KERUING (
Dipterocarpus
sp
.
Gaertner f.)
MUHAMAD ALKAF
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PADA KAYU MERBAU
(
Intsia bijuga
Thouars) DAN
KERUING (
Dipterocarpus
sp
.
Gaertner f.)
Oleh :
MUHAMAD ALKAF
E24103023
Skripsi
:sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Moulding pada Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars) dan Keruing (Dipterocarpus
sp. Gaertner f.). Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI dan M. I. ISKANDAR.
Ada lebih dari 4000 jenis kayu di Indonesia yang memiliki keragaman sifat maupun ciri-cirinya. Banyak diantara jenis kayu tersebut memiliki kandungan zat ekstraktif tinggi. Beberapa jenis kayu yang memiliki kandungan zat ekstraktif tinggi
yaitu jenis kayu Merbau (Intsia spp) dan Keruing (Dypterocarpus spp). Zat ekstraktif
dalam kayu dapat mempengaruhi sifat perekatan dan mengeluarkan warna setelah pengolahan. Untuk itu diperlukan suatu upaya agar kayu-kayu yang memiliki zat ekstraktif tinggi dapat dimanfaatkan untuk produk-produk kayu komposit dan kayu pertukangan dengan kualitas yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji mutu produk kayu lamina 3 lapis dan 5 lapis dengan menggunakan perekat Tanin Resorsinol Formaldehida serta menguji mutu produk moulding dari kayu Merbau dan Keruing setelah diberi perlakuan perebusan dengan air dan perlakuan vakum tekan dengan parafin.
Metode penelitian dimulai dengan melakukan pengujian kelarutan kayu dalam air panas, air dingin, dan alkohol-benzena. Untuk mengatasi zat ekstraktif, kedua jenis kayu dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu kontrol, perebusan dengan air, dan vakum tekan dengan parafin. Kayu lamina yang dibuat dibagi menjadi kayu lamina 3 dan 5 lapis. Pengujian pada kayu lamina meliputi uji kerapatan, kadar air, keteguhan geser, MOE, dan MOR. Pengujian pada moulding meliputi pengujian sifat penyerutan, pengampelasan, pembentukan, dan pemboran sehingga dapat diketahui kelas pemesinannya.
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa kayu Merbau memiliki
kandungan zat ekstraktif yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu Keruing. Kerapatan kayu lamina yang diberi perlakuan perebusan dengan air menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 6,32 % sedangkan kerapatan kayu lamina yang diberi
perlakuan vakum tekan dengan parafin cenderung meningkat dengan rata-rata
peningkatan sebesar 6,61 % bila dibandingkan dengan kontrol. Kadar air kayu lamina telah memenuhi standar JAS 2003 yaitu dibawah 15 %. Nilai keteguhan geser kayu lamina Merbau lebih baik bila dibandingkan dengan Keruing, namun nilai MOE dan MOR kayu lamina Keruing lebih baik bila dibandingkan dengan Merbau. Kayu lamina 3 lapis memiliki nilai keteguhan geser, MOE, dan MOR yang lebih baik bila dibandingkan kayu lamina 5 lapis. Kualitas pemesinan kayu Keruing termasuk kelas sangat baik (Kelas I) dalam penyerutan, pengampelasan, dan pembentukan, tetapi dalam pemboran masih termasuk kelas baik (Kelas II).
Kayu lamina yang diberi perlakuan vakum tekan dengan parafin memiliki sifat mekanis yang lebih baik bila dibandingkan dengan perebusan dengan air dan kontrol. Kualitas moulding kayu Keruing dapat ditingkatkan dari kualitas II (baik) menjadi kualitas I (sangat baik) dengan memberikan perlakuan awal berupa perebusan dengan air atau vakum tekan dengan parafin. Kualitas moulding kayu Merbau sudah tergolong kualitas I (sangat baik), namun dapat juga ditingkatkan dengan memberikan perlakuan awal berupa perebusan dengan air atau vakum tekan dengan parafin.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peningkatan Mutu
Kayu Lamina dan Moulding pada Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars) dan Keruing (Dipterocarpus sp. Gaertner f.)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi maupun lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2007
Gaertner f.)
Nama : Muhamad Alkaf
NIM : E24103023
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr Ir. M.I. Iskandar, MM
NIP. 130 687 459 NIP. 080 052 270
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan pada bulan Juli 2007 – Oktober 2007
adalah Peningkatan Mutu Kayu Lamina dan Moulding pada Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars) dan Keruing (Dipterocarpus sp. Gaertner f.).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo
Hadi, M.Agr. dan Bapak Ir. M.I. Iskandar, MM selaku pembimbing. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Adi Santoso, Bapak Atin, Bapak Agus,
Bapak Ujang, Bapak Heri, Bapak Usep, Bapak Didik, Bapak Amin, Mas Kiki,
Mas Omo serta Ibu Umi yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Kakak dan Adik
tercinta serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2007
Penulis dilahirkan di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi
Jawa Tengah pada tanggal 22 November 1985 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan Mufid, S.Pd. dan Kasri Astuti.
Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Rembang dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis diterima di Program Studi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota Koperasi Mahasiswa, staf Departemen
Kemahasiswaan dan Kesejahteraan Sosial BEM-E (Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kehutanan) tahun 2004-2005, Wakil Ketua Omda HKRB (Organisasi
Mahasiswa Daerah Himpunan Keluarga Rembang di Bogor) tahun 2005-2006 dan
staf Departemen Human Resource and Development, ASEAN Forestry Student Association (AFSA) tahun 2005-2006. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran 2006-2007.
Penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Barat dan
KPH Banyumas Timur serta Praktek Pengelolaan Hutan di Ngawi pada tahun
2006. Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di CV. Citra
Jepara Furniture Exporter di Kabupaten Semarang.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul “Peningkatan Mutu Kayu Lamina dan Moulding pada kayu
Keberhasilan penulisan skripsi ini tidak lepas dari peran banyak pihak
yang baik secara langsung maupun tidak telah membantu, sehingga penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Ir. M. I. Iskandar, MM selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama penyusunan skripsi.
2. Ir. M. Chamim Mashar, MM selaku dosen penguji dari Departemen
Manajemen Hutan dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku dosen penguji dari
Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata atas masukan dan
saran untuk penulisan skripsi ini.
3. Bapak, Ibu, Mbak Aniq, dan Dik Fia atas perhatian, doa dan kasih sayangnya.
4. Seluruh staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
5. Firman, Adam, dan Fika sebagai sahabat seperjuangan, atas segala bantuan
dalam penelitian hingga penulisan skripsi ini.
6. Elza Havid, S.Hut atas kesabaran, perhatian, dan kasih sayangnya.
7. Yudha, Fatichul, Iid, Bram, Ismail, Hanif, Hasyim, Deny, Dicky, Agung,
Tyas, Bambang, Haris, Wisnu, dan semua keluarga besar Wisma As-Shobirin.
8. Danang, Sahat, Hotman, Endro, Eka, Cecep, Salim, Agung, Wina, Dina,
Listya, Mayang, Welly, Pury, Tya, Lia, Iin, dan semua keluarga besar
Departemen Hasil Hutan atas persaudaraannya selama ini.
9. Rekan-rekan di Departemen MNH, Silvikultur, dan KSH 40.
10. Shinta, Dhani, Dian, Sutin, Bunga, Yani, Ari, Diah, Umi, Agus, Dona, Alaiq,
Rusidi, Wisnu dan saudara-saudaraku semua di HKRB.
11. Fahmi, Tomy, Suno, Wawan, Bagus, Anang, Idho, Angie, Yuli, Dyta, Dinda,
Dewi, Candra, dan Tyas atas persahabatan kita.
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR TABEL... ii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN... v
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 1
1.3. Hipotesis... 2
1.4. Manfaat ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Laminasi ... 3
2.2. Moulding... 4
2.3. Zat Ekstraktif Kayu... 5
2.4. Perekat Tanin dan Perekatan... 7
2.5. Faktor Kayu... 9
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 11
3.2. Bahan dan Alat... 11
3.3. Rancangan Percobaan ... 11
3.4. Pelaksanaan Penelitian... 12
3.4.1. Pengujian zat ekstraktif kayu... 12
3.4.2. Upaya mengatasi zat ekstraktif... 14
3.4.3. Pembuatan dan pengujian kayu lamina ... 15
3.4.4. Pembuatan dan pengujian moulding ... 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Zat Ekstraktif Kayu... 21
4.2. Kayu Lamina... 22
4.2.1. Kerapatan... 22
4.2.4. Keteguhan lentur ... 34
4.3. Moulding... 39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 46
5.2. Saran... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
KERUING (
Dipterocarpus
sp
.
Gaertner f.)
MUHAMAD ALKAF
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PADA KAYU MERBAU
(
Intsia bijuga
Thouars) DAN
KERUING (
Dipterocarpus
sp
.
Gaertner f.)
Oleh :
MUHAMAD ALKAF
E24103023
Skripsi
:sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Moulding pada Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars) dan Keruing (Dipterocarpus
sp. Gaertner f.). Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI dan M. I. ISKANDAR.
Ada lebih dari 4000 jenis kayu di Indonesia yang memiliki keragaman sifat maupun ciri-cirinya. Banyak diantara jenis kayu tersebut memiliki kandungan zat ekstraktif tinggi. Beberapa jenis kayu yang memiliki kandungan zat ekstraktif tinggi
yaitu jenis kayu Merbau (Intsia spp) dan Keruing (Dypterocarpus spp). Zat ekstraktif
dalam kayu dapat mempengaruhi sifat perekatan dan mengeluarkan warna setelah pengolahan. Untuk itu diperlukan suatu upaya agar kayu-kayu yang memiliki zat ekstraktif tinggi dapat dimanfaatkan untuk produk-produk kayu komposit dan kayu pertukangan dengan kualitas yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji mutu produk kayu lamina 3 lapis dan 5 lapis dengan menggunakan perekat Tanin Resorsinol Formaldehida serta menguji mutu produk moulding dari kayu Merbau dan Keruing setelah diberi perlakuan perebusan dengan air dan perlakuan vakum tekan dengan parafin.
Metode penelitian dimulai dengan melakukan pengujian kelarutan kayu dalam air panas, air dingin, dan alkohol-benzena. Untuk mengatasi zat ekstraktif, kedua jenis kayu dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu kontrol, perebusan dengan air, dan vakum tekan dengan parafin. Kayu lamina yang dibuat dibagi menjadi kayu lamina 3 dan 5 lapis. Pengujian pada kayu lamina meliputi uji kerapatan, kadar air, keteguhan geser, MOE, dan MOR. Pengujian pada moulding meliputi pengujian sifat penyerutan, pengampelasan, pembentukan, dan pemboran sehingga dapat diketahui kelas pemesinannya.
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa kayu Merbau memiliki
kandungan zat ekstraktif yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu Keruing. Kerapatan kayu lamina yang diberi perlakuan perebusan dengan air menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 6,32 % sedangkan kerapatan kayu lamina yang diberi
perlakuan vakum tekan dengan parafin cenderung meningkat dengan rata-rata
peningkatan sebesar 6,61 % bila dibandingkan dengan kontrol. Kadar air kayu lamina telah memenuhi standar JAS 2003 yaitu dibawah 15 %. Nilai keteguhan geser kayu lamina Merbau lebih baik bila dibandingkan dengan Keruing, namun nilai MOE dan MOR kayu lamina Keruing lebih baik bila dibandingkan dengan Merbau. Kayu lamina 3 lapis memiliki nilai keteguhan geser, MOE, dan MOR yang lebih baik bila dibandingkan kayu lamina 5 lapis. Kualitas pemesinan kayu Keruing termasuk kelas sangat baik (Kelas I) dalam penyerutan, pengampelasan, dan pembentukan, tetapi dalam pemboran masih termasuk kelas baik (Kelas II).
Kayu lamina yang diberi perlakuan vakum tekan dengan parafin memiliki sifat mekanis yang lebih baik bila dibandingkan dengan perebusan dengan air dan kontrol. Kualitas moulding kayu Keruing dapat ditingkatkan dari kualitas II (baik) menjadi kualitas I (sangat baik) dengan memberikan perlakuan awal berupa perebusan dengan air atau vakum tekan dengan parafin. Kualitas moulding kayu Merbau sudah tergolong kualitas I (sangat baik), namun dapat juga ditingkatkan dengan memberikan perlakuan awal berupa perebusan dengan air atau vakum tekan dengan parafin.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peningkatan Mutu
Kayu Lamina dan Moulding pada Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars) dan Keruing (Dipterocarpus sp. Gaertner f.)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi maupun lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2007
Gaertner f.)
Nama : Muhamad Alkaf
NIM : E24103023
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr Ir. M.I. Iskandar, MM
NIP. 130 687 459 NIP. 080 052 270
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan pada bulan Juli 2007 – Oktober 2007
adalah Peningkatan Mutu Kayu Lamina dan Moulding pada Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars) dan Keruing (Dipterocarpus sp. Gaertner f.).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo
Hadi, M.Agr. dan Bapak Ir. M.I. Iskandar, MM selaku pembimbing. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Adi Santoso, Bapak Atin, Bapak Agus,
Bapak Ujang, Bapak Heri, Bapak Usep, Bapak Didik, Bapak Amin, Mas Kiki,
Mas Omo serta Ibu Umi yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Kakak dan Adik
tercinta serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2007
Penulis dilahirkan di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi
Jawa Tengah pada tanggal 22 November 1985 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan Mufid, S.Pd. dan Kasri Astuti.
Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Rembang dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis diterima di Program Studi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota Koperasi Mahasiswa, staf Departemen
Kemahasiswaan dan Kesejahteraan Sosial BEM-E (Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kehutanan) tahun 2004-2005, Wakil Ketua Omda HKRB (Organisasi
Mahasiswa Daerah Himpunan Keluarga Rembang di Bogor) tahun 2005-2006 dan
staf Departemen Human Resource and Development, ASEAN Forestry Student Association (AFSA) tahun 2005-2006. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran 2006-2007.
Penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Barat dan
KPH Banyumas Timur serta Praktek Pengelolaan Hutan di Ngawi pada tahun
2006. Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di CV. Citra
Jepara Furniture Exporter di Kabupaten Semarang.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul “Peningkatan Mutu Kayu Lamina dan Moulding pada kayu
Keberhasilan penulisan skripsi ini tidak lepas dari peran banyak pihak
yang baik secara langsung maupun tidak telah membantu, sehingga penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Ir. M. I. Iskandar, MM selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama penyusunan skripsi.
2. Ir. M. Chamim Mashar, MM selaku dosen penguji dari Departemen
Manajemen Hutan dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku dosen penguji dari
Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata atas masukan dan
saran untuk penulisan skripsi ini.
3. Bapak, Ibu, Mbak Aniq, dan Dik Fia atas perhatian, doa dan kasih sayangnya.
4. Seluruh staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
5. Firman, Adam, dan Fika sebagai sahabat seperjuangan, atas segala bantuan
dalam penelitian hingga penulisan skripsi ini.
6. Elza Havid, S.Hut atas kesabaran, perhatian, dan kasih sayangnya.
7. Yudha, Fatichul, Iid, Bram, Ismail, Hanif, Hasyim, Deny, Dicky, Agung,
Tyas, Bambang, Haris, Wisnu, dan semua keluarga besar Wisma As-Shobirin.
8. Danang, Sahat, Hotman, Endro, Eka, Cecep, Salim, Agung, Wina, Dina,
Listya, Mayang, Welly, Pury, Tya, Lia, Iin, dan semua keluarga besar
Departemen Hasil Hutan atas persaudaraannya selama ini.
9. Rekan-rekan di Departemen MNH, Silvikultur, dan KSH 40.
10. Shinta, Dhani, Dian, Sutin, Bunga, Yani, Ari, Diah, Umi, Agus, Dona, Alaiq,
Rusidi, Wisnu dan saudara-saudaraku semua di HKRB.
11. Fahmi, Tomy, Suno, Wawan, Bagus, Anang, Idho, Angie, Yuli, Dyta, Dinda,
Dewi, Candra, dan Tyas atas persahabatan kita.
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR TABEL... ii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN... v
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 1
1.3. Hipotesis... 2
1.4. Manfaat ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Laminasi ... 3
2.2. Moulding... 4
2.3. Zat Ekstraktif Kayu... 5
2.4. Perekat Tanin dan Perekatan... 7
2.5. Faktor Kayu... 9
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 11
3.2. Bahan dan Alat... 11
3.3. Rancangan Percobaan ... 11
3.4. Pelaksanaan Penelitian... 12
3.4.1. Pengujian zat ekstraktif kayu... 12
3.4.2. Upaya mengatasi zat ekstraktif... 14
3.4.3. Pembuatan dan pengujian kayu lamina ... 15
3.4.4. Pembuatan dan pengujian moulding ... 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Zat Ekstraktif Kayu... 21
4.2. Kayu Lamina... 22
4.2.1. Kerapatan... 22
4.2.4. Keteguhan lentur ... 34
4.3. Moulding... 39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 46
5.2. Saran... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Nilai kelarutan kayu Keruing dan Merbau ... 6
2. Klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimia .... 7
3. Sifat-sifat kopolimer perekat Tanin Resorsinol Formaldehida (TRF) ... 9
4. Bentuk cacat dan sifat pemesinan yang diamati... 18
5. Nilai bebas cacat dan klasifikasi sifat pemesinan... 20
6. Nilai kelarutan kayu ... 21
7. Kerapatan kayu lamina ... 23
8. Sidik ragam kerapatan kayu lamina ... 23
9. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jenis kayu, lapisan, dan perlakuan awal terhadap kerapatan kayu lamina ... 24
10. Kadar air kayu lamina ... 26
11. Sidik ragam kadar air kayu lamina... 26
12. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jenis kayu, lapisan, dan perlakuan awal terhadap kadar air kayu lamina... 27
13. Keteguhan geser dan persentase kerusakan kayu lamina pada uji kering .... 29
14. Keteguhan geser dan persentase kerusakan kayu lamina pada uji basah ... 29
15. Sidik ragam keteguhan geser kayu lamina pada uji kering ... 30
16. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jenis kayu, lapisan, dan perlakuan awal terhadap keteguhan geser kayu lamina pada uji kering ... 31
17. Sidik ragam keteguhan geser kayu lamina pada uji basah ... 32
18. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jenis kayu, lapisan, dan perlakuan awal terhadap keteguhan geser kayu lamina pada uji basah... 32
19. MOE dan MOR kayu lamina... 35
20. Sidik ragam modulus elastisitas (MOE) kayu lamina ... 36
21. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jumlah lapisan dan perlakuan awal terhadap modulus elastisitas (MOE) kayu lamina ... 36
22. Sidik ragam modulus patah (MOR) kayu lamina... 37
23. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jumlah lapisan dan perlakuan awal terhadap modulus patah (MOR) kayu lamina ... 37
24. Sifat penyerutan... 40
26. Sifat pembentukan ... 42
27. Sifat pemboran... 43
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida (TRF) ... 7
2. Strutur kimia TRF... 8
3. Perkiraan reaksi pembentukan TRF (Pizzi 1994)... 9
4. Perlakuan perebusan dengan air ... 15
5. Perlakuan vakum tekan sengan parafin cair ... 15
6. Pola contoh uji keteguhan geser ... 16
7. Pola contoh uji keteguhan lentur ... 17
8. Proses penyerutan... 20
9. Proses pengampelasan ... 20
10. Proses pembentukan ... 20
11. Proses pemboran... 20
12. Grafik nilai rata-rata kerapatan kayu lamina ... 24
13. Grafik nilai rata-rata kadar air kayu lamina ... 27
14. Grafik nilai rata-rata keteguhan geser : (a) kondisi kering, (b) kondisi basah; dan kerusakan kayu : (c) kondisi kering,
(d) kondisi basah... 33
15. Grafik nilai rata-rata MOE kayu lamina... 38
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Nilai kelarutan kayu dalam air panas ... 51
2. Nilai kelarutan kayu dalam air dingin ... 51
3. Nilai kelarutan kayu dalam etanol-benzena ... 52
4. Nilai kadar air untuk pengujian kelarutan dalam air panas dan air dingin... 53
5. Nilai kadar air untuk pengujian kelarutan dalam alkohol-benzana ... 53
6. Nilai kerapatan kayu lamina 3 lapis ... 54
7. Nilai kerapatan kayu lamina 5 lapis ... 55
8. Nilai kadar air kayu lamina 3 lapis dan 5 lapis ... 56
9. Nilai keteguhan geser kayu lamina 3 lapis (uji kering)... 57
10. Nilai keteguhan geser kayu lamina 3 lapis (uji basah)... 58
11. Nilai keteguhan geser kayu lamina 5 lapis bagian kanan (uji kering)... 59
12. Nilai keteguhan geser kayu lamina 5 lapis bagian kiri (uji kering)... 60
13. Nilai keteguhan geser kayu lamina 5 lapis bagian tengah (uji kering)... 61
14. Nilai keteguhan geser kayu lamina 5 lapis bagian kanan(uji basah)... 62
15. Nilai keteguhan geser kayu lamina 5 lapis bagian kiri(uji basah)... 63
16. Nilai keteguhan geser kayu lamina 5 lapis bagian tengah (uji basah)... 64
17. Nilai keteguhan lentur kayu lamina 3 lapis ... 65
18. Nilai keteguhan lentur kayu lamina 5 lapis ... 66
19. Hasil pengujian sifat penyerutan kayu Merbau ... 67
20. Hasil pengujian sifat pengampelasan kayu Merbau ... 68
21. Hasil pengujian sifat pembentukan kayu Merbau ... 69
22. Hasil pengujian sifat pemboran kayu Merbau... 70
23. Hasil pengujian sifat penyerutan kayu Keruing ... 71
24. Hasil pengujian sifat pengampelasan kayu Keruing ... 72
25. Hasil pengujian sifat pembentukan kayu Keruing... 73
26. Hasil pengujian sifat pemboran kayu Keruing ... 74
27. Nilai retensi parafin ke dalam contoh uji moulding ... 75
28. Nilai retensi parafin ke dalam contoh uji kayu lamina... 76
30. Hasil sidik ragam dan uji Duncan kadar air ... 79
31. Hasil sidik ragam dan uji Duncan keteguhan geser (uji kering) ... 81
32. Hasil sidik ragam dan uji Duncan keteguhan geser (uji basah)... 83
33. Hasil sidik ragam dan uji Duncan MOE... 85
34. Hasil sidik ragam dan uji Duncan MOR ... 87
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan kayu terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Saat ini industri pengolahan kayu dituntut untuk lebih efisien dalam
menggunakan bahan baku kayu serta dituntut untuk meningkatkan kualitas produk
yang dihasilkan. Ada lebih dari 4000 jenis kayu di Indonesia yang memiliki
keragaman sifat maupun ciri-cirinya. Banyak diantara jenis kayu tersebut
memiliki kandungan zat ekstraktif tinggi. Beberapa jenis kayu yang memiliki
kandungan zat ekstraktif tinggi yaitu jenis kayu Merbau (Intsia spp) dan Keruing (Dypterocarpus spp). Suatu jenis kayu dikategorikan mempunyai kadar zat ekstraktif tinggi jika kandungannya lebih dari 4 % (Anonim 1976 diacu dalam
Pari et al 2001). Zat ekstraktif dalam kayu dapat mempengaruhi sifat perekatan dan mengeluarkan warna setelah pengolahan. Untuk itu diperlukan suatu upaya
agar kayu-kayu yang memiliki zat ekstraktif tinggi dapat dimanfaatkan untuk
produk-produk kayu komposit dan kayu pertukangan dengan kualitas yang baik.
Mutu produk kayu komposit seperti kayu lamina serta produk kayu
pertukangan seperti moulding dari kayu yang mengandung zat ekstraktif tinggi
umumnya masih rendah, serta diversifikasi produk masih terbatas, sehingga perlu
dicari teknologi yang sesuai dan memadai. Metode yang dapat dilakukan yaitu
dengan mengurangi kadar zat ekstraktif kayu atau dengan cara mencegah agar zat
ekstraktif tidak keluar. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengurangi kadar
zat ekstraktif dalam kayu yaitu perebusan dengan air sedangkan untuk mencegah
agar zat ekstraktif tidak keluar dilakukan dengan memasukkan parafin ke dalam
sel kayu.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji mutu produk kayu lamina 3 lapis
dan 5 lapis dengan menggunakan perekat Tanin Resorsinol Formaldehida serta
menguji mutu produk moulding dari kayu Merbau dan Keruing setelah diberi
1.3. Hipotesis
Kayu Merbau dan Keruing setelah diberi perlakuan perebusan dengan air
dan perlakuan vakum tekan dengan parafin diharapkan dapat dibuat produk kayu
lamina dan moulding dengan kualitas yang lebih baik sesuai standar yang berlaku.
1.4. Manfaat
Upaya untuk mengatasi zat ekstraktif pada kayu Merbau dan Keruing
diharapkan dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu lainnya yang juga memiliki zat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kayu Laminasi
Brown et al. (1952) mengemukakan bahwa kayu laminasi adalah kayu yang tersusun dari sejumlah papan yang disusun pada arah lebar, kemudian diikat
oleh baut, perekat, atau alat pengikat lainnya dengan persyaratan arah serat papan
saling sejajar.
Produk kayu lamina merupakan salah satu bentuk produk kayu masa
depan yang dapat dibuat dari kayu berdiameter kecil atau kayu berukuran kecil
menjadi kayu berukuran besar melalui suatu proses perekatan yang nantinya bisa
dimanfaatkan untuk tujuan konstruksi struktural (Iskandar dan Santoso 2000).
Kelebihan dari kayu lamina yaitu :
1. Kayu lamina dapat dibuat dengan bentuk dan ukuran yang paling
ekonomis sesuai dengan penggunaannya.
2. Kayu lamina dapat dibuat dari kayu yang berukuran kecil menjadi bahan
konstruksi, sehingga efisiensi pemanfaatan kayu dapat ditingkatkan.
3. Lamina-lamina dapat ditempatkan sesuai dengan besarnya tegangan yang
terjadi pada balok. Kayu yang bermutu rendah dapat ditempatkan pada
bagian balok yang timbul tegangan rendah sedangkan kayu yang bermutu
tinggi ditempatkan pada bagian balok yang timbul tegangan maksimum
(Bodig 1982).
Wirjomartono (1958) mengemukakan beberapa kekurangan dari kayu
lamina yaitu :
1. Persiapan pembuatan kayu berlapis majemuk umumnya memerlukan biaya
yang lebih besar dari konstruksi biasa.
2. Karena baik buruknya tergantung pada kekuatan sambungannya, maka
pembuatannya memerlukan alat-alat khusus untuk keperluan tersebut dan
orang-orang ahli.
3. Adanya kesulitan dalam pengangkutan pada kayu lamina berukuran besar
Prospek kayu lamina di Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemajuan
dalam industri bangunan dan arsitektur. Dari segi teknis, kayu-kayu Indonesia
dapat memenuhi, bahkan akan merupakan pendorong bagi industri perkayuan
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan kayu (Widarmana 1977 diacu dalam
Sinaga 1989).
2.2. Moulding
Muchtar (1994) menjelaskan bahwa moulding adalah kayu olahan
lanjutan dari kayu gergajian yang dibentuk secara khusus melalui mesin
pembentuk seperti moulder, mesin bubut, mesin ketam (wood working machines) yang berkadar air maksimum 20% serta mempunyai tujuan penggunaan tertentu.
Rahman (2005) mendefinisikan beberapa pengertian antara lain :
1. Moulding umumnya digunakan untuk hiasan.
2. Moulding dapat pula digunakan untuk bangunan struktural dan
non-struktural.
3. Moulding adalah hasil bentukan dari kayu, bentuk tersebut variasinya
sangat luas.
4. Moulding mempunyai variasi yang sangat banyak (lebih dari 100 macam)
dengan berbagai ukuran termasuk bahan parquet flooring. Namun masih mengijinkan bentuk lain diluar bentuk standar asal sesuai dengan pembuat,
penjual dan pembeli.
Muchtar (1994) menjelaskan bahwa sistem pengujian moulding kayu
Indonesia menggunakan sistem visual dan didasarkan pada sistem cacat dengan
mengamati dan menetapkan jenis, ukuran, jumlah, serta penyebaran cacat yang
ada pada moulding yang diuji. Apabila kayu memiliki cacat yang melebihi
ketentuan baik jenis, ukuran, jumlah serta penyebarannya, maka mutu moulding
tersebut menjadi turun atau dapat menyebabkan ditolak diuji.
Pada hakekatnya setiap jenis kayu mempunyai respon yang berbeda-beda
terhadap perlakuan pemesinan yang diterapkan. Respon ini dinilai sebagai sifat
pemesinan kayu. Respon tersebut merupakan indikasi bagi pemakai bahan kayu
tertentu, terutama untuk kegunaan sebagai alat-alat rumah tangga, barang
kerajinan dan lain-lain (Rachman dan Balfas 1989).
Salah satu sifat dasar kayu yang penting adalah kemudahannya untuk
dikerjakan dengan mesin. Setiap jenis kayu memiliki keragaman struktur anatomi,
kandungan kimia, sifat fisis dan mekanis, sehingga saat kayu dikerjakan dengan
mesin juga memberikan respon dengan keragaman yang besar (Supriadi dan
Rachman 2002).
2.3. Zat Ekstraktif Kayu
Zat ekstraktif adalah komponen dari bagian tumbuhan yang dapat
dipisahkan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut netral seperti air, aseton,
alkohol, benzena, eter atau dengan cara volatilisasi memakai uap air. Berdasarkan
sifat substansi, zat ekstraktif dapat digolongkan ke dalam 4 kelompok, yaitu :
1. Kelompok yang mudah menguap yaitu : minyak atsiri, hidrokarbon, eter,
alkohol, aldehid, keton, asam organik dan fenol.
2. Kelompok yang dapat larut dalam pelarut netral yaitu : resin, lemak, dan
zat fenolat.
3. Kelompok yang dapat larut dalam air dingin yaitu : gula, tanin, dan
beberapa zat pewarna tertentu.
4. Kelompok yang dapat larut dalam air panas yaitu : gom dan pati (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 1995).
Ekstraktif dapat dipandang sebagai konstituen kayu yang tidak struktural,
hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat
molekul rendah (Sjostrom 1995).
Istilah ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda
yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan
non-polar. Dalam arti yang sempit, ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut
dalam pelarut organik. Tetapi senyawa-senyawa karbohidrat dan anorganik yang
larut dalam air juga termasuk dalam senyawa yang dapat diekstraksi (Fengel
1995).
Menurut Kliwon (2005), keberadaan zat ekstraktif berpengaruh terhadap
1. Damar (gum), kadar damar yang tinggi menurunkan mutu kayu lamina,
moulding dan kayu lapis. Pada pembuatan venir, kayu gergajian dan
moulding, getah mengumpul pada pisau/ gergaji dan akan mengakibatkan
cacat (kasar lokal). Getah yang sudah mengeras juga mengakibatkan pisau/
gergaji menjadi cepat tumpul.
2. Polifenol (tanin), lebih banyak terdapat pada kayu teras dari pada kayu
gubal. Menyebabkan warna kayu teras lebih coklat dari pada kayu gubal.
Polifenol menyebabkan perubahan warna jika bereaksi dengan besi dan
baja sehingga menjadi berwarna biru hitam pada pisau dan permukaan
venir serta kayu gergajian.
3. Lilin (wax), adanya lilin diperlukan dalam pembuatan venir, sebaliknya
akan menyebabkan keteguhan rekat kayu lapis menjadi rendah.
4. Bahan mineral, seperti kalsium, magnesium, dan silika berkadar tinggi
akan menyebabkan tumpulnya pisau kupas atau mata pisau gergaji cepat
[image:31.612.127.510.411.489.2]tumpul.
Tabel 1. Nilai kelarutan kayu Keruing dan Merbau
Kelarutan (%) Jenis
Air dingin Air panas Alkohol-benzena
Keruing 2,6 3,9 2,7
Merbau 11,3 8,2 5,6
(Sumber : Martawijaya et al. 1981,1989)
Komponen-komponen yang larut tersebut adalah :
1. Air dingin : tanin, gum, karbohidrat dan pigmen
2. Air panas : tanin, gum, karbohidrat, pigmen dan pati
3. Alkohol-benzena : lemak, resin dan minyak (Anonim 1995 diacu dalam
Tabel 2. Klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimia
Kelas Komponen Komponen Kimia
Tinggi Sedang Rendah
Selulosa > 45 % 40 – 45 % < 40 %
Lignin > 33 % 18 – 33 % < 18 %
Pentosan > 24 % 21 – 24 % < 21 %
Ekstraktif > 4 % 2 – 4 % < 2 %
Abu > 6 % 0,2 – 6 % < 0,2 %
(Sumber : Anonim 1976 diacu dalam Pari et al. 2001)
2.4. Perekat Tanin dan Perekatan
Houwink dan Salomon (1967) mengemukakan bahwa perekatan
merupakan suatu peristiwa tarik-menarik antara molekul-molekul dari dua
permukaan yang direkat. Merekatnya dua buah benda yang direkat terjadi
disebabkan adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat
(gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (gaya kohesi) antara perekat dengan perekat/
antara bahan yang direkat.
Perekat berbahan dasar tanin dari ekstrak kulit kayu Mangium memiliki
karakter khas dan daya rekatnya memenuhi persyaratan standar Indonesia dan
Jepang serta setara dengan perekat komersial yang sampai saat ini masih diimpor,
selain itu biaya poduksi perekat tanin lebih ekonomis (Santoso 2005).
Selanjutnya Santoso (2005) mengemukakan bahwa kualitas perekat tanin
relatif setara dengan Fenol Formaldehida (PF) dan Fenol Resorsinol Formaldehida
(PRF). Beberapa nilai parameter memang tidak persis sama dengan perekat
komersial sebagai standar namun kualitas perekatan dari setiap produk tidak
hanya ditentukan berdasarkan nilai parameter tersebut, melainkan komposisi
perekat, dan ramuannya, kualitas bahan baku perekat serta jenis dan ketebalan
kayu. Sedangkan lamanya waktu kempa dalam pembuatan produk tergantung
kepada jenis kayu dan ketebalan produk yang diinginkan.
Berdasarkan strukturnya yang merupakan senyawa polifenol, Tanin
Resorsonol Formaldehida (TRF) sebagai perekat mirip resin fenol resorsinol
formaldehida. Pizzi (1994) menggambarkan struktur kimia TRF sebagai berikut :
Gambar 2. Strutur kimia TRF
Tanin ditambah dengan sedikt fenol, urea, atau resorsinol formaldehida
akan memberikan kekuatan rekat yang baik, tahan terhadap air, dan dapat
digunakan untuk perekat kayu lapis, kayu lamina, papan partikel dan produk
lainnya (Tsoumist 1991 diacu dalam Irawan 2007). Adapun perkiraan reaksi
Gambar 3. Perkiraan reaksi pembentukan TRF (Pizzi 1994)
Tabel 3. Sifat-sifat kopolimer perekat Tanin Resorsinol Formaldehida (TRF) :
Sifat Kopolimer TRF
Keadaan
Waktu tergelatin (menit)
Kadar resin padat (%)
Viskositas 25 ± 1 °C (poise)
Keasaman
Berat jenis
Cairan berwarna coklat-hitam,
berbau khas fenol
155
35,37
0.3
11.0
1.08
(Sumber : Santoso & Barly 2005)
2.5. Faktor Kayu
2.5.1. Kayu Keruing (Dipterocarpus sp. Gaertner f.)
a. Nama lain : Lagan (Sumatera), Tempudau, Kerup (Kalimantan), Kruen
(Indonesia).
b. Ciri anatomi : Potongan melintang kayunya berminyak dan lengket,
[image:34.612.126.509.387.549.2]parenkima keliling pembuluh, pori soliter, kayu berwarna merah
kecoklatan.
c. Sifat dan kegunaan : Kayu agak berat dengan berat jenis rata-rata 0,79
(0,51-0,99); Kelas awet : II-IV; Kelas kuat : II- (I-III). Kegunaan : Bahan
bangunan, rangka pintu dan jendela, karoseri truk, perkapalan, lantai
rumah, bantalan rel, perabot rumah tangga (Mandang & Pandit, 2002).
d. Daerah penyebaran : Seluruh Sumatera, Jawa dan Kalimantan
(Martawijaya et al 1981).
2.5.2. Kayu Merbau (Intsia bijuga Thouars)
a. Nama lain : Kayu Besi (Maluku), ’mirabow’, ipil.
b. Ciri anatomi : Riap tumbuh jelas, pori berukuran cukup besar dan
dikelilingi oleh parenkima bentuk sayap tumpul sampai konfluen, pori
berisi endapan berwarna kuning, kayu teras biasanya berwarna coklat
kemerahan.
c. Sifat dan kegunaan : BJ berat 0,81 (0,52-1,04); Kelas awet : I-II; Kelas
kuat I-III. Kegunaan : Bahan bangunan perumahan (balok, tiang, papan),
jembatan, kayu perkapalan, perabot rumah tangga, bahan bubutan, venir,
pintu panel dan jendela, komponen karoseri truk, dinding dekoratif
(Mandang & Pandit 2002).
d. Daerah penyebaran : Seluruh Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2007 sampai Oktober 2007,
bertempat di Laboratorium Produk Majemuk serta Laboratorium Penggergajian
dan Pengerjaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah balok kayu Merbau
(Intsia bijuga) dan Keruing (Dipterocarpus sp). Perekat yang digunakan yaitu jenis Tanin Resorsinol Formaldehida (TRF). Bahan kimia yang digunakan antara
lain alkohol, benzena, air destilata dan parafin cair.
Alat yang digunakan antara lain, hammer mill, mesin gergaji, mesin serut, mesin ampelas, hand router, mesin bor, mesin bubut, lup, drum, termometer, kompor minyak, alat kempa dingin, mesin uji universal (UTM)
merek Simadzu, mesin uji Instron, mesin vakum tekan, gelas piala, erlenmeyer,
water bath, oven, desikator, kertas saring, timbangan, kaliper, meteran, moisture meter dan alat tulis.
3.3. Rancangan Percobaan
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini hanya digunakan
pada kayu lamina, sedangkan pada moulding digunakan klasifikasi kelas
pemesinan. Model rancangan yang digunakan adalah rancangan faktorial 3 faktor
(2×2×3) dengan 3 kali ulangan.
Faktor yang diberikan pada perlakuan ini berupa jenis kayu, jenis
perlakuan awal dan jumlah lapisan. Jenis kayu terdiri dari 2 taraf yaitu : kayu
Merbau dan kayu Keruing. Jumlah lapisan memiliki dua taraf yaitu : 3 lapis dan 5
lapis sedangkan jenis perlakuan awal memiliki 3 taraf yaitu : tanpa perlakuan
(kontrol), perebusan dengan air dan vakum tekan dengan parafin cair.
Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah :
Yijkl : Nilai respon dari unit percobaan yang mendapatkan perlakuan jenis kayu
i, jumlah lapisan j, jenis perlakuan awal k, dan pada ulangan
ke-l
µ : Nilai rata-rata umum
Ai : Pengaruh jenis kayu ke-i
Bj : Pengaruh jumlah lapisan ke-j
Ck : Pengaruh jenis perlakuan awal ke-k
ABij : Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan jenis kayu ke-i dan jumlah lapisan ke-j
BCjk : Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan jumlah lapisan ke-j dan jenis perlakuan awal ke-k
ACik : Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan jenis kayu ke-i dan jenis perlakuan awal ke-k
ABCijk : Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapat kombinasi
perlakuan jenis kayu ke-i, jumlah lapisan ke-j dan jenis perlakuan awal
ke-k.
ε
ijkl : Nilai galat dari unit percobaan yang mendapatkan perlakuan jenis kayui, jumlah lapisan j, jenis perlakuan awal k dan pada ulangan
ke-l
Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, dan apabila hasilnya
berbeda nyata, dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf nyata 5% dan 1%. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SAS System for Windows v6.12.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Pengujian zat ekstraktif kayu
Untuk pengujian kadar zat ekstraktif kayu, sampel kayu diserut dengan
menggunakan mesin serut. Hasil serutan dijemur sampai kering kemudian dibuat
menjadi serbuk kayu dengan menggunakan alat hammer mill. Serbuk kayu yang digunakan dalam pengujian kadar zat ekstraktif disaring dengan saringan
berukuran 60 mesh (dalam 1 inch2 terdapat 60 lubang saringan). Prosedur dalam
3.4.1.1. Penentuan kadar air serbuk
Sebanyak 2 gram sampel serbuk (BB) ditimbang dalam cawan kemudian
dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 ± 3 oC sampai beratnya
konstan. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang
(BKO).
(BB – BKO)
Kadar air serbuk (%) = × 100 %
BKO
3.4.1.2. Pengujian kelarutan kayu dalam air dingin (TAPPI T 207 om-88)
Sebanyak 2 gram serbuk kayu (BB) dimasukkan ke dalam gelas piala 400
ml, lalu ditambahkan dengan 300 ml air destilata dan diaduk secara teratur
selama 48 jam pada suhu kamar. Setelah itu disaring dan dicuci dengan air
destilata lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ± 3 oC selama 4 jam
atau sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang (a gram).
Berat contoh kering oven – a gram
Kelarutan (%) = × 100 %
Berat contoh kering oven
Berat basah serbuk (BB) Berat contoh kering oven (gram) =
Kadar air serbuk + 1
3.4.1.3. Pengujian kelarutan kayu dalam air panas (TAPPI T 207 om-88)
Sebanyak 2 gram serbuk kayu (BB) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300
ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air panas dan dipanaskan diatas
water bath pada suhu 80 ºC selama 3 jam. Setelah itu disaring dan dicuci dengan air panas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ± 3 oC
selama 4 jam atau sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (a gram).
Berat contoh kering oven – a gram
Kelarutan (%) = × 100 %
Berat contoh kering oven
Berat basah serbuk (BB) Berat contoh kering oven (gram) =
3.4.1.4. Pengujian kelarutan kayu dalam alkohol-benzena 1 : 2 (TAPPI T 204
om-88)
Sebanyak 2 gram serbuk kayu (BB) ditimbang dalam cawan dan
dimasukkan ke dalam timbel kertas saring yang sudah diketahui beratnya.
Timbel tersebut diikat dan diberi pemberat lalu dimasukkan ke dalam
tabung ekstraksi dan diatur hingga cawan terendam dalam pelarut.
Ekstraksi dilakukan selama 6 - 8 jam dan setelah selesai timbel
dikeluarkan. Kemudian dicuci dengan 50 ml etanol untuk mengeluarkan
benzena, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ± 3 oC selama
2 jam atau sampai beratnya konstan. Sampel kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (a gram).
Berat contoh kering oven – a gram
Kelarutan (%) = × 100 %
Berat contoh kering oven
Berat basah serbuk (BB) Berat contoh kering oven (gram) =
Kadar air serbuk + 1
3.4.2. Upaya Mengatasi Zat Ekstraktif
Kedua jenis kayu digergaji membentuk potongan contoh uji. Contoh uji
tersebut dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu :
a. Kelompok perlakuan pertama dibiarkan tanpa perlakuan (kontrol)
b. Kelompok perlakuan kedua direbus dengan air selama 8 jam pada suhu 80 °C
seperti terlihat pada Gambar 4.
c. Kelompok perlakuan ketiga divakum tekan dengan parafin cair (konsentasi
5%). Vakum awal (600 – 700 mm/Hg) selama 30 menit, kemudian pemberian
tekanan sebesar 10 kg/cm2 selama 1 jam dan vakum akhir (600 – 700 mm/Hg)
Gambar 4. Perlakuan perebusan Gambar 5. Perlakuan vakum tekan
dengan air dengan parafin cair
3.4.3. Pembuatan dan Pengujian Kayu Lamina
Kayu dipotong berukuran panjang 1 meter, lebar 6 cm dan tebal 0,7 cm.
Berdasarkan model rancangan percobaan yang digunakan, maka jumlah satuan
eksperimen (SE) dalam pembuatan kayu lamina ini adalah 2×3×2×3 = 36 SE.
Setelah diberi perlakuan awal, papan kemudian dikeringkan sampai kadar airnya
berkisar antara 8-12 %. Papan kemudian diserut dan diampelas lalu dilaburi
dengan perekat Tanin Resorsinol Formaldehida (TRF) dengan bobot labur 170
gram/m2. Masing-masing contoh uji kayu lamina yang telah dibuat, dikempa pada
suhu kamar selama 24 jam. Setelah proses pengempaan, kayu lamina diangkat dan
dirapikan bagian tepinya, dan dibiarkan selama 1 minggu. Pengujian dilakukan 1
minggu setelah penyimpanan pada suhu kamar.
3.4.3.1. Uji kerapatan
Contoh uji diukur dimensinya untuk mendapatkan volume, kemudian
ditimbang beratnya pada kondisi kering udara.
Berat contoh uji Kerapatan (gram/cm3) =
Volume contoh uji
3.4.3.2. Uji kadar air (JAS 2003)
Contoh uji yang digunakan adalah bekas contoh uji kerapatan. Contoh uji
dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya (W1). Selanjutnya contoh
uji dikeringkan dalam oven (100°C - 105°C) sampai beratnya konstan,
kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai suhunya konstan.
[image:40.612.134.309.78.244.2](W1-W2)
Kadar air (%) = × 100%
W2
3.4.3.3. Uji keteguhan geser
Contoh uji dengan bentuk seperti Gambar 6 dipersiapkan terlebih dahulu.
Pengujian dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Uji kering. Kadar air contoh uji tidak melebihi 12 %. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan mesin uji universal (JAS 2003).
b. Uji basah. Contoh uji direbus pada 100 ºC selama 4 jam kemudian
dioven pada 75 ºC. Contoh uji kemudian direbus lagi pada 100 ºC
selama 4 jam, kemudian dilakukan pengujian dengan menggunakan
mesin uji universal.
Beban maksimum (N) Kekuatan geser =
(N/mm2 atau MPa) Luas bidang rekat (mm2)
Luas kerusakan kayu (mm2)
Kerusakan kayu (%) = × 100%
Luas bidang rekat (mm2)
[image:41.612.165.453.280.666.2](satuan : mm)
3.4.3.4. Uji keteguhan lentur (JAS 2003)
Contoh uji dengan bentuk seperti Gambar 7 dipersiapkan terlebih dahulu.
Kadar air contoh uji tidak melebihi 12 %. Panjang jarak sangga minimal
14 kali tebal contoh uji.
∆ P ( – S) (2 l 2 + 2 l S – S2) MOE =
8bh3∆ y
3 Pb (l – S)
MOR =
2 bh2
Contoh uji
h
4h
S
l/2 l/2
[image:42.612.163.502.166.467.2]
Gambar 7. Pola contoh uji keteguhan lentur
Dimana, MOE : Modulus elastisitas (103 N/mm2 atau GPa)
MOR : Modulus patah (N/mm2 atau MPa)
∆ P : Selisih antara beban yang lebih tinggi dan beban yang
lebih rendah (N)
∆ y : Perubahan defleksi pada setiap perubahan beban (mm)
l : Jarak sangga (mm)
S : Jarak antar loading points (mm) b : Lebar contoh uji (mm)
h : Tebal contoh uji (mm)
3.4.4. Pembuatan dan Pengujian Moulding
Kayu dipotong menjadi contoh uji dengan ukuran (30×5×2) cm. Contoh
uji yang digunakan berjumlah 5 buah untuk masing-masing jenis perlakuan awal
pada kedua jenis kayu. Contoh uji tersebut kemudian dikeringkan sampai kadar
air kering udara. Pengujian dilakukan dengan mengamati bentuk cacat pemesinan
yang dijumpai pada setiap contoh uji menurut perlakuan pemesinan sebagaimana
terinci pada Tabel 4. Pengamatan dilakukan secara okuler dengan bantuan kaca
pembesar berukuran 10 kali. Ukuran cacat pemesinan dinyatakan dalam
persentase luas bagian kayu yang bercacat dari seluruh penampang pengujian
pada masing-masing contoh uji. Nilai cacat yang diperoleh dari seluruh contoh uji
selanjutnya diolah sehingga diperoleh nilai rata-ratanya. Nilai ini kemudian
digunakan untuk menentukan besarnya nilai bebas cacat. Berdasarkan nilai bebas
cacat pada setiap jenis kayu ditetapkan klasifikasi kualitas pemesinan, seperti
disajikan pada Tabel 5. Pengujian ini mengacu pada ASTM D. 1666-64 yang
dimodifikasi sesuai dengan kondisi bahan dan peralatan yang tersedia di
Laboratorium Penggergajian dan Pengerjaan Pusat Penelitian dan Pengembangan
[image:43.612.134.510.454.661.2]Hasil Hutan Bogor (Anonim 1981 dalam Supriadi dan Rahman 2002).
Tabel 4. Bentuk cacat dan sifat pemesinan yang diamati
Sifat pemesinan Bentuk cacat
Penyerutan Pengampelasan Pembentukan Pemboran
Serat terangkat
Serat berbulu halus
Serat patah Kehancuran Tanda serpih Kelicinan Penyobekan Bekas garukan + + + - + - - - - + - - - - - + + + - - + - - - - + - + - + + -
Keterangan : + Bentuk cacat yang diamati
Definisi jenis-jenis cacat pemesinan menurut Rahman (2005) antara lain :
1. Serat menonjol yaitu munculnya serat ke permukaan kayu hasil pengerjaan
sehingga membentuk gelombang karena adanya perbedaan tegangan pada
jaringan tersebut
2. Serat berbulu halus yaitu terlepasnya serat-serat kayu yang menyerupai
bulu-bulu ke permukaan kayu hasil pengerjaan, akibat adanya kayu tarik pada
bagian tersebut
3. Serat patah yaitu terserpihnya serat ke pemukaan kayu hasil pengerjaan karena
keratan pisau penyerut
4. Tanda serpih yaitu suatu cekungan pada permukaan kayu yang dangkal yang
disebabkan serpihan atau serutan yang tertatah
5. Bekas garukan yaitu bekas pisau mesin pada permukaan kayu yang dibentuk
menjadi moulding
6. Penyobekan yaitu tersobeknya serat kayu pada sekitar mata kayu atau tempat
dimana arah serat bergelombang ke permukaan kayu hasil pengerjaan karena
keratan pisau penyerut.
Dalam pengujian sifat pemesinan ini digunakan beberapa mesin
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8 sampai dengan Gambar 11. Spesifikasi
mesin-mesin tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mesin serut : 1480 rpm, kecepatan pengumpanan 0,1 m/s, jenis pisau High Speed Steel (HSS)
2. Mesin ampelas : 2880 rpm, 11 HP, kecepatan pengumpanan 0,05 m/s, dengan
ukuran ampelas AA 80
3. Mesin pembentuk : jenis mesin hand router, 29000 rpm, kecepatan pengumpanan 0,1 m/s, jenis pisau Tungsten Carbide Tool (TCT)
Gambar 8. Proses penyerutan Gambar 9. Proses pengampelasan
Gambar 10. Proses pembentukan Gambar 11. Proses pemboran
Tabel 5. Nilai bebas cacat dan klasifikasi sifat pemesinan
Nilai bebas cacat (%) Kelas Kualitas pemesinan
0 – 20
21 – 40
41 – 60
61 – 80
81 – 100
V
IV
III
II
I
Sangat buruk
Buruk
Sedang
Baik
[image:45.612.141.311.78.204.2] [image:45.612.342.491.254.382.2]HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Zat Ekstraktif Kayu
Nilai rata-rata hasil pengujian zat ekstraktif pada kedua jenis kayu dapat
dilihat pada Tabel 6 di bawah ini, data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
[image:46.612.132.502.260.316.2]1 sampai dengan Lampiran 5.
Tabel 6. Nilai kelarutan kayu
Kelarutan (%) Jenis
Kayu Air panas Air dingin Alkohol-benzena
Merbau 18,33 10,51 18,75
Keruing 6,04 4,93 6,62
Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa kayu Merbau memiliki kandungan
zat ekstraktif yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu Keruing. Pada
kayu Merbau dan kayu Keruing nilai kelarutan yang tertinggi diperoleh dari nilai
kelarutan dalam alkohol-benzena. Nilai kelarutan yang terendah diperoleh dari
nilai kelarutan dalam air dingin, baik pada kayu Merbau maupun kayu Keruing.
Namun kedua jenis kayu tersebut dapat digolongkan dalam kayu yang memiliki
kandungan zat ekstraktif tinggi karena kandungan zat ekstraktifnya lebih dari 4 %
(Anonim 1976 diacu dalam Pari et al. 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi antara lain jenis
pelarut, jenis kayu, proses pengadukan, ukuran serbuk dan kadar air serbuk. Setiap
jenis kayu memiliki kandungan ekstrak yang berbeda-beda, baik jumlah maupun
jenisnya. Frekuensi dan intensitas pengadukan yang tinggi akan mempercepat
penetrasi pelarut ke dalam serbuk. Luas permukaan serbuk mempengaruhi jumlah
pelarut yang dapat diabsorpsi oleh serbuk tersebut. Ukuran partikel yang biasa
digunakan dalam analisis kimia berukuran 40 – 80 mesh (Achmadi 1990 diacu
dalam Lestari 2003).
Kadar air bahan yang tinggi akan mengurangi rendemen ekstrak yang
basah maka pelarut akan melarutkan air yang terdapat di dalam bahan sehingga
jumlah ekstrak yang dihasilkan lebih sedikit (Guenther 1998).
Kadar air serbuk kayu Keruing adalah 5,75 % sedangkan pada kayu
Merbau sebesar 11,86 %. Serbuk kayu Keruing memiliki kadar air yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan kayu Merbau.
4.2. Kayu Lamina
4.2.1. Kerapatan
Kerapatan kayu lamina merupakan sifat yang penting, karena dapat
memberikan gambaran tentang kekuatan kayu lamina yang diinginkan. Tsoumist
(1991) diacu dalam Rosihan (2005) mendefinisikan kerapatan sebagai massa yang
terkandung dalam setiap unit volume dari suatu material.
Nilai rata-rata hasil pengamatan kerapatan pada kedua jenis kayu,
perlakuan awal dan jumlah lapisan dapat dilihat pada Tabel 7. Data selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Nilai rata-rata kerapatan kayu
lamina dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar 12.
Setelah dilakukan analisis keragaman seperti terlihat pada Tabel 8, dapat
dilihat bahwa pengaruh jenis kayu terhadap kerapatan adalah sangat nyata,
pengaruh jumlah lapisan terhadap kerapatan adalah sangat nyata, begitu juga
dengan pengaruh perlakuan awal terhadap kerapatan adalah sangat nyata.
Pengaruh interaksi antara jenis kayu dengan jumlah lapisan terhadap kerapatan
adalah sangat nyata, pengaruh interaksi antara jumlah lapisan dengan perlakuan
awal terhadap kerapatan adalah sangat nyata serta pengaruh interaksi antara jenis
kayu dengan perlakuan awal terhadap kerapatan adalah sangat nyata, sedangkan
pengaruh interaksi antara jenis kayu dengan jumlah lapisan dan juga dengan
Tabel 7. Kerapatan kayu lamina
Jenis kayu Perlakuan awal Jumlah
lapisan
Kerapatan (gram/cm³)
tiga 0,79
Tanpa perlakuan
lima 0,78
tiga 0,75
Perebusan dengan air
lima 0,75
tiga 0,81
Keruing
Vakum tekan dengan parafin
lima 0,79
tiga 0,77
Tanpa perlakuan
lima 0,78
tiga 0,68
Perebusan dengan air
lima 0,74
tiga 0,85
Merbau
Vakum tekan dengan parafin
lima 0,88
Tabel 8. Sidik ragam kerapatan kayu lamina
F Tabel
Sumber keragaman DF JK KT F P
0,05 0,01
Jenis kayu 1 0,0005 0,0005 9,33 0,0054** 4,26 7,82
Jumlah lapisan 1 0,0025 0,0025 42,86 0,0054** 4,26 7,82
Perlakuan awal 2 0,0610 0,0305 523 0,0001** 3,40 5,61
Jenis kayu*Jumlah
lapisan 1 0,0054 0,0054 92,19 0,0001** 4,26 7,82
Jumlah
lapisan*Perlakuan awal 2 0,0018 0,0009 15,57 0,0001** 3,40 5,61
Jenis kayu*Perlakuan
awal 2 0,0162 0,0081 139,2 0,0001** 3,40 5,61
Jenis kayu *Jumlah
lapisan*Perlakuan awal 2 0,0005 0,0003 4,33 0,0247 * 3,40 5,61
Error 24 0,0014 0,0001
Total 35 0,0894
Keterangan : * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata
Menurut hasil uji Duncan seperti terlihat pada Tabel 9, dapat dilihat
bahwa jenis kayu Keruing dan Merbau tidak berbeda nyata, kayu lamina 3 lapis
dan 5 lapis berbeda nyata. Kayu lamina yang tidak diberi perlakuan awal berbeda
nyata dengan kayu lamina yang diberi perlakuan awal perebusan dengan air, kayu
lamina yang tidak diberi perlakuan awal berbeda nyata dengan kayu lamina yang
perlakuan awal perebusan dengan air berbeda nyata dengan kayu lamina yang
[image:49.612.138.499.328.579.2]diberi perlakuan awal vakum tekan dengan parafin.
Tabel 9. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jenis kayu, lapisan dan perlakuan awal terhadap kerapatan kayu lamina
Perlakuan Nilai rata-rata
kerapatan
Jumlah contoh uji
Merbau 0,79 A 18
Jenis kayu
Keruing 0,78 A 18
Lima 0,79 A 18
Jumlah
lapisan Tiga 0,77 B 18
Vakum tekan dengan parafin 0,83 A 12
Tanpa perlakuan 0,78 B 12
Perlakuan awal
Direbus dengan air 0,73 C 12
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
Kerapatan Kayu Lamina
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 Tanpa perlakuan Direbus air
Vakum tekan parafin Tanpa
perlakuan Direbus
air
Vakum tekan parafin
Keruing Merbau
Jenis kayu dan perlakuan
Nilai (gram/cm³)
3 Lapis
5 Lapis
Gambar 12. Grafik nilai rata-rata kerapatan kayu lamina
Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan kayu lamina yang
diberi perlakuan perebusan dengan air cenderung menurun dengan rata-rata
penurunan sebesar 6,32 % bila dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan
perebusan. Nilai kerapatan kayu lamina yang diberi perlakuan vakum tekan
dengan parafin cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 6,61 %
bila dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan awal. Hal ini disebabkan
karena masuknya parafin ke dalam rongga sel kayu sehingga meningkatkan
kerapatan kayu lamina.
Nilai kerapatan kayu lamina yang dihasilkan berkisar antara 0,68 – 0,88
gram/cm³. Nilai kerapatan kayu lamina Keruing berkisar antara 0,75 – 0 , 81
gram/cm³, sedangkan nilai kerapatan kayu lamina Merbau berkisar antara 0,68 –
0,88 gram/cm³. Nilai kerapatan kayu lamina Merbau 5 lapis yang diberi perlakuan
vakum tekan dengan parafin menunjukkan nilai yang paling tinggi sedangkan
nilai kerapatan kayu lamina Merbau 3 lapis yang diberi perlakuan perebusan
dengan air menunjukkan nilai yang paling rendah. Nilai kerapatan kayu lamina
Keruing dan Merbau yang diuji tidak terlalu berbeda dengan nilai rata-rata berat
jenis kayu penyusunnya yaitu kayu Merbau sebesar 0,81 dan kayu Keruing
sebesar 0,79.
4.2.2. Kadar Air
Nilai kadar air dapat didefinisikan sebagai berat air yang dinyatakan
dalam persen terhadap berat kayu bebas air atau kering tanur (BKT). Nilai
rata-rata hasil pengamatan kadar air pada kedua jenis kayu, perlakuan awal dan jumlah
lapisan dapat dilihat pada Tabel 10. Data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 8. Nilai rata-rata kadar air kayu lamina dalam bentuk grafik dapat
dilihat pada Gambar 13.
Setelah dilakukan analisis keragaman seperti terlihat pada Tabel 11,
dapat dilihat bahwa pengaruh jenis kayu terhadap kadar air adalah sangat nyata,
pengaruh jumlah lapisan terahadap kadar air adalah sangat nyata, begitu juga
dengan pengaruh perlakuan awal terhadap kadar air adalah sangat nyata. Pengaruh
interaksi antara jenis kayu dengan jumlah lapisan terhadap kadar air adalah sangat
nyata, pengaruh interaksi antara jumlah lapisan dengan perlakuan awal terhadap
kadar air adalah sangat nyata serta pengaruh interaksi antara jenis kayu dengan
interaksi antara jenis kayu dengan jumlah lapisan dan juga dengan perlakuan awal
terhadap kadar air adalah tidak nyata.
Tabel 10. Kadar air kayu lamina
Jenis kayu Perlakuan awal Jumlah lapisan Kadar air (%)
tiga 9,44
Tanpa perlakuan
lima 10,57
tiga 9,28
Perebusan dengan air
lima 9,37
tiga 9,31
Keruing
Vakum tekan dengan parafin
lima 11,21
tiga 10,08
Tanpa perlakuan
lima 10,41
tiga 9,27
Perebusan dengan air
lima 8,85
tiga 8,64
Merbau
Vakum tekan dengan parafin
[image:51.612.135.500.154.332.2]lima 9,43
Tabel 11. Sidik ragam kadar air kayu lamina
F Tabel
Sumber keragaman DF JK KT F P
0,05 0,01
Jenis kayu 1 1,5417 1,5417 13,21 0,0013** 4,26 7,82
Jumlah lapisan 1 3,6290 3,6290 31,09 0,0001** 4,26 7,82
Perlakuan awal 2 3,6290 2,5906 22,2 0,0001** 3,40 5,61
Jenis kayu*Jumlah
lapisan 1 1,4925 1,4925 12,79 0,0015** 4,26 7,82
Jumlah
lapisan*Perlakuan awal 2 3,4115 1,7057 14,61 0,0001** 3,40 5,61
Jenis kayu*Perlakuan
awal 2 3,3259 1,6630 14,25 0,0001** 3,40 5,61
Jenis kayu*Jumlah
lapisan*Perlakuan awal 2 0,1320 0,0660 0,57 0,5754
tn
3,40 5,61
Error 24 2,8011 0,1167
Total 35 21,5149
Keterangan : * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata
Menurut hasil uji Duncan seperti terlihat pada Tabel 12, dapat dilihat
bahwa jenis kayu Keruing dan Merbau berbeda nyata, kayu lamina 3 lapis dan 5
lapis berbeda nyata. Kayu lamina yang tidak diberi perlakuan awal berbeda nyata
dengan kayu lamina yang diberi perlakuan awal perebusan dengan air, kayu
diberi perlakuan awal vakum tekan dengan parafin, dan kayu lamina yang diberi
perlakuan awal perebusan dengan air berbeda nyata dengan kayu lamina yang
diberi perlakuan awal vakum tekan dengan parafin.
Tabel 12. Hasil uji jarak Duncan pengaruh jenis kayu, lapisan dan perlakuan awal terhadap kadar air kayu lamina
Perlakuan Nilai rata-rata
kadar air
Jumlah contoh uji
Keruing 9,86 A 18
Jenis kayu
Merbau 9,45 B 18
Lima 9,97 A 18
Jumlah
lapisan Tiga 9,34 B 18
Tanpa perlakuan 10,12 A 12
Vakum tekan dengan parafin 9,65 B 12
Perlakuan awal
Direbus dengan air 9,19 C 12
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
Kadar Air Kayu Lamina
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00
Tanpa
perlakuan Direbus
air
Vakum tekan parafin Tanpa
perlakuan Direbus
air
Vakum tekan parafin
Keruing Merbau
Jenis kayu dan perlakuan
Nilai (%)
3 Lapis
[image:52.612.140.496.386.631.2]5 Lapis
Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai kadar air contoh uji kayu
lamina Merbau cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kayu lamina
Keruing. Menurut standar JAS 2003 kadar air rata-rata contoh uji kayu lamina
tidak boleh lebih dari 15 %. K adar air contoh uji kayu lamina Keruing dan
Merbau berkisar antara 8,64 % - 11,21 %. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air
kayu lamina yang dihasilkan semuanya telah memenuhi standar JAS 2003. Nilai
kadar air tertinggi kayu lamina Keruing terdapat pada kayu lamina 5 lapis yang
diberi perlakuan awal vakum tekan dengan parafin yaitu 11,21 %, sedangkan yang
terendah terdapat pada kayu lamina 3 lapis yang diberi perlakuan awal perebusan
dengan air yaitu 9,28 %. Nilai kadar air tertinggi kayu lamina Merbau terdapat
pada kayu lamina 5 lapis yang tidak diberi perlakuan awal yaitu 10,41 %,
sedangkan yang terendah terdapat pada kayu lamina 3 lapis yang diberi perlakuan
awal vakum tekan dengan parafin yaitu 8,64 %.
Salah satu sifat kayu yang khas adalah sifat higroskopis dimana kayu
dapat menyerap dan melepaskan air, sehingga kadar air kayu sewaktu-waktu dapat
berubah sesuai dengan kondisi lingkungan. Perbedaan kadar air pada kayu lamina
yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh jenis kayu yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena jenis kayu yang berbeda memiliki berat jenis yang
berbeda-beda pula, sehingga ukuran rongga dan dinding selnya pun berberbeda-beda. Ukuran
rongga dan dinding sel yang berbeda ini menyebabkan perbedaan jumlah
kandungan air yang terdapat pada tiap-tiap jenis kayu.
4.2.3. Keteguhan geser
Hasil pengujian keteguhan geser dalam keadaan kering maupun dalam
keadaan basah, yang mewakili sifat keteguhan rekat kayu lamina, tercantum pada
Tabel 13 dan Tabel 14. Nilai keteguhan geser dan persentase kerusakan kayu
lamina 5 lapis yang disajikan pada tabel tersebut merupakan nilai rata-rata yang
diambil dari contoh uji bagian kanan, kiri dan tengah, sedangkan kayu lamina 3
lapis hanya diambil satu bagian saja. Data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 9 sampai dengan Lampiran 16. Nilai rata-rata keteguhan geser dan
Tabel 13. Keteguhan geser dan persentase kerusakan kayu lamina pada uji kering
Jenis
kayu Perlakuan awal
Jumlah lapisan Keteguhan geser (MPa) Kerusakan kayu (%)
tiga 6,64 23,33
Tanpa perlakuan
lima 2,79 4,44
tiga 7,60 30
Perebusan dengan air
lima 5,09 21,11
tiga 8,98 50
Keruing
Vakum tekan dengan
parafin lima 6,67 52,22
tiga 10,64 50
Tanpa perlakuan
lima 5,16 15,56
tiga 10,89 66,67
Perebusan dengan air
lima 6,89 27,78
tiga 11,40 80
Merbau
Vakum tekan dengan
parafin lima 8,99 37,78
Tabel 14. Keteguhan geser dan persentase kerusakan kayu lamina pada uji basah
Jenis
kayu Perlakuan awal
Jumlah lapisan Keteguhan geser (MPa) Kerusakan kayu (%)
tiga 1,06 0
Tanpa perlakuan
lima 0,53 0
tiga 2,07 0
Perebusan dengan air
lima 0,98 0
tiga 2,83 0
Keruing
Vakum tekan dengan
parafin lima 2,95 5,56
tiga 4,95 0
Tanpa perlakuan
lima 2,03 0
tiga 6,91 6,67
Perebusan dengan air
lima 2,94 0
tiga 7,30 26,67
Merbau
Vakum tekan dengan
parafin lima 4,42 13,33
Setelah dilakukan analisis keragaman seperti terlihat pada Tabel 15,
dapat dilihat bahwa pada kondisi kering pengaruh jenis kayu terhadap keteguhan
geser adalah sangat nyata, pengaruh jumlah lapisan terhadap keteguhan geser
adalah sangat nyata, begitu juga dengan pengaruh perlakuan awal terhadap
keteguhan geser adalah sangat nyata. Pengaruh interaksi antara jenis kayu dengan
[image:54.612.134.501.365.568.2]antara jumlah lapisan dengan perlakuan awal terhadap keteguhan geser adalah
tidak nyata serta pengaruh interaksi antara jenis kayu dengan perlakuan awal
terhadap keteguhan geser adalah tidak nyata, sedangkan pengaruh interaksi antara
jenis kayu dengan jumlah lapisan dan juga dengan perlakuan awal terhadap
keteguhan geser adalah tidak nyata.
Menurut h