Typic Plinthudults, sedangkan tanpa olah tanah (TOT) hanya disarankan pada

tanah yang umumnya membentuk tanah yang gembur sampai agak teguh seperti

(25)

Pada Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa tekstur Typic Peleudults dan Typic

Ochraquults memiliki tekstur yang sama yaitu liat, namun pada masing-masing

sub grup memiliki kadar fraksi pasir, debu dan liat yang berbeda. Seperti yang

tertera pada Soil Survey Staff (2014) bahwa Typic Paleudults mempunyai

distribusi liat yang persentasenya tidak menurun sebanyak 20 persen dari jumlah

maksimum didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah dan biasanya

tanah-tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga

kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi.

pH Tanah

pH adalah singkatan dari potensial hidrogen dengan skala 1-14 dalam

menentukan keasaman, netral, atau kealkalian suatu tanah. Pentingnya pH tanah

diketahui adalah untuk menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap

tanaman. Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai informasi kesuburan kimia

tanah karena dapat menggambarkan ketersediaan unsur hara dalah tanah tersebut..

Berdasarkan hasil analisis pH yang dilakukan pada enam sub grup tanah Ultisol

diperoleh data seperti yang tertera pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Analisis pH H2O Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol pH H2O Kriteria

Typic Hapludults 4,8 Masam

Typic Paleudults 4,3 Sangat Masam

Psammentic Paleudults 5,2 Masam

Typic Plinthudults 4,8 Masam

Typic Ochraquults 4,8 Masam

Typic Paleaquults 4,3 Sangat Masam

Dari hasil analisis pH tanah pada Tabel 3, menunjukkan bahwa ke enam

sub grup Ultisol memiliki pH dari 4,3 hingga 5,2 dengan kriteria sangat masam

hingga masam. Tanah dengan kriteria masam terdapat pada Typic Hapludults,

(26)

kriteria sangat masam terdapat pada Typic Paleudults dan Typic Paleaquults.

Kemasaman tanah dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain bahan induk

tanah, bahan organik, hidrolisis aluminium, reaksi oksidasi terhadap mineral

tertentu dan pencucian basa-basa. Dalam hal ini pencucian basa-basa merupakan

penyebab utama kemasaman tanah pada keenam sub grup Ultisol, yang ditandai

dengan rendahnya nilai basa-basa tukar pada semua sub grup Ultisol. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan Damanik dkk (2011) bahwa meningkatnya

kemasaman tanah dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya pencucian

kation-kation yang digantikan oleh H+ dan Al3+.

pH tanah juga berhubungan dengan kandungan aluminium dapat

dipertukarkan dan kejenuhan aluminium, bahwa semakin meningkat nilai pH

tanah maka nilai Al-dd dan kejenuhan aluminium di dalam tanah akan semakin

menurun. Begitu juga sebaliknya dengan menurunnya pH tanah maka nilai Al-dd

di dalam tanah akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan Subandi (2007) bahwa nilai pH tanah yang relatif mudah diukur

dapat digunakan untuk panduan dalam menduga tingkat kejenuhan Al-dd.

Terdapat hubungan antara nilai pH tanah dengan tingkat kejenuhan aluminium.

Kejenuhan Al-dd sangat rendah jika pH tanah diatas 5,3.

Kadar Al-dd dan Kejenuhan Aluminium

Aluminium dapat dipertukarkan adalah kadar aluminium dalam tanah,yang

merupakan unsur yang sering ditemukan dalam tanah Ultisol dan berpengaruh

langsung terhadap pertumbuhan tanaman dengan cara berinteraksi meracuni

perakaran, dengan persentase Al-dd yang tinggi berarti menunjukkan tingkat

(27)

perlu ditetapkan kejenuhannya. Berdasarkan hasil analisis Al yang dilakukan pada

enam sub grup tanah Ultisol diperoleh data seperti yang tertera pada Tabel 4

berikut.

Tabel 4. Hasil Analisis Kadar Al-dd dan Kejenuhan Aluminium Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol Al-dd Kejenuhan Al Kriteria --me/100g-- -- % --

Typic Hapludults 1,87 17,89 Sedang

Typic Paleudults 1,90 11,43 Sedang

Psammentic Paleudults 0,55 22,63 Tinggi

Typic Plinthudults 4,72 75,64 Sangat Tinggi

Typic Ochraquults 1,60 14,23 Sedang

Typic Paleaquults 1,62 10,74 Rendah

Dari hasil analisis tanah pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ke enam sub

grup Ultisol memiliki nilai Al-dd berkisar dari 0,55 hingga 4,72 me/100 g dan

nilai kejenuhan aluminium berkisar dari 10,74 hingga 75,64 % dengan kriteria

rendah hingga sangat tinggi. Tanah dengan kriteria sangat tinggi terdapat pada

Typic Plinthudults, kriteria tinggi terdapat pada Psammentic Paleudults, kriteria

sedang terdapat pada Typic Hapludults, Typic Paleudults, dan Typic Ochraquults.

Sedangkan kriteria rendah terdapat pada Typic Paleaquults.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai Al-dd mempunyai hubungan dengan

kejenuhan aluminium. Dengan meningkatnya kandungan Al-dd tanah maka

kejenuhan aluminiumnya juga akan meningkat seiring dengan nilai Al-dd. Hal ini

dapat dilihat bahwa pada Typic Plinthudults dengan nilai Al-dd sebesar 4,72

me/100 g mempunyai kejenuhan Al sebesar 75,64 % dengan kriteria sangat tinggi.

Sesuai dengan yang dikemukakan Prasetyo dkk (2009) bahwa terdapat hubungan

antara kejenuhan aluminium dengan nilai Al-dd, kejenuhan Al yang tinggi > 60%

(28)

basa-basa dapat dipertukarkan maka nilai kejenuhan Al menunjukkan bahwa

kompleks pertukaran kation didominasi Al.

Tingginya kandungan nilai Al-dd dan kejenuhan aluminium pada Typic

Plinthudults masing-masing sebesar 4,72 me/100 g dan kejenuhan Al sebesar

75,64 % disebabkan karena nilai pH tanah yang rendah, nilai pH tanah dapat

mempengaruhi kelarutan unsur seperti aluminium. Semakin masam nilai pH tanah

maka semakin besar kelarutan unsur aluminium didalam tanah yang menyebabkan

tingginya kandungan Al-dd dan kejenuhan aluminium. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan Damanik dkk (2011) bahwa nilai pH tanah sangat mempengaruhi

kelarutan unsur yang cenderung berseimbang dengan fase padat. Kelarutan

oksida-oksida atau hidroksida Fe dan Al secara langsung bergantung pada

konsentrasi ion hidroksil (OH) dan kelarutannya menurun jika pH tanah

meningkat.

C-Organik Tanah

Bahan organik merupakan bagian penting dalam menciptakan kesuburan

tanah, baik secara fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik merupakan

sumber hara tanaman. C-organik tanah merupakan akumulasi dari sisa tanaman

maupun hewan yang sebagian telah mengalami, umumnya pada tanah yang subur

kandungan C-organik nya sebesar 4-5% dari total berat tanah. Berdasarkan hasil

analisis C-organik yang dilakukan pada enam sub grup tanah Ultisol diperoleh

data seperti yang tertera pada Tabel 5 berikut.

Dari hasil analisis C-organik tanah pada Tabel 5, menunjukkan bahwa

pada ke enam sub grup Ultisol memiliki nilai C-organik dari 0,13 % hingga

(29)

rendah. Tanah dengan kriteria sangat rendah terdapat pada Typic Hapludults,

Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults, dan Typic

Paleaquults. Sedangkan kriteria rendah terdapat pada Typic Paleudults. Nilai

C-organik tertinggi terdapat pada Typic Paleudults yaitu sebesar 1,117 % dengan

kriteria tergolong rendah. nilai C-organik terendah terdapat pada Typic

Paleaquults yaitu dengan nilai sebesar 0,134 % dengan kriteria tergolong sangat

rendah.

Tabel 5. Hasil Analisis C-Organik Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol C-organik Kriteria --- % ---

Typic Hapludults 0,25 Sangat Rendah

Typic Paleudults 1,12 Rendah

Psammentic Paleudults 0,31 Sangat Rendah

Typic Plinthudults 0,61 Sangat Rendah

Typic Ochraquults 0,15 Sangat Rendah

Typic Paleaquults 0,13 Sangat Rendah

Rendahnya kandungan C-organik pada ke enam sub grup dikarenakan

pada tanah ini pada umumnya mengandung C-organik yang rendah. Tanah Ultisol

merupakan tanah yang miskin unsur hara terutama kandungan bahan organik.

Umumnya kandungan bahan organik pada tanah ini sangat tipis pada lapisan

tanah bagian atas. Menurut Harjowigeno (2003) bahwa tanah Ultisol pada

umumnya mempunyai kadar bahan organik yang rendah (< 1 %).

C-organik tanah menunjukkan kadar bahan organik yang terkandung

dalam tanah. Perbedaan nilai C-organik tanah pada masing-masing sub grup

Ultisol diduga karena tutupan vegetasi yang tumbuh diatasnya bervariasi,

sedangkan rendahnya C-organik diduga karena tutupan vegetasi yang jarang,

proses dekomposisi bahan organik yang intensif diderah tropis, dan penggunaan

(30)

Menurut Utomo (2008), rendahnya kandungan bahan organik tanah Ultisol

disebabkan tingginya curah hujan dan suhu yang tinggi didaerah tropika

menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan

pencucian berjalan cepat. Nita dkk (2014) menyatakan bahwa tinggi rendahnya

persen bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh sumber bahan organik yang

berupa jaringan tanaman dan biota tanah.

Dari data hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa C-organik

tanah mempunyai hubungan dengan sifat kimia tanah lainnya terutama dengan

kapasitas tukar kation (KTK). Seperti yang telah dikemukakan Nugroho dan

Istianto (2009) bahwa C-organik tanah sangat mempengaruhi tinggi rendahnya

kapasitas tukar kation. Sekitar setengah nilai KTK tanah berasal dari bahan

organik. Bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation dua sampai

tiga puluh kali lebih besar daripada koloid mineral yang meliputi 30-90 % dari

tenaga jerap suatu tanah mineral.

N-Total Tanah

Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial yang berfungsi terutama

dalam pembentukan protein. Unsur ini bersifat labil karena mudah berubah bentuk

dan mudah hilang. Hilangnya unsur hara N (nitrogen) dapat disebabkan karena

terangkut pada saat panen, terjadinya erosi, hilang dalam bentuk gas dan lain-lain.

Bahan organik adalah sumber N utama didalam tanah. Berdasarkan hasil analisis

N-total yang dilakukan pada enam sub grup tanah Ultisol diperoleh data seperti

yang tertera pada Tabel 6 berikut.

Dari hasil analisis N-total tanah pada Tabel 6, menunujukkan bahwa ke

(31)

0,18 % dengan kriteria tergolong sangat rendah sampai rendah. Tanah dengan

kriteria tergolong sangat rendah terdapat pada Typic Ochraquults sedangkan

kriteria tergolong rendah terdapat pada Typic Hapludults, Typic Paleudults,

Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults dan Typic Paleaquults dimana pada ke

lima sub grup tersebut memiliki kandungan N-total secara berturut-turut yaitu

0,10 %, 0,18 %, 0,13 %, 0,10 %, dan 0,18 %.

Tabel 6. Hasil Analisis N-Total Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol N-Total Kriteria

---%---

Typic Hapludults 0,10 Rendah

Typic Paleudults 0,18 Rendah

Psammentic Paleudults 0,13 Rendah

Typic Plinthudults 0,10 Rendah

Typic Ochraquults 0,09 Sangat Rendah

Typic Paleaquults 0,18 Rendah

Rendahnya kandungan N-total pada masing-masing sub grup Ultisol

disebabkan karena rendahnya kandungan C-organik tanah, hilangnya akibat dari

pencucian, penguapan ke udara, dan terangkut panen. Hakim dkk (1986)

melaporkan bahwa kehilangan N dalam bentuk gas lebih besar daripada

kehilangan dalam bentuk tercuci. Hasil-hasil penelitian di Cornel menunjukkan

40-45 kg N/ha hilang akibat penguapan.

Selain itu, rendahnya kandungan N-total tanah pada Typic Ochraquults

disebabkan karena pada lokasi pengambilan sampel terdapat lebih dari satu

vegetasi yaitu tanaman jagung dan kelapa sawit sehingga terjadi persaingan unsur

hara antara jagung dan kelapa sawit. Kustantini (2013), dalam pola tanam

tumpang sari, akan terjadi persaingan dalam menyerap unsur hara antar tanaman

yang ditanam. Sebab, setiap tanaman memiliki jumlah kebutuhan unsur hara yang

(32)

akan mengalami defisiensi unsur hara akibat persaingan dengan tanaman yang

lainnya.

P-Total Tanah

Fosfat total tanah adalah jumlah keseluruhan unsur fosfat baik yang

organik maupun yang anorganik di dalam tanah, baik dalam bentuk yang tersedia,

segera tersedia dan tidak tersedia. Tingginya nilai P-total tanah tidak menentukan

tingginya P tersedia tanah. Berdasarkan hasil analisis P-total yang dilakukan pada

enam sub grup tanah Ultisol diperoleh data seperti yang tertera pada Tabel 7

berikut.

Tabel 7. Hasil Analisis P-Total Pada Beberapa Sub Grup Tanah Ultisol

Sub Grup Ultisol P-Total Kriteria

---%---

Typic Hapludults 0,049 Rendah

Typic Paleudults 0,048 Rendah

Psammentic Paleudults 0,051 Rendah

Typic Plinthudults 0,053 Rendah

Typic Ochraquults 0,049 Rendah

Typic Paleaquults 0,051 Rendah

Dari hasil analisis P-total tanah pada Tabel 7, menunjukkan bahwa pada

pengukuran P total pada enam sub grup Ultisol mempunyai kadar P total dengan

kriteria rendah yaitu berkisar antara 0,048 % hingga 0,053 %, dimana pada Typic

Hapludults, Typic Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic

Ochraquults, dan Typic Paleaquults memiliki kandungan P-total tanah secara

berturut-turut yaitu 0,049 %, 0,048 %, 0,051 %, 0,053 %, 0,049 %, dan 0,051 %.

Kekurangan fosfat pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan fosfat

dari bahan induk tanah yang pada umumnya sudah rendah.

Rendahnya kadungan/ kadar P total tanah pada masing-masing sub grup

(33)

(2009) bahwa keberadaan fosfor biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih

sedikit dari pada kadar nitrogen, karena sumber fosfat lebih sedikit dibandingkan

dengan sumber nitrogen. Sumber alami fosfor adalah pelapukan batuan mineral,

seperti fluorapatite, hydroxylapatite, strengire, whitlockite dan berlinite. Namun

batuan fosfat ini tidak dapat digunakan langsung sebagai pupuk disebabkan oleh

sifat daya larutnya yang terlalu kecil.

Selain mineral sumber P yang rendah, penyebab lain rendahnya kadar

P-total tanah pada ke enam sub grup Ultisol adalah karena kurangnya dilakukan

pemupukan terutama pupuk yang mengandung fosfat, baik yang berasal dari

organik maupun yang anorganik/ buatan seperti pupuk TSP dan SP-36. Menurut

Prasetyo dan Suriadikarta (2006) bahwa pemupukan fosfat merupakan salah satu

cara mengelola tanah Ultisol, karena disamping kadar P rendah, juga terdapat

unsur-unsur yang dapat meretensi fosfat yang ditambahkan. Residu pupuk P pada

tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil

kedelai, bahkan residu P sebesar 3 x 60 kg P/ha dapat menaikkan ketersediaan P

dalam tanah dari 3,30 menjadi 10,10 ppm P2O5.

P-Tersedia Tanah

Fosfat tersedia adalah unsur fosfat yang terdapat di dalam tanah dalam

bentuk tersedia bagi tanaman serta dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses

metabolisme. Bentuk P yang terdapat di dalam bahan induk tanah sebelum

pertumbuhan tanaman dan pembentukan tanah pada umumnya sukar tersedia bagi

tanaman. Berdasarkan hasil analisis P-tersedia yang dilakukan bahwa pada enam

(34)

Tabel 8. Hasil Analisis P-Tersedia Pada Beberapa Sub Grup Tanah Ultisol

Sub Grup Ultisol P-Tersedia Kriteria ---ppm---

Typic Hapludults 0,53 Rendah

Typic Paleudults 0,80 Rendah

Psammentic Paleudults 2,00 Rendah

Typic Plinthudults 1,86 Rendah

Typic Ochraquults 1,10 Rendah

Typic Paleaquults 1,64 Rendah

Dari hasil analisis P-tersedia tanah pada Tabel 8, menunjukkan bahwa

kandungan P-tersedia pada ke enam sub grup Ultisol secara umum memiliki status

hara dengan kriteria rendah yaitu berkisar antara 0,53 ppm hingga 2,00 ppm,

dimana pada Typic Hapludults, Typic Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic

Plinthudults, Typic Ochraquults, dan Typic Paleaquults memiliki kandungan

P-tersedia tanah secara berturut-turut yaitu 0,53 ppm, 0,80 ppm, 2,00 ppm, 1,86

ppm, 1,10 ppm, dan 1,64 ppm. Kekurangan fosfat pada tanah Ultisol dapat

disebabkan oleh kandungan fosfat dari bahan induk tanah yang sudah pasti

rendah, atau kandungan fosfat sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk

tanaman karena di serap oleh unsur lain seperti Al dan Fe.

Penyebab rendahnya kandungan P-tersedia pada ke enam sub grup Ultisol

adalah karena pada dasarnya kandungan P-total pada ke enam sub grup rendah

atau sekitar 1% jumlah P yang tersedia dari total P di dalam tanah pada

masing-masing sub grup. Rendahnya P yang tersedia dari total P dapat juga disebabkan

karena terfiksasi oleh mineral Al dan Fe.

Rendahnya kandungan P-tersedia tanah juga disebabkan karena

dipengaruhi oleh reaksi tanah yang sangat masam hingga masam pada

masing-masing sub grup dan meningkatnya kandungan Al yang dapat dipertukarkan.

(35)

menyebabkan P didalam tanah sulit tersedia untuk diserap oleh tanaman. Menurut

Nurmasyitah dkk (2013) bahwa tingkat ketersediaan P yang sangat rendah

disebabkan oleh pH tanah, meningkatnya ion Al, Fe, dan Mn dalam larutan tanah,

meningkatnya ketersediaan Ca, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik

rendah serta kegiatan jasad renik.

K-Tukar Tanah

Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam

larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0,5-0,6 % dari total K tanah.

K larutan tanah ditambah K-tukar merupakan K yang tersedia dalam tanah.

Berdasarkan hasil analisis K-tukar yang dilakukan pada enam sub grup tanah

Ultisol diperoleh data seperti yang tertera pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Hasil Analisis K-Tukar Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol K-Tukar Kriteria

---me/100g---

Typic Hapludults 0,03 Sangat Rendah

Typic Paleudults 0,09 Sangat Rendah

Psammentic Paleudults 0,03 Sangat Rendah

Typic Plinthudults 0,04 Sangat Rendah

Typic Ochraquults 0,32 Rendah

Typic Paleaquults 0,14 Rendah

Dari hasil analisis K-tukar tanah pada Tabel 9, menunjukkan bahwa pada

ke enam sub grup tanah Ultisol memiliki nilai K-tukar berkisar dari 0,03 me/100 g

hingga 0,32 me/100 g dengan kriteria sangat rendah hingga rendah. Tanah dengan

kriteria tergolong sangat rendah terdapat pada Typic Hapludults, Typic

Paleudults, Psammentic Paleudults dan Typic Plinthudults dimana secara

(36)

Sedangkan kriteria terolong rendah terdapat pada Typic Ochraquults dan Typic

Paleaquults.

Rendahnya kandungan K-tukar diduga karena rendahnya mineral yang

menjadi sumber K dan karena tingkat pelapukan yang lanjut pada masing-masing

sub grup menyebabkan hampir seluruh basa-basa hasil pelapukan tercuci.

Menurut Basyuni (2009) bahwa mineral-mineral yang umumnya dianggap sebagai

sumber asli dari kalium, diantaranya adalah leusit, biotit, kalium feldspar ortoklas

dan mikrolin. Kalium dalam tanah juga ditemukan dalam mineral sekunder atau

mineral liat (illit, vermikulit, khlorit). Sumber kalium dalam tanah selain dari

pupuk, berasal dari proses desintegrasi dan dekomposisi batuan yang mengandung

kalium serta mineral liat. Tetapi sebagian kalium terfiksasi oleh mineral liat

sehingga sulit tersedia. Subandiono dkk (2014) menyatakan bahwa rendahnya

kandungan basa-basa tukar didalam tanah selain disebabkan faktor bahan induk,

tingkat pelapukan lanjut menyebabkan hampir seluruh basa-basa hasil pelapukan

tercuci.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa Typic Ochraquults memiliki kandungan

K-tukar dengan kriterianya tergolong rendah, tetapi jumlahnya dapat mencapai 3

hingga 10 kali lipat dibandingkan dengan sub grup Ultisol yang lainnya. Hal ini

menandakan bahwa pada Typic Ochraquults memiliki cadangan K yang cukup

tinggi di dalam bahan induknya. Adiwiganda dkk (1996) mengatakan bahwa

Typic Ochraquults berasal dari bahan induk batuan liat. Sesuai dengan yang

ditemukan Suharta dan Prasetyo (2009) mengatakan tanah berbahan induk batuan

(37)

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan suatu koloid untuk

mengadsorpsi dan mempertukarkan kation-kation oleh muatan negatif tanah baik

yang bersumber dari permukaan koloid anorganik (liat) maupun koloid organik

(humus), yang dinyatakan dalam miligram dalam 100 gram tanah kering oven.

Berdasarkan hasil analisis KTK yang dilakukan pada enam sub grup tanah Ultisol

seperti yang tertera pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Hasil Analisis KTK Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol KTK Kriteria

---me/100g---

Typic Hapludults 10,45 Rendah

Typic Paleudults 16,76 Sedang

Psammentic Paleudults 2,43 Sangat Rendah

Typic Plinthudults 6,24 Rendah

Typic Ochraquults 11,24 Rendah

Typic Paleaquults 15,09 Rendah

Dari hasil analisis KTK tanah pada Tabel 10, menunjukkan bahwa

kapasitas tukar kation pada keenam sub grup Ultisol secara umum sangat rendah

hingga sedang atau berkisar dari 2,43 me/100 g hingga 16,76 me/100 g. Tanah

dengan kriteria tergolong sangat rendah terdapat pada Typic Psammentic

Paleudults sebesar 2,43 me/100 g, kriteria tergolong rendah terdapat pada Typic

Hapludults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults dan Typic Paleaquults secara

berturut-turut yaitu 10,45 me/100 g, 6,24 me/100 g, 11,24 me/100 g, 15,09

me/100 g, sedangkan kriteria tergolong sedang terdapat pada Typic Paleudults

sebesar 16,76 me/100 g.

Dari data hasil analisis dapat diketahui bahwa kapasitas tukar kation

mempunyai hubungan terhadap C-organik tanah. Pada ke enam sub grup Ultisol,

(38)

meningkatnya kapasitas tukar kation tanah, sebaliknya dengan menurun/

rendahnya kandungan C-organik tanah maka kapasitas tukar kation juga akan

menurun, meskipun kedua sifat kimia tersebut (C-organik dan KTK tanah)

termasuk kedalam kriteria sangat rendah hingga rendah. Sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Prasetyo (2009) bahwa KTK tanah mempunyai hubungan yang

erat dengan C-organik. Tanah yang mempunyai nilai KTK yang tinggi disebabkan

karena kandungan C-organiknya juga tinggi.

Perbedaan nilai kapasitas tukar kation pada ke enam sub grup Ultisol

ditentukan oleh koloid tanah, tanah yang mengandung koloid lebih banyak akan

memiliki nilai KTK lebih tinggi, begitu juga sebaliknya. Sumber utama koloid

tanah adalah bahan organik dan mineral liat. Jika tanah mempunyai kandungan

bahan organik yang banyak maka nilai KTK tanah juga akan meningkat. Sesuai

yang dikemukakan Mukhlis dkk (2011) bahwa besarnya KTK suatu tanah

ditentukan oleh faktor-faktor berikut yaitu 1) tekstur tanah, tanah bertekstur liat

akan memilki nilai KTK lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur pasir.

Hal ini karena liat merupakan koloid tanah, 2) kadar bahan organik, oleh karena

sebagian bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah,

maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar KTK tanah, 3) jenis

mineral liat yang terkandung di tanah, jenis mineral liat sangat menentukan

besarnya KTK tanah.

Lebih dominannya fraksi pasir pada Psammentic Paleudults berpengaruh

pada nilai KTK. Dimana pada Tabel 10 nilai KTK pada Psammentic Paleudults

sangat rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena fraksi pasir mempunyai

(39)

dan koloid organik yang dihasilkan sedikit. Hakim dkk (1986) mengatakan bahwa

dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK tanah berbanding lurus

dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah yang sama,

KTK juga bertambah besar. Makin halus tekstur tanah amkin besar pula jumlah

koloid liat dan koloid organiknya, sehingga KTK juga semakin besar. Sebaliknya

tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid liat relatif kecil demikian juga

koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil daripada tanah

bertekstur halus.

Kejenuhan Basa

Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah basa yang dapat

dipertukarkan dengan kapasitas tukar kation tanah yang dinyatakan dalam persen.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada enam sub grup tanah Ultisol

diperoleh data seperti yang tertera pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Hasil Analisis Kejenuhan Basa Pada Beberapa Sub Grup Ultisol

Sub Grup Ultisol Kejenuhan Basa Kriteria ---me/100g---

Typic Hapludults 31,12 Rendah

Typic Paleudults 5,28 Sangat Rendah

Psammentic Paleudults 22,40 Rendah

Typic Plinthudults 10,86 Sangat Rendah

Typic Ochraquults 29,87 Rendah

Typic Paleaquults 17,36 Sangat Rendah

Dari hasil analisis kejenuhan basa pada Tabel 11, menunjukkan bahwa

nilai kejenuhan basa pada keenam sub grup umumnya berkisar antara 5,28 me/100

g hingga 31,12 me/100 g dengan kriteria sangat rendah hingga rendah. Tanah

dengan kriteria kejenuhan basa tergolong sangat rendah terdapat pada Typic

Paleudults, Typic Plinthudults dan Typic Paleaquults secara berturut-turut sebesar

(40)

rendah terdapat pada Typic Hapludults, Psammentic Paleudults, dan Typic

Ochraquults secara berturut-turut sebesar 31,12 me/100 g, 22,40 me/100 g, dan

29,87 me/100 g.

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa kejenuhan basa pada ke enam sub grup

tanah Ultisol < 35 % sehingga kesuburan tanahnya dapat dikatakan rendah. Hal

ini seperti yang tertera pada Soil Survey Staff (2014) bahwa salah satu ciri khusus

tanah Ultisol yaitu apabila nilai kejenuhan basa < 35 %, karena batas ini

merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol. Menurut Tan (1991)

bahwa suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya ≥ 80%,

berkesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 80 dan 50%, dan tidak subur

jika kejenuhan basanya ≤ 50%. Suatu tanah dengan kejenuhan basa sebesar 80%

akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada tanah

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pada Typic Hapludults diperoleh tekstur tanah yaitu liat berpasir, pH tanah

dengan kriteria masam, C-organik dan K-dd dengan kriteria sangat rendah,

N-total, P-N-total, P-tersedia, KTK, KB dengan kriteria rendah dan kejenuhan Al

dengan kriteria sedang.

2. Pada Typic Paleudults diperoleh tekstur tanah yaitu liat, pH tanah dengan

kriteria sangat masam, C-organik, N-total, P-total, P-tersedia, KTK dengan

kriteria rendah, K-dd dan KB dengan kriteria sangat rendah dan kejenuhan Al

dengan kriteria sedang.

3. Pada Psammentic Paleudults diperoleh tekstur tanah yaitu pasir berlempung,

pH tanah dengan kriteria masam, C-organik, KTK dan K-dd dengan kriteria

sangat rendah, N-total, P-total, P-tersedia, KB dengan kriteria rendah dan

kejenuhan Al dengan kriteria tinggi.

4. Pada Typic Plinthudults diperoleh tekstur tanah yaitu lempung berliat, pH

tanah dengan kriteria masam, C-organik, KB dan K-dd dengan kriteria sangat

rendah, N-total, P-total, P-tersedia, KTK dengan kriteria rendah dan kejenuhan

Al dengan kriteria sangat tinggi.

5. Pada Typic Ochraquults diperoleh tekstur tanah yaitu liat, pH tanah dengan

kriteria masam, C-organik, N-total dengan kriteria sangat rendah, total,

P-tersedia, K-dd, KTK, KB dengan kriteria rendah dan kejenuhan Al dengan

kriteria sedang.

6. Pada Typic Paleaquults diperoleh tekstur tanah yaitu lempung liat berpasir, pH

(42)

rendah, N-total, P-total, P-tersedia, K-dd, KTK dan kejenuhan Al dengan

kriteria rendah.

7. Jika dilihat dari nilai kejenuhan basa dari masing-masing sub grup dapat

disimpulkan bahwa daerah penelitian tergolong tidak subur atau termasuk

kedalam kriteria sangat rendah hingga rendah.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai sifat fisik tanah untuk

mendapatkan data serta informasi yang lebih lanjut pada tingkat sub grup tanah

(43)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Ultisol

Kata Ultisol berasal dari bahasa latin “ultimus” yang berarti terakhir atau

pada kasus-kasus Ultisol, tanah yang mengalami pelapukan terbanyak dan hal

tersebut memperlihatkan pengaruh pencucian paling akhir. Terdapat kejenuhan

aluminium yang tinggi (Foth, 1995). Menurut Soil Survey Staff (2014)

menyebutkan bahwa tanah Ultisol mempunyai horizon argilik atau horizon

kandik, dengan kejenuhan basa (jumlah kation) kurang dari 35 % pada horizon

tanah yang lebih rendah.

Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai

tropika, mempunyai horizon argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat

tebal. Dalam legend of soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian

tanah laterik serta sebagian besar tanah podsolik, terutama tanah podsolik merah

kuning (Munir, 1996).

Ultisol dapat berkembang dari bahan induk, dari yang bersifat masam

hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen

masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya pada tingkat grup

berdasarkan batuan pembentuk tanah yaitu Hapludults mempunyai sebaran

terluas. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian

basa-basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik

(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Dari lima sub ordo dalam kelompok Ultisol, yang termasuk tanah-tanah

pertanian utama adalah Udults yaitu Ultisol yang terbentuk diwilayah basah,

(44)

pegunungan dengan iklim lembab sampai agak kering, dengan kandungan humus

tinggi; Ustults yaitu Ultisol yang terdapat diwilayah agak kering sampai kering

yang miskin humus dengan rezim kelembaban tanah ustik; dan Aquults yaitu

Ultisol di tempat yang rendah dan basah, dimana air tanah dekat permukaan tanah,

dalam waktu yang lama dalam setahun (Subagyo, dkk., 2004).

Menurut Adiwiganda, dkk (1996) menyatakan bahwa berdasarkan sistem

klasifikasi USDA, telah ditemukan 15 famili tanah pada areal kelapa sawit di

Indonesia, untuk tanah Ultisol terdapat 6 famili tanah yaitu Typic Hapludults,

Typic Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults,

dan Typic Paleaquults.

Typic Hapludults merupakan sub grup tanah Ultisol yang diperoleh dari

kunci sub ordo yaitu Udults, dengan kunci grup hapludults yang artinya sesuai

pada pilihan terakhir dari jenis grup sebelumnya. Typic Paleudults adalah sub

grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Udults dengan kunci grup

Paleudults yang mempunyai distribusi liat yang persentasenya tidak menurun

sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum didalam kedalaman 150 cm dari

permukaan tanah. Psammentic Paleudults adalah sub grup tanah Ultisol yang

mempunyai sub ordo Udults yang merupakan Paleudults lain yang mempunyai

tekstur pasir halus berlempung atau lebih kasar di seluruh horizon argilik atau

horizon argilik yang mempunyai lamela dalam sebagian atau seluruh 100 cm

bagian atas (Soil Survey Staff, 2014)

Typic Plinthudults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub

ordo Udults dengan grup plinthudults yang berarti Udults yang mempunyai plintit

(45)

sub horizon didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Typic Ochraquults

adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults dengan kunci

grup Ochraquults yang mempunyai epipedon okrik. Typic Paleaquults adalah sub

grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults mempunyai distribusi liat

yang persentasenya tidak menurun sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum

didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah.

Tanah Ultisol yang termasuk kedalam grup Plinthudults artinya Ultisol

yang berada didaerah dengan regim kelembaban tanah udic, yang mana pada satu

atau lebih horizon tanahnya pada antara 0-150 cm terdapat plinthite. Plinthite jika

teroksidasi akan membentuk konkresi besi bahkan batu besi (ironstone) yang

dapat menganggu sistem perakaran tanaman.

Faktor-faktor pembentuk tanah yang paling dominan pada pembentukan

Ultisol adalah iklim dengan rata-rata curah hujan dari 2.500 – 3.500 mm per

tahun, terdapat lebih dari tiga bulan kering Af-Am (koppen) serta A, B, dan C.

bahan induk umumnya berupa tuff masam, batu pasir serta bahan-bahan endapan

dari pasir masam. Topografi atau bentuk permukaan tanahnya bervariasi dari

bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian diatas muka laut lebih dari 3 m.

Dan vegetasi utama umumnya berupa hutan tropika basah, padang alang-alang,

melastoma dan paku-pakuan (Munir, 1995).

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Ultisol Tekstur tanah

Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk

tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya

(46)

batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus

seperti liat dan liat halus. Ultisol mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan

bentuk gumpal bersudut. Komposisi mineral pada bahan induk tanah

mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk

kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur

yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan

andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang

halus (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih

besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas

permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur

hara. Tanah-tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat

mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air

dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam

reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 2003).

Tekstur atau ukuran besar butir, bukan saja berpengaruh terhadap

penetapan klasifikasi tanah, tetapi juga berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia,

dan biologi tanah. Tanah-tanah yang terbentuk dari batuan sedimen masam

dicirikan oleh tekstur yang bervariasi dari pasir hingga liat. Suharta (2007)

mengatakan bahwa batuan sedimen masam di provinsi Kalimantan Barat terdiri

atas batu pasir, batu lanau, dan batu liat. Batu pasir dicirikan oleh kandungan pasir

yang tinggi, batu liat dengan kandungan liat yang tinggi, dan batu lanau dengan

(47)

hubungan, bahwa dengan meningkatnya kandungan liat dan atau debu, maka akan

diikuti oleh penurunan kandungan pasir dan atau sebaliknya.

Tanah merah dapat mempunyai tekstur liat, dan tergolong pada liat berat

dengan kandungan fraksi liat >60%, hingga lempung berpasir dengan kandungan

fraksi pasir <60%. Bahan induk tanah memegang peran penting pada tekstur tanah

merah. Tanah merah yang terbentuk dari bahan volkan andesitik-basaltik dan

bahan batu kapur akan cenderung mempunyai kandungan fraksi liat yang tinggi.

Hal ini disebabkan oleh komposisi awal mineral dari bahan induk tersebut yang

kaya akan mineral mudah lapuk. Sebaliknya, tanah merah yang mempunyai bahan

induk bersifat masam seperti batuan sedimen pasir, batuan beku granit ataupun

batuan tufa, akan cenderung mempunyai kandungan fraksi pasir yang tinggi,

karena batuan tersebut didominasi oleh mineral yang tahan terhadap pelapukan

seperti kuarsa dan opak, sehingga bila pelapukan berlanjut mineral tahan lapuk

kuarsa dan opak yang tersisa pada fraksi pasirnya (Prasetyo, 2009).

Tekstur tanah selain berpengaruh langsung terhadap sifat fisik tanah, juga

berpengaruh terhadap sifat kimia tanah. Kandungan pasir berkorelasi negatif

sangat nyata dengan C, N, P, dan K potensial, dan Al-dd. Hal ini dijelaskan bahwa

pada tanah yang bertekstur kasar, kemampuan tanah mengikat bahan organik dan

juga basa-basa dapat tukar tergolong rendah. Selain itu hara pada tanah bertekstur

kasar terjadi intensif dibandingkan tanah bertekstur halus. Berbeda dengan fraksi

pasir, maka fraksi liat mempunyai kemampuan mengikat basa-basa dapat tukar

lebih tinggi seperti di tunjukkan oleh adanya korelasi positif sangat nyata antara

fraksi liat dengan P dan K potensial, Mg-dd, K-dd, KTK tanah, kejenuhan basa,

(48)

baik pada horizon atas maupun pada horizon bawah, maka semakin baik sifat

kimianya, kecualii kejenuhan aluminium yang meningkat sejalan dengan

meningkatnya kandungan fraksi liat (Suharta, 2007).

Suharta dan Prasetyo (2008) mengatakan bahwa tekstur tanah untuk pedon

dari batu liat adalah liat, dan dari batu pasir adalah lempung liat berpasir (liat

hingga lempung berpasir). Kandungan pasir dari pedon berbahan induk batu pasir

berkisar antara 54 hingga 76%, sedangkan kandungan pasir dari pedon berbahan

induk batu liat berkisar antara 10 hingga 39%. Sebaliknya kandungan liat dari

pedon berbahan induk batu pasir berkisar dari 8 hingga 35%, dan yang berbahan

induk batu liat berkisar antara 38 hingga 63%. Kondisi ini menunjukkan bahwa

tekstur tanah sangat dipengaruhi oleh jenis bahan induk tanah. Bahan induk batu

liat menghasilkan tanah dengan kandungan liat tinggi, sedangkan batu pasir

menghasilkan tanah dengan kandungan pasir tinggi.

pH (potensial hidrogen) tanah

pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas kemasaman, bukan ukuran

total asam yang ada ditanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu seperti tanah liat

berat, gambut yang mampu menahan perubahan pH atau kemasaman yang lebih

besar dibandingkan dengan tanah yang berpasir. Tanah yang mampu menahan

kemasaman tersebut dikenal sebagai tanah yang berpenyangga baik

(Mukhlis, 2014).

Nilai pH tanah sangat mempengaruhi kelarutan unsur yang cenderung

berseimbang dengan fase padat. Kelarutan oksida-oksida atau hidroksida Fe dan

Al secara langsung bergantung pada konsentrasi ion hidroksil (OH) dan

(49)

Ca-fosfat amat bergantung pada pH, demikian juga kelarutan anion-anion molibat

(MoO4) dan SO4 yang terjerap (Damanik, dkk., 2011).

Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa reaksi tanah pada

tanah Ultisol pada umumnya sangat masam hingga masam (pH 3,10-5), kecuali

tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak

masam (pH 6,80-6,50). pH tanah dapat mempengaruhi ketersediaan hara tanah

dan bisa menjadi faktor yang berhubungan dengan kualitas tanah. pH tanah sangat

penting dalam menentukan aktivitas dan dominasi mikroorganisme tanah yang

berhubungan dengan proses-proses yang sangat erat kaitannya dengan siklus hara,

dekomposisi dan sintesa senyawa kimia organik (Sudaryono, 2009).

Tingkat kemasaman setiap tanah berbeda dan nilainya sangat dinamis.

Nilai pH tanah selalu berubah sesuai perubahan-perubahan reaksi kimiawi yang

terjadi didalam tanah. Perubahan reaksi kimia didalam tanah dapat disebabkan

oleh pengaruh tindakan budidaya pertanian, pengelolaan tanah dan atau di pacu

oleh faktor tanah dan faktor iklim. Meningkatnya kemasaman pada lahan

pertanian dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: 1) pegunaan pupuk

komersial khususnya pupuk NH4+ yang menghasilkan H+ selama nitrifikasi, 2)

pengambilan kation-kation oleh tanaman melalui pertukaran dengan H+, 3) pencucian kation-kation yang digantikan oleh H+ dan Al3+, 4) dekomposisi residu organik (Damanik, dkk., 2011).

Reaksi tanah sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara bagi tanaman.

Pada reaksi tanah yang netral, yaitu pH 6,5-7,5, maka unsur hara tersedia dalam

jumlah yang cukup banyak (optimal). Pada pH tanah kurang dari 6,0 maka

(50)

menurun dengan cepat. Sedangkan pH tanah lebih besar dari 8,0 akan

menyebabkan unsur-unsur nitrogen, besi, mangan, borium, tembaga, dan seng

ketersediaannya relatif menjadi sedikit (Sarief, 1986).

Menurut Hardjowigeno (2003) pentingnya pH tanah untuk diketahui

adalah untuk menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman.

Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar

netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air.

Pada tanah masam unsur hara P tidak dapat diserap tanaman karena diikat

(difiksasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap

tanaman karena difiksasi oleh Ca.

Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau alkali,

tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain, seperti

ketersediaan fosfor, status kation-kation basa, status kation atau unsur racun.

Kebanyakan tanah-tanah pertanian memiliki pH 4 hingga 8. Tanah yang lebih

asam biasanya ditemukan pada jenis tanah gambut dan tanah yang tinggi

kandungan aluminium atau belerang. Sementara tanah yang basa ditemukan pada

tanah yang tinggi kapur dan tanah yang berada didaerah arid dan dikawasan pantai

(Mukhlis, 2014).

Kemasaman tanah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

bahan induk tanah, reaksi oksidasi terhadap mineral tertentu, bahan organik, dan

pencucian basa-basa. Tanah yang diteliti berasal dar bahan induk yang bersifat

intermedier, tidak terdapat mineral yang bila teroksidasi bahan organik rendah.

Dalam hal ini pencucian basa-basa merupakan penyebab utama kemasaman tanah

(51)

Aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd) dalam tanah

Tingkat aluminium didalam larutan tanah itu tergantung pula pada

kandungan bahan organik tanah dan kandungan garamnya. Aluminium dalam

larutan tanah itu menurun apabila bahan organik meningkat, karena bahan organik

membentuk kompleks yang sangat kuat dengan aluminium. Aluminium didalam

larutan tanah itu meningkat dengan naiknya kandungan garam, karena kation

lain-lainnya menggusur aluminium dapat tukar dengan gerakan massa

(Sanchez, 1992).

Masalah kejenuhan aluminium (Al) umumnya terjadi pada tanah Ultisol

dari bahan sedimen. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan

(weathering) dan pencucian (leaching) baik pelapukan dari bahan volkan, batuan

beku, batuan metamorf maupun campuran dari berbagai jenis batuan sehingga

mineral penyusunnya sangat bergantung pada asal bahan yang melapuk. Tanah

Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua kali pelapukan, yang pertama

pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang kedua pada waktu

pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kandungan Al

pada batuan sedimen sudah sangat tinggi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Beberapa Ultisol mempunyai pula kejenuhan aluminium yang tinggi

terutama pada daerah bawahnya. Beberapa contoh dari Rimba Amazona

menunjukkan nilai pH yang sangat rendah, mungkin karena kandungan

aluminiumnya yang tinggi. Tingkat aluminium dapat ditukar yang sangat tiinggi

pada tanah bawah Tropaquult dihubungkan dengan lapisan bermontmorllonit

(52)

Nilai kejenuhan aluminium yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari

bahan sedimen dan granit (>60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari

bahan volkan andesitik dan gamping. Ultisol dari bahan tufa mempunyai

kejenuhan aluminium yang rendah pada lapisan atas (5-8%), tetapi tinggi pada

lapisan bawah (37-78%). Tampaknya kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol

berhubungan erat dengan pH tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Disamping kejenuhan basa ada pula nilai saingan lain yaitu kejenuhan Al

dan H. Nilai ini menunjukkan suatu kondisi dimana kompleks jerapan tanah

dipenuhi oleh Al atau oleh basa dapat ditukar. Bila tanah dipenuhi oleh

basa-basa terlarut, maka kompleks jerapan tanah akan mampu memberikan unsur hara

yang cukup bagi pertumbuhan tanaman, tetapi sebaliknya bila kompleks jerapan

tanah dipenuhi oleh Al dan H, maka tanah akan bersifat masam dan nilai Fe dan

Mn akan tinggi dan tanaman tidak dapat mampu tumbuh karena keracunan Al dan

Fe serta Mn, sehingga tanaman tumbuh tidak normal dan kerdil. Jadi nilai

kejenuhan Al dan H selalu berlawanan dengan nilai kejenuhan basa. Nilai

kejenuhan asam di Sangatta berkisar antara 2 – 35 persen, dan nilainya selalu

terbalik dengan nilai kejenuhan basa (Sudaryono, 2009).

Kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol menunjukkan nilai sangat tinggi

baik untuk tanah-tanah yang terbentuk dari batuan pasir maupun batuan liat.

Kejenuhan aluminium meningkat sesuai dengan kedalaman tanah. Perbedaan

antara batuan pasir dan batuan liat, terletak pada jumlah aluminium dapat

dipertukarkan (Al-dd) yang lebih tinggi pada tanah dari batuan liat dibandingkan

(53)

Salah satu ciri dari tanah-tanah yang terbentuk dari batuan masam adalah

tingginya Aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd). Kandungan Al yang tinggi

dapat bersifat toksik bagi pertumbuhan tanaman. Untuk mengetahui dominasi

kation Al didalam tanah ditunjukkan dengan nilai kejenuhan aluminium

(Suharta, 2007).

Bahan organik didalam tanah

Bahan organik merupakan limbah tumbuhan, hewan, dan manusia. Bahan

organik berperan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung

pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan

tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang

air, meningkatkan pori-pori tanah, dan memperbaiki media perkembangan

mikroba tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah

mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi bahan organik

berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara

mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman (Kasno, 2009).

Bahan organik merupakan bagian penting dalam menciptakan kesuburan

tanah, baik secara fisik maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik adalah

bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Sekitar setengah dari kapasitas

tukar kation berasal dari bahan organik. Bahan organik merupakan sumber hara

tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar

organisme tanah. Dalam memainkan peranannya bahan organik sangat ditentukan

oleh sumber dan susunannya, oleh kelancaran dekomposisinya, serta hasil

(54)

Rendahnya kandungan bahan organik tanah Ultisol disebabkan oleh

tingginya curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi

kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat.

Pada skala iklim mikro, curah hujan merupakan faktor iklim yang paling berkuasa

yang mempengaruhi jenis tanah di alam tropika. Pengaruh utama curah hujan

pada tanah adalah pelapukan, perlindian dan pengembangan tanah (Utomo, 2008).

Menurut Nita, dkk (2014) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya persen bahan

organik di dalam tanah dipengaruhi oleh sumber bahan organik yang berupa

jaringan tanaman dan biota tanah.

Kandungan bahan organik pada tanah Ultisol diwilayah Sangatta

umumnya rendah (0,67-1,57)% akibat dari pencucian basa berlangsung intensif,

dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah yang mempunyai horizon kandik,

kesuburan alami hanya ditentukan pada bahan organik di lapisan atas, sehingga

kapasitas pertukaran kation hanya tergantung pada kandungan bahan organik dan

fraksi liat (Sudaryono, 2009).

Karbon adalah komponen utama dari bahan organik. Pengukuran

C-organik secara tidak langsung dapat menentukan bahan C-organik melalui

penggunaan faktor koreksi tertentu. Faktor yang selama beberapa tahun ini

digunakan adalah faktor Van Bemmelen yaitu 1,724 dan di dasarkan pada asumsi

bahwa bahan organik mengandung 58% karbon. Beberapa studi menunjukkan

bahwa kadar C-organik dalam bahan organik cukup bervariasi didalam tanah.

Suatu penelitian menemukan bahwa lapisan tanah bawah (subsoil) memilki faktor

yang lebih besar dari permukaan tanah. Permukaan tanah biasanya memiliki

(55)

C-organik tanah merupakan akumulasi dari sisa tanaman maupun hewan

yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali, umumnya

pada tanah yang subur kandungan C-organik sebesar 4-5% dari total berat tanah.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa C-organik tanah sangat

mempengaruhi tinggi rendahnya kapasitas tukar kation. Sekitar setengah nilai

KTK tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik dapat meningkatkan

kapasitas tukar kation dua sampai tiga puluh kali lebih besar daripada koloid

mineral yang meliputi 30-90 % dari tenaga jerap suatu tanah mineral. Bahan

organik akan menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan

yang dapat menahan unsur hara dan air sehingga kemampuan tanah untuk

mengikat unsur-unsur hara meningkat (Nugroho dan Istianto, 2009).

Keeratan hubungan antara C-organik dengan sifat kimia tanah lainnya

menunjukkan korelasi positif sangat nyata dengan KTK tanah. Kandungan

C-organik juga berkorelasi positif sangat nyata dengan kandungan liat, N, P, dan K

potensial, Mg-tukar, K-tukar serta Al-dd. Sedangkan dengan kejenuhan basa

berkorelasi negatif sangat nyata (Suharta, 2007).

Nitrogen tanah

Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5 %

bobot tanaman dan berfungsi terutama dalam pembentukan protein. Unsur ini

bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan mudah hilang baik lewat

volatilisasi (gas N2) maupun lewat pencucian (NO3-). Di atmosfer unsur N

merupakan unsur dominan karena merupakan 80 % dari gas yang ada, tetapi

bentuk gas ini tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

Gambar

Gambar 2.  a) vegetasi karet pada umur ± 15 tahun pada Typic Paleudults,              b) vegetasi karet pada umur ± 2 tahun pada Typic Paleudults
Gambar 3. a) vegetasi karet pada Psammentic Paleudults, b) vegetasi pakis dan alang-alang pada Psammentic Paleudults, c) vegetasi ubi kayu pada Psammentic Paleudults
Gambar 4.  a) vegetasi karet pada Typic Plinthudults, b) vegetasi kelapa sawit (c)
Gambar 6.  a) vegetasi ubi kayu pada Typic Paleaquults, b) vegetasi jagung pada Typic Paleaquults
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada parameter C- organic, N- total, P- tersedia, K- tukar, KTK mengalami perubahan penurunan sifat kimia tanah dibawah tegakan tanaman

Sifat tanah dan status hara yang meliputi pH, Corganik, N total, P tersedia, K tukar, Ca tukar, Mg tukar, Na tukar, KTK dan KB baik pada tanah sawah tadah hujan dan irigasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada parameter C- organic, N- total, P- tersedia, K- tukar, KTK mengalami perubahan penurunan sifat kimia tanah dibawah tegakan tanaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada parameter C- organic, N- total, P- tersedia, K- tukar, KTK mengalami perubahan penurunan sifat kimia tanah dibawah tegakan tanaman

Sifat tanah dan status hara yang meliputi pH, Corganik, N total, P tersedia, K tukar, Ca tukar, Mg tukar, Na tukar, KTK dan KB baik pada tanah sawah tadah hujan dan irigasi

Berdasarkan sifat kimia tanah yang telah diteliti, tanah di lokasi penelitian bereaksi masam, nilai KTK pada tergolong rendah sampai dengan sedang. N-total tergolong

Kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol menunjukkan nilai sangat tinggi baik untuk tanah-tanah yang terbentuk dari batuan pasir maupun batuan liat.. Kejenuhan aluminium meningkat

Sifat kimia Ultisol N-total, P-tersedia, basa-basa dapat ditukar, KTK, dan KB pada piringan memiliki nilai lebih tinggi daripada di gawangan mati, dan beberapa