C. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi Jagung
6. Penentuan Waktu Optimum Pengovenan
Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan akibat proses pindah panas yang berhubungan dengan adanya perbedaan suhu antara permukaan produk dengan permukaan air pada beberapa lokasi dalam produk. Ukuran bahan yang dikeringkan dapat mempengaruhi kecepatan waktu pengeringan. Semakin kecil ukuran bahan, semakin cepat waktu pengeringannya. Hal ini disebabkan bahan yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan proses penguapan air dari bahan (Wirakartakusumah et al.,
1992).
Pada penelitian ini, metode pengeringan yang digunakan adalah pengeringan menggunakan panas (oven). Pengovenan dilakukan dengan 3 variasi suhu yaitu: 60, 70 dan 80oC. Variasi suhu dilakukan untuk menyesuaikan dengan ketersediaan oven yang dimiliki oleh industri. Waktu pengovenan optimum adalah waktu yang menghasilkan mi kering yang memenuhi SNI 01-2974-1996 tentang mi kering dengan padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%.
13.76 11.34 9.9 11.49 9.82 8.23 10.76 8.54 8.17 0 2 4 6 8 10 12 14 16 25 30 35 40 45 Waktu (menit) K a d a r a ir ( % )
Suhu 60 derajat celsius Suhu 70 derajat celsius Suhu 80 derajat celsius
Gambar 18. Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC
Seperti dapat dilihat pada Gambar 18 dapat diketahui bahwa waktu optimum pengovenan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI pada suhu 60oC adalah 40 menit dengan kadar air 11,34%; suhu 70oC adalah 30 menit dengan kadar air 11,49%; dan suhu 80oC adalah 25 menit dengan kadar air 10,76%. Pada industri hal ini dapat diaplikasikan dengan penggunaan variasi waktu optimum tersebut tergantung suhu oven yang dimiliki oleh industri.
Menurut Hou dan Kruk (1998), proses pengeringan mi dapat dilakukan dengan menggunakan udara panas (oven), penggorengan (deep frying), atau pengeringan vakum (vacuum drying). Pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering.
Mi kering yang diperoleh dengan cara pengeringan memiliki kandungan lemak yang rendah dan umur simpannya juga lebih lama karena tidak berhubungan dengan ketengikan akibat adanya sedikit lemak
dalam produk. Selain umur simpannya lebih lama, beberapa keuntungan dari proses pengeringan antara lain volume bahan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta produk menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih kecil. Namun ada pula kerugian dari proses pengeringan, diantaranya perubahan sifat asal dari produk seperti bentuk dan penampakannya, serta sifat fisik dan kimianya yang pada akhirnya dapat menurunkan mutu produk (Wirakartakusumah et al., 1992).
Mi kering diperoleh dari mi basah yang telah dikeringkan menggunakan oven. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Menurut Hou dan Kruk (1998), pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering. Lama waktu pengeringan juga menentukan karakteristik produk akhir yang dihasilkan. Jika waktu pengeringan terlalu lama, mi kering menjadi rapuh. Pengeringan harus mampu menurunkan kadar air mi menjadi < 13%.
Selanjutnya, dilakukan analisis fisik terhadap mi jagung kering hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm.. Parameter fisik yang diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi, persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan).
a. Cooking Loss
Seperti dapat dilihat pada Gambar 19, cooking loss terendah diperoleh dari pengeringan dengan suhu 80oC yaitu sebesar 9,99%. Pengeringan dengan suhu 60oC menghasilkan mi kering dengan cooking loss sebesar 10,89%, sedangkan pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan cooking loss sebesar 11,42%. Proses penetrasi panas pada suhu rendah lebih cepat dengan waktu yang lebih lama menyebabkan meningkatnya kekompakan dan ikatan antar partikel,
sehingga nilai cooking loss akan berkurang. Namun ketika suhunya 80oC nilai cooking loss menurun lagi.
9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
C o o k in g l o s s ( % )
Gambar 19. Perbandingan cooking loss mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda
Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan parameter terpenting untuk produk–produk mi basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang relatif kecil. Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen.
Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati, 2006).
b. Waktu Rehidrasi
Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Mi yang direhidrasi selama 2 menit masih agak keras serta terlihat ada spot di bagian tengah. Hal yang sama didapatkan pada rehidrasi selama 3 menit. Waktu rehidrasi selama 4 menit menghasilkan mi yang lunak, lembut, dan
10,85 ± 0,78549
11,42 ± 1,24780
tidak ada spot di bagian tengah mi. Sedangkan waktu rehidrasi selama 5 menit menghasilkan mi yang lembek, dan menjadi patah-patah.
Waktu rehidrasi selama 4 menit merupakan waktu rehidrasi mi jagung kering yang paling optimum. Waktu rehidrasi mi ini sudah memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan/kering adalah selama 4 menit.
Tabel 21. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum
Waktu rehidrasi (menit)
Sifat mi setelah rehidrasi
2 Mi masih agak keras serta terlihat ada spot di bagian tengah mi
3
4 Mi lunak, lembut, dan tidak ada spot di bagian tengah mi
5 Mi lembek, dan menjadi patah-patah
Pada saat proses perebusan terjadi pengembangan pati karena molekul-molekul air yang masuk. Semakin cepat penetrasi air yang masuk, maka waktu rehidrasi dipersingkat.
c. Persen Elongasi
Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Elongasi diukur setelah mi kering direbus dalam air panas selama 4 menit.
Seperti dapat dilihat pada Gambar 20, persen elongasi tertinggi diperoleh dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 193,14%. Pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan elongasi 166,99%, sedangkan pengeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi kering dengan elongasi 162,63%. Penetrasi panas pada suhu yang rendah berlangsung dalam waktu yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga elongasi semakin meningkat.
145 150 155 160 165 170 175 180 185 190 195 200 60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
P e rs e n e lo n g a s i (% )
Gambar 20. Perbandingan persen elongasi mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda
d. Kekerasan dan Kelengketan
Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak
(puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan semakin meningkat. Kelengketan didefinisikan sebagai absolute (-) peak
yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi.
193,14 ± 13,50782
166,99 ± 19,42538
-1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
K e k e ra s a n & k e le n g k e ta n ( g f) Kekerasan Kelengketan
Gambar 21. Perbandingan kekerasan dan kelengketan mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda
Seperti dapat dilihat pada Gambar 21, kekerasan tertinggi diperoleh dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 3135,18 gf. Pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan kekerasan sebesar 2408,40 gf, pegeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi kering dengan kekerasan sebesar 2408,83 gf. Sedangkan nilai kelengketan terendah dihasilkan dari pengeringan dengan suhu 80oC (-775,18 gf), sedangkan pengeringan dengan suhu 60oC dan 70oC menghasilkan mi dengan kelengketan masing-masing sebesar -1057,2 gf dan -977,46 gf.
Pengovenan dengan suhu 60oC menghasilkan mi dengan kekerasan tertinggi. Penetrasi panas pada suhu yang rendah berlangsung dalam waktu yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga kekerasan dan kelengketan meningkat.
e. Kekenyalan
Seperti dapat dilihat pada Gambar 22, kekenyalan tertinggi diperoleh pada mi jagung hasil pengovenan pada suhu 70oC (0,415 gs). Pengovenan pada suhu 60oC dan 80oC menghasilkan mi dengan kekenyalan masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,3245 gs.
3135,18 ± 623,49625
2408,40 ± 957,4573 2408,83 ± 242,8322
Secara umum, pengovenan dengan suhu tinggi menghasilkan kekenyalan yang lebih rendah. Penetrasi panas pada suhu yang tinggi berlangsung dalam waktu yang lebih singkat, menyebabkan penurunan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga elongasi menurun. Penurunan elongasi menyebabkan menurunnya kekenyalan. 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
K e k e n y a la n ( g s )
Gambar 22. Perbandingan kekenyalan mi kering pada suhu pengovenan yang berbeda