• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi formula dan proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi formula dan proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

Oleh :

SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

2008

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

Sigit Nurdyansyah Putra. F24104026. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc dan Ir. Subarna, M.Si.

RINGKASAN

Mi berbahan tepung jagung merupakan produk pangan baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Optimalisasi formula dan proses dilakukan untuk menentukan tahapan proses dan kondisinya dalam proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering pada skala 1kg/batch.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, meliputi penentuan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan dan penentuan parameter proses. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan yaitu 30, 40, 50 dan 60%. Parameter proses meliputi jumlah bagian adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu 100:0, 90:10, 80:20, 70:30; penentuan waktu pengukusan adonan pada suhu 90oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit; penggilingan adonan dengan hasil penelitian, dilakukan penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) pembuatan mi jagung. dari tepung jagung pregelatinisasi (70%), tepung jagung kering (30%), air (50%), garam (1%), dan guar gum (1%) (persentase dari berat total tepung jagung).

Adonan yang dikukus dicampurkan dengan bagian tepung jagung kering secara manual menggunakan tangan. Penggilingan dilakukan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm sebanyak 2x menghasilkan adonan yang paling mudah ditangani saat sheeting dengan kualitas mi paling bagus.

Adonan yang telah digiling dilewatkan di antara dua roller yang mengubah adonan menjadi lembaran. Sheeting dilakukan sebanyak 8x dengan jarak roller 0,3 cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm. Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting menggunakan tepung jagung (12 gram untuk 1 kg bahan baku) agar adonan tidak lengket pada

(3)

pada suhu 95oC selama 20 menit menghasilkan mi dengan elongasi tertinggi secara manul dan tingkat kematangan yang cukup matang.

Berdasarkan pengukuran didapatkan nilai persen elongasi setelah pencelupan berturut-turut untuk penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm sebesar 232,44% dan 268,34%; dan nilai persen elongasi setelah perendaman berturut-turut sebesar 207,62% dan 219,96%. Cooking loss mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (8,21%) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (12,91%). Kekerasan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (2418,65 gf) menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf). Sedangkan nilai kelengketan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (-627,42 gf) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (-1234 gf). Nilai kekenyalan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (0,2591 gs) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (0,5215 gs).

Mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm dikeringkan dan harus mampu menurunkan kadar air mi sehingga memenuhi SNI 01-2974-1996 dengan kandungan air harus di bawah 13%. Waktu pengovenan yang optimum untuk suhu 60oC, 70oC, dan 80oC masing-masing adalah 40, 30, dan 25 menit.

Nilai persen elongasi mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut sebesar 193,14%, 166,99%, dan 162,63%. Cooking loss mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 10,89%, 11,42%, dan 9,99%. Kekerasan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 3135,18 gf, 2408,4 gf, dan 2408,83 gf. Sedangkan kelengketan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah -1057,2 gf, -977,46 gf, dan -775,18 gf. Kekenyalan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 0,3405 gs, 0,4151 gs, 0,3245 gs. Waktu rehidrasi mi kering untuk ketiga suhu pengovenan sama yaitu 4 menit.

Uji organoleptik terhadap mi kering yang dioven suhu 60oC, 70oC, dan 80oC menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan perabaan tangan ketiga sampel tidak berbeda nyata. Untuk atribut kekerasan dan kekenyalan tekstur gigit menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antar sampel. Untuk kekerasan tekstur gigit, rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 60oC sedangkan kekenyalan tekstur gigit dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 80oC. Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer

nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf (kekerasan paling tinggi), dan nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah 0,3245 gs (kekenyalan paling rendah). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal dan lebih keras.Secara overall

(4)

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

2008

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

Dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 Di Ngawi

Tanggal lulus: 21 Agustus 2008

Menyetujui, Bogor, 12 September 2008

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Subarna, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Sigit Nurdyansyah Putra yang dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 di Ngawi dan merupakan putra kedua dari pasangan Djono dan Siti Amini. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Kasreman III (1992-1998), pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Ngawi (1998-2001), dan pendidikan lanjutan di SMUN 2 Ngawi (2001-2004).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung Metode Kalendering”. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.

2. Ir. Subarna, MSi. selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan, perhatian, masukan dan bimbingannya kepada penulis.

3. Ir. Tjahja Muhandri, Msi. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

6. Bapak, Ibu, Mas Hendry, Mba Titis, dan anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

7. Shoft_Shine atas semangat, dukungan, nasehat yang akan penulis ingat selalu.

8. Kak Aminullah dan Kak Angga selaku partner penelitian atas bantuan ilmu, tenaga, dan waktu.

9. Rekan-rekan sebimbingan: Shofia, Gina, dan Rizqi atas dukungan, bantuan, dan perhatiannya kepada penulis.

(8)

11.Teman-teman ETOS 41: Slamet, Aang, Agus, Malik, Eko, Aris, Defa, Novita, Umul, Giyarti, Risma, Ana atas persahabatan, dukungan, dan kemurahan hati kalian selama ini.

12.Keluarga Besar ETOS Bogor: Ust. Arif Hartoyo, Ust. Karantiano, Ust. Asep Nurhalim, Mas Budi, Mas Supri, Mas Nurmaulana, Mas Andri, Mas Febri, Mba Nisa, Deden, Bams, TJ, Yuda, Deni, Saiful, Rinto, Salman, Deni, Wahyu, Dedi, AW, Eful, Iful, Dodik, dll . Kalian membuat hari– hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.

13.Teman-teman di Al-Inayah: Mas Krist, Mas Bambang, Mas Habro, Mas Yose, Mas Rio, Taqi, Rangga, Ahmad, Syaiful, Toni, Wely, Gina, Dika, Eko, Yaya, Roby, Fuad, Anas, Hanif, Yudi, Syahroni, Triyadi, Fakih, Rudi, Triono, Kamal, Omen, Hans atas kebersamaan, dukungan, dan nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis.

14.Sahabat-sahabat ITP 41 atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna.

15.Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya.

16.Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 12 September 2008

(9)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan yang kurang stabil. Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, sehingga ketika kebutuhan beras dalam negeri tidak tercukupi, bangsa Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut dikenal dengan usaha diversifikasi pangan.

Bagi masyarakat di Indonesia, produk mi baik berupa mi basah, mi kering, maupun mi instan, kini sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras. Namun berbeda dengan beras, 100% bahan dasar pembuatan mi, yaitu berupa biji gandum harus diimpor dari luar negeri karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki usaha pertanian gandum secara komersial. Biji gandum impor tersebut kemudian diolah di penggilingan gandum di dalam negeri untuk menghasilkan tepung terigu. Tepung terigu inilah yang kemudian dijadikan bahan baku dalam pembuatan mi.

Upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap biji gandum impor kini sudah mulai dirintis, diantaranya dengan percobaan penanaman gandum di sejumlah daerah termasuk upaya mencari varietas-varietas tanaman gandum yang sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia. Namun, upaya tersebut sejauh ini belum membuahkan hasil yang cukup memadai dalam rangka menanggulangi ketergantungan terhadap biji gandum impor. Oleh karena itu, pencarian berbagai bahan pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan.

(10)

Sementara itu, produksi jagung secara nasional untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007).

Pemilihan jagung sebagai bahan baku dalam penelitian ini sejalan dengan program pemerintah dalam mendukung upaya diversifikasi pangan dan pemantapan ketahanan pangan nasional 2005-2010. Arah pengembangan dan sasaran komoditas pangan untuk jagung adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan arah pengembangan di atas, perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas produksi jagung dan peningkatan nilai tambah jagung yang tidak hanya terbatas pada penggunaannya sebagai makanan pokok saja. Salah satu rencana peningkatan nilai tambah jagung adalah dengan pengembangan industri berbasis jagung untuk konsumsi dalam negeri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk pangan non beras, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Hal ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan industri berbasis jagung dengan meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mi. Selanjutnya Juniawati (2003) menyatakan bahwa semua responden menyukai produk-produk yang berasal dari jagung.

Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Selain itu, warna kuning mi jagung merupakan warna alami dari pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein, dan zeaxanthin.

(11)

SKRIPSI

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

Oleh :

SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

2008

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(12)

Sigit Nurdyansyah Putra. F24104026. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc dan Ir. Subarna, M.Si.

RINGKASAN

Mi berbahan tepung jagung merupakan produk pangan baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Optimalisasi formula dan proses dilakukan untuk menentukan tahapan proses dan kondisinya dalam proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering pada skala 1kg/batch.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, meliputi penentuan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan dan penentuan parameter proses. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan yaitu 30, 40, 50 dan 60%. Parameter proses meliputi jumlah bagian adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu 100:0, 90:10, 80:20, 70:30; penentuan waktu pengukusan adonan pada suhu 90oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit; penggilingan adonan dengan hasil penelitian, dilakukan penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) pembuatan mi jagung. dari tepung jagung pregelatinisasi (70%), tepung jagung kering (30%), air (50%), garam (1%), dan guar gum (1%) (persentase dari berat total tepung jagung).

Adonan yang dikukus dicampurkan dengan bagian tepung jagung kering secara manual menggunakan tangan. Penggilingan dilakukan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm sebanyak 2x menghasilkan adonan yang paling mudah ditangani saat sheeting dengan kualitas mi paling bagus.

Adonan yang telah digiling dilewatkan di antara dua roller yang mengubah adonan menjadi lembaran. Sheeting dilakukan sebanyak 8x dengan jarak roller 0,3 cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm. Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting menggunakan tepung jagung (12 gram untuk 1 kg bahan baku) agar adonan tidak lengket pada

(13)

pada suhu 95oC selama 20 menit menghasilkan mi dengan elongasi tertinggi secara manul dan tingkat kematangan yang cukup matang.

Berdasarkan pengukuran didapatkan nilai persen elongasi setelah pencelupan berturut-turut untuk penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm sebesar 232,44% dan 268,34%; dan nilai persen elongasi setelah perendaman berturut-turut sebesar 207,62% dan 219,96%. Cooking loss mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (8,21%) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (12,91%). Kekerasan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (2418,65 gf) menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf). Sedangkan nilai kelengketan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (-627,42 gf) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (-1234 gf). Nilai kekenyalan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (0,2591 gs) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (0,5215 gs).

Mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm dikeringkan dan harus mampu menurunkan kadar air mi sehingga memenuhi SNI 01-2974-1996 dengan kandungan air harus di bawah 13%. Waktu pengovenan yang optimum untuk suhu 60oC, 70oC, dan 80oC masing-masing adalah 40, 30, dan 25 menit.

Nilai persen elongasi mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut sebesar 193,14%, 166,99%, dan 162,63%. Cooking loss mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 10,89%, 11,42%, dan 9,99%. Kekerasan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 3135,18 gf, 2408,4 gf, dan 2408,83 gf. Sedangkan kelengketan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah -1057,2 gf, -977,46 gf, dan -775,18 gf. Kekenyalan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 0,3405 gs, 0,4151 gs, 0,3245 gs. Waktu rehidrasi mi kering untuk ketiga suhu pengovenan sama yaitu 4 menit.

Uji organoleptik terhadap mi kering yang dioven suhu 60oC, 70oC, dan 80oC menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan perabaan tangan ketiga sampel tidak berbeda nyata. Untuk atribut kekerasan dan kekenyalan tekstur gigit menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antar sampel. Untuk kekerasan tekstur gigit, rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 60oC sedangkan kekenyalan tekstur gigit dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 80oC. Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer

nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf (kekerasan paling tinggi), dan nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah 0,3245 gs (kekenyalan paling rendah). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal dan lebih keras.Secara overall

(14)

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

2008

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SIGIT NURDYANSYAH PUTRA F24104026

Dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 Di Ngawi

Tanggal lulus: 21 Agustus 2008

Menyetujui, Bogor, 12 September 2008

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Subarna, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Sigit Nurdyansyah Putra yang dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 di Ngawi dan merupakan putra kedua dari pasangan Djono dan Siti Amini. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Kasreman III (1992-1998), pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Ngawi (1998-2001), dan pendidikan lanjutan di SMUN 2 Ngawi (2001-2004).

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung Metode Kalendering”. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.

2. Ir. Subarna, MSi. selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan, perhatian, masukan dan bimbingannya kepada penulis.

3. Ir. Tjahja Muhandri, Msi. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

6. Bapak, Ibu, Mas Hendry, Mba Titis, dan anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

7. Shoft_Shine atas semangat, dukungan, nasehat yang akan penulis ingat selalu.

8. Kak Aminullah dan Kak Angga selaku partner penelitian atas bantuan ilmu, tenaga, dan waktu.

9. Rekan-rekan sebimbingan: Shofia, Gina, dan Rizqi atas dukungan, bantuan, dan perhatiannya kepada penulis.

(18)

11.Teman-teman ETOS 41: Slamet, Aang, Agus, Malik, Eko, Aris, Defa, Novita, Umul, Giyarti, Risma, Ana atas persahabatan, dukungan, dan kemurahan hati kalian selama ini.

12.Keluarga Besar ETOS Bogor: Ust. Arif Hartoyo, Ust. Karantiano, Ust. Asep Nurhalim, Mas Budi, Mas Supri, Mas Nurmaulana, Mas Andri, Mas Febri, Mba Nisa, Deden, Bams, TJ, Yuda, Deni, Saiful, Rinto, Salman, Deni, Wahyu, Dedi, AW, Eful, Iful, Dodik, dll . Kalian membuat hari– hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.

13.Teman-teman di Al-Inayah: Mas Krist, Mas Bambang, Mas Habro, Mas Yose, Mas Rio, Taqi, Rangga, Ahmad, Syaiful, Toni, Wely, Gina, Dika, Eko, Yaya, Roby, Fuad, Anas, Hanif, Yudi, Syahroni, Triyadi, Fakih, Rudi, Triono, Kamal, Omen, Hans atas kebersamaan, dukungan, dan nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis.

14.Sahabat-sahabat ITP 41 atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna.

15.Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya.

16.Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 12 September 2008

(19)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan yang kurang stabil. Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, sehingga ketika kebutuhan beras dalam negeri tidak tercukupi, bangsa Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut dikenal dengan usaha diversifikasi pangan.

Bagi masyarakat di Indonesia, produk mi baik berupa mi basah, mi kering, maupun mi instan, kini sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras. Namun berbeda dengan beras, 100% bahan dasar pembuatan mi, yaitu berupa biji gandum harus diimpor dari luar negeri karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki usaha pertanian gandum secara komersial. Biji gandum impor tersebut kemudian diolah di penggilingan gandum di dalam negeri untuk menghasilkan tepung terigu. Tepung terigu inilah yang kemudian dijadikan bahan baku dalam pembuatan mi.

Upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap biji gandum impor kini sudah mulai dirintis, diantaranya dengan percobaan penanaman gandum di sejumlah daerah termasuk upaya mencari varietas-varietas tanaman gandum yang sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia. Namun, upaya tersebut sejauh ini belum membuahkan hasil yang cukup memadai dalam rangka menanggulangi ketergantungan terhadap biji gandum impor. Oleh karena itu, pencarian berbagai bahan pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan.

(20)

Sementara itu, produksi jagung secara nasional untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007).

Pemilihan jagung sebagai bahan baku dalam penelitian ini sejalan dengan program pemerintah dalam mendukung upaya diversifikasi pangan dan pemantapan ketahanan pangan nasional 2005-2010. Arah pengembangan dan sasaran komoditas pangan untuk jagung adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan arah pengembangan di atas, perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas produksi jagung dan peningkatan nilai tambah jagung yang tidak hanya terbatas pada penggunaannya sebagai makanan pokok saja. Salah satu rencana peningkatan nilai tambah jagung adalah dengan pengembangan industri berbasis jagung untuk konsumsi dalam negeri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk pangan non beras, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Hal ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan industri berbasis jagung dengan meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mi. Selanjutnya Juniawati (2003) menyatakan bahwa semua responden menyukai produk-produk yang berasal dari jagung.

Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Selain itu, warna kuning mi jagung merupakan warna alami dari pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein, dan zeaxanthin.

(21)

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan tahapan proses dan kondisi yang optimal dalam proses pembuatan mi jagung metode kalendering pada skala produksi 1kg/batch.

C. Manfaat

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

Jenis Jagung

Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji–bijian dari keluarga rumput–rumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent,

flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).

Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan:

flint, dent, dan yellow flour (Anonimc, 2005).

Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm

pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint

(23)

bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis

pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991).

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn).

Morfologi dan Anatomi Biji Jagung

Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat masing–masing 250–300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991).

Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 m tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat).

Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84% dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent

dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron atau

(24)

dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy endosperm

terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak. Sedangkan endosperma lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat seperti pada bagian yang keras (Watson, 2003).

Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991).

(25)

mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung.

Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron,

pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma.

Tabel 1. Distribusi protein di dalam endosperma jagung

Protein Kandungan pada jagung

Normal (%) Opaque-2 (%) Floury-2 (%)

Albumin 4,7 20,2 5,6

Globulin 3,5 ─ 3,4

Prolamin 45,8 14,6 32,3

Glutelin 38,0 53,2 44,3

Residu 9,0 12,0 14,5

Sumber: Lawton dan Wilson (2003)

(26)

Jagung Pioneer-21

Jagung Varietas P-21 (Pioneer-21) memiliki umur panen 100 hari. Tepung jagung yang dihasilkan memiliki kandungan lemak yang rendah yaitu 1,73 %. Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan.

Tabel 2. Komposisi kimia tepung jagung P-21 (Etikawati, 2008)

Kadar Komponen (%)

Kadar air 5.46

Protein 6.32

Lemak 1.73

Abu 0.31

Karbohidrat 86.18

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa (Winarno, 2004). Kandungan total pati, amilosa, dan amilopektin dari tepung jagung varietas P-21 ditunjukkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung jagung P-21 (Etikawati, 2008)

Komponen Kadar (%)

Amilosa 23.04

Amilopektin 43.52

Total pati 66.56

(27)

lanjut warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning.

B. PATI JAGUNG

Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling) dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat. Menurut Tanikawa dan Motohiro (1995), bahan pengikat berfungsi untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turun-turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk membentuk kekentalan tertentu.

(28)

Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn.

Gambar 3. Struktur amilosa dan amilopektin (Waigh et al., 2000).

Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman

(29)

Tabel 4. Karakteristik granula pati

Jenis pati Ukuran granula (µm) Bentuk granula

Padi 3-8 Poligonal

Gandum 20-35 Lentikular atau bulat

Jagung 15 Polihedral atau bulat

Sorgum 25 Bulat

Rye 28 Lentikular atau bulat

Barley 20-25 Bulat atau elips

Sumber: Hoseney (1998)

Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan (Tabel 4). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2–30 m. Jagung yang tinggi amilosa ( high-amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 m. Sedangkan pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 m, 4-35 m, dan 2-55 m (Fennema, 1996). Menurut Boyer dan Shannon (2003), granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf.

C. GELATINISASI PATI Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi

Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air.

(30)

larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).

Menurut Swinkels (1995), pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.

Suhu Gelatinisasi

Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat

birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu

Gambar 4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1990) Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

(31)

gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Pengukuran suhu gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan Brabender Visco-amylograph dan Differential Scanning Calorimetry.

Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)

Beras 65-73

Ubi jalar 82-83

Tapioka 59-70

Jagung 61-72

Gandum 53-64

Sumber: Fennema (1996)

Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1991) menyatakan keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.

D. RETROGRADASI

Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa.

(32)

meningkatnya viskositas, 2) terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 3) terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 4) terbentuknya gel, dan 5) keluarnya air dari pasta (sineresis).

Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1995). Peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan sangat lambat pada pH dibawah 2.

Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregrat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregrat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200 unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin.

(33)

E. MI Mi Basah

Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992), definisi mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b).

Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal dari gandum. Sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann, 2001).

Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami pengeringan (Anonimb, 2007).

Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 4. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi.

Tabel 6. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992)

(34)

5.3 formalin

Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh

et al., 1995). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 7. Syarat Mutu Mi Kering (SNI 01-2974-1996)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

(35)

7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5

8.

Cemaran

mikroba:

8.1 Angka

lempeng total koloni/g Maks. 1,0 x 10 6

Maks. 1,0 x 106

8.2 E. coli APM/g Maks. 10 Maks. 10

8.3 Kapang koloni/g Maks. 1,0 x 104 Maks. 1,0 x 104

Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi yang hampir sama. Adapun yang membedakan keduanya adalah kadar air, kadar protein, dan tahapan proses pembuatan. Untuk mendapatkan mi kering, mi mentah dikeringkan dengan cara penjemuran atau di angin-anginkan atau juga dikeringkan dalam oven pada suhu ± 50oC. Mi kering mempunyai daya simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya. Selama kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 6-12 bulan.

Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997).

Mi Jagung

Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung jagung. Proses pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahap yaitu pencampuran bahan, pengukusan adonan, sheeting, slitting, pengukusan mi. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan proses pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan adonan. Pengukusan dilakukan agar adonan dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Pada terigu, yang berperan penting dalam pembentukan adonan adalah protein, sedangkan pada jagung yang berpengaruh terhadap adonan adalah patinya.

(36)

Tabel 8. Pengaruh penambahan beberapa bahan tambahan makanan (BTM) terhadap cooking loss dan kelengketan (Fadlillah, 2005)

No. BTM Kelengketan Cooking loss Keterangan

1. Guar Gum ++ ++++ Konsentrasi 1%

Kelengketan : + (tingkat kelengketan, makin banyak makin lengket)

Cooking loss : + (tingkat kekeruhan air, makin banyak berarti makin keruh, pati yang larut makin tinggi)

CMC, guar gum, dan alginat dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen-komponen-komponen tersebut tidak lepas. Penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss. Penambahan RSEL (alginat), CMC, tawas dan (K2CO3 dan Na2CO3) tidak telalu mempengaruhi kelengketan dan cooking loss (Fadlillah (2005).

Tabel 9. Pengaruh jumlah air yang ditambahkan terhadap karakteristik adonan (Kurniawati, 2006)

Jumlah air yang ditambahkan

Hasil pengamatan

30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus

33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus 35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus

(37)

Tabel 10. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual

Proses Kriteria Pengukuran

Mixing Adonan seragam; mampu menyerap air secara optimal

Sheeting Lembaran mi mudah dibentuk; permukaannya halus; tidak

bergaris-garis; dan tidak ada noda

Slitting Ukurannya seragam dan sesuai; tersisir dengan baik; bentuknya

bagus

Steaming Memiliki derajat gelatinisasi yang baik; tidak lengket

Cooking Waktu pemasakan singkat; rendah cooking loss (kehilangan

padatan akibat pemasakan); teksturnya bagus Sumber: Hou dan Kruk (1998)

Campuran ini kemudian dikukus pada kisaran suhu 90oC-100oC. Pengukusan menyebabkan adonan mengalami gelatinisasi, sehingga menyebabkan terbentuknya massa yang elastis dan kohesif setelah pengulenan.

Tahap selanjutnya adalah pressing untuk pembentukan lembaran. Pengepresan lembaran dilakukan bertahap dengan melewatkan adonan di antara

roll pengepres sehingga didapatkan ketebalan 2 mm. Lembaran ini kemudian dipotong menjadi untaian mi. Agar untaian mi tidak mudah patah, maka jumlah pati yang dipregelatinisasi harus cukup karena pati inilah yang berfungsi sebagai pengikat (Soraya, 2006). Selanjutnya, untaian mi dimatangkan dengan pengukusan pada kisaran suhu 90oC-100oC.

(38)

Tabel 11. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung

No. Produk Bahan Baku Proses Parameter Mutu Referensi

1. Mi

Pengeringan (55-60oC, 1jam) ↓

Mi yang terbuat dari tepung penggilingan kering:

(39)

•Kadar lemak 1,83% •Derajat gelatinisasi: 65,75% •Persen elongasi: 19,78% •KPAP: 17,60%

•Kekerasan: 1089,63 gf •Kelengketan: -288,66 gf

Analisis kimia

•Kadar air: 196% (bk) •Kadar abu: 0,41% •Kadar protein: 6,45% •Kadar lemak: 8,20% •Kadar karbohidrat: 85,0%

Rianto, B. F. 2006. Desain proses pembuatan dan

(40)

@

Pressing, slitting, cutting

(41)

@

Maizena + gluten terigu + CGM + air + garam +

Pressing, slitting, cutting

↓ jagung instan dalam rangka penggandaan skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan

(42)

@ ↓

Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 2 jam bagian pati jagung + garam +

CMC + baking powder

•Ketebalan mi: 0,43-0,47 mm •KPAP: 24,39%

•Daya serap air: 75% •Waktu rehidrasi: 4 menit

Analisis kimia •Nilai energi: 376 kalori

(43)

7. Mie

Pressing, slitting, cutting

Pengukusan II (15 menit) ↓

Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 1-2 jam •Waktu rehidrasi: 7 menit

Analisis kimia

(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas pioner 21 (P-21). Bahan-bahan tambahan yang digunakan antara lain air, garam, dan guar gum.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuat mi, horizontal dough mixer, grinder daging dengan die berdiameter 8 cm (die pertama memiliki 75 lubang dengan diameter masing-masing lubang 0,60 cm, die kedua memiliki 128 lubang dengan diameter masing-masing lubang 0,30 cm), steam blancher, alat penggilingan jagung (hammer mill dan disc mill), oven, timbangan, alat-alat untuk analisis seperti Texture Analyzer,

oven, tanur, neraca analitik, dan alat-alat gelas serta peralatan masak lainnya.

B. Metoda Penelitian

1. Pembuatan Tepung Jagung

Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits, lembaga, kulit dan

(45)

Gambar 5. Pembuatan Tepung Jagung

2. Penentuan Jumlah Air

Formula yang digunakan terdiri dari 1 kg tepung jagung, 10 gram garam dan 10 gram guar gum. Sedangkan jumlah air yang ditambahkan yaitu 30, 40, 50, dan 60% (dihitung dari berat tepung jagung). 1 kg tepung jagung dicampur dengan 10 gram guar gum diaduk menggunakan

Penggilingan II (discmill)

Tepung kasar

Pengayakan 100mesh (vibrating screen)

Tepung jagung 100mesh Jagung kering pipil

Penggilingan I (hammer mill)

Pemisahan endosperm dari

lembaga, kulit dan tip cap

Grits jagung Grits, lembaga,

tip cap, dan kulit

Penirisan dan pengeringan

(46)

hand mixer ± 5 menit, kemudian dicampurkan dengan larutan garam (dibuat dengan cara melarutkan 10 gram garam dalam air) dan diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit, kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan dilakukan terhadap sifat adonan saat

sheeting.

3. Penentuan Parameter Proses

a. Jumlah bagian adonan yang dikukus

Adonan dibuat dari 1 kg tepung jagung dengan perbandingan adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu 100:0, 90:10, 80:20, dan 70:30; 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Bagian tepung yang tidak dikukus dicampur dengan guar gum, kemudian diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit., Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan

hand mixer ± 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan bagian tepung yang tidak dikukus dan diaduk secara manual menggunakan tangan kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting.

b. Penentuan suhu dan waktu pengukusan adonan

(47)

c. Penggilingan adonan

Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung,10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan diaduk menggunakan tangan. Penggilingan adonan dilakukan dengan tiga variasi yaitu tanpa grinding, grinding dengan diameter die 0,60 cm, dan grinding dengan diameter die 0,30 cm. Adonan dilakukan sheeting

untuk membentuk lembaran, dilanjutkan dengan slitting untuk membentuk untaian mi. Kemudian mi dimatangkan dengan pengukusan pada suhu 95oC selama 20 menit.

Selanjutnya dilakukan pengamatan parameter fisik mi basah jagung yang dihasilkan dari tahapan-tahapan yang telah dioptimasi. Parameter yang diukur meliputi cooking loss, persen elongasi dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan) secara objektif menggunakan

Tekstur Analyzer.

d. Penentuan jarak roller pada proses reduksi ukuran

Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan

grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting

(48)

ketebalannya menggunakan penggaris. Sheeting dilakukan dengan variasi jarak awal roller yaitu 0,5 cm (biasa digunakan untuk mi terigu), dan 0,3 cm selain itu dilakukan variasi terhadap perpindahan jarak roller yaitu 1 satuan , 0,5 satuan dan perpaduan diantara keduanya. Kemudian dilanjutkan dengan slitting saat ketebalan lembaran ± 0,12 cm untuk membentuk untaian mi. Penentuan jarak roller berdasarkan pengamatan kemudahan penanganan adonan saat sheeting dan slitting.

e. Penentuan waktu pengukusan mi

Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan

grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting

mulai jarak roller 0,3 cm sampai 0,12 cm, dilanjutkan dengan slitting

pada saat ketebalan lembaran mi ± 0,12 cm.

(49)

f. Penentuan waktu optimum pengovenan

Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air). Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer ± 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan

grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting

untuk membentuk lembaran, dilanjutkan dengan slitting saat ketebalan mi ± 0,12 cm.

Untaian mi dimatangkan dengan pengukusan pada suhu 95oC selama 20 menit. Mi kemudian dikeringkan dengan variasi suhu 60, 70, dan 80oC. Pengovenan suhu 60oC dilakukan dengan waktu 35, 40, dan 45 menit; suhu 70oC dengan waktu 30, 35, dan 40 menit; dan suhu 80oC dengan waktu 25, 30 dan 35 menit. Setelah dioven, mi diukur kadar ainya. Pengamatan didasarkan pada nilai kadar air, untuk kemudian ditentukan waktu paling optimum. Kadar air harus > 13% (SNI 01-2974-1996).

Pengamatan parameter fisik dilakukan terhadap mi kering jagung yang dihasilkan dari pengovenan suhu 60oC selama 40 menit, suhu 70oC selama 30 menit, dan suhu 80oC selama 25 menit . Parameter yang diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi, persen elongasi dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan) secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer.

(50)

C. Metode Analisis Analisis Sifat Fisik

1. Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2

Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT–2 yang digunakan tertera pada Tabel 9.

Tabel 12. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis)

Parameter Setting

Pre test speed 2,.0 mm/s

Test speed 0,1 mm/s

Post test speed 2,0 mm/s

Rupture test speed 1,0 mm

Distance 75%

Force 100 g

Time 5 sec

Count 2

Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh

probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan

absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force

(51)

Gambar 6. Kurva profil tekstur mi 2. Persen Elongasi Menggunakan Texture Analyzer

Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus.

Sampel dililitkan pada probe dengan jarak antar lilitan sampel sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0.3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus :

b = x 100%

a : distance = waktu putus sampel (s) x 0,3 cm/s b : persen elongasi

2cm

a

(52)

3. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/Cooking Loss ( metode Oh et al., 1985)

Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan (4 menit untuk mi jagung), mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: dihitung waktunya pada saat mi telah terhidrasi sempurna (tidak ada spot putih di tengah untaian mi). Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh tekstur yang homogen.

5. Pengukuran Derajat Gelatinisasi (Birch et al., 1999)

(53)

gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%.

Tahap berikutnya adalah pembacaan absorbansi masing–masing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini kemudian diaduk menggunakan stirer selama satu menit dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan diaduk kembali menggunakan stirer

selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm.

Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi A dan B masing–masing sebanyak 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masing–masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9 ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B.

Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa :

Y = a + bX

Di mana Y merupakan absorbansi dan X merupakan derajat gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta.

(54)

Analisis Sifat Kimia

1. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (sekitar lima gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1000C selama kurang lebih enam jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

Kadar air (% b.b) = c – ( a - b ) x 100% c

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

Uji Organoleptik (Meilgaard, 1999)

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji rating dengan 30 orang panelis. Uji ini dapat digunakan untuk membedakan seluruh atribut antara produk satu dengan produk lainnya yang ada di pasaran.

(55)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Tepung Jagung

Jagung pipil yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas Pioneer 21 yang didapatkan dari sentra pertanian jagung Ponorogo, Jawa Timur. Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits jagung. Grits jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur dengan kotoran, kulit, tepung kasar dan komponen lain yang tidak diinginkan. Proses yang dilakukan untuk memisahkan grits dari semua campuran tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam dalam air. Selain untuk memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip cap dan memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi, proses pencucian dan perendaman ini juga bertujuan untuk memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling dengan disc mill lebih mudah.

Pencucian membersihkan grits dari kotoran yang menjadi kontaminan, sedangkan perendaman membuat kulit dan lembaga terangkat ke permukaan air. Hal ini disebabkan dalam lembaga terdapat banyak kandungan lemak yang mempunyai massa jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan air. Proses pengadukan dilakukan selama pencucian agar bahan campuran yang akan dibuang tidak terendap dalam tumpukan grits. Kemudian grits ditiriskan selama ± 2 jam.

Endosperm yang sudah dipisahkan kemudian digiling menggunakan

(56)

Gambar 7. Diagram Alir Kesetimbangan Massa Proses Penepungan Jagung

Penggilingan II (discmill)

Tepung kasar (5,4 kg/54%)

Grits jagung yang terbuang (0.9 kg/9%)

Tepung jagung tidak lolos 100 mesh (2,486 kg/24,86%) Pengayakan 100 mesh

(vibrating screen)

Tepung jagung lolos 100 mesh (2,914 kg/29,14%) Jagung kering pipil

(10 kg)

Penggilingan I (hammer mill)

Pemisahan endosperm dari

lembaga, kulit dan tip cap

Grits jagung (6,3 kg/63%)

Grits, lembaga, tip

cap,kulit yang

terbuang (0.23 kg/2,3%)

Lembaga, tip cap,

kulit (3,47 kg/34,7%) Grits, Lembaga,

(57)

Sebanyak 10 kg jagung pipil varietas Pioneer-21 melalui proses penepungan menghasilkan 2,914 kg tepung jagung lolos ayakan 100 mesh. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan 29,14% dari keseluruhan bahan baku. Kemudian tepung jagung ini dikemas dalam wadah plastik ukuran 500 gram dan disimpan di freezer sebelum digunakan untuk proses pembuatan mi jagung.

Pembuatan tepung jagung dengan metode penggilingan kering didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan sebanyak dua tahap. Penggilingan tahap pertama menggunakan hammer mill yang dilanjutkan dengan perendaman dan pencucian untuk memisahkan bagian endosperma (grits) jagung dengan kulit, lembaga, dan tip cap. Perendaman juga bertujuan untuk melunakkan endosperma jagung agar mudah dihancurkan saat proses penggilingan kedua.

Penggilingan tahap kedua bertujuan untuk menghaluskan grits jagung menjadi tepung dengan menggunakan disc mill. Grits jagung terlebih dahulu dikeringkan sehingga diperoleh kadar air + 17%. Jika kadar air terlalu tinggi, maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran partikel yang seragam, dapat dilakukan pengayakan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar.

Gambar

Gambar  4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1990)
Tabel 6. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992)
Tabel 11. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung
Gambar 5. Pembuatan Tepung Jagung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji kesukaan terhadap rasa, aroma, tekstur dan daya terima menunjukkan bahwa penambahan jus srikaya pada yogurt meningkatkan kesukaan panelis (P<0.01). Selanjutnya, nilai

Dari hasil perhitungan nilai kesukaan didapatkan interval nilai kesukaan kekuatan wangi gel pengharum ruangan pada minggu IV yang paling disukai oleh panelis adalah

Gambar 8 menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis terhadap tekstur getuk pisang terfermentasi, dimana skor kesukaan panelis tertinggi diperoleh dari konsentrasi ragi 0.8%

Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mi kering dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan yaitu terigu, tepung kecambah jagung, dan rumput laut.. Perlakuan P1 dan P2 memiliki

Dari hasil nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap parameter warna, tekstur, aroma dan rasa diketahui bahwa perlakuan yang disukai sebagai perlakuan terpilih dalam pembuatan

panelis terhadap tekstur didapatkan nilai terendah pada perlakuan non-blanching dengan konsentrasi CaCl2 1% (sangat keras), sedangkan nilai kesukaan panelis yang tertinggi

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur jeli jagung manis diperoleh pada perlakuan J3K3 yaitu pada konsentrasi karagenan 0.4%

Aroma Nilai kesukaan tertinggi terhadap aroma sirup kacang hijau-lempuyang menurut panelis seperti yang tercantum dalam Tabel 3 yaitu 3,12±1,09 pada sampel dengan rasio ekstrak kacang