• Tidak ada hasil yang ditemukan

Extraction of Atung Seed (Parinarium glaberimum Hassk) to Obtain a Natural Preservative and its Application for Smoking of Swordfish Fillet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Extraction of Atung Seed (Parinarium glaberimum Hassk) to Obtain a Natural Preservative and its Application for Smoking of Swordfish Fillet"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

iii

EKSTRAKSI BIJI ATUNG (

Parinarium glaberimum

Hassk)

UNTUK MENDAPATKAN BAHAN PENGAWET ALAMI

DAN APLIKASINYA PADA PENGASAPAN

FILET IKAN TONGKOL (

Euthynnus affinis

)

SANDRA LEONI HIARIEY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

iv

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekstraksi Biji Atung

(Parinarium glaberimum Hassk) untuk Mendapatkan Bahan Pengawet Alami dan

Aplikasinya pada Pengasapan Filet Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2012

Sandra Leoni Hiariey

(3)

v

ABSTRACT

SANDRA LEONI HIARIEY. Extraction of Atung Seed (Parinarium glaberimum

Hassk) to Obtain a Natural Preservative and its Application for Smoking of Swordfish Fillet (Euthynnus affinis). Under supervision of Lilik Pujantoro and Sugiyono.

The objectives of this study were to extract atung seed with water through boiling process to obtain a natural preservative and apply the natural preservative in the smoking of swordfish fillet. The study wass conducted in two steps. In the first step, atung seed was extracted in boiling water at different ratio (1:5; 1:7; 1:10) and boiling time (10, 20, 30 minutes). The extracts were analyzed their pH, soluble solids, total phenol and antimicrobiol activity. In the second step, the besat extract was used to soak swordfish fillets in different times (5, 10, 15 minutes) before smoking. Result showed that the best extract was obtained from the ratio of 1:5 (atung seed : water) and 10 minutes boiling. The best extract had a pH of 6.1, soluble solids of 6.4 oBrix, total phenol of 88.13 mg/100g and antimicrobiol activity of 9.3 mm. Soaking of swordfish fillet the best extract for 15 minutes prior smoking prolonged the shelf life of the smoked fillet up to 8 days room temperature storage according to organoleptic properties.

Keywords : Extraction, atung seed, natural preservative, smoking, swordfish

(4)

vi

RINGKASAN

SANDRA LEONI HIARIEY. Ekstraksi Biji Atung (Parinarium glaberimum

Hassk) untuk Mendapatkan Bahan Pengawet Alami dan Aplikasinya pada Pengasapan Filet Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Di bawah bimbingan LILIK PUJANTORO dan SUGIYONO.

Tanaman atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman endemik Maluku. dimana buahnya telah digunakan ratusan tahun yang lalu oleh nelayan bila mereka melaut menangkap ikan. Usaha pengawetan pangan olahan secara berkelanjutan menggunakan pengawet alami yang mengandung komponen bioaktif sebagai antibakteri. Oleh karena itu biji atung sebagai pengawet alami, dilihat potensinya sebagai salah satu cara alternatif untuk menggantikan penggunaan pengawet makanan berbahan dasar kimia.

Tujuan penelitian ini adalah melakukan ekstraksi biji atung dengan cara perebusan untuk memperoleh cairan ekstrak bahan pengawet dan mengkaji penggunaannya dalam pengasapan filet ikan tongkol untuk memperpanjang masa simpan. Penelitian ini terbagai atas dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan ekstraksi untuk mendapatkan kualitas bahan pengawet alami dari biji atung dengan metode perebusan. Untuk tahap kedua, ekstrak biji atung terbaik pada tahap pertama diaplikasikan dalam pengasapan filet ikan tongkol. Parameter mutu tahap pertama yang diamati meliputi nilai pH, kadar total padatan terlarut, kadar total fenol, aktivitas antimikroba. Pengukuran parameter mutu tahap kedua terdiri dari kadar air, jumlah mikroba total, kandungan total volatil base dan uji organoleptik. Pengamatan tahap kedua dilakukan setiap 4 hari penyimpanan sampai dengan 16 hari. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Perlakuan pada tahap pertama yaitu faktor perbandingan atung dan air yang terdiri dari 3 taraf (1:5; 1:7 dan 1:10) dan faktor lama waktu perebusan yang terdiri dari 3 taraf (10, 20 dan 30 menit). Kemudian perlakuan untuk tahap kedua yaitu faktor lama waktu perendaman filet ikan tongkol dalam larutan ekstrak biji atung yang terdiri dari 3 taraf (5, 10 dan 15 menit) dan kontrol, yaitu filet ikan tongkol tanpa perendaman dalam larutan ekstrak biji atung. Semua percobaan diulang 2 kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS (Statictical Product and Service Solution) versi 16, apabila terdapat pengaruh perlakuan akan dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan. Sementara untuk data organoleptik dilakukan pengujian Kruskal Wallis dan jika terdapat pengaruh perlakuan akan dilanjutkan dengan menggunakan uji Tukey.

(5)

vii

Nilai pH tertinggi yaitu sebesar 6.3, terdapat pada perlakuan perbandingan atung dan air 1:10 dengan lama perebusan 20 menit dan 30 menit (P3W2, P3W3). Kisaran nilai pH ekstrak biji atung ini berada pada kondisi pH asam.

Dalam aplikasinya pada filet ikan tongkol asap maka digunakan kombinasi perlakuan perbandingan campuran serbuk biji atung dan air 1:5 dengan lama perebusan 10 menit (P1W1) sebagai larutan ekstrak biji atung. Kemudian perendaman 200 gram filet ikan tongkol dalam 200 ml larutan ekstrak biji atung.

Hasil penelitian tahap dua memperlihatkan bahwa, pengasapan filet ikan tongkol yang diberi perlakuan perendaman 15 menit dalam larutan ekstrak biji atung, memberikan filet ikan tongkol asap yang baik selama 8 hari penyimpanan pada suhu kamar. Karaktersitik kimiawi terbaik yang dihasilkan adalah kadar air 55.63%, kadar TVB 104.44 mgN/100g dan rata-rata nilai organoleptik 7.

Jumlah mikroba total (TPC) perlakuan perendaman filet ikan tongkol asap dalam larutan ekstrak biji atung selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit di awal produksi (H0W1, H0W2, H0W3) merupakan perlakuan terbaik, dengan nilai TPC sebesar 5.4x103 koloni/gram, 1.0x103 koloni/gram dan 2.6x102 koloni/gram. Sedangkan perlakuan filet ikan tongkol asap kontrol (H0WK), memiliki nilai TPC sebesar 1.0x105 koloni/gram. Jumlah TPC untuk semua perlakuan dan kontrol filet ikan tongkol asap, sudah mulai tinggi sejak hari ke-4 penyimpanan (106, 107 dan 108 koloni/gram). Hal ini terjadi dikarenakan ikan segar yang digunakan, mempunyai nilai TPC sebesar 6.3x105 koloni/gram, dimana sudah melebihi batas maksimal persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan segar sesuai SNI 01-2729.1-2006 yaitu 5.0x105 koloni/gram.

Tingkat penerimaan panelis melalui uji organoleptik menunjukkan bahwa filet ikan tongkol asap yang direndam selama 15 menit (W3) dalam larutan ekstrak biji atung masih diterima sampai hari ke-8 penyimpanan. Selama penyimpanan mutu kenampakan filet ikan tongkol asap menurun dari 7.80 (di atas menarik, bersih, coklat emas, bercahaya menurut jenis) menjadi 1.00 (tidak menarik, kotor). Sampel dengan perlakuan perendaman dalam larutan ekstrak biji atung selama 15 menit dan disimpan 8 hari (H8W3), kenampakannya menurun dari 7.04 (sedikit di atas menarik, bersih, coklat, agak kusam menurut jenis) menjadi 7.00 (menarik, bersih, coklat, agak kusam menurut jenis).

Mutu bau filet ikan tongkol asap menurun dari 7.72 (di atas kurang harum, asap cukup, tanpa bau tambahan mengganggu) menjadi 1.08 (bau basi jelas, bau amonia keras, busuk). Sampel dengan perlakuan perendaman dalam larutan ekstrak biji atung selama 15 menit dan disimpan 16 hari (H16W3), baunya menurun dari 7.24 (di atas harum asap cukup, tanpa bau tambahan mengganggu) menjadi 7.00 (harum asap cukup, tanpa bau tambahan mengganggu).

Mutu rasa filet ikan tongkol asap menurun dari 7.56 (di atas enak, kurang gurih) menjadi 2.48 (di atas basi, bau busuk). Perendaman filet ikan tongkol asap dalam larutan ekstrak biji atung selama 15 menit dan disimpan 8 hari (H8W3), menurun dari 7.12 (di atas enak, kurang gurih) menjadi 7.08 (di atas enak, kurang gurih).

(6)

viii

kering, antar jaringan erat) menjadi 7.00 (padat, kompak, kering, antar jaringan erat).

Pada hari ke-12 filet ikan tongkol asap tanpa perendaman dalam larutan ekstrak biji atung (H12WK) sudah ditumbuhi kapang dibandingkan dengan yang diberi perlakuan perendaman dalam larutan ekstrak biji atung belum tampak. Penyimpanan hari ke-16 untuk semua perlakuan baik dengan perendaman dalam larutan ekstrak biji atung maupun kontrol, nilai lendir berkisar antara 1.00 (ada, terdeteksi lendir) sampai 2.84 (mendekati tidak ada kapang, tidak terdeteksi lendir).

(7)

ix

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

x

EKSTRAKSI BIJI ATUNG (

Parinarium glaberimum

Hassk)

UNTUK MENDAPATKAN BAHAN PENGAWET ALAMI

DAN APLIKASINYA PADA PENGASAPAN

FILET IKAN TONGKOL(

Euthynnus affinis

)

SANDRA LEONI HIARIEY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

xi

(10)

xii

Judul Tesis : Ekstraksi Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk) untuk Mendapatkan Bahan Pengawet Alami dan Aplikasinya pada Pengasapan Filet Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Nama : Sandra Leoni Hiariey

NRP : F153100011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Lilik Pujantoro E.N, M.Agr Ketua

Prof.Dr.Ir.Sugiyono, M.App.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Dr.Ir.Sutrisno, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr

(11)

xiii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat dan anugerah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis banyak menerima bantuan berbagai pihak selama proses penyelesaian tesis ini, karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro EN, M.Agr, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan arahan, masukan serta dorongan moril yang tidak ternilai, mulai dari konsultasi judul, pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr, selaku Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Pascapanen.

3. Rektor IPB, Dekan dan Sekretaris Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan FATETA IPB atas kesempatan dan fasilitas selama penulis melaksanakan studi.

4. Penguji luar komisi Bapak Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc, atas masukan dan koreksinya.

5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2.

6. Koordinator Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi S2.

7. Pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai pendidikan penulis.

8. Bapak Wahid, Ibu Ari, Ibu Ema dan Pak Sulyaden sebagai tenaga laboran pada Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Laboratorium Mirobiologi Mutu dan Keamanan Pangan Seafast Center IPB, Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan IPB dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian IPB serta Kepala Laboratorium Lapangan Siswadhi Soeparjo Leuwikopo IPB, atas fasilitas yang diberikan serta bantuan dan arahannya selama penelitian. 9. Papa W. Hiariey (Alm) dan Mama S.M.D. Hiariey/I (Almh), Papa mertua

(12)

xiv

10. Suami tercinta John W. Ch. Karuwal S.Pi, anak-anak yang terkasih Shawn Joaquinn Karuwal dan Aprillya Grace Chrystin Karuwal, yang selalu sabar dan memberikan dorongan serta motivasi, baik dalam suka maupun duka. Terima kasih atas pengorbanan yang telah diberikan selama ini. 11. Seluruh rekan kuliah di Program Studi Teknologi Pascapanen, khususnya

rekan-rekan TPP 2010 (Elmi Kamsiati, Susi Lesmayati, Tajul Iflah, Hasriani, Putri Wulandari Zainal, Cicih Sugianti, Cininta Pertiwi, Fajri Eko Munanda dan Syahirman Hakim) atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini.

12. Dila dan teman-teman TEP 45 TMB Fateta atas bantuan dan kerjasama selama penelitian.

13. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penelitian hingga tersusunnya tesis ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan industri pangan di Indonesia dan khususnya di Maluku, serta ilmu pengetahuan dan masyarakat luas.

Bogor, November 2012

(13)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 19 Mei 1972 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari ayah W. Hiariey (Alm) dan Ibu S.M.D. Hiariey/Izaak (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, lulus tahun 1998.

Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Teknologi Pascapanen pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

(14)

xvi

Atung (Parinarium glaberimum Hassk) ... 5

Morfologi ... 5

Ekologi ... 6

Komposisi Kimia Biji Atung ... 6

Pemanfaatan Biji Buah Atung ... 7

Tradisional ... 7

Pengawet Pangan ... 8

Anti Serangga ... 8

Ekstraksi ... 9

Zat Pengawet dari Bahan Alami Tanaman ... 9

Ikan Tongkol ... 11

Pengasapan ... 12

Penyimpanan dan Kerusakan Ikan Asap ... 14

3 METODE PENELITIAN ... 15

Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Ekstraksi Biji Atung dengan Metode Perebusan... 23

Nilai pH ... 23

Total Padatan Terlarut (TPT) ... 24

Total Fenol ... 26

Aktivitas Antimikroba ... 29

Aplikasi ekstrak biji atung dalam pengasapan filet ikan tongkol (Euthynnus affinis) ... 31

Kadar Air ... 33

Jumlah Mikroba Total (TPC) ... 36

Total Volatil Bases (TVB) ... 39

(15)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komposisi kimia biji atung ... 6

Tabel 2 Komposisi asam lemak dari lemak biji atung ... 7

Tabel 3 Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba ... 10

Tabel 4 Komposisi kimia tongkol segar (Euthynnus spp) ... 12

Tabel 5 Komposisi kimia beberapa jenis ikan asap dari beberapa negara ... 13

Tabel 6 Hasil analisis kimiawi dan mikrobiologi filet ikan tongkol asap yang diberi perlakuan ekstrak biji atung selama penyimpanan ... 33

(16)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pohon, batang, daun dan buah tanaman atung (Parinarium

glaberimum Hassk) (Sumber: Matinahoru 2010)... 5

Gambar 2 Biji buah atung (Parinarium glaberimum Hassk) ... 6

Gambar 3 Diagram alir prosedur kerja penelitian ... 17

Gambar 4 Refraktometer Atago PR 201 ... 18

Gambar 5 Pengaruh perbandingan serbuk atung dan air dengan lama waktu perebusan terhadap nilai pH ekstrak biji atung ... 23

Gambar 6 Pengaruh perbandingan serbuk atung dan air dengan lama waktu perebusan terhadap kadar total padatan terlarut ekstrak biji atung .... 25

Gambar 7 Pengaruh perbandingan serbuk atung dan air dengan lama waktu perebusan terhadap kadar total fenol ekstrak biji atung ... 27

Gambar 8 Zone bening ekstrak biji atung terhadap S. aureus pada perlakuan perbandingan atung dan air 1:5, selama 10 menit perebusan (P1W1) ... 29

Gambar 9 Pengaruh perbandingan serbuk atung dan air dengan lama waktu perebusan terhadap daya hambat mikroba ekstrak biji atung ... 30

Gambar 10 Filet ikan tongkol asap tanpa perendaman dan perlakuan perendaman dalam larutan ekstrak biji atung ... 32

Gambar 11 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap perubahan kadar air filet ikan tongkol asap ... 34

Gambar 12 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap jumlah mikroba total filet ikan tongkol asap ... 37

Gambar 13 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap perubahan TVB filet ikan tongkol asap ... 40

Gambar 14 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap perubahan kenampakan filet ikan tongkol asap... 43

Gambar 15 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap perubahan bau filet ikan tongkol asap ... 46

Gambar 16 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap perubahan rasa filet ikan tongkol asap ... 48

Gambar 17 Pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak biji atung dan lama penyimpanan terhadap perubahan konsistensi filet ikan tongkol asap ... 50

(17)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar penilaian uji mutu hedonik ikan asap

berdasarkan SNI 2725.1:2009 ... 64 Lampiran 2. Hasil analisis pengaruh perbandingan atung dan air dengan

lama perebusan terhadap nilai pH ... 65 Lampiran 3. Hasil analisis anova nilai pH ekstraksi biji atung ... 65 Lampiran 4. Hasil analisis pengaruh perbandingan atung dan air dengan

lama perebusan terhadap total padatan terlarut (oBrix) ... 66 Lampiran 5. Hasil analisis anova total padatan terlarut ekstraksi biji atung ... 66 Lampiran 6. Hasil analisis pengaruh perbandingan atung dan air dengan

lama perebusan terhadap total fenol (mg/ml) ... 67 Lampiran 7. Hasil analisis anova total fenol (mg/ml) ekstraksi biji atung ... 68 Lampiran 8. Hasil analisis pengaruh perbandingan atung dan air dengan

lama perebusan terhadap aktivitas antimikroba (mm) ... 69 Lampiran 9. Hasil analisis anova aktivitas antimikroba (mm) ekstraksi biji

atung ... 70 Lampiran 10. Hasil analisis pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak

biji atung dan lama penyimpanan terhadap kadar air (%) filet ikan tongkol asap ... 71 Lampiran 11. Hasil analisis anova kadar air (%) filet ikan tongkol asap selama

penyimpanan suhu ruang ... 71 Lampiran 12. Hasil analisis pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak

biji atung dan lama penyimpanan terhadap jumlah mikroba total (koloni/g) filet ikan tongkol asap ... 73 Lampiran 13. Hasil analisis pengaruh waktu perendaman dengan lama

penyimpanan terhadap log jumlah mikroba total (koloni/g) filet ikan tongkol asap ... 73 Lampiran 14. Hasil analisis anova jumlah mikroba total (koloni/g) filet ikan

tongkol asap selama penyimpanan suhu ruang ... 74 Lampiran 15. Hasil analisis pengaruh lama perendaman dalam larutan ekstrak

biji atung dan lama penyimpanan terhadap total volatil base (mg N/100 g) filet ikan tongkol asap ... 76 Lampiran 16. Hasil analisis anova total volatil base (mg N/100 g) filet ikan

tongkol asap selama penyimpanan suhu ruang ... 76 Lampiran 17. Hasil analisis statistik nilai mutu hedonik filet ikan tongkol asap

selama penyimpanan suhu ruang ... 78 Lampiran 18. Buah dan biji atung ... 89 Lampiran 19. Proses ekstraksi biji atung dengan pelarut air ... 89 Lampiran 20. Fota aktivitas antimikroba ekstrak biji atung terhadap bakteri

(18)
(19)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan bahan kebutuhan pokok manusia yang mudah mengalami kerusakan secara fisik, mekanis, mikrobiologis, biologis dan kimia. Kebusukan dan penurunan mutu merupakan masalah utama yang dihadapi dalam penanganan bahan pangan, terutama bahan pangan segar. Hal ini akibat tingginya kandungan air dan nutrisi sehingga digolongkan ke dalam bahan pangan yang sangat mudah rusak. Penyebab kebusukan bahan pangan terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu, upaya pengawetan pangan perlu dilakukan untuk mempertahankan sifat fisik dan kimia pangan serta meningkatkan daya simpan agar lebih lama.

Salah satu upaya pengawetan pangan yang sering dilakukan adalah dengan menambahkan zat pengawet kimia atau sintetis. Penggunaan beberapa pengawet sintetis ini masih dalam kontroversi, baik jenis zat kimia maupun dosis yang digunakan, terutama oleh pelaku-pelaku industri skala rumah tangga dan industri menengah. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2007) dalam Barus (2009), bahwa penyalahgunaan pengawet sintetik sebagai pengawet pangan menjadi salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia. Pengawet sintetik mempunyai resiko terhadap kesehatan jika digunakan secara tidak tepat (BPOM 2007 yang diacu dalam Barus 2009). Masalah keamanan pangan menjadi penting seiring dengan semakin majunya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang gizi, pangan, dan bahan tambahan makanan. Penggunaan pengawet kimia yang banyak menimbulkan efek samping dan merugikan konsumen telah mendorong industri pangan untuk mencari altematif lain. Pengawet alami diyakini lebih aman untuk digunakan dan berpotensi cukup baik untuk dikembangkan terutama dari tanaman.

Buah atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan yang bijinya sejak lama telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat Maluku untuk mengawetkan ikan tangkapan sebelum es balok dikenal, dimana hasil tangkapan tersebut tidak cepat rusak dan tahan beberapa hari sampai kapal mendarat untuk dipasarkan (Moniharapon 1991). Parutan biji atung digunakan masyarakat Maluku sebagai bahan campuran rempah-rempah untuk mengolah hasil perikanan dan dapat digunakan untuk mengobati disentri, menghilangkan gatal-gatal akibat makan ikan, mencegah keputihan serta perdarahan dini pada wanita hamil. Selain itu biji atung dapat dibuat menjadi bubur dan dioleskan pada kayu bangunan rumah untuk menahan serangan rayap dan cacing, serta untuk melapisi dan mengawet kayu kapal (Heyne 1987; Adawiyah 1998).

(20)

2

4 hari serta memperbaiki tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak (Soeherman 1997). Selanjutnya Saragih (1998) membuktikan pula bahwa serbuk biji atung mampu memperpanjang umur simpan ikan mujair dan ikan kembung baik dalam keadaan segar maupun dalam bentuk olahan pindang,

Selain kemampuannya sebagai pengawet ikan, biji atung juga dapat digunakan sebagai anti lalat selama penjemuran ikan asin jambal roti. Solihin (1997) membuktikan bahwa penggunaan serbuk biji atung dan ekstrak biji atung dapat mencegah infestasi lalat hijau dan belatung selama penjemuran ikan asin jambal roti. Penelitian Saragih (1998) memperkuat dugaan tersebut dengan membuktikan ekstrak etanol biji atung dapat menurunkan infestasi lalat hijau maupun lalat rumah selama penjemuran ikan asin jambal roti serta menurunkan jumlah belatung. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa biji atung memiliki aktivitas sebagai repellent.

Penelitian Lumbessy (2003) mendapatkan bahwa penggunaan ekstrak etanol atung dengan ekstrak etanol lengkuas serta kombinasi ekstrak etanol atung dengan minyak atisiri lengkuas dapat memperpanjang massa simpan filet ikan patin kering sampai 20 hari dengan nilai total kapang lebih rendah (3.07 log CFU/g). Sehingga diduga bahwa didalam biji atung juga terdapat zat anti kapang.

Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan juga merupakan sumber protein, sebagai pangan fungsional yang mempunyai arti penting bagi kesehatan karena mengandung asam lemak tidak jenuh berantai panjang (terutama yang tergolong asam lemak omega-3), vitamin serta makro dan mikro molekul (Heruwati 2002). Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya.

Pengasapan, penggaraman dan pengeringan merupakan cara pengawetan ikan yang sampai saat ini masih banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan cara pengolahannya sangat mudah, menggunakan peralatan yang sederhana dan biaya produksinya murah, juga produk yang dihasilkan dapat ditransportasikan dan dipasarkan dengan mudah (Anonim 2002).

Ikan asap adalah hasil pengawetan ikan secara tradisional yang pengerjaannya merupakan gabungan dari penggaraman (perendaman dalam air garam) dan pengasapan sehingga memberikan rasa khas. Berbagai cara penggasapan tergantung kepada jenis ikan yang diasap dan besar kecilnya ikan yang diasap. Menurut Anonim (2002), ikan yang diolah dengan cara pengasapan dapat menjadi awet disebabkan berkurangnya kadar air ikan sampai di bawah 40 persen, adanya senyawa-senyawa di dalam asam kayu yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan terjadinya koagulasi protein pada permukaan ikan yang mengakibatkan jaringan pengikat menjadi lebih kuat dan kompak sehingga tahan terhadap serangan mikroorganisme. Senyawa-senyawa antimikroba yang terdapat di dalam asap kayu, misalnya berbagai macam aldehida, alkohol, keton, asam dan sebagainya. Pengasapan juga dapat memperbaiki penampakan ikan karena permukaan ikan menjadi mengkilat.

(21)

3

pertumbuhan jamur atau kapang, karena jamur dapat tumbuh pada makanan dengan kadar air rendah. Pertumbuhan jamur pada ikan dapat menyebabkan terjadinya perubahan bau menjadi tengik dan perubahan tekstur (Anonim 2002). Hasil penelitian Tampubolon (1988) menyatakan bahwa, umur simpan ikan asap dengan penggunaan garam sebagai pengawet hanya tujuh hari, pada penyimpanan di suhu ruang.

Dengan melihat potensi daya awet dari ekstrak buah atung dan pengasapan, maka dilakukan penelitian tentang ekstraksi biji atung untuk mendapatkan bahan pengawet alami, dan digunakan sebagai larutan perendaman filet ikan tongkol sebelum pengasapan. Diharapkan kombinasi keduanya dapat meningkatkan mutu dan umur simpan filet ikan tongkol asap yang disimpan pada suhu ruang. Demikian juga kombinasi ini dapat digunakan secara sederhana, efektif dan efisien oleh produsen ikan asap dalam skala rumah tangga.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melakukan ekstraksi biji atung dengan cara perebusan untuk memperoleh cairan ekstrak bahan pengawet dan mengkaji penggunaannya dalam pengasapan filet ikan tongkol untuk memperpanjang masa simpan. Tujuan ini dicapai melalui dua tahapan :

1. Menentukan perlakuan terbaik perbandingan berat serbuk biji atung dan volume air dengan lama waktu perebusan dalam usaha menghasilkan ekstrak biji atung sebagai bahan pengawet.

2. Menentukan pengaruh lama waktu perendaman filet ikan tongkol dalam larutan ekstrak biji atung terhadap masa simpan filet ikan tongkol asap selama penyimpanan pada suhu ruang.

Kegunaan Penelitian

(22)
(23)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Atung (Parinarium glaberimum Hassk)

Di Indonesia Parinarium glaberimum disebut dengan nama yang berbeda-beda. Misalnya di Aceh disebut “pèle kambing”, di Makasar disebut “lomo”, di Bugis disebut “samaka”, di Ternate disebut “saya” dan di Ambon disebut “atung”. Berdasarkan pada klasifikasi tumbuhan maka atung berada pada divisi Spermatophyta dan sub divisi Angiospermae. Kelas tumbuhan Dicotyledonae dan sub kelas Dialypetaceae. Ordo tumbuhan adalah Rosales dan famili Rosaceae. Genus tumbuhan parinarium dan spesiesnya Parinarium glaberimum (Heyne 1987).

Morfologi

Menurut Heyne (1987) tanaman atung berakar dengan penyebaran kira- kira 3–6 m dari pohon. Akar tanaman ini hanya tahan terhadap kekurangan O2 sampai 7 hari. Banyak memiliki akar cabang dengan akar tunggang yang dalam dan kuat. Hal ini karena habitat atung umumnya pada daerah-daerah yang banyak mendapat angin laut dan jenis tanah regosol karena dominan bertekstur berpasir (Gambar 1).

Gambar 1 Pohon, batang, daun dan buah tanaman atung (Parinarium glaberimum

Hassk) (Sumber: Matinahoru 2010)

Heyne (1987) mengatakan bahwa tumbuhan atung adalah tumbuhan monopodial, dengan bentuk batang umumnya silendris. Warna batang abu-abu sampai putih kecoklatan dengan kulit batang yang kasar. Daun berbentuk lonjong dan berwarna hijau muda. Permukaan daun licin dengan tepi daun rata dan ujung daun tumpul. Tangkai daun pendek kira-kira 0.30–0.50 cm. Ukuran panjang daun 15–25 cm dan lebar 6–9 cm.

(24)

6

kasar dengan tebal daging buah 1–2 cm. Biji atung berwarna coklat, berbentuk lonjong dan berukuran diameter 2–4 cm dan panjang 4–6 cm (Gambar 2).

Gambar 2 Biji buah atung (Parinarium glaberimum Hassk)

Ekologi

Tumbuhan atung tersebar terutama pada daerah-daerah tropika seperti Indonesia, Malaysia dan kepulauan Solomon. Di Indonesia umumnya dijumpai di Maluku, Sulawesi Selatan, Aceh dan Maluku Utara. Di daerah Maluku, tumbuhan ini terdapat terutama di Maluku Tengah yaitu pada pulau Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut dan Seram (Moniharapon 1991).

Tumbuhan atung umumnya tumbuh pada tanah-tanah yang mengandung cukup unsur hara dengan pH tanah antara 6.0–6.5. Jenis tanah yang dominan bagi pertumbuhan atung adalah regosol, kambisol dan rendzina dengan tekstur lempung berpasir atau pasir berlempung dan liat berlempung. Atung tumbuh pada ketinggian yang berkisar dari 0–300 m dari permukaan laut. Secara umum tanaman ini tumbuh pada daerah-daerah dataran rendah. Rata-rata curah hujan tahunan tanaman ini adalah 1500-3500 mm. Temperatur tahunan berkisar antara 21–30 oC dengan kelembaban relatif antara 80 – 90% (Matinahoru 2010).

KomposisiKimia Biji Atung

Komponen utama biji atung adalah lemak sebesar 31% (Heyne 1987). Adawiyah (1998) melaporkan berdasarkan analisis proksimat biji atung, bahwa lemak memang merupakan komponen utama biji atung (42.7% bb). Kadar tanin biji atung adalah 1.7% (Tabel 1).

Tabel 1 Komposisi kimia biji atung Komponen Persentase ( % bb ) Air

Abu Protein Lemak Serat Kasar Pati

Tanin

(25)

7

Analisis asam lemak dari lemak biji atung yang dilakukan Adawiyah (1998) menyimpulkan bahwa asam lemak rantai panjang adalah tipe asam lemak yang dominan terdapat didalam lemak biji atung, yaitu behenat, palmitat, linoleat, stearat, oleat dan sejumlah kecil asam docosaheksanoat (DHA), gadoleat, arakhidat dan linolenat. Komposisi masing-masing lemak tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi asam lemak dari lemak biji atung Jenis asam lemak Nama asam lemak Konsentrasi

(mg/g lemak) dilanjutkan dengan identifikasi komponen antibakteri dari biji atung, ternyata komponen bioaktifnya adalah asam azelaik (azelaic acid). Asam azelaik inidapat membunuh bakteri pathogen dan perusak pangan, yaitu: Staphylococcus aureus, Salmonella enteritidis, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis, Micrococcus luteus, Enterococcus faecalis, Escherichia coli serta Pseudomonas aeruginosa. Asam azelaik merupakan asam dikarboksilat jenuh dengan 9 atom karbon, yang diperoleh dari oksidasi asam oleat dengan asam nitrat (Wikipedia 2012; Moniharapon et al. 2005). Asam azelaik tidak bersifat toksisitas akut atau kronis serta tidak teratogenik dan mutagenik (Moniharapon et al. 2005). Asam azelaik yang diproduksi secara industri melalui proses ozonolisis dari asam oleat. Produk samping dari ozonolisis ini menghasilkan asam nonanoat. Degradasi bakteri asam nonanoat adalah asam azelaik (Wikipedia 2012).

Pemanfaatan Biji Buah Atung

Tradisional

Pemanfaatan buah atung lebih terfokus pada penggunaan bijinya karena terbukti secara tradisional maupun melalui penelitian-penelitian, biji atung memiliki potensi untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Biji atung memiliki banyak sekali khasiat, di Maluku biji atung digunakan membuat makanan dari ikan mentah atau goreng yang dicincang halus dengan parutan inti atung, jahe, bawang, cabe dan air jeruk. Makanan ini di Ambon dikenal dengan nama “kohu

(26)

8

Heyne (1987) menyatakan bahwa biji atung dapat digunakan untuk menghentikan diare, menghentikan keputihan dan mencegah pendarahan terlalu dini pada wanita hamil. Biji yang setengah masak ditumbuk dengan air menjadi bubur kemudian dioleskan pada kayu bangunan rumah. Kayu yang diolesi tidak diserang rayap dan pembubukan kayu tidak terjadi. Selain itu pastanya dapat digunakan untuk menambal perahu nalayan yang bocor. Biji atung juga dapat digunakan sebagai obat diabetes dan jantung (Matinahoru 2010).

Pengawet Pangan

Penggunaan biji buah atung (Parinarium glaberimum, Hassk) telah terbukti sebagai bahan pengawet pangan karena mengandung fraksi komponen bioaktif yang dapat membunuh beberapa jenis bakteri pathogen dan perusak pangan. Moniharapon (1991) mendapatkan bahwa penggunaan bubuk biji atung mampu meningkatkan kesegaran udang windu dari 4 jam menjadi 10 jam pada suhu kamar. Selain itu juga dapat menahan pertumbuhan mikroba dan mengurangi susut bobot udang selama penyimpanan. Penanganan paska tangkap beberapa jenis ikan karang dapat diperpanjang kesegarannya 36 jam (Moniharapon et al. 2006).

Penggunaan serbuk biji atung dapat memperpanjang umur simpan ikan mujair dari 3 hari menjadi 7 hari sedangkan pada ikan kembung memperpanjang dari 8 hari menjadi 13 hari (Saragih 1998). Soeherman (1997) melaporkan bahwa, pemindangan baik dengan penambahan bubuk biji buah atung maupun ekstrak biji atung dengan air mampu memperpanjang umur simpan pindang ikan mujair dari 1 hari menjadi 4 hari, juga dapat memperbaiki tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak.

Styaninggrum (1999) mendapatkan bahwa penambahan ekstrak biji atung 3% dan 5% pada produk pindang kembung presto ternyata dapat menghambat proses ketengikan. Aplikasi penggunaan ekstrak etanol atung dengan minyak atsiri lengkuas dapat memperpanjang masa simpan filet ikan patin kering sampai 20 hari (Lumbessy 2003). Penanganan cumi (Loligo pealii) dengan serbuk atung 0.3% maupun larutan atung 10% dan 20% (pengenceran dari larutan atung standar) dapat memperpanjang masa simpan sampai 9 jam paska tangkap 5 jam bila dibandingkan tanpa perlakuan atung yang hanya bertahan selama 3 jam (Sopaheluwakan 2009).

Anti Serangga

Solihin (1997) melaporkan bahwa pembaluran serbuk biji atung mampu menurunkan total infestasi lalat dari 3.63% pada penjemuran hari pertama ikan jambal roti menjadi 0.09%, sedangkan pada penjemuran hari kedua menurun dari 3.09% menjadi 0.03% terhadap populasi lalat hijau. Penggunaan ekstrak etanol biji buah atung terbukti efektif dalam menurunkan serangan lalat hijau dari 8.39% menjadi 1.29% dan lalat rumah dari 13.81% menjadi 3.81% (Saragih 1998).

(27)

9

konsentrasi 20% dan 10 kali untuk konsentrasi 1%), didapati tidak terjadi infestasi lalat pada proses penjemuran ikan cakalang asin kering dengan penyemprotan larutan biji buah atung standar (tanpa pengenceran). Begitu juga dengan penyemprotan pada ikan cakalang yang dijual utuh, lebih baik mutunya bila dibandingkan dengan yang tanpa penyemprotan.

Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi juga merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai separating agen. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone 1987).

Teknik ekstraksi bermanfaat untuk memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak dapat tercampur. Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik (Rahayu 2009).

Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Pada ekstraksi cair-cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga terjadi distribusi sampel di antara kedua pelarut tersebut (Wibawa dan Sukma 2011). Ekstraksi padat cair atau

leaching adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan ke dalam pelarutnya. Proses ini termasuk proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi (Utami et al. 2009).

Menurut Ketaren (1987) jenis dan mutu pelarut sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus mempunyai persyaratan antara lain harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, murah, tidak toksik, dan tidak mudah terbakar. Untuk menseleksi awal kemungkinan tumbuh-tumbuhan mempunyai aktivitas antimikroba, maka untuk mengekstraksinya dapat digunakan air, alkohol, atau pelarut organik lainnya.

Zat Pengawet dari Bahan Alami Tanaman

(28)

10

Beberapa bagian tanaman mengandung senyawa yang dapat bersifat sebagai antibakteri. Senyawa-senyawa tersebut diproduksi secara biologis oleh tanaman. Senyawa tersebut dapat berasal dari bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, akar, rimpang, kulit buah dan kulit batang (Tabel 3 ).

Tabel 3 Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba

No Bahan Bagian Efek

1 Andalehat (Chrysophyllum roxburghii G. Don) Buah Antibakteri 2 Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium D.C) Buah Antibakteri 3 Antarasa (Litsea cubeba) Buah Antibakteri

4 Atung (Parinarium glaberimum Hask.) Biji Antioksidan,Antibakteri, Antikapang

5 Bawang putih (Allium sativum L.) Umbi -

6 Belimbing (Averrhoea carambola L) Daun Antibakteri 7 Cendana wangi (Santalum album L.) Kayu Antikapang 8 Delima (Punica granatum L.) Buah,

getah Antibakteri 9 Jambu biji (Psidium guajaya L.) Daun Antibakteri 10 Jambu mede (Anacardium occidentale L) Daun, biji Antibakteri 11 Kantil (Michelia champaca L.) - Antibakteri

12 Kecombrang Bunga Antibakteri

13 Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) Kulit

batang Antibakteri 14 Kelor (Horinga oleifera Lamk.) Akar Antibakteri 15 Kemukus (Piper cubeba L.) Buah Antibakteri 16 Kitosan, hasil deasetilasi kitin yang terdapat

pada cangkang udang - Antibakteri,Antikapang 17 Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) Daun Antibakteri

18 Kunyit (Curcuma domestica Val.) Akar Antibakteri,Antikapang 19 Lengkuas (Languas galanga Stunz.) Akar Antibakteri,Antikapang 20 Lengkuas malaka (Alpinia galanga L) Akar Antibakteri, Antikapang 21 Mobe (Ficus sp.) Buah Antibakteri

22 Salam (Syzigiym polyanthum (Wight) Walp) Daun Antibakteri

23 Sirih (Piper betle L.) Daun Antibakteri,Antikapang 24 Suji (Pleomale angustifolia M.E Brown) Daun Antibakteri

25 Temu giring (Dysoxylum ammoroides Mig) Akar. Daun Antikapang,Antibakteri 26 Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) Akar Antibakteri, Antikapang

Sumber : Syamsir (2007)

(29)

11

Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Prindle 1983).

Menurut Prindle (1983), senyawa fenol mampu memutuskan ikatan peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fospolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim–enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme.

Ikan Tongkol

Ikan tongkol (euthyfinus affinis) merupakan salah satu sumber daya ikan laut ekonomis penting yang dihasilkan di perairan Indonesia, baik sebagai komoditas ekspor maupun sebagai komoditas yang dikonsumsi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan gizi nasional. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011) volume produksi ikan tongkol di Indonesia diperkirakan sebesar 141.190 ton. Volume produksi ikan tongkol terbesar terdapat di perairan Jawa Barat sebesar 18.227 ton, Sulawesih Utara sebesar 17.281 ton, Aceh sebesar 14.435, Sumatera Barat sebesar 7.578, Sulawesih Tengah 4.661 ton dan Maluku 4.046 ton.

Ikan tongkol memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, rasanya lezat, dagingnya padat dan lembut, disamping itu harganya yang relatif lebih murah (Nurlaela 2003). Daging ikan tongkol segar mempunyai komposisi kimia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tongkol segar (Euthynnus spp)

(30)

12

Tabel 4 Komposisi kimia tongkol segar (Euthynnus spp) (lanjutan)

Komponen Jumlah

Pengasapan ialah proses tertariknya air dan meningkatnya kadar asam dari daging ikan serta pengendapan berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap kayu (Ilyas 1972). Menurut Winarno (2008) pengasapan adalah teknik melekatkan dan memasukkan berbagai senyawa kimia asap ke dalam bahan pangan, selain itu juga untuk mengawetkan atau menambah cita rasa (Winarno et al. 1980). Pengasapan juga merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan yang memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemakaian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar kayu yang akan membentuk senyawa-senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar (Wibowo 1995). Senyawa asap dalam bentuk uap akan menempel pada produk dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi kecoklatan.

Proses pengasapan merupakan kombinasi antara penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapan bakteri. Unsur kimia yang ada didalam asap seperti formaldehida, aseton dan fenol mempunyai sifat dapat membunuh bakteri, sementara asam yang mudah menguap dapat menurunkan pH pada permukaan ikan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme, juga panas selama pengasapan bersifat anti bakteri (Buckle et al. 1985). Unsur-unsur tersebut selain berfungsi sebagai antimikroba juga pemberi rasa, aroma dan warna pada tubuh ikan dan juga sebagai bahan pengawet. Tujuan utama pengasapan adalah menghasilkan cita rasa yang lebih baik serta mencegah ketengikan daging akibat oksidasi lemak.

(31)

13

dihasilkan dengan cara pengasapan dingin relatif rendah, sehingga pengasapan terutama diterapkan untuk tujuan pengawetan ikan. Produk yang dihasilkan memiliki keawetan yang lebih tinggi karena penetrasi komponen asap lebih banyak sehingga dagingnya kering, tetapi harus dimasak lebih dulu sebelum di makan karena produknya belum matang.

Sunahwati (2000) menyatakan bahwa pada pengasapan panas suhu asap antara 66oC–80oC. Waktu pengasapan antara 2-4 jam. Ikan yang diasapi diletakkan dekat sumber asap, maka penetrasi asap lebih sedikit, sehingga produk yang dihasilkan bersifat kurang awet. Kadar air ikan asap yang dihasilkan relatif masih tinggi, sehingga daya awetnya lebih rendah daripada yang dihasilkan dengan cara pengasapan dingin. Pengasapan panas biasanya menghasilkan ikan asap yang mempunyai rasa yang baik. Pengasapan panas (diatas 80oC) dapat menyebabkan hilangnya vitamin yang larut dalam air seperti niasin, riboflavin dan asam askorbat hingga 4% (Heruwati 2002). Tabel 5 menyajikan komposisi kimia beberapa jenis ikan asap dari beberapa negara.

Tabel 5 Komposisi kimia beberapa jenis ikan asap dari beberapa negara

(32)

14

Penyimpanan dan Kerusakan Ikan Asap

Dalam makanan terdapat sejumlah kecil mikroba yang dapat berkembang biak dengan cepat bila kondisi penyimpanan memungkinkan untuk tumbuh. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan penurunan mutu dan kerusakan pangan (Murhadi 1994). Selama proses penyimpanan, mutu ikan akan menurun baik mutu organoleptik, kimiawi maupun mikrobiologi, tetapi penurunan mutu yang lebih utama adalah dari segi mikrobiologi (Syarif 1993).

Secara mikrobiologi, mikroba perusak bahan pangan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu bakteri, kapang dan khamir (Winarno 1993). Kerusakan mikrobiologis pada makanan ditandai dengan timbulnya kapang, kebusukan, lendir dan terjadinya perubahan warna. Selama penyimpanan pertumbuhan bakteri, ragi atau kapang pada makanan dapat mengubah komposisinya dan menghasilkan bau yang kurang enak, membentuk lendir dan gas.

Syarif et al. (1989) mengatakan bahwa gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air serta pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk maka akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan (pada produk bubuk) dan pelunakkan pada produk kering. Akibat kontak dengan oksigen, maka produk yang berlemak akan menjadi tengik. Kebusukan dan kerusakan daging juga ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amoniak, H2S, indol dan amin yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme (Fardiaz 1999).

Kerusakan daging olahan menurut Badewi (2002) umumnya terdiri dari dua jenis yaitu kerusakan aroma (flavour) dan penampilan (appearance). Kerusakan

(33)

15

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Siswadhi Soepardjo Leuwikopo IPB, laboratorium Mikrobiologi Mutu dan Keamanan Pangan Seafast Center IPB, laboratorium Biokimia Pangan Departemen ITP IPB, laboratorium Teknologi Hasil Perikanan IPB dan laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian TMB IPB. Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari sampai Mei 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah buah atung tua dengan umur panen 3 bulan setelah berbunga yang diperoleh dari Desa Rutong, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, Propinsi Maluku. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis) dengan ukuran 1.5 – 2.0 kg. Ikan tersebut diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di perairan Lampung. Untuk mempertahankan kesegarannya selama perjalanan, ikan dimasukkan dalam cool box tertutup dan diberi es curah.

Bahan bakar yang digunakan adalah sabut kelapa, pemakaian minyak tanah hanya dilakukan pada awal pembakaran sabut kelapa dalam jumlah yang sedikit. Bahan yang digunakan untuk analisa meliputi media agar PCA (Plate Count Agar), bakteri Staphylococcus aureus (ATCC 25923), garam NaCl, dan air destilata yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi mutu dan keamanan pangan Seafast Center, IPB.

Peralatan yang digunakan terdiri dari palu, parutan kelapa, panci, pisau, kompor gas, saringan, timbangan dan termometer. Alat pengasapan yang digunakan adalah drum yang dimodifikasi sebagai lemari pengasapan. Peralatan analisa terdiri dari inkubator, oven, pH meter, refraktometer, spektrofotometer serta peralatan analisis kimia dan organoleptik.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu: (1). Ekstraksi biji atung dengan perlakuan perbandingan serbuk biji atung dan air dengan lama waktu perebusan. (2). Aplikasi penggunaan ekstrak biji atung sebagai larutan perendaman filet ikan tongkol sebelum pengasapan.

Persiapan Bahan

(34)

16

Ikan tongkol segar beku yang diperoleh dari TPI Lampasing Lampung, dibersihkan dengan cara dibuang kepala, isi perut, insang, kulit, tulang dan ekor. Kemudian ikan di filet dengan berat ±200 gr dan dicuci sampai bersih. Filet ikan tongkol diamati kesegaran awal meliputi kadar air, jumlah mikroba total dan total volatil base.

Tahap I : Ekstraksi Biji Atung dengan Metode Perebusan

Tujuan penelitian tahap ini adalah menentukan perlakuan terbaik perbandingan berat serbuk biji atung dan volume air dengan lama waktu perebusan dalam usaha menghasilkan ekstrak biji atung sebagai bahan pengawet. Metode ekstraksi yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode perebusan. Serbuk biji atung seberat 100 gram di rebus mendidih (100oC) dalam tiga perlakuan volume air yaitu 500 ml, 700 ml, dan 1000 ml, masing-masing selama 10 menit, 20 menit dan 30 menit. Setelah itu larutan didinginkan mencapai suhu ruang sambil diaduk, selanjutnya larutan disaring menggunakan saringan teh untuk mendapatkan ekstrak biji atung. Ekstrak yang diperoleh digunakan sebagai sampel untuk dianalisis parameter mutu meliputi nilai pH, total padatan terlarut, total fenol dan aktivitas antimikroba. Hasil pengukuran parameter terbaik dari tahap pertama ini akan digunakan dalam penelitian tahap kedua.

Perlakuan pada tahap pertama ini terdiri dari atas dua, yaitu perbandingan atung dan air dengan lama waktu perebusan. Perbandingan atung dan air terdiri atas 3 tingkat perbandingan yaitu 100 gram atung : 500 ml air (P1), 100 gram atung : 700 ml air (P2) dan 100 gram atung : 1000 ml air (P3). Sementara lama waktu perebusan atung dalam air mendidih (100oC) juga terdiri atas 3 tingkat yaitu 10 menit (W1), 20 menit (W2) dan 30 menit (W3).

Tahap II : Aplikasi ekstrak biji atung dalam pengasapan filet ikan tongkol

Pada tahap kedua digunakan ekstrak terbaik dari penelitian tahap I. Perlakuan yang diberikan dalam tahap ini yaitu perbandingan serbuk biji atung dan air 1:5 (20% b/v) dengan lama waktu perebusan 10 menit digunakan sebagai larutan perendaman filet ikan tongkol.

Filet ikan tongkol seberat 200 gram direndam dalam 200 ml larutan ekstrak biji atung masing-masing selama 5, 10 dan 15 menit. Kemudian filet ikan tongkol ditiriskan dan dikeringanginkan (27oC) sampai permukaan ikan menjadi kering, dan diatur dalam rak pengasapan. Setelah itu filet ikan tongkol diasap menggunakan drum yang telah dimodifikasi, dengan suhu pada 2 jam pertama antara 50-60oC, kemudian 2 jam berikutnya pada suhu 70-80oC, dan 2 jam terakhir dengan suhu 50-60oC. Filet ikan tongkol asap disimpan pada suhu kamar dan diamati perubahan setiap 4 hari sekali selama 16 hari penyimpanan. Parameter mutu yang diamati meliputi kadar air, uji mikrobiologi, total volatil base dan uji organoleptik.

(35)

17

10 menit (W2), 15 menit (W3) dan kontrol (WK). Sedangkan lama penyimpanan pada suhu kamar, meliputi hari ke-0 (H0), ke-4 (H4), ke-8 (H8), ke-12 (H12) dan ke-16 (H16). Prosedur kerja penelitian dari tahap I dan II, secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir prosedur kerja penelitian

Ikan tongkol segar beku

Buah atung tua (umur panen 3 bulan )

Buah dibelah

Pemarutan biji atung

Penimbangan serbuk biji atung @100 g

Perebusan T 100 oC,

Ratio serbuk atung dan air : 1:5, 1:7 dan 1:10 Lama waktu perebusan : 10, 20 dan 30 menit

Analisa parameter :

pH, TPT, total fenol & aktivitas antimikroba

Ekstrak biji atung terbaik

Analisis kesegaran awal filet ikan tongkol :

KA. TPC & TVB Perendaman filet ikan tongkol @200 g

dalam 200 ml larutan ekstrak biji atung selama 5, 10 & 15 menit dan kontrol

Pengaturan dalam rak pengasapan,

Filet ikan tongkol asap terbaik

(36)

18

Parameter Pengamatan

Pengamatan terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengamati kualitas ekstrak biji atung meliputi nilai pH, total padatan terlarut, total fenol dan aktivitas antimikroba. Sedangkan pada tahap kedua adalah mengamati mutu filet ikan tongkol asap yang telah diberi perlakuan ekstrak biji atung selama penyimpanan, meliputi kadar air, jumlah total mikroba, total volatil base dan uji organoleptik.

Pengamatan Tahap I

pH

Pengukuran pH ekstraksi biji atung dilakukan menggunakan alat pH meter. Tahapan pengukurannya adalah memasukan ±200 ml sampel ke beaker gelas 250 μL. Setelah itu membersihkan bagian ujung pH meter dengan menggunakan akuades dan mengeringkan dengan kertas tissue. Kemudian pencelupan bagian ujung pH meter ke dalam sampel hingga angka yang ditunjukkan konstan dan mencatat angka tersebut sebagai pH sampel.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Analisis total padatan terlarut ekstrak biji atung dengan menggunakan alat

Refractometer. Pengukuran ini dilakukan dengan cara meneteskan sampel ekstrak biji atung pada kaca sensor yang terdapat pada Refractometer Atago PR-201, sehingga total padatan terlarut dapat dilihat secara langsung pada display, skala pembacaan dalam satuan oBrix.

Gambar 4 Refraktometer Atago PR 201

Total Fenol (Khadambi 2007)

(37)

19

1 jam. Setelah itu sampel dibaca dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 725 nm.

Pembuatan kurva standar yaitu dengan mengambil 0.5 ml larutan asam tanat dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 2.5 ml reagen Folin-Ciocalteu 50% dan 0.5 ml aquades. Kemudian dibuat konsentrasi seri standar asam tanat yang terdiri dari 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 ml. Setelah itu campuran dibiarkan pada suhu kamar selama 10 menit, dan ditambahkan 0.5 ml sodium karbonat 5%. Campuran selanjutnya dipanaskan pada suhu 40oC dalam water bath selama 20 menit dan secepatnya didinginkan. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. Hasil absorbansi sebagai fungsi konsentrasi kadar asam tanat diplotkan dalam grafik dan digunakan sebagai kurva standar asam tanat. Total fenol dinyatakan dalam mg/ml.

Uji Aktivitas Antimikroba (Garriga et al. 1993)

Uji aktivitas antimikroba pada penelitian ini dilakukan melalui uji difusi sumur. Uji difusi sumur ini dilakukan pada hasil ekstraksi biji atung. Kultur bakteri uji yang akan digunakan terlebih dahulu disegarkan, dengan cara mengambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada media pertumbuhan Nutrien Broth (5 ml) selama 24 jam pada suhu 37°C. Kemudian dituangkan 500 ml Nutrient Agar ke dalam cawan petri steril dan masukan 0.1 ml dari kultur bakteri uji. Setelah membeku dibuat tiga lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pada pengujian ini setiap cawan dibuat 3 lubang atau sumur dengan diameter seragam yaitu 6 mm. Selanjutnya kedalam tiap lubang sumur dimasukkan 60 µl ekstrak biji atung, kemudian disimpan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam. Pada masing-masing sampel dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus.

Zona penghambatan (d=2r) yang diukur adalah diameter zona bening dikurangi dengan diameter sumur. Areal bening disekitar koloni bakteri menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri uji. Semakin lebar diameter penghambatan, maka aktivitas senyawa antimikroba semakin besar.

Pengamatan Tahap II

Kadar Air

Mula-mula cawan dibersihkan kemudian masukan cawan kosong ke dalam oven pada suhu 100 oC sampai 115oC minimal 2 jam. Selanjutnya cawan tersebut dimasukan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (A). Penimbangan contoh ikan yang telah dihaluskan sebanyak kurang lebih 2 gram ke dalam cawan (B), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 16-24 jam, Pindahkan cawan ke dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang (C). Kadar air ikan dihitung sebagai persen berat dengan menggunakan rumus :

% Kadar air (bb) = –

(38)

20

Analisis Mikrobiologi (Fardiaz 1992)

Dalam uji mikrobiologis digunakan penentuan TPC (Total Plate Count) yang bertujuan untuk menentukan derajat kesegaran ikan asap dengan cara menghitung jumlah bakteri.

Ikan asap sebanyak 25 gram dilarutkan dalam 45 ml larutan pengencer sehingga diperoleh pengenceran 10-1 (1:10). Selanjutnya dibuat pengenceran berturut-turut 10-2 sampai 10-10. Dibuat juga pengenceran untuk duplo. Pengambilan sampel dan pemupukan dilakukan secara aseptik.

Pemupukan dilakukan dengan metode tuang dengan mengambil sampel hasil pengenceran sebanyak 1 ml di pipet ke dalam cawan petri. Setelah itu ke dalam cawan petri dimasukkan Potatoes Dextruse Agar (PDA) sebanyak 10-15 ml. Kemudian cawan ditutup lalu digerakkan diatas meja secara hati-hati membentuk angka 8 untuk menyebarkan sel mikroba secara merata. Setelah PDA memadat cawan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 28-30oC dengan posisi terbalik selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total kapang per gram contoh.

Analisis Total Volatil Base (TVB)

Kadar TVB merupakan salah satu parameter dalam menentukan kemunduran mutu sampel. Hal ini ditetapkan dengan cara sebagai berikut: senyawa-senyawa volatile bases (amonia, mono-, di-, trimethylamine, dll) yang terdapat dalam sampel diuapkan.

Sampel sebanyak 10 gram ditambah 30 ml larutan TCA (Tricloroacetic) 7% kemudian di blender selama 1-2 menit. Suspensi yang terbentuk kemudian disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 4000–5000 rpm. Cairannya diambil untuk di analisa total volatil base (TVB).

Asam borat sebanyak 1 ml dimasukkan kedalam cawan conway bagian dalam. Pada bagian luar cawan conway dimasukkan masing-masing 1 ml K2CO3 jenuh dan 1 ml contoh. Bagian bawah penutup cawan dilapisi vaselin. Setelah ditutup, cawan diputar agar larutan tersebut tersebar merata lalu dibiarkan semalam. Setelah itu cawan conway bagian dalam dititrasi dengan HCl sampai berwarna pink. Titrasi dilakukan menggunakan mikroburet dan diatas pengaduk magnetik.

Blanko dibuat sama seperti di atas, hanya filtrat sampel sebanyak 1 ml diganti dengan 1 ml TCA 7%. Kadar TVB untuk setiap 100 gram ikan diukur dengan menggunakan rumus :

Kadar TVB = (ml titrasi sampel–ml titrasi blanko)xBM NxNHCl x x

mg N

Uji Organoleptik

(39)

21

dimintakan tanggapannya secara pribadi terhadap tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan ini disebut skala sensori ikan mengikuti SNI 2725.1:2009 tentang Ikan asap- Bagian 1: Spesifikasi (Lampiran 1).

Rancangan Percobaan

Ekstraksi Biji Atung dengan Metode Perebusan

Ekstraksi biji atung dengan metode perebusan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan 2 kali ulangan. Taraf pertama yaitu perbandingan serbuk atung dengan air sebanyak 3 tingkat dan taraf kedua adalah lama waktu perebusan dengan 3 tingkat. Model matematikanya sebagai berikut :

Yijik =µ + Ai + Bj + (AB)ij+ Ɛ ijk

Dimana :

Yijk = Hasil pengamatan faktor A taraf ke i, faktor B taraf ke j, ulangan ke k µ = Nilai tengah umum

Ai = Pengaruh faktor perbandingan serbuk atung dan air pada taraf ke i

Bj = Pengaruh faktor lama waktu perebusan serbuk atung dan air pada taraf ke j Abij= Pengaruh interaksi faktor A ke idan B ke j

Ɛijk = Pengaruh galat

Aplikasi ekstrak biji atung dalam pengasapan filet ikan tongkol (Euthynnus affinis)

Penentuan lama massa simpan filet ikan tongkol asap menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 ulangan. Dengan perlakuan yaitu lama waktu perendaman filet ikan tongkol asap dalam larutan ekstrak biji atung, yang terdiri atas 3 tingkat dan kontrol. Model linearnya sebagai berikut :

Yij =µ + Ai+ Ɛij

Dimana :

Yijk = Hasil pengamatan faktor A taraf ke-i serta ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

Ai = Pengaruh faktor lama waktu perendaman filet ikan tongkol pada taraf ke i

Ɛij = Pengaruh galat

Analisis Data

(40)
(41)

23

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Biji Atung dengan Metode Perebusan

Pada penelitian tahap pertama ini, biji atung diekstrak menggunakan metode perebusan, dengan tiga perlakuan perbandingan campuran serbuk biji atung dengan air dan tiga perlakuan lama waktu perebusan. Pengaruh perlakuan ekstraksi biji atung tersebut diukur dan dianalisis parameter kualitasnya meliputi nilai pH, total padatan terlarut, total fenol dan aktivitas antimikroba.

Nilai pH

Power of hydrogen (pH) merupakan parameter yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa nilai pH ekstrak biji atung untuk semua perlakuan berkisar antara 6.1 – 6.3.

Hasil analisis ragam (α=0.05) terhadap nilai pH pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa, baik perlakuan perbandingan campuran serbuk biji atung dan air, lama waktu perebusan dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap nilai pH ekstrak biji atung yang dihasilkan. Hasil uji Duncan terhadap nilai pH pada Gambar 5, terlihat bahwa perlakuan perbandingan campuran serbuk biji atung dan air 1:10 dengan lama waktu perebusan 20 menit (P3W2) mempunyai nilai pH tertinggi (6.3), tetapi tidak berbeda nyata dengan lama waktu perebusan 30 menit (P3W3). Sebaliknya pada perlakuan perbandingan campuran yang sama tetapi dengan lama waktu perebusan 10 menit (P3W1), memiliki nilai pH yang tidak berbeda dengan perlakuan campuran 1:7 untuk lama waktu perebusan 30 menit (P2W3) yaitu sebesar 6.2. Kemudian perlakuan campuran 1:5 untuk semua tingkat lama waktu perebusan (P1W1, P1W2, P1W3), mempunyai nilai pH terendah (6.1) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan campuran 1:7 dengan lama waktu perebusan 10 dan 20 menit (P2W1, P2W2).

Gambar 5 Pengaruh perbandingan serbuk atung dan air dengan lama waktu perebusan terhadap nilai pH ekstrak biji atung

6,0

Perbandingan serbuk atung dengan air (g/ml)

(42)

24

Sesuai Gambar 5 terlihat bahwa terdapat kesamaan nilai pH ekstrak biji atung pada perlakuan P1 dengan lama waktu perebusan 10, 20 dan 30 menit. Hal ini berarti bahwa perlakuan lama waktu ekstraksi tidak berpengaruh terhadap nilai pH yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Sukardi et al. (2007) yang menyatakan bahwa pelarut air yang digunakan dalam ekstraksi mempunyai nilai pH netral, sehingga lama waktu ekstraksi tidak mempengaruhi penambahan asam atau basa yang menyebabkan kenaikan atau penurunan pH. Sementara pada perlakuan P2 terjadi perbedaan nilai pH untuk lama waktu perebusan 10 dan 20 menit apabila dibandingkan dengan lama waktu perebusan 30 menit. Semakin lama waktu perebusan (30 menit), maka nilai pH yang dihasilkan makin tinggi, sedangkan nilai pH untuk lama waktu perebusan 10 dan 20 menit tidak berbeda nyata. Kemungkinan ini diduga adanya pengaruh penggunaan volume air dan bahan yang sedikit dalam perebusan pada suhu tinggi (100oC), sehingga terjadi proses penguapan yang menghasilkan konsentrasi ekstrak biji atung yang pekat. Hal tersebut berakibat nilai pH ekstrak yang terdeteksi rendah.

Pada perlakuan P3 dengan lama waktu perebusan 20 dan 30 menit, terlihat pola nilai pH yang sama. Lama waktu perebusan yang singkat (10 menit) menghasilkan nilai pH rendah, dan sebaliknya lama waktu perebusan yang panjang (20 dan 30 menit) menghasilkan nilai pH yang tinggi. Tingginya nilai pH ini karena pengaruh konsentrasi ekstrak yang kecil (1:10). Hal ini diduga pada perebusan suhu tinggi dengan menggunakaan volume air yang banyak dan bahan yang sedikit, menyebabkan asam yang terdapat dalam serbuk biji atung menguap, sehingga nilai pH yang terdeteksi mendekati pH pelarut. Hasil ini sesuai pendapat Khuluq (2007) yang menyatakan bahwa volume air yang banyak dalam ekstraksi betasianin pada suhu tinggi menyebabkan nilai pH yang terukur mendekati pH air. Sejalan dengan penelitian Moniharapon et al. (2005) yang menyatakan bahwa salah satu komponen aktif dalam biji atung adalah asam azelaik yang merupakan asam rantai pendek (C9) dan bersifat mudah menguap.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak volume air yang digunakan dalam ekstraksi (konsentrasi kecil), menghasilkan nilai pH yang tinggi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Khuluq (2007) yang mendapatkan bahwa nilai pH ekstrak betasianin cenderung lebih bersifat basa pada proses ekstraksi dengan rasio jumlah air lebih banyak dari etanol.

Nilai pH suatu bahan mempengaruhi aktivitas bakteri yang tumbuh dalam bahan tersebut. Sifat asam dari suatu senyawa kimia dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga dapat bertindak sebagai pengawet (Barus 2005). Nilai pH yang rendah dapat mempengaruhi pH medium pertumbuhan bakteri, sehingga medium pertumbuhan tersebut tidak cocok lagi untuk bakteri melanjutkan aktivitas hidupnya. Buckle et al. (1987) mengatakan bahwa, bakteri patogen umumnya membutuhkan medium pertumbuhan dengan nilai pH sekitar netral yaitu 6.0 – 8.0 dibandingkan dengan bakteri non patogen yang pH medium pertumbuhannya relatif lebih rendah yaitu 3.4 – 6.0.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia biji atung ......................................................................
Tabel 2  Komposisi asam lemak dari lemak biji atung
Tabel 3  Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba
Tabel 4  Komposisi kimia tongkol segar (Euthynnus spp)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tanpa kesadari ada sebuah dorongan dari belakang yang membawa masuk ke rumah itu “aaaaaaa Lili tolong!!!!” ujar Vanessa.. Lili mau menolong tapi Vanessa sudah masuk ke

Mein aap sabhi ko bharosa dilana chahata hun ki, yeh budget desh ke bhlayi ke liye/ bharat ke unnati ke taraf , humara pehela kadam hai.. Budget ke 6 din baad hi aap yeh pooch

[r]

rL lji Dnnd,DrctrN,rdstrrjlr

[r]

tambahan (oveldr), pelebaran jalan (rile,i,s), dimensi salumr drainase, dan rencana anggaran biaya. Pada lugas akhjr ini pe:rulis juga merencanakan jalan alternatif

Tiga orang lainnya tidak ingin menjadi perawat karena masuk jurusan Ilmu Keperawatan atas dasar keinginan orang tua bukan dari keinginan sendiri.Tujuan penelitian

Sehubungan akan dicairkan dana Tambahan Penghasilan Guru TW IV Tahun 2017, dengan ini diminta kepada Saudara mengirimkan Amprah yang sudah ditanda tangani oleh masing-masing