LIMA VARIETAS PADI SAWAH
SUGIYANTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peran Jerami dan Pupuk Hijau
Crotalaria juncea terhadap Efisiensi dan Kecukupan Hara Lima Varietas Padi Sawah
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2007
SUGIYANTA. The Role of Straw and Green Manure of crotalaria juncea
Incorporation to Nutrient Efficiency and Sufficiency of Five Low Land Rice Varieties. Under direction of FRED RUMAWAS, M.A. CHOZIN, WAHJU QAMARA MUGNISJAH, and MUNIF GHULAMAHDI.
The low of soil organic matter in low land rice field was key problem that caused soil fertility decreased, nutrients imbalance, fertilizer efficiency declined, and high cost agriculture that ended with yield leveling off and rice production not sustain. That conditions need to improving the agronomic practices as returned of crop residual or organic matter applied. Also modern varieties there were extensive used by farmer known as superior on high nutrients available and did not at suboptimum condition. There needed varieties with characters superior at sub optimum nutrients condition as at organic and low external input.
The aimed of this experiment were to studied of nutrients N, P, and K availability at organic and low external inputs and the effects to grow and yield of several rice varieties. This research also objectived to studied agronomy and fisiology characters three type of rice varieties and they respons to organic and low external inputs practices.
The experiment was conducted on three planting from January 2004 until Mart 2005. The location at Kebun Percobaan IPB Babakan Sawah Baru, Bogor with latosol. Straw and crotalaria biomass decomposition experiment was done as supporting experiment. Decomposition experiment conducted at three month. The main experiment was factorial experiment with fertilizer and varieties as each factor. The fertilizer treatment consist of inorganic fertilizer only, straw incorporated with ¼ rate inorganic fertilizer applied, straw incorporated with ½ rate of inorganic fertilizer applied, straw incorporated only, and green manure Crotalaria juncea biomass. Varieties as the seconded factor consist of IR-64 and Way Apoburu (modern varieties), Sarinah and Midun (local varieties), aand Fatmawati (as new plant type variety). Randomized split block design was used. The variables were C-organik, N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S
soil contain; N, P, and K uptake; fisiolgis efficiency nutrient use of N, P, and K, availaibilities of N, P, dan K also growth, yield component and yield of rice .
The result of decomposition experiment showed that dry weight of Crotalaria juncea have decreased 63.5% dan 84% N, 87 % P, and 83 % K have released at the thirdrd month. At the same time, the straw dry weigt have reduced 47.6 % dan also have released 39 % N, 71 % P dan 44 % K.
Until end three planting season, straw incorporated with inorganic fertilizer or not and also green manure not caused C-organic incrased. N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S
over three planting season also not significant deferent among the treatment. Nutrients N uptake more greater at straw and green manure incorporate than inorganic fertilizer only. Availability of nutrient N, P, and K at organic treatments less at the first season and not significant at the third season. Fisiology nutrient used at organic treatment less than inorganic treatment except at straw incorporate with ½ dose of inorganic fertilizer.
SUGIYANTA. Peran Jerami dan Pupuk Hijau Crotalaria juncea terhadap Efisiensi dan Kecukupan Hara Lima Varietas Padi Sawah. Dibimbing oleh: FRED RUMAWAS, M.A. CHOZIN, WAHJU QAMARA MUGNISJAH, and MUNIF GHULAMAHDI.
Beras merupakan bahan pangan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia dan sampai saat ini belum dapat dicukupi oleh produksi dalam negeri. Dalam lima tahun terakhir kesenjangan antara produksi dan konsumsi semakin besar yang disebabkan oleh melandainya peningkatan produktivitas padi sawah dan berkurangnya lahan. Kedataran peningkatan produktivitas diantaranya disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah dan efisiensi pemupukan, ketidakseimbangan hara tanah, serta pertanian biaya tinggi. Kondisi tersebut disebabkan oleh penggunaan pupuk inorganik dosis tinggi tanpa aplikasi bahan organik pada lahan sawah yang dipicu oleh sifat varietas modern yang respons terhadap pemupukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efisiensi dan kecukupan unsur hara N, P, dan K pada aplikasi jerami dan pupuk hijau Crotalaria juncea serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil bebrapa tipe varietas padi sawah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari karakter agronomis dan fisiologis lima varietas padi sawah serta responsnya terhadap aplikasi jerami dan pupuk hijau tersebut.
Penelitian dilaksanakan dalam tiga musim tanam dari bulan Januari 2004 sampai dengan bulan Maret 2005. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan IPB Babakan Sawah Baru, Bogor. Percobaan pendukung adalah dekomposisi jerami dan Crotalaria juncea. Percobaan dilakukan selama tiga bulan dengan media inkubasi lahan sawah dipupuk inorganik, lahan sawah dipupuk organik, dan lahan sawah tanpa pemupukan. Pengamatan dilakukan tiap bulan terhadap tingkat pelapukan (susut bobot kering) dan pelepasan unsur hara. Percobaan utama merupakan percobaan faktorial dengan dua faktor yaitu pupuk dan varietas. Faktor pupuk terdiri atas aplikasi pupuk inorganik (urea, SP-36, dan KCl) dosis rekomendasi, jerami + ¼ dosis pupuk inorganik, jerami + ½ dosis pupuk inorganik, jerami saja, dan pupuk hijau Crotalariajuncea. Adapun faktor varietas meliputi: varietas IR-64 dan Way Apoburu (varietas modern), varietas Sarinah dan Midun (varietas lokal), dan varietas Fatmawati (varietas tipe baru). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan blok terbagi. Pengamatan dilakukan terhadap C-organik, N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S tanah, serapan hara N, P,
dan K, efisiensi fisiologis penggunaan hara N, P, dan K, kecukupan hara N, P, dan K, tinggi tanaman, jumlah anakan, bagan warna daun, bobot kering tajuk dan akar, indeks luas daun, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah/malai, gabah hampa, bobot 1000 butir gabah, indeks panen, hasil gabah/rumpun, dan hasil gabah ubinan.
Pada bulan ketiga, Crotalaria juncea telah melapuk 63.5% dan telah melepas 84% N, 87 % P, dan 83 % K. Jerami pada bulan ketiga baru melapuk 47.6 % dan melenas 39 % N, 71 % P dan 44 % K. Jerami lebih cepat melapuk pada lahan yang dipupuk organik daripada lahan dipupuk inorganik atau tanpa pemupukan, tetapi tidak terdapat perbedaan untuk Crotalaria juncea.
Serapan hara N pada perlakuan pupuk organik baik jerami maupun krotalaria sampai dengan MT-2 lebih rendah daripada pupuk inorganik dan jerami + ½ dosis pupuk inorganik, tetapi pada MT-3 tidak berbeda antarperlakuan pemupukan. Serapan unsur N terus meningkat dari musim kemusim. Kecukupan unsur hara N perlakuan pupuk organik tergolong terbatas hingga MT-2 dan optimum pada MT-3, sedangkan pada pupuk inorganik tergolong terbatas pada MT-1 dan optimum mulai MT-2. Serapan unsur P perlakuan krotalaria dan jerami + pupuk inorganik lebih besar dibandingkan pupuk inorganik atau jerami saja. Serapan unsur P relatif tetap dari musim ke musim. Kecukupan unsur P seluruh perlakuan tergolong optimum dari MT-1. Perlakuan bahan organik jerami baik ditambah pupuk inorganik ataupun tidak serta pupuk hijau krotalaria menghasilkan serapan unsur K lebih tinggi daripada pupuk inorganik. Kondisi tersebut terjadi dari MT-1 hingga MT-3 dan tingkat serapan terus meningkat dari musim ke musim. Kecukupan unsur hara K pada pupuk organik dan pupuk organik + inorganik tergolong berlebih pada MT-1 dan sangat berlebih pada MT-2 dan MT-3, sedangkan pada pupuk inorganik tergolong optimum pada 1 dan sangat berlebih pada 2 dan MT-3. Efisiensi fisiologis penggunaan hara N, P, dan K pada pupuk organik (jerami dan krotalaria) lebih rendah daripada pupuk inorganik pada MT-1 dan MT-2, sedangkan pada MT-3 tidak berbeda. Perlakauan jerami + ½ dosis pupuk inorganik menghasilkan efisiensi fisiologis penggunaan unsur hara N, P, dan K tidak berbeda dengan pupuk inorganik mulai dari MT-1 hingga MT-3. Perlakuan jerami atau krotalaria saja tanpa pupuk inorganik secara umum menghasilkan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil lebih rendah daripa perlakuan pupuk inorganik dan jerami + ½ dosis pupuk inorganik terutama pada MT-1 dan MT-2. Perlakuan jerami + ½ dosis pupuk inorganik menghasilkan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang tidak berbeda dengan pupuk inorganik.
Pada umumnya tidak terdapat respon varietas terhadap perlakuan pemupukan. Oleh karena itu tidak diperoleh varietas yang spesifik untuk masing-masing perlakuan pemupukan. Serapan hara N, P, dan K varietas modern IR-64 dan Way Apoburu lebih rendah jika dibandingkan dengan varietas padi tipe baru Fatmawati, tetapi tingkat efisiensi fisiologis penggunaan unsur hara sebaliknya. Sifat serapan hara dan efisiensi fisiologis penggunaan hara varietas lokal Sarinah seperti varietas tipe baru Fatmawati, sedang varietas lokal Midun seperti varietas modern. Varietas modern memiliki tinggi tanaman yang lebih pendek; jumlah anakan dan anakan produktif yang lebih banyak; panjang malai, gabah/malai, kepadatan malai, bobot 1000 butir, dan persen gabah hampa yang lebih rendah daripada varietas tipe baru Fatmawati. Varietas lokal Midun dan Sarinah termasuk kelompok yang memiliki tinggi tanaman lebih tinggi (seperti padi tipe baru), tetapi anakan dan anakan produktifnya lebih banyak (seperti varietas padi modern). Hasil gabah kering/rumpun varietas modern Way Apoburu dan IR-64 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok varietas tipe baru Fatmawati serta lokal Sarinah dan Midun, tetapi hasil ubinan tidak berbeda antarvarietas yang diteliti.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
LIMA VARIETAS PADI SAWAH
SUGIYANTA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
NIM : A156010021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fred Rumawas, M.Sc. Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin M. Agr. Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah M.Agr. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Penulis dilajirkan di Klaten pada tanggal 15 Januari 1963 sebagai anak ketiga dari
pasangan Winih Wirasumarta dan Dikin Wirasumarta. Pendidikan sarjana ditempuh di
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1987. Pada tahun
1991, penulis diterima di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB dan
menamatkannya pada tahun 1994. Pada tahun 2001 Penulis berkesempatan melanjutkan
ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama dan lulus pada
tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan
Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB sejak tahun 1988 hingga saat ini. Secara khusus
penulis berada di Bagian Produksi Tanaman, dan mengasuh mata kuliah Ilmu Tanaman
Pangan, dan Pasca Panen Tanaman Pertanian. Dua buah artikel yang keduanya
merupakan bagian dari disertasi yang berjudul Studi Pengurangan Dosis Pupuk
Anorganik Pada Budidaya Padi sawah dengan Aplikasi Jerami dan Serapan dan Efisiensi
Fisiologis Penggunaan Hara N, P, dan K Lima Varietas Padi Sawah (Oryza sativa L.)
sedang menunggu untuk diseminarkan di Balai Besar Padi dan menunggu untuk
diterbitkan pada Buletin Agronomi, Departemen Agronomi Fakultas Pertanian, IPB pada
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk
Indonesia (96,87% penduduk) dan merupakan penyumbang lebih dari 65% kebutuhan
kalori (Pranolo 2001). Dalam lima tahun terakhir kesenjangan antara produksi dan
konsumsi beras di Indonesia semakin besar. Peningkatan produksi padi dalam lima
tahun terakhir lebih kecil jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsinya. Pada
kurun lima tahun terakhir (2002-2006) produksi padi hanya meningkat dari 51.5 juta
ton gabah kering giling (GKG) menjadi 54.4 juta ton (GKG), sedangkan konsumsi
padi pada tahun yang sama meningkat dari 52.1 juta ton GKG menjadi 55.4 juta ton
(Badan Pusat Statistik 2007; Pramono 2007). Rendahnya peningkatan produksi padi
disebabkan oleh berkurangnya luas lahan sawah dan kecilnya peningkatan
produktivitas. Luas panen padi sawah terus mengalami penurunan, rata-rata
mencapai 0.5%/tahun. Selama lima tahun terakhir produktivitas padi sawah hanya
mengalami peningkatan antara 0.84% - 1.85% (0.38 ku gabah/ha – 0.81 ku gabah/ha).
Produktivitas padi pada tahun 2002 sebesar 4.469 kg/ha dan pada tahun 2006 hanya
meningkat menjadi sebesar 4.618 kg/ha ( 29 kg gabah/tahun atau 0.7 %/tahun).
Kondisi kesenjangan antara produksi dan konsumsi tersebut menyebabkan kerawanan
pangan nasional. Peningkatan produksi padi sebesar 5 %/tahun merupakan target
pemerintah untuk mengatasi kerawanan pangan tersebut.
Penggunaan varietas modern telah mendorong petani untuk mengaplikasikan
pupuk inorganik dosis tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik. Hal ini
menyebabkan kadar bahan organik tanah menjadi sangat rendah dan menjadi
pembatas untuk mencapai hasil yang tinggi. Menurut Reichardt e al. (2003), fungsi
bahan organik tanah sangat penting karena sebagai kunci mekanistik untuk suplai
unsur hara. Dengan biomas mikrobial yang segmen siklusnya sangat cepat, fase
organik bertindak sebagai biokatalis untuk suplai unsur hara dan pool hara itu sendiri.
Menurut Hesse (1984), dekomposisi bahan organik secara lambat akan melepas CO2
bentuk ikatan P tertentu yang membentuk kompleks senyawa dengan unsur Fe dan
Mn, melepaskan CH4 yang terlibat dalam pengendalian patogen, dan menghasilkan
senyawa asam-asam organik dan zat pengatur tumbuh yang dapat mendorong
pertumbuhan tanaman. Selain itu, penambahan bahan organik tanah akan berfungsi
sebagai penyangga pH tanah, meningkatkan ketersediaan N dan C tanah, serta
menekan nematoda dan senyawa beracun. Eagle et al. (2000) menyatakan bahwa
rendahnya kandungan bahan organik tanah telah menurunkan secara drastis efisiensi
pemupukan. Oleh karena itu, dengan pengaruhnya terhadap bahan organik tanah serta
siklus unsur hara, pengembalian bahan organik ke tanah semakin penting bagi
pertanian yang berkelanjutan.
Untuk tanaman padi sawah, jerami merupakan bahan organik yang paling
potensial ketersediaannya bagi usaha tani padi sawah. Di Indonesia juga di daerah
lain di Asia Tenggara, jerami umumnya dibakar atau diangkut keluar lahan karena
alasan untuk menghilangkan kesulitan waktu pengolahan tanah, mengendalikan hama
penyakit, menghemat tenaga atau untuk pakan ternak, dan memenuhi keperluan lain
(Ponnamperuma 1984). Menurut Lee et al. (2002), jerami padi merupakan bahan
organik yang mudah dan ekonomis untuk dikembalikan ke lahan sawah.
Dekomposisi jerami berjalan cukup cepat pada lahan sawah yang memiliki drainase
sedang dan dilakukan pengolahan tanah intensif. Menurut Cho dan Kobata (2002),
jerami merupakan bahan organik utama bagi padi sawah yang dapat mengikat N
pupuk selama dekomposisi dan melepas kembali secara perlahan. Menurut Meelu
dan Morris (1987), penambahan jerami padi ke lahan juga dapat memperbaiki
kesuburan tanah dan memiliki pengaruh residu bagi musim tanam selanjutnya.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jerami berpotensi
menggantikan (substitusi) pupuk. Pada lahan tanpa pemupukan, aplikasi jerami
dengan dibenamkan di setiap awal musim tanam dapat meningkatkan N yang diserap
tanaman sebesar 19 kg/ha (Eagle et al. 2000). Ponnamperuma (1984) dan Cassman et
al. (1998) menyatakan bahwa karena jerami mengandung sekitar sepertiga dari total
N tanaman, sebagian kebutuhan N tanaman dapat digantikan dengan pengembalian
untuk sementara, hal ini dapat diatasi dengan penambahan pupuk urea (Williams et
al. 1968). Efek residual jerami juga dapat meningkatkan serapan unsur P dan hasil
tanaman padi sawah (Sinha 1971). Jerami mengandung unsur K sekitar 1.1 % -
3.7%. Unsur K pada jerami larut dalam air sehingga pembenaman jerami ke dalam
lahan sawah akan meningkatkan ketersediaan unsur K bagi tanaman padi
(Ponnamperuma 1984). Setelah lima tahun, pembenaman jerami ke tanah sawah
akan membangun kondisi karbon tanah dan ketersediaan unsur hara yang maksimum
(Verma dan Bhagat 1992).
Crotalaria juncea L. (sun hemp) potensial sebagai bahan pupuk hijau. Cook
dan White (1996) menyatakan bahwa penelitian mengenai Crotalaria juncea sebagai
pupuk hijau di Amerika Serikat telah dilakukan sejak tahun 1930. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tumbuhan ini sangat baik untuk memperbaiki tanah,
menghasilkan bahan organik yang tinggi, dapat mengikat N dari udara, dan dapat
berfungsi sebagai nematisida. Wang dan Mcsorly (2003) menyatakan bahwa C.
juncea L. merupakan tanaman yang tumbuhnya cepat, yang potensial untuk
digunakan sebagai pupuk hijau, memperbaiki kandungan bahan organik dan
ketersediaan N tanah, serta dapat menekan gulma dan nematoda. Belakangan legum
ini kurang populer untuk dikembangkan di lahan sawah di Indonesia, tetapi melihat
potensinya beralasan untuk dijadikan alternatif sebagai sumber bahan organik bagi
lahan sawah.
Varietas modern dihasilkan sekitar tahun 1960. Dalam kurun waktu 40 tahun
telah terjadi adaptasi terhadap kondisi suatu lokasi (off type) dari varietas tersebut di
beberapa daerah. Akhir-akhir ini pemulia tanaman juga telah menghasilkan varietas
padi tipe baru untuk memperbaiki hasil padi varietas modern yang dianggap tidak
bisa lagi ditingkatkan. Varietas modern, lokal, dan tipe baru memiliki karakter
fisiologis dan agronomis yang berbeda-beda (Peng et al. 1994). Tanggap suatu
varietas terhadap kesuburan tanah seperti dinyatakan oleh Rajaram et al. (1996),
menunjukkan bahwa galur berdaya hasil tinggi yang diseleksi pada lingkungan
optimum hasilnya akan lebih rendah daripada galur berdaya hasil rendah hasil seleksi
perbedaan kemampuan serapan hara antara varietas modern, varietas adaptasi lokal,
dan varietas padi tipe baru terhadap kondisi kesuburan tanah yang berbeda karena
aplikasi bahan organik dan dosis pupuk inorganik yang berbeda.
Dasar pemikiran penelitian ini berkembang dari beberapa permasalahan, yaitu
(1) keseimbangan dan ketersediaan hara tanah yang terganggu karena rendahnya
bahan organik tanah sebagai akibat tingginya aplikasi pupuk inorganik tanpa
pengembalian bahan organik ke tanah; (2) pupuk menjadi semakin langka dan mahal
bagi usaha tani padi sawah; (3) efisiensi pemupukan yang rendah sehingga
pemupukan tidak lagi nyata meningkatkan hasil; (4) varietas yang berkembang adalah
varietas modern yang beradaptasi pada lingkungan ketersediaan hara tinggi; (5)
berkembangnya issue pertanian organik serta berkelanjutan. Penyelesaian beberapa
permasalahan tersebut memerlukan penelitian yang dapat menjadi dasar praktek budi
daya, terutama berhubungan dengan aplikasi bahan organik untuk meningkatkan
ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan hara bagi tanaman padi sawah. Di
samping itu, diperlukan juga identifikasi respons varietas padi terhadap tingkat
ketersediaan hara tanah. Dengan demikian, hasil penelitian ini bukan saja
memberikan informasi peran bahan organik pada pertumbuhan dan hasil padi sawah,
tetapi juga memilih varietas ataupun jenis bahan organik sebagai dasar
pengembangan pertanian organik ataupun bermasukan luar rendah yang
berkelanjutan. Kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam suatu diagram
alir seperti terlihat pada Gambar 1.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari :
1. ketersediaan dan kecukupan unsur hara N, P, dan K pada perlakuan pupuk
inorganik, pupuk inorganik + jerami, serta aplikasi jerami dan krotalaria bagi
tanaman padi sawah.
2. pengaruh pemupukan inorganik, inorganik + jerami, serta jerami dan pupuk
3. karakteristik fisiologis dan agronomis serta tanggap tiga tipe varietas padi
sawah terhadap perlakuan pupuk inorganik, pupuk inorganik + jerami, serta
aplikasi jerami dan krotalaria saja sehingga dapat memilih tipe varietas yang
sesuai.
Hipotesis
1. Pupuk inorganik saja akan memberikan ketersediaan hara sesaat yang tinggi
tetapi akumulasi hara dalam tanah dan tingkat efisiensinya rendah.
2. Pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan dan efisiensi unsur hara,
pertumbuhan serta hasil tanaman apabila diaplikasikan dengan pupuk
inorganik.
3. Dalam jangka pendek, aplikasi bahan organik saja (jerami dan krotalaria) akan
menyebabkan rendahnya ketersediaan hara, pertumbuhan tanaman, dan hasil
tanaman padi.
4. Varietas modern dan tipe baru lebih sesuai untuk pemupukan inorganik
ataupun aplikasi pupuk inorganik + jerami, sedangkan varietas lokal sesuai
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Varietas Modern Berdaya Hasil Tinggi
Pemupukan Inorganik Dosis Tinggi
Usaha Tani Biaya Tinggi Tidak Ada Aplikasi
Bahan Organik
Ketidak Seimbangan Unsur Hara
• Efisiensi
Pemupukan Rendah
• Kesuburan Tanah Rendah
Kedataran Peningkatan Hasil
dan
Ketidakberlanjutan
Aplikasi Bahan Organik Pemilihan Varietas Beradaptasi
Manajemen Jerami
Pupuk Hijau Pengikat N Bahan Organik
Indigenous
Bahan Organik Indigenous + Pupuk Inorganik Dosis Rendah
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Produksi dan Teknologi Produksi Padi
Perkembangan produksi padi banyak dicermati sejak tahun 1960, saat mulai
berkembangnya teknologi revolusi hijau. Revolusi hijau ditandai dengan
ditemukannya varietas unggul tanaman gandum dan padi, masing-msing oleh
Norman Borlaug dan Peter Jenning bersama Hank Beachell (Dar dan Winslow 2000).
Penemuan varietas berdaya hasil tinggi (high yielding varieties), tahan serangan
organisme pengganggu, dan sangat responsif terhadap pemupukan telah
meningkatkan produksi serealia (padi dan gandum) dunia secara dramatis.
Produksi padi Indonesia meningkat sebesar 109% antara tahun 1960 hingga
1980, yaitu meningkat dari 18,4 juta ton menjadi 38,5 juta ton. Peningkatan produksi
yang sangat besar tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas dan
bukan oleh peningkatan luas tanam. Pada periode tersebut produktivitas rata-rata
meningkat 70,6%, sedangkan luas tanam hanya meningkat 3,5% (Sudjadi et al.
1987). Namun, dua puluh tahun berikutnya (1980 – 2000) produksi padi hanya
meningkat sebesar 35% yaitu dari 38,5 juta ton menjadi 51,9 juta ton (BPS 2002).
Peningkatan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan peningkatan pada dua
puluh tahun sebelumnya disebabkan oleh penerapan teknologi produksi introduksi
yang sudah merata. Produksi padi yang meningkat pesat tersebut telah mampu
membuat Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984.
Dalam perkembangannya produksi padi di Indonesia mengalami beberapa kali
kedataran peningkatan hasil (levelling off), yaitu pada tahun 1975 – 1977, 1986, dan
akhir-akhir ini. Beberapa usaha penerapan teknologi produksi padi telah diterapkan
untuk memacu terus pertumbuhan produksi padi. Introduksi teknologi produksi padi
tersebut dimulai dengan adanya demonstrasi massal pada tahun 1964 dengan
penerapan panca usaha (bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, dan
pengendalian hama dan penyakit) dan lahirnya program Bimas (bimbingan massal)
Pertanian Bogor 1992). Beranjak dari program tersebut produksi padi Indonesia
meningkat hingga 109% selama dua puluh tahun.
Pada tahun 1979 dicanangkan program intensifikasi khusus (Insus) untuk
mengatasi produksi padi yang mengalami kedataran peningkatan hasil pada tahun
1975-1977. Pada prinsipnya program Insus adalah penerapan panca usaha oleh
petani sehamparan secara kelompok untuk memanfaatkan potensi lahan secara
optimal. Pada tahun 1987 diluncurkan program Suprainsus untuk menanggulangi
gejala kedataran peningkatan hasil yang terjadi pada tahun 1986. Dalam suprainsus
pada prinsipnya diintroduksikan rekayasa teknologi dan rekayasa sosial. Rekayasa
teknologi merupakan tambahan dari panca usaha seperti peningkatan populasi
tanaman, penggunaan ZPT/PPC, dan penanganan pascapanen. Rekayasa sosial, di
antaranya, adalah memperluas kerja sama hingga antarkelompok tani (Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor 1992). Keseluruhan teknologi yang
dintroduksikan tersebut merupakan teknologi yang berbasis pada revolusi hijau.
Setelah tahun 2000 teknologi produksi padi dirancang sebagai teknologi yang
menghemat sarana produksi, ramah lingkungan dan sekaligus meningkatkan produksi
padi. Dalam hal ini Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi mengeluarkan paket
teknologi yang disebut sebagai Pengelolaan Tanaman Terpadu. Teknologi tersebut
terdiri dari penggunaan benih bermutu, bibit muda satu bibit per rumpun, penggunaan
bahan organik, penggunaan bagan warna daun, pemupukan P dan K berdasar status
tanah, tanam dengan jarak tanam legowo, dan pengairan secara berkala (Balai
Penelitian Tanaman Padi 2002). Paket teknologi tersebut mengarah pada usaha tani
rasional dengan menekan penggunaan masukan luar seperlunya.
Pola peningkatan produksi padi yang berawal dari revolusi hijau juga terjadi
di negara-negara lain seperti di Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Thailand, dan
Filipina. Pada awalnya (sekitar tahun 1960), umumnya, produksi dan produktivitas
padi rendah dengan penerapan teknologi produksi tradisional. Selanjutnya
produktivitas meningkat cepat dengan penggunaan varietas modern dan dosis
pemupukan NPK yang tinggi. Di Korea Selatan misalnya, sebelum tahun 1930
organik secara tradisional. Pada tahun 1930 mulai diintroduksikan pupuk kimia
(pabrik) dengan dosis rendah (26 kg N, 34 kg P2O5, dan 39 K2O per ha) sehingga
produksi meningkat menjadi 2 ton/ha. Pada tahun 1970 dengan diintroduksikannya
varietas modern (varietas berdaya hasil tinggi) serta rekomendasi pemupukan menjadi
150 kg N/ha, 90 kg P2O5, dan 110 kg K2O per ha, produksi padi meningkat menjadi
4,5 ton/ha. Petani mulai memasukkan mekanisasi pada usaha taninya, penggunaan
input kimia semakin tinggi dan sekitar tahun 1970 tercapai swasembada beras serta
sekitar tahun 1980 Korea Selatan telah surplus beras. Setelah periode ini Korea
Selatan mulai menerapkan pengelolaan tanah dengan memasukkan bahan organik,
menekan penggunaan pupuk inorganik, dan melakukan analisis tanah petani secara
besar-besaran untuk mengelola kesuburan tanah (Yoo dan Jung 1992).
Peran Unsur Hara N, P, dan K pada Tanaman Padi
Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara makro atau diperlukan dalam
jumlah besar oleh tanaman, termasuk padi. Hasil penelitian dari 2000 petani di
China, India, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam antara tahun 1994 hingga
tahun 1997 menunjukkan bahwa total hara yang diambil oleh tanaman padi untuk
setiap ton gabah yang dihasilkan adalah 10-44 kg N, 0,9-9,9 kg P, dan 6-42 kg K.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk produksi padi hara N dan K diperlukan dalam
jumlah yang hampir sama besarnya (Witt et al. 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
pada kondisi pertumbuhan tanaman yang tidak dibatasi oleh suplai air, masalah
gulma, serta infestasi hama dan penyakit, produksi biomas padi sangat ditentukan
oleh suplai unsur hara N. Kebutuhan unsur hara makro lainnya (P dan K) sangat
bergantung pada suplai unsur hara N.
Peran pupuk urea pada produksi padi sawah telah terbukti dalam sejarah
produksi padi di Indonesia. Peningkatan produktivitas padi sawah sebesar 70,6%
pada periode 1967-1980 sejalan dengan peningkatan penggunaan pupuk urea. Pada
saat penggunaan pupuk N masih rendah, setiap peningkatan 1 kg N produktivitas
effisiensi pemupukan N menurun, yaitu menjadi 11,7 kg gabah untuk setiap
penambahan 1 kg N (Sudjadi, Prawirasumantri, dan Wetselaar, 1987).
Pupuk N telah diteliti dan nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif, dan produksi gabah. Dari hasil penelitian terlihat pula bahwa efisiensi
pemupukan N tidak meningkat setelah aplikasi dosis pupuk N mencapai 60 kg N/ha.
Pada dosis pemupukan N 60 kg/ha diperoleh efisiensi pemupukan sebesar 34 kg
gabah/kg N dengan hasil gabah 6,73 ton/ha, tetapi hasil gabah tidak meningkat lagi
walaupun dosis dinaikkan hingga 180 kg N/ha (Tedjasarwana dan Permadi 1991).
Penelitian di beberapa lokasi di Pulau Jawa menunjukkan hasil yang hampir sama,
yaitu pemupukan N sampai dengan dosis 116 kg N/ha meningkatkan hasil gabah.
Meskipun, peningkatan hasil tersebut tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan
dosis pemupukan 87 kg N/ha (Darajat dan Utami 1993). Menurut Witt et al. (1999),
efisiensi hara N pada padi sawah berkisar 23 – 100 kg gabah/kg N.
Pada umumnya unsur hara N diserap padi dalam bentuk amonium (NH4+).
Hasil penelitian Liang (1987) menunjukkan bahwa amonium pada lahan sawah
25-29% diserap oleh tanaman padi, 17-25% tertahan di tanah, dan 50-54% hilang karena
tercuci, menguap, atau terdenitrifikasi. Pada tanah masam diperoleh bahwa recovery
unsur N dari pupuk urea, ZA, dan amonium nitrat masing-masing sebesar 40-59%,
27-40%, dan 24-34%, sedangkan yang hilang dari sistem tanah masing-masing
sebesar 13-40%, 44-54%, dan 51-57%. Pada tanah yang tidak masam tingkat
recovery masing-masing oleh tanaman sebesar 23-38%, 22-25%, dan 17%,
sedangkan kehilangan N dari sistem tanah sebesar 42-52%, 47-48%, dan 70%.
Sumber unsur hara N untuk tanaman padi tidak seluruhnya berasal dari pupuk.
Menurut Yaacub dan Sulaiman (1992), hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa
dari 34-98 kg N/ha yang diambil tanaman padi, 34-56 kg N/ha berasal dari tanah dan
selebihnya baru dari pupuk. Dalam Riceweb (2003) dinyatakan bahwa input N dari
fiksasi biologis pada lahan sawah irigasi sebesar 25-45 kg N/ha untuk setiap siklus
pertanaman padi sawah. Sumbangan N tersebut sudah cukup untuk mendukung
produksi 2-3 ton padi/ha. Namun, untuk memproduksi padi hingga 6 ton gabah/ha
%, diperlukan tambahan pupuk N sekitar 150 kg N/ha. Menurut Ae (1997), di Jepang
suplai N pada lahan sawah beririgasi 34 kg N/ha berasal dari fiksasi N, 29 kg N/ha
dari air irigasi dan 6 kg N/ha berasal dari air hujan.
Unsur hara P pada padi sawah di Indonesia selama ini dipenuhi dengan pupuk
TSP (triple super phosphate) dengan kandungan unsur P sekitar 45% P2O5 dan
akhir-akhir ini diganti dengan SP-36 dengan kandungan P2O5 sebesar 36%. Pelaksanaan
program intensifikasi dari tahun ke tahun telah menyebabkan terakumulasinya unsur
P di sebagian besar lahan sawah di Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1,7
juta ha lahan sawah di Indonesia berstatus akumulasi P2O5 sedang (20-40 mg
P2O5/100 g tanah), 1,5 juta ha tergolong tinggi (>40 mg P2O5/100 g tanah) dan hanya
0,54 juta ha yang tingkat akumulasinya rendah (<20 mg P2O5/100 g) (Syam dan
Hermanto 1995). Menurut Witt et al. (1998), untuk menghasilkan 3 ton gabah
diperlukan sekitar 7,5 kg P/ha untuk diserap tanaman, sedangkan untuk menghasilkan
6 ton gabah diperlukan 15,6 kg P/ha untuk diserap tanaman. Dengan kondisi
kandungan tersebut, berbagai penelitian dosis pupuk P pada padi sawah tidak
memberikan hasil yang nyata.
Unsur K bagi tanaman berfungsi sebagai osmoregulan, aktivasi enzim,
pengatur pH di tingkat seluler, keseimbangan kation-anion tingkat sel, pengaturan
transpirasi melalui pengaturan pembukaan stamata, dan transportasi asimilat. Selain
itu, unsur K juga berperan memperkuat dinding sel tanaman dan terlibat dalam
lignifikasi jaringan sklerenkhim yang dihubungkan dengan ketahanan tanaman
terhadap penyakit. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), pengaruh unsur K
pada tanaman padi adalah meningkatkan luas daun dan kandungan khlorofil daun,
serta menunda senesen daun sehingga secara keseluruhan dapat meningkatkan
kapasitas fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Tidak seperti unsur N dan P, pada
tanaman padi, unsur K tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan, tetapi berpengaruh
terhadap jumlah gabah/malai, persen gabah isi, dan bobot 1000 butir gabah.
Pada lahan sawah irigasi, unsur K dapat diperoleh dari air irigasi. Beberapa
penelitian dosis pupuk K tidak memberikan pengaruh yang nyata. Walaupun
hasil. Hasil penelitian di Ngawi (Jawa Timur) memperlihatkan bahwa pemupukan K
dengan dosis 100 kg KCl dapat meningkatkan hasil dari 3,84 ton gabah/ha menjadi
5,12 ton/ha. Di samping itu, aplikasi jerami padi sebanyak 5 ton/ha memberikan hasil
yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan 100 kg KCl. Hal ini menunjukkan
bahwa aplikasi pupuk KCl dapat disubstitusi dengan pengembalian jerami padi ke
sawah (Syam dan Hermanto 1995).
Peran Bahan Organik pada Tanaman Padi
Peran bahan organik penting dalam suplai N tanah. Bahan organik tanah
dapat dilihat sebagai kunci mekanistik untuk suplai hara N. Dengan biomas
mikrobial yang segmen siklusnya sangat cepat, fase organik bertindak sebagai
biokatalis untuk suplai unsur hara dan pool hara itu sendiri (Reichardt et al. 2003).
Menurut Hesse (1984), sumber bahan organik untuk pertanian sangat
beragam, yaitu kotoran hewan (pupuk kandang), kotoran manusia, sisa-sisa tanaman,
pupuk hijau, dan limbah kota (urban wastes) tergatung pada bahannya. Kotoran
hewan mengandung sekitar 1,5 % N, 0,4 % P, dan 0,4 % K. Jerami tanaman serealia
mengandung sekitar 0,5 % N, 0,3 % P, dan 1,2 % K. Kotoran manusia mengandung
50 ppm N, 7 ppm P, dan 25 ppm K. Pupuk hijau Crotalaria spp, mengandung 4 %
N, sampah organik kota sangat beragam, sebagai contoh mengandung 1,24 % N, 0,26
% P, dan 1,29 % K. Bahan organik yang paling potensial diterapkan secara luas
adalah bahan organik yang dihasilkan oleh internal usaha tani dan sebagai resiklus
bahan organik pada lahan tersebut.
Untuk tanaman padi, jerami merupakan bahan organik yang paling potensial
ketersediaannya bagi usaha tani padi sawah. Lee et al. (2002), menyatakan bahwa
jerami padi merupakan bahan organik yang mudah dan ekonomis untuk dikembalikan
ke lahan sawah. Dekomposisi jerami berjalan cukup cepat pada lahan sawah yang
memiliki drainase sedang dan dilakukan pengolahan tanah intensif. Menurut Cho dan
Kobata (2002), jerami padi merupakan sumber bahan organik utama yang dapat
mengikat N pupuk selama dekomposisi dan melepas kembali secara perlahan. Jerami
padi mengandung sekitar 0,6 % N, 0,1 % masing-masing P dan S, 1 % K, 5 % Si,
ton/ha. Pemberian jerami dengan dosis N yang sama dengan ZA dihitung berdasarkan
kandungannya memberikan hasil yang tidak nyata, sedangkan kombinasi antara
bahan organik dan pupuk mineral memberikan hasil padi yang lebih tinggi (Hesse
1984). Penambahan 10,71 ton kompos dan 2,38 ton jerami dapat meningkatkan
produksi padi sawah masing-masing 13 % dan 10 % (Huh 1994). Pemberian jerami
yang dicacah dengan dosis 650 gram/m2 dapat menggantikan pupuk dasar sebanyak 4
gram N/m2 dan 8 gram K2O/m2 (Cho dan Kobata 2002). Dengan demikian
penggunaan jerami padi secara luas sebagai sumber bahan organik pada usaha tani
padi sangat potensial (Ponnamperuma 1984).
Jerami padi di Indonesia pada umumnya dibakar atau diangkut dari lahan
setelah panen. Pengolahan tanah dengan traktor tangan tidak memungkinkan
membenamkan jerami karena mengganggu jalannya traktor. Pengembalian jerami ke
lahan telah banyak diteliti memiliki pengaruh positif pada jangka panjang.
Pembenaman jerami ke tanah sawah tampaknya mempengaruhi ketersediaan hara N.
Eagle et al. (2000) menyatakan bahwa aplikasi jerami dengan membenamkannya ke
dalam tanah sawah pada tahun pertama dengan perlakuan pupuk N sesuai dengan
dosis rekomendasi (semua unsur hara tercukupi) tidak berpengaruh terhadap hasil
gabah. Pada tahun ketiga, diperoleh bahwa perlakuan pembenaman jerami ke tanah
meningkatkan hasil gabah. Pada tahun ketiga hingga tahun kelima pembenaman
jerami meningkatkan serapan unsur hara N rata-rata sebesar 19 kg N/ha pada petak
perlakuan tanpa penambahan pupuk N dan serapan N meningkat sebesar 12 kg N/ha
pada petak dengan penambahan pupuk N sesuai dengan dosis rekomendasi.
Peningkatan serapan N oleh tanaman padi sawah karena pembenaman jerami
dikarenakan terbentuknya N pool tanah labil yang mengurangi kebergantungan
tanaman pada N pupuk (Bird et al. 2001). Jerami merupakan sumber N yang penting
karena sekitar 1/3 total N padi sawah berada pada jerami (Ponnamperuma, 1984).
Pupuk N dapat dikurangi dengan pembenaman jerami. Mahapatra et al. (1991),
menyatakan bahwa pembenaman jerami dapat mengganti 29 – 40 kg N ha-1 pada
Aplikasi jerami dengan membenamkannya secara langsung setelah panen
diindikasikan menimbulkan imobilisasi unsur N tanah sehingga menekan
pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Williams et al. (1968) menyatakan bahwa
imobilisasi N pada pembenaman jerami sebesar 0,5% bobot kering jerami. Namun,
penurunan hasil karena imobilisasi tersebut akan terjadi jika kadar N jerami rendah.
Penambahan pupuk N pada aplikasi jerami juga meniadakan pengaruh imobilisasi N
karena pembenaman jerami tersebut. Sinha (1971) menyatakan bahwa imobilisasi
unsur P karena pembenaman jerami tidak sampai berdampak pada penurunan hasil
padi sawah. Residu jerami yang dibenamkan ke dalam tanah berupa humus dan asam
fosfat fulfat (fulfic phosphate). Asam fosfat fulfat inilah yang berperan dalam
imobilisasi unsur P. Pada tahun kedua, pembenaman jerami ke tanah telah
menyebabkan peningkatan serapan unsur P karena mineralisasi.
Penggunaan bahan organik sebelum tanam padi sawah sebagai pupuk hijau
telah dibuktikan memperbaiki potensi produksi padi. Penggunaan Sesbania rostrata
sebagai pupuk hijau sebanyak 4,88 ton/ha telah meningkatkan produktivitas padi
menjadi 2,63 ton/ha jika dibandingkan dengan tanpa pupuk hijau yang hanya
mencapai 1,9 ton gabah/ha (Chanpengsay et al., 1999). Hasil penelitian Meelu dan
Morris (1987) menunjukkan bahwa penambahan pupuk hijau ke lahan sawah
sebanyak 46 ton/ha dapat menambah simpanan unsur hara N sebanyak 60-80 kg
N/ha. Pengembalian jerami padi ke lahan juga dapat memperbaiki kesuburan tanah
dan mempunyai efek residu bagi musim tanam selanjutnya.
Penambahan bahan organik pada tanah sawah mempunyai pengaruh terhadap
beberapa sifat kimia, yang selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
produksi padi. Menurut Hesse (1984), dekomposisi bahan organik secara lambat
akan melepaskan CO2 yang secara langsung akan berguna untuk fotosintesis tanaman
padi, melepaskan bentuk ikatan P tertentu yang membentuk kompleks senyawa Fe
dan Mn, membentuk CH4 yang terlibat dalam pengendalian patogen, dan
menghasilkan senyawa tertentu yang dapat mendorong pertumbuhan tanaman. Selain
itu penambahan bahan organik tanah akan berfungsi sebagai buffer pH tanah,
beracun. Umumnya penambahan bahan organik bersama dengan pemupukan mineral
akan memberikan hasil lebih baik.
Karakteristik Fisiologi dan Agronomi Varietas Padi Sawah
Varietas padi sawah memiliki keragaman karakter fisiologi dan agronomi.
Karakter fisiologi dan agronomi tersebut meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan,
jumlah anakan produktif, ketahanan terhadap rebah, panjang malai, indeks biji, gabah
isi, efisiensi partisi biomassa, indeks panen, produksi biomassa, sudut daun, warna
daun, ketebalan daun, kandungan N daun, indeks luas daun, respons terhadap
pemupukan, ketahanan terhadap hama dan penyakit, kualitas gabah, umur panen,
kepadatan gabah per malai, laju fotosintesis, potensi hasil, daya adaptasi, dan
sensitivitas terhadap panjang hari. Varietas tradisional, Varietas modern, dan varietas
padi tipe baru (new plant type) memiliki perbedaan yang besar pada karakteristik
tersebut (Peng et al. 1994; Dalrymple 1986; Peng et al. 1999; Peng and Senadhira
1998; Katayama 1993; Kitano et al. 1993).
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman yang pendek (semidwarf stature) merupakan penciri varietas
modern (Hight Yielding Varieties) yang dikembangkan oleh IRRI. Gen semidwarf
tersebut diperoleh dari mutasi spontan padi De Geo Wogen. Varietas IR 8
merupakan tanaman semidwarf pertama yang dilepas IRRI pada tahun 1966, dan gen
semidwarf pertama berasal dari varietas De Geo Wogen yang menandai lahirnya
revolusi hijau (Dalrymple 1986). Tinggi tanaman yang pendek (80 - 90 cm)
berhubungan dengan ketahanan terhadap rebah dan efisiensi partisi biomassa antara
gabah dan jerami, yaitu memiliki indeks panen yang tinggi (Peng, Kush, dan
Cassman 1994).
Varietas lokal (unggul lokal hasil seleksi puluhan tahun sebelum lahir varietas
modern) seperti Peta, Sinta, Bengawan, Sigadis ( padi indica), serta padi bulu dan
jawa serut (padi javanica atau japonica tropis), umumnya memiliki tinggi tanaman
yang tinggi. Padi Peta sebagai induk IR 8 misalnya memiliki tinggi tanaman yang
kelemahan tidak tahan rebah dan indeks panen yang rendah. Menurut Katayama
(1993), varietas tradisional yang tergolong dalam subspesies sub japonica (javanica)
memiliki tinggi tanaman yang tinggi, subspesies indica tergolong sedang dan
japonica tergolong pendek. Varietas new plant type (NPT) diharapkan memiliki
tinggi 90 – 100 cm sehingga masih memiliki sifat tahan rebah, indeks panen yang
tingi, dan produksi biomassa lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas modern.
Jumlah Anakan dan Anakan Produktif
Varietas modern memiliki jumlah anakan yang tinggi, setiap rumpun yang
ditanam 3 – 5 bibit pada kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai akan menghasilkan
30 – 40 anakan. Dari jumlah anakan tersebut, hanya sekitar 20 anakan yang
menghasilkan malai (anakan produktif). Anakan yang tidak menghasilkan malai akan
menggunakan cahaya dan nutrisi hanya untuk pembentukan bagian vegetatif tanaman
sehingga tidak produktif. Jumlah anakan yang rapat akan menyebabkan lingkungan
mikro lebih menguntungkan untuk perkembangan hama dan penyakit ( Peng et al.
1994). Sifat menganak yang tinggi merupakan sifat padi indica. Oleh karena itu,
varietas lokal yang tergolong dalam padi indica memiliki jumlah anakan yang tinggi.
Namun, varietas lokal yang tergolong dalam padi sub japonica memiliki jumlah
anakan yang sedikit dan persen jumlah anakan produktif yang tinggi (Dalrymple
1986; dan Katayama 1993). Untuk varietas ideotype (NPT) memiliki jumlah anakan
sedikit (3-4 anakan rumpun) sehingga potensial untuk tanam sebar langsung (Peng et
al, 1999; Peng dan Senadhira, 1998, dan Peng et al. 1994).
Varietas padi modern memiliki karakteristik jumlah malai lebih tinggi
dibanding varietas tradisional, tetapi memiliki panjang malai lebih pendek dan
kepadatan malai lebih kecil daripada varietas lokal. Menurut Peng, Kush dan
Casssaman (1994), hal tersebut berhubungan dengan jumlah anakan. Padi dengan
jumlah anakan yang tinggi (varietas modern atau lokal indica) cenderung memiliki
panjang malai yang pendek dan kepadatan malai yang rendah. Varietas lokal
javanica umumnya memiliki malai yang panjang dan kepadatan malai yang tinggi.
gabah yang tinggi (200 – 250 gabah/malai). Panjang malai yang pendek pada
varietas modern sama dengan karakter padi subspesies japonica (Katayama, 1993).
Ketahanan terhadap Rebah
Tahan rebah merupakan karakteristik varietas modern yang sebenarnya
terdapat juga pada padi japonica. Sifat tahan rebah termasuk sifat yang dicari dalam
pemuliaan varietas modern. Varietas modern yang respons terhadap pemupukan dan
dapat menghasilkan biomassa yang tinggi akan rebah apabila karakter tahan rebah
tidak terdapat pada varietas tersebut. Karakter tahan rebah berkorelasi dengan tinggi
tanaman yang semidwarf, malai yang tebal, dan partisi fotosintat yang berimbang
(Peng, Kush, dan Cassman, 1994). Varietas lokal yang berkembang dari padi Indica
seperti Peta, Bengawan, dan Sigadis merupakan varietas yang memiliki sifat tidak
tahan rebah.
Karakter Kanopi dan Daun
Karakter kanopi dan daun meliputi sudut daun, ketebalan daun, warna daun,
dan indeks luas daun (ILD). Di samping semidwarf, varietas modern memilki
arsitektur daun yang memungkinkan penetrasi cahaya yang tinggi. Varietas modern
(HYV’S IRRI), umumnya memiliki daun yang tegak sehingga ILD-nya tinggi dan
mampu menangkap cahaya yang lebih efisien. Dengan demikian, tanaman akan
memiliki sistem fotosintesis yang efisien dan mampu memproduksi biomassa yang
tinggi. Padi varietas modern merupakan tanaman C3 yang produksi biomassanya
paling efisien. Katayama (1993) menyatakan bahwa padi yang memiliki daun yang
tegak, daun bawahnya akan memperoleh cahaya dan udara segar lebih banyak
sehingga dapat memproduksi hasil yang lebih tinggi. Varietas modern pada
umumnya memiliki daun yang berwarna hijau gelap dan lebih tebal serta kandungan
N yang lebih tinggi bila pemupukan N cukup.
Varietas lokal terutama yang tergolong dalam padi jenis indica memiliki daun
yang panjang dan horizontal (Peng dan Senadhira 1986). Daun yang horizontal akan
mengurangi pergerakan udara. Hal ini akan menurunkan efisiensi fotosintesis dan
menguntungkan untuk pertumbuhan hama dan penyakit (Peng et al. 1994).
Umur Tanaman
Varietas modern memiliki umur panen yang pendek, yaitu sekitar 100 – 105
hari, dari tanam pindah hingga panen, atau sekitar 120 hari dari benih ke biji.
Berhubungan dengan umur tanaman, hasil varietas yang umurnya lebih panjang
masih dapat meningkat secara linear sampai umur 135 hari. Umur pendek
mempunyai keuntungan membutuhkan air yang lebih sedikit, lebih cepat terhindar
dari serangan hama dan penyakit, serta memungkinkan penanaman dua kali atau
pergiliran dengan tanaman lain (Peng et al. 1994). Varietas lokal, terutama yang
tergolong dalam subspecies javanica memiliki umur panen yang panjang, yaitu
sekitar 5 – 6 bulan. Varietas Pandanwangi Cianjur memiliki umur panen 5 bulan,
demikian pula varietas Aman dan Brao di India serta Kao Nak di Thailand.
Respons terhadap Pemupukan N
Varietas modern memiliki sifat responsif terhadap pemupukan N, dalam arti
produksi akan meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk N sampai batas tertentu.
Sifat tersebut dimiliki pula oleh varietas japonica yang beradaptasi pada pemupukan,
tetapi varietas japonica umumnya tidak tahan rebah (Dalrymple 1986). Sebaliknya,
varietas lokal terutama subspesies indica tidak respons terhadap pemupukan karena
sudah terseleksi dalam kondisi tanah kurang subur, sedangkan varietas lokal dari
subspesies japonica memiliki sifat rebah sehingga pemupukan tidak meningkatkan
hasil (Dalrymple 1986; Peng et al. 1994; Katayama 1993).
Ketahanan terhadap Penyakit
Setelah IR 8 yang pemuliaannya diarahkan pada semidwarf, indeks panen
tinggi, responsif pemupukan, dan hasil panen tinggi, pemuliaan generasi selanjutnya
diarahkan pada ketahanan terhadap hama dan penyakit serta mutu hasil. Dengan
walaupun ketahanan tersebut tidak abadi. Dalrymple (1986) melaporkan bahwa
penggunaan varietas modern di Indonesia berhubungan dengan ketahanannya
terhadap hama wereng coklat. Semua varietas, termasuk varietas lokal sebelum tahun
1975 tidak tahan terhadap wereng. Pada tahun 1975 digunakan varietas PB 28, PB
30, dan Serayu (varietas modern tahan wereng Biotipe I). Pada tahun 1983
digunakan varietas IR 56 tahan wereng Biotipe III. Sebaliknya, varietas lokal
umumnya tidak tahan terhadap hama dan penyakit walaupun padi subspesies indica
termasuk relatif tahan terhadap hama dan penyakit.
Fotosintesis, Produksi Biomassa, Indeks Panen, dan Potensi Hasil
Varietas modern mempunyai laju fotosintesisis yang tinggi, ditandai dengan
produksi biomasssa yang tinggi. Demikian pula, potensi hasil varietas modern cukup
tinggi karena selain produksi biomassanya tinggi, indeks panennya juga tinggi. Peng
dan Senadhira (1998) menunjukkan hubungan antara potensi hasil, produksi
biomassa, indeks panen, dan laju fotosintesis. Potensi hasil merupakan perkalian
indeks panen dengan total biomassa dan biomassa yang dihasilkan sendiri merupakan
fungsi dari laju fotosintesis, umur tanaman, dan laju respirasi. Indeks panen sendiri
mencerminkan ukuran sink yang berupa jumlah butir per unit areal tanam dan
kapasitas fotosintesis daun merupakan ukuran source yang keduanya menentukan
biomassa yang dihasilkan. Peng et al. (1994) menyatakan bahwa laju fotosintesis
bersih varietas modern berkisar antara 25 – 32 mol CO2/m2 dan laju produksi
biomassa sekitar 40 g/m2. Indeks panen varietas modern sekitar 0,50 atau lebih besar
dan potensi hasil sebesar 9,5 ton /ha pada musim hujan dan 15,9 ton/ha pada musim
kemarau. Potensi hasil, produksi biomassa, dan laju fotosintesis yang tinggi pada
varietas modern berhubungan dengan arsitektur daun yang tegak, kandungan N daun
yang tinggi, serta kecukupan CO2 dan air.
Varietas lokal berhubungan dengan karakter morfologi daun yang terkulai
(drooping), LAI rendah, kandungan N daun rendah, indeks panen rendah, serta
produksi biomassa rendah. Karakter tersebut akan memberikan laju fotosintesis,
varietas lokal yang dikembangkan dari subspesies indica yang memiliki sudut daun
lebar, warna daun hijau muda, daun kecil panjang, dan bobot malai ringan (Katayama
1993).
Daya Adaptasi
Varietas modern merupakan varietas yang dikembangkan untuk kondisi
lingkungan tumbuh yang menguntungkan seperti lahan beririgasi dan suplai nitrogen
yang cukup dan bahkan cenderung berlebih. Dengan demikian, varietas modern
memiliki daya adaptasi yang rendah, terutama terhadap kekeringan dan penggunaan
pupuk yang rendah. Varietas modern dihasilkan dari proses pemuliaan di lingkungan
optimum sehingga memiliki daya adaptasi yang rendah terhadap lingkungan
suboptimum. Hasil penelitian Rajaram et al. (1996) menunjukkan bahwa galur
berdaya hasil tinggi yang diseleksi pada lingkungan optimum hasilnya akan lebih
rendah dibanding galur berdayahasil rendah dari hasil seleksi pada lingkungan
suboptimum jika ditanam pada lingkungan suboptimum. Hal ini menjelaskan
mengapa varietas modern akan mengalami penurunan hasil yang besar apabila
ditanam pada lahan yang memiliki kesuburan tanah rendah.
Varietas lokal terutama yang dikembangkan dari subspesies indica akan dapat
beradaptasi pada kondisi kesuburan tanah yang rendah, ketidakpastian cuaca dan
irigasi, serta resisten terhadap hama, penyakit, dan gulma. Pemuliaan varietas padi di
Indonesia antara tahun 1940 hingga 1965 diarahkan untuk menghasilkan varietas
yang toleran terhadap kesuburan tanah rendah sampai sedang. Varietas yang
dihasilkan antara lain, adalah Bengawan, Peta, Intan, dan Mas. Dengan demikian,
varietas lokal lebih memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan suboptimum
walaupun potensi hasilnya rendah.
Dengan melihat karakteristik masing-masing ekotipe, varietas lokal terutama
varietas Indica, memiliki karakter tidak tanggap terhadap masukan luar. Selain itu
pemuliaan yang dilakukan sebelum ditemukannya varietas modern diarahkan untuk
teknik budi daya tradisional atau kondisi kesuburan lahan rendah (Dalrymple 1986;
Pada tahun 1930, varietas unggul lokal diusahakan seluas 101.000 ha diduga sebagian
dari varietas yang diusahakan tersebut beradaptasi pada lingkungan tertentu menjadi
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan dalam tiga musim tanam, yaitu pada periode Januari
– Mei 2004 (MT-1), Juni – Oktober 2004 (MT-2), dan November 2004 – Maret 2005
(MT-3). Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan IPB Babakan Sawah Baru, Bogor.
Ketinggian tempat dari muka laut lahan tempat percobaan sekitar 250 m. Analisis
tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian IPB, dan
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih padi varietas Way
Apo Buru (varietas modern), IR64 (varietas modern), Fatmawati (new plant type atau
padi tipe baru), Sarinah (lokal Garut), dan Midun (lokal Sukabumi). Bahan lain yang
digunakan adalah pupuk inorganik (urea, SP-36, KCl, dan ZA), serta pupuk organik
(jerami padi sawah dan pupuk hijau Crotalaria juncea). Sebagai insektisida
digunakan pestisida buatan secara terbatas apabila benar-benar diperlukan.
Bahan-bahan kimia untuk analisis N tanaman, NH4+, NO3- (dengan metode Kjedahl ), P, dan
K tanah, C-organik dengan metode Walkley dan Black, dan P dengan Bray No. I.
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah peralatan laboratorium untuk
analisis NH4+, NO3-, P, dan K tersedia, dan C-organik. Spektrofotometer dan atomic
absorbtion spectrometer digunakan untuk analisis kandungan P dan K bahan organik
dan tanaman, serta peralatan lain seperti timbangan digital, oven, dan bagan warna
daun.
Metodologi
Dekomposisi Jerami dan Pupuk Hijau Crotalaria Juncea
Perlakuan
Perlakuan yang dicoba dalam penelitian dekomposisi bahan organik ini adalah
pada tiga jenis media, yaitu lahan sawah tanpa pemupukan, lahan sawah dipupuk
inorganik sesuai dosis rekomendasi, dan lahan sawah dipupuk organik. Dengan
demikian terdapat enam kombinasi perlakuan. Enam kombinasi perlakuan tersebut
adalah : (1) jerami diinkubasikan pada lahan sawah tanpa pupuk (J0), (2) jerami
diinkubasikan pada lahan sawah dipupuk inorganik (J1), (3) jerami diinkubasikan
pada lahan sawah dipupuk organik (J2), (4) krotalaria diinkubasikan pada lahan
sawah tanpa pupuk (K0), (5) Krotalaria diinkubasikan pada lahan sawah dipupuk
inorganik (K1), (3) Krotalaria diinkubasikan pada lahan sawah dipupuk organik (K2).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
dengan tiga (3) ulangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah
yang diamati digunakan model sebagai berikut:
Yij = µ + Pi + £j + €ij
Yij : pengaruh perlakuan ke i dan kelompok ke-j
µ : rata-rata umum
Pi : pengaruh perlakuan bahan organik-media ke-i
£j : penagruh kelompok ke-j
€ij : galat perlakuan bahan organik-media ke i dan kelompok ke-j
Pelaksanaan Percobaan
Metode yang digunakan seperti yang dikembangkan oleh Lee et al. (2002).
Jerami dan Crotalaria juncea masing-masing dicacah dengan ukuran sekitar 10 cm.
Selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC hingga diperoleh berat kering
konstan. Dari jerami dan krotalaria kering tersebut diambil sampel kemudian diukur
kandungan unsur N, P, dan K sebagai kandungan hara awal. Baik jerami maupun
krotalaria masing-masing ditimbang seberat 5 g untuk dimasukkan ke dalam kantong
nilon berukuran 50 cm x 25 cm dengan ukuran lubang 50 mesh. Selanjutnya kantong
dibenamkan pada lahan sawah dengan kedalaman 10 cm. Pengamatan dilakukan
pada hari ke 30, 60, dan 90. Peubah yang diamati meliputi bobot kering, kandungan
dicuci, dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC sekitar 3 hari (bobotnya konstan)
kemudian dilakukan pengukuran bobot kering, serta kandungan N, P, dan K.
Pengamatan
Dekomposisi diamati dari tingkat pelapukan dan pelepasan unsur hara. Tingkat
pelapukan diamati dari kehilangan bobot keirng sampel, sedangkan pelepasan unsur
hara diukur dari sisa unsur hara yang terdapat pada sampel.
Pengaruh Pemupukan dan Respons Varietas
Perlakuan
Perlakuan yang dicobakan dalam percobaan ini meliputi dua faktor, yaitu
pemupukan dan varietas. Perlakuan pemupukan terdiri atas pemupukan pupuk
inorganik, pupuk inorganik ditambah jerami, serta aplikasi jerami atau krotalaria
tanpa pupuk inorganik, dengan rincian sebagai berikut :
H : 250 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha (mewakili perlakuan pupuk
inorganik dosis rekomendasi. Rekomendasi pemupukan padi sawah untuk
wilayah : BPP Dramaga, Bogor);
L1 : 62.5 kg urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 25 kg KCl/ha ditambah jerami padi 7,5
ton/ha. jerami dibenamkan pada saat pengolahan tanah (mewakili perlakuan ¼
dosis pupuk inorganik + jerami);
L2 : 125 kg urea/ha, 50 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCl/ha ditambah jerami padi 7,5
ton/ha. jerami dibenamkan pada saat pengolahan tanah (mewakili ½ dosis
pupuk inorganik + jerami);
U1 : jerami padi 7,5 ton/ha dibenamkan pada saat pengolahan tanah (mewakili bahan
organik saja);
U2 : pupuk hijau Crotalaria juncea ditanam dengan dosis benih 40 kg/ha dan pada
umur 1 bulan setelah tanam dibenamkan dengan pengolahan tanah (mewakili
bahan organik saja).
Jerami dibenamkan setiap awal musim tanam, yaitu pada saat pengolahan
untuk panen selanjutnya jumlah jerami yang dibenamkan adalah seluruh jerami hasil
petakan tersebut .
Faktor varietas terdiri dari varietas modern V1 (IR-64) dan V2 (Way Apo
Buru); varietas lokal V3 (Midun) dan V4 (Sarinah); serta padi tipe baru (Fatmawati).
Dalam percobaan ini terdapat 25 perlakuan yang merupakan kombinasi antara
faktor pemupukan dan faktor varietas. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali
sehingga terdapat 75 satuan percobaan.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial blok
terbagi. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati
digunakan model sebagai berikut:
Yijk = μ + Kk + Ui + δik + Vj + (UV)ij + εijk
Yijk : nilai pengamatan pada kelompok ke k yang memperoleh perlakuan
pemupukan ke-i dan varietas ke-j;
μ : rata-rata umum;
Kk : pengaruh kelompok ke-k;
Ui : pengaruh taraf ke-i dari faktor pemupukan
δik : pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari faktor pemupukan dalam
kelompok ke-k (galat a);
Vj : pengaruh taraf ke-j dari faktor varietas;
(UV)ij : pengaruh interaksi taraf ke-i faktor pemupukan dan taraf ke-j faktor varietas;
εijk : pengaruh galat pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke-i faktor
pemupukan dan taraf ke-j faktor varietas (galat b).
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan dilakukan pada lahan sawah beririgasi dengan ukuran petak satuan
percobaan 5 x 5 m2. Dengan menggunakan rancangan faktorial blok terbagi, dalam
vertikal dilakukan pengacakan pemupukan (Denah Percobaan seperti terlihat pada
Gambar Lampiran 1).
Aplikasi jerami dan krotalaria. Jerami dengan dosis 7.5 ton basah/ha pada
percobaan MT-1 dan sesuai dengan hasil panen untuk MT-2 dan MT-3, dicacah
dengan ukuran panjang sekitar 10 cm. Jerami ditaburkan di atas permukaan tanah
sebelum pengolahan tanah sehingga dapat terbenam pada saat pengolahan tanah
pertama. Pengolahan tanah pertama dilakukan segera setelah panen. Untuk
krotalaria ditanam pada petakan sesuai dengan perlakuan. Dosis benih yang
digunakan adalah 40 kg benih/ha. Setelah tanaman krotalaria berumur satu (1) bulan
kemudian dipotong, dicacah sekitar 10 cm dan ditaburkan ke seluruh petakan.
Selanjutnya dilakukan pengolahan tanah hingga pupuk hijau tersebut terbenam. Pada
petakan ini berarti bukan hanya diaplikasikan biomas krotalaria bagian atas tanah,
tetapi juga bagian akar beserta bintil akarnya. Aplikasi krotalaria juga dilakukan
setiap musim tanam.
Pengolahan tanah dilakukan dengan sistem olah tanah sempurna, yaitu 2 kali
pencangkulan ditambah dengan pelumpuran dan perataan. Dengan pengolahan tanah
tersebut seluruh bahan organik yang diaplikasikan terbenam dalam tanah dan tanah
siap tanam.
Benih varietas modern (Way Apo Buru dan IR-64) dan new plant type (padi
tipe baru) varietas Fatmawati diperoleh dari Balai Penelitian Padi (Balitpa atau BB
Padi), Sukamandi, sedangkan varietas lokal Garut (Sarinah) dan lokal Sukabumi
(Midun) diperoleh dari penangkar benih Dinas Pertanian masing-masing kabupaten.
Benih direndam 12 jam dan diperam 24 jam pada karung goni basah. Selanjutnya
benih disemai pada bedengan semai yang telah disiapkan untuk masing-masing
varietas.
Bibit dipindah tanam pada umur 21 hari dengan 2 bibit per lubang tanam.
Jarak tanam yang digunakan adalah 22cm x 22cm. Pupuk SP-36 dan KCl pada petak
perlakuan pupuk inorganik saja maupun jerami + pupuk inorganik diberikan
seluruhnya pada saat tanam, sedangkan pupuk urea diberikan tiga kali, yaitu 30%
diberikan secara top dressing. Pengendalian gulma dilakukan secara manual (dengan
menyiangi) pada 3 MST dan 7 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan
dengan aplikasi pestisida buatan secara terbatas.
Pengamatan
Ketersediaan Hara Tanah
Hara yang diamati ketersediaannya dalam tanah pada setiap perlakuan adalah
amonium (NH4+), nitrat (NO3-), N total, P tersedia, K tersedia, dan C-organik.
Pengamatan hara tanah dilakukan sebelum percobaan dan pada saat panen. Sampel
tanah diambil komposit secara diagonal dengan 3 titik setiap petak. Pengambilan
sampel tanah dilakukan dengan bor tanah hingga kedalaman 30 cm, segera
dimasukkan ke dalam plastik sampel, mengikat erat dengan karet, dan dimasukkan
dalam kantong polibag hitam untuk mencegah oksidasi dan terkena cahaya matahari.
Ketersediaan Hara untuk Tanaman
Pengukuran ketersediaan hara bagi tanaman padi menggunakan model
pendekatan Dobermann and Fairhurst (2000). Model tersebut dikembangkan
berdasarkan hubungan antara hasil gabah dan akumulasi unsur hara pada total bobot
kering bagian di atas permukaan tanah padi sawah irigasi pada saat masak fisiologis
dapat ditentukan untuk target hasil tertentu berdasarkan pendekatan modeling
QUEFTS (Quantitative Evaluation of the Fertility of Tropical Soil) yang
dikembangkan oleh Janssen di Wageningen, Belanda (Dobermann dan Fairhurst
2000). Asumsi yang digunakan adalah terdapat hubungan linear antara hasil gabah
dengan serapan unsur hara pada tingkat serapan hara rendah jika serapan hara
tersebut merupakan serapan maksimum pada suplai hara yang terbatas. Batasan
ketersediaan hara dan hubungannya dengan hara yang terambil dalam hasil gabah
Tabel 1. Hubungan Ketersediaan Hara N, P, dan K dengan Hara N, P, dan K Terambil (kg/ton Gabah)
Ketersediaan Hara Nitrogen Fosfor Kalium
Hara sangat terbatas <10 <1,6 <9 Hara terbatas 11-13 1,7 - 2,3 10 – 13 Hara optimum 14-16 2,4 – 2,8 14 – 16 Hara berlebihan 17-23 2,9 – 4,8 17 – 27
Hara sangat berlebihan >24 >4,9 >28 Sumber: Dobermann and fairhurst (2000)
Kondisi tersebut berlaku untuk seluruh padi ekotipe indica dengan indeks
panen mendekati 0,5 dan dapat digunakan untuk sawah irigasi di daerah tropis dan
subtropis. Dengan demikian, pengukuran ketersediaan hara pada perlakuan
pemupukan dapat didekati dari kandungan hara pada hasil gabah.
Bagan Warna Daun
Pengamatan bagan warna daun dimaksudkan utnuk mengetahui kecukupan
tanaman terhadap unsure hara N. Pembacaan bagan warna daun dilakukan terhadap
daun teratas tanaman sampel yang telah membuka penuh yang merefleksikan status N
tanaman. Pembacaan dilakukan setiap minggu mulai tanaman berumur 3 MST
hingga muncul malai (heading). Tanaman padi indica tipe semikerdil yang ditanam
secara tanampindah disebut sebagai kekurangan N apabila pembacaan bagan warna
daun menunjukkan skala < 4 (IRRI-CREMNET, 1998).
Pertumbuhan Tanaman, Hasil, Komponen Hasil, dan Mutu Fisik Gabah
Peubah pertumbuhan, hasil, komponen hasil, dan mutu fisik gabah yang
diamati adalah sebagai berikut:
a. jumlah anakan, diamati tiap minggu mulai tanaman berumur 3 MST hingga saat
keluar malai (heading);
b. tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi dan
c. bobot basah dan bobot kering biomas, diukur dengan menimbang bagian tajuk
tanaman dan bagian akar baik bobot segar ataupun bobot kering; pengamatan
bobot basah dan kering biomas dilakukan setiap 2 minggu mulai dari tanaman
berumur 3 MST; tanaman contoh diambil dari tanaman pada baris ke dua atau
baris ke tiga sebanyak tiga tanaman untuk sekali pengamatan;
d. hasil diamati sebagai bobot gabah kering panen (gabah basah) dan gabah kering
giling atau gabah kering (kadar air 14 %) per rumpun tanaman sampel dan petak
ubinan dengan ukuran petak 2.5m x 2.5m;
e. komponen hasil, yaitu jumlah anakan produktif (jumlah malai/rumpun sampel),
jumlah gabah/malai tanaman sampel, panjang malai, bobot 1.000 butir gabah dari
tanaman sampel, dan % gabah hampa.
Serapan Hara Tanaman
Serapan hara N, P, dan K tanaman dianalisis pada bagian akar, jerami, dan
gabah. Serapan hara tersebut diukur pada saat panen. Sampel akar, jerami, dan gabah
diambil kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 3 hari atau
bobot sudah konstan. Sampel kering dihaluskan dengan alat penggiling. Kandungan
N ditentukan dengan metode Kjedhal (dengan alat titrasi) dan P dengan metode
pengabuan kering (ditetapkan dengan spektrofotometer). Untuk unsur K ditentukan
dengan metode HClO4 + HNO3 dengan alat atomic absorbtion spectrometer.
Serapan hara masing-masing unsur adalah persen masing-masing tersebut terhadap
bobot kering masing-masing biomas atau rata-rata dari serpan masing-masing bagian
biomas untuk serapan total. Hara terangkut dihitung dengan mengalikan persen
serapan hara dengan bobot kering masing-masing bagian biomas.
Efisiensi Penggunaan Unsur Hara N, P, dan K
Dalam penelitian ini dianalisis efisiensi fisiologis penggunaan hara atau
menurut Eagle et al. (2000) disebut sebagai physiological use efisiency atau disebut
sebagai utilization efficiency menurut Sowers et al. (1994) atau efficiency for grain
gabah kering (kg/ha) EF =
Total serapan hara tertentu pada bagian tanaman di atas permukaan tanah (kg/ha)
Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis statistik dengan uji F (analisis ragam).
Apabila uji F nyata kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test