• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atung (Parinarium glaberimum Hassk)

Di Indonesia Parinarium glaberimum disebut dengan nama yang berbeda-beda. Misalnya di Aceh disebut “pèle kambing”, di Makasar disebut “lomo”, di Bugis disebut “samaka”, di Ternate disebut “saya” dan di Ambon disebut “atung”. Berdasarkan pada klasifikasi tumbuhan maka atung berada pada divisi Spermatophyta dan sub divisi Angiospermae. Kelas tumbuhan Dicotyledonae dan sub kelas Dialypetaceae. Ordo tumbuhan adalah Rosales dan famili Rosaceae. Genus tumbuhan parinarium dan spesiesnya Parinarium glaberimum (Heyne 1987).

Morfologi

Menurut Heyne (1987) tanaman atung berakar dengan penyebaran kira- kira 3–6 m dari pohon. Akar tanaman ini hanya tahan terhadap kekurangan O2 sampai 7 hari. Banyak memiliki akar cabang dengan akar tunggang yang dalam dan kuat. Hal ini karena habitat atung umumnya pada daerah-daerah yang banyak mendapat angin laut dan jenis tanah regosol karena dominan bertekstur berpasir (Gambar 1).

Gambar 1 Pohon, batang, daun dan buah tanaman atung (Parinarium glaberimum

Hassk) (Sumber: Matinahoru 2010)

Heyne (1987) mengatakan bahwa tumbuhan atung adalah tumbuhan monopodial, dengan bentuk batang umumnya silendris. Warna batang abu-abu sampai putih kecoklatan dengan kulit batang yang kasar. Daun berbentuk lonjong dan berwarna hijau muda. Permukaan daun licin dengan tepi daun rata dan ujung daun tumpul. Tangkai daun pendek kira-kira 0.30–0.50 cm. Ukuran panjang daun 15–25 cm dan lebar 6–9 cm.

Menurut Heyne (1987) pembungaan biasanya pada bulan Oktober dan November, namun dilapangan masih dijumpai waktu pembungaan yang tidak seragam sehingga pada bulan Januari juga masih terdapat pembungaan. Warna buah atung adalah coklat bata dan berbiji tunggal serta berbentuk telur bebek dan berukuran diameter 4–7 cm dan panjang 7–12 cm. Permukaan kulit buah agak

6

kasar dengan tebal daging buah 1–2 cm. Biji atung berwarna coklat, berbentuk lonjong dan berukuran diameter 2–4 cm dan panjang 4–6 cm (Gambar 2).

Gambar 2 Biji buah atung (Parinarium glaberimum Hassk)

Ekologi

Tumbuhan atung tersebar terutama pada daerah-daerah tropika seperti Indonesia, Malaysia dan kepulauan Solomon. Di Indonesia umumnya dijumpai di Maluku, Sulawesi Selatan, Aceh dan Maluku Utara. Di daerah Maluku, tumbuhan ini terdapat terutama di Maluku Tengah yaitu pada pulau Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut dan Seram (Moniharapon 1991).

Tumbuhan atung umumnya tumbuh pada tanah-tanah yang mengandung cukup unsur hara dengan pH tanah antara 6.0–6.5. Jenis tanah yang dominan bagi pertumbuhan atung adalah regosol, kambisol dan rendzina dengan tekstur lempung berpasir atau pasir berlempung dan liat berlempung. Atung tumbuh pada ketinggian yang berkisar dari 0–300 m dari permukaan laut. Secara umum tanaman ini tumbuh pada daerah-daerah dataran rendah. Rata-rata curah hujan tahunan tanaman ini adalah 1500-3500 mm. Temperatur tahunan berkisar antara 21–30 oC dengan kelembaban relatif antara 80 – 90% (Matinahoru 2010).

KomposisiKimia Biji Atung

Komponen utama biji atung adalah lemak sebesar 31% (Heyne 1987). Adawiyah (1998) melaporkan berdasarkan analisis proksimat biji atung, bahwa lemak memang merupakan komponen utama biji atung (42.7% bb). Kadar tanin biji atung adalah 1.7% (Tabel 1).

Tabel 1 Komposisi kimia biji atung Komponen Persentase ( % bb ) Air Abu Protein Lemak Serat Kasar Pati Tanin 8 – 13.2 2.1 5.4 42.7 4.3 2.3 1.7 Sumber : Adawiyah (1998)

7

Analisis asam lemak dari lemak biji atung yang dilakukan Adawiyah (1998) menyimpulkan bahwa asam lemak rantai panjang adalah tipe asam lemak yang dominan terdapat didalam lemak biji atung, yaitu behenat, palmitat, linoleat, stearat, oleat dan sejumlah kecil asam docosaheksanoat (DHA), gadoleat, arakhidat dan linolenat. Komposisi masing-masing lemak tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi asam lemak dari lemak biji atung Jenis asam lemak Nama asam lemak Konsentrasi

(mg/g lemak) 16:00 18:00 18:01 18:02 18:03 20:00 20:01 22:00 22:06 Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat Arakhidat Gadoleat Behenat Docosaheksanoat/DHA 24.61 19.70 19.24 21.68 0.87 2.72 4.83 27.98 4.27 Sumber : Adawiyah (1998)

Moniharapon et al. (2005) melaporkan bahwa dari hasil purifikasi yang dilanjutkan dengan identifikasi komponen antibakteri dari biji atung, ternyata komponen bioaktifnya adalah asam azelaik (azelaic acid). Asam azelaik inidapat membunuh bakteri pathogen dan perusak pangan, yaitu: Staphylococcus aureus, Salmonella enteritidis, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis, Micrococcus luteus, Enterococcus faecalis, Escherichia coli serta Pseudomonas aeruginosa. Asam azelaik merupakan asam dikarboksilat jenuh dengan 9 atom karbon, yang diperoleh dari oksidasi asam oleat dengan asam nitrat (Wikipedia 2012; Moniharapon et al. 2005). Asam azelaik tidak bersifat toksisitas akut atau kronis serta tidak teratogenik dan mutagenik (Moniharapon et al. 2005). Asam azelaik yang diproduksi secara industri melalui proses ozonolisis dari asam oleat. Produk samping dari ozonolisis ini menghasilkan asam nonanoat. Degradasi bakteri asam nonanoat adalah asam azelaik (Wikipedia 2012).

Pemanfaatan Biji Buah Atung

Tradisional

Pemanfaatan buah atung lebih terfokus pada penggunaan bijinya karena terbukti secara tradisional maupun melalui penelitian-penelitian, biji atung memiliki potensi untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Biji atung memiliki banyak sekali khasiat, di Maluku biji atung digunakan membuat makanan dari ikan mentah atau goreng yang dicincang halus dengan parutan inti atung, jahe, bawang, cabe dan air jeruk. Makanan ini di Ambon dikenal dengan nama “kohu

8

Heyne (1987) menyatakan bahwa biji atung dapat digunakan untuk menghentikan diare, menghentikan keputihan dan mencegah pendarahan terlalu dini pada wanita hamil. Biji yang setengah masak ditumbuk dengan air menjadi bubur kemudian dioleskan pada kayu bangunan rumah. Kayu yang diolesi tidak diserang rayap dan pembubukan kayu tidak terjadi. Selain itu pastanya dapat digunakan untuk menambal perahu nalayan yang bocor. Biji atung juga dapat digunakan sebagai obat diabetes dan jantung (Matinahoru 2010).

Pengawet Pangan

Penggunaan biji buah atung (Parinarium glaberimum, Hassk) telah terbukti sebagai bahan pengawet pangan karena mengandung fraksi komponen bioaktif yang dapat membunuh beberapa jenis bakteri pathogen dan perusak pangan. Moniharapon (1991) mendapatkan bahwa penggunaan bubuk biji atung mampu meningkatkan kesegaran udang windu dari 4 jam menjadi 10 jam pada suhu kamar. Selain itu juga dapat menahan pertumbuhan mikroba dan mengurangi susut bobot udang selama penyimpanan. Penanganan paska tangkap beberapa jenis ikan karang dapat diperpanjang kesegarannya 36 jam (Moniharapon et al. 2006).

Penggunaan serbuk biji atung dapat memperpanjang umur simpan ikan mujair dari 3 hari menjadi 7 hari sedangkan pada ikan kembung memperpanjang dari 8 hari menjadi 13 hari (Saragih 1998). Soeherman (1997) melaporkan bahwa, pemindangan baik dengan penambahan bubuk biji buah atung maupun ekstrak biji atung dengan air mampu memperpanjang umur simpan pindang ikan mujair dari 1 hari menjadi 4 hari, juga dapat memperbaiki tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak.

Styaninggrum (1999) mendapatkan bahwa penambahan ekstrak biji atung 3% dan 5% pada produk pindang kembung presto ternyata dapat menghambat proses ketengikan. Aplikasi penggunaan ekstrak etanol atung dengan minyak atsiri lengkuas dapat memperpanjang masa simpan filet ikan patin kering sampai 20 hari (Lumbessy 2003). Penanganan cumi (Loligo pealii) dengan serbuk atung 0.3% maupun larutan atung 10% dan 20% (pengenceran dari larutan atung standar) dapat memperpanjang masa simpan sampai 9 jam paska tangkap 5 jam bila dibandingkan tanpa perlakuan atung yang hanya bertahan selama 3 jam (Sopaheluwakan 2009).

Anti Serangga

Solihin (1997) melaporkan bahwa pembaluran serbuk biji atung mampu menurunkan total infestasi lalat dari 3.63% pada penjemuran hari pertama ikan jambal roti menjadi 0.09%, sedangkan pada penjemuran hari kedua menurun dari 3.09% menjadi 0.03% terhadap populasi lalat hijau. Penggunaan ekstrak etanol biji buah atung terbukti efektif dalam menurunkan serangan lalat hijau dari 8.39% menjadi 1.29% dan lalat rumah dari 13.81% menjadi 3.81% (Saragih 1998).

Moniharapon et al. (2006) melaporkan bahwa aplikasi penggunaan atung dalam bentuk serbuk (0.3%) maupun larutan (pengenceran 5 kali untuk

9

konsentrasi 20% dan 10 kali untuk konsentrasi 1%), didapati tidak terjadi infestasi lalat pada proses penjemuran ikan cakalang asin kering dengan penyemprotan larutan biji buah atung standar (tanpa pengenceran). Begitu juga dengan penyemprotan pada ikan cakalang yang dijual utuh, lebih baik mutunya bila dibandingkan dengan yang tanpa penyemprotan.

Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi juga merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai separating agen. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone 1987).

Teknik ekstraksi bermanfaat untuk memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak dapat tercampur. Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik (Rahayu 2009).

Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Pada ekstraksi cair-cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga terjadi distribusi sampel di antara kedua pelarut tersebut (Wibawa dan Sukma 2011). Ekstraksi padat cair atau

leaching adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan ke dalam pelarutnya. Proses ini termasuk proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi (Utami et al. 2009).

Menurut Ketaren (1987) jenis dan mutu pelarut sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus mempunyai persyaratan antara lain harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, murah, tidak toksik, dan tidak mudah terbakar. Untuk menseleksi awal kemungkinan tumbuh-tumbuhan mempunyai aktivitas antimikroba, maka untuk mengekstraksinya dapat digunakan air, alkohol, atau pelarut organik lainnya.

Zat Pengawet dari Bahan Alami Tanaman

Berbagai jenis tanaman mengandung bahan pengawet alami atau zat yang bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan. Senyawa antimikroba merupakan senyawa biologi yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri.

10

Beberapa bagian tanaman mengandung senyawa yang dapat bersifat sebagai antibakteri. Senyawa-senyawa tersebut diproduksi secara biologis oleh tanaman. Senyawa tersebut dapat berasal dari bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, akar, rimpang, kulit buah dan kulit batang (Tabel 3 ).

Tabel 3 Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba

No Bahan Bagian Efek

1 Andalehat (Chrysophyllum roxburghii G. Don) Buah Antibakteri 2 Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium D.C) Buah Antibakteri 3 Antarasa (Litsea cubeba) Buah Antibakteri

4 Atung (Parinarium glaberimum Hask.) Biji Antioksidan,Antibakteri, Antikapang

5 Bawang putih (Allium sativum L.) Umbi -

6 Belimbing (Averrhoea carambola L) Daun Antibakteri 7 Cendana wangi (Santalum album L.) Kayu Antikapang 8 Delima (Punica granatum L.) Buah,

getah Antibakteri 9 Jambu biji (Psidium guajaya L.) Daun Antibakteri 10 Jambu mede (Anacardium occidentale L) Daun, biji Antibakteri 11 Kantil (Michelia champaca L.) - Antibakteri

12 Kecombrang Bunga Antibakteri

13 Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) Kulit

batang Antibakteri 14 Kelor (Horinga oleifera Lamk.) Akar Antibakteri 15 Kemukus (Piper cubeba L.) Buah Antibakteri 16 Kitosan, hasil deasetilasi kitin yang terdapat

pada cangkang udang - Antibakteri,Antikapang 17 Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) Daun Antibakteri

18 Kunyit (Curcuma domestica Val.) Akar Antibakteri,Antikapang 19 Lengkuas (Languas galanga Stunz.) Akar Antibakteri,Antikapang 20 Lengkuas malaka (Alpinia galanga L) Akar Antibakteri, Antikapang 21 Mobe (Ficus sp.) Buah Antibakteri

22 Salam (Syzigiym polyanthum (Wight) Walp) Daun Antibakteri

23 Sirih (Piper betle L.) Daun Antibakteri,Antikapang 24 Suji (Pleomale angustifolia M.E Brown) Daun Antibakteri

25 Temu giring (Dysoxylum ammoroides Mig) Akar. Daun Antikapang,Antibakteri 26 Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) Akar Antibakteri, Antikapang Sumber : Syamsir (2007)

Senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman sebagain besar diketahui merupakan senyawa metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan alkaloid, fenolik dan terpenoid (Cowan 1999). Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metabolit antara. Selain itu, beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami berasal dari tanaman di antaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis (Nychas dan Tassou, 2000).

11

Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Prindle 1983).

Menurut Prindle (1983), senyawa fenol mampu memutuskan ikatan peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fospolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim–enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme.

Ikan Tongkol

Ikan tongkol (euthyfinus affinis) merupakan salah satu sumber daya ikan laut ekonomis penting yang dihasilkan di perairan Indonesia, baik sebagai komoditas ekspor maupun sebagai komoditas yang dikonsumsi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan gizi nasional. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011) volume produksi ikan tongkol di Indonesia diperkirakan sebesar 141.190 ton. Volume produksi ikan tongkol terbesar terdapat di perairan Jawa Barat sebesar 18.227 ton, Sulawesih Utara sebesar 17.281 ton, Aceh sebesar 14.435, Sumatera Barat sebesar 7.578, Sulawesih Tengah 4.661 ton dan Maluku 4.046 ton.

Ikan tongkol memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, rasanya lezat, dagingnya padat dan lembut, disamping itu harganya yang relatif lebih murah (Nurlaela 2003). Daging ikan tongkol segar mempunyai komposisi kimia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tongkol segar (Euthynnus spp)

Komponen Jumlah Air (g/100 g) Protein (g/100 g) Lemak (g/100 g) Abu (g/100 g) Energi (kcal/100 g) Energi (kJ/100 g) Kalsium (mg/100 g) Magnesium (mg/100 g) Fosfor (mg/100 g) Potasium (mg/100 g) 71 22 1 1.3 103 431 29 34 222 407

12

Tabel 4 Komposisi kimia tongkol segar (Euthynnus spp) (lanjutan)

Komponen Jumlah Sodium (mg/100 g) Zink (mg/100 g) Tembaga (mg/100 g) Mangan (mg/100 g) Selenium (µg/100 g) Iodium (µg/100 g) Kolesterol (mg/100 g) 37 0.82 0.09 0.02 36 0.283 37 Sumber : Rehbein (2009) Pengasapan

Pengasapan ialah proses tertariknya air dan meningkatnya kadar asam dari daging ikan serta pengendapan berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap kayu (Ilyas 1972). Menurut Winarno (2008) pengasapan adalah teknik melekatkan dan memasukkan berbagai senyawa kimia asap ke dalam bahan pangan, selain itu juga untuk mengawetkan atau menambah cita rasa (Winarno et al. 1980). Pengasapan juga merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan yang memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemakaian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar kayu yang akan membentuk senyawa-senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar (Wibowo 1995). Senyawa asap dalam bentuk uap akan menempel pada produk dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi kecoklatan.

Proses pengasapan merupakan kombinasi antara penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapan bakteri. Unsur kimia yang ada didalam asap seperti formaldehida, aseton dan fenol mempunyai sifat dapat membunuh bakteri, sementara asam yang mudah menguap dapat menurunkan pH pada permukaan ikan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme, juga panas selama pengasapan bersifat anti bakteri (Buckle et al. 1985). Unsur-unsur tersebut selain berfungsi sebagai antimikroba juga pemberi rasa, aroma dan warna pada tubuh ikan dan juga sebagai bahan pengawet. Tujuan utama pengasapan adalah menghasilkan cita rasa yang lebih baik serta mencegah ketengikan daging akibat oksidasi lemak.

Pengasapan secara umum terbagi dalam dua cara, yaitu tradisional dan modern. Pengasapan tradisional merupakan proses yang sifat khas produksinya terbentuk akibat perlakuan panas, komponen dan aliran gas (Harris dan Karmas 1989). Yang termasuk dalam pengasapan ini adalah pengasapan panas dan dingin. Pengasapan dingin suhu sesuai SNI 2725.3:2009 berkisar antara 40oC–50oC selama 4–6 minggu. Menurut Sunahwati (2000), pengasapan dingin suhu asap antara 30oC–40oC, kelembaban nisbi (RH) yang terbaik adalah antara 60–70%. Jika kelembaban di atas 70% proses pengeringan akan berlangsung sangat lambat dan bila RH di bawah 60% permukaan ikan akan mengering terlalu cepat. Ikan yang diasapi letaknya jauh dari sumber api sehingga memerlukan waktu lebih lama, bisa beberapa hari sampai beberapa minggu. Kadar air ikan asap yang

13

dihasilkan dengan cara pengasapan dingin relatif rendah, sehingga pengasapan terutama diterapkan untuk tujuan pengawetan ikan. Produk yang dihasilkan memiliki keawetan yang lebih tinggi karena penetrasi komponen asap lebih banyak sehingga dagingnya kering, tetapi harus dimasak lebih dulu sebelum di makan karena produknya belum matang.

Sunahwati (2000) menyatakan bahwa pada pengasapan panas suhu asap antara 66oC–80oC. Waktu pengasapan antara 2-4 jam. Ikan yang diasapi diletakkan dekat sumber asap, maka penetrasi asap lebih sedikit, sehingga produk yang dihasilkan bersifat kurang awet. Kadar air ikan asap yang dihasilkan relatif masih tinggi, sehingga daya awetnya lebih rendah daripada yang dihasilkan dengan cara pengasapan dingin. Pengasapan panas biasanya menghasilkan ikan asap yang mempunyai rasa yang baik. Pengasapan panas (diatas 80oC) dapat menyebabkan hilangnya vitamin yang larut dalam air seperti niasin, riboflavin dan asam askorbat hingga 4% (Heruwati 2002). Tabel 5 menyajikan komposisi kimia beberapa jenis ikan asap dari beberapa negara.

Tabel 5 Komposisi kimia beberapa jenis ikan asap dari beberapa negara

Negara Produk Lama Penggaram - an Pengasapan/ Waktu Pemanasan Komposisi (%) Kadar

Garam Lemak Air

Protei n India Indone-sia Jepang Tongkol Cakalang Salmon filet dgn kulit 60 menit 2.5 jam 4 jam 15-18% 5-6 jam Suhu 70-80oC, 8 jam, pengeringan suhu 70oC , 16 jam dalam oven Suhu 80oC - 100oC (gunakan tempurung kelapa) Suhu 80oC - 100oC (gunakan kayu bakau) Suhu 50oC, 7 jam. Pengering-an suhu 80oC, 2-3 jam 4.5 - - - 3.0 - - 5.6 15.0 33.35 53.75 60.0 74.0 26.72 36.0 8.0 Sumber : Burt (1989)

Bligh et al. (1989) menyatakan bahwa pada pengasapan panas, suhu awal pengasapan sebaiknya rendah karena jika pengasapan langsung dilakukan pada suhu tinggi maka lapisan air pada permukaan bahan akan cepat menguap dan produk akan cepat matang. Proses ini akan menghambat penempelan asap sehingga pembentukan warna dan aroma asap kurang baik. Setelah warna dan aroma terbentuk maka suhu pengasapan dapat dinaikkan untuk membantu proses pematangan dan pengeringan.

14

Penyimpanan dan Kerusakan Ikan Asap

Dalam makanan terdapat sejumlah kecil mikroba yang dapat berkembang biak dengan cepat bila kondisi penyimpanan memungkinkan untuk tumbuh. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan penurunan mutu dan kerusakan pangan (Murhadi 1994). Selama proses penyimpanan, mutu ikan akan menurun baik mutu organoleptik, kimiawi maupun mikrobiologi, tetapi penurunan mutu yang lebih utama adalah dari segi mikrobiologi (Syarif 1993).

Secara mikrobiologi, mikroba perusak bahan pangan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu bakteri, kapang dan khamir (Winarno 1993). Kerusakan mikrobiologis pada makanan ditandai dengan timbulnya kapang, kebusukan, lendir dan terjadinya perubahan warna. Selama penyimpanan pertumbuhan bakteri, ragi atau kapang pada makanan dapat mengubah komposisinya dan menghasilkan bau yang kurang enak, membentuk lendir dan gas.

Syarif et al. (1989) mengatakan bahwa gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air serta pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk maka akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan (pada produk bubuk) dan pelunakkan pada produk kering. Akibat kontak dengan oksigen, maka produk yang berlemak akan menjadi tengik. Kebusukan dan kerusakan daging juga ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amoniak, H2S, indol dan amin yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme (Fardiaz 1999).

Kerusakan daging olahan menurut Badewi (2002) umumnya terdiri dari dua jenis yaitu kerusakan aroma (flavour) dan penampilan (appearance). Kerusakan

flavour daging olahan ditandai dengan timbulnya ketengikan, pembusukan atau adanya bau asam. Kerusakan yang berhubungan dengan penampilan produk disebabkan oleh perubahan warna akibat adanya aktivitas mikroba, pertumbuhan mikroba mikroskopis dan oleh agensia bukan mikroba. Mutu dan massa simpan ikan asap tergantung dari kesegaran ikan sebelum pengasapan, kualitas dan kuantitas garam yang dipakai, derajat kekeringan setelah pengasapan, sanitasi dan cara pengolahan (Zakaria 1996).

15

Dokumen terkait