• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Sebaran Dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan Di Kota Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Sebaran Dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan Di Kota Tangerang Selatan"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA SEBARAN DAN

ARAHAN PENGEMBANGANINDUSTRI PETERNAKAN

DI KOTA TANGERANG SELATAN

ZULYADNAN RIFAI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

(4)

RINGKASAN

ZULYADNAN RIFAI. Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh BABA BARUS dan WIDIATMAKA.

Industri Peternakan saat ini telah menjadi salah satu sektor penting di bidang pertanian, Pada tahun 2010 industri peternakan menyumbang diseluruh Rp. 80 Triliun untuk produk domestik bruto. Wilayah perkotaan seperti Kota Tangerang Selatan dengan jumlah penduduk yang banyak telah menjadi pasar yang menjanjikan bagi industri peternakan. BPS mengklaim bahwa penduduk Kota Tangerang Selatan membelanjakan sebanyak 20% dari total pendapatan untuk produk peternakan. Sejak 2009 industri peternakan telah berkembang Pesat di Kota Tangerang Selatan. Ini bisa menjadi masalah jika tidak ada peraturan atau kebijakan dari pemerintah yang mengatur hal tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk Mengatasi masalah ini. Data diperoleh dari wawancara dengan para pemangku kepentingan dan data koordinat sebagai data primer sedangkan data dari instansi terkait sebagai data sekunder. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: AHP untuk analisis faktor yang paling berpengaruh dalam industri pternakan, analisis MCE untuk memilih wilayah potensial untuk pngembangan industri peternakan, dan CA Markov untuk prediksi industri di tahun 2024.

Distribusi sebaran industri peternakan pada tahun 2004 menunjukan sebagian besar masih berada dekat Jakarta namun tahun 2014 sudah tersebar merata di Kota Tangerang Selatan. Hasil AHP untuk faktor pembobotan faktor yang mempengaruhi industri peternakan adalah modal (25%), penduduk (25%), aksesibilitas (23%), perizinan (16%), lahan (11%). Wilayah paling potensial ialah Kecamatan Serpong dan Pondok Aren. Hasil prediksi sebaran industri peternakan menyebar dominan di Kecamatan Serpong dan Pamulang. Wilayah yang direkomendasikan sebagai prioritas pengembangan industri peternakan ialah Kecamatan Serpong. Masih terdapat ketidaksesuaian antara prediksi sebaran industri peternakan tehadap pola ruang.

(5)

SUMMARY

ZULYADNAN RIFAI. Spatial Pattern Analysis and Development Direction of Livestock Industry at South Tangerang Municipality. Supervised byBABA BARUS and WIDIATMAKA

Livestock Industry currently has been one of leading sector in Agriculture, refering that in 2010 Livestock industry contributes arround Rp. 80 Trilion for gross domestic product. Urban area such as South Tangerang Municipality with a high number of citizen has been a promising market for livestock industry. BPS claims that South Tangerang Citizens spend 20% of their income for livestock products. Since 2009 livestock industry has been growing rapidly in South Tangerang. This could be a problem if there is no regulation or public policy from goverment. This study is intended to overcome these problem. Data were obtained from the interview with stakeholders and GPS coordinate as primary data, while relevant agencies data as secondary. The analytical methods used in this study were : AHP method for analysis of most potentially district for livestock industry, and CA Markov prediction for spatial industrial in 2024.

The distribution of livestock indusry in 2004 mostly near Jakarta but in 2014 spread evenly in South Tangerang area. The result for AHP weighting driving factor for livestock industry is capital (25%), market (25%), accessibilty (23%), policy (16%), land (11%). The most potential district is Serpong and Pondok Aren meanwhile spatial industrial prediction in 2024 showed that mostly in Pamulang and Serpong District. The most reccomended district for livestock industry base is Serpong District. There were mismatch between spatial prediction and city spatial plans.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS POLA SEBARAN DAN

ARAHAN PENGEMBANGANINDUSTRI PETERNAKAN

DI KOTA TANGERANG SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan

Nama : Zulyadnan Rifai NIM : A156140264

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan baik. Proposal penelitian ini adalah langkah awal dan merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan penelitian pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun proposal penelitian ini berjudul Analisis Pola Sebaran dan Arahan Pengembangan IndustriPeternakan di Kota Tangerang Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Bapak Dr Ir Widiatmaka, DEA selaku komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Khalid saifullah sebagai mentor serta berbagai pihak yang turut membantu dalam penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan September 2015.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengemnbangan industri peternakan Indonesia di masa depan.

Bogor, Mei 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Eksistensi Industri Peternakan di Perkotaan 6

Kawasan Pengembangan Peternakan 7

Sistem Informasi Geografis 9

Penginderaan Jauh 11

Model Cellular Automata 11

Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP) 12

Pemodelan Multi-Criteria Evaluation (MCE) 14

3 METODE 16

Waktu dan Lokasi Penelitian 16

Bahan dan Alat 16

Teknik Pengumpulan Data 16

Prosedur Analisis Data 17

Analisis Pola Sebaran Industri Peternakan 19

Penentuan Wilayah Ideal Pengembangan Industri Peternakan 19

Proses Hirarki Analitik (AHP) 19

Analisis Multi Criteria Evaluation (MCE) 20

Prediksi Sebaran Industri Peternakan 21

Penyusunan Arahan Pengembangan Industri Peternakan 22

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 22

Kondisi Fisik Wilayah 22

Kondisi Sosial Wilayah 25

Kondisi Perekonomian Wilayah 27

(12)

Pola Sebaran Industri Peternakan 29 Penentuan Wilayah Ideal Pengembangan Industri Peternakan 31 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Industri Peternakan 31

Persepsi Bappeda Kota Tangerang Selatan 32

Persepsi Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan 32

Persepsi Pakar Industri Peternakan 33

Persepsi Pelaku Usaha 34

Persepsi Tokoh Masyarakat 34

Persepsi Seluruh Responden 35

Evaluasi Multi Kriteria 36

Prediksi Sebaran Industri Peternakan 40

Tren Perubahan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan 42

Arahan Pengembangan Industri Peternakan 43

Penentuan Wilayah Prioritas Industri Peternakan 43 Perbandingan Prediksi Sebaran Industri Peternakan dengan Pola Ruang 44

6 SIMPULAN DAN SARAN 47

Simpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 51

(13)

DAFTAR TABEL

1 Nilai RI pada beberapa nilai n 14

2 3

Matriks pencapaian tujuan.

Jenis dan jumlah responden penelitian

17

Potensi fisik dasar Kota Tangerang Selatan

Luas wilayah berdasarkan kecamatan Kota Tangerang Selatan Penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan

Penduduk Kota Tangerang Selatan menurut jenis kelamin tahun 2013

Penduduk Kota Tangerang Selatan berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013

Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama tahun 2013

Gambaran PDRB Kota Tangerang Selatan dari tahun 2010-2013 Perbandingan jumlah industri dengan penggunaan lahan

Perbandingan jumlah penduduk, perizinan, dan modal setiap kecamatan

Sistem skor dan pembobotan dalam MCE

Lokasi dan luas industri peternakan hasil simulasi CA-Markov Perubahan jumlah industri peternakan

Perbandingan hasil prediksi dan wilayah potensial industri peternakan

Matriks kesesuaian pola ruang dan penggunaan lahan Keselarasan prediksi industri peternakan dengan pola ruang

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 5

2

Model struktur PHA 2 level dengan N kriteria dan M alternatif. Peta lokasi penelitian

Diagram alir penelitian

Peta penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 Peta lokasi industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan Peta industri peternakan berdasarkan penggunaan lahan 2004 Peta industri peternakan berdasarkan penggunaan lahan 2014 Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang Selatan

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi DPKP

Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi pakar industri Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi pelaku usaha Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi tokoh masyarakat Hasil analisis AHP berdasarkan persepsi semua responden

Peta perbandingan jumlah penduduk, perizinan, dan modal setiap kecamatan

Peta jarak dengan jalan wilayah Kota Tangerang Selatan Peta ketersediaan lahan industri peternakan

Peta pemodelan wilayah ideal pengembangan industri peternakan Hasil validasi model prediksi penggunaan lahan pada berbagai iterasi

Peta prediksi industri peternakan berdasarkan markov-chain Peta Kesesuaian Industri Peternakan

Peta prediksi industri peternakan Tahun 2024

Peta lokasi prediksi industri peternakan berdasarkan pola ruang

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Matriks konsistensi pola ruang dan penggunaan lahan 50 2

3

Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk peternakan

Kriteria penilaian kesesuaian industri

52

52 4 Kuesioner untuk input data pada metode AHP menghasilkan

perencanaan pengembangan industri peternakan berdasarkan potensi wilayah di Kota Tangerang Selatan

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan sampai saat ini masih menjadi salah satu sektor yang dapat diandalkan. Terpaan krisis tahun 2008 ternyata tetap membuat industri ini terus bertahan. Sektor peternakan bahkan mampu menyumbang produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 86 Triliyun pada tahun 2010.

Industri peternakan mencakup seluruh proses industri yang berkaitan dengan sektor peternakan mulai dari penyediaan pakan, obat, dan sarana prasarana hingga pengolahan hasil ternak seperti Rumah Potong Hewan (RPH), sosis, nugget, susu hingga bulu. Industri ini terus berkembang dan bertambah mulai dari skala besar hingga skala rumah tangga, mulai dari wilayah perdesaan hingga perkotaan.Jumlah penduduk yang banyak dan kesadaran gizi yang baik menjadi pendorong utama dalam peningkatan jumlah permintaan akan produk hasil industri peternakan.Tingginya harga daging sapi juga tidak banyak berpengaruh karena konsumen beralih ke daging unggas. Tipikal masyarakat urban yang menyukai hal serba praktis menjadikan industri pengolahan makanan siap saji semakin berkembang. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi juga turut meningkatkan permintaan terhadap segala bentuk produk peternakan dan olahannya.

Wilayah perkotaan seperti Kota Tangerang Selatan yang berpenduduk 1.4 juta jiwa tentu saja menjadi pasar yang menggiurkan bagi para pelaku industri, termasuk industri peternakan. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan (2014) pengeluaran rata-rata penduduk Kota Tangerang Selatan untuk makanan jadi dan produk peternakan mencapai 20% dari total pengeluaran. Dari sisi konsumsi, dengan asumsi konsumsi daging per kapita 2kg per tahun maka dibutuhkan sekitar 28.000 ton daging untuk masyarakat Kota Tangerang Selatan setiap tahunnya. Hal ini ditambah dengan ketersediaan sarana dan prasaran yang baik sehingga meningkatkan aksesibilitas keluar masuk barang.

(18)

2

Semenjak Kota Tangerang Selatan berdiri sebagai wilayah administrasi sendiri sudah banyak terjadi perkembangan di wilayah ini. Banyaknya industri yang bermunculan juga menjadi salah satu tolak ukur kemajuan suatu wilayah. Krugman dan Livas (1996) menyatakan bahwa suatu perusahaan akan cenderung mendekatkan lokasi usaha ke tempat pemasaran untuk meminimalkan biaya transportasi. Hal ini juga mendukung teori Dicken (1998) yang menyatakan bahwa seiring dengan makin kencangnya arus globalisasi maka sentralisasi industri dalam skala besar akan semakin berkurang, dan akan banyak bermunculan industri dengan skala kecil yang mendekati pasar.

Perkembangan dan penyebaran industri ini di perkotaan menarik untuk diteliti sebagai bahan acuan dalam pengembangan wilayah perkotaan. Memahami pola sebaran dan konsentrasi spasial pada berbagai aktivitas ekonomi telah menjadi tantangan bagi para ekonom dan kartografer belakangan ini, dan hal ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya arus globalisasi di seluruh dunia (Tiwari et al. 2003).

Pola penyebaran industri ini tentunya harus dilihat perkembangan berdasarkan jenis waktu tertentu. Dalam analisis pola sebaran diperlukan data faktual dan prediksi sebaran di masa depan. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya penggunaan model tertentu dalam memprediksi pola sebaran dan kondisi spasial industri peternakan

Semakin maraknya kemunculan industri yang lokasinya semakin mendekati pasar atau pemukiman masyarakat tentunya dapat menjadi masalah bila tidak diatur dan dibuat regulasinya. Perkembangan industri yang dibiarkan dapat berakibat buruk terhadap lingkungan karena dapat menghasilkan limbah yang berbahaya. Selain itu secara sosial dapat meningkatkan arus urbanisasi dan merubah perilaku masyarakat. Secara spasial pertumbuhan ini dapat menimbulkan pemukiman kumuh dan pada akhirnya memunculkan pola pembangunan yang tidak teratur di daerah perkotaan.

Konsep perkotaan yang populer di Indonesia saat ini ialah Green City, dimana konsep ini masuk dalam rencana strategis Direkotrat Perkotaan Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010 yang dicanangkan pada peringatan pucak Hari Tata Ruang Nasional di Sanur Bali. Konsep Green City tentunya selain menuntut ketersediaan ruang terbuka hijau yang memadai juga menjadikan pengelolaan lingkungan, sampah, limbah, dan pengaturan zonasi dan tata kota berjalan dengan baik. Tentunya pertumbuhan industri yang tidak terkendali tidak diinginkan dalam pengembangan konsep green city. Namun tidak bisa juga sektor industri dihilangkan dari sistem perkotaan karena memang menjadi kebutuhan masyarakat baik dalam ketersediaan produk konsumsi juga menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat kota. Oleh karena itu kajian mengenai sistem industri yang sesuai di perkotaan yang dalam hal ini Kota Tangerang Selatan memang diperlukan.

(19)

3 Perumusan Masalah

Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan jumlah kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertambahan kebutuhan rumah dan seluruh aktivitas pendukung kehidupan, simultan dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan, salah satunya industri.Dalam proses pemenuhan kebutuhan masyarakat urban yang terjadi adalah proses pemadatan (densifikasi) permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan penambahan ruang yang dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota atau sering pula disebut sebagai urban fringe atau daerah peri-urban (Yunus 2008).

Kota Tangerang Selatan yang merupakan wilayah otonom baru yang berdiri tahun 2009 dengan penduduk yang mencapai lebih dari 1 juta jiwa merupakan pasar yang amat potensial bagi dunia usaha. Pendirian sebuah usaha industri baru maupun cabang dari industri besar merupakan hal yang dapat menjadi pisau bermata dua. Pertumbuhan industri dapat menjadi pemicu pertumbuhan sektor lain seperti perdagangan dan jasa namun di sisi lain dapat menjadi bumerang bila tidak dapat diatur dan ditata dengan baik sehingga penataan dan arahan pengembangan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan dapat menjadi solusi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di sektor industri.

Banyak aspek yang mendorong pertumbuhan industri di suatu wilayah seperti ketersediaan bahan baku, lahan, tenaga kerja, jumlah permintaan, lokasi pasar, ketersediaan energi, kemudahan aksesibiltas dan modal yang cukup. Dari beberapa aspek tersebut. Jumlah permintaan, aspek lokasi pasar dan aksesibiltas mungkin masih menjadi daya tarik di Kota Tangerang Selatan. Hal ini tentunya harus ditunjang dengan ketersediaan ruang yang memadai yang akan diteliti pada riset ini. Ketersediaan dan kesesuaian lahan aktual saat ini dan masa depan juga akan diteliti melalui pemodelan tertentu yang dirasa tepat untuk pola penyebaran industri peternakan di Kota Tangerang Selatan.

Fakta yang terjadi menurut Balai Lingkungan BPPT Serpong ialah dari seluruh industri yang ada di wilayah Tangerang hanya setengahnya yang memiliki instalasi pengolahan limbah. Masalah lain yang terjadi ialah ketidaksesuaian lokasi industri yang berada pada lokasi yang harusnya menjadi wilayah perumahan atau kawasan green belt seperti sempadan sungai pada faktanya didirikan lokasi industri. Hal ini tentu dapat menjadi masalah baik dari aspek ruang, lingkungan, sosial dan ekonomi.

(20)

4

Berdasarkan beberapa pemikiran di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut,

1. Bagaimana pola sebaran lokasi industri peternakan tahun 2004-2014 di Kota Tangerang Selatan?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan?

3. Bagaimana model yang dapat dibangun untuk memprediksi perkembangan industri peternakan di masa yang akan datang dengan atau tanpa pengendalian?

4. Apa manfaat hasil prediksi perkembangan industri peternakan di masa yang akan datang?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun arahan pengembangan industri peternakan yang sesuai dengan asas pembangunan berkelanjutan di Kota Tangerang Selatan. Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka beberapa tujuan khusus ditetapkan sebagai berikut :

1. Menganalisis pola sebaran industri peternakan

2. Menganalisis lokasi wilayah ideal pengembangan industri peternakan 3. Membuat prediksi sebaran industri peternakan

4. Menyusun arahan pengembangan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan

Manfaat Penelitian

Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan DPRD Kota Tangerang Selatan dalam penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terkait zona wilayah industri

2. Menjadi salah satu referensi dalam pengambilan keputusan kebijakan terkait sektor industri dan peternakan

Kerangka Pemikiran

Subsektor peternakan memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pemenuhan gizi terutama protein hewani dan penyerapan tenaga kerja. Konsumsi daging per kapita bangsa Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg/tahun. Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Baru sekitar 55% yang dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri dan sisanya masih berasal dari impor negara lain. Hal ini menyebabkan kemandiriandan kedaulatan pangan hewani, khususnyadaging sapi, semakin jauh dari harapan dan Indonesiamasuk dalam perangkap pangan (food trap) negara eksportir.

(21)

5 lokasi, pengelolaan dan faktor lainnya. Industri bila terus dibiarkan tanpa adanya pengaturan dan pengendalian maka akan terus bertumbuh secara acak dan tidak terkendali. Hal ini tentunya berakibat buruk terhadap pola ruang, kondisi lingkungan, bahkan kondisi sosial masyarakat.

Dalam proses pengendalian industri diperlukan identifikasi pola sebaran industri untuk selanjutnya dibuat model pengembangan industri tersebut dan pada akhirnya segera dibuat arahan pengendalian industri peternakan. Kerangka pikir penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Ruang Lingkup Penelitian

Industri peternakan mencakup seluruh aspek mulai dari hulu hingga hilir. Meliputi bahan mentah, pemeliharaan di kandang sampai akhirnya bisa langsug dikonsumsi (from farm to table). Bila dilihat dari sisi permintaan (by demand) maka industri peternakan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu industri berdasarkan permintaan terhadap hewan dan permintaan terhadap manusia. Berdasarkan permintaan terhadap hewan meliputi industri obat hewan, sarana prasarana kandang, hingga jasa pengobatan dan inseminasi. Untuk industri berasarkan permintaan terhadap manusia meliputi peternakan di kandang yang menghasilkan produk primer seperti daging dan susu, pengolahan produk seperti bakso, nugget, sosis, keju serta produk sampingan seperti bulu dan kulit. Dengan kondisi wilayah

Gambar 1.Kerangka Pikir Penelitian

Tidak terkendali

TERKENDALI Arahan pengembangan

Sarana prasarana baik

Kemudahan aksebilitas

Pertumbuhan Industri

Dibiarkan Diatur

Banyaknya permintaan Jumlah penduduk

tinggi

Menimbulkan masalah Ketersediaan

lahan

(22)

6

perkotaan seperti Tangerang Selatan yang memiliki penduduk dengan kepadatan tinggi maka ruang lingkup penelitian ini berfokus pada industri yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan terhadap manusia.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Eksistensi Industri Peternakan di Perkotaan

Menurut Hasibuan (1993) pengertian industri sangat luas, dapat dalam lingkup makro dan mikro. Secara mikro, sebagaimana dijelaskan dalam teori ekonomi mikro. Industri adalah kumpulan dari perusahaan yang menghasilkan barang yang homogen, atau barang yang mempunyai sifat saling menggantikan secara erat. Namun, dari segi pembentukan pendapatan, yang bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah.

Menurut Kartasapoetra (2000) industri dapat diklasifikasikan dalam tipe tertentu berdasarkan lokasi, fungsi atau aktivitas di dalamnya, motivasi pendirinya, dan lembaga sponsor yang mempunyai inisiatif mendirikan industri.

Ada beberapa alasan mengapa Ekonomi Industri umumnya, dan Organisasi Industri khususnya menjadi semakin penting untuk dipelajari, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Pertama, praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan bisnistelah dikenal sejak lama. Praktek-praktek perilakunya mempunyai daftar kerugianbagi masyarakat konsumen. Kedua, semakin tinggi konsentrasi industri cenderung mengurangi persaingan antar perusahaan yang kemudian membawa perilaku yang kurang efisien. Dalam kenyataannya, sering terjadi bahwa perusahaan-perusahaan besar menggunakan rintangan-rintangan masuk, sehingga persaingan menjadi tidak wajar. Ketiga, konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi kekayaan, yang melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha. Keempat, kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi membawa lebih jauh intervensi pemerintah. Kelima, kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah apa yang diproduksi, bagaimana, dan untuk siapa suatu barang dan jasa diproduksi (Hasibuan, 1993).

Menurut Undang-undang No.18 Tahun 2009 mengenai Peternakan dan Kesehatan Hewan, industri atau perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. Industri peternakan umumnya dibagi menjadi on-farm dan off-farm. On-farm secara umum berkaitan dengan segala macam usaha peternakan dalam kandang (peternakan) sedangkan off-farm di luar peternakan seperti sarana pendukung, obat, pembuatan pakan, hingga industri pengolahan.

(23)

7 banyak berkembang di perkotaan yang dengan tipikal masyarakat urban yang memilih produk jadi dan hasil olahan untuk konsumsi.

Kawasan Pengembangan Peternakan

Pelaksanaan penyebaran dan pengembangan ternak di suatu wilayah harus melalui analisis terhadap potensi yang dimiliki wilayah tersebut berkenaan dengan komoditi yang akan disebarkan dan dikembangkan. Pengembangan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketersediaan pakan, ketersediaan lahan, PDRB, sarana dan prasarana pendukung/kelembagaan, dan lain-lain (Mukson et al. 2005). Penyebaran dan pengembangan ternak di daerah bertujuan untuk membentuk kawasan peternakan, keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya untuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi dan produksi, dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak. Menurut Makka (2004), visi pembangunan peternakan telah ditetapkan yaitu terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal. Sedangkan misinya adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan pangan asal ternak yang cukup baik kuantitas maupun kualitas

2. Memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi

3. Menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternak 4. Menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan

5. Melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut grand strategy yang ditempuh adalah melalui pembangunan totalitas seluruh sistem dan usaha agribisinis peternakan mulai dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan subsistem jasa-jasa pendukung. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah maka peran pemerintah provinsi, kabupaten dan kota semakin penting dalam mewujudkan cita-cita pembangunan agribisnis peternakan di Indonesia.

(24)

8

Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat penting dalam memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga adalah komoditas ekonomi yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii) ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan (iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari ruminansia besar dan ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 % dari total konsumsi daging nasional (Ditjenak, 2006 dalam Thalib et al. 2007). Secara umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang berbeda, di pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia belum berswasembada, bahkan harus mengeluarkan devisa yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan (Talib 2006).

Di kawasan pengembangan peternakan yang berintegrasi dengan subsektor lainnya pengembangan ternak ruminansia baik ruminansia besar seperti sapi dan kerbau maupun ruminansia kecil seperti kambing dan domba dapat memanfaatkan limbah yang tersedia dari kegiatan di subsektor lainnya seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, maupun kehutanan dan perikanan sebagai pakan ternak. Seperti diketahui biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah biaya pakan dan tenaga kerja. Dengan jalan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan kegiatan usaha tani lainnya akan dihasilkan efisiensi biaya produksi yang tinggi. Selain itu ternak ruminansia dapat menghasilkan kotoran ternak dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan pengolahan secara sederhana kotoran tersebut dapat diubah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah. Selain digunakan untuk kebutuhan sendiri pupuk kandang dapat dijual dengan harga yang lumayan. Sehingga secara keseluruhan kombinasi kegiatan pemeliharan ternak ruminansia dan bercocok tanam akan sangat menguntungkan petani dengan jalan pengurangan biaya produksi dan peningkatan penghasilan.

Secara terperinci manfaat sistem tanaman dan ternak antara lain: (i) meningkatkan akses terhadap kotoran ternak; (ii) peningkatan nilai tambah dari tanaman atau hasil ikutannya; (iii) mempunyai potensi mempertahankan kesehatan dan fungsi ekosistem; dan (iv) mempunyai kemandirian yang tinggi dalam penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi saling mengalir antara tanaman dan ternak.Berbagai pilihan model pengembangan dapat diterapkan (Thalib et al. 2007), diantaranya,

1. Integrasi jagung-kedelai dengan ayam ras dan sapi potong di perkebunan jagung-kedelai. Perkebunan menghasilkan biji jagung dan kedelai untuk konsumsi ayam dan penggemukan sapi, jerami jagung dan jerami kedelai dapat digunakan untuk pakan sapi. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai biogas untuk pengeringan jagung dan kedelai agar berkualitas bagus ataupun untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos pada perkebunan.

(25)

9 dan jerami untuk konsumsi ternak, sekam untuk alas kandang. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai biogas untuk pengeringan padi agar berkualitas bagus ataupun untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos pada lahan tanam.

3. Integrasi sapi pada perkebunan sawit. Perkebunan dan industri perkebunan menghasilkan daun, pelepah dan tandan sawit serta limbah sawit yang merupakan pakan sapi. Kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk pada lahan perkebunan.

4. Integrasi sapi dengan perkebunan tebu. Perkebunan tebu dan industri gula akan menghasilkan pucuk tebu, ampas tebu dan tetes yang semuanya dapat dimakan sapi, sedangkan kotoran sapi dapat digunakan untuk biogas dan pupuk.

5. Peternakan sapi di padang rumput dengan sistem penggembalaan maupun cut and carry yang hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan terbuka yang memang sudah ditetapkan statusnya sebagai lahan peternakan. Tanpa adanya penetapan status lahan maka pasti akan hilang.

6. Peternakan sapi di kandang komunal atau pada kawasan peternakan yang sesuai dengan kondisi setempat.

Model-model integrasi butir 1-4 dapat dibangun oleh swasta secara mandiri maupun dalam sistem inti-plasma dengan penerapan fairness policy dalam berbagi keuntungan dan risiko secara proporsional. Sedangkan untuk wilayah dengan lahan sempit lebih tepat menggunakan model butir 6 (Thalib et al. 2007).

Sistem Informasi Geografis

Konsep sistem informasi geografis (SIG) telah diperkenalkan di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980-an, dan kini telah dimanfaatkan di berbagai bidang baik pemerintahan maupun swasta. Kemampuan dasar dari SIG adalah mengintegrasikan berbagai operasi basis data seperti query, menganalisisnya, dan menyimpan serta menampilkannya dalam bentuk pemetaan berdasarkan letak geografisnya. Inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lain. Komponen SIG terdiri atas hardware, software, data, dan user. Dengan adanya SIG diharapkan tersedia informasi yang cepat, benar dan akurat tantang keadaan di lingkungannya (Qoriani 2012).

SIG adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menerima, mengubah, dan menampilkan data spasial untuk seperangkat tujuan tertentu. SIG juga memungkinkan untuk penggunaan seperangkat operasi sederhana (seperti tumpah susun/ overlay, klasifikasi, interpolasi, agregasi informasi spasial) yang dapat menghasilkan informasi tambahan dalam memprediksi dampak. Misalnya, dampak okupasi tanah pertanian, gangguan ekologis pada daerah sensitif, gangguan air, serta perubahan aksesibilitas yang dapat langsung diprediksi dari informasi yang tersimpan dalam SIG dengan cara operasi overlay data tematik (Antunes et al. 2001).

(26)

10

diterapkan untuk mengevaluasi efek kumulatif melalui analisis deret waktu (time series).

Perkembangan penggunaan SIG muncul sebagai akibat dari beberapa faktor yang saling terkait. Pertama, terdapat banyak produk perangkat lunak SIG yang tersedia dari vendor komersial dan universitas. Kedua, teknologi komputer terkini mampu menangani banyak komputasi, pengambilan, dan masalah penyimpanan data dalam jangka waktu dan biaya yang wajar. Ketiga, tampilan grafis komputer dan plotter yang canggih, cepat, serta menghasilkan keluaran hasil yang beresolusi tinggi. Keempat, vendor data geografis serta instansi pemerintah seperti Lembaga Sensus Pemerintah telah menyediakan sejumlah besar data geografis dengan biaya yang wajar. Kelima, penggunaan penginderaan jauh telah diperluas, terutama dalam pemantauan lingkungan. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan sistem yang mampu menangani data dalam jumlah besar serta berfungsi sebagai sumber utama informasi penutupan lahan. Keenam, munculnya Global Positioning System (GPS) telah mempermudah pengumpulan informasi lokasi data atribut dengan biaya yang relatif rendah dan akurasi yang relatif tinggi. Faktor-faktor tersebut menyumbang kontribusi pada pertumbuhan industri SIG (Church 2002).

SIG mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis,berbagai macam informasi dapat diolah dan dianalisis yang kemudian dikaitkan dengan letaknya di permukaan bumi. Menurut Barus dan Wiradisastra (2009), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Berdasarkan operasinya SIG dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) SIG secara manual yang beroperasinya memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog; (2) SIG secara terkomputer atau sering disebut SIG otomatis, dimana prinsip kerjanya sudah sama dengan komputer, sehingga datanya merupakan data digital. Bila dibandingkan cara manual dengan sistem komputer, maka jika diperlukan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah. Demikian pula dalam hal memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut serta mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan, analisis dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan-perbaikan secara terus-menerus. Operasi yang interaktif menjadi praktis karena dapat dilakukan dengan cepat dengan biaya yang relatif murah.

(27)

11 Penginderaan Jauh

SIG dan penginderaan jauh adalah seperangkat alat yang kuat dan hemat biaya untuk menilai dinamika spasial-temporal dari perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Penginderaan jauh menyediakan data proses dan pola perubahan penggunaan lahan secara multi-temporal, sedangkan SIG berguna untuk analisis dan pemetaan pola perubahan yang ada. Selain itu, retrospektif dan konsistensi cakupan sinoptik dari satelit sangat berguna pada daerah-daerah dimana perubahan terjadi secara cepat Selanjutnya, karena arsip digital data penginderaan jauh memberikan kesempatan untuk mempelajari sejarah perubahan penggunaan lahan, pola perubahan tersebut dapat dievaluasi dalam kaitannya dengan faktor lingkungan dan manusia (Dewan dan Yamaguchi 2009).

Interpretasi visual dapat diartikan sebagai usaha mengenali suatu kenampakan obyek pada citra satelit melalui suatu proses dalam otak manusia kemudian menjadikannya sebagai informasi yang berguna (Lillesand dan Kiefer 1997). Interpretasi citra pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu 1) penyadapan data dari citra dan 2) penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Penyadapan data dari citra berupa pengenalan obyek yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke tabel, grafik dan peta tematik. Obyek yang telah dikenali jenisnya kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasi dan digambarkan pada peta.

Satelit Ikonos adalah satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh GeoEye. Kemampuannya yang terliput adalah mencitrakan dengan resolusi multispektral 3,2 meter dan inframerah dekat (0,82mm) pankromatik. Aplikasinya untuk pemetaan sumberdaya alam daerah pedalaman dan perkotaan, analisis bencana alam, kehutanan, pertanian, pertambangan, teknik konstruksi, pemetaan perpajakan, dan deteksi perubahan. Ikonos menyediakan pandangan udara dan foto satelit untuk banyak tempat di seluruh dunia.

Model Cellular Automata

Purnomo (2012) menyatakan bahwa model bermanfaat untuk meningkatkan kecepatan pembelajaran, sehingga dapat merumuskan skenario ke depan atau alternatif kebijakan yang lebih baik. Model juga bisa digunakan untukmenguji sebuah hipotesis, yang karena sifatnya sulit diuji dalam dunia nyata. Model dapat digunakan untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam kasus pemodelan partisipatif.

Selanjutnya menurut Purnomo (2012), otomata adalah bidang ilmu komputer yang mempelajari representasi matematika dari finite state machines (FSM). FSM adalah sebuah mesin yang jika diberi input, akan mendapatkan kondisi-kondisi (states) sesuai dengan fungsi transisi yang diberikan. Fungsi transisi ini memberikan arahan pada otomaton (obyek dari otomata) tentang state apa yang harus dipunyai berikutnya. Fungsi transisi ini mengubah dari state sekarang menuju state berikutnya.

(28)

12

terdapat seperangkat fungsi transisi. Model yang berbasis pada CA umumnya berorientasi pada prediksi atau simulasi, dimana model statistika multivariat difokuskan pada hubungan antara transisi penggunaan lahan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Luo dan Wei 2009).

Salah satu kunci metode CA adalah bahwa pola spasial global yang kompleks bisa disederhanakan dengan menggunakan seperangkat aturan lokal yang sederhana. CA banyak digunakan untuk mensimulasikan dan memprediksi fenomena perubahan yang kompleks dari bentuk-bentuk spasial temporal, misalnya dinamika perubahan landskap dan penggunaan lahan (Huan et al. 2010). Vliet et al. (2009) menyatakan bahwa model CA digunakan dalam beberapa model perubahan penggunaan lahan, dimana digunakan terutama untuk mensimulasikan dinamika perkotaan. Sekarang ini, model penggunaan lahan dengan menggunakan CA telah diterapkan sebagai alat untuk mendukung perencanaan penggunaan lahan dan analisis kebijakan serta mengeksplorasi skenario untuk pembangunan di masa depan. CA pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur berikut : 1) sel ruang, 2) seperangkat sel state yang terbatas, 3) definisi dari sel tetangga, 4) seperangkat aturan transisi untuk menghitung perubahan sel state, dan 5) waktu di mana semua sel state secara simultan diperbarui. Sistem CA biasanya terdiri dari empat elemen yaitu, piksel (cell), kondisi (states), ketetanggaan (neighborhood) dan aturan (rules). Sistem CA yang lebih modern, telah mengembangkan simulasi dengan konsep kesesuaian pengembangan (development suitability) dan probabilitas pengembangan (development probability). Kriteria perubahan pada cell dengan derajat kesesuaian tinggi akan dipilih paling pertama untuk berubah (Jacob et al. 2008).

Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)

Di dalam pengambilan suatu keputusan, banyak sekali kriteria yang harus diperhitungkan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Banyak diantara kriteria-kriteria tersebut dapat bersifat conflicting (saling bertentangan) pada suatu alternatif sehingga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan kriteria ganda (multi-criteria decision making) yang dihasilkan adalah solusi kompromi (compromised solution) terhadap semua kriteria yang diperhitungkan.

(29)

13

Gambar2 Model struktur PHA 2 level dengan n kriteria dan m alternatif menurut Saaty (1980)

Untuk memperoleh bobot dari tiap-tiap kriteria, PHA menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9 dimana:1 = sama penting (equal importance); 3 = sedikit lebih penting (moderate more importance); 5=cukup lebih penting (essential, strong more importance);7= jauhlebihpenting(demonstrated importance);9=mutlaklebih penting (absolutely more importance); 2, 4, 6, 8 = nilai-nilai antara yang memberikankompromi(greyarea).

Di dalam analisa multi kriteria ganda diperhitungkan juga kriteria kualitatif yang memungkinkan terjadinya ketidakkonsistenan (inconsistency) dalam penilaian perbandingan kriteria-kriteria atau alternatif-alternatif. Salah satu cara pengukuran konsistensi diusulkan oleh Saaty melalui indeks konsistensi (Consistency Index/CI) yang didefinisikan sebagai:

dengan n menyatakan jumlah kriteria/alternatif yang dibandingkan dan λmax adalah nilai eigen (eigen value) yang terbesar dari matriks perbandingan berpasangan orde n. Jika CI bernilai 0 maka berarti keputusan penilaian tersebut bersifat perfectly consistent dimana λ max sama dengan jumlah kriteria yang diperbandingkan yaitu n. Semakin tinggi nilai CI semakin tinggi pula tingkat ketidakkonsistenan dari keputusan perbandingan yang telah dilakukan.

Rasio konsistensi (CR/Consistency Ratio) dirumuskan sebagai perbandinganantara Consistency Index (CI) dan Random Index (RI) denganrumussebagaiberikut:

(30)

14

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

RI 0 0 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59

Nilai CR yang lebih besar dari 0,1 perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap penilaian responden (Saaty, 1980).

Proses hirarki analitik merupakan salah satu metode analisis yang banyak digunakan dalam pengambilan keputusan. Baja (2002) dalam makalahnya yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Analytic Hierarchy Process dalam Studi Alokasi dan Optimasi Penggunaan Lahan Pertanian memberikan dua macam pendekatan analisis dengan PHA.

Menurut Saaty (1980) langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis menggunakan metode PHA adalah:

1. mengidentifikasi/menetapkan masalah-masalah yang muncul; 2. menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai;

3. mengidentikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan;

4. menetapkan struktur hierarchy;

5. menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku/objek yang berkaitan dengan masalah, nilai masing-masing faktor;

6. membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement);

7. menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority); dan

8. menentukan urutan alternatif-alternatif dengan memperhatikan logical consistency.

Metode analisis yang dipaparkan menunjukkan bahwa PHA dapat digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan secara komprehensif, yang mempertimbangkan aspek biofisik (seperti kelas kesesuaian lahan, tingkat erosi, dan lain-lain), ekonomi (biaya produksi, peluang pasar, sarana prasarana, dan lain- lain), dan sosial (preferensi masyarakat untuk komoditi tertentu, kemauan berpartisipasi, dan sebagainya). PHA dapat menganalisis secara simultan parameter-parameter yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian keluaran hasil pemodelan, survei, pendugaan, atau analisis dengan GIS dapat sekaligus dipadukan dengan parameter lain dalam suatu sistem/lingkup analisis yang sama.

Pemodelan Multi-Criteria Evaluation (MCE)

Metode yang umum untuk mencapai evaluasi adalah evaluasi multi-kriteria (Multi-Criteria Evaluation/MCE) dimana kesesuaian lahan maupun alokasi penggunaan lahan untuk tujuan tertentu diuji berdasarkan pada pemikiran ataupun kriteria yang ditetapkan. Prosedur evaluasi multi-kriteria berbentuk hibrid karena mengkombinasikan keahlian baik para ahli dan juga pengguna akhir. Prosedur ini dapat digunakan sebagai alat yang sistematis untuk partisipasi pengguna selama pembuatan desain dan pengujian. Pengguna tidak hanya sebagai subyek tetapi juga sebagai evaluator, desainer, serta pembuat dan penentu keputusan.

(31)

15 Kriteria beraneka dirangking dalam satu order berdasarkan kepentingannya terhadap subyek. Prosedur evaluasi, termasuk kepentingan kuantitatif tiap kriteria dapat ditentukan untuk satu produk. Ilustrasi konkrit dan prototipe yang dapat diuji pengguna digunakan untuk menggambarkan bagaimana produk yang dipertanyakan terlihat dan dirasakan (Husdal, 2002 dalam Desiana, 2006).

Metode MCE melibatkan pembobotan, skoring atau ranking kriteria baik kualitatif maupun kuantitatif dalam hal kepentingannya baik untuk tujuan tunggal maupun beragam. Pembobotan informal dan metode skoring merupakan teknik pemodelan yang paling umum digunakan oleh pembuat keputusan. Heywood et al. (2002) dalam Desiana (2006) selanjutnya mendefinisikan:

1. satu keputusan adalah satu pilihan dari dua alternatif; kriteria sebagai bukti dari mana keputusan berdasar;

2. satu aturan keputusan sebagaimana beberapa metode pembobotan atau kriteria skor untuk menilai kepentingannya, dalam banyak kasus penting untuk menstandarisasi kriteria karena penggunaan campuran data kuantitatif dan kualitatif; dan

3. satu opsi keputusan sebagai keluaran dari penerapan aturan keputusan. Adapun Husdal (2002) dalam Desiana (2006) menyatakan bahwa aturan keputusan memerlukan tiga elemen, yaitu:

1. standarisasi, untuk penggambaran kriteria dalam hal kemungkinan perbandingan;

2. agregasi, untuk mengkombinasi berbagai kriteria yang menghasilkan satu ukuran komposisi dari tiap alternatif kesesuaian; dan

3. ambang (treshold), suatu ambang nilai untuk memutuskan alternatif ke dalam dua hal – ya atau tidak.

Evaluasi multi kriteria dalam SIG ditetapkan dalam dua cara: kriteria dikonversi ke bentuk Boolean untuk mempertimbangkan keputusan dan kriteria diskalakan kembali untuk satu standar skala numerik dan mengkombinasikannya dengan menggunakan Weighted Linear Combination (WLC). Salah satu perangkat lunak SIG yang menjadi pionir dalam penggunaan SIG berbasis pada banyak tujuan bagi pembuat keputusan, ketepatan manajemen dan penilaian resiko adalah Idrisi. Idrisi mendukung data input dari tiga sumber yaitu digitizer, scanner dan GPS; impor data ke format Idrisi; dan impor dan konversi data dalam format file non-Idrisi yang umum tersedia (file Arc/Info atau citra satelit).

(32)

16

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2015, meliputi tahap persiapan, pengumpulan data, identifikasi, pengecekan lapangan, analisis dan penulisan.

Penelitian dilakukan di Kota Tangerang Selatan (Gambar 3) yang terdiri dari 7 kecamatan dan terletak pada titik koordinat 106'38' - 106'47’ Bujur Timur dan 06'13'30' - 06'22'30' Lintang Selatan dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang b. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang

Gambar 3 Peta lokasi penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Ikonos tahun 2004, dan tahun 2014, satuan peta tanah semi detil daerah Tangerang dan sekitarnya skala 1 : 50.000, RTRW Kota Tangerang Selatan, dan Peta Pola Ruang wilayah Kota Tangerang Selatan skala 1:25.000, sedangkan alat yang digunakan adalah GPS dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGIS/QuantumGIS, Idrisi, Google Earth, SASPlanetdan Microsoft Office.

Teknik Pengumpulan Data

(33)

17 hasil AHP didapat melalui wawancara dengan expert industri peternakan di Kota Tangerang Selatan.

Data sekunder didapatkan dari beberapa instansi yang terkait. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan. Data BPS Kota Tangerang Selatan, serta beberapa data lain terkait penelitian.

Prosedur Analisis Data

Identifikasi dan analisis data yang dilakukan adalah (1) Analisis Pola Sebaran Industri Peternakan, (2) Pemodelan wilayah ideal industri peternakan, (3) Prediksi sebaran industri peternakan, dan (4) Arahan pengembangan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan. Detail mengenai deskripsi pencapaian tujuan penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Matriks pencapaian tujuan

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik

(34)

18

Gambar 4 Diagram Alir Penelitian

Citra Resolusi Tinggi Tahun 2004 dan 2014 Koordinat GPS

Peta Pola Sebaran Industri Peternakan 2004 - 2014

AHP

Pembobotan

Pemodelan MCE

Wilayah ideal pengembangan industri peternakan

RTRW

ARAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN Peta Penggunaan Lahan

2004dan 2014 Prediksi Sebaran Industri peternakan

Tahun 2024

CA Markov

Simulasi model

Validasi model

Peta industri peternakan 2004 Peta industri peternakan 2009

Prediksi Sebaran Industri peternakan tahun 2014

Peta industri peternakan 2014

Nilai Kappa tertinggi pada iterasi ke-n

(35)

19 Analisis Pola Sebaran Industri Peternakan

Tahapan yang dilakukan pada interpretasi citra tahun 2004 dan 2014 untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan industri di Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut :

1. Pemotongan batas area penelitian

Citra resolusi tinggi tahun 2004 (t0) dan tahun 2014 (t1) dipotong untuk

mendapatkan batas area yang akan dianalisis yaitu, batas kawasan Kota Tangerang Selatan. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan Peta Administarsi Kota Tangerang Selatan

2. Titik GPS

Hasil Koordinat yang menunjukan lokasi industri peternakan di Kota Tangerang Selatan dideliniasi pada citra Ikonos seusuai batas lokasi industri untuk menghasilkan data sebaran industri peternakan pada tahun 2004 dan 2014

3. Overlay

Overlay peta lokasi industri peternakan dengan penggunaan lahan pada tahun tahun 2004 (t0) dan tahun 2014 (t1) untuk membandingkan lokasi

industri peternakan dengan penggunaan lahan di wilayah tersebut. Penentuan Wilayah Ideal Pengembangan Industri Peternakan

Proses Hirarki Analitik (AHP)

Untuk mengetahui pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan dilakukan analisis dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik/Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dengan kriteria responden adalah pihak-pihak yang terlibat langsung atau minimal pernah terlibat dalam perumusan kebijakan serta dianggap memahami tentang industri peternakan.Jenis dan jumlah responden penelitian dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan Jumlah Responden Penelitian

No Responden Jumlah Keterangan

1 Unsur Masyarakat 1 orang Kepala lingkungan yang berdekatan dengan wilayah industri

2 Unsur Pemerintah 2 orang 1 orang Bappeda, 1 orang Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan,

1 orang pelaku usaha industri peternakan 1 orang pakar industri peternakan

Data yang dianalisis diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner terhadap para responden terpilih. Penyebaran kuesioner dilakukan pada saat penelitian. Skor yang diberikan oleh setiap responden bersifat subyektif, artinya sesuai dengan persepsi masing-masing responden terhadap kebijakan pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan.

(36)

20

Penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor apa yang dianggap mempengaruhi pengembangan industri peternakan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dilakukan penggalian persepsi terhadap stakeholders yang terkait dengan upaya pengembangan industri peternakan. Dalam penelitian ini ditentukan 5 orang responden yang expert atau dianggap menguasai hal-hal yang terkait dengan pengembangan industri peternakan. Responden tersebut mewakili berbagai instansi atau lembaga meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda Kota Tangerang Selatan), Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan,pakar industri peternakan, pelaku usaha industri peternakan dan tokoh masyarakat di sekitar wilayah industri

penyusunan hasil wawancara dalam bentuk matrik dengan menggunakan software Microsoft Excel 2010 melalui proses trial dan error terhadap nilai bobot sehingga didapat nilai rasio konsistensi (RC) < 0.10. Nilai skor yang diperoleh dari hasil kuesioner tersebut dianalisis dengan bantuan program aplikasi microsoft excel sehingga menghasilkan bobot yang akan digunakan untuk analisis MCE.

Analisis Multi Criteria Evaluation (MCE)

Pembobotan faktor-faktor yang berpengaruh dalam industri peternakan selanjutnya dipadukan dengan analisis sosial ekonomi dengan metode Multi-Criteria Evaluation (MCE). MCE merupakan bagian dari alat pendukung keputusan (decision support) untuk evaluasi multi- kriteria. Dalam evaluasi multi-kriteria ini diusahakan untuk membuat kombinasisatu set kriteria sehingga dicapai dasar komposisi tunggal suatu keputusan berdasarkan tujuan tertentu.

Pada evaluasi multi-kriteria ini digunakan prosedur Weighted Linear Combination (WLC) yang menganalisis kriteria. Adapun tahapan dalam analisis MCE ini sebagai berikut:

1. penentuan aspek dan kriteria berdasarkan studi literatur dan wawancara stakeholders yang terlibat dalam industri peternakan.

Pengembangan Industri Peternakan di Kota Tangerang Selatan

Aksesibilitas Perizinan Penduduk Modal

Ketersediaan

(37)

21 Aspek yang dijadikan analisis adalah faktor pendorong pengembangan industri peternakan di Kota Tangerang Selatan;

2. penyusunan kuisioner yang berkaitan dengan aspek dan kriteria yang telah ditetapkanuntuk selanjutnya dilakukan wawancara responden terpilih sebanyak 5 orang untuk mendapatkan pembobotan setiap aspek dan kriteria (proses AHP);

3. Pemberian skoring yang terstandardisasi terhadap masing-masing kelas pada setiap faktor utama dalam pengembangan industri peternakan. Dalam hal ini penulis membagi menjadi 4 (empat) kelas;

4. Menyusun peta wilayah ideal pengembangan industri peternakan yang pembobotannya didapat dari hasil AHP, dengan menggunakan weighted overlay pada perangkat lunak ArcGIS.

Prediksi Sebaran Industri Peternakan

Penyusunan model ini bertujuan untuk memperoleh peta prediksi penggunaan lahan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ke depan yaitu pada tahun 2024. Data yang diperlukan adalah peta penggunaan lahan tahun 2004 (t0), tahun 2014 (t1), tahun 2009 sebagai peta antara untuk validasi

model, peta kesesuaian lahan untuk industri sebagai Transitional Probababilty/ Area Matrix dan moving filter. Skenario perubahan penggunaan lahan pada setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya dan penggunaan lahan tetangganya (Jacob et al. 2008). Pengaruh ketetanggaan artinya perubahan penggunaan lahan pada suatu piksel akan dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada piksel tetangganya.

Model ini dijalankan dengan perangkat lunak Idrisi dengan modul Cellular Automata Markov (CA Markov) yang merupakan kombinasi dari modul Markov Chain dan Multi-Objective Land Allocation (MOLA). Markov Chain menghasilkan Transitional Probababilty/ Area Matrix, yaitu matriks perubahan penggunaan lahan yang diperoleh dengan cara menumpang-tindihkan peta penggunaan lahan pada dua titik tahun (Munibah 2008). Peta kesesuaian lahan industri peternakanberfungsi sebagai referensi dalam pengalokasian suatu penggunaan lahan. Filter yang digunakan adalah filter berukuran 5×5 yang merupakan filter default pada software Idrisi, yang artinya perubahan penggunaan lahan pada piksel pusat dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada 24 piksel sekitarnya.

Simulasi berjalan sesuai dengan pergerakan filter pada seluruh area yang disimulasi, dan disebut sebagai satu iterasi. Demikian seterusnya sampai dengan iterasi ke-n. Kondisi sebaran industri peternakan hasil simulasi dari iterasi sebelumnya digunakan untuk iterasi tahap berikutnya. Setelah simulasi berakhir dengan jumlah iterasi yang diinginkan, maka didapatkan penyebaran industri peternakan hasil simulasi. Validasi model dilakukan dengan membandingkan prediksi sebaran hasil simulasi tahun 2014 dengan sebaran industri peternakan hasil pengamatan tahun t1 (2014)

berdasarkan nilai kappa pada iterasi ke-n.

(38)

22

Peta prediksi sebaran industri peternakan berguna untuk memprediksi sejauh mana lokasi industri akan menyebar pada tahun 2024. Hal ini berguna untuk pengendalian penyebaran industri serta arahan pengembangan industri pada masa depan.

Penyusunan Arahan Pengembangan Industri Peternakan

Tahap pertama dalam penyusunan arahan pengembangan industri peternakan ialah penentuan wilayah prioritas untuk pengembangan industri peternakan. Penentuan wilayah prioritas pengembangan industri peternakan dilakukan dengan membandingkan hasil prediksi CA markov dengan wilayah potensial berdasarkan MCE guna merumuskan wilayah yang dapat dijadikan prioritas atau sentra pengembangan industri peternakan.

Penyusunan skenario pengendalian pola sebaran industri peternakan di Kota Tangerang Selatan dilakukan dengan menggunakan penggunaan lahan berdasarkan kebijakan yang akan diambil (RTRW). Hasil pengumpulan data primer dari wawancara para stakeholder juga menjadi dasar dalam analisis penyebab penyebaran industri peternakan di Kota Tangerang Selatan.

Perbandingan penggunaan lahan dan pola ruang dilakukan untuk mengetahui konsistensi penggunaan lahan. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan langkah pengawasan dan pemanfaatan tata ruang dengan lebih efisien.

4

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Gambaran umum wilayah penelitian dimaksudkan untuk memberikan deskripsi tentang daerah penelitian, baik kondisi fisik maupun sosial ekonomi. Pengetahuan tentang deskripsi daerah penelitian sangat penting untuk mempermudah dalam mengkaji berbagai aspek yang ada di daerah tersebut. Pemahaman terhadap kondisi fisik dan sosial ekonomi daerah penelitian memberikan sumbangan mendasar yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. Pada bagian ini diuraikan gambaran umum wilayah Kota Tagerang Selatan yang merupakan daerah kajian penelitian ini.

Kondisi Fisik Wilayah

Geografi dan Administrasi

(39)

23 Tabel 4. Potensi fisik dasar Kota Tangerang Selatan

No. Potensi Fisik Dasar Keterangan

1 Letak Geografis Di sebelah timur Provinsi Banten 2 Luas Wilayah 147,19 km² atau 14.719 ha 3 Titik Koordinat 106ᵒ38’ - 106ᵒ47’ BT dan

06ᵒ13’30” - 06ᵒ22’30” LS 4 Batas-batas :

- Sebelah Utara Kota Tangerang dan Provinsi DKI Jakarta

- Sebelah Timur Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok

- Sebelah Selatan Kota Depok dan Kabupaten Bogor

- Sebelah Barat Kabupaten Tangerang 5 Wilayah Pemerintahan :

- Kecamatan 7 Kecamatan

- Kelurahan 54 Kelurahan

Dengan letak daerah yang sangat strategis, Kota Tangerang Selatan diharapkan mampu menjadi kota yang cepat berkembang dan mampu bersaing dengan kota atau kabupaten lainnya di Indonesia.

Tabel 5. Luas wilayah berdasarkan kecamatan Kota Tangerang Selatan

No. Kecamatan Luas Wilayah

Sumber : BPS Kota Tangerang Selatan 2014

Iklim

(40)

24

Geologi dan Jenis Tanah

Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif datar. Beberapa kecamatan memiliki lahan yang bergelombang seperti di perbatasan antara Kecamatan Setu dan Kecamatan Pamulang serta sebagian di Kecamatan Ciputat Timur. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan alluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Jenis batuan ini mempunyai tingkat kemudahan dikerjakan atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan masih cukup layak untuk kegiatan perkotaan.

Dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya lahan di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan yang secara umum cocok untuk pertanian/perkebunan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya lahan tersebut tidak dimanfaatkan sesuai dengan potensinya. Lahan dengan potensi pertanian/perkebunan digunakan untuk kegiatan non pertanian. Untuk sebagian wilayah seperti Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu, jenis tanah ada yang mengandung pasir khususnya untuk wilayah yang dekat dengan Sungai Cisadane.

Penggunaan Lahan

Ragam penggunaan lahan (land use) di Kota Tangerang Selatan berdasarkan pola ruang RTRW Kota Tangerang SelatanTahun 2011-2031 dibagi atas, 1.Bandar Udara Khusus; 2.Danau/Situ; 3.Industri, 4.Kawasan Pertahanan dan Keamanan; 5.Kawasan PUSPIPTEK; 6.Kebun/Ladang; 7.Pariwisata; 8.Pendidikan; 9.Perdagangan dan Jasa; 10.Permukiman Kepadatan Rendah; 11.Permukiman Kepadatan Sedang; 9.Sawah; 10.Semak Belukar; 11.Tambak; dan 12.Tanah Kosong. Gambar peta dan persentase luas berbagai alokasi penggunaan lahan (land use) disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 6.

Tabel 6 Penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase Luas Wilayah (%)

Bandar Udara Khusus 122 0,7

Danau/Situ 121 0,7

Industri 342 2,0

Jalan Tol 119 0,7

Kawasan Pertahanan dan Keamanan 72 0,4

Kawasan PUSPIPTEK 312 1,9

(41)

25

Gambar 5 Peta penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan tahun 2014

Kondisi Sosial Wilayah

Demografi

(42)

26

Tabel 7 Penduduk Kota Tangerang Selatan menurut jenis kelamin tahun 2013

No Kecamatan Laki-laki

(jiwa)

Jumlah 727.802 715.601 1.443.403

Sumber : BPS Kota Tangerang Selatan (2014)

Kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan meningkat dari 9.547 jiwa per km2pada tahun 2012 menjadi 9.806 jiwa per km2pada tahun 2013 dengan penyebaran yang tidak merata. Hal ini terlihat dari masih terpusatnya penduduk di Kecamatan Ciputat Timur dengan kepadatan hingga 12.539 jiwa per km2yang jauh lebih besar dengan kecamatan lain terutama Kecamatan Setu, Serpong dan Serpong Utara. Laju pertumbuhan penduduk di Kota Tangerang Selatan relatif menurun dari periode Tahun 2012 sebesar 3,63% per tahun menjadi 2,72% per tahun. Mobilitas penduduk di Kota Tangerang Selatandidominasi oleh pendatang. Tingkat Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Di Kota Tangerang Selatan jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA/sederajat merupakan yang paling tinggi. Komposisi banyaknya pencari kerja tahun 2013 di Kota Tangerang Selatan berdasarkan tingkat pendidikan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Penduduk Kota Tangerang Selatan berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013

No Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (Jiwa)

1 Tidak tamat SD/sederajat -

2 SD/Sederajat 6

3 SLTP/Sederajat 65

4 SLTA/Sederajat 2.161

5 DiplomaI/II 52

6 Akademi/Diploma III 589

7 Diploma IV/Strata I 2.093

8 Strata II 72

Jumlah 4.837

Sumber : BPS Kota Tangerang Selatan (2014)

(43)

27 berkorelasi dengan Sumberdaya Manusia (SDM) yang dihasilkannya. Proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dapat terjadi melalui pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan akan meningkatkan produktivitas yang berimbas pada penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, menurunnya kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Adapun jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama tahun 2013

No Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk (Jiwa)

1 Pertanian, perkebunan, kehutanan,

perburuan dan perikanan 2.467

2 Industri 47.083

3 Perdagangan, rumah makan dan jasa

akomodasi 184.287

4 Jasa kemasyarakatan, sosial dan

perorangan 185.410

5 Lainnya 201.380

Jumlah 620.527

Sumber : BPS Kota Tangerang Selatan (2014)

Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor primer merupakan jumlah yang paling sedikit dari sektor lainnya. Hal ini dikarenakan perkembangan sektor sekunder dan tersier mulai berkembang pesat setelah daerah ini mekar dari kabupaten induknya. Setelah menjadi daerah otonom Kota Tangerang Selatan bergerak cepat dalam roda perekonomiannya. Pembangunan Bumi Serpong Damai/BSD (di Kecamatan Serpong), Bintaro Jaya (di Kecamatan Pondok Aren), dan Alam Sutera (di Kecamatan Serpong Utara), serta Pamulang-Ciputat merupakan beberapa kota baru sebagai alternatif pusat-pusat pertumbuhan yang berkembang sebagai alternatif pusat-pusat pertumbuhan sebelah barat Jakarta. (Apriyanto 2015)

Kondisi Perekonomian Wilayah

Pendapatan Regional

Gambar

Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Tabel 2 Matriks pencapaian tujuan
Gambar 4  Diagram Alir Penelitian
Gambar 5   Hierarki faktor-faktor yang berpengaruh terhadap industri peternakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran. Penetapan ini diambil bergantung pada

Seperti yang sudah diuraikan pada keterangan sebelumnya bahwa mata pelajaran Aqidah Akhlak merupakan sub mata pelajaran pendidikan agama islam yang tujuannya untuk

Gambar senyawa golongan flavonoid yang berhasil diisolasi dari daun genus Calophyllum yang berasal dari Malaysia, Sri Lanka dan Papua New Guinea ditunjukkan pada

Puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Hubungan antara Tingkat Kehadiran Ibu di Kelas Ibu Hamil dengan

Dalam Proses pengukuran capaian kinerja Sasaran Strategis Tahun 2014 ini, dijumpai berbagai permasalahan dan hambatan, seperti masih adanya target kinerja dan realisasi

Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa menanyakan dan mempertanyakan antara lain tentang perbedaan dalam hal fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan, antara (a)

T api saya lebih cenderung melakukan cara dakwahnya nabi Muhammad dengan ceramah yang membangun.. orang-orang sukses, agar siswa terpancing. Manusia kan

Hal ini berarti nilai thitung˂ttabel yaitu -1,7 ˂ 2,011 maka Ho diterima yang artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan kognitif siswa antara