• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Fungsi Ekologis Alun-Alun Tradisional Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Fungsi Ekologis Alun-Alun Tradisional Jawa"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

TINJAUAN FUNGSI EKOLOGIS ALUN-ALUN TRADISIONAL JAWA

Sujiyo Miranto

Program Studi Pendidikan Biologi, FITKUIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden:sujiyoubjmiranto@rocketmail.com

Abstrak

Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat jawa tradisional. Sebagai bagian dari wilayah keraton, alun alun sudaah dikenal sejak zaman Majapahit hingga masa kerajaan Mataram. Alun-alun pada masanya berfungsi sebagai lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya, sebagai tempat upacara keagamaan yang penting dan sebagai tempat pertunjukan kekuasaan dalam bentuk gelar pasukan dan tempat pertunjukkan ketangkasan prajurit dan peragaan bala prajurit dari penguasa.Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dari sisi ekologis keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka publik yang memiliki berbagai manfaat, sehingga akan terbangun sikap kritis masyarakat dan tidak membiarkan alun-alun beralih fungsi hanya untuk kepentingan ekonomi semata yang merugikan masyarakat banyak sehingga akan menggeser makna keberadaannya sebagai ruang publik terbuka.Hasil kajian menunjukkan bahwa dari sisi ekologis alun-alun memiliki fungsi: 1) Fungsi hidrologis; 2) Fungsi orologis; 3) Fungsi klimatologis; 4) Fungsi reduksi; 5) Fungsi edaphis; 6) Fungsi estetis; 7) Fungsi protektif; 8) Fungsi higienis; 9) Fungsi edukatif dan 10) Fungsi rekreatif

Kata Kunci: alun-alun dan fungsi ekologis

Abstract

The main square is one of the open public concept, known by traditional Javanese society. As part of the palace, the main square known since the era of Majapahit until the kingdom of Mataram. The main square in the area serves as the symbol of the establishment of a system of royal power to the people, as a place of religious ceremony that an important and as a place of show of power in the form of deploying troops and soldiers stunts and demonstrations of the soldiers from the rule.This writing aims to examine in terms of ecological existence of the main square as an open public space that has a lot of benefits, so that will awaken the critical attitude of society and do not let the main square switching a function for purely economic interest only which can be losing more to the community so that it would shift the meaning of his existence as an open public space.The results of the study showed that on the side of ecological, the main square has functions: 1) hydrology function; 2) orology function; 3) climatologyfunction; 4) reduction function; 5) edaphis function; 6) aesthetic function; 7) protective function; 8) hygienic function; 9) educative function and 10) recreation function.

Keywords: main square and ecological functions

PENDAHULUAN

Kota-kota lama di pulau Jawa seperti Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Malang, Purwokerto dan beberapa kota lainnya umumnya memiliki alun-alun lama yang terletak di pusat kota. Walaupun konsep penataan alun-alun tersebut sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit sekitar 800 tahun yang lalu namun keberadaannya tetap eksis hingga saat ini. Model alun-alun kota lama di Jawa yang masih dipertahankan keberadaannya adalah alun-alun

Yogyakarta dan Surakarta. Di kedua kota ini masing-masing memiliki dua buah alun-alun yang disebut Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan. Alun-alun inilah yang kemudian menjadi model alun-alun kota lainnya

(2)

penting. Fungsi berikutnya adalah tempat pertunjukan kekuasaan dalam bentuk gelar pasukan dan tempat pertunjukkan ketangkasan prajurit dan peragaan bala prajurit dari penguasa setempat saat itu. Fungsi sosial budaya alun-alun dapat dilihat dari banyaknya interaksi sosial yang terjadi di alun-alun dalam bentuk perdagangan, pertunjukan hiburan, olah raga dan kegiatan sosial lainnya. Oleh sebab itu untukmengakomodir seluruh aktivitas dan kegiatan tersebut, maka alun-alun dibuat hanya berupa hamparan lapangan terbuka yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan.

Keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka publik telah disebutkan dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Menurut kitab tersebut alun-alun di masa kerajaan Majapahit memiliki fungsi sakral dan fungsi profan. Fungsi sakral adalah kegiatan yang berhubungan dengan upacara-upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan, sedangkan fungsi profan berkenaan dengan kegiatan pesta rakyat dan perayaan-perayaan tahunan (Handinoto, 1992: 4-6). Sementara itu Santoso (1984) dalam Handinoto (1992) menyebutkan fungsi alun-alun berhubungan dengan lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya, tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara kraton-mesjid dan alun-alun) dan tempat pertunjukan kekuasaan militeris

Masyarakat tradisional jawa umumnya berkeyakinan bahwa keberadaan suatu tempat tidak terlepas dari hubungannya dengan lingkungan sekitar maupun alam semesta. Alun-alun dengan segala aktifitasnya menjadi halaman ibukota negara. Istana kerajaan sebagai tempat tinggal raja dengan orientasi alun-alun bersifat sakral menggambarkan hubungan simbolisasi raja sebagai orang yang memerintah dengan kedudukan yang lebih tinggi, sehingga harus dihormati dengan rakyatnya yang diperintah.

Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Karakteristik alun-alun berbentuk sebidang tanah berbentuk segi empat dengan berbagai

ornamentnya, memiliki simbol dan makna tertentu. Saat ini sebagian makna tersebut berangsur-angsur hilang dan sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosis alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan.

Jika dicermati keberadaan alun-alun saat ini kondisinya sangat menyedihkan. Pada beberapa kota, alun-alun mengalami perubahan fungsi menjadi areal parkir, lokasi pedagang kaki lima, mengalami penyempitan karena lahannya dikonversi untuk membangun gedung sebagai sarana pelayanan publik. Perubahan fungsi alun-alun ini dapat terjadi disebabkan karena kurang sadarnya masyarakat akan konsep tata ruang kota jawa dimasa lampau. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji tentang fungsi ekologis keberadaan alun-alun pada sebuah kota dan pergeseran fungsi alun-alun saat ini sehingga dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk menghidupkan kembali fungsinya. Melalui tulisan ini akan dikaji fungsi alun-alun dari aspek ekologis sehingga akan terbangun sikap memiliki alun-alun, tidak melakukan aktifitas yang dapat mengubah fungsi dan keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka publik.

Pengertian Alun-Alun

(3)

Kata alun-alun memiliki makna sebagai tempat yang bergetar bagai ombak karena pengaruh panas matahari pada siang hari. Tempat tersebut terlihat bergetar bagai ombak mengalun (bahasa jawa: amun-amun). Makna lain kata alun-alun berasal dari kata jawa alon-alon atau berjalan lambat-lambat atau sabar. Kondisi ini sesuai dengan kepercayaan sebagian masyarakat jawa bahwa karena alun-alun termasuk bagian wilayah keraton, maka mereka menghormati tempat tinggal rajanya dengan berjalan pelan-pelan (alon-alon).

Menurut Paulus (1917: 31) alun-alun merupakan sebuah lapangan yang luas. Di tengah alun-alun ditanam pohon beringin kembar yang berada di hampir setiap tempat kediaman bupati, sebagai seorang kepala distrik di jawa. Hamparan atas permukaan tanah alun-alun tidak ditanami rumput, namun berupa pasir halus. Sisa-sisa hamparan pasir halus ini masih dapat dilihat pada alun-alun Yogjakarta dan Surakarta. Hal ini berbeda dengan kondisi alun-alun saat ini yang sebagian besar ditanami rumput sebagai bentuk penghijauan.

Alun-alun dalam bahasa jawa kuno berarti medan atau lapangan. Sementara itu dalam bahasa Indonesia alun-alun yaitu tanah lapang yang luas di muka istana atau di muka tempat kediaman resmi gubernur (bupati, walikota).

Sementara itu Van Romondt dalam Haryoto (1986: 386) menyatakan bahwa pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari, pusat pemerintahan, militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan.

Keberadaan alun-alun memiliki makna yang berbeda untuk setiap orang. Hal ini seperti diungkapkan oleh Khairudin yang mengutip pendapat K.P.H. Brotodiningrat (1978: 20) yang menjelaskan filosofi alun-alun Utara Yogyakarta yang digambarkan memiliki gambaran suasana yang sangat nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati seseorang dalam semedi. Biasanya

saat melakukan semedi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa biasanya penuh dengan godaan-godaan yang tercermin dari luasnya alun-alun. Alun-alun juga penggambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk menghadap kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dari berbagai pengertian tentang alun-alun di atas maka dalam kajian ini alaun-alun yang dimaksud adalah alun-alun yang terdapat di kota lama Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) yang terdiri dari lapangan terbuka yang luas, berbentuk segi empat berlokasi di di depan istana raja Jawa yang menjadi pusat berbagai aktifitas masyarakat.

Unsur-Unsur Fisik Pembentuk Alun-Alun

Unsur-unsur fisik alun-alun yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah mengacu kepada alun-alun tradisional jawa dengan mengambil perbandingan alun-alun di Yogjakarta dan Surakarta yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Berbentuk Segi Empat

(4)

tersebut tidak sekedar aturan sistem tata ruang saja, namun di balik itu banyak nilai yang terkandung di dalamnya, misalnya kantor bupati selalu menghadap ke Utara membelakangi gunung dan menghadap ke arah laut. Ini memiliki makna bahwa seorang pimpinan harus meninggalkan sifat tinggi hati dan kesombongan sebagimana sifat gunung yang tinggi, dan pemimpin harus memiliki hati yang luas seluas samudra.

2. Berupa Tanah Lapang Dengan Hamparan Pasir Halus

Ukuran alun-alun setiap kota tidak sama. Alun-alun Lor Yoyakarta misalnya memiliki ukuran luas 150 x 150 meter sedangkan luas ulun-alun Kidul sendiri 100 x100 meter. Pada awalnya permukaan tanah alun-alun ditutupi dengan pasir halus Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini dimana pasir halus tersebut sudah banyak ditumbuhi rumput. Banyaknya rumput yang tumbuh bahkan sudah hampir menutupi seluruh permukaan pasir alun-alun. Jika dilihat dari perspektif historis, bentuk alun-alun yang segi empat dengan hamparan pasir halus tersebut sangat erat dengan fungsinya sebagai ruang publik tempat bertemunya antara penguasa dengan warganya. Dengan bentuk yang berupa tanah lapang berpasir halus tersebut, maka alun-alun memiliki multi fungsi yang mudah diubah bentuknya sesuai dengan kebutuhan. Dengan bentuk tanah lapang tersebut maka fungsinya akan lebih fleksibel sesuai dengan kegunaannya. Selain itu dengan ruang terbuka berupa tanah lapang yang luas, dapat digunakan penguasa untuk mengumpulkan rakyatnya, mengumumkan berita kerajaan atau untuk menggelar berbagai kesenian untuk rakyat.

3. Jenis dan Jumlah Pohon Terbatas

Alun-alun bukan sekedar tanah lapang semata. Alun-alun kota lama di jawa berbeda dengan hutan kota. Tumbuhan, hewan, bangunan maupun benda yang terdapat di alun-alun kota lama di jawa masing-masing memiliki makna tertentu. Oleh sebab itu tidak sembarang jenis tanaman dapat ditanam. Hal ini disebabkan karena alun-alun masih termasuk salah satu

wilayah keraton. Jenis pohon dan jumlah pohon yang tumbuh di wilayah keraton memiliki makna dan simbol tertentu. Sebagai contoh, di halaman sasana sewaka (salah satu bagian dari Keraton Surakarta) ditanami pohon sawo kecik (sawo manila) yang jumlahnya terbatas, hanya 63 pohon, sama dengan jumlah usia Nabi Muhammad SAW. Sawo kecik (Manilkara kauki) sering disebut juga sawo jawa merupakan tanaman (pohon) penghasil buah dari keluarga sawo-sawoan (Sapotaceae). Sawo kecik menurut filosofi jawa sering diidentikkan dengan “sarwo becik” (serba baik).

Beberapa jenis tumbuhan yang ditanam di lingkungan kraton Yogyakarta juga memiliki makna dan filosofi serta simbol tertentu yang memiliki harapan sekaligus do’a bagi penanam dan lingkungan yang ditumbuhinya. Misalnya di sudut antara Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil Ler dan antara Tugu dan Keraton juga ditanami pohon Gayam. Pohon ini memiliki makna ayom dalam bahasa jawa, yang berarti teduh atau sejuk.

Pohon Keben ditanam di komplek Kamandungan Ler dimana Bangsal Ponconiti sebagai bangunan utamanya. Dalam mitologi jawa pohon ini memiliki makna yang sangat tinggi sebagai lambang eksistensi negara yang agung dan bersih. Keben juga memiliki makna ngrungkebi atau merangkul kebenaran. Pohon ini pernah dinobatkan sebagai tanaman perdamaian pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 5 juni 1986, dalam rangka hari perdamaian sedunia.

4. Jalan Tengah yang Membagi Alun-Alun Menjadi Dua Bagian

(5)

menghilangkan maknanya dan dikuatirkan akan berdampak terhadap kelangsungan roda pemerintahan karena antara penguasa dengan rakyat akan terjadi benturan-benturan.

5. Keberadaan Pohon Beringin Kembar

Pohon beringin dalam bahasa Jawa disebut waringin. Nama waringin berasal dari dua suku kata wri dan ngin. Wri berasal dari kata wruh yang berarti mengetahui, melihat. Ngin berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan. Pohon beringin ini bagi masyarakat jawa memiliki simbolik khusus.

Beringin yang terdapat di tengah alun-alun Utara Surakarta disebut Waringin Kurung Sakembaran. Disebut kurung karena masing masing pohon diberi batas berupa jeruji besi disekitarnya. Pohon beringin sebelah Timur dinamakan Kyai Jayandaru (sinar kemenangan) dan beringin disebelah Barat diberi nama Kyai Dewandaru (sinar Illahi atau sinar keluhuran).

Sementara itu beringin yang terdapat di alun-alun Utara Kraton Yogyakarta adalah sepasang Waringin Sengker (beringin kurung ) yakni kyai Dewandaru dan Janandaru. Dua batang pohon beringin ini konon melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos, melambangkan dualisme antara rakyat dan pemimpin, antara manusia dan Tuhan. Dua beringin ini juga melambangkan sumber hukum pemerintahan harus sejalan dengan dua pusaka peninggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.

6. Keberadaan Area Publik

Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, terminal bus, serta daerah pertokoan yang terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai replikasi identitas kota-kota di pulau jawa pada jaman kolonial. Pada saat ini, alun-alun sedikit demi sedikit mulai digunakan lebih merakyat, untuk aktivitas ekonomi yang melibatkan khalayak umum. Ini terbukti dengan munculnya pasar dan

ruang-ruang publik sederhana lainnya di sekitar alun-alun.

7. Keberadaan Pendopo

Unsur fisik berikutnya sebagai penanda alun-alun adalah keberadaan pendopo disalah satu sisi alun-alun. Pendopo adalah bangunan yang luas dan terbuka (tanpa sekat), yang biasanya terletak di depan rumah atau pelataran. Pendopo ini umumnya terletak pada salah satu sudut alun-alun. Fungsi pendopo sebagai area tunggu bagi pegawai atau orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau bupati untuk dipanggil jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka.

PEMBAHASAN

Sebagai elemen sebuah kota alun-alun merupakan ruang terbuka yang peruntukannya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja, sebagai tempat berbagai macam kegiatan berlangsung. Fungsi ini sering disebut sebagi “a psychological parking space”, atau tempat “parkir” manusia. Berikut akan dikaji fungsi ekologis alun-alun:

1. Fungsi hidrologis

Hidrologis berhubungan dengan kemampuan alun-alun sebagai daerah penampungan air hujan ke dalam tanah. Fungsi ini erat kaitannnya dengan jumlah dan jenis pohon yang terdapat di sebuah kawasan. Tumbuhan dengan sistem perakaran yang dimilikinya mampu menyerap dan menyimpan air. Semakin banyak tumbuhan yang terdapat pada suatu kawasan maka semakin baik sistem perakaran dan semakin baik daya serap dan daya simpan airnya sehingga semakin banyak air yang tersimpan di dalam tanah. Air dalam tanah ini dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup (termasuk manusia) sebagai cadangan air di musim kemarau, ataupun mencegah terjadinya banjir

(6)

mereduksi potensi banjir. Pohon-pohon dengan jumlah tertentu yang di tanam disekeliling alun-alaun melalui perakarannya yang dalam mampu meresapkan air ke dalam tanah, sehingga pasokan air dalam tanah (water saving) semakin meningkat dan jumlah aliran limpasan air juga berkurang yang akan mengurangi terjadinya banjir. Diperkirakan untuk setiap hektar ruang terbuka hijau, mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Kemampuan penyimpanan air ini masih dapat dimaksimalkan jika ditunjang dengan pembuatan lobang biopori.

2. Fungsi Orologis

Orologis berhubungan dengan kemampuan tumbuhan yang ditanam di sekeliling alun-alun untuk mencegah erosi dengan cara menahan hanyutnya bunga tanah dan mencegah erosi serta melindungi tanah lapisan atas (top soil). Fungsi ini berhubungan dengan kemampuan pada akar pohon dalam mencegah erosi dan pengikisan tanah yang disebabkan oleh air maupun angin. Kemampuan ini terjadi karena sistem perakaran yang menjulur di bawah permukaan tanah dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi sangat kompak, sehingga tidak mudah gugur;

Tejadinya banjir disebabkan jumlah air (hujan) lebih besar dari kemampuan tanah menyerap air dan tidak tersedia alur cekungan yang membawa air tersebut bergerak ke tempat lain, sehingga air yang tidak terserap akan menggenangi permukaan tanah. Air yang menggenang tersebut mengalir ke tempat lain, disebut aliran permukaan (runoff). Secara alami runoffakan berkumpul dan menggenang di tempat yang lebih rendah. Genangan air yang cukup besar ini yang disebut banjir. Peningkatan volume aliran permukaan akan semakin besar bersamaan dengan semakin banyaknya alih fungsi lahan. Untuk memaksimalkan kemampuan tanah dalam menyerap air maka keberadaan alun-alun mampu melakukan penyerapan dengan baik. Dengan demikian, keberadaan alun-alun adalah untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis dan kawasan pengendalian air larian.

3. Fungsi Klimatologis

Alun-alun dengan serangkaian tanamannya memegang peran penting dalam ekosistem kota. Hal disebabkan karena alun-alun dapat menjadi penyegar di tengah panasnya perkotaan. Keberadaan alun-alun dengan pohon yang dimilikinya bisa menjadi penyeimbang ekosistem bagi lingkungan yang telah banyak perubahan di perkotaan. Fungsi pohon-pohon tersebut adalah sebagai tanaman hijau yang diperlukan untuk menyaring polusi yang dihasilkan oleh knalpot kendaraan bermotor.

Keberadan pohon-pohon akan menyerap karbondioksida (CO2) dan juga akan menghasilkan oksigen (O2) lewat proses fotosintesis seperti dalam persamaan reaksi berikut:

6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2

Proses ini akan meningkatkan kualitas udara sekaligus dapat mencegah dampak pemanasan global. Proses ini juga memperlancar terjadinya daur hidrologi.

4. Fungsi Reduksi

Asap kendaraan bermotor membawa unsur-unsur pencemaran udara berupa karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO) hasil pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan. Jumlah asap yang dilepaskan ke udara tersebut akan bertambah dengan adanya timah hitam yang dicampur di dalam bensin untuk efisiensi pembakaran. Akibat pembakaran tidak sempurna, racun muncul bersama asap yang keluar dari knalpot kendaraan tadi. CO mengandung racun sangat kuat. Jika CO ini terhisap oleh paru-paru maka CO ini akan lebih mudah mengikat hemoglobin (butir darah merah). Sedangkan oksigen akan berkurang kadarnya sehingga manusia dapat mati lemas karenanya.

(7)

menjadi oksigen segar yang siap dihirup warga setiap saat. Pohon mampu menyerap CO2 hasil pernapasan, yang nantinya dari hasil metabolisme oleh tanaman akan mengeluarkan O2 yang kita gunakan untuk bernafas. Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan bahwa setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Dengan tereduksinya polutan di udara maka masyarakat kota akan terhindar dari resiko berbagai penyakit yang bersumber dari pencemaran lingkungan.

5. Fungsi Edaphis

Fungsi edaphis berkenanaan dengan kemampuan tumbuhan sebagai tempat hidup, tempat tinggal, tempat berkembang biak dan juga mencari makan bagi berbagai spesies hewan. Selain tempat tinggal bagi hewan tumbuhan-tumbuhan yang terdapat di alun juga sebagai pemasok dan penyedia makanan bagi hewan-hewan yang ada. Semua hewan dan tumbuhan yang terdapat di alun-alun saling melengkapi, sehingga tanpa adanya salah satu hewan tersebut maka kehidupan tidak akan seimbang. Selain tempat hidup, tumbuhan yang terdapat di alun-alun digunakan sebagai tempat berkembang biak burung, serangga dan hewan-hewan jenis insekta. Setiap hewan-hewan tersebut memiliki cara berkembang biak dan tempat berkembang biak berbeda.

6. Fungsi Estetis

Fungsi estetis berarti keberadaan alaun-laun mampu mempercantik suatu kawasan ataupun tempat.

7. Fungsi Protektif

Fungsi protektif berarti bahwa alaun-alun dapat memberikan perlindungan baik bagi seluruh komponen ekosistem, salah satunya adalah proteksi dari bencana banjir dan kekeringan.

8. Fungsi Higienis

Berkenaan dengan fungsi higienis berarti keberadaan alun-alun dengan berbagai tumbuhan yang dimilikinya dapat menjadi penyaring udara yang dapat menyerap karbondioksida serta juga mengeluarkan oksigen. Selain itu pepohonan ini pun akan mempunyai kemampuan untuk dapat menyerap berbagai jenis racun yang ada di udara. Diantara sekian banyak fungsi tumbuhan tersebut yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komponen lain adalah berkaitan dengan penyediaan oksigen bagi kehidupan manusia. Setiap satu hektar ruang terbuka hijau diperkirakan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari, sehinggadapat membuat bernafas dengan lega

9. Fungsi Edukatif

Fungsi ini menunjukkan bahwa tumbuhan yang ditanamakan mampu untuk menjadi laboratorium alam yang dapat digunakan sebagai media belajar dan juga penelitian bagi siswa dan mahasiswa. Belakangan ini telah banyak studi yang mengkaji tentang alun-alun dari berbagai aspek tinjauan.

10. Fungsi Rekreatif

Alun-alun dengan segala ornament yang dimilikinya dan fasilitas pendukungnya akan mempunyai daya tarik tersendiri yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi dan juga hiburan. Kenyataan ini dapat dlihat dengan banyaknya pelajar atau orang dari wilayah lain yang sengaja untuk mendatangi alun-alun sebuah kota dalam rangka rekreatif.

(8)

identitas sebuah kekuasaan raja juga memiliki fungsi lain yang sangat besar.

SIMPULAN

Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat Jawa tradisional yang keberadaanya masih tetap eksis dan dibutuhkan sampai saat ini. Sebagai sebuah kawasan dengan berbagai ornament yang dimilikinya, maka alun-alaun memiliki fungsi ekologis yang memberikan banyak manfaat bagi seluruh mahluk hidup baik hewan maupun manusia.

Melihat sejarah masa silam dan fungsi alun-alun yang antara lain sebagai ruang publik, maka sudah seharusnya pemerintah maupun masyarakat menjaga eksistensi dan keberlangsungan alun-alun. Dalam upaya meningkatkan dan mengoptimalkan alun-alun agar benar-benar sebagai ruang publik, maka penataan, penanganan dan penambahan fasilitas umum masih perlu dilakukan untuk menambah daya tarik alun-alun.

DAFTAR PUSTAKA

Astri Anindya Sari, 2013. Transformasi Spasial -Teritorial Kawasan Alun-Alun Malang: Sebuah Produk Budaya Akibat Perkembangan Jaman. Jurnal

Eco-Teknologi ISSN: 2301-850X. Vol. I, 1, Juli 2013.

Geldern, Robert Heine, 1972. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, Terjemahan Deliar Noer,Jakarta: CV. Rajawali.

Handinoto, 1992. Alun -alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18 September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra

Kartodirdjo, Sartono, et.al., 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Lisa Dwi Wulandari, 2007. Konsep Metafora-Ruang pada Metafora-Ruang Terbuka Perkotaan, Disertasi, ITS.

Moerdjoko., 2005. Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah dan Konservasi, Jakarta: Universitas Trisakti

Santoso, S., 1981, Dinamika Perkembangan Arsitektur Di Jaman Prakolonial di P. Jawa, dalam majalah Dimensi Nomor: 5, 1981.

Referensi

Dokumen terkait

Keterbatasan SDM merupakan salah satu ancaman serius bagi industri kecil di Kota Makassar untuk dapat bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional di

Dari hasil analisis bahana hukum dapat disimpulkan bentuk perlindungan hukum bagi pemegang bilyet giro dalam hal penerbitan bilyet giro kosong terdapat

lima nilai yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bersifat objektif dan subjektif. Obyektif artinya

Muncul berbagai persoalan seperti Koordinasi yang tidak harmonis antara pemerintah Nagari dengan Badan Musyawarah Nagari , Pelayanan publik yang harus ditingkatkan, peran

Hal ini untuk mencocokkan sidik jari latent yang ditemukan di TKP guna mencari ada atau tidaknya sidik jari asing (diduga pelaku) dalam tempat kejadian

Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter (Wibowo, 2011). Dari hal-hal di atas kontribusi pembiasaan

Hasil analisis data secara statistik membuktikan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara variabel Disiplin siswa dan sarana prasarana secara bersama

Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Sambas dalam Menjatuhkan Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana adalah karena adanya hal-hal yang menjadi dasar atau yang