C. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi Jagung
3. Penggilingan Adonan
Setelah pengukusan, adonan dicampurkan dengan bagian tepung jagung kering yang tidak dikukus. Pencampuran dilakukan secara manual menggunakan tangan. Pencampuran yang kurang sempurna antara adonan dengan tepung jagung yang tidak dikukus, kesulitan penanganan adonan, kesulitan saat pembentukan lembaran adonan dan waktu yang lama untuk pembentukan lembaran mendasari optimasi proses sesudah pengukusan. Optimasi proses dilakukan dengan menambahkan tahapan proses baru, yaitu penggilingan.
Penggilingan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi (lampiran 5). Hal ini menyebabkan lebih banyak amilosa yang keluar dari granula pati dan berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Selain itu, penggilingan juga menyebabkan kompresi terhadap adonan meningkat. Kompresi menyebabkan adonan lebih kompak dan mudah dibentuk menjadi lembaran (Susilawati, 2007).
Tabel 17. Pengaruh perlakuan penggilingan terhadap sifat adonan
Perlakuan penggilingan
Sifat adonan (secara visual)
Tanpa grinding Adonan susah ditangani, lembaran adonan susah dibentuk dan rapuh, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus belum tercampur merata, waktu pembentukan lembaran relatif lama
Grinding dengan diameter die 0,60 cm
Penanganan adonan lebih mudah, lembaran mudah dibentuk karena saat keluar dari
grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat
Grinding dengan diameter die 0,30 cm
Penanganan adonan lebih mudah, lembaran mudah dibentuk karena saat keluar dari
grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat
Tanpa grinding, adonan susah ditangani, lembaran adonan susah dibentuk dan rapuh, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus belum tercampur merata, waktu pembentukan lembaran relatif lama. Sedangkan penggilingan menggunakan grinding baik dengan diameter die 0,60 cm ataupun 0,30 cm memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap sifat adonan. Penanganan adonan menjadi lebih mudah, lembaran mudah dibentuk karena saat keluar dari grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat.
a) b)
Gambar 9.a)Grinder
b) Dari kiri ke kanan: die grinder d = 0,60 cm, d = 0,30 cm Kerja ulir pada mesin grinder menghasilkan akumulasi tekanan, bahan dipaksakan keluar melalui die yang kecil ukurannya (Hariyadi, 2000). Perbandingan kompresi antara dua die plate adalah sebagai berikut:
P1:P2 = :
= n2 x A2 : n1 x A1 = 128 x1/4 π(0,3)2 : 75 x 1/4 π(0,6)2 = 11,52 : 27 P1:P2 = 3 : 7 Keterangan: P1: kompresi die 0,6 cm
P2: kompresi die 0,3 cm n : jumlah lubang
A : luas permukaan lubang die (1/4 π d2)
Gaya yang dihasilkan dari mesin grinder sama untuk semua diameter die. Die dengan diameter 0,6 cm memiliki lubang sebanyak 75, sedangkan die dengan diameter 0,3 memiliki lubang sebanyak 128. Rasio kompresi antara die berdiameter 0,6 cm dan 0,3 cm adalah 3:7.
Tabel 18. Pengaruh jumlah grinding terhadap sifat adonan
Jumlah grinding
Sifat adonan (secara visual)
1x Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering belum tercampur merata, setelah disheeting tampak warna lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna tepung dikukus dan ada yang didominasi warna tepung kering
2x Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering tercampur cukup merata
>2x Terjadi penurunan suhu adonan yang cukup drastis, sehingga susah untuk dibentuk lembaran (adonan mengeras)
Grinding sebanyak 1x, membuat adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering belum tercampur merata, setelah disheeting tampak warna lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna tepung dikukus dan ada yang didominasi warna tepung kering. Jumlah grinding sebanyak 2x, membuat adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering tercampur cukup merata. Sedangkan jumlah grinding lebih dari 2x menyebabkan penurunan suhu adonan yang cukup drastis. Adonan yang terlanjur dingin susah untuk dibentuk lembaran (adonan mengeras).
Gambar 10. Adonan saat keluar dari grinder
Kompresi yang dihasilkan dari penggilingan menggunakan grinding mampu meningkatkan sifat kohesif adonan. Sifat ini
memudahkan penanganan adonan saat sheeting. Peningkatan sifat kohesif sebanding dengan besarnya kompresi yang diberikan saat penggilingan.
Derajat gelatinisasi adonan setelah dikukus sebesar 34,08%. Setelah penggilingan pertama, derajat gelatinisasi adonan tersebut meningkat menjadi 37,39% (die 0,60 cm) dan 39,28% (die 0,30 cm), setelah penggilingan kedua adonan mempunyai derajat gelatinisasi sebesar 37,86% (die 0,60 cm) dan 39,75% (die 0,30 cm). Sedangkan setelah mi dimatangkan dengan pengukusan suhu 95oC selama 20 menit mempunyai derajat gelatinisasi sebesar 87,53% (die 0,60 cm) dan 88,00% (die 0,30 cm) (lampiran 5).
Formula dan tahapan proses yang telah dioptimalisasi menghasilkan mi jagung basah. Dilakukan analisis fisik terhadap mi jagung basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm. Mi basah yang dibuat tanpa grinding tidak dianalisis, hal ini dikarenakan sifat lembaran yang susah dibentuk sehingga mi yang dihasilkan tidak optimal (mi rapuh dan warna tidak seragam akibat pencampuran tidak sempurna). Parameter fisik yang diukur meliputi cooking loss, persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan).
a. Cooking Loss
Cooking loss menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang keluar ke dalam air selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi lebih kental. Cooking loss merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak.
Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan parameter terpenting untuk produk–produk mi basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang
relatif kecil Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen.
0 2 4 6 8 10 12 14 0,60 0,30 Diameter die (cm) C o o k in g l o s s ( % )
Gambar 11. Perbandingan cooking loss mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm
Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati, 2006).
Seperti dapat dilihat pada Gambar 11, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (12,91%) memiliki nilai cooking loss yang lebih tinggi dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (8,21%).
Penggilingan menggunakan grinding dengan diameter die yang lebih kecil mampu menurunkan nilai cooking loss. Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar meningkatkan kekompakan dan ikatan antar partikel, sehingga cooking loss akan berkurang.
12,91 ± 0,83815
b. Persen Elongasi
Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Elongasi diukur setelah mi basah dicelup air panas sebanyak 3x (elongasi pencelupan) dan setelah direndam dalam air panas selama 2 menit (elongasi perendaman).
0 50 100 150 200 250 300 0,60 0,30 Diameter die (cm) P e rs e n e lo n g a s i (% )
Elongasi pencelupan Elongasi perendaman
Gambar 12. Perbandingan persen elongasi mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm
Seperti dapat dilihat pada Gambar12, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (232,44%) memiliki persen elongasi setelah pencelupan yang lebih kecil dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (268,34%). Demikian juga untuk persen elongasi setelah perendaman, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (207,62%) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (219,96%).
Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering
232,44 ± 21,85390
207,62 ± 17,56408
268,34 ± 32,56476
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan elongasi mi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan mi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,60.
c. Kekerasan dan kelengketan
Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak
(puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan semakin meningkat. Kelengketan didefinisikan sebagai absolute (-) peak
yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi.
-1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0,60 0,30 Diameter die (cm) K e k e ra s a n & k e le n g k e ta n ( g f) Kekerasan Kelengketan
Gambar 13. Perbandingan kekerasan dan kelengketan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm
Seperti dapat dilihat pada Gambar 13, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf) menunjukkan nilai kekerasan yang lebih kecil daripada mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm
2377,73 ± 278,4694 2418,65 ± 153,9247
-1234,00 ± 90,80208
(2418,65 gf). Sedangkan untuk nilai kelengketan, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (- 1234,00 gf) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (- 627,42 gf).
Penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter lebih kecil menyebabkan peningkatan kekerasan dan penurunan kelengketan. Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan peningkatan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga kekerasan meningkat.
d. Kekenyalan
Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi).
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0,60 0,30 Diameter die (cm) K e k e n y a la n ( g s )
Gambar 14. Perbandingan kekenyalan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm
Seperti dapat dilihat pada Gambar 14, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (0,5215 gs) menunjukkan nilai kekenyalan yang lebih tinggi daripada mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (0,2591 gs). Penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter lebih kecil menyebabkan penurunan kekenyalan.
Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan peningkatan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga elongasi meningkat. Peningkatan elongasi menyebabkan meningkatnya kekenyalan. Namun pada pada penelitian ini, meningkatnya kompresi tidak diikuti dengan meningkatnya kekenyalan. Hal ini mungkin dikarenakan meningkatnya kekerasan akibat kompresi yang lebih besar, sehingga kekenyalan cenderung berkurang.