• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume, dan Shorea selanica (Dc) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume, dan Shorea selanica (Dc) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meranti merupakan salah satu kayu komersial yang sudah banyak dikenal oleh berbagai negara Asia Tenggara dengan berbagai nama perdagangan, terutama jenis meranti merah (Shorea spp). Meranti merah termasuk jenis endemik di Indonesia di antaranya yang terancam punah yaitu S. leprosula (Kalimantan), S. ovalis (Kalimantan) dan S. selanica (Maluku) yang masuk ke dalam daftar merah IUCN (Ashton 2011).

Semakin cepat laju kerusakan hutan yang terjadi diperkirakan mencapai 1.08 juta hektar hutan per tahun (Dephut 2009), karena itu rehabilitasi diperlukan sebagai pemulihan sumberdaya hutan. Rehabilitasi dapat dilakukan dengan menanam jenis lokal yang tumbuh secara alami, seperti halnya S. mecistopteryx yang tumbuh sangat baik di Kalimantan sehingga dapat digunakan untuk upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kalimantan (Kobayashi 2001). Upaya mengembalikan jumlah meranti merah ke dalam status tetap lestari dilatar belakangi dengan permintaan hasil kayu maupun bukan kayu yang masih tinggi. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993) meranti merah memiliki permintaan sebesar 75% dalam perdagangan kayu komersial kelas awet sedang sampai kuat karena melihat sifat dari jenis meranti merah yaitu jenis yang cepat tumbuh pada tumbuhan lokal Kalimantan dan memiliki struktur batang pohon yang lurus dan silindris sehingga jenis ini banyak digunakan dalam produksi kayu lapis, penghasil damar kualitas bagus (S. mecistopteryx), kayu furnitur, maupun kayu pertukangan. Manfaat yang cukup tinggi dari meranti merah sehingga dalam penanaman perlu optimalisasi yang salah satunya intensitas cahaya matahari yang tepat karena tanaman meranti adalah jenis gap opportunist dimana cahaya merupakan faktor pembatas bagi awal pertumbuhannya.

(2)

yang cocok untuk mengeksitasi pigmen daun jika terlalu rendah di bawah 390 nm foton bila diserap akan menyebabkan daun menguning dan gugur, sedangkan intensitas cahaya yang terlalu tinggi di atas 760 nm foton tidak memiliki cukup energi akan menyebabkan daunnya terbakar akibat kerusakan pigmen. Hanya foton dengan panjang gelombang antara 390–760 nm (Photosynthetically Active Radiation/ PAR) yang memiliki energi yang cocok untuk fotosintesis (Gardner et al. 1991). maka dalam penanaman perlu dilakukan kontrol intensitas cahaya yang sesuai sehingga pertumbuhan meranti merah dapat mencapai pertumbuhan yang optimal.

Berdasarkan hal tersebut pemberian naungan pada anakan meranti merah sangat penting baik di persemaian maupun di lapangan. Maka penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kebutuhan intesitas cahaya bagi pertumbuhan anakan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. 1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan anakan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica di lapangan

2. Mencari tingkat intensitas cahaya optimal bagi pertumbuhan anakan S. leprosul, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica di lapangan.

1.3 Manfaat

(3)

Indonesia meranti tembaga. Masing-masing daerah mempunyai sebutan tersendiri, seperti kontoi bay (Kalimantan Barat) dan lempong kumbang (Kalimantan Timur). Penyebaran jenis ini meliputi semenanjung Thailand, semenanjung Malaysia, Sumatra dan Kalimantan. S. leprosula komoditi dalam kayu pertukangan kelas sedang dan menghasilkan resin yang disebut damar daging, resin tersebut dapat ditemukan di sekitar akar dan damar daging biasa digunakan untuk pengobatan tradisional sedangkan kulitnya untuk penyamakan (Soerianegara dan Lemmens 1993).

S. leprosula mempunyai penampakan fisik pohonnya tinggi dapat mencapai 60 m dengan tinggi bebas cabang 35 m dan diameter 175 cm. Daun elliptical to ovate, 8–14 cm x 3–5 cm, dengan 12–15 pasang urat daun. Permukaan daun bagian bawah bersisik seperti krim dengan domatia; stamens 15 dan sebagian anthers. S. leprosula biasanya dapat tumbuh pada drainase baik dan jenis tanah liat dengan ketinggian di bawah 700 m. Berat jenis kayu S. leprosula 300–865 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993).

2.2 Shorea mecistopteryx

(4)

2.3 Shorea ovalis

S. ovalis mempunyai nama Indonesia meranti kelungkung. Masing-masing daerah mempunyai nama yang berbeda, seperti abang gunung putih (Kalimantan Timur), meranti sepang (Sumatra Selatan). Penyebaranya meliputi semenanjung Malaysia, Sumatra dan Kalimantan. S. ovalis biasa digunakan penduduk lokal untuk membuat dinding rumah dan lantai. S. ovalis mempunyai ukuran sedang sampai sangat besar dengan tinggi dapat mencapai 60 m, tinggi bebas cabang 18– 27 m dan diameter 125 cm. Daun berbentuk oblong 10–22 cm x 23–10 cm dengan 22–25 pasang urat daun. Permukaan bawah daun kasar seperti keropeng. S. ovalis mempunyai 3 subspesies dan biasa tumbuh pada hutan dipterokarpa dataran rendah dengan ketinggian 500 m. Berat jenis S. ovalis adalah 320–860 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993).

2.4 Shorea selanica

S. selanica secara umum dikenal dengan nama meranti bapa atau kayu bapa. S. selanica merupakan jenis meranti merah dengan pertumbuhan cepat dan tumbuh dalam hutan tropis dengan tipe curah hujan B dan kayunya biasa dimanfaatkan untuk pembuatan veneer, kayu lapis, konstruksi bahan bangunan dan kayu perkapalan (Al Rasyid et al. 1991).

S. selanica tersebar di pulau buru Maluku bagian barat sampai selatan. S. selanica adalah spesies dominan pada hutan dataran rendah, tanah latosol, podsolik merah-kuning dan tanah drainase baik dengan ketinggian 150 m. S. selanica mempunyai berat jenis kayu 440–530 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993).

2.5 Respon Pertumbuhan Terhadap Intensitas Cahaya

(5)

5

adalah jumlah energi yang diterima tanaman pada luasan dan jangka waktu tertentu. Radiasi berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, laju transpirasi dan periode kritis dalam pertumbuhan.

Menurut Grant (1997) diacu dalam Ardie (2006) PAR dikelompokan menjadi dua bagian berdasarkan kisaran panjang gelombang yang diserap pigmen tanaman yaitu panjang gelombang aktivitas tinggi (400–500 nm) kelompok cahaya biru, dan panjang gelombang aktif rendah (600–700 nm) kelompok cahaya merah (respon fitokrom). Cahaya merah (respon fitokrom) aktif untuk induksi fotoperiodisitas pembungaan, perkembangan kloroplas (tidak termasuk sintesis klorofil), penuaan (senescence) daun dan absisi daun. Sedangkan PAR dari 500– 600 nm, kelompok cahaya hijau, tergolong tidak aktif untuk fotosintesis. Cahaya merah jauh (far-red) dengan panjang gelombang 700–800 nm juga tidak aktif untuk fotosintesis tetapi banyak mempengaruhi fotomorfogenesis.

Intensitas cahaya dapat mempengaruhi proses metabolisme dalam tanaman. Intensitas cahaya rendah pada umumnya disebabkan oleh naungan. Spesies tanaman yang memiliki habitat ternaungi (shade plant) memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah, titik kompensasi cahaya yang rendah, serta respon fotosintesisnya mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang lebih rendah dibandingkan dengan spesies yang memiliki habitat di daerah terbuka (sun plant). Nilai kejenuhan cahaya tanaman shade plant lebih rendah karena laju respirasi pada shade plant sangat rendah, sehingga dengan sedikit saja fotosintesis netto yang dihasilkan sudah cukup membuat laju pertukaran netto CO2 menjadi nol. Laju respirasi yang rendah menunjukkan bentuk adaptasi dasar yang memungkinkan tanaman shade plant mampu bertahan pada lingkungan cahaya terbatas (Salisbury dan Ross 1992).

(6)

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – November 2011, bertempat di Persemaian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: kaliper digital, kamera, mistar/penggaris, luxmeter, alat tulis, tally sheet, termometer basah kering, shading net (20%, 40% dan 60%), polybag dan kamera. Sedangkan bahan yang digunakan meliputi: bibit S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan

Tanaman dibagi empat kelompok, berdasarkan pemberian naungan dengan intesitas cahaya matahari berbeda. Di dalam satu kelompok, terdapat empat jenis tanaman. Tiap jenis terdiri dari empat ulangan, dimana tiap ulangan terdiri dari 5 individu tanaman. Tahap selanjutnya membuat rumah naungan dengan intesitas cahaya matahari 100% (tanpa naungan), 80% (naungan 20%), 60% (naungan 40%) dan 40% ( naungan 60%).

3.3.2 Pengamatan dan Pengambilan Data

Parameter yang diukur adalah tinggi (cm), diameter (mm), jumlah daun, nisbah pucuk-akar, bobot kering total, intensitas cahaya serta suhu dan kelembaban.

Tinggi anakan

(7)

7

Diameter anakan

Pengukuran diameter bibit dilakukan setiap 10 hari selama pengamatan (mulai dari awal sampai akhir pengamatan) dengan menggunakan kaliper, diukur pada pangkal batang yang telah ditandai sama seperti pada pengukuran tinggi.

Jumlah Daun

Penghitungan jumlah daun dilakukan setiap 10 hari pada masing-masing tanaman sampai selesai pengamatan.

Nisbah Pucuk-Akar (NPA)

Nisbah pucuk-akar diperoleh dari hasil pengukuran terhadap bobot kering pucuk dan akar. Pengukuran bobot kering ini dilakukan pada akhir pengamatan. Setiap anakan dipotong menjadi dua bagian, bagian pucuk dan akar. Kedua bagian tersebut dimasukkan ke dalam wadah penyimpanan yang berbeda (terpisah) kemudian dioven pada suhu 105°C selama 24 jam. Selanjutnya, setelah tercapai bobot kering yang konstan dilakukan penimbangan berat kering pada masing-masing bagian tersebut dengan menggunakan timbangan elektrik Ohaus. Dari hasil penimbangan bobot kering dicari ratio pucuk-akar bibit dengan rumus:

BK Pucuk Nisbah Pucuk-Akar =

BK Akar Bobot Kering Total (BKT)

Data bobot kering total (BKT) diperoleh dari hasil pengukuran berat kering bagian pucuk dan bagian akar. Pengukuran bobot kering total (BKT) ini dilakukan pada akhir pengamatan, yakni bersamaan dengan pengukuran nisbah pucuk-akar (NPA). Bobot kering total (BKT) diperoleh dengan menjumlahkan secara langsung bobot kering bagian pucuk dengan bobot kering bagian akar.

Bobot Kering Total (BKT) = BK pucuk + BK akar Intensitas Cahaya

(8)

Suhu dan kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan termometer basah kering waktu pengukuran dan tempat pengukuran sama dengan intensitas cahaya.

3.3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktor percobaan. Faktor pertama, yaitu empat taraf untuk jenis tanaman dan faktor kedua, yaitu empat taraf untuk perbedaan intensitas naungan. Jumlah ulangan adalah empat kali, tiap ulangan terdiri dari lima individu. Dengan

Yijk = nilai pengamatan kombinasi perlakuan toleransi jenis terhadap naungan ke-i dan perlakuan tingkat naungan ke-j pada satuan percobaan ke-k µ = rataan umum

(9)

9

(αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan toleransi jenis terhadap naungan ke-i dan perlakuan tingkat naungan ke-j

εijk = pengaruh acak kombinasi perlakuan toleransi jenis terhadap naungan ke-i dan perlakuan tingkat naungan ke-j dari satuan percobaan ke-k 3.4 Analisis Data

(10)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Data penelitian yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan anakan meranti merah yang diukur selama 3 bulan. Parameter yang diukur meliputi tinggi, diameter, jumlah daun, nisbah pucuk akar (NPA), bobot kering total (BKT), intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif. intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif pada berbagai naungan disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2, 3,4.

Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif selama penelitian

Parameter Tingkat Naungan

0% 20% 40% 60% Intesitas Cahaya (Lux 102) 246,55 187,19 146,47 119,34 Suhu (°C) 31,29 30,98 30,39 29,91 Kelembaban Relatif (%) 66,33 71,75 76,88 82,73

(11)

11

Gambar 2 Rataan suhu udara per dasarian pada berbagai tingkat naungan

Gambar 3 Rataan kelembaban relatif per dasarian pada berbagai tingkat naungan

(12)

rataan intensitas cahaya dan suhu, dimana nilai rataan tertinggi kelembaban pada tingkat naungan 60% sebesar 82,73%, sedangkan naungan 40% sebesar 76,88%, 20% dan 0% masing-masing sebesar 71,75% dan 66,33%.

Intensitas cahaya, suhu dan kelembaban mempunyai nilai rataan per dasarian yang berfluktuatif. Nilai rataan intensitas cahaya tertinggi pada dasarian ke-5, ke-6 dan dasarian ke-3 ke-7, ke-8, ke-9 mempunyai nilai rataan per dasarian terendah (Gambar 1). Sedangkan nilai rataan suhu tertinggi pada dasarian ke-1, ke-5 dan ke-6, Sementara untuk dasarian ke-2, ke-3, ke-8 dan ke-9 adalah rataan dasarian suhu terendah (Gambar 2). Nilai rataan kelembaban relatif pada dasarian ke-7, ke-8 dan ke-9 dalah tertinggi, sedangkan terendah pada dasarian ke-1 dan ke-4 (Gambar 3).

4.1.1 Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan Anakan Meranti Merah

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan pada masing-masing jenis diukur dengan parameter tinggi, diameter, jumlah daun, bobot kering total (BKT) dan nisbah pucuk akar (NPA). Berdasarkan analisis ragam (Tabel 2). Parameter yang diukur pada masing-masing jenis memberikan respon terhadap naungan dan interaksi yang berbeda-beda, pada pengamatan ke-1 sampai 9 pengaruh naungan dan jenis memberikan pengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman kecuali pada pengamatan ke-6 interaksi antara naungan dengan jenis tanaman tidak berpengaruh nyata. Parameter diameter batang terhadap pengaruh naungan memberikan pengaruh nyata kecuali pada pengamatan ke-1 dan 6 yang memberikan pengaruh tidak nyata pada parameter diameter batang sedangkan interaksi berpengaruh nyata kecuali pada pengamatan ke-1, 5 dan 7 yang berpengaruh tidak nyata.

(13)

13

berdasarkan analisis ragam naungan memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering total (BKT) dan nisbah pucuk akar (NPA).

(14)

4.1.2 Pengaruh intensitas cahaya terhadap tinggi tanaman

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan dilakukan pada pertambahan nilai total dari rata-rata empat ulangan pada masing-masing perlakuan (Tabel 3) Faktor naungan memberikan pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertambuhan tinggi tanaman pada ke-4 jenis tanaman meranti merah yaitu S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica sedangkan pada masing-masing naungan memberikan pengaruh yang berbeda antara jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica.

Tabel 3 Nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman (cm)

Jenis Naungan

Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

Pertambahan tinggi tiap jenis tanaman pada tingkat naungan memiliki pertambahan yang berbeda, terlihat pada Tabel 3 bahwa rata-rata pertambahan tinggi tanaman berbeda pada tingkat naungan. Pertambahan rata-rata tinggi tanaman terbesar adalah pada S. selanica kemudian S. leprosula, S. ovalis dan S. mecistoteryx.

(15)

15

4.1.3 Pengaruh intensitas cahaya terhadap diameter batang

Parameter diameter batang yang diukur memiliki hasil pengaruh berbeda terhadap masing-masing perlakuan naungan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diameter batang (Tabel 4) yang dilakukan pada pertambahan nilai total dari rata-rata empat ulangan pada masing-masing perlakuan, faktor naungan memberikan pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertambahan diameter ke-4 jenis tanaman meranti merah yaitu S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica sedangkan pada masing-masing naungan memberikan pengaruh yang berbeda antara jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica

Tabel 4 Nilai rata-rata pertambahan diameter batang (mm)

Jenis Naungan Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

Pengukuran parameter diameter batang diukur dengan pertambahan diameter batang tiap jenis tanaman memiliki hasil berbeda pada tingkat naungan. Hasil pengukuran yang kemudian dilakukan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa rata-rata pertambahan diameter batang berbeda pada berbagai tingkat naungan. Pertambahan rata-rata diameter batang terbesar adalah pada S. ovalis kemudian S. mecistoteryx, S. selanica dan S. leprosula.

(16)

naungan 40% (1,18 mm) dan 0% (0,94 mm). Pertambahan rata-rata total pertambahan diameter batang terendah pada S. leprosula pertambahan tinggi 60% (1,22 mm) berbeda nyata terhadap naungan 40% (0,93 mm), sementara antara naungan 20% (0,88 mm) dan 0% (0,64 mm) berbeda nyata.

4.1.4 Pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah daun

Pengaruh naungan terhadap rata-rata total pertambahan jumlah daun berbeda antara setiap jenis tanaman (Tabel 5). Pertambahan jumlah daun tertinggi pada S. selanica pada naungan 60% (4,23 helai) berbeda nyata dari naungan 40% (3,50 helai), 20% ( 3,39 helai) dan pada naungan 0% (0,40 helai). Pertambahan memberikan hasil tidak berbeda nyata terhadap pertambahan jumlah daun tiap naungan. Akan tetapi pada naungan 60% (1,76 helai) memiliki pertambahan jumlah daun lebih tinggi dari naungan 40% (1,71 helai), 20% (1,70 helai) dan 20% (1,68 helai). Pada S. mecistopteryx sedikit mengalami pertambahan jumlah daun. Pada naungan 60% (0,76 helai), 40% (-0,73 helai) dan 20% (-1,35 helai) tidak berbeda nyata tetapi pada naungan 0% (-4,15 helai) berbeda nyata.

Tabel 5 Nilai rata-rata jumlah daun (helai)

Jenis Naungan Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

4.1.5 Pengaruh intensitas cahaya terhadap bobot kering total (BKT)

(17)

17

hasil perlakuan naungan 40%, naungan 20% dan naungan 0%, rata-rata masing-masing sebesar 6,59 gram, 4,09 gram, dan 2,05 gram. Kemudian pada rata-rata bobot kering total jenis tanaman lainnya adalah pada S. ovalis memiliki bobot kering total tertinggi setelah S. selanica yaitu pada perlakuan naungan 60% (4,65 gram) berbeda nyata dari perlakuan naungan 40%, 20% dan 0% rata-rata bobot kering total masing-masing sebesar 3,32 gram, kemudian 2,71 gram dan 1,04 gram. Sedangkan bobot kering total S. leprosula pada masing-masing perlakuan naungan sebesar 3,56 gram pada naungan 60% sedangkan 3,54 gram dari hasil rata-rata perlakuan naungan 40% yang tidak berbeda nyata antara keduanya, sementara 2,82 gram pada perlakuan naungan 20% dan 2,70 gram pada perlakuan naungan 0%. Bobot kering total rata-rata terendah pada jenis tanaman S. mecistopteryx bobot kering total pada masing-masing perlakuan naungan yaitu 4,05 gram pada perlakuan naungan 60% berbeda nyata dari 2,38 gram perlakuan naungan 40% sedangkan 2,21 gram dan 0,81 gram pada perlakuan naungan 20% dan 0%.

Tabel 6 Nilai Bobot kering total (gram)

Jenis Naungan

Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

4.1.6 Pengaruh intensitas cahaya terhadap nisbah pucuk akar (NPA)

(18)

naungan 20% (1,02) dan naungan 0% (0,65) tidak berbeda nyata. Sementara S. ovalis memiliki NPA tertinggi pada taraf naungan 60% sebesar 1,59 yang berbeda nyata pada perlakuan naungan 40% yaitu sebesar 1,10 dan rata-rata taraf naungan 20% (1,09) tidak berbeda nyata dari naungan 0% (0,71). Pada S.

Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

4.2 Pembahasan

Intensitas cahaya pada lokasi penelitian memiliki intensitas cahaya yang tinggi pada awal bulan penelitian (Agustus) sedangkan pada bulan September intensitas cahaya mengalami penurunan, penurunan intensitas cahaya pada bulan September disebabkan bulan September memasuki peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan sehingga penurunan dalam pengukuran intensitas cahaya. Sedangkan pada awal bulan Oktober intensitas cahaya mengalami peningkatan, akibat fluktuasi cuaca pada musim peralihan yang terkadang terjadi panas dan hujan akan tetapi pada akhir bulan Oktober memasuki musim penghujan sehingga intensitas cahaya mengalami penurunan sampai dengan akhir penelitian.

(19)

19

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan naungan (intensitas cahaya) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ke-4 anakan meranti merah yaitu S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica yang diukur dengan parameter pertumbuhan tinggi, diameter, pertambahan jumlah daun, bobot kering total dan nisbah pucuk akar.

Intensitas cahaya berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan melalui proses fotosintesis, mekanisme membuka dan menutup stomata, sintesis klorofil dan diferensiasi sel yang dinyatakan dengan pertambahan tinggi, diameter, ukuran daun, struktur daun dan batang (Kramer dan Kozlowski 1960). Intensitas cahaya berkaitan dengan suhu dan kelembaban, peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan suhu dan menurunkan kelembaban relatif sehingga peningkatan tersebut mempengaruhi tingkat evaporasi yang menyebabkan peningkatan kekeringan dan ketersediaan air tanah sehingga akan meningkatkan transpirasi tanaman (Safitri 2004).

Perubahan suhu dan kelembaban berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman dan proses fisiologi seperti fotosintesis, respirasi, aktivitas enzim. Jika suhu udara terlalu tinggi maka peningkatan laju respirasi dan rusaknya jaringan muda yang akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan tunas muda, sementara suhu udara terlalu rendah akan menghambat aktivitas enzim pertumbuhan. Sedangkan kelembaban optimal akan meningkatkan penyerapan air dan menurunkan laju transpirasi (Kozlowski et al. 1991).

Intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi, batang, jumlah daun, bobot kering total dan nisbah pucuk akar pada S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. Sedangkan interaksi naungan dan jenis berpengaruh nyata kecuali pada nisbah pucuk akar (Tabel 2).

(20)

cahaya 100%) pertumbuhan keempat jenis terhambat dan mengalami gejala daun kekuningan. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993) jenis-jenis Shorea spp adalah jenis toleran yang sangat peka terhadap intensitas cahaya tinggi, penerimaan intensitas cahaya tinggi akan merubah warna daun, peningkatan suhu tanah dan tidak aktifnya mikoriza. Perubahan warna daun menjadi kekuningan akibat zat hijau daun beroksidasi dengan intensitas cahaya tinggi (Salissbury dan Ross 1995).

Pengaruh intensitas cahaya pada S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica berbeda-beda tetapi secara umum S.leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica memiliki pertumbuhan lebih baik berdasarkan hasil pengukuran pertumbuhan dengan parameter tinggi, diameter, jumlah daun, bobot kering total dan nisbah pucuk akar pada naungan 60% atau pada intensitas cahaya 40% dengan 11.934 lux intensitas cahaya yang diterima tanaman dengan suhu 29,91°C dan kelembaban 82,73%. Hal ini sesuai pendapat Soerianegara dan Lemmens (1993) bahwa pertumbuhan optimal Shorea spp pada naungan 55%– 75% dan pada suhu 25–30°C sedangkan menurut Bunning et al. 1969 bahwa intensitas cahaya tidak langsung setara dengan 10.000–25.000 lux, sementara pada intensitas cahaya penuh dibawah sinar matahari langsung setara dengan 32.000–130.000 lux.

(21)

21

sedangkan perakaran mengalami pemanjangan akibat potensial air dalam jaringan berkurang menyebabkan absorbsi terus-menerus dalam tanah oleh sistem akar untuk menyeimbangkan potensial air dalam jaringan.

Interaksi antara intensitas cahaya dengan jenis tanaman memberikan pengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan yang diukur yaitu pertambahan tinggi, diameter dan jumlah daun tanaman, bobot kering total (Tabel 2). Berdasarkan analisis ragam pertambahan tinggi, diameter dan jumlah daun tanaman terbaik pada naungan 60% (intensitas cahaya 40%) dan 40% (intensitas cahaya 60%) akan tetapi tidak berbeda nyata antara keduanya sedangkan pada naungan 0% (intensitas cahaya 100%) dan 20% (intensitas cahaya 80%) tanaman tampak kerdil, gugur dan layu. Hal ini disebabkan pemberian intensitas cahaya di atas normal pada jenis-jenis toleran naungan akan menurunkan kapasitas fotosintesis, kejenuhan cahaya, laju asimilasi neto dan kandungan klorofil per satuan luas daun sehingga akan merusak sistem pigmen kemudian daun kekuningan dan gugur (Gardner et al. 1991). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Soerianegara (1991) yang meneliti tentang pengaruh intensitas cahaya dan pemupukan terhadap pertumbuhan anakan Hopea mengarawan.

Sedangkan menurut Soerianegara (1991)intensitas cahaya yang kuat lebih merangsang pertumbuhan sistem akar. Pada intensitas cahaya kuat pada tanaman toleran naungan pertumbuhan batang rendah dan kecil, percabangan sedikit sehingga asimilat (hasil fotosintesis) yang diperlukan untuk pertumbuhan juga sedikit dan sisanya kemudian disalurkan ke akar sementara anakan yang tumbuh di bawah intensitas cahaya rendah, batang tumbuh lebih baik, permukaan luas batang lebih besar sehingga membutuhkan asimilat dalam jumlah lebih banyak dan akar mendapat bagian yang lebih sedikit.

(22)

Biomassa adalah parameter penting yang dapat mewakili tanaman dikatakan tumbuh secara optimal sebab biomassa menggambarkan hasil fotosintesis yang dipengaruhi laju asimilasi bersih dan luas daun pertanaman yang dinyatakan dengan nilai bobot kering tanaman setelah dilakukan pengeringan sehingga pertumbuhan tanaman berbanding lurus dengan nilai biomasssa tanaman tersebut (Sitompul dan Guritno 1995).

Berdasarkan analisis ragam bobot kering total pada keempat jenis meranti merah (Tabel 2) menunjukkan bahwa pengaturan naungan berpengaruh nyata terhadap bobot kering total. Bobot kering meningkat dengan meningkatnya persentase naungan (Tabel 6). Bobot kering tertinggi pada naungan 60% (intensitas cahaya 40%) pada naungan dengan persentase tinggi maka jumlah daun dan luas permukaan daun lebih tinggi dari pada naungan dengan persentase rendah. Dengan demikian bahwa pada naungan 60% (intensitas cahaya 40%). berlangsung metabolisme pertumbuhan dengan menyerap unsur hara dan proses fotosintesis berlansung secara lebih baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Djamhuri dan Soekotjo (1986) yang menyatakan bahwa pada intensitas cahaya di atas atau di bawah optimal menyebabkan penurunan bobot kering total.

Pengukuran parameter pertumbuhan juga dilakukan dengan mengukur nisbah pucuk akar (NPA). nisbah pucuk akar dapat menunjukkan kondisi fisiologi suatu tanaman, karena nilai tersebut tersusun atas nilai total produksi pertumbuhan yaitu berat kering pucuk dan perakarannya. Perkembangan pucuk dan akar yang seimbang akan memperkuat tanaman karena perkembangan akar mampu menompang perkembangan pucuk tanaman (Wibisono 2009)

(23)

23

semai terbaik pada umumnya terjadi pada nisbah pucuk 1–3. Sedangkan pada naungan 0% (intensitas cahaya 100%) pertumbuhan akar lebih tinggi dari pada pertumbuhan bagian pucuk. Hal ini sesuai dengan penelitian Soerianegara (1991) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya intensitas cahaya maka akan menurunkan ratio pucuk akar dan pada intensitas cahaya tinggi lebih merangsang pertumbuhan akar sedangkan daun mengalami fotooksidasi sehingga pertumbuhan daun rendah, sementara pada intensitas cahaya rendah akan merangsang pertumbuhan daun sehingga daun lebih banyak dan meningkatkan nilai NPA.

(24)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. Semakin tinggi intensitas cahaya maka semakin berkurang laju pertumbuhan dan biomassa.

2. Intensitas cahaya 100% menyebabkan daun kekuningan, gugur, kematian beberapa anakan dan laju pertumbuhan terhambat terhadap anakan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica.

3. S. selanica merupakan jenis dengan adaptasi terbaik terhadap intensitas cahaya 40% atau naungan 60%.

4. Intensitas cahaya optimal dalam penanaman jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica adalah intensitas cahaya 40% atau naungan 60%.

5.2 Saran

1. Penanaman S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica sebaiknya dilakukan pada intensitas cahaya 40% (naungan 60%).

(25)

RESPON PERTUMBUHAN ANAKAN

Shorea leprosula

Miq,

Shorea mecistopteryx

Ridley,

Shorea ovalis

(Korth) Blume

DAN

Shorea selanica

(DC) Blume TERHADAP TINGKAT

INTENSITAS CAHAYA MATAHARI

ERI SUGIARTO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyid H, Marfuah, Wijayakusumah H, Hendrawan D. 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Jakarta: Departemen kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Ashton P. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist.html. [2 Des 2011].

Ardie SW. 2006. Pengaruh intensitas cahaya dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan pembungaan Hoya diversifolia Blume [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Bunning E, Moser I. 1969. Interference of moonlight with the photoperiodic measurement of time by plants, and their adaptive reaction. Maltzahn V, editor. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America ; USA, 2 Des 1968. Germany: Institute of Biology, University of Tubingen. hlm 1018–1022.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2009. Jakarta: Dephut RI.

Djamhuri E, Soekotjo W. 1986. Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan Anakan Shorea pinanga di Persemaian Kampus IPB Darmaga Bogor. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Duryea ML, Brown N. 1984. Seedling Physiology and Reforestation Success.

Boston: DRW Juck Publisher.

Gardner FP, Brent R, Rogern P, Mitchell L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants.

Kobayashi S.2001. Rehabilitation of Degraded Tropical Forest Ecosystems Project. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Kozlowski TT, Kramer PJ. 1960. Physiology of Trees. New York. McGraw-hill

(27)

26

[PROSEA] Plant Resources of South–East Asia. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpacea: Pulau Kalimantan. Bogor: Yayasan PROSEA Indonesia

Rudjiman, Dwi TA. 2002. Identification manual of Shorea spp. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

Safitri WK. 2004. Respon anakan jenis mahoni (Swietenia macrophylla King), meranti merah (Shorea selanica BI), Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dan mangium (Acacia mangium Willd) terhadap perubahan intensitas radiasi surya [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Salisbury FB, Ross CW. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Lukman D, Sumaryono, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology 4th Edition.

Salisbury FB, Ross CW. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Lukman D, Sumaryono, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology 4th Edition.

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press

Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Plant Resources of South-East Asia No. 5(1) Timber Trees: Major Commercial Timber. Wageningen: Pudoc Scientific Publishers.

Soerianegara I. 1991. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Pemupukan Terhadap Pertumbuhan Anakan Hopea mengarawan Miq Pada Tanam Latosol dan Podsolik Merah Kuning. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sugito Y. 1999. Ekologi Tanaman. Malang: Unibraw Press.

Wati NH. 2008. Pertumbuhan Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer dalam Sistem Silvikultur TPTI Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

(28)

RESPON PERTUMBUHAN ANAKAN

Shorea leprosula

Miq,

Shorea mecistopteryx

Ridley,

Shorea ovalis

(Korth) Blume

DAN

Shorea selanica

(DC) Blume TERHADAP TINGKAT

INTENSITAS CAHAYA MATAHARI

ERI SUGIARTO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(29)

RESPON PERTUMBUHAN ANAKAN

Shorea leprosula

Miq,

Shorea mecistopteryx

Ridley,

Shorea ovalis

(Korth) Blume

DAN

Shorea selanica

(DC) Blume TERHADAP TINGKAT

INTENSITAS CAHAYA MATAHARI

ERI SUGIARTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(30)

ERI SUGIARTO. Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume dan Shorea selanica (Dc) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari. Dibimbing oleh ANDI SUKENDRO.

Meranti merupakan salah satu kayu komersial yang sudah banyak dikenal oleh berbagai negara Asia Tenggara dengan berbagai nama perdagangan, terutama jenis meranti merah (Shorea spp.). Meranti merah termasuk jenis endemik di Indonesia diantaranya terancam punah yaitu S. leprosula (Kalimantan), S. ovalis (Kalimantan) dan S. selanica (Maluku) yang masuk ke dalam daftar merah IUCN (Ashton 2011).

Pemberian naungan pada anakan meranti sangat penting baik di lapangan maupun di persemaian. Pemberian naungan dilakukan karena tanaman meranti adalah jenis gap opportunist dimana cahaya merupakan faktor pembatas bagi awal pertumbuhannya.

Penelitian ini mengamati respon pertumbuhan anakan meranti merah dari jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica terhadap perlakuan naungan 0% (intensitas cahaya 100%), naungan 20% (intensitas cahaya 80%), naungan 40% (intensitas cahaya 60%), naungan 60% (intensitas cahaya 40%). Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap dua faktorial.

Hasil penelitian perlakuan naungan menunjukkan bahwa anakan meranti merah dari jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis, dan S. selanica berpengaruh nyata. Perlakuan naungan 60% (intensitas cahaya 40%) memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis, dan S. selanica.

(31)

SUMMARY

ERI SUGIARTO. The Growth Response of Saplings Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume dan Shorea selanica (Dc) Blume toward Sunlight Intensity Level. The guided by ANDI SUKENDRO.

Meranti is one of the commercial wood that has been recognized by many countries of Southeast Asia with a variety of trade names, especially the kind of red meranti (Shorea spp.). Red Meranti, including endemic species in Indonesian including threatened extinct namely Shorea leprosula (Kalimantan), Shorea ovalis (Kalimantan) and Shorea selanica (Maluku) are entered into the IUCN Red List (Ashton 2011).

The giving of shade on meranti saplings is very important in both the field and in the nursery. The giving of shade plants performed as meranti is the kind of gap opportunist in where light is a limiting factor for early growth.

This research observe the growth response of red meranti saplings of Shorea leprosula, Shorea mecistopteryx, Shorea ovalis and Shorea selanica with treatment shade 0% (light intensity 100%), 20% shade (light intensity 80%), 40% shade (light intensity 60 %), 60% shade (light intensity 40%). The experiments did with two factorial completely randomized design.

The results of research treatment shade showed that red meranti saplings of Shorea leprosula, Shorea mecistopteryx, Shorea ovalis, and Shorea selanica real influential. The treatment shade 60% (light intensity 40%) give the best response to the growth of Shorea leprosula, Shorea mecistopteryx, Shorea ovalis, and Shorea selanica.

(32)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume, dan Shorea selanica (Dc) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

(33)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume, dan Shorea selanica (Dc) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari

Nama : Eri Sugiarto NIM : E44070053

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Ir. Andi Sukendro, M.Si NIP. 19620505 198703 1 004

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur

Prof.Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009

(34)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah atas segala rahmat dan ridho serta ilmu dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume dan Shorea selanica (Dc) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari” dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan ummat-Nya.

Keberhasilan skripsi ini tidak lepas dari segala arahan, bimbingan, do’a serta semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan memohon do’a kepada Allah agar diberi balasan pahala berlipat ganda kepada Bapak Ir. Andi Sukendro, M.Si selaku pembimbing skripsi, kepada Bunda dan seluruh pihak serta rekan-rekan yang membantu dalam penyelesaian skripsi.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi perkembangan penelitian selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Bogor, Februari 2012

(35)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Pekalongan pada tanggal 04 Desember 1988 dari pasangan suami istri Sugiyono dan Eriyah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal pada tahun 1995 di SDN 1 Blacanan dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Siwalan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Selanjutnya tahun 2004 melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Wiradesa dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di sejumlah organisasi, yakni sebagai staf Resimen Mahasiswa Mulawarman IPBdari tahun 2007–2009, Lembaga Studi Ular Jakarta 2007–2011. Selain aktif dalam organisasi, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Pemantauan Kesehatan Hutan. Penulis juga pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) tahun 2009 di Sancang Timur-Papandayan Garut, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) 2010 di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sinarmas Forestry Provinsi Kalimantan Timur.

(36)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah atas segala rahmat dan ridho serta ilmu dari-Nya sehingga penulis dapat menghadirkan sebuah tulisan ilmiah yang semoga dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih banyak dan memohon do’a kepada Allah agar diberi balasan pahala berlipat ganda kepada:

1. Bapak Ir. Andi Sukendro, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sejak dimulainya penelitian sampai dengan penyelesaian skripsi.

2. Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor yang telah memberi izin dan memfasilitasi kegiatan penelitian ini.

3. Bunda yang selama ini tiada henti menyayangi, mengasihi, mendukung dan mendoakan penulis.

4. Viala, Budhi, Aan, M. Eko, Lilik, Lilis, Satriavi, beserta seluruh penghuni Wisma Alamanda IPB: Yuda, Eko S., Werdhi, Adi Yudha, Eno, Kris, Syaepul, Rifqi, Syarif, Bagus, Azis, Dani, Muhidin, August, Jhon, Welly, Pak Sardi, Ibu Sardi terima kasih atas kebersamaan dan kekeluargaannya.

5. Puspitasari, Andri, Rahmad, Ranny, Laswi, Eka, Ririn, Miftah, Rofan, Nunung, Mustofa Rimpala, Hendra, Yuniar S., Ucik, Rama, Alex, Rinal, Wiwit, Azizah, kang Ade, Dinda, Seluruh keluarga besar Silvikultur Angkatan 44 yang tiada pernah bosan menyemangati dan membesarkan hati.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dunia ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2012

(37)
(38)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Rata-rata intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif selama penelitian .... 10 2 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh jenis dan tingkat naungan terhadap

parameter pertumbuhan ... 13 3 Nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman (cm) ... 14 4 Nilai rata-rata pertambahan diameter batang (mm) ... 15 5 Nilai rata-rata jumlah daun (helai) ... 16 6 Nilai Bobot kering total (gram) ... 17 7 Nisbah pucuk akar ... 18

(39)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rataan intensitas cahaya per dasarian pada berbagai tingkat naungan ... 10 2 Rataan suhu udara per dasarian pada berbagai tingkat naungan ... 11 3 Rataan kelembaban relatif per dasarian pada berbagai tingkat naungan ... 11

(40)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi ... 28 2 Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan diamter ... 28 3 Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan jumlah daun ... 28 4 Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot kering total ... 29 5 Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan nisbah pucuk akar .. 29 6 Beda perlakuan pada hasil uji Duncan terhadap pertumbuhan tinggi ... 30 7 Beda perlakuan pada hasil uji Duncan terhadap pertambahan diameter... 31 8 Beda perlakuan pada hasil uji Duncan terhadap parameter jumlah daun ... 32 9 Beda perlakuan pada hasil uji Duncan terhadap bobot kering total ... 33 10 Beda perlakuan pada hasil uji Duncan terhadap nisbah pucuk akar ... 34 11 Anakan Shorea leprosula (A), Shorea ovalis (B) Shorea mecistopteryx (C)

(41)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meranti merupakan salah satu kayu komersial yang sudah banyak dikenal oleh berbagai negara Asia Tenggara dengan berbagai nama perdagangan, terutama jenis meranti merah (Shorea spp). Meranti merah termasuk jenis endemik di Indonesia di antaranya yang terancam punah yaitu S. leprosula (Kalimantan), S. ovalis (Kalimantan) dan S. selanica (Maluku) yang masuk ke dalam daftar merah IUCN (Ashton 2011).

Semakin cepat laju kerusakan hutan yang terjadi diperkirakan mencapai 1.08 juta hektar hutan per tahun (Dephut 2009), karena itu rehabilitasi diperlukan sebagai pemulihan sumberdaya hutan. Rehabilitasi dapat dilakukan dengan menanam jenis lokal yang tumbuh secara alami, seperti halnya S. mecistopteryx yang tumbuh sangat baik di Kalimantan sehingga dapat digunakan untuk upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kalimantan (Kobayashi 2001). Upaya mengembalikan jumlah meranti merah ke dalam status tetap lestari dilatar belakangi dengan permintaan hasil kayu maupun bukan kayu yang masih tinggi. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993) meranti merah memiliki permintaan sebesar 75% dalam perdagangan kayu komersial kelas awet sedang sampai kuat karena melihat sifat dari jenis meranti merah yaitu jenis yang cepat tumbuh pada tumbuhan lokal Kalimantan dan memiliki struktur batang pohon yang lurus dan silindris sehingga jenis ini banyak digunakan dalam produksi kayu lapis, penghasil damar kualitas bagus (S. mecistopteryx), kayu furnitur, maupun kayu pertukangan. Manfaat yang cukup tinggi dari meranti merah sehingga dalam penanaman perlu optimalisasi yang salah satunya intensitas cahaya matahari yang tepat karena tanaman meranti adalah jenis gap opportunist dimana cahaya merupakan faktor pembatas bagi awal pertumbuhannya.

(42)

yang cocok untuk mengeksitasi pigmen daun jika terlalu rendah di bawah 390 nm foton bila diserap akan menyebabkan daun menguning dan gugur, sedangkan intensitas cahaya yang terlalu tinggi di atas 760 nm foton tidak memiliki cukup energi akan menyebabkan daunnya terbakar akibat kerusakan pigmen. Hanya foton dengan panjang gelombang antara 390–760 nm (Photosynthetically Active Radiation/ PAR) yang memiliki energi yang cocok untuk fotosintesis (Gardner et al. 1991). maka dalam penanaman perlu dilakukan kontrol intensitas cahaya yang sesuai sehingga pertumbuhan meranti merah dapat mencapai pertumbuhan yang optimal.

Berdasarkan hal tersebut pemberian naungan pada anakan meranti merah sangat penting baik di persemaian maupun di lapangan. Maka penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kebutuhan intesitas cahaya bagi pertumbuhan anakan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. 1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan anakan S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica di lapangan

2. Mencari tingkat intensitas cahaya optimal bagi pertumbuhan anakan S. leprosul, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica di lapangan.

1.3 Manfaat

(43)

Indonesia meranti tembaga. Masing-masing daerah mempunyai sebutan tersendiri, seperti kontoi bay (Kalimantan Barat) dan lempong kumbang (Kalimantan Timur). Penyebaran jenis ini meliputi semenanjung Thailand, semenanjung Malaysia, Sumatra dan Kalimantan. S. leprosula komoditi dalam kayu pertukangan kelas sedang dan menghasilkan resin yang disebut damar daging, resin tersebut dapat ditemukan di sekitar akar dan damar daging biasa digunakan untuk pengobatan tradisional sedangkan kulitnya untuk penyamakan (Soerianegara dan Lemmens 1993).

S. leprosula mempunyai penampakan fisik pohonnya tinggi dapat mencapai 60 m dengan tinggi bebas cabang 35 m dan diameter 175 cm. Daun elliptical to ovate, 8–14 cm x 3–5 cm, dengan 12–15 pasang urat daun. Permukaan daun bagian bawah bersisik seperti krim dengan domatia; stamens 15 dan sebagian anthers. S. leprosula biasanya dapat tumbuh pada drainase baik dan jenis tanah liat dengan ketinggian di bawah 700 m. Berat jenis kayu S. leprosula 300–865 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993).

2.2 Shorea mecistopteryx

(44)

2.3 Shorea ovalis

S. ovalis mempunyai nama Indonesia meranti kelungkung. Masing-masing daerah mempunyai nama yang berbeda, seperti abang gunung putih (Kalimantan Timur), meranti sepang (Sumatra Selatan). Penyebaranya meliputi semenanjung Malaysia, Sumatra dan Kalimantan. S. ovalis biasa digunakan penduduk lokal untuk membuat dinding rumah dan lantai. S. ovalis mempunyai ukuran sedang sampai sangat besar dengan tinggi dapat mencapai 60 m, tinggi bebas cabang 18– 27 m dan diameter 125 cm. Daun berbentuk oblong 10–22 cm x 23–10 cm dengan 22–25 pasang urat daun. Permukaan bawah daun kasar seperti keropeng. S. ovalis mempunyai 3 subspesies dan biasa tumbuh pada hutan dipterokarpa dataran rendah dengan ketinggian 500 m. Berat jenis S. ovalis adalah 320–860 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993).

2.4 Shorea selanica

S. selanica secara umum dikenal dengan nama meranti bapa atau kayu bapa. S. selanica merupakan jenis meranti merah dengan pertumbuhan cepat dan tumbuh dalam hutan tropis dengan tipe curah hujan B dan kayunya biasa dimanfaatkan untuk pembuatan veneer, kayu lapis, konstruksi bahan bangunan dan kayu perkapalan (Al Rasyid et al. 1991).

S. selanica tersebar di pulau buru Maluku bagian barat sampai selatan. S. selanica adalah spesies dominan pada hutan dataran rendah, tanah latosol, podsolik merah-kuning dan tanah drainase baik dengan ketinggian 150 m. S. selanica mempunyai berat jenis kayu 440–530 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993).

2.5 Respon Pertumbuhan Terhadap Intensitas Cahaya

(45)

5

adalah jumlah energi yang diterima tanaman pada luasan dan jangka waktu tertentu. Radiasi berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, laju transpirasi dan periode kritis dalam pertumbuhan.

Menurut Grant (1997) diacu dalam Ardie (2006) PAR dikelompokan menjadi dua bagian berdasarkan kisaran panjang gelombang yang diserap pigmen tanaman yaitu panjang gelombang aktivitas tinggi (400–500 nm) kelompok cahaya biru, dan panjang gelombang aktif rendah (600–700 nm) kelompok cahaya merah (respon fitokrom). Cahaya merah (respon fitokrom) aktif untuk induksi fotoperiodisitas pembungaan, perkembangan kloroplas (tidak termasuk sintesis klorofil), penuaan (senescence) daun dan absisi daun. Sedangkan PAR dari 500– 600 nm, kelompok cahaya hijau, tergolong tidak aktif untuk fotosintesis. Cahaya merah jauh (far-red) dengan panjang gelombang 700–800 nm juga tidak aktif untuk fotosintesis tetapi banyak mempengaruhi fotomorfogenesis.

Intensitas cahaya dapat mempengaruhi proses metabolisme dalam tanaman. Intensitas cahaya rendah pada umumnya disebabkan oleh naungan. Spesies tanaman yang memiliki habitat ternaungi (shade plant) memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah, titik kompensasi cahaya yang rendah, serta respon fotosintesisnya mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang lebih rendah dibandingkan dengan spesies yang memiliki habitat di daerah terbuka (sun plant). Nilai kejenuhan cahaya tanaman shade plant lebih rendah karena laju respirasi pada shade plant sangat rendah, sehingga dengan sedikit saja fotosintesis netto yang dihasilkan sudah cukup membuat laju pertukaran netto CO2 menjadi nol. Laju respirasi yang rendah menunjukkan bentuk adaptasi dasar yang memungkinkan tanaman shade plant mampu bertahan pada lingkungan cahaya terbatas (Salisbury dan Ross 1992).

(46)

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – November 2011, bertempat di Persemaian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: kaliper digital, kamera, mistar/penggaris, luxmeter, alat tulis, tally sheet, termometer basah kering, shading net (20%, 40% dan 60%), polybag dan kamera. Sedangkan bahan yang digunakan meliputi: bibit S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan

Tanaman dibagi empat kelompok, berdasarkan pemberian naungan dengan intesitas cahaya matahari berbeda. Di dalam satu kelompok, terdapat empat jenis tanaman. Tiap jenis terdiri dari empat ulangan, dimana tiap ulangan terdiri dari 5 individu tanaman. Tahap selanjutnya membuat rumah naungan dengan intesitas cahaya matahari 100% (tanpa naungan), 80% (naungan 20%), 60% (naungan 40%) dan 40% ( naungan 60%).

3.3.2 Pengamatan dan Pengambilan Data

Parameter yang diukur adalah tinggi (cm), diameter (mm), jumlah daun, nisbah pucuk-akar, bobot kering total, intensitas cahaya serta suhu dan kelembaban.

Tinggi anakan

(47)

7

Diameter anakan

Pengukuran diameter bibit dilakukan setiap 10 hari selama pengamatan (mulai dari awal sampai akhir pengamatan) dengan menggunakan kaliper, diukur pada pangkal batang yang telah ditandai sama seperti pada pengukuran tinggi.

Jumlah Daun

Penghitungan jumlah daun dilakukan setiap 10 hari pada masing-masing tanaman sampai selesai pengamatan.

Nisbah Pucuk-Akar (NPA)

Nisbah pucuk-akar diperoleh dari hasil pengukuran terhadap bobot kering pucuk dan akar. Pengukuran bobot kering ini dilakukan pada akhir pengamatan. Setiap anakan dipotong menjadi dua bagian, bagian pucuk dan akar. Kedua bagian tersebut dimasukkan ke dalam wadah penyimpanan yang berbeda (terpisah) kemudian dioven pada suhu 105°C selama 24 jam. Selanjutnya, setelah tercapai bobot kering yang konstan dilakukan penimbangan berat kering pada masing-masing bagian tersebut dengan menggunakan timbangan elektrik Ohaus. Dari hasil penimbangan bobot kering dicari ratio pucuk-akar bibit dengan rumus:

BK Pucuk Nisbah Pucuk-Akar =

BK Akar Bobot Kering Total (BKT)

Data bobot kering total (BKT) diperoleh dari hasil pengukuran berat kering bagian pucuk dan bagian akar. Pengukuran bobot kering total (BKT) ini dilakukan pada akhir pengamatan, yakni bersamaan dengan pengukuran nisbah pucuk-akar (NPA). Bobot kering total (BKT) diperoleh dengan menjumlahkan secara langsung bobot kering bagian pucuk dengan bobot kering bagian akar.

Bobot Kering Total (BKT) = BK pucuk + BK akar Intensitas Cahaya

(48)

Suhu dan kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan termometer basah kering waktu pengukuran dan tempat pengukuran sama dengan intensitas cahaya.

3.3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktor percobaan. Faktor pertama, yaitu empat taraf untuk jenis tanaman dan faktor kedua, yaitu empat taraf untuk perbedaan intensitas naungan. Jumlah ulangan adalah empat kali, tiap ulangan terdiri dari lima individu. Dengan

Yijk = nilai pengamatan kombinasi perlakuan toleransi jenis terhadap naungan ke-i dan perlakuan tingkat naungan ke-j pada satuan percobaan ke-k µ = rataan umum

(49)

9

(αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan toleransi jenis terhadap naungan ke-i dan perlakuan tingkat naungan ke-j

εijk = pengaruh acak kombinasi perlakuan toleransi jenis terhadap naungan ke-i dan perlakuan tingkat naungan ke-j dari satuan percobaan ke-k 3.4 Analisis Data

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Data penelitian yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan anakan meranti merah yang diukur selama 3 bulan. Parameter yang diukur meliputi tinggi, diameter, jumlah daun, nisbah pucuk akar (NPA), bobot kering total (BKT), intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif. intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif pada berbagai naungan disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2, 3,4.

Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif selama penelitian

Parameter Tingkat Naungan

0% 20% 40% 60% Intesitas Cahaya (Lux 102) 246,55 187,19 146,47 119,34 Suhu (°C) 31,29 30,98 30,39 29,91 Kelembaban Relatif (%) 66,33 71,75 76,88 82,73

(51)

11

Gambar 2 Rataan suhu udara per dasarian pada berbagai tingkat naungan

Gambar 3 Rataan kelembaban relatif per dasarian pada berbagai tingkat naungan

(52)

rataan intensitas cahaya dan suhu, dimana nilai rataan tertinggi kelembaban pada tingkat naungan 60% sebesar 82,73%, sedangkan naungan 40% sebesar 76,88%, 20% dan 0% masing-masing sebesar 71,75% dan 66,33%.

Intensitas cahaya, suhu dan kelembaban mempunyai nilai rataan per dasarian yang berfluktuatif. Nilai rataan intensitas cahaya tertinggi pada dasarian ke-5, ke-6 dan dasarian ke-3 ke-7, ke-8, ke-9 mempunyai nilai rataan per dasarian terendah (Gambar 1). Sedangkan nilai rataan suhu tertinggi pada dasarian ke-1, ke-5 dan ke-6, Sementara untuk dasarian ke-2, ke-3, ke-8 dan ke-9 adalah rataan dasarian suhu terendah (Gambar 2). Nilai rataan kelembaban relatif pada dasarian ke-7, ke-8 dan ke-9 dalah tertinggi, sedangkan terendah pada dasarian ke-1 dan ke-4 (Gambar 3).

4.1.1 Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan Anakan Meranti Merah

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan pada masing-masing jenis diukur dengan parameter tinggi, diameter, jumlah daun, bobot kering total (BKT) dan nisbah pucuk akar (NPA). Berdasarkan analisis ragam (Tabel 2). Parameter yang diukur pada masing-masing jenis memberikan respon terhadap naungan dan interaksi yang berbeda-beda, pada pengamatan ke-1 sampai 9 pengaruh naungan dan jenis memberikan pengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman kecuali pada pengamatan ke-6 interaksi antara naungan dengan jenis tanaman tidak berpengaruh nyata. Parameter diameter batang terhadap pengaruh naungan memberikan pengaruh nyata kecuali pada pengamatan ke-1 dan 6 yang memberikan pengaruh tidak nyata pada parameter diameter batang sedangkan interaksi berpengaruh nyata kecuali pada pengamatan ke-1, 5 dan 7 yang berpengaruh tidak nyata.

(53)

13

berdasarkan analisis ragam naungan memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering total (BKT) dan nisbah pucuk akar (NPA).

(54)

4.1.2 Pengaruh intensitas cahaya terhadap tinggi tanaman

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan dilakukan pada pertambahan nilai total dari rata-rata empat ulangan pada masing-masing perlakuan (Tabel 3) Faktor naungan memberikan pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertambuhan tinggi tanaman pada ke-4 jenis tanaman meranti merah yaitu S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica sedangkan pada masing-masing naungan memberikan pengaruh yang berbeda antara jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica.

Tabel 3 Nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman (cm)

Jenis Naungan

Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

Pertambahan tinggi tiap jenis tanaman pada tingkat naungan memiliki pertambahan yang berbeda, terlihat pada Tabel 3 bahwa rata-rata pertambahan tinggi tanaman berbeda pada tingkat naungan. Pertambahan rata-rata tinggi tanaman terbesar adalah pada S. selanica kemudian S. leprosula, S. ovalis dan S. mecistoteryx.

(55)

15

4.1.3 Pengaruh intensitas cahaya terhadap diameter batang

Parameter diameter batang yang diukur memiliki hasil pengaruh berbeda terhadap masing-masing perlakuan naungan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diameter batang (Tabel 4) yang dilakukan pada pertambahan nilai total dari rata-rata empat ulangan pada masing-masing perlakuan, faktor naungan memberikan pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertambahan diameter ke-4 jenis tanaman meranti merah yaitu S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica sedangkan pada masing-masing naungan memberikan pengaruh yang berbeda antara jenis S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica

Tabel 4 Nilai rata-rata pertambahan diameter batang (mm)

Jenis Naungan Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

Pengukuran parameter diameter batang diukur dengan pertambahan diameter batang tiap jenis tanaman memiliki hasil berbeda pada tingkat naungan. Hasil pengukuran yang kemudian dilakukan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa rata-rata pertambahan diameter batang berbeda pada berbagai tingkat naungan. Pertambahan rata-rata diameter batang terbesar adalah pada S. ovalis kemudian S. mecistoteryx, S. selanica dan S. leprosula.

(56)

naungan 40% (1,18 mm) dan 0% (0,94 mm). Pertambahan rata-rata total pertambahan diameter batang terendah pada S. leprosula pertambahan tinggi 60% (1,22 mm) berbeda nyata terhadap naungan 40% (0,93 mm), sementara antara naungan 20% (0,88 mm) dan 0% (0,64 mm) berbeda nyata.

4.1.4 Pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah daun

Pengaruh naungan terhadap rata-rata total pertambahan jumlah daun berbeda antara setiap jenis tanaman (Tabel 5). Pertambahan jumlah daun tertinggi pada S. selanica pada naungan 60% (4,23 helai) berbeda nyata dari naungan 40% (3,50 helai), 20% ( 3,39 helai) dan pada naungan 0% (0,40 helai). Pertambahan memberikan hasil tidak berbeda nyata terhadap pertambahan jumlah daun tiap naungan. Akan tetapi pada naungan 60% (1,76 helai) memiliki pertambahan jumlah daun lebih tinggi dari naungan 40% (1,71 helai), 20% (1,70 helai) dan 20% (1,68 helai). Pada S. mecistopteryx sedikit mengalami pertambahan jumlah daun. Pada naungan 60% (0,76 helai), 40% (-0,73 helai) dan 20% (-1,35 helai) tidak berbeda nyata tetapi pada naungan 0% (-4,15 helai) berbeda nyata.

Tabel 5 Nilai rata-rata jumlah daun (helai)

Jenis Naungan Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

4.1.5 Pengaruh intensitas cahaya terhadap bobot kering total (BKT)

(57)

17

hasil perlakuan naungan 40%, naungan 20% dan naungan 0%, rata-rata masing-masing sebesar 6,59 gram, 4,09 gram, dan 2,05 gram. Kemudian pada rata-rata bobot kering total jenis tanaman lainnya adalah pada S. ovalis memiliki bobot kering total tertinggi setelah S. selanica yaitu pada perlakuan naungan 60% (4,65 gram) berbeda nyata dari perlakuan naungan 40%, 20% dan 0% rata-rata bobot kering total masing-masing sebesar 3,32 gram, kemudian 2,71 gram dan 1,04 gram. Sedangkan bobot kering total S. leprosula pada masing-masing perlakuan naungan sebesar 3,56 gram pada naungan 60% sedangkan 3,54 gram dari hasil rata-rata perlakuan naungan 40% yang tidak berbeda nyata antara keduanya, sementara 2,82 gram pada perlakuan naungan 20% dan 2,70 gram pada perlakuan naungan 0%. Bobot kering total rata-rata terendah pada jenis tanaman S. mecistopteryx bobot kering total pada masing-masing perlakuan naungan yaitu 4,05 gram pada perlakuan naungan 60% berbeda nyata dari 2,38 gram perlakuan naungan 40% sedangkan 2,21 gram dan 0,81 gram pada perlakuan naungan 20% dan 0%.

Tabel 6 Nilai Bobot kering total (gram)

Jenis Naungan

Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

4.1.6 Pengaruh intensitas cahaya terhadap nisbah pucuk akar (NPA)

(58)

naungan 20% (1,02) dan naungan 0% (0,65) tidak berbeda nyata. Sementara S. ovalis memiliki NPA tertinggi pada taraf naungan 60% sebesar 1,59 yang berbeda nyata pada perlakuan naungan 40% yaitu sebesar 1,10 dan rata-rata taraf naungan 20% (1,09) tidak berbeda nyata dari naungan 0% (0,71). Pada S.

Keterangan : Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata pada taraf uji 95% (Uji Duncan)

4.2 Pembahasan

Intensitas cahaya pada lokasi penelitian memiliki intensitas cahaya yang tinggi pada awal bulan penelitian (Agustus) sedangkan pada bulan September intensitas cahaya mengalami penurunan, penurunan intensitas cahaya pada bulan September disebabkan bulan September memasuki peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan sehingga penurunan dalam pengukuran intensitas cahaya. Sedangkan pada awal bulan Oktober intensitas cahaya mengalami peningkatan, akibat fluktuasi cuaca pada musim peralihan yang terkadang terjadi panas dan hujan akan tetapi pada akhir bulan Oktober memasuki musim penghujan sehingga intensitas cahaya mengalami penurunan sampai dengan akhir penelitian.

(59)

19

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan naungan (intensitas cahaya) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ke-4 anakan meranti merah yaitu S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica yang diukur dengan parameter pertumbuhan tinggi, diameter, pertambahan jumlah daun, bobot kering total dan nisbah pucuk akar.

Intensitas cahaya berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan melalui proses fotosintesis, mekanisme membuka dan menutup stomata, sintesis klorofil dan diferensiasi sel yang dinyatakan dengan pertambahan tinggi, diameter, ukuran daun, struktur daun dan batang (Kramer dan Kozlowski 1960). Intensitas cahaya berkaitan dengan suhu dan kelembaban, peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan suhu dan menurunkan kelembaban relatif sehingga peningkatan tersebut mempengaruhi tingkat evaporasi yang menyebabkan peningkatan kekeringan dan ketersediaan air tanah sehingga akan meningkatkan transpirasi tanaman (Safitri 2004).

Perubahan suhu dan kelembaban berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman dan proses fisiologi seperti fotosintesis, respirasi, aktivitas enzim. Jika suhu udara terlalu tinggi maka peningkatan laju respirasi dan rusaknya jaringan muda yang akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan tunas muda, sementara suhu udara terlalu rendah akan menghambat aktivitas enzim pertumbuhan. Sedangkan kelembaban optimal akan meningkatkan penyerapan air dan menurunkan laju transpirasi (Kozlowski et al. 1991).

Intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi, batang, jumlah daun, bobot kering total dan nisbah pucuk akar pada S. leprosula, S. mecistopteryx, S. ovalis dan S. selanica. Sedangkan interaksi naungan dan jenis berpengaruh nyata kecuali pada nisbah pucuk akar (Tabel 2).

Gambar

Tabel 1  Rata-rata intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif selama
Tabel 2  Rekapitulasi analisis ragam pengaruh jenis dan tingkat  naungan terhadap
Tabel 1  Rata-rata intensitas cahaya, suhu dan kelembaban relatif selama
Tabel 2  Rekapitulasi analisis ragam pengaruh jenis dan tingkat  naungan terhadap

Referensi

Dokumen terkait

2) R.H. Soltou, Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan

(4) Hal serupa juga dapat dilihat pada penelitian Ajaz Malik et al di India tahun 2011, pada 73 pasien batu empedu dengan kolesistektomi, yang memiliki lebih dari satu

Menurut Kurniawan (2010:4) “PHP merupakan script untuk pemrograman webserver-side, script yang membuat dokumen HTML, secara on the fly, dokumen HTML yang dihasilkan

Sesuai dengan Peraturan KPU no 9 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Tahapan, Program dan Jadwal Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Keputusan

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, maka penulis menarik kesimpulan, yaitu pengguna e-learning dokeos pada prodi sistem informasi dan informatika

Kombinasi jumlah pelepah dan periode waktu mempertahankan pelepah efektif untuk meningkatkan bobot TBS/hektar, Bobot TBS/pokok dan BTR/bulan Kombinasi jumlah pelepah

Tidak terdapat pengaruh beban kerja terhadap kelelahan menunjukan dari hasil regresi logistik ordinal dengan nilai p-value (0,961) > α-(0,05). Terdapat pengaruh

pemakaian sarung tangan dengan kejadian penyakit dermatitis kontak pada pemulung sampah di TPA Puuwatu kota kendari tahun 2016, sedangkan tujuan khusus dari