• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan fillet ikan gurami (osphronemus gouramy lacepede) dalam kemasan modifikasi atmosfer:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanganan fillet ikan gurami (osphronemus gouramy lacepede) dalam kemasan modifikasi atmosfer:"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGANAN FILLET

IKAN GURAMI

(

Osphronemus gouramy

Lacepede)

DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR

SLAMET SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

PENANGANAN FILLET IKAN

GURAMI

(

Osphronemus gouramy

Lacepede)

DALAM KEMASAN

MODIFIKASI ATMOSFIR

adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

mana-pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Slamet Suharto

(3)

RINGKASAN

SLAMET SUHARTO. Penanganan Fillet Ikan Gurami (

Osphronemous

gouramy

Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfir

.

Dibimbing oleh

I

WAYAN BUDIASTRA, dan JOKO SANTOSO.

Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan akan kebutuhan jenis bahan makanan

yang segar, praktis dan sehat sebagai akibat perubahan perilaku masyarakat

yang semakin komplek dan sibuk. Ikan merupakan bahan pangan bernilai gizi

tinggi namun mudah mengalami kemunduran mutu

(high perisable food)

jika

tidak ditangani secara tepat. Fillet merupakan bentuk preparasi bahan

makanan yang cukup praktis (

minimaly process

) dan segar.

Penggunaan modifikasi atmosfer telah diketahui dapat meningkatkan umur

simpan bahan makanan seperti daging, sayur dan ikan. Komposisi gas dalam

kemasan bervariasi untuk masing-masing jenis makanan tersebut, termasuk

jenis ikan. Untuk mengetahui penanganan dan penggunaan komposisi

(konsentrasi) CO2 yang tepat maka perlu dilakukan penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan pascapanen

yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP dengan

mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas C

O2

yang optimal dan

umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai

informasi teknik penanganan fillet ikan gurami.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan bahan pencuci fillet

dan komposisi gas dalam kemasan.

Dalam penelitian ini digunakan fillet dari ikan gurami ukuran + 1000g yang

diperoleh Kolam Babakan Sawah Baru Bogor. Fillet dibuat sesuai prosedur

SNI 01-4103.2-1992 yang meliputi proses pelumpuhan, pembuangan darah,

penampungan sementara, pemotongan/ penyayatan, pembuangan kulit dan

duri, dan perapihan. Sebelum dilakukan pemfilletan ikan di berok/puasakan

selama tiga hari untuk mengurangi bau lumpur.

(4)

Bahan yang digunakan berupa air bersih dengan kualitas air minum (SNI

01-4103.2-1992), larutan garam 50g garam/ 1 l air bersih, larutan air jeruk nipis

(60 ml air jeruk/ 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g), larutan garam

yang ditambah air jeruk nipis, dan larutan klorin 10 ppm.

Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya pengaruh bahan pencuci fillet

terhadap nilai TPC, TVB dan umur simpan fillet. Bahan pencuci yang

memberikan efek paling paling baik adalah air jeruk yang ditambah garam

dan larutan klorin. Kedua larutan pencuci tersebut dapat mengurangi jumlah

total bakteri paling banyak (TPC paling kecil) pada fillet saat pencucian

sehingga mempengaruhi pertumbuhan bakteri selama penyimpanan.

Sampai hari ke-8 nilai log TPC fillet yang dicuci larutan klorin dan air

garam-jeruk sebesar 5.84 dan 5,06 menunjukkan bahwa fillet masih segar

(batas maksimum 7,6 menurut Ditjen POM) pada hari ke 12 semua fillet telah

melewati batas maksimum.

Penelitian tahap kedua bertujuan mengetahui pengaruh konsentrasi CO

2

dalam

modifikasi atmosfir pengemasan (MAP) terhadap kualitas dan umur simpan

fillet ikan gurami yang telah mengalami perlakuan pencucian pada tahap

pertama. Ada delapan perlakuan dari kombinasi dua jenis pencucian (larutan

garam-jeruk/AGJ dan klorin/K)) dan empat konsentrasi CO

2

, yaitu (1)

AGJ-CO

2

0%, (2) AGJ-CO

2

30%; (3) AGJ- CO

2

45% (4) AGJ-CO

2

60%; (5)

K-CO

2

0%; (6) K- CO

2

30%; (7) K- CO

2

45% dan (8) K- CO

2

60%. Pengamatan

dilakukan terhadap nilai TPC, TVB, pH, dan organoleptik fillet pada hari ke

0, ke-8, ke-14, ke-18, ke-21 dan ke-24 penyimpanan dalam suhu 5

o

C yang

dikemas dengan plastik polyetilen. Analisi statistik terhadap hasil pengamatan

dengan one-way Anova dalam RAL pada tiap-tiap pengamatan. Penentuan

umur simpan didasarkan pada persamaan regresi nilai organoleptik fillet.

Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa konsentrasi CO

2

berpengaruh

terhadap nilai TPC, TVB dan organoleptik fillet dalam kemasan plastik

polyetilen yang disimpan pada suhu 5

o

C selama 24 hari. Pertumbuhan bakteri

dapat dihambat dengan penambahan konsentrasi CO

2

dalam kemasan yang

ditunjukkan oleh nilai TPC dan TVB yang lebih rendah dan nilai

organoleptik lebih tinggi.

Nilai log TPC pada awal penyimpanan 3,8 dan meningkat selama

penyimpanan pada semua perlakuan, dan tidak menunjukkan perbedaan

hingga ke-14 kecuali perlakuan tanpa CO2 denagn nilai TPC lebih tinggi.

Pada hari ke-18 terjadi perbedaan yang signifikan dimana konsentrasi CO2

45% dan 60% pada kedua pencucian menununjukkan nilai TPC yang lebih

rendah. Pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh konsentrasi CO2 dalam

kemasan. Kombinasi jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai TPC.

(5)

berpengaruh pada nilai TVB. Konsentrasi CO2 45% dan 60% pada kedua

jenis pencuci menunjukkan nilai TVB yang rendah, berbeda nyata mulai

penyimpanan ke-14 dan sampai hari ke-18 nilai TVB fillet besarnya 30

mgN/100g.

Nilai organoleptik fillet selama penyimpanan menurun dari 9 pada awal

penyimpanan hingga 1 pada hari ke 24. Konsentarsi CO2 45% pada kedua

bahan pencuci menghasilkan nilai organoleptik paling baik dimana sampai

hari ke-14 masih menunjukkan tingkat kesegaran yang baik (nilai 7).

Berdasarkan analisis regresi untuk menentukan umur simpan fillet dengan

batas penolakan nilai 5 diperoleh umur simpan 16 hari pada CO

2

45% dan 12

hari filet tanpa CO

2

.

Dari hasil penelitaian tahap I dan II dapat disimpulkan bahwa penggunaan

bahan pencuci yang baik adalah air jeruk yang ditambah garam. Bahan

pencuci ini dapat meningkatkan umur simpan fillet hingga 8 hari pada suhu

10

o

C dan 12 hari pada suhu 5

o

C. Penambahan CO

2

45% dapat meningkatkan

(6)

ABSTRACT

SLAMET SUHARTO.

Handling on Gouramy

(Osphronemous gouramy

Lacepede) Fillet with Modified Atmosphere Packaging

. Supervised by

I WAYAN BUDIASTRA, and JOKO SANTOSO.

The aim of this study is to determine post harvest handling technology of

gouramy fillet (

Osphronemous gouramy

Lacepede) which packed with atmosphere

modification. This study was carried out in two steps. First step is to determine 5

treatments cleaner materials

i.e.

hygienic water cleaning, salt water, lime water, lime

water added with salt and 10 ppm chlorine to produce the best quality of fillet. The

result of this first step showed that salt water added with lime and 10 ppm chlorine

was the best cleaner materials based on the value of log TPC ( 3.75). Second step is

to determine the composition and effect of the packing atmosphere modification to

the Gouramy fillet quality and self life with 4 different composition of CO

2

(0, 30, 45

and 60%). Concentration 45% of CO

2

was the best gas composition of atmosphere

(7)

PENANGANAN FILLET

IKAN GURAMI

(

Osphronemus gouramy

Lacepede)

DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR

SLAMET SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

PENANGANAN FILLET IKAN

GURAMI

(

Osphronemus gouramy

Lacepede)

DALAM KEMASAN

MODIFIKASI ATMOSFIR

adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

mana-pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Slamet Suharto

(9)

RINGKASAN

SLAMET SUHARTO. Penanganan Fillet Ikan Gurami (

Osphronemous

gouramy

Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfir

.

Dibimbing oleh

I

WAYAN BUDIASTRA, dan JOKO SANTOSO.

Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan akan kebutuhan jenis bahan makanan

yang segar, praktis dan sehat sebagai akibat perubahan perilaku masyarakat

yang semakin komplek dan sibuk. Ikan merupakan bahan pangan bernilai gizi

tinggi namun mudah mengalami kemunduran mutu

(high perisable food)

jika

tidak ditangani secara tepat. Fillet merupakan bentuk preparasi bahan

makanan yang cukup praktis (

minimaly process

) dan segar.

Penggunaan modifikasi atmosfer telah diketahui dapat meningkatkan umur

simpan bahan makanan seperti daging, sayur dan ikan. Komposisi gas dalam

kemasan bervariasi untuk masing-masing jenis makanan tersebut, termasuk

jenis ikan. Untuk mengetahui penanganan dan penggunaan komposisi

(konsentrasi) CO2 yang tepat maka perlu dilakukan penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan pascapanen

yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP dengan

mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas C

O2

yang optimal dan

umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai

informasi teknik penanganan fillet ikan gurami.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan bahan pencuci fillet

dan komposisi gas dalam kemasan.

Dalam penelitian ini digunakan fillet dari ikan gurami ukuran + 1000g yang

diperoleh Kolam Babakan Sawah Baru Bogor. Fillet dibuat sesuai prosedur

SNI 01-4103.2-1992 yang meliputi proses pelumpuhan, pembuangan darah,

penampungan sementara, pemotongan/ penyayatan, pembuangan kulit dan

duri, dan perapihan. Sebelum dilakukan pemfilletan ikan di berok/puasakan

selama tiga hari untuk mengurangi bau lumpur.

(10)

Bahan yang digunakan berupa air bersih dengan kualitas air minum (SNI

01-4103.2-1992), larutan garam 50g garam/ 1 l air bersih, larutan air jeruk nipis

(60 ml air jeruk/ 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g), larutan garam

yang ditambah air jeruk nipis, dan larutan klorin 10 ppm.

Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya pengaruh bahan pencuci fillet

terhadap nilai TPC, TVB dan umur simpan fillet. Bahan pencuci yang

memberikan efek paling paling baik adalah air jeruk yang ditambah garam

dan larutan klorin. Kedua larutan pencuci tersebut dapat mengurangi jumlah

total bakteri paling banyak (TPC paling kecil) pada fillet saat pencucian

sehingga mempengaruhi pertumbuhan bakteri selama penyimpanan.

Sampai hari ke-8 nilai log TPC fillet yang dicuci larutan klorin dan air

garam-jeruk sebesar 5.84 dan 5,06 menunjukkan bahwa fillet masih segar

(batas maksimum 7,6 menurut Ditjen POM) pada hari ke 12 semua fillet telah

melewati batas maksimum.

Penelitian tahap kedua bertujuan mengetahui pengaruh konsentrasi CO

2

dalam

modifikasi atmosfir pengemasan (MAP) terhadap kualitas dan umur simpan

fillet ikan gurami yang telah mengalami perlakuan pencucian pada tahap

pertama. Ada delapan perlakuan dari kombinasi dua jenis pencucian (larutan

garam-jeruk/AGJ dan klorin/K)) dan empat konsentrasi CO

2

, yaitu (1)

AGJ-CO

2

0%, (2) AGJ-CO

2

30%; (3) AGJ- CO

2

45% (4) AGJ-CO

2

60%; (5)

K-CO

2

0%; (6) K- CO

2

30%; (7) K- CO

2

45% dan (8) K- CO

2

60%. Pengamatan

dilakukan terhadap nilai TPC, TVB, pH, dan organoleptik fillet pada hari ke

0, ke-8, ke-14, ke-18, ke-21 dan ke-24 penyimpanan dalam suhu 5

o

C yang

dikemas dengan plastik polyetilen. Analisi statistik terhadap hasil pengamatan

dengan one-way Anova dalam RAL pada tiap-tiap pengamatan. Penentuan

umur simpan didasarkan pada persamaan regresi nilai organoleptik fillet.

Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa konsentrasi CO

2

berpengaruh

terhadap nilai TPC, TVB dan organoleptik fillet dalam kemasan plastik

polyetilen yang disimpan pada suhu 5

o

C selama 24 hari. Pertumbuhan bakteri

dapat dihambat dengan penambahan konsentrasi CO

2

dalam kemasan yang

ditunjukkan oleh nilai TPC dan TVB yang lebih rendah dan nilai

organoleptik lebih tinggi.

Nilai log TPC pada awal penyimpanan 3,8 dan meningkat selama

penyimpanan pada semua perlakuan, dan tidak menunjukkan perbedaan

hingga ke-14 kecuali perlakuan tanpa CO2 denagn nilai TPC lebih tinggi.

Pada hari ke-18 terjadi perbedaan yang signifikan dimana konsentrasi CO2

45% dan 60% pada kedua pencucian menununjukkan nilai TPC yang lebih

rendah. Pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh konsentrasi CO2 dalam

kemasan. Kombinasi jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai TPC.

(11)

berpengaruh pada nilai TVB. Konsentrasi CO2 45% dan 60% pada kedua

jenis pencuci menunjukkan nilai TVB yang rendah, berbeda nyata mulai

penyimpanan ke-14 dan sampai hari ke-18 nilai TVB fillet besarnya 30

mgN/100g.

Nilai organoleptik fillet selama penyimpanan menurun dari 9 pada awal

penyimpanan hingga 1 pada hari ke 24. Konsentarsi CO2 45% pada kedua

bahan pencuci menghasilkan nilai organoleptik paling baik dimana sampai

hari ke-14 masih menunjukkan tingkat kesegaran yang baik (nilai 7).

Berdasarkan analisis regresi untuk menentukan umur simpan fillet dengan

batas penolakan nilai 5 diperoleh umur simpan 16 hari pada CO

2

45% dan 12

hari filet tanpa CO

2

.

Dari hasil penelitaian tahap I dan II dapat disimpulkan bahwa penggunaan

bahan pencuci yang baik adalah air jeruk yang ditambah garam. Bahan

pencuci ini dapat meningkatkan umur simpan fillet hingga 8 hari pada suhu

10

o

C dan 12 hari pada suhu 5

o

C. Penambahan CO

2

45% dapat meningkatkan

(12)

ABSTRACT

SLAMET SUHARTO.

Handling on Gouramy

(Osphronemous gouramy

Lacepede) Fillet with Modified Atmosphere Packaging

. Supervised by

I WAYAN BUDIASTRA, and JOKO SANTOSO.

The aim of this study is to determine post harvest handling technology of

gouramy fillet (

Osphronemous gouramy

Lacepede) which packed with atmosphere

modification. This study was carried out in two steps. First step is to determine 5

treatments cleaner materials

i.e.

hygienic water cleaning, salt water, lime water, lime

water added with salt and 10 ppm chlorine to produce the best quality of fillet. The

result of this first step showed that salt water added with lime and 10 ppm chlorine

was the best cleaner materials based on the value of log TPC ( 3.75). Second step is

to determine the composition and effect of the packing atmosphere modification to

the Gouramy fillet quality and self life with 4 different composition of CO

2

(0, 30, 45

and 60%). Concentration 45% of CO

2

was the best gas composition of atmosphere

(13)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(14)

PENANGANAN FILLET

IKAN GURAMI

(

Osphronemus gouramy

Lacepede)

DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR

SLAMET SUHARTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul Tesis

:

Penanganan Fillet Ikan Gurami (

Osphronemous Gouramy

Lacepede)

dalam Kemasan

Modifikasi

Atmosfer

Nama

: Slamet Suharto

NRP

: P 24500003

Program Studi

: Teknologi Pascapanen

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si

Ketua

Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(16)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Penanganan Fillet

Ikan Gurami (

Osphronemus gouramy

Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi

Atmosfir.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan

kepada Bapak Dr. Ir. I. Wayan Budiastra, MAgr sebagai ketua komisi pembimbing

sekaligus sebagai Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen dan Bapak

Dr.Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan dorongan mulai dari penulisan

proposal, selama pelaksanaan penelitian berlangsung sampai selesainya penulisan

tesis ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas

Diponegoro, Dekan FPIK UNDIP, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia melalui Dana Pendidikan BPPS sehingga studi berjalan dengan

lancar. Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Laboratorium Teknik

Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia TPG FATETA dan

Laboratorium Mikrobiologi Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi

(PSSHB) IPB atas izin lokasi penelitian, serta Pak Wahid, Mbak Ari, Mbak Sri, Pak

Sulyaden, Pak Wawan, Majid, Hanum, Yosi, Pak Fajar atas bantuannya selama

penelitian. Terima kasih kepada orang tua, adik, kakak, istri dan anak tercinta atas

segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2010

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Slamet Suharto dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada

tanggal 8 Juni 1970. Penulis merupakan putera keempat dari delapan bersaudara

pasangan Bapak Khunduri dan ibu Khulsum. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di

SD Negeri I Api-api Pekalongan, lulus tahun 1983. Sekolah Menengah Pertama

diselesaikan pada tahun 1986 di SMP I Wiradesa Pekalongan, Sekolah Menengah

Atas ditempuh di SMA I Pekalongan Jurusan Biologi lulus tahun 1989.

Pada tahun 1990 penulis melanjutkan di Jurusan Perikanan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus Strata 1

tahun 1996. Tahun 1999 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Pada tahun 2000

penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 di Institut Pertanian Bogor pada Program

Studi Teknologi Pascapanen (TPP). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dana

Pendidikan BPPS. Penulis telah menikah dengan Tri Yusufi Mardiana, MSi dan telah

dikaruniai tiga anak, Hakimah Nur Yusla, Ghatfan Mohammad Atiwiar dan Humam

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………

xi

DAFTAR GAMBAR ………...

xii

DAFTAR LAMPIRAN ………

xiii

PENDAHULUAN………...

Latar Belakang ……….

1

Tujuan dan Manfaat ……….

4

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Gurami ……….

5

Komposisi Ikan ………

6

Jeruk Nipis ………..……….

7

Garam Dapur ………

8

Klorin ………...

8

Kerusakan Daging Ikan ………

10

Modified Atmosphere Packaging

……….. 14

Pengaruh CO

2

terhadap Pertumbuhan Bakteri ………...

14

Film Kemasan Plastik ………..

16

Penentuan Umur Simpan………..

17

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat ………...

18

Tahapan Penelitian ………..

18

Prosedur Analisis ……….………

22

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ….………

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Proksimat Ikan Gurami………..

27

Rendemen Fillet Gurami………..………

27

(19)

Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TPC………

29

Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TVB……… ….

29

Pengaruh Pencucian terhadap Nilai pH………

31

Umur Simpan Fillet pada 10

o

C……… …………..

31

Pengaruh MAP terhadap Nilai TPC……… …

32

Pengaruh MAP terhadap Nilai TVB………

33

Pengaruh MAP terhadap Nilai pH……… …..

34

Nilai Organoleptik Fillet Gurami MAP………

34

Perkiraan Umur Simpan ………

36

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ………..

39

Saran ………

39

(20)

DAFTAR GAMBAR

No

Halaman

1

Produksi ikan gurami di Indonesia tahun 1997-2004…………..

3

2

Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati…………

12

3

Alur penelitian pencucian dan pengemasan fillet ikan gurami

dalam MAP……….

20

4

Tren penurunan nilai organoleptik fillet gurami MAP selama

penyimpanan 24 hari………

35

5

Fillet dicuci klorin, CO

2

0%, 18 hari

37

6

Fillet dicuci klorin, CO

2

45%, 18 hari

37

7

Fillet dicuci klorin, CO

2

30%, 18 hari

37

8

Fillet dicuci klorin, CO

2

60%, 18 hari

37

9

Fillet dicuci air garam-jeruk, CO

2

0%, 18 hari

38

10

Fillet dicuci air garam-jeruk, CO

2

45%, 18 hari

38

11

Fillet dicuci air garam-jeruk, CO

2

30%, 18 hari

38

(21)

DAFTAR TABEL

No

Halaman

1

Komposisi kimia daging ikan gurami (

Osphronemous gouramy

Lac.) ………..

6

2

Kandungan gizi dalam tiap 100 g buah jeruk nipis dan beberapa

jenis jeruk lain………..

7

3

Komposisi kimia daging ikan gurami………..

27

4

Nilai log jumlah total bakteri per g fillet pada beberapa

perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10

o

C

(rerata±sd, kol/g)………

29

5

Nilai TVB fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan

penyimpanan pada suhu 10

o

C (rerata±sd, mg/100 g)………

30

6

Nilai pH fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan

penyimpanan pada suhu 10

o

C (rerata±sd)……….

31

7

Prediksi umur simpan dengan batas TVB maximal 30 mg

N/100g daging ikan ………...

32

8

Nilai log jumlah total bakteri fillet gurami dengan perlakuan

kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5

o

C

(rerata±sd)………..

32

9 Nilai TVB fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan

modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5

o

C (rerata±sd)...

33

10 Nilai pH fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan

modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5

o

C (rerata±sd)...

34

11 Nilai organoleptik fillet gurami selama penyimpanan 24 hari

dalam kemasan modifikasi atmosfir ………..…………...

35

12 Perkiraan umur simpan fillet dengan persamaan regresi lama

penyimpanan dan skor organoleptik fillet ………

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

No

Halaman

1

Proporsi air perasan jeruk nipis per buah jeruk ……….

45

2

Perhitungan rendemen fillet gurami ………

46

3

Form penilaian fillet segar ………. ……….

47

4

Data TVB, TPC, pH dan kadar air fillet pada percobaan 1 dan

anova masing-masing lama penyimpanan ………

50

5

Data nilai log TPC fillet gurami dalam MAP dan uji statistik …

57

6

Nilai TVB fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…………

61

7

Nilai pH fillet gurami dalam MAP dan uji statistik……….

65

8

Nilai kadar air fillet gurami dalam MAP dan uji statistik………

69

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi karena

kandungan dan kualitas protein, kelengkapan asam-asam amino esensial,

kandungan kolesterol rendah dan rasanya yang enak. Namun ikan merupakan

bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (highly perishable food)

sehingga memiliki umur simpan yang pendek dan daerah distribusi yang terbatas.

Hasil tangkapan ikan dan invertebrata dunia mencapai 100 juta metrik ton per

tahun, hanya 20% diproses sebagai makanan dan sepertiga yang dikonsumsi,

selebihnya merupakan limbah (Shahidi 1994). Untuk dapat dimanfaatkan dalam

waktu yang lama perlu dilakukan penanganan dan atau pengolahan seperti

pembekuan, pengeringan, dan pengalengan. Akhir-akhir ini terdapat

kecenderungan adanya peningkatan permintaan akan ikan segar.

Sejalan dengan aktivitas manusia yang semakin meningkat, terdapat

kecenderungan konsumsi makanan yang lebih praktis. Konsumen menghendaki

bahan makanan yang segar, berkualitas, praktis, dan mudah penanganan dalam

memasak (ready to cook) atau dikenal dengan minimaly process. Prinsip

minimaly proces yang dikerjakan pada tingkat produksi (on farm) selain untuk

memenuhi kebutuhan trend konsumen juga memiliki keuntungan lain diantaranya

mengurangi limbah organik kota dan pemanfaatan limbah oleh petani. Menurut

Silva dan Dean (2001), diversifikasi bentuk sajian yang menarik dan diikuti oleh

upaya pemasaran intensif pada industri telah meningkatkan konsumsi perkapita

terhadap ikan cat fish dari 0.41 pound menjadi 1.07 pound selama 10 tahun

terakhir di USA.

Pada prinsipnya kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan tetapi masih

dapat dipertahankan untuk jangka waktu tertentu. Teknologi pascapanen

memiliki peranan yang sangat penting dalam mempertahankan kesegaran ikan

untuk waktu yang lebih lama, sehingga dapat mencapai distribusi yang lebih luas.

Salah satu teknologi dalam mempertahankan kesegaran ikan adalah Modified

(24)

komposisi gas dalam lingkungan kemasan yang dikombinasikan dengan

penyimpanan pada suhu rendah untuk mempertahankan kesegaran ikan dan

memperpanjang umur simpan. Manfaat lain dari MAP adalah praktis dalam

penanganan (handling), transportasi, menarik konsumen dan memungkinkan

ketersediaan produk secara kontinyu (Pastoriza et al. 1996).

Beberapa peneliti telah melaporkan tentang metode penyimpanan dan

pengemasan dengan sistem atmosfir termodifikasi, diantaranya Brown et al.

(1980), pada ikan rock fish dan salmon menggunakan gas CO2 sebesar 20% dan

40% dibandingkan dengan tanpa gas CO2; Banks et al. (1980), pada fin fish

menggunakan gas CO2 dan tanpa CO2 (vacum); Lannelogue et al. (1982), pada

udang brown shrimp menggunakan campuran gas CO2 dengan O2, CO2 dengan N2

dan CO2 100%; Cann (1988), pada ikan cod menggunakan campuran gas

CO2/N2/O2 dengan perbandingan 40/30/30 persen; dan Silva et al. (1994) pada

fillet ikan cat fish menggunakan campuran gas CO2/N2/O2 dengan perbandingan

90/7,5/2,5 persen. Hampir semua peneliti di atas menyimpulkan, bahwa

penyimpanan ikan segar dengan metode MAP yang menggunakan gas CO2, dapat

memperpanjang umur simpan sekitar 12-15 hari. Menurut Cann (1988), lamanya

umur simpan ikan segar dengan metode MAP dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu spesies, kualitas awal ikan sebelum disimpan, suhu penyimpanan dan

campuran gas yang digunakan.

Ikan gurami (Osphronemous gouramy Lacepede) merupakan salah satu

jenis ikan yang populer dan banyak digemari bagi masyarakat Indonesia. Ikan ini

sering menjadi menu khusus dalam beberapa restoran dan memiliki harga yang

relatif mahal. Produksi nasional dalam beberapa tahun terakhir mengalami

peningkatan, yaitu 8 674 ton pada tahun 1997 menjadi 23 758 ton pada tahun

(25)

Gambar 1 Produksi ikan gurami di Indonesia tahun 1997-2004 (dalam ton).

Pada umumnya ikan gurami ukuran konsumsi dipasarkan dalam keadaan

masih hidup. Pemasaran ikan hidup membutuhkan penanganan yang kompleks,

mulai dari transportasi, penyajian, perawatan dan pelayanan. Transportasi ikan

hidup selain membutuhkan penanganan khusus, juga biaya yang tinggi

dikarenakan kapasitas yang terbatas. Ikan gurami juga memiliki daya tahan yang

berbeda dengan ikan lele atau ikan mas yang dapat diangkut dengan kepadatan

lebih tinggi. Penyajian ikan gurami hidup membutuhkan wadah khusus seperti

akuarium dan pelayanan penjualan yang berbeda dengan ikan lain. Hal-hal

tersebut mengakibatkan biaya pemasaran ikan hidup menjadi tinggi dan

mengakibatkan harga jual ditingkat konsumen relatif mahal.

Peningkatan produksi ikan gurami yang tidak disertai perluasan pasar

mengakibatkan harga berfluktuasi sehingga upaya untuk menambah diversifikasi

produk perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang beragam dan

meningkatkan konsumsi. Perlu diupayakan bentuk sajian ikan gurami segar yang

praktis, mudah dan menarik serta aman diantaranya dengan teknik minimally

process seperti dalam bentuk fillet yang dikemas secara MAP.

Menurut Phillips (1996) teknik MAP yang dikombinasi dengan prosedur

dekontaminasi seperti penggunaan trisodium fosfat, larutan buffer asam

laktat/sodium laktat atau teknik irradiasi pada daging dan ikan dapat

meningkatkan umur simpan dan secara mikrobiologis aman. Penggunaan bahan

kimia seperti klorin sebagai bahan pencuci untuk mengurangi/menghilangkan 9.820

14.065 19.027

16.438

22.666 23.758

9.665

8.674

0 5000 10000 15000 20000 25000

(26)

kontaminasi sejauh ini masih digunakan sampai batas diperbolehkan. Namun

kebutuhan untuk menyediakan makanan yang sehat dan aman menuntut pencarian

bahan organik sebagai alternatif bahan pencuci fillet. Secara tradisional perasan

air jeruk nipis digunakan sebagai materi penghilang bau amis pada ikan sebelum

dimasak.

Dalam penelitian akan digunakan larutan air jeruk nipis, garam, klorin dan

air bersih sebagai bahan pencuci fillet ikan gurami yang dikemas dengan teknik

MAP.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan

pascapanen yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP

dengan mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas CO2 yang optimal dan

umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Gurami

Sistematika ikan gurami (Osphronemus gouramy Lacepede) menurut

Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Bangsa : Labirinthici

Subbangsa : Anabantoidei

Suku : Anabantidae

Marga : Osphronemus

Jenis : Osphronemus gouramy Lacepede

Gurami memiliki bentuk fisik yang khas, badannya pipih, agak panjang

dan lebar. Badan tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar. Mulutnya kecil,

letaknya miring, tidak tepat di bawah ujung moncong. Bibir bawah terlihat

menonjok sedikit dibanding bibir atas. Ujung mulut dapat disumbulkan sehingga

nampak monyong. Bentuk kepala gurami akan menjadi tumpul bila sudah besar

dan jantan yang sudah tua terdapat tonjolan seperti cula. Punggungnya tinggi dan

mempunyai sirip perut dengan jari-jari yang sudah berubah menjadi alat peraba.

Badan gurami pada umumnya berwarna biru kehitaman dan bagian perut

berwarna putih. Warna tersebut akan berubah menjelang dewasa yaitu pada

bagian punggung berwarna kecoklatan dan pada bagian perut berwarna keperakan

atau kekuningan. Ujung sirip punggung dan sirip dubur dapat mencapai pangkal

ekor. Sirip berbentuk busur. (Saanin 1984).

Gurami dapat tumbuh hingga 65 cm dan berat lebih dari 10 kg. Di Jawa

ikan ini dikenal dengan nama gurami, grameh atau brami, sedangkan di Sumatera

dan Kalimantan gurami dikenal dengan nama kalui, sialui, kalua, kalau dan kalwe

(28)

Komposisi Ikan

Ikan mempunyai komposisi kimia yang bervariasi baik antar spesies, antar

individu dalam satu spesies yang sama dan bahkan antar bagian dalam satu

individu ikan. Menurut Stansby (1963), variasi tersebut disebabkan karena

pengaruh beberapa faktor antara lain umur, laju metabolisme dan aktivitas

pergerakannya. Disamping faktor-faktor di atas menurut Spinelli dan Dassow

(1982), variasi tersebut juga dipengaruhi oleh musim, lokasi penangkapan dan

tingkat kematangan seksual ikan.

Ikan sebagai sumber protein hewani, mempunyai nilai gizi yang tinggi.

Hal ini disebabkan karena kandungan proteinnya yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya; kandungan kolesterolnya yang rendah; lemak ikan mengandung

asam lemak tak jenuh; minyak ikan merupakan sumber vitamin A dan juga

mengandung vitamin B, C, D, E dan K; ikan mengandung mineral-mineral dengan

kadar yang tinggi; dan daging ikan mempunyai sedikit tenunan pengikat sehingga

mudah dicerna (Winarno 1993).

Menurut Winarno (1993), protein hewani disebut juga sebagai protein

lengkap dan bermutu tinggi, karena mengandung semua asam-asam amino

essensial dalam jumlah cukup dan susunannya mendekati sususnan asam amino

yang terdapat dalam tubuh manusia. Komposisi daging ikan secara umum terdiri

dari air sebesar 60-80%, protein 18-30%, lemak 0.1-2.2%, karbohidrat (glikogen)

0.0-1.0% dan sisanya adalah vitamin dan mineral (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Adapun komposisi kimia daging ikan gurami disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac.)

Unsur Gizi Persentase Basis Basah

Kadar air 76 %

Kadar abu 5.28 %

Protein 78.04 % bk

Lemak 7.90 % bk

(29)

Jeruk Nipis

Jeruk nipis (Citus aurantifolia Swingle) atau sering disebut jeruk mipis

(Sunda), jeruk pecel (Jawa) dan jeruk dhurga (Madura) merupakan jenis jeruk

yang banyak mengandung air, rasanya sangat masam dan aromanya sedap

(Sarwono 2001). Jeruk memiliki kandungan gizi yang baik dan mengandung zat

bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadinya perdarahan pada pembuluh

nadi, kemunduran mental dan fisik serta mengurangi luka memar (brueise).

Jeruk nipis sering digunakan sebagai komponen jamu tradisional, pencampur

berbagai bahan masakan dan digunakan untuk menghilangkan bau amis ikan.

Pada Tabel 2. disajikan kandungan gizi beberapa jenis jeruk.

Tabel 2 Kandungan gizi dalam tiap 100 gram buah jeruk nipis dan beberapa jenis jeruk lain

Kandungan gizi Jumlah

Jeruk nipis Jeruk manis Jeruk keprok Jeruk besar

Kalori (kkal) 37.00 45.00 44.00 48.00

Protein (g) 0.80 0.90 0.80 0.60

Lemak (g) 0.10 0.20 0.20 0.30

Karbohidrat (g) 12.30 11.20 10.90 12.40

Kalsium (mg) 40.00 33.00 33.00 23.00

Fosfor (mg) 22.00 23.00 23.00 27.00

Zat besi (mg) 0.60 0.40 0.40 0.50

Vit. A (SI) - 190.00 420.00 20.00

Vit. B1 (mg) 0.04 0.08 0.07 0.04

Vit. C (mg) 27.00 49.00 31.00 43.00

Air (g) 86.00 87.20 87.30 86.30

Bagian yang dapat dimakan (%)

76 72 71 62

Sumber : Sarwono (2001)

Selain kandungan gizi yang baik jeruk nipis merupakan sumber minyak

atsiri “lemonen” dan asam sitrat. Kandungan asam sitrat pada jeruk nipis

mencapai 6-7% (Sarwono 2001). Asam sitrat merupakan suatu “sekuestran” (zat

pengikat logam) yang paling sering digunakan dalam bahan makanan selain fosfat

dan garam etilen diamine tetra asetat (EDTA) (Winarno 1997). Lebih lanjut

(30)

mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga mampu mengalahkan

sifat dan pengaruh jelek logam tersebut terhadap bahan.

Logam terdapat pada bahan alami dalam bentuk senyawa komplek

misalnya Mg pada klorofil; Fe pada ferritin, rofin, porfirin serta haemoglobin; Co

pada vitamin B12; Cu, Zn dan Mn dalam berbagai enzim. Ion-ion logam ini dapat

terlepas dari ikatan kompleksnya karena hidrolisis maupun degradasi. Ion logam

bebas mudah bereaksi mengakibatkan perubahan warna, ketengikan, maupun

perubahan rasa. Sekuestran akan mengikat ion logam sehingga menjaga

kestabilan bahan, dari perubahan warna, rasa dan tekstur.

Garam Dapur

Garam dikenal sebagai bahan pengawet paling tua, terutama dalam

pembuatan ikan asin (Hadiwiyoto 1993). Penggunaan garam disebabkan garam

memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) garam dapur dapat menyebabkan

berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan aktivitas air

menjadi rendah, (2) menyebabkan protein daging dan protein mikroba

terdenaturasi, (3) menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan

tekanan osmosis, dan (4) ion klorida yang terdapat dalam garam dapur

mempunyai daya toksisitas yang tinggi pada mikroba dan dapat memblokir sistem

respirasi.

Penggunaan garam dapur dalam penanganan ikan segar telah banyak

digunakan terutama dalam pembuatan es air garam, es air laut maupun air garam

yang didinginkan. Selain karena sifat bakteriostatisnya, garam juga menyebabkan

suhu yang dihasilkan lebih rendah dibanding air murni. Penggunanan air garam

juga lazim digunakan untuk pencucian udang maupun ikan segar sebelum

(31)

Klorin

Klorin sering digunakan sebagai saniter di perusahaan-perusahaan

perikanan (Ilyas 1983). Pemakaian klorin bertujuan untuk mengurangi jumlah

bakteri yang ada pada bahan karena sifat antimikroba dari klor. Suparno (1992)

menyarankan perendaman 100 ppm selama 5-10 menit untuk mengurangi jumlah

bakteri pada udang windu yang akan dibekukan.

Menurut Wijayanti (1999) mekanisme klorin sebagai sanitizer yang

diharapkan dapat membunuh bakteri belum sepenuhnya diketahui. Namun diduga

asam hipoklorit (HOCl) yang merupakan senyawa paling aktif akan menghambat

oksidasi glukosa dalam sel mikroorganisme, dengan cara menghambat

enzim-enzim yang yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat.

Klorin cair (Cl2) atau natrium hipoklorit (NaOCl) dalam air akan

terhidrolisis membentuk asam hipoklorit (HOCl). Selanjutnya asam hipoklorit

akan terdisosiasi membentuk ion hidrogen (H+) dan ion hipoklrorit (OCl-)

menurut reaksi berikut :

Cl-2 + H2OÆ HOCl + H+ + Cl-

NaOCl + H2O Æ NaOH + HOCl

HOCl Æ H+ + OCl

Asam hipoklorit akan merusak membran sel kemudian mengoksidasi

kelompok sulfidril dalam protein sehingga menyebabkan inaktivasi enzim. Klorin

juga merusak lapisan pelindung spora bakteri (Garbut 1997).

Menurut Winarno (1994) klorin dalam larutan membentuk senyawa HOCl

(asam hipoklorit) yang berfungsi sebagai senyawa aktif dan bekerja membunuh

dan menghancurkan bakteri. Pembentukan HOCl sangat tergantung pada pH.

Pada pH 4.0-5.0, HOCl terbentuk secara maksimal. Kurang atau lebih dari pH

tersebut, pembentukan HOCl menurun, demikian pula efektivitasnya. Dari segi

lain, pada pH kurang dari 5, larutan klorin bersifat sangat korosif. Agar tidak

korosif tetapi daya bunuhnya masih tetap tinggi, larutan dijaga agar berada pada

pH 6.0-7.5. Natrium dan kalsium hipoklorida akan meningkatkan pH larutan.

(32)

pH larutan tersebut yang mengakibatkan sanitizer semakin tidak efektif, karena

HOCl yang diproduksi semakin sedikit. Bila air yang digunakan bersifat basa,

harus ditambahkan asam agar menjaga agar pH larutan berada pada kisaran

6.5-7.0 (Winarno 1994).

Air yang digunakan sebagai bahan penolong dalam pengolahan ikan harus

memenuhi persyaratan kualitas air minum. Air yang digunakan dalam pencucian

ikan dapat ditambahkan klorin dengan kadar yang tidak melebihi 10 ppm. Selain

klorin juga dapat dilakukan dengan cara lain yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kualitas air dalam pencucian (Kep. 01/Men/2002). Akan tetapi

penggunaaan klorin secara terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada kulit

(Snyder 2004).

Kerusakan Daging Ikan

Ikan merupakan bahan makanan yang mudah rusak (perishable food), hal

ini disebabkan kandungan glikogen yang rendah (Winarno 1993). Menurut

Frazier (1967) setelah ikan mati, perubahan mula-mula ialah ikan mengalami

rigor mortis, yaitu proses dimana ikan mengalami kejang, kaku dan mengeras,

selanjutnya terjadi proses autolisis yang menyebabkan sebagian cairan daging

keluar dari sel dan ini merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri.

Menurut Eskin (1990) suatu rangkaian reaksi biokimia dan fisikokimia

terjadi pada saat ikan mati hingga sampai dikonsumsi sebagai edible fish

Periode ini dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Kondisi prerigor, pada saat jaringan masih lembut dan plieble dengan sifat

kimia seperti turunnya ATP dan kreatin fosfat sebagai aktivitas glikolisis.

Glikolisis pascamati menghasilkan perubahan glikogen menjadi asam

laktat, sehingga pH turun. Banyaknya perubahan pH bervariasi dari satu

spesies dengan spesies lain, demikian juga jenis ototnya. Pada hewan

yang well-rested memiliki cadangan glikogen yang besar sehingga

(33)

2. Perkembangan selanjutnya ialah kondisi kejang dan kaku pada otot, yang

secara umum dikenal sebagai rigor mortis. Kejadian ini diikuti dengan

turunnya pH dan dikaitkan dengan formasi aktomiosin. Hilangnya

ekstensibilitas berkaitan dengan formasi aktomiosin menghasilkan slowly

of first dan kemudian extremly rapidly. Secara normal awal dari rigor

mortis terjadi 1-12 jam pascamati dan bisa berakhir antara 15-20 jam pada

mamalia, bergantung beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pada ikan

rigor mortis terjadi lebih singkat sekitar 1-7 jam pascamati dengan

beberapa faktor yang mempengaruhi durasinya.

3. Postrigor, setelah rigor mortis berakhir, maka terjadi tingkat post rigor

yaitu kembali melunaknya tekstur daging ikan. Tingkat postrigor

nerupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis,

pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan. Tingkat postrigor ditandai

dengan adanya amoniak pada proses autolisis. Proses ini menyebabkan

terjadinya penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana,

yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH

jaringan ikan. Keadaan basa, adanya hasil pemecahan protein, lemak dan

karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

selanjutnya ikan akan mengalami kerusakan hingga mengalami

kebusukan. Proses perubahan biokimiawi dari awal hingga busuk

diuraikan secara skematis oleh Eskin (1990) seperti disajikan pada

Gambar 2.

Menurut Hadiwiyoto (1993) kerusakan ikan terjadi secara biokimiawi dan

mikrobiologis. Kerusakan biokimiawi dilakukan oleh enzim-enzim dalam tubuh

ikan yang masih aktif walaupun ikan telah mati namun berubah fungsi menjadi

perusak. Enzim akan menguraikan senyawa makromolekul menjadi

senyawa-senyawa lebih sederhana sampai akhirnya akan terbentuk senyawa-senyawa yang mudah

(34)
[image:34.612.127.539.112.607.2]

Gambar 2 Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati (Eskin 1990).

Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh aktivitas bakteri. Daging ikan

merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri, ia menyediakan sumber

(35)

langsung dapat digunakan oleh bakteri. Proses autolisis daging akan membantu

menyediakan senyawa sederhana yang segera dapat dipakai mikroba. Mikroba

juga memproduksi enzim-enzim pengurai untuk mempercepat mendapatkan

senyawa sederhana. Dengan demikian proses autolisis dan aktivitas mikroflora

bersifat sinergis dalam proses kerusakan daging ikan Hadiwiyoto (1993).

Pada tubuh ikan terdapat berjuta-juta bakteri dan mikroorganisme lain.

Konsentrasi bakteri terutama terdapat pada selaput lendir permukaan tubuh ikan,

insang, dan isi perut atau usus (Burgess et al. 1967; Shewan 1961). Pada

dasarnya daging ikan tidak mengandung bakteri. Kepadatan bakteri pada

permukaan tubuh ikan sekitar 102-107 sel/cm2 dan cairan isi perut 103-108 sel/cm3

serta 103- 107 sel/gram jaringan insang. Diantara bakteri-bakteri yang ditemukan

antara lain Pseudomonas, Vibrio, dan Mycobacterium spp, diantaranya bersifat

patogen Hadiwiyoto (1993).

Menurut Graikoski (1973) dari hasil isolasi bakteri pada insang, saluran

pencernaan dan lendir kulit ikan ternyata Pseudomonas sp meliputi 60% dari

jumlah total mikroba, dan sekitar 20% terdiri dari Corynebacterium sp,

Flavobacterium sp, dan Micrococus sp. Sisanya terdiri dari campuran spesies

Alcaligenes, Proteus, Serratia dan Escherichia. Lebih jauh dijelaskan bahwa

komposisi dan konsentrasi bakteri tergantung dari kebiasaan makan ikan dan jenis

makanan yang dicerna. Disamping itu dipengaruhi oleh tempat/ lingkungan

dimana ikan tersebut ditangkap.

Frazier (1967) menyatakan bahwa jenis-jenis mikroba yang menyebabkan

pembusukan pada ikan bervariasi menurut suhu penanganan ikan tersebut. Pada

umumnya jenis psikrofilik dari spesies Pseudomonas lebih dominan, diikuti

spesies Achromobacter dan Flavobacterium, sedangkan pada suhu tinggi adalah

genus Micrococcus dan Bacillus.

Modified Atmosphere Packaging

Menurut Garthwaite (1995) pada awal 1930-an ditemukan bahwa

(36)

Pseudomonas spp dan organisme pembusuk lain pada penyimpanan dingin di

bawah 4 oC. Efek fisiologis dari CO2 ini digunakan dalam teknologi ikan untuk

mengontrol pertumbuhan Pseudomonas spp dalam pendinginan ikan dan hasilnya

dapat memperpanjang umur simpan produk ikan dingin.

Pengemasan ikan dengan komposisi atmosfir khusus dapat

memperpanjang umur simpan hingga 30% jika suhu penyimpanan dipertahankan

di bawah 2 oC Komposisi utama dari atmosfir kemasan adalah CO2, O2 dan N2.

Kemasan dengan merubah komposisi atmosfir ada dua jenis yaitu Controlled

Atmosphere Packaging (CAP) dan Modified Atmosphere Packaging (MAP).

Sistem Modified Atmosfer Packaging dilakukan dengan cara memasukkan ikan

kedalam kantong plastik (kemasan) kemudian dimasuki campuran gas sebelum

di-sealing. Plastik yang digunakan memiliki permiabilitas rendah terhadap gas

yang digunakan (Garthwaite 1995).

Pengaruh CO2 terhadap Pertumbuhan Bakteri

Mekanisme bagaimana CO2 dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri,

belum ada penjelasan secara sempurna. Namun pengaruh MAP secara

keseluruhan dapat menekan pertumbuhan bakteri pada lag fase yang akan

meningkatkan umur simpan produk hasil perikanan sekitar 50 –100% (Statham

1984).

Menurut Banks et al. (1980), ada dua teori yang dapat menjelaskan

mengapa CO2 dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Teori pertama

menyatakan bahwa dalam tubuh ikan terjadi reaksi antara CO2 dengan air (H2O)

dari produk. Reaksi ini menghasilkan asam karbonat dan ion hidrogen, menurut

reaksi sebagai berikut :

CO2 + H2O Æ H2CO3 Æ H+ + HCO3

Dengan adanya reaksi tersebut akan menyebabkan pH tubuh ikan rendah.

Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang sensitif

(37)

Bakteri-bakteri pembusuk umumnya adalah sensitif terhadap keadaan asam (pH

rendah), sehinga perlakuan CO2 akan menghambat pertumbuhannya.

Teori yang kedua, adalah bahwa CO2 mempengaruhi enzim spesifik yang

terdapat pada bakteri, dimana konsentrasi CO2 yang tinggi akan menghambat

aktivitas metabolisme bakteri yang menyebabkan pertumbuhannya menjadi

terganggu. Bakteri Gram negatif yang merupakan bakteri pembusuk pada ikan

segar (seperti Pseudomonas spp) lebih sensitif terhadap CO2 dibandingkan

dengan bakteri Gram positif (seperti Lactobacillus sp).

Sistem penyimpanan modifikasi atmosfir dengan CO2 tinggi dapat

merubah distribusi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Flora ikan yang

dikemas dengan tanpa CO2 didominasi oleh bakteri Gram negatif yang bersifat

pembusuk dan sebaliknya ikan yang dikemas dengan CO2 didominasi oleh bakteri

Gram positif.

Menurut Lannelongue et al. (1982) tingkat konsentrasi CO2 tinggi bersifat

bakterisidal pada flora awal, sehingga dapat memperpanjang masa lag fase sekitar

6-10 hari pada brown shrimp dan fresh water crayfish (Wang dan Brown 1983).

Kemungkinan lain terganggunya pertumbuhan bakteri pada perlakuan CO2

adalah karena berkurangnya jumlah O2 dari kondisi normal. Keadaan ini tidak

sesuai dengan syarat pertumbuhan bakteri aerob sempurna (obligat aerobic), yang

mengakibatkan bakteri tersebut akan mati atau terganggu pertumbuhannya (Roger

et al. 1984).

Film Kemasan Plastik

Sistem MAP membutuhkan jenis kemasan yang spesifik untuk menjaga

agar komposisi atmosfir dalam kemasan yang ditentukan pada awalnya tidak

mengalami perubahan selama penyimpanan. Beberapa syarat yang perlu

diperhatikan dalam memilih bahan kemasan yaitu: bahan kemasan tidak

mengandung bahan kimia yang dapat bereaksi dengan produk atau zat yang

bersifat beracun bagi konsumen, sifat permiabilitas plastik diketahui, bentuk dan

ukuran kemasan disesuaikan dengan cara penanganan dan biaya kemasan

(38)

Menurut Sacharow dan Griffin (1980) film plastik yang banyak digunakan

dalam kemasan produk-produk segar adalah Polyethylene (PE), Oriented

Polypropylene (OPP) dan Polyvinylchlorida (PVC). Steck (1991) menyatakan

bahwa pengemasan produk ikan segar dengan MAP sebaiknya menggunakan

plastik yang agak kaku (semirigid) dan film yang transparan sehingga produk

mudah dilihat tanpa membuka kemasannya. Ia menyarankan penggunaan plastik

PVC atau HDPE.

Weathon dan Lawson (1985) menyarankan penggunaan bahan kemasan

dengan permiabilitas terhadap O2 sekitar 5 cc/m2/24 jam/atm pada suhu 25 oC.

Scott et al. (1984) menggunakan film dengan permiabilitas 20 cc/m2/24 jam/atm

pada suhu 25 oC untuk MAP fillet ikan snapper, sedangkan Lannelongue et al.

(1982) menggunakan plastik PVC dan LDPE dengan permiabilitas terhadap O2

berturut-turut 7.75 dan 8.06 serta terhadap CO2 37.20 dan 13.18 cc/m2/24/atm

pada 25 oC.

Pada pengemasan produk perikanan dengan modifikasi atmosfir umumnya

menggunakan tiga bentuk kemasan, yaitu kemasan dalam bentuk besar (bulk),

kemasan induk (master pack) dan kemasan eceran (retail pack). Diantara ketiga

cara tersebut cara eceran adalah yang banyak digunakan (Cann 1988).

Penyusunan produk dalam kemasan perlu dihindari pelapisan produk untuk

mendapatkan kontak dengan CO2 yang lebih baik.

Penentuan Umur Simpan

Umur simpan produk pangan merupakan selang waktu antara saat

produksi hingga komsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang

memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi atau

secara umum produk masih dapat diterima sesuai tujuan konsumen (IFT 1974).

Umur simpan juga berarti waktu yang diperlukan dalam kondisi peyimpanan,

untuk mencapai tingkat degradasi mutu tertentu (Floros dan Gnanasekharan

(39)

(ESS) dan Accelerated Storage Study (ASS). ESS atau disebut juga metode

konvensional dilakukan dengan cara menyimpan produk pada kondisi normal

sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable

quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. ASS digunakan untuk produk

yang umur simpannya lebih panjang dengan cara menggunakan suatu kondisi

lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi produk pangan metode

konvensional banyak digunkan untuk produk pangan yang umur simpanya kurang

dari 3 bulan, sedangkan produk pangan yang umur simpannya lebih dari 3 bulan

(40)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan Maret-Nopember 2005, di Kolam

Babakan Sawah Baru FPIK IPB; Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan

Hasil Pertanian; Laboratorium Kimia TPG FATETA dan Laboratorium

Mikrobiologi Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PSSHB) IPB.

Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dua tahap, tahap pertama bertujuan untuk

menentukan bahan pencuci yang baik berdasarkan nilai parameter signifikan.

Tahap II bertujuan untuk menentukan komposisi atmosfer yang menghasilkan

kualitas fillet terbaik atau umur simpan tertinggi. Secara skematis disajikan pada

Gambar 3.

Pembuatan fillet

Ikan yang dibuat fillet ialah ikan gurami yang diperoleh dari Kolam

Babakan Sawah Baru dengan berat 800-1200 g. Sebelum dibuat fillet dilakukan

pemberokan (ikan dipuasakan), yang bertujuan untuk mengurangi bau lumpur dan

meningkatkan konsistensi dari daging ikan gurami yang dihasilkan.

Pemberokan dilakukan dengan cara ikan ditampung dalam bak ukuran

2,5x2x0,6 m3 dengan air jernih yang dibuat mengalir dan diberi aerasi. Lama

pemberokan 3 sampai 5 hari. Selama pemberokan tersebut ikan tidak diberi

pakan, baik pelet maupun daun talas (Khaeruman dan Amri 2003; Tanudi 2003).

Pembuatan fillet dilakukan dengan prosedur (SNI 01-4103.2-1992)

sebagai berikut :

1. Pelumpuhan

Ikan gurami hidup yang diambil dari bak pemberokan dilakukan

(41)

banyak bergerak/ menggelepar, selain memudahkan dalam penanganan

juga menghindari timbunan asam laktat pada daging ikan.

2. Pembuangan darah

Pembuangan darah dilakukan dengan cara memotong pembuluh darah

pada insang, belakang sirip dada insang dan pangkal ekornya (Junianto

2003).

3. Penampungan sementara

Sebelum proses lebih lanjut maka ikan ditampung dalam keranjang

dengan mencampurkan es 1:1. Diusahakan ikan tidak terendam dalam

air.

4. Pemotongan/ penyayatan

Sebelum ikan difillet, maka terlebih dahulu dilakukan pemotongan

kepala dan pembuangan isi perut. Selanjutnya dilakukan pemfilletan

dengan cara penyayatan yang dimulai dari punggung mengarah ke perut

dan ekor, sehingga didapat kepingan daging dari dua sisi tanpa terikut

tulang.

5. Pembuangan kulit dan duri

Untuk fillet gurami tanpa kulit maka, kulit dipisahkan dari daging

dengan pisau tajam dan diusahakan tidak melukai/merusak daging.

Selanjutnya dilakukan pembuangan duri dengan menggunakan pisau

kecil atau pinset.

6. Perapihan

Perapihan fillet dilakukan dengan cara membuang/menyayat daging

perut yang masih tersisa pada fillet dan membuang lapisan daging

bagian tepi fillet agar rapi dan bersih.

Fillet ikan gurami tanpa kulit yang terbentuk siap digunakan dalam

percobaan tahap I. Pada tahap ini dilakukan pengamatan secara visual untuk

(42)
[image:42.612.95.553.109.622.2]

Gambar 3 Alur penelitian pencucian dan pengemasan fillet ikan gurami dalam

MAP.

Pembuatan fillet

Perlakuan Modifikasi Atmosfir

CO2 45% CO2 60%

CO2 30%

Penanganan MAP Fillet Gurami Optimal

Uji Orlep, TVB, TPC

Kombinasi Pencucian Optimal

Uji Orlep, TVB, TPC

Ikan Gurami

Air bersih Larutan garam

5%

Larutan Air jeruk

Klorin 10 ppm L. Garam + Air

jeruk nipis Perlakuan Pencucian

(43)

Percobaan I. Penentuan Bahan Pencuci Fillet

Percobaan tahap I bertujuan untuk mengetahui teknik dan bahan

pencucian fillet ikan gurami yang optimal. Dalam percobaan ini dibuat lima

perlakuan, yaitu :

1. Pencucian dengan air bersih,

2. Pencucian air garam 5 %,

3. Pencucian larutan air jeruk,

4. Larutan air jeruk dan garam,

5. Larutan klorin 10 ppm.

Bahan-bahan pencuci adalah sebagai berikut, air bersih adalah air dengan

kualitas air minum (SNI 01-4103.2-1992). Larutan garam yang digunakan dibuat

dengan cara melarutkan 50 g garam dapur/meja merk Berlian kedalam 1 l air

bersih. Larutan jeruk nipis dibuat dengan cara melarutkan air perasan jeruk nipis

sebanyak 60 ml ke dalam 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g (Lampiran 1).

Larutan jeruk ini memiliki pH 2-4. Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang

digunakan diperoleh dari kebun Agroteko Bogor. Jeruk dipilih yang sudah tua,

tetapi belum matang, disimpan 3 hari setelah dipetik dari pohon. Larutan klorin

10 ppm dibuat dengan cara melarutkan 10 g kaporit merk Ciwi Kimia ke dalam 1

l air. Air yang digunakan untuk bahan pencucian terlebih dahulu dibuat dingin

dengan cara mencampur air dengan es batu, hingga kira-kira suhunya 10 oC .

Pencucian Fillet

Pencucian fillet dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu: dua kali pencucian

sesuai perlakuan dan pembilasan dengan air bersih. Adapun cara pencucian

tersebut adalah:

1. Pencucian 1

Fillet dikelompokkan menjadi lima, masing-masing dicuci menurut perlakuan

1, 2, 3, 4 dan 5. Pencucian dilakukan dengan membersihkan secara hati-hati

(44)

dari permukaan fillet. Fillet yang telah dicuci (1) diletakkan dalam wadah

yang bersih.

2. Pembilasan

Fillet yang telah dicuci kemudian dibilas dengan air bersih, hingga aroma

bahan pencuci dan bau amis berkurang/hilang. Fillet kemudian diletakkan

kembali dalam wadah yang bersih.

3. Pencucian ke-2

Fillet yang telah dibilas diulangi dicuci dengan cara yang sama, seperti

pencucian ke-1 dan diletakkan dalam wadah yang bersih.

4. Pembilasan

Setelah pencucian ke-2, fillet kemudian dibilas dengan air bersih.

Fillet yang sudah dilakukan perlakuan pencucian diletakkan dalam wadah

(box) plastik berukuran 0.5 l secara individu, kemudian disimpan dalam lemari

dingin suhu 10 oC. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap pH, TPC (Total

Plate Count), TVB (Total Volatile Base) dan pengamatan indrawi (penampakan,

tekstur, dan bau) pada hari ke-0, 4, 8 dan 12.

Percobaan II. Penyimpanan dalam MAP

Hasil dari percobaan I berupa bahan pencucian fillet terpilih (dalam hal ini

digunakan 2 bahan) kemudian dipakai untuk penanganan fillet pada percobaan II.

Penentuan bahan terbaik didasarkan pada nilai parameter TVB, TPC dan

pengamatan visual serta umur simpan terbaik.

Percobaan II bertujuan untuk menentukan komposisi gas MAP yang

terbaik dan mengetahui umur simpan fillet. Perlakuan percobaan terdiri atas

pencucian dengan dua jenis bahan pencuci yang terpilih sebagaimana hasil

percobaan I, dikombinasikan dengan perlakuan kemasan MAP. Perlakuan MAP

terdiri atas penambahan gas CO2 pada konsentrasi : 0, 30, 45 dan 60%,

sedangkan lama penyimpanan ialah hari ke-0, 7, 14, 21 dan 24. Fillet kemasan

(45)

Prosedur Analisis

Adapun penentuan nilai parameter yang diamati adalah sebagai berikut :

1. Penentuan Total Volatil Bases (TVB) (Lembaga Penelitian Perikanan 1974)

Prinsip dari pengamatan ini adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil

basa (amoniak, mono-,di- dan tri metilamin dan lain-lain) yang terdapat dalam

ekstrak daging ikan yang bersifat basa, pada suhu 35 oC selama dua jam atau pada

suhu kamar selama satu malam. Senyawa-senyawa tersebut akan diikat oleh asam

borat dan kemudian dititrasi dengan larutan N/70.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, erlenmeyer 250 ml,

corong, cawan conway, kertas saring, gelas ukur, pipet ukur, buret 2 ml, magnetik

stirer dan inkubator. Bahan kimia yang digunakan adalah larutan borat, larutan

campuran dari satu bagian volume 0.1% metil merah alkohol, larutan 7%

Trichloroacetic Acid (TCA), larutan 40% formalin dan vaselin.

Prosedur kerjanya, mula-mula ditimbang sebanyak 25 g sampel contoh

ikan yang telah dirajang halus dan dimasukkan ke dalam gelas plastik, lalu

diblender bersama dengan 75 ml larutan TCA 7% dan disaring sampai diperoleh

filtrat contoh. Selanjutnya dipipet 1 ml filtrat yang telah diperoleh di atas ke

dalam bagian outer chamber dan cawan conway ditutup pada posisi hampir

menutup. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan kalium karbonat jenuh ke dalam

outer chamber yang berlawanan, dan 1 ml asam borat ke dalam inner chamber,

Selanjutnya cawan conway ditutup rapat (air tighr) dengan cara mengolesi

pinggirnya dengan vaselin.

Disamping itu dikerjakan blanko dimana larutan contoh diganti dengan

5% TCA, dengan prosedur kerja yang sama seperti di atas. Untuk setiap contoh

dan blanko dikerjakan secara duplo.

Cawan conway yang telah ditutup rapat tadi, kemudian digoyang

perlahan-lahan selama 1 menit dan disusun pada rak-rak inkubator. Selanjutnya diinkubasi

pada suhu 35 oC selama 2 jam atau suhu kamar selama 1 malam. Setelah inkubasi,

larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway blanko dititrasi dengan

larutan N/70 HCL hingga warnanya menjadi merah muda (pink). Kemudian

(46)

sama sampai diperoleh warna merah muda seperti pada blanko. Nilai TVB

dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Kadar TVB = (ml titrasi contoh - ml titrasi blanko) x 80 ml N/100 g

daging

2. pH

Pengukuran pH didasarkan pada jumlah konsentrasi ion H+ dalam daging

ikan yang bersifat buffer.

Peralatan yang digunakan adalah pH meter, blender, pisau, stop watch,

gelas ukur, gelas piala 100 ml dan gelas piala untuk pH 4 dan pH 7 serta peralatan

laboratorium lainnya.

Contoh yang telah dirajang kecil-kecil ditimbang sebanyak 20 g,

dimasukkan ke dalam blender (diputar) selama satu menit. Hasil lumatan

dituangkan ke dalam gelas piala 100 ml, kemudian diukur pH-nya dengan alat pH

meter yang telah ditera kepekaannya dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7.

Besarnya nilai pH adalah pembacaan jarum penunjuk pH meter setelah bergerak

selama satu menit.

3. Penentuan Total Plate Count (TPC) (Lembaga Penelitian Perikanan 1974)

Prinsip dari pengamatan ini adalah menentukan besarnya populasi bakteri

yang terdapat pada ikan, yang memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat

kesegaran ikan tersebut, karena bakteri merupakan faktor utama penyebab

pembusukan yang sedang berlangsung.

Peralatan yang digunakan adalah gunting, pisau, timbangan analitik, pipet

1 ml, blender jars, erlenmeyer (ukuran 250 ml, 500 ml, dan 100 ml), batang

pengaduk, tabung reaksi, inkubator, stop watch, pinset, cawan petri, pemanas

bunsen dan alat hitung bakteri quebec.

Prosedur kerjanya terdiri dari empat tahap yang saling berhubungan yaitu

tahap persiapan, inokulasi, inkubasi dan penghitungan. Mula-mula ditimbang 20

(47)

kecepatan tinggi selama dua menit. Larutan yang didapat adalah pengenceran 1 :

10. Selanjutnya dipipet larutan 1 : 10 diatas sebanyak 1 ml lagi kedalam cawan

petri steril dan 1 ml lagi ke dalam cawan petri yang lain sebagai duplo. Kemudian

disiapkan larutan 1 : 100, dengan memipet 1 ml larutan 1 : 10 dan dimasukkan ke

dalam larutan 0.9% NaCl 9 ml lalu dikocok sampai homogen, maka diperoleh

contoh 1 : 100. Dipipet larutan contoh 1 : 100 ini dimasukkan ke dalam cawan

petri steril kedua dan secara duplo. Selanjutnya dengan cara yang sama

dikerjakan inokulasi contoh sampai pengenceran 1 : 1 000 000 yang dilakukan

secara aseptis.

Ke dalam semua cawan petri yang telah berisi larutan contoh di atas,

dituangkan secara aseptis media tumbuh Plate Count Agar (PCA) steril bersuhu

45 oC sebanyak 15 ml, dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agarnya

memadat. Setelah itu semua cawan petri tersebut diinkubasikan pada suhu 37 oC

dengan posisi terbalik selama 48 jam. Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke

dalam cawan petri steril hanya dituangkan media tumbuh PCA 15 ml dan 1 ml

larutan pepton 1% steril.

Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah bakteri dengan menggunakan

alat hitung bakteri quebec. Perhitungan dilakukan sesuai dengan Standar Plate

Count (SPC)

4. Penilaian Organoleptik (SNI 01-2346-1991)

Pada percobaan I pengamatan organoleptik dilakukan secara deskriptif

pada awal penyimpanan hingga hari ke-12. Sedangkan pada percobaan II

pengamatan secara organoleptik dilakukan dengan uji skor oleh 10 orang

panelis tetap dengan form penilaian fillet sesuai SNI No 01-2346-1991 dan

RSNI 2005. Penilaian organoleptik meliputi parameter penampakan, tekstur

dan bau. Masing-masing parameter dinilai dengan skor tertinggi 9 untuk fillet

gurami sangat segar dan terendah 1 fillet yang sudah busuk, batas netral atau

garis penolakan 5 (Ilyas 1993). Uji organoleptik dilaksanakan di Lab. Orlep

(48)
(49)

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan tahap I dan II

adalah rancangan acak lengkap dengan persamaan linier sebagai berikut :

Y

ij

=

μ

+

τ

+

ε

ij

Dimana

: Y

ij

=

Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ

= rataan umum

τ

= pengaruh perlakuan pencucian ke-i

ε

ij = galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Pada percobaan I terdiri atas 5 perlakuan, yaitu : pencucian dengan air

bersih, air jeruk, air garam, air jeruk dan garam dan larutan klorin. Pengamatan

dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada hari ke-0, 4, 8 dan 12. Analisa keragaman

(Anova) data menggunakan one-way ANOVA pada program MINITAB 14

terhadap nilai TPC dan TVB untuk masing-masing pengamatan. Penentuan

perlakuan terbaik didasarkan perlakuan yang menghasilkan nilai TVB dan TPC

terkecil hingga pada pengamatan hari tertentu, dan pertimbangan umur simpan

yang tertinggi Selanjutnya hasil percobaan I digunakan sebagai perlakuan pada

percobaan II.

Pada percobaan II terdapat 8 perlakuan dengan rancangan acak lengkap

dengan pengamatan berulang pada hari ke-0, 7, 14, 18 dan 21 dan 24.

perlakuan tersebut adalah bahan pencuci A & B, dikombinasi dengan

komposisi gas CO2 : 0%, 30%, 45% dan 60% sehingga menjadi A.CO2 0%;

A.CO230%; A. CO2 45%; A. CO2 60%; B.CO20%; B.CO230%; B.CO245%;

dan B.CO260%. Anova dengan one-way ANOVA terhadap parameter TPC

dan TVB pada masing-masing pengamatan. Penentuan perlakuan terbaik

didasarkan pada nilai parameter yang menunjukkan kondisi filet pada umur

simpan tertinggi.

Analisis data hasil pengamatan organoleptik dilakukan dengancara

sederhana sesuai SNI No 01-2346-1991 dan RSNI 2005. Penentuan umur

(50)

bakunya) pada masing-masing amatan. Kemudian dibuat persamaan regresi

(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Proksimat Fillet Gurami

Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan

lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis

kering) (Tabel 3). Berdasarkan kandungan lemaknya Winarno (1993)

membagi tiga kelompok ikan, yaitu ik

Gambar

Gambar 2  Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati (Eskin 1990).
Gambar 3  Alur penelitian pencucian dan pengemasan fillet ikan gurami dalam
Tabel  3   Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac.)
Tabel 4  Nilai log jumlah total bakteri per g fillet pada beberapa perlakuan  pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata ± SD, koloni/g)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor motivasi karir, persepsi mahasiswa terhadap profesi akuntan berhubungan positif sedangkan lama pendidikan berhubungan negatif dengan

reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran, soal yang digunakan sebanyak 20 soal, dari 25 soal yang diujicobakan, karena sebanyak 5 soal tidak memenuhi syarat

Metode klasikal tradisional merupakan salah satu metode yang dipakai sudah sejak lama seiring adanya perkembangan pesantren semenjak masa-masa permulaan kedatangan

Salah satu dari tujuan perusahaan yang dinilai dari hasil kinerja karyawan adalah efektivitas kerja karyawan tersebut yaitu melalui pelayanan yang diberikan kepada pelanggan

Skripsi ini berjudul “Algoritma Ant Colony System dalam Penjadwalan Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Dasar” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Pengujian pengaruh genotipe gen DGAT1 terhadap komponen asam lemak susu sapi perah Friesian Holstein disajikan pada Tabel 5 Pengamatan komposisi asam lemak susu

Online Public Access Catalog (OPAC) berisikan informasi yang dibutuhkan pemustaka dengan persentase sebesar 76,66% yang termasuk kedalam kategori Setuju, dimana terdapat

Dengan berkembangnya program komputer untuk melakukan analisa struktur yang dapat memudahkan pembuatan model dan analisis, lalu dikarenakan melakukan percobaan