• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neraca nitrogen domba di UP3 Jonggol yang mendapat tambahan legum dan konsentrat pada ransum berbasis rumput Brachiaria huminidicola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Neraca nitrogen domba di UP3 Jonggol yang mendapat tambahan legum dan konsentrat pada ransum berbasis rumput Brachiaria huminidicola"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

545

NERACA NITROGEN DOMBA DI UP3 JONGGOL YANG MENDAPAT TAMBAHAN LEGUM DAN KONSENTRAT

PADA RANSUM BERBASIS RUMPUT Brachiaria humidicola

Sri Suharti, Rani Asmawati dan Komang G. Wiryawan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi PAkan, Fakultas Peternakan IPB

Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat Email:sri_suharti@ipb.ac.id

ABSTRACT

This experiment was aimed to find out the optimum level of legume used as the grass substitution on nitrogen retention of sheep at UP3 Jonggol. This experiment was conducted according to completely randomized block design with five treatments and four replications. The treatments were : R1(90% Brachiaria humidicola+ 10% Concentrate), R2(80% Brachiaria humidicola+10% legume+10% Concentrate), R3(70% Brachiaria humidicola+20% legume + 10% Concentrate), R4(60% Brachiaria humidicola+30% legume + 10% Concentrate), and R5 (70% Brachiaria humidicola+30% legume + 0% Concentrate). Variables measured were crude protein intake, crude protein digestibility, nitrogen retention, NH3, and VFA. Data were analyzed using analysis of variance and treatment

effects were further analyzed using Contras Orthogonal test. The experiment showed that treatments increased crude protein consumption (P<0,01). Furthermore, increasing the legume increased (P<0,05) NH3 and VFA but

decreased (P<0,05) crude protein digestibility and there was no effect on nitrogen retention. Because of the forage quality was low, it was not able to increase the optimum body weight gain of the sheep. It was concluded that the substituted with 30% legume and concentrate was the optimum level in B. humidicola based ration. It could increase crude protein of diet and could increase crude protein consumption of sheep at UP3 Jonggol.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

(2)

546

untuk mengandalkan rumput sebagai satu-satunya sumber hijauan di suatu peternakan domba.

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan salah satu peternakan domba lokal yang mengandalkan rumput sebagai sumber pakan karena sistem pemeliharaannya yang berbasis pastura serta didukung dengan ketersediaan lahan yang cukup luas yaitu sekitar 169 ha dengan jumlah domba ekor tipis sebanyak ± 600 ekor (Jarmuji, 2008). Hijauan yang berasal dari padang rumput tropika memiliki kandungan nutrien yang rendah khususnya kandungan protein kasarnya (PK), sehingga apabila ternak domba hanya diberikan rumput saja, tentunya ternak tersebut akan mengalami kekurangan nutrien untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan hasil penelitian Resdiani (2010), protein kasar rumput Brachiaria humidicola yang diambil dari pastura UP3 Jonggol memiliki kandungan rata-rata protein kasar 6,6%. Selain itu, rumput Brachiaria humidicola memiliki tingkat kecernaan yang rendah dengan TDN sebesar 57,44 %. Hal tersebut akan menyebabkan produktivitas ternak domba lokal yang dihasilkan rendah meskipun ternak tersebut mempunyai potensi genetik yang tinggi untuk produksinya.

(3)

547

kemarau panjang seperti di daerah Jonggol dan merupakan salah satu jenis hijauan yang mudah ditanam dan mudah didapatkan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi potensi leguminosa pohon sebagai alternatif sumber protein dan pengaruhnya terhadap neraca nitrogen pada ternak domba lokal di UP3 Jonggol.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan taraf optimum penggunaan leguminosa pohon yang dikombinasikan dengan konsentrat sebagai substitusi rumput dan pengaruhnya terhadap neraca nitrogen di dalam mendukung produktivitas ternak.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium lapang UP3 Jonggol, laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan November 2009.

(4)

548

Ransum yang digunakan terdiri dari rumput B. humidicola, gamal (G. sepium), lamtoro (L. leucocephala), dan konsentrat. Komposisi nutrien rumput B. humidicola, gamal, lamtoro, konsentrat, dan ransum total disajikan pada Tabel 1.

Rancnagan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok lengkap dengan menggunakan 5 perlakuan dan 4 kelompok sebagai ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah kombinasi antara umput B. humidicola

(R), Gamal(G), Lamtoro(L) dan konsentrat (K) sebagai berikut : R1 = Rumput B. humidicola : Legum : Konsentrat = 90% : 0% : 10% R2 = Rumput B. humidicola : Legum : Konsentrat = 80% : 10% : 10% R3 = Rumput B. humidicola : Legum : Konsentrat = 70% : 20% : 10% R4 = Rumput B. humidicola : Legum : Konsentrat = 60% : 30% : 10% R5 = Rumput B. humidicola : Legum : Konsentrat = 70% : 30% : 0%

Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu konsumsi protein kasar, kecernaan protein kasar, kecernaan dan retensi nitrogen, konsentrasi NH3, dan

konsentrasi VFA total. Ternak yang akan digunakan diberi obat cacing sebelum dilakukan pengamatan selama penelitian. Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 16 minggu. Pemberian pakan 3% dari bobot badan berdasarkan bahan kering dilakukan dua kali sehari, pada pagi hari pukul 06.00 WIB dan pada sore hari pada pukul 16.00 WIB. Pakan diberikan dalam bentuk campuran antara rumput B. humidicola dan leguminosa pohon (gamal dan lamtoro dengan rasio 3 : 1). Pemberian leguminosa dibatasi sampai 30% dalam ransum. Air minum diberikan ad libitum.

(5)

549

nitrogen yang keluar melalui feses dan urin. Feses ditampung dengan meletakkan alat penampung feses di bawah kandang. Koleksi feses diambil selama 24 jam dimulai dari pagi hari sampai keesokan pagi harinya. Feses segar yang terkumpul selama sehari ditimbang terlebih dahulu, kemudian dijemur sampai beratnya konstan. Feses yang sudah kering lalu ditimbang, setelah itu feses diambil 10% dari berat total selama sehari, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil dan diberi label sesuai dengan perlakuan untuk dilakukan analisa. Produksi urin setiap individu ternak ditampung pada jerigen yang dihubungkan menggunakan selang kecil. Volume urin yang dihasilkan domba selama sehari diukur kemudian diambil 10% dari volume total urin selama sehari.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Selanjutnya data diuji lanjut menggunakan uji kontras ortogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Protein Kasar

(6)

550

dari penggunaan legum seperti gamal dan lamtoro, yakni dapat meningkatkan nilai nutrisi ransum berbasis rumput khususnya kandungan protein kasarnya sehingga konsumsi protein kasarnya juga meningkat. Winugroho dan Widiawati (2009) menyatakan bahwa konsumsi protein kasar ternak yang diberi gamal dan lamtoro lebih tinggi daripada kaliandra dan rumput alam, selain itu dilaporkan pula bahwa penggunaan legum dapat meningkatkan nilai nutrisi rumput.

Perlakuan R1 mengakibatkan tingkat konsumsi protein kasar yang lebih rendah, dikarenakan kadar protein kasar ransum yang diberikan juga paling rendah yaitu 7,13% namun memilki kandungan serat kasar tertinggi yaitu 23,47%. Semakin rendah kadar protein kasar ransum percobaan, semakin rendah pula jumlah konsumsi protein kasarnya. Kandungan serat kasar yang lebih tinggi seiring dengan penambahan rumput yang diberikan dapat menurunkan konsumsi protein kasar, hal tersebut dikarenakan sifat voluminous serat kasar yang menyebabkan kapasitas ruang rumen tidak segera tersedia untuk zat makanan lainnya (Agni, 2005).

(7)

551

cukup tinggi. Haryanto (1993) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 14 kg membutuhkan konsumsi protein kasar sebanyak 116 g/ekor/hr untuk menaikkan pertambahan bobot badan sebesar 100 g/ekor/hr.

Konsumsi protein kasar dan pertambahan bobot badan yang rendah dapat disebabkan karena kualitas hijauan di Jonggol yang rendah dan kandungan protein kasar ransum yang belum mencukupi kebutuhan domba dengan bobot badan 14 kg sehingga tidak mencukupi kebutuhan nutrien ternak untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Rendahnya produktivitas akibat dari kebutuhan ternak yang tidak terpenuhi mengakibatkan nafsu makan dan konsumsi menurun, pertambahan bobot badan dan penggemukan juga lambat (Parakkasi,1999).

Rendahnya konsumsi juga dapat disebabkan karena domba tersebut mengalami stress akibat tingginya suhu di kandang. Suhu di dalam kandang pada penelitian ini mencapai 300C sedangkan suhu optimum untuk pertumbuhan domba yaitu 240C (Fraser, 1991), hal ini menyebabkan lingkungan di kandang tidak kondusif untuk pertumbuhan domba.

Kecernaan Protein Kasar

(8)

552

kadar protein kasar di dalam ransum dapat pula meningkatkan nilai kecernaan protein kasar di dalam tubuh ternak domba. Hasil kecernaan protein kasar pada penelitian ini berkisar antara 66,99%-71,68%. Nilai kecernaan tersebut masih berada dalam kisaran normal menurut Manurung (1996) yaitu 43,70%-71,94%.

Sebaliknya pada perlakuan R1(R:L:K=70:30:0) dengan kandungan protein kasar ransum yang paling rendah namun memiliki tingkat kecernaan protein kasar yang lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena adanya senyawa antinutrisi yaitu tanin yang terdapat pada legum sehingga mengganggu kecernaan protein kasar di dalam rumen. Tangendjaja et al. (1992) menyatakan bahwa kehadiran tanin dapat menurunkan protein kasar tercerna dan menurunkan kemampuan kecernaan oleh mikroba rumen maupun enzim-enzim pencernaan. Tanin dapat mempengaruhi kecernaan suatu bahan pakan. Tanin dapat berikatan dengan enzim-enzim pencernaan sehingga aktivitasnya terganggu atau dapat berikatan dengan protein pakan sehingga tidak dapat dicerna (Makkar, 1993).

Substitusi legum juga meningkatkan (P<0,05) kandungan protein kasar feses. Perlakuan R4 dengan penambahan 30% legum memiliki kandungan protein kasar feses tertinggi. Hal ini menyebabkan perlakuan R4 memiliki tingkat kecernaan terendah. Sebaliknya dengan perlakuan R1 dengan kandungan protein kasar feses terendah menyebabkan nilai kecernaan protein kasar di dalam tubuh domba lebih tinggi dari perlakuan lainnya.

(9)

553

faktor lain yang mempengaruhi jumlah protein feses yang diekskresi adalah bobot hidup ternak dan konsumsi protein kasar (Yan et al., 2007).

Perbedaan nilai kecernaan protein kasar diduga karena sebagian besar sumber protein kasar berasal dari protein tanaman yang berada di dalam isi sel tumbuhan. Hal ini menyebabkan protein lebih sulit untuk didegradasi karena terhalang oleh dinding sel, sehingga untuk mencernanya harus memecah dinding sel tumbuhan terlebih dahulu (Russel et al., 1992). Kekurangan energi dalam ransum juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan protein kasar pada ternak karena ternak akan memanfaatkan sumber protein untuk dijadikan sumber energi jika kandungan energi pakan kurang memenuhi kebutuhannya (Parakkasi, 1999).

Retensi Nitrogen

Perlakuan pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh pada nilai retensi nitrogen pada domba Jonggol (Tabel 3). Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Khoerunnisa (2006) bahwa semakin meningkatnya konsumsi protein kasar pada ternak, maka semakin meningkat pula protein yang tertinggal di dalam tubuh ternak tersebut. Nilai retensi nitrogen pada penelitian ini berkisar 3,51-3,95g/e/hr. Nilai retensi nitrogen yang dihasilkan pada penelitian ini belum memenuhi nilai retensi nitrogen yang standar bagi domba. Afzalani (2006) menyatakan bahwa nilai retensi nitrogen yang standar bagi ternak domba yaitu 8,89-10,41 g/e/hr. Selain itu, faktor yang mempengaruhi retensi nitrogen pada ternak ruminansia yaitu pertumbuhan mikroba rumen, penyerapan NH3 oleh

(10)

554

Rendahnya nilai retensi nitrogen yang dihasilkan pada penelitian ini diduga karena konsumsi nitrogen sangat rendah yaitu berkisar antara 7,26-9,30 g/ekor/hr. Selain itu, rendahnya nilai retensi nitrogen dikarenakan kandungan protein kasar ransum penelitian yang rendah sehingga kebutuhan ternak tidak terpenuhi yang mengakibatkan nafsu makan menurun yang juga berdampak terhadap konsumsi, atau dapat dimungkinkan protein yang terdegradasi digunakan untuk proses glukoneogenesis, sehingga nitrogen terbuang melalui urin. Pemberian hijauan yang berkualitas rendah juga merupakan salah satu faktor pembatas terhadap ketersediaan nitrogen (Riyadi, 2008).

Hasil penelitian ini memiliki nilai retensi nitrogen yang rendah sehingga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan bobot badan domba. Menurut Subroto (2002), perbedaan yang signifikan terhadap produktivitas ternak terjadi pada ternak domba dengan tingkat konsumsi nitrogen sebanyak 15 dan 19 g/e/hr, sedangkan dari hasil penelitian ini konsumsi nitrogen hanya berkisar 7,26-9,30 g/ekor/hr. Semua perlakuan memiliki nilai retensi nitrogen yang positif, yang berarti ada sejumlah nitrogen yang ditahan oleh tubuh ternak sehingga ternak mengalami pertambahan protein berupa pertumbuhan jaringan baru meskipun sangat sedikit,yang dapat dilihat dengan adanya pertambahan bobot badan walaupun pertambahan bobot badan yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena kandungan nutrien ransum yang tidak mencukupi kebutuhan domba lokal dengan bobot badan 14 kg untuk menaikkan bobot badan 100 g/e/hr.

(11)

555

Penambahan legum dan konsentrat meningkatkan (P<0,05) konsentrasi NH3 di dalam rumen (Tabel 4). Semakin meningkat kandungan protein kasar

ransum dapat menyebabkan produksi NH3 juga meningkat (Parakkasi, 1999).

Produksi NH3 yang dihasilkan berkisar 3,02-6,76 mM. Hasil yang diperoleh lebih

rendah menurut McDonald (2002) yaitu 6-21 mM. Rendahnya konsentrasi NH3

dalam rumen, dapat mencerminkan degradasi protein kasar yang rendah di dalam rumen. Namun produksi NH3 yang dihasilkan masih berada dalam kisaran

produksi NH3 pada penelitian Rahmawati et al. (2000) dengan produksi NH3

berkisar 3,71-6,50 mM.

Konsentrasi NH3 rumen merupakan salah satu cara untuk menilai

fermentabilitas protein pakan dan erat kaitannya dengan populasi mikroba rumen. Di dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3 (McDonald et al., 2002).

Perlakuan R1 memiliki produksi NH3 yang terendah dari perlakuan

lainnya. Rendahnya konsentrasi NH3 pada R1 karena kandungan protein kasar

ransum yang rendah yaitu 7,04%. Perbedaan konsentrasi NH3 pada

masing-masing perlakuan diduga karena adanya perbedaan tingkat degradasi protein kasar pakan yang sebagian besar berasal dari protein tanaman yang mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi NH3 pada masing-masing perlakuan. Perbedaan

(12)

556

pula disebabkan oleh banyaknya N amonia yang telah digunakan oleh mikroba rumen untuk sintesis mikroba (Sakinah, 2005).

Perlakuan yang mendapatkan substitusi legum pada penelitian ini meningkatkan (P<0,05) konsentrasi VFA dalam rumen. VFA yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 79,75-135mM. Hasil tersebut masih berada dalam kisaran normal untuk mendukung sintesis mikroba. Menurut McDonald et al.

(2002), produksi VFA yang dapat mendukung proses sintesis mikroba yaitu 70-150mM.

Penambahan legum dapat meningkatkan konsentrasi VFA, seperti yang dinyatakan oleh Yulistiani et al.(2000) bahwa konsentrasi VFA meningkat dengan pemberian gamal pada ransum berbasis rumput dikarenakan penggunaan legum pohon selain mensuplai protein, tetapi juga dapat mensuplai karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh mikroba rumen dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa. VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan salah satu produk fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Parakkasi,1999).

(13)

557

struktural (seperti selulosa dan hemiselulosa) ratio asam asetat : asam propionat menjadi lebih besar.

KESIMPULAN

Pemberian 30% legum merupakan taraf optimum sebagai substitusi pakan berbasis rumput karena dapat meningkatkan konsumsi protein kasar pada domba di UP3 Jonggol. Selain itu, penambahan legum juga cenderung meningkatkan produksi NH3 dan VFA namun menurunkan kecernaan protein kasar dan tidak

berpengaruh terhadap nilai retensi nitrogen. Keterbatasan pengadaan dan rendahnya kualitas hijauan di UP3 Jonggol tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrien yang diperlukan domba untuk pertumbuhan yang optimal, sehingga tidak dapat meningkatkan bobot badan yang diharapkan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada LPPM IPB yang telah

memberikan dana hibah “Penelitian Unggulan IPB (PUI)” tahun 2009 sehingga

penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Afzalani. 2006. Biosintesis protein mikroba rumen dan pertumbuhan ternak domba yang mendapat suplementasi Urea Saka Blok (USB) dalam pakan. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 1 (9) : 50-59

Agni. 2005. pemberian berbagai tingkat ampas teh terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan protein, dan retensi nitrogen domba lokal jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor .

Fraser, C. M. 1991. The Merck Veterinary Manual 7th ed, Merck co : USA. Haryanto, B. 1993. Pakan Domba dan Kambing Prosiding Saresahan Usaha

(14)

558

Jarmuji. 2008. Identifikasi produktivitas induk domba yang digembalakan sebagai dasar kriteria seleksi di UP3 Jonggol-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Khoerunnisa. 2006. Studi komparatif metabolisme nitrogen antara domba dan

kambing lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Makkar H. P. S. 1993. Antinutritional factors in food for livestock. Brit. Soc.

Anim. Prod. 16 : 69-85.

Manurung T. 1996. Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum sapi potong. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 1 (3) : 143-148. Mathius. W., D. Sastradipradja, T. Sutardi, A. Natasasmita, L. A. Sofyan dan D.

T. H. Sihombing. 2003. Studi strategi kebutuhan energi-protein untuk domba lokal : induk fase laktasi. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 8 (1) : 26-39.

Mathius, I. W., M. Martawidjaja, A. Wilson dan T. Manurung.1996. Studi strategi kebutuhan energi-protein untuk domba lokal: I. Fase pertumbuhan. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 2 (2) : 84-91

McDonald, P., R. A. Edward., J. F. D. Greenhalgh and C.A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Longman Scientific and Technical. John Willey and Sons. Inc, New York.

Parakkasi, A. 1999. ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Rahmawati D., T. Sutardi, dan L. E. Aboenawan. 2000. Evaluasi in vitro penggunaan eceng gondok dalam ransum ruminansia. Media Peternakan. 23 (1) : 18-21.

Resdiani, N. 2010. Kajian in vitro fermentabilitas dan kecernaan rumput

Brachiaria humidicola yang diintroduksi dengan beberapa leguminosa di UP3 Jonggol. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Riyadi, S. 2008. Sifat fisik dan asam lemak daging domba yang diberi pakan

ransum komplit dan hijauan dengan persentase yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Russel, J. B., P. J. Van soest, D. O’ Connors, and D, G Fox. 1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets : Ruminal fermentation. Anim. Sci. 70: 3351-3361

Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3, dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Biometrik. Terjemahan : M. Syah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Subroto, P. H. 2002. Pemanfaatan nitrogen pada domba dengan ransum yang mengandung Leucaaena diversifolia, acacia villosa atau calliandra calothyrsus pada taraf pemberian nitrogen yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim, dan B. Palmer. 1992. Kaliandra dan pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan ACIAR, Bogor-Indonesia. Winugroho, M dan Y. Widiawati. 2009. Keseimbangan nitrogen pada domba

yang diberi daun leguminosa sebagai pakan tumggal. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan. 13 (1) : 6-13.

(15)

559

Yulistiani, D. B. Tiesnamurti, Subandriyo, M. Rangkuti, dan Lisa Praharani. 2000. Produktivitas domba komposit betina lepas sapih yang diberi suplementasi Gliricidia sepium. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Hal : 263-268.

[image:15.595.110.526.209.492.2]

Daftar Tabel :

Tabel 1. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Penelitian (%BK)

Bahan Pakan

Komposisi nutrien (%)

Abu Lemak Kasar Protein Kasar Serat kasar BETN TDN

Pakan komersial 11,28 6,61 11,98 8,87 61,26 75,45

Rumput 5,62 2,8 7,04 25,09 59,45 57,44

Gamal 8,14 3,62 17,89 13,38 56,96 70,85

Lantoro 7,44 4,31 18,88 17,32 52,05 69,4

R1 (R:L:K=90:0:10) 6,19 3,18 7,53 23,47 59,63 59,25

R2 (R:L:K=80:10:10) 6,42 3,28 8,64 22,69 58,96 60,19

R3 (R:L:K=70:20:10) 6,66 3,38 9,75 21,32 58,89 61,54

R4 (R:L:K=60:30:10) 6,89 3,48 10,86 20,25 58,52 62,75

R5 (R:L:K=70:30:0) 6,32 3,33 10,37 21,87 58,1 61,64

Keterangan:

R= rumput, L=legume, K= konsentrat

Hasil Analisa laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2009)

Tabel 2. Konsumsi dan kecernaan protein kasar domba yang diberi suplementasi legum dan konsentrat

Perlakuan (R:L:K)

Parameter

Konsumsi PK PK Feses Kecernaan PK PBB

R1(R:L:K=90:0:10)

45,93±1,58d 12,86 ± 0,71c 71,68 ± 0,61a 30 ± 11,07

R2(R:L:K=80:10:10)

49,50±4,82c 15,84 ± 2,74b 68,11 ±2,58b 24,29 ± 20,40

R3(R:L:K=70:20:10)

52,48±2,04b 15,61 ± 3,11b 70,39± 4,42a 20,71 ± 12,86

R4(R:L:K=60:30:10)

[image:15.595.112.543.617.772.2]
(16)

560 R5(R:L:K=70:30:0)

55,67±0,94a 17,64 ± 0,92a 68,30 ± 1,30b 35 ± 7,87

[image:16.595.111.529.244.410.2]

Keterangan : Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)

Tabel 3. Neraca nitrogen domba yang diberi suplementasi legum dan konsentrat

Perlakuan (R:L:K) Parameter Konsumsi N (g) N-Feses (g) Kecernaan N (%) N-urin (g) Retensi N (g) R1(R:L:K=90:0:10)

7,26±0,25d 2,06 ± 0,11c 71,68 ± 0,61a 1,67 ±0,58b 3,53 ± 0,18

R2(R:L:K=80:10:10)

7,92±0,77c 2,53 ± 0,44b 68,11 ±2,58b 1,87 ± 0,46b 3,52± 0,50

R3(R:L:K=70:20:10)

8,40±0,33b 2,50 ± 0,50b 70,39± 4,42a 2,31 ± 0,52a 3,59 ±0,51

R4(R:L:K=60:30:10)

9,29±0,10a 3,06 ±0,34a 66,99 ± 3,88b 2,28 ±0,34a 3,95± 0,11

R5(R:L:K=70:30:0)

8,91±0,15a 2,82 ± 0,15a 68,30 ± 1,30b 2,47 ±0,45a 3,62 ± 0,35

Keterangan : Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)

Tabel 4. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA (mM) domba yang diberi

suplementasi legum dan konsentrat

Perlakuan (R:L:K)

Parameter

NH3 VFA

R1(R:L:K=90:0:10)

3,02 ± 1,39b 126,00 ± 24,47a

R2(R:L:K=80:10:10)

6,76±2,23a 85,00 ± 9,70b

R3(R:L:K=70:20:10)

4,13±2,15b 79,75 ± 10,78b

R4(R:L:K=60:30:10)

5,41±1,66a 126,25 ± 44,40a

R5(R:L:K=70:30:0)

4,87±2,73a 135,00 ± 46,45a

[image:16.595.115.484.534.686.2]
(17)

Gambar

Tabel 2.  Konsumsi dan kecernaan protein kasar domba yang diberi suplementasi
Tabel 4. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA (mM) domba yang diberi

Referensi

Dokumen terkait

Penciptaan iklim pembelajaran pendidikan agama Hindu berbasis PAIKEM dengan menggu- nakan teknik-teknik tertentu selama proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pen-

Dengan demikian dalam perjanjian pembiayaan tersebut sering terjadi pembayaran yang tidak beres atau kredit macet dari konsumen dikarenakan beberapa kendala

Dari goals, purpose, dan result diatas, maka dapat dijabarkanmenjadi lima kegiatan. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah 1) advokasi kepada pemerintahan desa

Padahal dalam tulisan- tulisan yang membahas gerakan Kahar seringkali dituliskan mengenai adanya usaha dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia DI/TII di Sulawesi Selatan

Pada kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak daun afrika memiliki rerata ketebalan epitelisasi yang paling tebal dibandingkan kelompok kontrol. Daun afrika

peserta diklat dapat berupa teori dan atau praktik-..  Memudahkan guru dalam mengelola proses. bela&lt;ar# misaln&amp;a mengubah kondisi bela&lt;ar dari suasana guru

Dengan menyerahnya Hindia Belanda tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942, maka berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan secara resmi kekuasaan baru

Bahan baku yang digunaka n dalam pembuatan faktis gelap adalah minyak jarak yang diperoleh dari PT.. K imia Farma Semarang, Jawa Tengah, sedangkan bahan tamba han ya ng digunaka