• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kapasitas perikanan pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kapasitas perikanan pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

Sumatera Barat: Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, DANIEL MONINTJA dan MENNOFATRIA BOER

Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat secara ekonomi kepada pelaku usaha akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan ini juga memberikan dampak eksternalitas. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources

(sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Salah satu permasalahan dalam perikanan tangkap adalah terjadinya kelebihan kapasitas tangkap (overcapacity) yang mendorong terjadinya kelebihan tangkap (overfishing).

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pemanfaatan dan merekomendasikan kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Propinsi Sumatera Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Melakukan analisis komparatif pemanfaatan sumberdaya ikan secara bioekonomi dan empiris (aktual), 2) Menentukan tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan dalam kaitannya dengan kapasitas perikanan, 3) Menganalisis dampak kapasitas perikanan terhadap kesejahteraan masyarakat khususnys pelaku usaha perikanan, 4) Menganalisis kapasitas perikanan baik antar waktu maupun antar alat tangkap dan dampaknya terhadap pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: analisis bioekonomi dan data envelopment analysis (DEA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah mengarah kelebihan tangkap (overfishing), sedangkan untuk sumberdaya ikan pelagis besar masih dapat ditingkatkan tetapi perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya, 2) Telah terjadi degradasi sumberdaya ikan pelagis di lokasi penelitian, dimana rata-rata per tahun 25% untuk ikan pelagis besar dan 26% untuk ikan pelagis kecil, 3) Telah terjadi depresiasi sumberdaya ikan dengan nilai berkisar antara Rp 56.95 milyar dan Rp 150.94 milyar untuk ikan pelagis besar dan antara Rp 52.63 milyar dan Rp 150.94 milyar untuk ikan pelagis kecil, masing-masing untuk discount rate 15% dan 5.66%, 4) Rata-rata nilai surplus produsen per tahun untuk ikan pelagis besar adalah Rp 144.92 milyar dan untuk ikan pelagis kecil Rp 170.16 milyar, 5) Tingkat efisiensi perikanan tangkap dari waktu ke waktu mengalami penurunan dan pada akhir periode pengamatan mengalami peningkatan, efisiensi untuk ikan pelagis besar rata-rata 85% sedangkan untuk ikan pelagis kecil rata-rata 89%, 6) Bila dibandingkan tingkat efisiensi dari empat alat tangkap maka yang paling efisien adalah alat tangkap pukat cincin kemudian diikuti oleh tonda, payang dan bagan, 7). Secara rata-rata selama tahun pengamatan kondisi perikanan tangkap di perairan pesisir Sumatera Barat sudah mengarah kepada kelebihan kapasitas (overcapacity) yang membutuhkan adanya pengurangan kapasitas.

(2)

West Sumatera. Under Supervision of:

AKHMAD FAUZI, DANIEL MONINTJA dan MENNOFATRIA BOER.

Extraction of fishery resources has benefited both fishing industries and society. However, there is externalities associated with such an extraction. Fish is renewable resource, neverthelless, exploitation of the resource above and beyond its maximum capacity will have negative impacts biologically, economically and socially. Overcapacity seems to be the major problems faced by fishing industry nowadays.

This study attemps to analysis the policy of fisheries capture in West Sumatera Province. Specifically, the objectives are: 1) to identify current level of exploitation compared with its sustainable level, 2) to determine the degradation and depreciation level in fishery, 3) to determine welfare effect of fisheries capacity and 4) to analyse policy implication due to fisheries capacity across time and among gears. Analysis were conducted using bioeconomic modeling and data envelopment analysis.

Result indicate that: 1) Utilization of small pelagic fishing in West Sumatera tends to be in overfishing state for small pelagic, while there is still room for exploitation for big pelagic, 2) Pelagic fishery resources have been degraded at average of 25% per year for big pelagic and 26% per year for small pelagic 3) Fishery resources have been depreciated. These depreciation values were estimated between 56.95 billion rupiah (15% discount rate) to 150.94 billion rupiah (5.66% discount rate) for big pelagic and between 52.63 billion rupiah (15% discount rate) to 139.49 billion rupiah (5.66% discount rate) for small pelagic, 4) Fishing efficiency rate of big pelagic average of 85% per year and 89% per year for small pelagic, 5) Producer’s surplus values at average 144.92 billion rupiah per year for big pelagis and 170.16 billion rupiah per year for small pelagic, 6) In terms of efficiency only two fishing gears (purse seine and troll line) are economically efficient even through there are same variations among gears and across time, 4) In overall however, fishery is in overcapacity situation and calls for reduction in fishing capacity

(3)

PROVINSI SUMATERA BARAT

DESNIARTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Sumatera Barat: Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, DANIEL MONINTJA dan MENNOFATRIA BOER

Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat secara ekonomi kepada pelaku usaha akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan ini juga memberikan dampak eksternalitas. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources

(sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Salah satu permasalahan dalam perikanan tangkap adalah terjadinya kelebihan kapasitas tangkap (overcapacity) yang mendorong terjadinya kelebihan tangkap (overfishing).

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pemanfaatan dan merekomendasikan kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Propinsi Sumatera Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Melakukan analisis komparatif pemanfaatan sumberdaya ikan secara bioekonomi dan empiris (aktual), 2) Menentukan tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan dalam kaitannya dengan kapasitas perikanan, 3) Menganalisis dampak kapasitas perikanan terhadap kesejahteraan masyarakat khususnys pelaku usaha perikanan, 4) Menganalisis kapasitas perikanan baik antar waktu maupun antar alat tangkap dan dampaknya terhadap pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: analisis bioekonomi dan data envelopment analysis (DEA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah mengarah kelebihan tangkap (overfishing), sedangkan untuk sumberdaya ikan pelagis besar masih dapat ditingkatkan tetapi perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya, 2) Telah terjadi degradasi sumberdaya ikan pelagis di lokasi penelitian, dimana rata-rata per tahun 25% untuk ikan pelagis besar dan 26% untuk ikan pelagis kecil, 3) Telah terjadi depresiasi sumberdaya ikan dengan nilai berkisar antara Rp 56.95 milyar dan Rp 150.94 milyar untuk ikan pelagis besar dan antara Rp 52.63 milyar dan Rp 150.94 milyar untuk ikan pelagis kecil, masing-masing untuk discount rate 15% dan 5.66%, 4) Rata-rata nilai surplus produsen per tahun untuk ikan pelagis besar adalah Rp 144.92 milyar dan untuk ikan pelagis kecil Rp 170.16 milyar, 5) Tingkat efisiensi perikanan tangkap dari waktu ke waktu mengalami penurunan dan pada akhir periode pengamatan mengalami peningkatan, efisiensi untuk ikan pelagis besar rata-rata 85% sedangkan untuk ikan pelagis kecil rata-rata 89%, 6) Bila dibandingkan tingkat efisiensi dari empat alat tangkap maka yang paling efisien adalah alat tangkap pukat cincin kemudian diikuti oleh tonda, payang dan bagan, 7). Secara rata-rata selama tahun pengamatan kondisi perikanan tangkap di perairan pesisir Sumatera Barat sudah mengarah kepada kelebihan kapasitas (overcapacity) yang membutuhkan adanya pengurangan kapasitas.

(5)

West Sumatera. Under Supervision of:

AKHMAD FAUZI, DANIEL MONINTJA dan MENNOFATRIA BOER.

Extraction of fishery resources has benefited both fishing industries and society. However, there is externalities associated with such an extraction. Fish is renewable resource, neverthelless, exploitation of the resource above and beyond its maximum capacity will have negative impacts biologically, economically and socially. Overcapacity seems to be the major problems faced by fishing industry nowadays.

This study attemps to analysis the policy of fisheries capture in West Sumatera Province. Specifically, the objectives are: 1) to identify current level of exploitation compared with its sustainable level, 2) to determine the degradation and depreciation level in fishery, 3) to determine welfare effect of fisheries capacity and 4) to analyse policy implication due to fisheries capacity across time and among gears. Analysis were conducted using bioeconomic modeling and data envelopment analysis.

Result indicate that: 1) Utilization of small pelagic fishing in West Sumatera tends to be in overfishing state for small pelagic, while there is still room for exploitation for big pelagic, 2) Pelagic fishery resources have been degraded at average of 25% per year for big pelagic and 26% per year for small pelagic 3) Fishery resources have been depreciated. These depreciation values were estimated between 56.95 billion rupiah (15% discount rate) to 150.94 billion rupiah (5.66% discount rate) for big pelagic and between 52.63 billion rupiah (15% discount rate) to 139.49 billion rupiah (5.66% discount rate) for small pelagic, 4) Fishing efficiency rate of big pelagic average of 85% per year and 89% per year for small pelagic, 5) Producer’s surplus values at average 144.92 billion rupiah per year for big pelagis and 170.16 billion rupiah per year for small pelagic, 6) In terms of efficiency only two fishing gears (purse seine and troll line) are economically efficient even through there are same variations among gears and across time, 4) In overall however, fishery is in overcapacity situation and calls for reduction in fishing capacity

(6)

DESNIARTI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nrp

:

C261020081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.

Ketua

Prof. Dr. Daniel R. Monintja, M.Sc.

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Anggota

Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana

Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilakukan di sepanjang perairan pesisir Propinsi Sumatera Barat yang dilakukan sejak bulan Agustus 2004 sampai dengan bulan Januari 2005. Judul disertasi ini adalah Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat.

Dalam usaha perikanan tangkap, salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah yang melebihi potensi lestarinya sehingga terjadi fenomena tangkap lebih yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan persatuan upaya yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Salah satu penyebab timbulnya permasalahan tangkap lebih adalah terjadinya kelebihan kapasitas tangkap (overcapacity). Berdasarkan hal tersebut maka pengukuran tentang kapasitas perikanan tangkap merupakan suatu yang penting dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan perikanan tangkap di wilayah penelitian.

Terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Daniel R Monintja, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, petunjuk dan saran serta meluangkan waktu dengan penuh kesabaran. Terima kasih juga disampaikan kepada Pemda Provinsi Sumatera Barat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat beserta staf, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, para Dosen dan Staf pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

(9)

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2007

(10)

Penulis dilahirkan di Pematang Panjang Sijunjung Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 24 Agustus 1965 dari Ayah yang bernama Ishak Aman, BA dan Ibu Rosni. Penulis merupakan anak ke dua dari enam bersaudara.

Pada tahun 1978, penulis lulus Sekolah Dasar Negeri 2 Air Bangis Kabupaten Pasaman, tahun 1981 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri I Payakumbuh dan tahun 1984 lulus Sekolah menengah Atas Negeri I Payakumbuh. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan sarjana jurusan Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Pemda Popinsi Sumatera Barat dan ditempatkan pada Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat sampai sekarang. Pada Bulan Oktober tahun 2000 penulis diberi kesempatan untuk tugas belajar pada program Magister Manajemen Agribisnis (MMA) Institut Pertanian Bogor dan selesai pada bulan Juni tahun 2002. Selanjutnya tahun 2002 tepatnya bulan September penulis mendapat kesempatan lagi untuk melanjutkan studi program doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor. Artikel yang berjudul Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat dimuat dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia edisi Desember 2006 Volume XII Nomor 2. Artikel tersebut merupakan bagian dari Disertasi penulis.

(11)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2007

(12)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(13)

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I1 PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1.2 Perumusan Masalah ………... 1.3 Tujuan Penelitian ……… 1.4 Hipotesis Penelitian ……… 1.5 Kegunaan Penelitian ………. 1.6 Kerangka Pemikiran ……….. I2 TINJAUAN PUSTAKA ……… 2.1 Sumberdaya Perikanan Laut ………... 2.2 Usaha Perikanan Tangkap ……… 2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis ...

2.4 Perikanan yang Berkelanjutan ……….... 2.5 Kapasitas Perikanan ………... 2.6 Data Envelopment Analysis (DEA) ………... 2.7 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ……….. I3 METODOLOGI PENELITIAN ……….

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………. 3.2 Teknik Pengumpulan Data ……….. 3.3 Standardisasi Alat Tangkap ………. 3.4 Analisis Data ………. 3.4.1 Model bioekonomi sumberdaya perikanan ………... 3.4.2 Estimasi discount rate ………... 3.4.3 Analisis laju degradasi dan depresiasi SDI ………... 3.4.4 Pengelolaan sumberdaya secara optimal ... 3.4.5 Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ...………. 3.4.6 Analisis kesejahteraan produsen ... 3.4.7 Analisis kapasitas perikanan tangkap ………... 3.5 Pemetaan Proses Penelitian ……….. 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ………. 4.1 Karakteristik Geofisik ... 4.2 Keragaan Potensi Sumberdaya Ikan ... 4.3 Perkembangan Perikanan di Provinsi Sumatera Barat ... 4.4 Sumbangan Sub Sektor Perikanan terhadap PDRB ... 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 5.1 Standardisasi Alat Tangkap ………... 5.2. Estimasi Parameter Biologi ………... 5.3 Estimasi Sustainable Yield ………... 5.4 Estimasi Parameter Ekonomi ...………. 5.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan yang Optimal... 5.6 Degradasi Sumberdaya Ikan ………...

(14)

5.7 Depresiasi Sumberdaya Ikan ………... 5.8 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 5.9 Aspek Kesejahteraan Produsen ... 5.10 Kapasitas Perikanan Tangkap ………... 5.10.1 Efisiensi perikanan tangkap ... 5.10.2 Efisiensi alat tangkap ... 5.10.2.1 Pukat cincin ... 5.10.2.2 Tonda ... 5.10.2.3 Payang ... 5.10.2.4 Bagan ... 5.11 Implikasi Kebijakan ... 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………... 6.1 Kesimpulan ………... 6.2 Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ……… LAMPIRAN ………...

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Potensi lestari sumberdaya ikan dan tingkat pemanfaatannya

di Samudera Hindia ………... 2 Panjang garis pantai dan jumlah pulau kecil per kab/kota di Provinsi

Sumatera Barat ………. 3 Perkembangan hasil tangkapan ikan di Provinsi Sumatera Barat tahun 1984-2004 ... 4 Jumlah nelayan di wilayah kabupaten/kota Provinsi Sumatera Barat tahun 2004 ………... 5 Perkembangan jumlah nelayan perikanan tangkap Provinsi Sumatera Barat 1995 – 2004 ………... 6 Keragaan alokasi jumlah dan jenis armada kapal perikanan Sumatera

Barat selama 10 tahun (1995-2004) ... 7 Keragaan alokasi komposisi jumlah unit penangkapan ikan di Provinsi

Sumatera Barat dari tahun 1995 – 2004 ……….. 8 Jenis dan nilai investasi yang digunakan untuk penangkapan ikan

menggunakan alat tangkap bagan ... 9 Rata-rata biaya operasional menurut alat tangkap ………... 10 Kontribusi PDRB perikanan terhadap PDRB Sumatera Barat

Selama 5 tahun (2000 – 2004) ……….. 11 Hasil tangkapan ikan pelagis besar oleh alat tangkap tonda dan pukat

cincin ... 12 Produksi ikan pelagis kecil oleh alat tangkap yang dianalisis ... 13 Parameter biologi perikanan pelagis di Propinsi Sumatera Barat ... 14 Fungsi produksi lestari Gompertz ... 15 Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan lestari

Gompertz untuk ikan pelagis besar ... 16 Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan lestari

Gompertz untuk ikan pelagis kecil ... 17 Rata-rata biaya riil operasional penangkapan ikan per trip menurut

alat tangkap yang dijadikan baseline ... 8

54

55

56

57

58

59

63 64

65

69 70 72 72

73

77

(16)

18 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan dan effort pada discount rate 15% dan 5.66% untuk ikan pelagis besar ... 19 Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal ikan pelagis besar 20 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan dan effort pada discount rate 15% dan 5.66% untuk ikan pelagis kecil ... 21 Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal ikan pelagis kecil 22 Rente optimal sumberdaya ikan pelagis besar (Rp juta) ... 23 Rente optimal sumberdaya ikan pelagis kecil (Rp juta) ... 24 Perkembangan tingkat degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan

kecil ... 25 Perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar ………... 26 Perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil ………... 27 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan

kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis besar ... 28 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan

kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis kecil ... 29 Nilai surplus produsen untuk sumberdaya ikan pelagis besar & kecil …... 30 Skor efisiensi unit fisik DEA untuk ikan pelagis besar ... 31 Skor efisiensi unit fisik DEA untuk ikan pelagis kecil ... 32 Opportunity cost dari kelebihan kapasitas input ... 33 Efisiensi teknis pendekatan input kapal pukat cincin ... 34 Efisiensi teknis pendekatan output kapal pukat cincin ... 35 Kapasitas kapal pukat cincin ... 36 Efisiensi kapal pukat cincin dengan memasukkan nilai moneter ... 37 Efisiensi teknis pendekatan input kapal tonda ... 38 Efisiensi teknis pendekatan output kapal tonda ... 39 Efisiensi teknis pendekatan input perahu motor tempel payang ... 40 Efisiensi teknis pendekatan output perahu motor tempel payang ... 41 Efisiensi teknis pendekatan input kapal bagan ... 42 Efisiensi teknis pendekatan output kapal bagan ...

82 83

85 86 88 89

90 94 96

100

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran ………

2 Jumlah perahu/kapal perikanan laut di Indonesia Tahun 2004 ………... 3 Tiga dimensi keberlanjutan ……… 4 Solusi Maximum Sustainable Yield (MSY) ……… 5 Solusi Open Acces Equiblirium (OAE) ……… 6 Solusi Maximum Economic Yield (MEY) ……… 7 Peta lokasi penelitian ... 8 Pemetaan proses penelitian ... 9 Perkembangan hasil tangkapan ikan laut di Provinsi Sumatera Barat tahun 1984 – 2004 ... 10 Perkembangan nelayan perikanan tangkap tahun 1995 – 2004 ... 11 Perkembangan armada perikanan tangkap dari tahun 1995 – 2004 ... 12 Perkembangan hasil tangkapan ikan oleh beberapa jenis alat tangkap ... 13 Perkembangan PDRB total, PDRB pertanian dan PDRB

perikanan Provinsi Sumatera Barat ... 14 Kontribusi PDRB Perikanan terhadap PDRB Provinsi Sumatera

Barat ... 15 Perkembangan effort yang telah distandardisasi untuk penangkapan

ikan pelagis besar dan pelagis kecil ... 16 Perkembangan hasil tangkapan perikanan menurut jenis ikan pelagis besar 17 Perkembangan effort dan hasil tangkapan ikan pelagis besar ... 18 Perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis kecil ... 19 Perkembangan effort dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil ... 20 Hasil tangkapan aktual dan produksi lestari Gompertz ikan pelagis besar ... 21 Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual ikan pelagis besar ... 22 Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz ikan pelagis besar ...

7 12 21 30 31 32 35 51

56 57 58 60

66

66

(18)

23 Hasil tangkapan aktual dan produksi lestari Gompertz ikan pelagis kecil ... 24 Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual ikan pelagis kecil ... 25 Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz ikan pelagis kecil ... 26 Perkembangan biaya penangkapan per trip untuk alat tangkap tonda

dan pukat cincin ... 27 Biomas dan hasil tangkapan optimal ikan pelagis besar pada discount rate

15% dan 5.66 %... 28 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis besar pada kondisi aktual,

lestari dan optimal ... 29 Biomas dan hasil tangkapan optimal ikan pelagis kecil pada discount rate

15% dan 5.66 %... 30 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil pada kondisi aktual, lestari

dan optimal ... 31 Rente optimal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar... 32 Rente optimal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil... 33 Perkembangan nilai koefisien degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan pelagis kecil... 34 Perbandingan laju degradasi dengan hasil tangkapan aktual ikan pelagis

besar...……… 35 Perbandingan laju degradasi dengan hasil tangkapan aktual ikan pelagis

kecil... ……… 36 Perbandingan laju degradasi dengan effort ikan pelagis besar... 37 Perbandingan laju degradasi dengan effort ikan pelagis kecil... 38 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar

pada discount rate 15% dan 5.66%………... 39 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar

pada discount rate 15%... 40 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar

pada discount rate 5.66%... 41 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar

pada discount rate 15% dan 5.66%... 77 78 79

80

82

84

85

87 87 89

91

91

92 92 93

94

95

95

(19)

42 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 15%...

43 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 5.66%... 44 Rezim pengelolaan biomas ikan pelagis besar... ... 45 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis

besar... ... 46 Rezim pengelolaan biomas ikan pelagis kecil... ... 47 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis

kecil... 48 Perkembangan surplus produsen untuk pemanfaatan sumberdaya ikan

pelagis besar dan kecil... 49 Perbandingan surplus produsen dan rente aktual pelagis besar... 50 Perbandingan surplus produsen dan rente aktual pelagis kecil... 51 Trajektori skor efisiensi DEA ikan pelagis besar ... 52 Trajektori skor efisiensi DEA ikan pelagis kecil ... 53 Perbandingan kapasitas pelagis besar pada kondisi aktual dan optimal ... 54 Perbandingan kapasitas pelagis kecil pada kondisi aktual dan optimal ... 55 Hubungan efisiensi dengan kelebihan kapasitas input ikan pelagis besar... 56 Hubungan efisiensi dengan kelebihan kapasitas input ikan pelagis kecil ... 57 Nilai kelebihan kapasitas sepanjang periode pengamatan dibandingkan

dengan rata-rata nilai kelebihan kapasitas untuk ikan pelagis besar... 58 Nilai kelebihan kapasitas sepanjang periode pengamatan dibandingkan

dengan rata-rata nilai kelebihan kapasitas untuk ikan pelagis kecil... 59 Trajektori skor efisiensi moneter ikan pelagis besar ... 60 Trajektori skor efisiensi moneter ikan pelagis kecil ... 61 Distribusi efisiensi kapal pukat cincin ... 62 Potensi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin ... 63 Distribusi efisiensi kapal tonda ... 64 Potensi perbaikan efisiensi kapal tonda ...

97

98 99

99 101

101

103 104 104 106 106 108 108 109 109

111

(20)

65 Distribusi efisiensi perahu motor tempel payang ……… 66 Potensi perbaikan efisiensi perahu motor tempel payang ... 67 Distribusi efisiensi kapal bagan ………. 68 Potensi perbaikan efisiensi kapal bagan ... 69 Pengaruh pajak per unit upaya terhadap keseimbangan akses terbuka...

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Disagregasi hasil tangkapan ikan pelagis besar ………...

2 Standardisasi effort (trip) penangkapan ikan pelagis besar …...

3 Disagregasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil ………

4 Analisis CYP ikan pelagis besar………

5 Analisis CYP ikan pelagis kecil ………...

6 Output Maple untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar ...

7 Rezim pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil ...

8 Potensi perbaikan efisiensi fisik dari DMU penangkapan pelagis besar ...

9 Potensi perbaikan efisiensi fisik dari DMU penangkapan pelagis kecil ...

10 Potensi perbaikan efisiensi moneter dari DMU penangkapan pelagis besar

11 Potensi perbaikan efisiensi moneter dari DMU penangkapan pelagis kecil

12 Efisiensi teknis pendekatan input kapal tonda ...

13 Ukuran kapasitas dan kapasitas optimal kapal tonda ...

14 Efisiensi kapal tonda dengan memasukkan nilai moneter ...

15 Efisiensi teknis pendekatan input perahu motor tempel payang ...

16 Efisiensi perahu motor tempel payang dengan memasukkan nilai moneter ..

17 Efisiensi teknis pendekatan input kapal motor bagan ...

18 GAMS output untuk analisis DEA perikanan pelagis besar …...

19 GAMS Output untuk efisiensi teknis input kapal pukat cincin …………...

(22)

1.1 Latar Belakang

Potensi sumberdaya kelautan di Indonesia selama ini telah dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas perekonomian, dimana salah satunya adalah dalam usaha perikanan tangkap. Perikanan tangkap itu sendiri merupakan aktivitas perekonomian yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Hal ini berkaitan dengan kondisi sumberdaya laut dan ikan itu sendiri yang sering dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources).

Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat secara ekonomi kepada pelaku usaha akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan ini juga memberikan dampak eksternalitas baik positif maupun negatif. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources (sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan.

Program pembangunan perikanan yang dilaksanakan pada tahap pembangunan sebelumnya hanya mengejar keuntungan ekonomi semata dan mengabaikan kelestarian lingkungan sehingga menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan lautan seperti: degradasi lingkungan, pencemaran, kelangkaan sumberdaya, tangkap lebih (overfishing) dan sebagainya. Dalam rangka mengurangi dampak negatif dari kegiatan pembangunan maka pembangunan yang dilakukan saat ini adalah pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang secara ekologis lestari (ramah lingkungan), secara teknologi tepat guna, secara ekonomi efisien dan layak, secara sosial bisa diterima/berkeadilan sehingga kebutuhan generasi mendatang tetap dapat dipertahankan (Dahuri 2003). Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak ditemui aktivitas pemanfaatan yang bertentangan dengan prinsip berkelanjutan.

(23)

ikan di dunia sudah dimanfaatkan secara penuh (fully exploited), 19% dieksploitasi secara berlebihan (overexploited) dan 9% diantaranya sudah terkuras (depleted). Dengan demikian, 75% sumberdaya ikan global sudah dalam kondisi kritis. Mace (1996) mengidentifikasi bahwa kapasitas lebih (overcapacity) merupakan problem kunci yang menyebabkan permasalahan dalam perikanan tangkap.

Konsep kapasitas perikanan merupakan suatu ukuran untuk mengetahui apakah perikanan dalam kondisi efisien atau tidak. Definisi umum dari kapasitas perikanan adalah stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis pada waktu dan kondisi pasar tertentu (Kirkley & Squires 1998). Sedangkan Johansen (1968) mendefinisikan kapasitas dari sudut pandang ekonomi dan teknologi sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi.

1.2 Perumusan Masalah

Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang cukup besar, memiliki garis pantai sepanjang 375 km mulai dari Kabupaten Pasaman sampai ke Pesisir Selatan dan bila dimasukkan garis pantai di Kabupaten Kepulauan Mentawai maka panjang garis pantainya mencapai 2 420 km, sedangkan luas laut termasuk ZEE adalah seluas 186 580 km2. Kawasan perairan pantai Sumatera Barat meliputi 7 (tujuh) daerah kabupaten dan Kota yaitu Pasaman Barat, Agam, Pariaman, Padang Pariaman, Padang dan Pesisir Selatan serta Kepulauan Mentawai.

(24)

sebanyak 34 020 orang yang terdiri atas 24 287 orang (74%) nelayan tetap dan sisanya sebanyak 9 733 orang sebagai nelayan musiman. Jumlah perahu penangkapan ikan sebanyak 6 897 unit terdiri atas 4 005 unit (57%) perahu tanpa motor, 1 551 unit (24.30%) perahu motor tempel dan 1 341 unit (17.90%) kapal motor (DKP Sumbar 2005).

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan antara lain: jaring insang (gillnet) pukat kantong (purse seine), bagan dan pancing tonda. Jenis ikan laut yang tertangkap didominasi oleh ikan pelagis (90%) seperti: tuna, cakalang, tongkol, layang, selar, teri, tembang, kembung, tenggiri, serta beberapa jenis ikan demersal dan ikan karang seperti: ikan kuwe, kerapu, kakap bawal serta udang seperti: lobster, udang kelong dan udang windu.

Walaupun tingkat penangkapan masih berada di bawah potensi lestari yang ada, untuk beberapa jenis ikan tingkat penangkapannya hampir mendekati potensi lestari seperti ikan pelagis kecil dan beberapa jenis ikan karang (Diskan Sumbar 1999). Hasil penelitian Puslitbang Perikanan Universitas Bung Hatta tahun 1995 menyatakan bahwa ikan teri yang tertangkap ukurannya semakin kecil dan hasil tangkapan per unit upaya juga semakin kecil. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Merta et al. (1998) yang menyatakan bahwa perikanan pelagis kecil di Sumatera Barat sudah mengalami kelebihan tangkap. Selanjutnya apabila dilihat secara parsial menurut wilayah atau jenis ikan tertentu ternyata ada wilayah penangkapan yang telah mengalami kelebihan tangkap (overfishing) dan kelebihan kapasitas (overcapacity). Hal ini terutama terjadi pada wilayah penangkapan sekitar pantai.

(25)

nelayan dan pembangunan yang berkelanjutan tetap dapat diwujudkan. Berdasarkan kondisi di atas timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimana kondisi sumberdaya perikanan pada wilayah penelitian ditinjau dari sisi biologi dan ekonomi (bioekonomi)?

2) Sejauhmana tingkat efisiensi di wilayah penelitian?

3) Seberapa besar ekstraksi sumberdaya ikan memberikan dapak kesejahteraan kepada pelaku usaha perikanan?

4) Bagaimana kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang menjamin keberlanjutan usaha perikanan tangkap?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pemanfaatan dan merekomendasikan kebijakan perikanan tangkap yang berkelanjutan pada wilayah penelitian.

secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1) Melakukan analisis komparatif pemanfaatan sumberdaya ikan secara bioekonomi dan empiris (aktual).

2) Menentukan tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan dalam kaitannya dengan kapasitas perikanan.

3) Menganalisis dampak kapasitas perikanan terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan.

4) Menganalisis kapasitas perikanan baik antar waktu maupun antar alat tangkap dan dampaknya terhadap pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

1.4 Hipotesis Penelitian

1) Ekstraksi sumberdaya perikanan pelagis tidak efisien secara bioekonomi. 2) Telah terjadi degradasi dan depresiasi akibat adanya ekstraksi

sumberdaya ikan.

(26)

1.5 Kegunaan Penelitian

1) Diperolehnya informasi tentang kondisi perikanan tangkap di Propinsi Sumatera Barat.

2) Sebagai salah satu bahan acuan bagi Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat dalam merumuskan kebijakan pengembangan perikanan tangkap secara berkelanjutan.

1.6 Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia, sebagai sumber utama pangan, penyedia lapangan kerja, sumber penerimaan dan devisa negara serta manfaat ekonomi bagi pelaku usaha perikanan. Akan tetapi dengan adanya pemanfaatan ini juga memberikan dampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya ikan, telah terjadi kecenderungan penurunan stok sumberdaya ikan yang dicirikan dengan turunnya produksi per unit input.

Sumberdaya perikanan bersifat quasi open access yang menyebabkan sulitnya pengendalian input. Akses terhadap sumberdaya yang tidak dibatasi mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien serta berdampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan seperti kelebihan tangkap (overfishing), overcapacity, kepunahan, depresiasi dan degradasi. Berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan pada akhirnya juga akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan pelaku usaha perikanan sebagai akibat biaya eksploitasi yang semakin meningkat, produksi yang semakin menurun dan pada akhirnya menurunnya manfaat/keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan.

(27)
(28)
(29)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan laut

Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (2001) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6.41 juta ton per tahun yang antara terdiri dari ikan pelagis 4.77 juta ton, ikan demersal 1.37 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid 94.80 ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi 28.25 ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan tangkap Tahun 2005, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2004 adalah sebesar 4 506 060 ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 70.36%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Samudera Hindia seperti pada Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan di Samudera Hindia ini secara keseluruhan masih berada di bawah potensi lestari tetapi ada beberapa sumberdaya ikan yang sudah melebihi potensi lestari yaitu ikan karang dan cumi-cumi.

Tabel 1 Potensi lestari sumberdaya ikan dan tingkat pemanfaatan di Samudera Hindia

No. Sumberdaya ikan Potensi (103ton/tahun)

Produksi (103ton/tahun)

Tingkat Pemanfaatan

(%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Ikan pelagis besar Ikan pelagis kecil Ikan demersal Ikan karang Udang penaeid Lobster

Cumi-cumi

386.26 526.57 135.13 12.88 10.70 1.60 3.75

188.28 264.56 134.83 19.42 10.24 0.16 6.29

48.74 50.21 99.78 >100 95.70 10.00 >100

Jumlah 1.076.80 623.78 57.92

(30)

Walaupun secara keseluruhan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia masih berada di bawah potensi lestari yang ada, akan tetapi pada beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing), seperti untuk jenis ikan karang dan udang penaeid. Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi produksi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia dibagi berdasarkan 9 wilayah pengelolaan perikanan yaitu: wilayah I Selat Malaka, wilayah II Laut Cina Selatan, wilayah III Laut Jawa, wilayah IV Selat Makassar dan Laut Flores, wilayah V Laut Banda, wilayah VI Laut Seram sampai Teluk Tomini, wilayah VII Laut Sulawesi dan Samudera Fasifik, wilayah VIII Laut Arafura dan wilayah IX Samudera Hindia. Dari 9 wilayah pengelolaan perikanan ini daerah yang telah mengalami tangkap lebih adalah: Laut Jawa, perairan Selat Malaka, perairan Selat Makassar, sedangkan perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini masih memiliki potensi yang tinggi dengan tingkat pemanfaatan yang masih rendah (Aziz et al. 1998)

Menurut Dahuri (2003) terjadinya fenomena tangkap lebih disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya ikan laut yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan para nelayan, pengusaha perikanan, dan pejabat pemerintah. Kekeliruan pertama adalah mereka menganggap bahwa karena ikan adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite). Selain itu, sumberdaya ikan laut dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources), sehingga berlaku rejim

open access dalam pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja dapat mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka rejim (pola) pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim

open access menjadi perikanan tangkap yang bertanggung jawab seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan yang bertanggung jawab atau Code Conduct of Responsible Fisheries.

(31)

penangkapan (control of the catch) yang salah satu tekniknya adalah dengan menerapkan kuota penangkapan ikan sesuai dengan potensi lestari stok ikan dalam suatu wilayah perikanan, 2) pengendalian upaya tangkap dan kapasitas penangkapan (control of fishing capacity and fishing effort), dan 3) pengendalian secara tidak langsung melalui pengenaan pajak terhadap upaya tangkap atau hasil tangkapan.

Selanjutnya Dahuri (2003) menyatakan bahwa pengendalian upaya tangkap dan kapasitas penangkapan dapat dilakukan dengan cara memberikan izin penangkapan ikan (fishing licence) pada setiap kapal ikan. Izin penangkapan ikan diberikan untuk jangka pendek (satu tahun) dan jangka panjang (selama umur teknis/pakai kapal ikan). Pelaku usaha perikanan cenderung untuk memaksimalkan hasil tangkapannya untuk memperoleh rente yang sebesar-besarnya karena mereka tidak perlu membayar untuk menangkap ikan, dengan pengenaan pajak terhadap usaha penangkapan ikan secara tidak langsung akan mengendalikan tingkat upaya ikan agar tidak melebihi potensi lestarinya.

Fauzi (2002) menyatakan bahwa alternatif lain selain ketiga kebijakan konvensional di atas yang dalam penerapannya memiliki kelebihan dan kelemahan terutama pada perikanan yang bersifat multi spesies dan multi gear adalah dengan penerapan user fee atau fishing fee. Ada beberapa hal yang menjadikan user fee ini lebih menguntungkan (favourable) yaitu: Pertama, prinsip netralitas yang didasarkan pada pemikiran bahwa resource rent tax atau pajak rente sumberdaya tidak mempengaruhi penggunaan faktor produksi, user fee ini tidak akan membuat distorsi pada pasar karena fishing fee yang didasarkan dari perhitungan resource rent tax sudah memperhitungkan seluruh aspek sumberdaya baik biologi maupun ekonomi dari pelaku perikanan. Kedua, aspek kesetaraan (equity) dan keadilan (fairness), dimana fishing fee merupakan kontrak sosial antara pelaku perikanan dengan pemerintah sebagai wakil publik atas kepemilikan sumberdaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga merupakan penjabaran lebih nyata dari user fee principle atau prinsip biaya pengguna. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang memperoleh manfaat atas pemanfaatan sumberdaya perikanan (pelaku perikanan) membayar biaya

(32)

perubahan dalam teknologi atau sistem pengelolaan perikanan maka fishing fee

jauh lebih adaptable dibanding kuota. Keempat, aspek co-existence yakni share

atas pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pihak ketiga (kapal dari daerah lain atau kapal asing).

2.2 Usaha Perikanan tangkap

Dalam pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan laut sebagian besar dilakukan melalui usaha perikanan tangkap. Perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Monintja 1994). Menurut UU No.9 tahun 1985 penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan pada perairan yang dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan alat tangkap atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan.

Dalam melakukan usaha perikanan tangkap diperlukan beberapa sarana penangkapan berupa input atau dalam perikanan disebut effort yang terdiri dari alat tangkap, tenaga kerja, kapal dan lain-lain. Berdasarkan skala usaha yang ada atau investasi yang dibutuhkan, perikanan tangkap di Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu skala kecil, menengah dan skala besar. Perikanan tangkap skala kecil adalah perikanan yang dalam usaha penangkapan ikan tidak menggunakan perahu, perahu tanpa motor dan perahu yang memiliki mesin diluar (outboard) atau perahu motor tempel. Perikanan skala menengah menggunakan kapal motor (inboard engine) dan kapal yang berukuran menengah, sedangkan usaha perikanan tangkap skala besar diusahakan oleh perusahaan, memiliki fasilitas penangkapan yang lengkap, kapal motor dengan mesin yang memiliki daya yang besar serta ukuran kapal yang besar. Pada usaha perikanan tangkap skala besar ini, pemilik usaha juga melengkapinya dengan berbagai fasilitas penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan (Bailey

etal. 1987).

(33)

motor tempel sebanyak 146 270 buah (31.14%) dan kapal motor sebanyak 123 440 buah (26.28%) seperti terlihat pada Gambar 2 di bawah ini. Selanjutnya dari 123 440 buah (26.28%) kapal motor sebagian besar masih didominasi oleh perahu/kapal motor di bawah 5 GT dan antara 5 – 10 GT yaitu masing-masing sebanyak 79 180 buah (64.14%) dan 24.060 buah (19.49%) yang dapat dikatagorikan ke dalam usaha skala menengah, sedangkan kapal yang berukuran di atas 200 GT hanya sebanyak 670 buah (0.54%).

perahu tanpa motor 42.58%

perahu motor tempel 31.14% kapal motor

26.28%

Gambar 2 Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut di Indonesia tahun 2004.

(Sumber: Ditjenkan Tangkap DKP 2005)

2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis

Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup di lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lain. Ikan-ikan ini bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu (stream line), perenang cepat dan mempunyai sifat hidup yang bergerombol.

(34)

besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat, 2) Ikan pelagis kecil yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 5 – 50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masing-masing mencapai lebih dari 100 000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger sp.), layang (Decapterus sp.), jenis-jenis selar (Selaroides

sp. dan Atale sp.), lemuru (Sardinella sp.) dan teri (Stolephorus sp.).

2.3.1 Ikan pelagis besar

Beberapa jenis ikan pelagis besar yang secara ekonomi dimanfaatkan antara lain adalah:

Ikan tuna (Thunnus albacares)

Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi

Famili: Scombridae

Genus: Auxis, Thunnus, Katsuwonus, Euthynnus Ada 4 jenis ikan tuna yang banyak ditemukan di perairan Indonesia yaitu madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii). Ikan madidihang mendominasi di semua perairan Indonesia kecuali di Selatan Jawa, Selatan Bali dan Nusa Tenggara. Ikan madidihang bersifat epipelagis dan oseanis yang menyukai perairan di atas dan di bawah lapisan termoklin. Suhu air yang sesuai bagi madidihang berkisar antara 18- 310C. Tuna mata besar banyak terdapat di Selatan Jawa, Selatan Bali-Nusa Tenggara dan Barat Sumatera serta laut Banda dan Arafuru. Sifat hidup tuna mata besar ini berhubungan erat dengan lapisan termoklin atau daerah renangnya berada pada lapisan tersebut. Tuna mata besar bersifat epipelagis, mesopelagis dan oseanis, terdapat pada kedalaman laut mulai dari permukaan hingga 250 meter (Uktolseja

(35)

Ikan albakora banyak ditemukan pada perairan yang suhu airnya dingin dan berkisar antara 15.6 – 19.40C, akan tetapi ukuran albakora yang besar kisaran suhu air yang dissukai antara 13.5 – 25.20C. Albakora dapat tertangkap di perairan Indonesia terutama dimana terdapat massa air karena sifatnya beruaya bersama atau di dalam massa air tersebut. Lebih besar pengaruh massa air terhadap ruayanya dibandingkan dengan pengaruh suhu atau kadar oksigen perairan. Selain itu sesuai dengan kisaran suhu perairan keberadaannya, maka albakora juga dapat tertangkap di air lapisan termoklin. Di perairan Indonesia paling banyak ditemukan di perairan Selatan Bali-Nusatenggara, Laut Flores-Selat Makasar dan Selatan Jawa. Selanjutnya tuna sirip biru selatan hanya tertangkap di perairan Selatan jawa dan Selatan Bali Nusa Tenggara (Uktolseja etal. 1998).

Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Perciformes

Famili: Scombridae

Genus: Katsuwonus

Ikan Cakalang bersifat epipelagis dan oseanis, peruaya jarak jauh, dan suhu air yang disenanginya berkisar antara 14.7 – 300 C. Cakalang menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau air yang umumnya terdapat banyak pulau. Selain itu Cakalang juga menyukai batas perairan dimana terjadi pertemuan antara masa air panas dan dingin, penaikan air dan parameter hidrografi dimana terdapat percampuran yang tidak tetap. Penyebaran vertikal, mulai dari permukaan sampai kedalaman 260 meter pada siang hari, sedangkan pada malam hari akan menuju permukaan. Sebaran geografis terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang selatan. Cakalang selalu terdapat dalam kelompok/gerombolan yang besar. Di Indonesia penyebaran ikan Cakalang hampir di semua wilayah perairan Indonesia dimana potensi tertinggi terdapat di Laut Sulawesi-Utara Irian Jaya dan Barat Sumatera (Uktoselja et al.

(36)

Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi

Famili: Scombridae

Genus: Auxis, Euthynnus

Ikan tongkol termasuk golongan ikan epipelagik dengan kisaran suhu 18 – 310 C. Ikan tongkol ini ditemui hampir di seluluh perairan Indonesia. Untuk Samudera Pasifik potensi tertinggi terdapat di laut Sulawesi-Utara Irian Jaya sedangkan untuk Samudera Hindia potensi tertinggi terdapat di Barat Sumatera dan Selatan Bali-Nusatenggara. Umumnya tingkat pengusahaan ikan tongkol baik di Samudera Pasifik maupun di Samudera Hindia telah berada pada tahap berkembang sebesar 52.50% dan 58.10% (Uktolseja et al. 1998).

Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson)

Klasifikasi ikan tenggiri menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi

Famili: Scombridae

Genus: Scomberomorus

Genus: Scomberomorus commerson

Scomberomorus guttatus

Scomberomorus lineolatus

(37)

(Uktolseja et al. 1998). Penyebaran ikan tenggiri cukup luas mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dan Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, perairan Australia dan perairan Fiji ke utara sampai ke perairan China dan Jepang.

2.3.2 Ikan pelagis kecil

Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan perairannya (Merta et al. 1998).

Beberapa jenis ikan pelagis kecil yang banyak ditangkap di perairan Indonesia termasuk perairan Sumatera Barat antara lain adalah:

Ikan kembung (Rastrelliger spp.)

Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi

Famili: Scombridae

Genus: Rastrelliger

Spesies: Rastrelliger brachysoma (Bleeker) Rastrelliger kanagurta

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 320/00, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 1993). Daerah penyebaran ikan kembung mulai dari pulau Sumatera bagian barat dan timur, pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa Tenggara, perairan barat, timur dan selatan kalimantan, Malaka, Sulawesi bagian utara dan selatan, Maluku dan Irian Jaya (Ditjenkan Deptan 1997).

(38)

Ikan Layang (Decapterus spp.)

Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi

Famili: Carangidae

Genus: Decapterus

Spesies: Decapterus russeli (Ruppell)

Decapterus maerosoma (Bleeker) Decapterus maruadsi (Tamminck dan Sengel)

Ikan layang (Decapterus spp.) hidup pada perairan dengan variasi salinitas yang sempit (stenohaline) dengan salinitas berkisar antara 31 – 330/00. Makanan utamanya adalah zooplankton, meskipun kadang-kadang juga makan ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp.) dan japuh (Dussumteria acuta). Ada lima jenis ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni Decapterus russeli, Decapterus maerosoma, Decapterus maruadsi, Decapterus lajang dan Decapterus kurroides. Akan tetapi dari kelima jenis yang ada, hanya Decapterus russeli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan pulau Masalembo. Decapterus maerosoma banyak dijumpai di selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu.

Decapterus lajang menyukai perairan yang dangkal seperti di Laut Jawa (termasuk selat Sunda, selat Madura dan selat Bali), selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di Laut Banda. Ikan ini dapat tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji 1993).

Ikan Selar (Selaroides spp.)

Klasifikasi ikan selar menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi

Famili: Carangidae

Genus: Caranx

(39)

Jenis ikan selar (Selaroides spp.) yang tertangkap di perairan Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia adalah selar bentong (Selar crumenophthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis) (Nontji 1993). Kedua jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil, hidup secara bergerombol, dan umumnya di sekitar perairan pantai yang dangkal, khusus untuk selar bentong (Selar crumenophthalmus) hidup sampai kedalaman 80 meter.

Ikan Tembang (Sardinella sp.)

Daerah penyebaran ikan tembang meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke utara sampai ke Taiwan dan ke selatan sampai ke ujung utara Australia dan ke barat sampai laut Merah (Ditjenkan Deptan 1997).

Klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Malocopterigii

Famili: Clupeidae

Genus: Sardinella

Spesies: Sardinella fibriata (V)

Ikan Teri (Stolephorus spp.)

Klasifikasi ikan teri menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Malocopterigii

Famili: Clupeidae

Genus: Stolephorus

Spesies: Stolephorus spp.

(40)

memakan berbagai jenis plankton, walaupun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap spesies. Pada ukuran 40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton yang berukuran besar (Nontji 1993).

Ikan Lemuru (Sardinella longiceps).

Klasifikasi ikan lemuru menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Malocopterigii

Famili: Clupeidae

Genus: Sardinella

Spesies: Sardinella longiceps

Ikan-ikan lemuru yang tertangkap di perairan Indonesia terdiri dari beberapa jenis yang di dalam Statistik Perikanan Indonesia digabung menjadi satu dengan nama lemuru. Jenis-jenis tersebut adalah Sardinella longiceps/sardinella lemuru, Sardinella aurita, Sardinella leoigaster dan

Sardinellla elupeoides. Sebaran geografik ikan lemuru mulai dari utara Kalimantan sampai Filipina, India sampai ke pantai timur Afrika. Lemuru juga terdapat di Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Australia. Di Indonesia didapat dalam jumlah besar di selat Bali sampai Nusa Tenggara Timur. Gerombolan lemuru pada siang hari berada pada lapisan kedalaman 40m – 80m, dan berenang ke atas saat malam hari sampai saat matahari akan terbit lagi. Pada saat bulan purnama terlihat bahwa gerombolan ikan lemuru terpencar di permukaan atau berada tetap di bawah (Dwiponggo 1982).

2.4 Perikanan yang berkelanjutan (Sustainable fisheries)

(41)

sumberdaya ikan itu sendiri. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan hendaknya diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan dimulai pada awal tahun 1990-an yang merupakan proses dari terjadinya beberapa perubahan yang menyangkut (Fauzi & Anna 2002a):

1) Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder

sebagai akibat Rio Summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.

2) Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy,

tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekwensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi, namun juga konsekwensi sosial dan ekonomi.

3) Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut diperlukan pandangan yang lebih luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan.

The World Commission on Environment and Development (WCED) (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Monintja (1997) perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai usaha penangkapan ikan yang perlu memiliki beberapa persyaratan khusus antara lain:

1) Produk-produk dapat diterima oleh masyarakat konsumen (marketable). 2) Usaha penangkapan menunjukkan keragaman yang menguntungkan

(profitable).

3) Usaha penangkapan tidak mengganggu habitat serta kegiatan-kegiatan sub sektor lainnya (environmental friendly).

4) Usaha penangkapan akan dapat berjalan terus menerus tanpa mengganggu kelestarian spesies sasaran (sustainable).

(42)

pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang.

Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial, jadi suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan (Gambar 3). Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Dengan demikian jelas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanya bisa dilaksanakan apabila pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkena dampaknya.

Ecological Economic Integrity Stability

Careful Development Use Evaluation

Education

Communities Social Fairness

Sustainability Triangle

(43)

Selanjutnya Charles (2001) menyatakan keberlanjutan selain terdiri dari aspek ekologi, dan sosial ekonomi juga ada aspek masyarakat dan kelembagaan dengan rincian sebagai berikut:

1) Ecologicall sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama.

2) Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu . Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam kerangka keberlanjutan.

3) Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.

Dengan demikian jika setiap komponen dilihat sebagai komponen yang penting untuk menunjang keseluruhan proses pembangunan berkesinambungan, maka kebijakan pembangunan perikanan yang berkesinambungan haruslah mampu memelihara tingkat yang reasonable dari setiap komponen sustainable

tersebut. Dengan kata lain keberlanjutan sistem akan menurun melalui kebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapai satu elemen keberlanjutan saja (Fauzi & Anna 2002a).

2.5 Kapasitas Perikanan

(44)

keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi. Salz (1994) yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2002c) menyatakan bahwa kapasitas perikanan adalah sejumlah ikan yang dapat ditangkap oleh kapal tertentu atau alat tangkap tertentu per tahun, tergantung dari produktivitas per unit waktu tangkap (misalnya CPUE per jam) dan jumlah unit waktu tangkap (misalnya jam melaut per tahun). Menurut FAO (1998) kapasitas perikanan merupakan jumlah maksimum ikan pada periode waktu tertentu (tahun, musim) yang dapat diproduksi oleh armada perikanan jika digunakan secara penuh dengan biomassa tertentu. Selanjutnya Kirkley dan Squires (1998) mendefinisikan kapasitas perikanan sebagai stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis pada waktu dan kondisi pasar tertentu.

Stok kapital itu sendiri pada dasarnya dapat berupa kapital itu sendiri maupun sumberdaya manusia. Pada perikanan tangkap kapital merupakan fungsi dari spesifikasi kapal, alat tangkap dan lain-lain sedangkan sumberdaya manusia dapat berupa jumlah awak kapal dan kemampuan/keahlian. Stok kapital ini merupakan manifestasi dari upaya (effort) yang diukur dari jumlah melaut (trip) atau jumlah hari melaut (dayfished). Jadi lebih lanjut Kirkley dan Squires (1999) juga mendefinisikan kapasitas perikanan tangkap sebagai tingkat upaya yang memungkinkan, kapasitas upaya, upaya potensial maksimum dan kapasitas potensial perikanan.

Kapasitas perikanan telah menjadi pembicaraan utama pada masyarakat perikanan internasional. Hal ini disebabkan banyaknya terjadi kelebihan kapasitas (overcapacity) pada perikanan dunia yang dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan atau krisis perikanan global. Untuk itu FAO

(45)

Mengingat sangat krusialnya masalah kelebihan kapasitas FAO pada tahun 1999 mengeluarkan Internasional Plan of Action for the management of fishing capacity (IPAMF). Mandat yang dikeluarkan oleh IPAMF adalah menyerukan kepada seluruh negara untuk mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, equitable, transparan pada tahun 2005 (Fauzi 2005).

Menurut Fauzi (2005), kelebihan kapasitas di sektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah. Pertama, adalah tidak sehatnya kinerja sektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumberdaya dan lingkungan menjadi lebih persisten. Kedua, kelebihan kapasitas juga akan menimbulkan tekanan yang intens untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan melewati titik lestarinya agar armada yang ada terus beroperasi, dan pada saat keuntungan usaha semakin menipis dan tersebar pada jumlah armada yang begitu banyak, maka pengurangan armada akan sulit dilakukan secara politis maupun sosial. Ketiga, kelebihan kapasitas juga akan menimbulkan inefisiensi dan memicu economic waste sumberdaya yang ada disamping menimbulkan komplikasi dalam pengelolaan perikanan, terutama dalam situasi akses yang bersifat terbuka (open acsess).

(46)

pengelolaan perikanan (group fishing rights) dan pemberian hak teritorial (territorial use rights).

Kelebihan kapasitas terjadi ketika kapasitas output melebihi yang diinginkan atau tingkat target dari output pada tingkat industri. Perbedaan antara output observasi dan kapasitas output memberikan kelebihan kapasitas pada stok sumberdaya. Tingkat target dari output yang merupakan target kapasitas perikanan adalah jumlah maksimum dari ikan pada periode waktu tertentu (tahun, musim) yang dapat diproduksi oleh armada perikanan jika digunakan secara penuh (Kirkley & Squires 1998).

Melalui pengukuran kapasitas akan diketahui tingkat kapasitas yang digunakan (capacity utilization/CU) yang merepresentasikan proporsi dari kapasitas yang tersedia yang telah digunakan. Dalam pendekatan teknologi-ekonomi yang telah diadopsi oleh FAO, apabila nilai CU sama dengan 1 mengindikasikan bahwa produksi telah full capacity atau tidak dapat ditingkatkan lagi sedangkan apabila nilai CU kurang dari 1 mengindikasikan bahwa perusahaan/unit usaha memiliki potensi untuk meningkatkan produksi tanpa memerlukan pengeluaran untuk pengadaan kapital dan peralatan baru. CU pada umumnya mengacu kepada proporsi dari kapasitas potensial yang digunakan dan diukur sebagai rasio antara output aktual dengan kapasitas output (Kirkley & Squires 1999). Menurut Fare et al. (1989), CU diukur sebagai rasio output technical efficiency (TE) dengan kapasitas output. Rasio ini mengoreksi bias yang dapat muncul karena output aktual kemungkinan diproduksi secara inefisien.

2.6. Data Envelopment Analysis (DEA)

Ada beberapa metode yang digunakan untuk menganalisis kapasitas perikanan tangkap antara lain: metode “peak to peak” yang diperkenalkan oleh Klein (1960), metode ini cocok digunakan pada data yang bersifat ekstrim, misalnya pada kondisi data yang tersedia hanya data produksi dan jumlah kapal. Selanjutnya “ frontier approach” yang terdiri dari nonparametric frontier dan

stochastic frontier. Metode yang ketiga adalah Data Envelopment Analysis

(47)

ini yang akan digunakan adalah metode DEA sehingga yang akan dibicarakan lebih lanjut adalah Metode DEA.

Penggunaan DEA sebagai alat yang layak (possible) untuk mengukur kapasitas perikanan di dunia telah direkomendasikan oleh Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO) dan International Plan of Action for the Management of Fishing Capacity (Lindebo et al. 2002). DEA merupakan suatu pendekatan matematis yang bersifat non parametrik yang dapat digunakan untuk mengestimasi technical efficiency (TE) relatif, capacity, dan capacity utilization

(CU) dari aktivitas produksi. DEA dapat menentukan solusi optimal (optimisasi) dari sebuah tujuan dengan serangkaian kendala yang ada. Untuk analisis kapasitas perikanan, DEA memiliki kelebihan antara lain: 1) DEA memiliki kemampuan untuk mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu seperti: jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), pajak, distribusi regional atau ukuran kapal, pelarangan penangkapan ikan pada waktu tertentu dan kendala sosial ekonomi lainnya, 2) DEA memiliki kemampuan mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input dan output yang diskret maupun non diskret, 3) DEA dapat menentukan kombinasi dari input variabel, output, faktor tetap dan karakteristik kapal yang memaksimumkan output, meminimumkan input atau penerimaan, biaya dan keuntungan relatif yang optimal (Kirkley & Squires 1998).

Terdapat dua orientasi utama pendekatan DEA yaitu input dan output. Pengukuran yang berdasarkan input dimaksudkan untuk menggambarkan tingkat input relatif yang dapat dikurangi pada tingkat output tertentu seperti jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Pendekatan yang berdasarkan output mengindikasikan bagaimana output dapat ditingkatkan untuk mencapai tingkat fisik maksimal pada tingkat input yang telah ditentukan. Pengukuran yang berdasarkan pendekatan input dan output ini memberikan informasi untuk menilai kapasitas (Kirkley & Squires 1998).

(48)

Max

=

i i io

r r ro

o x v y u v u h ( , )

u,v dengan kendala: , , , 1

ε

ε

≥ ≥ ≤

i i io i i i io

r i i ij

r r rj

x v v x v u x v y u

untuk r = 1, ...,s, dan untuk j = 0,1, …,n,

untuk i = 1, ..., m

keterangan:

rj

y = jumlah output r yang diproduksi oleh DMU j,

ij

x = jumlah input i yang diproduksi oleh DMU j,

r

u

= bobot dari output r,

i

v

= bobot dari input i,

Estimasi rasio memberikan sebuah ukuran efisiensi teknis dari masing-masing desicion making unit (DMU). Akan tetapi terdapat kendala dalam pemecahan persamaan di atas karena berbentuk fraksional sehingga sulit untuk dipecahkan melalui program linear. Dengan cara melalui linearisasi maka persamaan di atas dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga dapat dipecahkan melalui linear programming yang menghasilkan persamaan seperti di bawah ini:

Max ro

r r

o

u

y

w

=

(49)

Selanjutnya Fare et al. (1994) melakukan variasi pengembangan dari pendekatan linear programming untuk model efisiensi, produktivitas dan kapasitas. Model yang dikembangkan oleh Fare et al. antara lain input-oriented technical efficiency, output oriented technical efficiency, dan output oriented capacity.

Golany dan Roll (1989) yang diacu dalam Anna (2003), menyatakan bahwa proses untuk mengaplikasikan model DEA terdiri dari tiga tahapan yaitu: pertama, mendefinisikan dan menyeleksi DMU yang akan dianalisis yaitu seluruh unit yang menjadi bahan pertimbangan harus mewakili tugas sama dengan tujuan yang sama, dan berada pada set kondisi pasar yang sama serta harus menggunakan input yang sama untuk memproduksi jenis output yang sama; kedua, menentukan variabel input dan output yang akan digunakan dalam menganalisis efisiensi relatif dari DMU yang terpilih; dan ketiga, mengaplikasikan salah satu model DEA dan menganalisis hasilnya.

2.7 Optimasi Pe

Gambar

Gambar 6  Solusi Maximum Economic Yield (MEY).
Gambar 7  Peta lokasi penelitian.
Gambar 8  Pemetaan proses penelitian.
Tabel 4  Jumlah nelayan di wilayah Kabupaten/Kota Pesisir                                 Provinsi Sumatera Barat tahun 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat kebutuhan di SMA Kemala Bhayangkari 1 Kubu Raya di bidang pelayanan Bimbingan Konseling maka dirancang sebuah sistem informasi yang diharapkan bisa diterapkan dan

Alhamdulillahi robbil’alamin, rasa syukur yang penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan memberikan nikmat, hidayah dan

Sebagai contoh di Kapuas Hulu masih ditemukan penggunaan data yang sudah ked- aluarsa (data 10-15 tahun lalu) yang dipakai untuk dasar melaksanakan program

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang kerangka penilaian kapasitas penyedia perangkat lunak yang akan digunakan memilih penyedia pada proses lelang

Pada prinsipnya, menurut Saeed, apa yang disebut sebagai nilai fundamental adalah nilai-nilai yang sifatnya universal, dan perlu ditekankan bahwa wilayah ini

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keunggulan komparatif potensi sumber daya Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro terletak pada tiga sektor yaitu sektor pertanian,

Bila pada awalnya komputer sejenis yang melakukan pertukaran data, bertambahnya komputer dengan berbagai sistem operasi lain menuntut solusi baru komunikasi yang

Berdasarkan uraian tersebut maka masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: “Apakah elemen ekuitas merek yang terdiri dari kesadaran merek, kesan kualitas,