i
SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PADA TAHUN
2015 – 2016
Laporan Penelitian Ini Ditulis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sarjana Kedokteran
OLEH :
JEWAQA BRAKO MUZAKKI
NIM: 11141030000063
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1439 H / 2017 M
v
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kahadirat Allah SWT, tuhan semesta alam, yang dimana berkat rahmat, berkah dan kasih sayang yang selalu dicurahkanNya, penulis dapat menyelesaikan sebuah laporan penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sarjana kedokteran di Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “PROPORSI PENDERITA BATU EMPEDU DENGAN
DISLIPIDEMIA DAN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PADA TAHUN 2015 DAN 2016” dengan Alhamdulillah
tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dengan selesainya pengerjaan laporan penelitian ini, ini semua tidak lepas dari dukungan, doa, bantuan dan juga semangat yang diberikan selama proses pembuatan laporan penelitian ini. Oleh karena itu, dengan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS, selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. dr. Femmy Nurul Akbar, SpPD, K-GEH, FINASIM, selaku dosen pembimbing 1 kami yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membimbing dari awal penelitian hingga terselesaikannya laporan penelitian ini
4. Dr. dr. Mukhtar Ichsan, SpP(K), MARS, FIRS, selaku dosen pembimbing 2 kami yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membimbing dari awal penelitian hingga terselesaikannya laporan penelitian ini
5. dr. Hari Hendarto, SpPD-KEMD, PhD, FINASIM, selaku dosen penguji 1 kami yang telah meluangkan waktu, dan pikirannya dalam menguji dan memberikan masukan kepada penelitian ini
vi memberikan masukan kepada penelitian ini
7. Pak Chris Adhiyanto, S.Si, M.Biomed, PhD, selaku penanggung jawab riset mahasiswa Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter angkatan 2014 8. Kedua Orang tua penulis, Jonedi Simbi dan Khuzaemah Asyufria, yang selaku
mendoakan, memberikan dukungan juga motivasi, dan yang selalu mengingatkan penulis dalam mengerjakan laporan penelitian hingga selesai sekarang
9. Para pengajar dan staf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10. Sahabat Seperjuangan Riset, Regi Azistha Amri, yang telah menjalani penelitian ini dari awal hingga selesainya laporan penelitian dengan melewati berbagai hal suka ataupun duka
11. Teman teman Penulis, Rahmy Nursafitri, Indira Khairunnisa, Fadhlurrahman Ananditya, Fheby Syabrina, Silma Rahima Zahra, Sherly Trisna, Desy Islamiati, Muhammad Abdurrahman Faris, Annisa Luthfi, Azifa Anisatul dan teman teman Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Angkatan 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu juga memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini
12. Teman teman dari National Committee on Human Rights and Peace 2016-2017 serta Official National CIMSA 2016-2017-2018, terutama Adriana Damayanti, Bonita Nabilla, Yolanda Wulandari, Athaya Ardellia, dan Audi Yudhasmara, yang selalu memberikan semangat dan juga membantu segala hal disaat penulis sedang mengerjakan laporan penelitian
13. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu pada kata pengantar ini
Demikian yang bisa sampaikan, besar harapan penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua
Jakarta, Oktober 2016
vii
Syarif Hidayatullah Jakarta. Proporsi Penderita Batu Empedu dengan Dislipidemia dan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati tahun 2015 dan 2016. 2017
Latar Belakang: Penyakit batu empedu adalah partikel keras yang berkembang
didalam kandung atau saluran empedu, dan disebabkan oleh beberapa faktor risiko, seperti obesitas, dislipidemia dan diabetes melitus. Prevalensi batu empedu di India dengan dislipidemia sebesar 76%, dan diabetes melitus sebesar 29%. Tujuan: Mengetahui proporsi dan gambaran pasien batu empedu dengan dislipidemia ataupun diabetes melitus. Metode: Penelitian menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional deskriptif, data diperoleh dari rekam medis yang terdiagnosis batu empedu di RSUP Fatmawati tahun 2015-2016 serta memiliki risiko dislipidemia dan diabetes melitus secara consecutive sampling dengan total sampel sejumlah 69 sampel. Hasil: Karakteristik pasien batu empedu berdasarkan jenis kelamin terbanyak pada perempuan sebesar 62,3%, dan kelompok usia terbanyak 56 – 65 tahun sebesar 40,6%. Proporsi pasien batu empedu dengan dislipidemia adalah 20,3%, dengan kelainan fungsi lipid berupa peningkatan kolesterol total sebesar 17,4%, peningkatan kolesterol LDL sebesar 26,1%, peningkatan trigliserida sebesar 7,2%, dan penurunan kolesterol HDL sebesar 5,8%. Dan juga proporsi pasien batu empedu dengan diabetes melitus adalah 15,9%. Kesimpulan: Proporsi batu empedu dengan dislipidemia sebesar 20,3% dan dengan diabetes melitus sebesar 15,9%. Kata Kunci : Batu Empedu, Dislipidemia, Diabetes Melitus
ABSTRACT
Jewaqa Brako Muzakki. Medical Study Program and Doctor Profession UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Proportion of Cholelithiasis Patients with Dyslipidemia and Diabetes Mellitus in Fatmawati Central General Hospital 2015 to 2016. 2017
Background: Gallstones disease is hard particles that develop in the gallbladder or bile duct, and caused by many risk factors, such as obesity, dyslipidemia and diabetes mellitus. Prevalence of gallstones in India with dyslipidemia of 76%, and diabetes melitus by 29%. Aim: To know the proportion and description of cholelithiasis patiens with dyslipidemia or diabetes mellitus. Methods: This study used observational methods with descriptive cross sectional approach, data was obtained from medical records of patients diagnosed with cholelithiasis in Fatmawati Central General Hospital 2015 to 2016 that also has the risk factor of dylipidemia and diabetes mellitus by consecutive sampling with 69 samples. Results: Characteristics of cholelithiasis patients by gender was most frequent in women 62.3%, and age group 56 to 65 years 40.6%. The proportion of cholelithiasis with dyslipidemia was 20.3%. Proportion of high total cholesterol by 17,4%, high LDL cholesterol by 26.1%, high triglycerides by 7,2%, dan low HDL cholesterol by 5,8%. The proportion of cholelithiasis patients with diabetes mellitus was 15.9%. Conclusions: Proportion of gallstones with dyslipidemia was 20.3% and with diabetes mellitus was 15.9%.
viii
LEMBAR PENYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
DAFTAR ISTILAH ... xii
BAB 1 : PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3.Tujuan Penelitian ... 3 1.4.Manfaat Penelitian ... 3 1.5.1 Bagi Peneliti ... 3 1.5.2 Bagi Institusi ... 3 1.5.2 Bagi Masyarakat ... 3
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Batu Empedu ... 4
2.1.1 Definisi Batu Empedu ... 4
2.1.2 Anatomi Kandung Empedu... 4
2.1.3 Fisiologi Pembentukan Empedu ... 5
2.1.4 Epidemiologi Batu Empedu ... 7
2.1.5 Klasifikasi Batu Empedu ... 8
2.1.6 Faktor Risiko Batu Empedu ... 9
2.1.7 Patogenesis Batu Empedu Kolesterol ... 11
2.1.8 Gejala Klinis Batu Empedu ... 13
2.1.9 Diagnosis Radiologi pada Batu Empedu ... 15
2.1.10 Tatalaksana Penyakit Batu Empedu... 16
2.1.11 Komplikasi Batu Empedu ... 18
2.1.12 Prognosis Batu Empedu ... 18
2.2 Dislipidemia ... 18
2.2.1 Sintesis Kolesterol di Hepar ... 18
2.2.2 Definisi Dislipidemia ... 20
2.2.3 Epidemiologi Dislipidemia ... 21
2.2.4 Klasifikasi Dislipidemia... 22
2.2.5 Pemeriksaan Laboratorium pada Dislipidemia ... 23
2.2.6 Terapi untuk Dislipidemia ... 25
2.2.7 Hubungan Dislipidemia dengan Batu Empedu ... 28
2.3 Diabetes Melitus ... 30
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi Diabetes Melitus ... 30
2.3.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 ... 30
2.3.3 Gejala Klinis Diabetes Melitus ... 32
ix
2.5 Kerangka Teori ... 36
2.6 Kerangka Konsep ... 36
2.7 Definisi Operasional ... 37
BAB 3 : METODE PENELITIAN ... 39
3.1 Desain Penelitian ... 39
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 39
3.3 Populasi dan Sampel ... 39
3.3.1 Populasi Target ... 39
3.3.2 Populasi Terjangkau... 39
3.3.3 Besar Sampel ... 39
3.3.4 Cara Pengambilan Sampel ... 40
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 40
3.5 Cara Kerja Penelitian ... 41
3.6 Analisis Data ... 41
3.7 Alur Penelitian ... 42
BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1 Deskripsi Sampel ... 43
4.1.1 Berdasar Jenis Kelamin ... 43
4.1.2 Berdasar Usia ... 44
4.2 Proporsi Pasien Batu Empedu dengan Dislipidemia ... 45
4.3 Proporsi Pasien Batu Empedu dengan Diabetes Melitus ... 48
4.4 Keterbatasan Penelitian ... 51
BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
5.1 Kesimpulan ... 52
5.2 Saran ... 52
5.2.1 Untuk Penelitian Selanjutnya ... 52
5.2.2 Untuk RSUP Fatmawati ... 53
5.2.3 Untuk Masyarakat ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
x
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi Batu Empedu ... 9
Tabel 2.2 Jenis Lipoprotein, Apoprotein dan Kandungan Lipid ... 21
Tabel 2.3 Interpretasi kadar lipid plasma berdasarkan NECP ... 24
Tabel 2.4 Pengaruh perubahan gaya hidup terhadap kadar lipid ... 26
Tabel 2.5 Klasifikasi statin menurut ACC/AHA 2013 ... 27
Tabel 2.6 Obat obat hipolipidemik ... 28
Tabel 2.7 Proporsi profil lipid pada preoperasi kolesistektomi ... 29
Tabel 2.8 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes ... 34
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Menurut Jenis Kelamin ... 43
Tabel 4.2 Distribusi Sampel berdasarkan kelompok usia ... 44
Tabel 4.3 Proporsi Batu Empedu dengan Dislipidemia ... 45
Tabel 4.4 Sebaran Data Profil Lipid pada Pasien Batu Empedu dengan Dislipidemia ... 46
Tabel 4.5 Mean ± Standar Deviation dari Laboratorium Fungsi Lipid pasien Batu Empedu di RSUP Fatmawati ... 48
Tabel 4.6 Proporsi Batu Empedu dengan Diabetes Melitus ... 48
Tabel 4.7 Sebaran Data Glukosa Darah pada Pasien Batu Empedu dengan Diabetes Melitus ... 50
Tabel 4.8 Mean ± Standar Deviation dari laboratorium glukosa darah pasien batu Empedu ... 51
Daftar Gambar Gambar 2.1 Anatomi Vesica Biliaris beserta duktusnya ... 5
Gambar 2.2 Patogenesis Kolelitiasis di Kandung Empedu ... 13
Gambar 2.3 Klinis Batu Empedu berdasarkan letak dari batu empedu ... 15
Gambar 2.4 Sintesis Kolesterol di Jaringan ... 19
Gambar 2.5 Biosintesis dan Penguraian Asam Empedu Gambar ... 20
xi
Lampiran 1. Jadwal dan Anggaran Penelitian
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dari RSUP Fatmawati Lampiran 3. Hasil Analisis dan Grafik pada SPSS Lampiran 4. Daftar Riwayat Hidup
xii BB : Berat badan CCK : Kolesistokinin CT : Computerized tomographic DM : Diabetes Melitus DPP-4 : dipeptidyl peptidase-4 FFA : free fatty acids
FKIK : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan GDP : Glukosa darah puasa
GDS : Glukosa darah sewaktu
GD2PP : Glukosa Darah 2 jam post-prandial GLP-1 : Glucagon-like Peptide 1
HbA1c : Hemoglobin A1c
HDL : High-density Lipoprotein HGP : Hepatic Glucose Production IDL : Intermediate-density Lipoprotein IM : Intramuscular
IMT : Indeks Massa Tubuh IV : Intravena
KoA : Koenzim-A Kol : Kolesterol
LDL : Low-density Lipoprotein MG : Monogliserida
MRI : Magnetic resonance imaging
NCEP ATP : National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel NSAID : Non-Steroid Anti-Inflammatory Drug
NHANES : National Health and Nutritional Examination Survey PF : Pemeriksaan Fisik
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : Standar deviasi
TB : Tinggi Badan
UDCA : ursodeoxycholic acid UIN : Universitas Islam Negeri USG : Ultrasonography
VLDL : Very low-density lipoprotein WHO : World Health Organization
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Batu empedu adalah sebuah masalah kesehatan di dunia yang sering dikaitkan dengan gaya hidup sehari hari, seperti pola makan, ataupun aktivitas. Batu empedu merupakan partikel keras yang berkembang di dalam kandung ataupun saluran empedu. Secara garis besar, batu empedu terdiri dari 3 jenis yakni batu kolesterol, batu pigmen, dan batu campuran. Penyakit batu empedu ini umumnya bersifat asimtomatik, dan dapat bersifat timbul gejala atau simtomatik apabila batu sudah berukuran lebih dari lima mm yang penatalaksanaannya sebagian besar harus dilakukan kolesistektomi.(1) Risiko penyakit batu empedu dapat meningkat apabila terdapat faktor risiko pada seorang pasien. Faktor risiko batu empedu tersebut mencakup fat (obesitas), forty (umur), female (jenis kelamin), fertile (estrogen), dan fair (etnik), yang disingkat menjadi 5F. Faktor risiko lainnya adalah sindrom metabolik yang terdiri dari diabetes melitus, ataupun dislipidemia, dan ada juga karena intensitas aktivitas yang rendah.
Terdapat sekitar dua juta orang atau 10 hingga 15% penduduk Amerika mempunyai atau menderita batu empedu. Jenis kelamin perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki laki. Batu empedu merupakan penyakit serius saluran cerna kedua setelah penyakit refluks esophagus di wilayah Amerika. Sebuah penelitian menyebutkan, di beberapa negara berkembang, lebih dari 85% batu empedu merupakan jenis batu kolesterol.(2) Begitu juga di sebuah penelitian menyebutkan prevalensi batu empedu asimptomatik di China sebesar 12,12%.(3) Hal ini semakin membuktikan bahwa konsumsi makanan yang tinggi lemak, seperti junkfood, memiliki pengaruhnya kepada penyakit batu empedu ini. Meski banyak penelitian yang menyebutkan prevalensi batu empedu yang cukup tinggi dibeberapa negara, seperti Amerika, negara di Eropa, dan lainya, tetapi untuk negara negara di Asia , khususnya di Indonesia, masih kurang dalam penelitian yang berkaitan dengan batu empedu ataupun prevalensi penderitanya. Padahal sebagaimana yang diketahui, pola atau konsumsi makan di Indonesia sudah mulai mengikuti pola makan yang “west-life” tersebut, yang dapat
meningkatkan prevalensi penderita batu empedu di Indonesia karena terjadi peningkatan kolesterol darah yang akan berefek ke pembentukan batu.
Sebagaimana disebutkan diatas, diabetes melitus (DM) dan dislipidemia dapat menjadi faktor risiko dari pembentukan batu empedu. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam darah. Dislipidemia mempunyai suatu hubungan mekanisme yang dapat menyebabkan supersaturasi kolesterol di saluran bilier, sehingga meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu. Pada sebuah penelitian Bikha Ram et al di Pakistan tahun 2010, ditemukan 58 dari 72 pasien , yaitu sekitar 81% pasien batu empedu mengalami dislipidemia.(4) Hal serupa juga dapat dilihat pada penelitian Ajaz Malik et al di India tahun 2011, pada 73 pasien batu empedu dengan kolesistektomi, yang memiliki lebih dari satu abnormalitas pada profil lipid mereka atau mengalami dislipidemia sebesar 76,7%.(5)
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolik yang disebabkan oleh total (atau relatif) tidak adanya insulin, yang secara klinis bermanifestasi ke peningkatan gula darah. Dari definisi tersebut, maka bisa diartikan bahwa ciri khas penderita DM adalah terjadi peningkatan glukosa darah. Diabetes melitus mempunyai efek patogenesis berupa peningkatan kadar kolesterol, hipomotilitas, dan peningkatan nukleasi sehingga kemungkinan dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu. Menurut studi kohort di suatu negara, prevalensi pembentukan batu empedu pada populasi penderita DM 24,8% dibandingkan dengan pembentukan batu empedu di populasi umumnya yakni hanya 13,8 %, yang berarti pembentukan batu empedu dua hingga tiga kali lebih tinggi pada pasien DM jika dibandingkan dengan pasien non diabetes melitus.(6) Dari beberapa penelitian di India menunjukkan didapatkan pada tahun 1999 prevalensi diabetes melitus pada batu empedu sebesar 12,77%. Tahun 2005, prevalensi batu empedu asimptomatik dengan DM tipe 2 sebesar 31%. Terakhir pada tahun 2008, pasien DM dengan gambaran batu empedu pada USG sebesar 29%. (7)
Dari penjelasan penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penilitan mengenai gambaran dislipidemia dan DM pada pasien batu empedu.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran penderita batu empedu dengan dislipidemia dan diabetes melitus di RSUP Fatmawati tahun 2015 – 2016 ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah,
a. Mengetahui karakteristik subjek penelitian yang meliputi usia dan jenis kelamin pasien batu empedu di RSUP Fatmawati tahun 2015 – 2016
b. Mengetahui proporsi dan gambaran dislipidemia pada pasien batu empedu di RSUP Fatmawati tahun 2015 – 2016
c. Mengetahui proporsi dan gambaran diabetes melitus pada pasien batu empedu di RSUP Fatmawati tahun 2015 – 2016
d. Mengetahui sebaran jenis kelamin pada laboratorium profil lipid dan glukosa pasien batu empedu di RSUP Fatmawati 2015 – 2016 e. Mengetahui rerata dan standar deviasi dari profil lipid dan glukosa
pasien batu empedu di RSUP Fatmawati 2015 – 2016
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti
1. mendapatkan pengalaman juga ilmu tambahan mengenai penelitian dibidang saluran cerna dan hati
2. sebagai salah satu syarat mendapat gelar sarjana kedokteran di fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.4.2 Bagi Institusi
Sebagai tambahan untuk pengembangan ilmu pengetahuan di FKIK UIN Jakarta dan juga sebagai bahan penelitian selanjutnya
1.4.3 Bagi Masyarakat
Sebagai tambahan informasi kepada masyarakat tentang batu empedu beserta faktor risikonya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batu Empedu
2.1.1 Definisi Batu Empedu
Batu empedu adalah partikel keras yang berkembang di dalam kandung atau saluran empedu. Terdapat beberapa istilah dalam penyakit batu empedu, yaitu : (1) Kolelitiasis, berarti Batu Empedu (secara umum), (2) Kolesistolitiasis, berarti batu yang berada di kandung empedu, (3) Koledokolitiasis, berarti batu yang berada di duktus koledokus, (4) kolangiolitiasis berarti batu yang berada pada cabang duktus hepatikus, dan cabang lain di hati. (8)
2.1.2 Anatomi Kandung Empedu
a. Definisi Kandung Empedu / vesica biliaris (felea)
Suatu kantung berbentuk buah pir yang terletak pada facies visceralis lobus dekstra hepatis di dalam suatu fossa di antara lobus dexter hepatis dan lobus quadratus
b. Struktur Kandung Empedu / vesica biliaris (felea)
Struktur ini dibagi menjadi 3 bagian : (1) fundus, terletak pada margo inferior hepar, (2) corpus, bagian paling besar, terletak di depan kolon transversum dan pars superior duodeni , (3) collum, mempunyai tunika mukosa yang melipat spiral
c. Sistem duktus untuk empedu
Empedu dihasilkan di hati, dimana dari hati mengalir melewati duktus hepatikus dekstra dan sinistra. Keduanya bergabung menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus ini bergabung dengan duktus sistikus yang berasal dari vesika felea menjadi duktus koledokus. Duktus koledokus terus melewati posterior duodeni dan bergabung dengan duktus pankreatikus menuju muaranya yaitu papilla duodeni mayor.(9)
Gambar 2.1 Anatomi Vesica Biliaris beserta duktusnya (Gray, 2013)9
d. Perdarahan Kantung Empedu / vesica biliaris (felea)
Suplai arteri untuk vesica felea adalah arteria sistica cabang dari arteria hepatica dextra (ramus dexter arteria hepatica propria) 2.1.3 Fisiologi Pembentukan Empedu
a. Fungsi sistem empedu
Sistem empedu dalam manusia terdiri dari Hati, Kandung empedu, dan saluran saluran terkait. Adapun Fungsi hati adalah:
1) sekresi garam empedu, yang membantu pencernaan dan penyerapan lemak
2) tempat metabolisme protein, lemak dan karbohidrat
3) membentuk protein plasma, yang mengangkut hormon tiroid dan kolesterol di dalam darah
4) penyimpanan glikogen, lemak,besi, tembaga dan beberapa vitamin
5) mengeksresikan kolesterol dan bilirubin
Unit fungsional hati sendiri adalah lobulus, dimana diantara lobulus lobulus hati ini terdapat sinusoid hati. Di sela sela hepatosit di lobulus ini terdapat juga kanalikulus biliaris, dimana hepatosit terus menerus mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis ini, yang akan diteruskan menuju duktus biliaris di tepi dari lobulus hati. Dari duktus biliaris ini, menyatu menjadi duktus biliaris komunis yang mengangkut empedu menuju duodenum melewati sfingter Oddi. Saat makan, sfingter Oddi ini akan menutup dan
empedu dialirkan balik menuju kandung empedu, dimana empedu akan disimpan dan dipekatkan dalam kandung empedu selama waktu makan. Setelah makan, akan terjadi proses pengosongan lambung, dan juga peningkatan sekresi empedu, 2 hal ini akan memicu dibukanya sfingter Oddi, dan empedu mengalir menuju duodenum. Jumlah empedu yang diekskresikan per hari berkisar antara 250 mL sampai 1 liter, bergantung pada derajat perangsangan. Dimana semakin sering makan. Maka sfingter oddi dan peneksresian empedu semaking sering.(10)
b. Pembentukan garam empedu
Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubin, dalam suatu cairan encer alkalis. Garam empedu merupakan turunan kolesterol. Garam empedu ini di daur ulang melalui mekanisme yang disebut sirkulasi enterohepatik, dimana garam empedu diekskresikan dalam empedu masuk ke duodenum, yang nantinya akan diserap oleh ileum melalui mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal, setelah diserap garam empedu dikembalikan ke sistem porta hati, untuk diekskresikan kembali dalam empedu.(10)
Garam empedu ini membantu pencernaan lemak di usus melalui mekanisme emulsifikasi. Proses emulsifikasi ini merujuk pada kemampuan mengubah gumpalan lemak besar menjadi emulsi/butiran butiran lemak. Garam empedu ini terdiri dari 2 bagian yaitu larut lemak dan larut air, oleh karena itu garam empedu dapat terserap di permukaan butiran lemak. Gerakan mencampur oleh usus memecah butiran lemak besar menjadi butiran yang lebih kecil, dimana jika tidak ada garam empedu makanya butiran kecil ini akan bergabung kembali menjadi butiran besar. Proses emulsi ini juga meningkatkan luas permukaan butiran lemak yang memudahkan kerja lipase mencerna lemak.(10)
Selain membantu pencernaan lemak, garam empedu juga berfungsi dalam penyerapan lemak. Dengan bergabung dengan
kolesterol dan lesitin, makan akan terjadi pembentukan misel, dimana misel sendiri terdiri dari inti yang hidrofobik dan permukaan yang hidrofilik, sehingga misel dapat melarutkan bahan tak larut air. Bahan yang diangkut berupa MG, free fatty acid, serta vitamin larut lemak. Mekanisme pembentukan misel ini sangat berpengaruh kepada homeostasis kolesterol. Jumlah kolesterol yang dapat diangkut dalam bentuk misel bergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin dibandingkan dengan kolesterol. Oleh karena itu ketika terjadi ketidakseimbangan antara kolesterol dengan lesitin dan garam empedu, maka akan terjadi kelebihan kolesterol di empedu menjadi mikrokristal yang menggumpal, sehingga dapat memicu terjadinya batu empedu(10)
Zat lainnya dalam empedu adalah bilirubin. Bilirubin merupakan pigmen empedu utama, berasar dari produk akhir penguraian heme pada hemoglobin dalam sel darah merah yang sudah tua. Bilirubin berwarna kuning dan menjadi warna coklat seperti tinja karena pengaruh enzim enzim bakteri usus.
Sekresi empedu dapat ditingkatkan oleh beberapa mekanisme:(10)
1) mekanisme kimiawi (garam empedu), ketika makan saat garam empedu dibutuhkan dan sedang digunakan, sekresi empedu oleh empedu akan meningkat.
2) mekanisme hormon , hormon sekretin akan merangsang peningkatan sekresi empedu alkalis cair oleh duktus biliaris.
3) mekanisme saraf (nervus vagus), mendorong peningkatan aliran empedu hati selama fase sefalik pencernaan.
2.1.4 Epidemiologi Batu Empedu
Menutut NHANES, prevalensi penyakit batu empedu di Negara barat 10 – 15%. Dimana dari 10% hingga 15% tersebut, rinciannya adalah 7,9% ditemukan pada pria, dan 16,6% pada wanita, dan ras paling banyak
ditemukan pada ras Mexican-America.(1) Dari penderita batu empedu tersebut, 80% nya ditemukan berupaka batu kolesterol.(11) Prevalensi batu empedu di Negara timur, seperti korea sebesar 2 – 17%, dimana prevalensi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi batu empedu di Negara barat yang sebesar 13,3 – 50,5%.(12) Selain itu, prevalensi batu empedu asimptomatik di China sebesar 12,12%.(3) Di Srilanka juga menyebutkan prevalensi batu kolesterol pada kandung empedu sebesar 80%.(13) Prevalensi kolelitiasis pada orang dewasa di Chili sebesar 26,7% pada tahun 2015.(14)
Dari penderita batu empedu tersebut, ditemukan 24,8 % nya mengalami diabetes melitus, sedangkan 13,8 % merupakan pasien non- diabetik, Hal ini berarti pasien batu empedu lebih banyak ditemukan pada pasien diabetik dibandingkan yang non- diabetik.(6) Selain itu, sebuah penelitian di Nigeria menemukan terdapat 17,5% pasien batu empedu dengan faktor risiko diabetes melitus.(15) Tetapi di Indonesia sendiri, belum ada data prevalensinya, dikarenakan masih sedikitnya penelitian batu empedu di Indonesia.
2.1.5 Klasifikasi Batu Empedu
Ada 3 tipe dari batu empedu yaitu:(16) a. Batu Kolesterol
Mengandung beberapa zat seperti kalsium karbonat, fosfat, bilirubinat, palmitat, fosfolipid, glikoprotein, dan mukopolisakarida. Dengan >50% nya mengandung kolesterol monohidrat plus.
b. Batu Pigmen Hitam
Mengandung bilirubin indirek, kalsium fosfat dan karbonat, dan tidak mengandung kolesterol. Sering terjadi pada hemolisis kronik, sirosis, ataupun Chrons’ disease.
c. Batu Pigmen Coklat
Mengandung calcium bilirubinat, palmitat, dan stearate. Jarang terjadi. Sering terjadi pada infeksi bilier
Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi Batu Empedu (Dooley, 2011)17
Kolesterol Pigmen Hitam Pigmen Coklat
Lokasi Kandung dan
Saluran empedu
Kandung dan saluran empedu
Saluran empedu
Kandungan Mayor Kolesterol Polimer pigmen bilirubin
Kalsium bilirubinate Konsistensi Kristalin dengan
nukleus
Keras Halus, rapuh
% Radio-opak 15% 60% 0%
Lainnya - Sering disertai
dengan sirosis
Sering disertai dengan infeksi
2.1.6 Faktor Risiko Batu Empedu
Pembentukan batu kolesterol dipicu oleh beberapa faktor risiko, yaitu:(17)
a. Genetik
Terjadi mutasi di beberapa titik gen seperti di ABCG5 (transporter kolesterol kanalikular) pada 11% kasus batu kolesterol, ABCB4 (transporter fosfotydil kolin) pada 50% kasus batu empedu, dan lainnya (seperti ABCB11, ABCB4). b. Gaya hidup
Bermula dari aktivitas yang rendah, sehingga menyebabkan dislipidemia, sindrom metabolik, ataupun DM. Dimana kondisi ini bisa menyebabkan hipersekresi kolesterol bilier, ataupun sintesis asam empedu yang tidak adekuat.
c. Obesitas
Ini berhubungan dengan peningkatan sintesis kolesterol. Dimana 50% pasien obesitas memiliki riwayat operasi batu empedu. Dimana penelitian di Ghana juga menyebutkan bahwa obesitas diidentikasikan sebagai faktor risiko utama pada perkembangan kolelitiasis.(18)
d. Faktor makanan
Di Negara barat, batu empedu berhubungan dengan makanan rendah serat dan masa transit usus yang lama, dimana ini akan menyebabkan dehidrooksilasi asam kolik di kolon oleh bakteri feses sehingga akan menyebabkan asam deoksikolik di asam empedu. Makanan rendah karbohidrat dan tidak makan sepanjang malam akan melindungi dari batu empedu.
e. Umur
Prevalensi semakin meningkat pada usia 50 hingga 70 karena masalah penuaan. Selain itu juga, terjadi sebuah peningkatan prevalensi kolelitiasis yang signifikan pada usia diatas 40 tahun. (18)
f. Jenis kelamin dan estrogen
Batu empedu dua kali lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, terutama lebih meningkat pada wanita hamil periode akhir, dan pemakaian pil estrogen pada wanita.
g. Faktor serum
Risiko tertinggi batu empedu ditemukan berhubungan dengan HDL yang rendah dan trigliserida yang tinggi.
h. Sirosis
Pada penyakit hepatoseluler ini akan mengurasi sekresi asam empedu, sering berhubungan dengan pembentukan batu pigmen
i. Infeksi
Bakteri dapat mengalami dekonjugasi garam empedu, dimana ini akan menyebabkan pengurangan kelarutan kolesterol
j. Diabetes melitus
Bata empedu dengan diabetes lebih berisiko dalam yang non diabetes, dan mempunyai prevalensi yang cukup tinggi. Dimana diabetes menyebabkan pengisian dan kontraksi kantung empedu yang buruk, dimana kita menyebut dengan kondisi “diabetic neurogenic gallbladder syndrome”. Selain
itu, DM juga berhubungan dengan peningkatan saturasi kolesterol pada kandung empedu.(18)
k. Faktor lainnya
Faktor lain yang ditemukan juga berisiko untuk batu empedu adalah hepatitis C, gastrektomi, terapi kolestiramin jangka panjang, dan lainnya
2.1.7 Patogenesis Batu Empedu Kolesterol
Dalam pembentukan batu kolesterol, ada 3 prinsip dalam mekanisme pembentukannya yaitu : supersaturasi kolesterol, peningkatan nukleasi dari kristal kolesterol, dan hipomotilitas kandung empedu.
Supersaturasi kolesterol terjadi ketika terdapat peningkatan rasio antara kolesterol dengan asam empedu dan fosfotidilkolin/lesitin. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:(19)
a. peningkatan sekresi kolesterol
Hal ini terjadi karena terdapat peningkatan aktivitas enzim 3-hidroxy-3-methylglutaryl [HMG]- CoA- Colesterol reductase, dimana peningkatan akan mengakibatkan peningkatan uptake kolesterol dari darah ke hepar, sehingga sekresi kolesterol mengalami peningkatan. Peningkatan enzim HMG-Koa-reduktase ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti genetik, makanan kaya kolesterol dan atau tinggi kalori, dan lainnya. Selain itu, peningkatan sekresi kolesterol bisa disebabkan oleh adanya inhibisi proses esterifikasi kolesterol oleh progesteron pada masa kehamilan.
b. pengurangan sekresi asam empedu
Terjadi ketika terdapat peningkatan konversi asam kolat menjadi asam deoksikolat. Hal ini terjadi karena peningkatan proses hidroksilasi asam kolat dan peningkatan absorpsi asam deoksikolat ke hati yang baru terbentuk. Peningkatan deoksikolat inilah yang dapat mengakibatkan hipersekresi kolesterol ke empedu.
c. pengurangan sekresi lesitin / fosfotidilkolin
Prinsip kedua dalam pembentukan batu empedu adalah terjadinya peningkatan nukleasi dari kristal kolesterol. Peningkatan kristal kolesterol monohidrat ini bisa dihasilkan karena peningkatan faktor pronukleasi atau dapat juga karena defisiensi faktor antinukleasi. Yang merupakan contoh dari faktor pronuklease adalah musin kandung empedu, alpha-1 glycoproteinic acid, aminopeptidase N, immunoglobulin M and G, haptoglobin, fibronectin and alpha-1 antichymotrypsin , sedangkan yang termasuk faktor antinukleasi adalah Apo A-1 dan A-II , protein empedu, dan immunoglobulin A. Nukleasi dan pertumbuhan kristal kolesterol monohidrat terjadi di dalam lapisan gel musin, dimana vesikel fusi yang merupakan kristal cair mengalami nukleasi menjadi kristal yang padat. Pertumbuhan kristal ini terjadi oleh nukleasi langsung oleh molekul kolesterol dari vesikel empedu jenuh unilamelar ataupun multilamelar.(19)
Prinsip terakhir dari pembentukan batu empedu adalah hipomotilitas kandung empedu. Pasien yang memiliki presentasi tinggi terkena batu empedu menunjukan abnormalitas pengosongan kandung empedu. Suatu studi menunjukkan pada batu empedu terjadi peningkatan volume kandung empedu selama puasa dan juga setelah makan (volume residu), dan karena stimulasi kandung empedu tersebut maka terjadi penurunan pengosongan empedu tersebut. Selain itu, kelainan pengosongan kandung empedu dapat juga terjadi karena berkurangnya sekresi kolesistokinin (CCK) yang dibebaskan sehingga mengakibatkan berkurangnya asam lemak bebas yang dihasilkan, menyebabkan stimulus kontraksi kandung empedu melemah.(20)
Dua kondisi lainnya yang menyebabkan pembentukan batu kolesterol adalah kehamilan dan penurunan berat badan yang cepat melalui diet sangat rendah kalori. Pada kehamilan terutama trimester 3 terjadi peningkatan saturasi kolesterol.
Gambar 2.2 Patogenesis Kolelitiasis di Kandung Empedu (Silbernagl, 2009)20
2.1.8 Gejala Klinis Batu Empedu
Berdasarkan gejala klinisnya, batu empedu dibagi menjadi tiga kelompok yaitu batu empedu asimtomatik, batu empedu simtomatik, dan batu empedu dengan komplikasi (seperti kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis). Batu asimptomatik terjadi pada 60 – 80 % pada penderita batu empedu secara keseluruhan, inilah yang membuat diagnosis terlambat pada penderita. (1)
Gejala yang timbul dari batu empedu adalah nyeri kolik atau kolik bilier. Nyeri terjadi karena terdapat obstruksi intermitten di abdomen kuadran kanan atas atau epigastrium, dan dapat menyebar ke punggung yaitu di region interskapular dan skapula kanan. Nyeri ini ditandai dengan nyeri yang mengakibatkan perut mules, bersifat konstan atau stabil (persisten) , derajat berat, durasi nyerinya bersifat lama yaitu sekitar 15 – 30 menit hingga beberapa jam, dan nyeri dimulai tiba tiba serta berhenti atau mereda secara bertahap/cepat. Kolik bilier ini dapat dipicu oleh makan makanan berlemak, bisa saat konsumsi besar setelah periode puasa yang lama atau bisa saat konsumsi normal.(1)
Nyeri kolik bilier ini disebabkan karena batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktus biliaris komunis. Dimana sumbatan ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal, dan juga peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran empedu. Dua hal inilah yang akan menstimulasi persarafan sehingga menyebabkan nyeri visceral di daerah
yang dihambat oleh batu empedu ini. Selain itu, kontraksi peristaltik dari saluran empedu ini akan bersifat berulang, dimana empedu akan terus merespon saluran empedu untuk terus melakukan kontraksi peristaltik dengan guna mengeluarkan batu itu dari saluran empedu. Kontraksi yang berulang ini bisa mengakibatkan distensi viskus saluran empedu yang bahkan bisa mengakibatkan overdistensi, hal inilah yang akan menstimulasi nervus vagal sehingga pada pasien batu empedu ditemukan gejala mual dan muntah.(2)
Batu empedu yang berbentuk beraneka ragam (kecil maupun besar, halus maupun kasar), terutama yang berbentuk kasar dan tajam, hal ini dapat menimbulkan iritasi atau trauma pada epitel kandung atau saluran empedu. Iritasi ini mengakibatkan pelepasan prostaglandin dan fosfolipase A2 oleh epitel kandung atau saluran empedu. Fosfolipase ini akan mengakibatkan pemecahan fosfotidilkolin menjadi lisolesitin. Prostaglandin yang dilepaskan ini akan menstimulasi set point hipotalamus yang akan mengakibatkan timbulnya gejala demam pada pasien batu empedu.(20) Iritasi yang berkepanjangan pada kandung empedu ini dapat mengakibatkan perforasi kandung empedu, dan juga dapat mengakibatkan inflamasi yang dapat disebut oleh kolesistitis akut. Penyebab kolesistitis akut ini biasanya karena terdapat infeksi bakteri, seperti Escherichia coli, Klebsiella, Streptococcus spp., dan Clostridium spp. Gejala dari kolesistits akut adalah nyeri memberat dan memanjang lebih dari 5 jam di perut kanan atas, dapat disertai demam, mual, dan muntah. Pada PF, dapat ditemukan nyeri tekan di perut kanan atas, dan juga Murphy’s Sign, yaitu pasien merasakan nyeri pada inspirasi saat dilakukan palpasi di bawah batas akhir kostae kanan. Pada pemeriksaan penunjang, sering menyebabkan kelainan berupa leukositosis, dan dapat juga terjadi kenaikan ringan faal hati dikarenakan dampak dari kompresi lokal pada saluran empedu. Adapun patogenesis dapat terjadinya komplikasi kolesistitis adalah akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu, sehingga terjadi hidrops kandung empedu yang menyebabkan penambahan volume atau edema kandung empedu. Dimana edema ini menyebabkan iskemi dari
dinding kandung empedu yang dapat berkembang menuju nekrosis dan perforasi. Awalnya kolesistitis hanya berupa peradangan steril, tetapi jika dibiarkan dapat menjadi infeksi bakteri.(17) Selain itu, dapat juga timbul kolangitis yaitu infeksi pada duktus hepatikus, dengan gejala ikterus obstruktif, atau dapat juga terjadi pankreatitis apabila batu sudah menyumbat di duktus pankreatikus.
Gambar 2.3 Klinis Batu Empedu berdasarkan letak dari batu empedu (Wang, 2012)2
2.1.9 Diagnosis Radiologi pada batu empedu
Diagnosis radiologis untuk batu empedu kadang sangat dibutuhkan untuk mengetahui seorang pasien terkena batu empedu atau tidak. Pencitraan radiologis ini tidak hanya sebagai keperluan diagnosis, tetapi juga dapat menjadi upaya terapi awal. Pencitraan radiologis digunakan pada 2 daerah yaitu gallbladder (kandung empedu) dan saluran empedu.(17)
A. Gallbladder
Untuk pencitraan di gallbladder sendiri dapat menggunakan 3 metode radiologi, yaitu: (1) Ultrasonography (USG), dimana metode ini sangat efektif dalam menunjukkan kondisi dinding dari kandung empedu, dimana hasil akan lebih akurat jika pasien berpuasa sebelum melakukan pemeriksaan USG, (2) CT
dan MRI, satu satunya pencitraan yang dapat menunjukkan batu di dalam kandung empedu, (3) Scintigraphy , sangat disarankan pada dugaan diagnosis kolesistitis akut. (17)
B. Saluran Empedu (bile duct)
Pencitraan dalam saluran empedu dapat menggunakan beberapa metode, yaitu: (1) USG, metode yang sering dipilih, dimana apabila pada gambaran USG terlihat dilatasi duktus biliaris (>5-7 mm) maka kemungkinan besar terdapat obstruksi pada saluran empedu, (2) CT Scan, contohnya bisa menggunakan CT-cholangiography, (3) Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP), akurat untuk melihat batu di duktus biliaris terutama yang berukuran >6mm, (4) Endoscopic Ultrasound (EUS), untuk membedakan penyempitan benign/maligna pada duktus biliaris, (5) Oral Cholecystography (OCG) and Intravenous cholangiography, jarang digunakan, (6) Scintigraphy, (7) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) juga merupakan salah satu standar yang juga digunakan sebagai diagnosis pada batu saluran empedu, dan juga sering dijadikan sebagai salah satu prosedur terapi utama pada batu empedu. (8) Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC). 2 metode yang terakhir merupakan metode yang sangat berisko untuk timbul komplikasi seperti peradangan, bleeding, perforasi, ataupun lainnya.(17)
2.1.10 Tatalaksana Penyakit batu empedu
Batu Empedu dapat dicegah dengan perbaikan gaya hidup, yaitu dengan mengurangi pemasukan kalori total. Selain itu, dapat diberikan juga terapi pencegahan pembentukan batu empedu pada pasien yang berisiko tinggi, maka dapat diberikan ursodeoxycholic acid (UDCA) dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/ hari secara oral. UDCA ini bekerja dengan mengurangi saturasi kolesterol di empedu,
menstimulasi produksi kristal lamelar cair pada empedu sehingga akan terjadi dispersi kolesterol, dan juga mengurangi nukleasi kristal kolesterol. Obat ini juga dapat di indikasi pada batu empedu dengan ukuran <10 mm, obat diberikan sampai batu berukuran sekitar kurang dari <5 mm, dan kurang efektif jika diberikan pada batu dengan ukuran >15 mm. (19)
Pada batu empedu simtomatik, untuk mengatasi keluhan kolik bilier, dapat diberikan terapi emergensi dengan 2 pilihan obat, yaitu spasmolitik, atau golongan NSAID (seperti diklofenak 75 mg IM, atau metamizol 1 gram IV).
Rekomendasi kolesistektomi pada pasien batu empedu berhubungan dengan 3 faktor yaitu: (16)
(1) munculnya gejala yang bisa melihat keluhan pasien ringan atau berat yang berhubungan dengan aktivitas rutinnya,
(2) munculnya komplikasi batu empedu (seperti riwayat kolesistitis akut atau kronik, pankreatitis, atau fistula kandung empedu),
(3) terdapat penyakit yang mendasari yang dapat meningkatkan risiko komplikasi batu empedu.
Indikasi lainnya dari kolesistektomi adalah apabila diameter batu empedu berukuran >3 cm dan apabila menderita batu empedu kongenital. Kolesistektomi dengan laparaskopi adalah pendekatan terapi untuk pengangkatan kandung empedu bersamaan dengan batunya, dimana terapi ini sekarang merupakan terapi pilihan untuk batu empedu simtomatik. Dikatakan pilihan, karena kolesistektomi dengan laparoskopi mempunyai tingkat penyembuhan lebih cepat dan waktu di rumah sakit lebih cepat jika dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka. Batu empedu asimtomatik dengan belum munculnya komplikasi batu empedu maka tidak di indikasikan melakukan kolesistektomi, kecuali jika diameter batu sudah lebih dari > 3 cm, maka boleh dilakukan kolesistektomi karena ditakutkan akan menjadi kanker kandung empedu.(8)
2.1.11 Komplikasi Batu Empedu
Komplikasi dari batu empedu yang cukup sering adalah kolesistitis. Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis akut. Komplikasi lain dapat timbul akibat batu yang berpindah-pindah. Komplikasi yang dapat timbul ialah kolangitis, dan pankreatitis akut. Pada Kolangitis akut dapat dikenal gejala Trias Charcot, terdiri dari nyeri persisten, demam dan ikterus. Diagnosis dini dari komplikasi ini adalah dengan USG atau MRCP. Terapinya mencakup terapi suportif dan kolesistektomi (apabila sudah gawat darurat). (17)
2.1.12 Prognosis Batu empedu
Prognosis kolelitiasis dengan pengobatan adalah baik. Tingkat mortalitas setelah terapi bedah adalah kurang dari 0,1%. Seringkali, setelah kolesistektomi pasien mengeluh nyeri persisten atau rekurens, yang biasa disebut “sindrom post-kolesistektomi”. Bila sudah timbul komplikasi berupa kolesistitis akut, maka prognosis bisa menjadi dubia atau malam, bahkan tingkat mortalitas dapat lebih dari >50%. Kolesistitis tanpa kolesistektomi tingkat kekambuhannya sekitar 60% selama 6 tahun. (21)
2.2 Dislipidemia
2.2.1 Sintesis Kolesterol di Hepar
Kolesterol merupakan lipid amfipatik dan merupakan komponen struktural esensial pada membran dan lapisan luar lipoprotein plasma. Senyawa ini disintesis di jaringan dari asetil koA, dan merupakan prekursor dari beberapa hal, seperti kortikosteroid, hormon seks, dan asam empedu. LDL Plasma berguna untuk membawa kolesterol dan ester kolesterol ke banyak jaringan, sedangkan HDL plasma membawa kolesterol bebas dari jaringan untuk diangkur ke hati.
Biosintesis kolesterol dibagi menjadi 5 tahap: (1) Biosintesis mavelonat, berawal dari asetil KoA yang diubah menjadi asetoasetilKoA dan dikatalisis oleh HMG-KoA reduktase menjadi mevalonat, sintesis HMG-KoA reduktase ini sendiri dihambat oleh mavelonat dan kolesterol.
(2) Pembentukan unit isoprenoid, terjadi fosforilasi mevalonat menjadi isopentenil difosfat. (3) Enam unit isoprenoid membentuk skualen. (4) Pembentukan lanosterol, setelah melalui proses oksidase dan proses dengan enzim oksidoskualen maka terbentuk lanosterol. (5) Pembentukan kolesterol, lanosterol berubah menjadi zimosterol, lalu menjadi desmosterol dan mengalami proses reduksi menjadi kolesterol. Peningkatan kolesterol sel dapat terjadi karena penyerapan lipoprotein yang mengandung kolesterol oleh reseptor (contoh Reseptor LDL), penyerapan kolesterol bebas dari lipoprotein ke membrane sel, atau hidrolisis ester kolesteril oleh enzim. Sedangkan penurunan kolesterol sel dapat terjadi karena efluks kolesterol dari membran ke HDL, atau dapat juga karena pemakaian kolesterol untuk steroid/asam empedu/lainnya. (22)
Gambar 2.4 Sintesis Kolesterol di Jaringan (Marks, 2010)22
Dalam makanan terkandung ester kolesterol, yang nantinya akan dihidrolisis menjadi kolesterol dan diserap oleh usus, dan mengalami esterifikasi dengan asam lemak rantai panjang di mukosa usus. Sebagian besar kolesterol disalurkan ke hati dalam bentuk chylomicron remnants, dan sisanya disekresikan oleh hati dalam bentuk VLDL, lalu menjadi IDL,
dna akhirnya LDL yang diserap oleh reseptor LDL di hati dan jaringan ekstrahepatik.
Asam empedu primer disintesis di hati dari kolesterol, dalam bentuk asam kolat dan asam kenodeoksikolat. 7α-hidroksilase pada kolesterol adalah tahap regulatorik pertama dan terpenting dalam biosintesis asam empedu dan dikatalisis oleh kolesterol 7α-hidroksilase. Asam empedu primer maupun sekunder diserap semata-mata di ileum, hal ini disebut sirkulasi enterohepatik. Untuk lebih jelasnya, biosintesis asam empedu dapat dilihat pada gambar 2.5 (23)
Gambar 2.5 Biosintesis dan Penguraian Asam Empedu (Murray, 2013)23
2.2.2 Definisi Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam darah. Beberapa kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL.(24)
Agar lipid dapat larut dalam darah, molekul lipid harus terikat dengan molekul protein. Senyawa lipid dengan molekul protein dikenal sebagai lipoprotein. Terdapat lima jenis lipoprotein yaitu kilomikron, very low density lipo protein (VLDL), intermediate density lipo protein (IDL), low-density lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein (HDL). Dari total serum kolesterol, kolesterol LDL berkontribusi 60-70 %, mempunyai apolipoprotein yang dinamakan Apo B-100 (apo B). Kolesterol LDL merupakan lipoprotein aterogenik utama, dan dijadikan target utama untuk penatalaksanaan dislipidemia. Kolesterol HDL berkontribusi pada 20-30% dari total kolesterol serum. Apolipoprotein utamanya adalah Apo A-1 dan Apo A-II.(25)
Tabel 2.2 Jenis lipoprotein, apoprotein, dan kandungan lipid (Arsana, 2015)25
Jenis Lipoprotein
Jenis Apoprotein
Kandungan Lipid (%)
Trigliserida Kolesterol Fosfolipid
Kilomikron Apo B-48 80-95 2-7 3-9
VLDL Apo B-100 55-80 5-15 10-20
IDL Apo B-100 20-50 20-40 15-25
LDL Apo B-100 5-15 40-50 20-25
HDL Apo A-1 dan Apo A-2
5-10 15-25 20-30
2.2.3 Epidemiologi Dislipidemia
Data dari American Heart Association tahun 2014 memperlihatkan prevalensi dari berat badan berlebih dan obesitas pada populasi di Amerika adalah 154.7 juta orang yang berarti 68.2 % dari populasi di Amerika Serikat yang berusia lebih dari 20 tahun. Populasi dengan kadar kolesterol ≥ 240 mg/dl diperkirakan 31.9 juta orang (13.8 %) dari populasi.
Data di Indonesia yang diambil dari riset kesehatan dasar nasional (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan ada 35.9 % dari penduduk
Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun dengan kadar kolesterol abnormal (berdasarkan NCEP ATP III, dengan kadar kolesterol ≥ 200 mg/dl) dimana perempuan lebih banyak dari laki-laki dan perkotaan lebih banyak dari di pedesaan. Data RISKESDAS juga menunjukkan 15.9 % populasi yang berusia ≥ 15 tahun mempunyai proporsi LDL yang sangat tinggi (≥ 190 mg/dl), 22.9 % mempunyai kadar HDL yang kurang dari 40 mg/dl, dan 11.9% dengan kadar trigliserida yang sangat tinggi (≥ 500 mg/dl).(24)
2.2.4 Klasifikasi Dislipidemia
Berdasar patologiknya, dislipidemia digolongkan menjadi 2, 1) Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer adalah dislipidemia akibat kelainan genetik. Terdapat 2 jenis yaitu kategori sedang dan berat. Dislipidemia sedang dapat disebabkan karena hiperkolesterolemia poligenik dan dislipidemia kombinasi familial. Dislipidemia berat umumnya disebabkan karena hiperkolesterolemia familial, dislipidemia remnant, dan hipertrigliseridemia primer.
2) Dislipidemia Sekunder
Dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang terjadi akibat suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme, sindroma nefrotik, diabetes melitus, dan sindrom metabolik. Penyebab dari dislipidemia sekunder sendiri adalah:(25)
a. Diet. Mengkonsumsi makanan berkalori tinggi, lemak saturasi tinggi bahkan seorang yang anoreksia dapat menimbulkan peningkatan kolesterol LDL. Selain itu, makanan rendah lemak dapat juga menimbulkan penurunan kolesterol HDL.
b. Obesitas
c. Diabetes Mellitus
d. Hipotiroidism. Biasa terjadi genetik, dimana akan berefek kepada penurunan sintesis reseptor LDL di hepar.
e. Penyakit ginjal kronik. Terdapat peningkatan kreatinin klirens disertai dengan hipertrigliseridemia dan penurunan kolesterol HDL.
f. Penyakit Sirosis hepar, meningkatkan trigliserida dan LDL g. Cushing Syndrome. Efek glukokortikoid berlebih dapat
mengakibatkan peningkatan VLDL dan
hipertrigliseridemia. h. Lipodistrofi
i. Obat- obatan, seperti -blocker (terutama yang non-kardioselektif), diuretic thiazide, estrogen eksogen, glukokortikoid, isotretinoin, dan golongan inhibitor protease.
j. Kehamilan. Pada trimester dua terjadi peningkatan kolesterol, dan juga pada pertengahan trimester tiga terjadi peningkatan kolesterol LDL diikuti dengan trigliserida.
2.2.5 Pemeriksaan laboratorium pada dislipidemia
Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan: kadar kolesterol total , kolesterol LDL , kolesterol HDL , dan trigliserida plasma. Untuk pemeriksaan trigliserida membutuhkan puasa 12 jam sebelum pengambilan darah, begitu juga dengan kolesterol LDL. Sedangkan untuk kolesterol total dan kolesterol HDL dapat dilakukan dalam keadaan tidak puasa.(26)
Tabel 2.3 Interpretasi kadar lipid plasma berdasarkan NECP (National Cholesterol Education Program) (Sosialine, 2011)26
Profil Lipid Nilai Laboratorium Kesimpulan Interpretasi klinis Kolesterol Total <200 mg/dl Normal - 200-239 mg/dl Borderline >240 mg/dl Tinggi Kolesterol LDL <100 mg.dl Optimal 100-129 mg/dl Mendekati optimal 130-159 mg/dl Borderline
160-189 mg/dl Tinggi Dapat terjadi pada hiperlipidimia bawaan atau pada penyakit jantung koroner. Dan DM >190 mg/dl Sangat tinggi
Trigliserida <150 mg/dl optimal 150-199 mg/dl Borderline
200-499 mg/dl Tinggi Dapat terjadi pada anoreksia nervosa, obstruksi bilier, DM, hiperproteinemia, obat steroid >500 mg/dl Sangat tinggi Kolesterol HDL
<40 mg/dl Rendah Sirosis hepar, DM, dll
2.2.6 Terapi untuk Dislipidemia
Pengelolaan pasien dislipidemia terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Dianjurkan untuk memulai terapi non farmakologis terlebih dahulu selama kurang lebih 3 bulan, baru jika belum ada atau minimal perbaikan, maka tambahkan terapi farmakologi yaitu obat penurun lipid. Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya hidup, yang terdiri dari:
a. Aktivitas Fisik. Meliputi program latihan yang mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang (menurunkan 4 – 7 kkal/menit), 4 – 6 kali/minggu, dengan pengeluaran minimal 200 kkal/hari. Latihan yang disarankan adalah jalan cepat, sepeda statis ataupun berenang.
b. Terapi Nutrisi. Diet rendah kalori yang terdiri dari buah-buahan dan sayuran (≥ 5 porsi/hari), biji-bijian (≥ 6 porsi/hari), ikan dan daging tanpa lemak. Batasi asupan lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol. Makronutrien yang menurunkan kadar LDL-Kolesterol harus mencakup tanaman sterol (2 gram/hari) dan serat larut air (10 – 25 gram/hari). (27)
c. Merokok. Karena merokok memiliki efek negatif pada HDL-Kolesterol dan trigliserida. Berhenti rokok minimal 30 hari dapat meningkatan HDL-Kolesterol secara signifikan. (28)
Tabel 2.4 Pengaruh perubahan gaya hidup terhadap kadar lipid (Reiner, 2011)27
Pengaruh perubahan gaya hidup terhadap penurunan kolesterol total dan LDL
Mengurangi diet lemak jenuh +++
Mengurangi diet lemak trans +++
Meningkatkan asupan serat ++
Mengurangi diet kolesterol ++
Konsumsi makanan mengandung fitosterol +++
Pengaruh perubahan gaya hidup terhadap penurunan trigliserida
Menurunkan berat badan +++
Mengurangi asupan alcohol +++
Mengurangi asupan mono dan disakarida +++
Diet rendah karbohidrat ++
Pengaruh perubahan gaya hidup terhadap peningkatan HDL
Mengurangi asupan lemak trans +++ Meningkatkan aktivitas fisik +++
Terapi farmakologi dari dyslipidemia berupa obat penurun lipid. Macam macam obat penurun lipid dapat dilihat pada gambar 6. Terdapat beberapa golongan dari obat penurun lipid ini, yaitu:
a. Bile Acid Sequestrans (Golongan Resin)
Bekerja mengikat asam empedu di usus halus, sehingga asam empedu yang dikembalikan ke hati akan menurun, lalu akan menstimulasi pemecahan kolesterol darah menjadi asam empedu, hal inilah yang akan menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Terdapat 2 sediaan yaitu kolestiramin 8 – 16 gr/hari dan kolestipol 10 – 20 gr/hari ,
Menghambat enzim HMG-CoA Reduktase sehingga akan menurunkan sintesis kolesterol di hati, dimana akan menurunkan sintesis Apo B100. Selain itu, akan berefek juga ke peningkatan reseptor LDL di permukaan hati, menyebabkan LDL-Kolesterol dalam darah akan ditarik ke hati. Dua hal ini akan menurunkan kadar LDL-Kolesterol dalam darah.(29) Adapun klasifikasi dan sediaan statin dapat dilihat di gambar 2.7
Tabel 2.5 Klasifikasi statin menurut ACC/AHA 2013 (Tone, 2013)29
Statin high intensity Statin moderate intensity Statin low intensity Menurunkan kolesterol LDL >50% Menurunkan kolesterol LDL 30 – 50% Menurunkan kolesterol LDL <30% Atorvastatin 40-80 mg Rosuvastatin 20-40 mg Atorvastatin 10-20 mg Rosuvastatin 5-10 mg Simvastatin 20-40 mg Lovastatin 40 mg Simvastatin 10 mg Lovastatin 20 mg Fluvastatin 20-40 mg
c. Derivat Asam Fibrat
Bekerja dengan mengaktifkan lipoprotein lipase sehingga akan memecahkan trigliserida dalam darah, yang akan membuat penurunan kadar trigliserida dalam plasma. Selain itu, obat ini juga meningkatkan kadar HDL-Kolesterol dengan meningkatkan Apoprotein A-1 dan A-II. Sediaan obat golongan ini yang tersedia di Indonesia adalah Gemfibrozil 600 – 1200 mg dan fenofibrat 160 mg.(30)
d. Asam Nikotinik
Bekerja dengan menghambat enzim hormon sensitif lipase di jaringan adipose sehingga mengurangi asam lemak bebas. Dari penurunan asam lemak bebas ini, akan berefek ke penurunan sintesis VLDL di hati dan mempengaruhi ke kadar LDL-Kolesterol dan trigliserida di serum yang juga akan menurun. Obat ini bisa juga meningkatkan kadar HDL-Kolesterol. Salah satu sediaannya
adalah niasin, dimana dosisnya mulai dari dosis rendah lalu ditingkatkan (dari 50-100 mg, ditingkatkan 1 – 2,5 gram 3 kali pemberian)(31)
e. Ezatimibe
Bekerja di usus halus dengan menurunkan absorpsi kolesterol di usus halus, sering dikombinasikan dengan golongan penurun lipid lainnya seperti golongan statin. Sediaan obatnya adalah 10 mg/hari.
f. Asam Lemak Omega 3 (Minyak Ikan)
Menurunkan sintesis VLDL dan kadang juga kolesterol.
Tabel 2.6 Obat obat hipolipidemik (Merz, 2009)31 Golongan
obat
Efek terhadap
lipid Efek samping Kontraindikasi Statin LDL < 18-55% HDL > 5-15% TG < 7-30% Miopati, peningkatan enzim hati
Penyakit hati akut atau kronik Bile acid sequestrant LDL < 15-30% HDL > 3-5% Gangguan pencernaan, konstipasi TG>400 mg/dl Disbetalipoproteinemia Asam nikotinat LDL < 5-25% HDL > 15-35% TG < 20-50% Flushing, hiperglikemia, hiperurisemia
Penyakit liver kronik, penyakit gout yang berat Fibrat LDL < 5-20% HDL >10-20% TG < 20-50% Dispepsia, batu empedu, miopati
Penyakit ginjal dan hati yang berat
2.2.7 Hubungan Dislipidemia dengan Batu Empedu
Sekitar setengah dari pasien batu empedu akan mempunyai sebuah profil lipid abnormal. Ketika konsentrasi kolesterol melebihi kelarutan kapasitas empedu, kolesterol tidak akan tersebar dan bernukleasi menjadi kristal monohidrat kolesterol padat. 3 kondisi yang membuat pembentukan
batu empedu kolesterol adalah supersaturasi empedu oleh kolesterol, nukleatif aktif yang cepat, dan kristal kolesterol berada di kandung empedu dalam cukup lama sehingga beragregasi menjadi sebuah batu. Selain itu, stasis kandung empedu memegang peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan batu.
Pada sebuah penelitian Bikha Ram et al di Pakistan tahun 2010, dari 72 pasien, ditemukan 81% pasien batu empedu mengalami dislipidemia.(4) Selain itu juga, pada penelitian Ajaz Malik et al di India tahun 2011, dari 73 pasien batu empedu, terdapat 76,7% yang memiliki abnormalitas fungsi lipid atau mengalami dislipidemia.(5)
Studi eropa terbaru menunjukkan bahwa hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia, dan level HDL yang rendah adalah hal yang biasa ditemukan pada pasien kolelitiasis. Di sebuah jurnal penelitian disebutkan bahwa pada preoperative (masa sebelum operasi), 80% wanita dan 70% pria penderita batu empedu mempunyai data profil lipid yang abnormal. Yang paling khas adalah hiperkolesterolemia (80% pada wanita dan 71,42% pada pria penderita batu empedu mengalami peningkatan kolesterol), diikuti oleh hipertrigliseridemia (44,4 % pada wanita dan 39,28% pada pria penderita batu empedu mengalami peningkatan level trigliserida). Studi tersebut juga menyebutkan peningkatan profil lipid ini akan menurun mulai dari hari ke-3 post-operative kolesistektomi, dan akan terus turun hinggal 6 bulas pasca kolesistektomi. Hal ini dapat dikarenakan perubahan sirkulasi enterohepatik.(5)
Tabel 2.7 Proporsi profil lipid pada preoperasi kolesistektomi (Malik, 2011)5
Lipid Profile Female Male
Cholesterol > 5 mmol/L 36/45 (80%) 20/28 (71,42%) Triglycerides >1,92 mmol/L 20/45 (44,4%) 11/28 (39,28%) HDL Cholesterol > 1 mmol/L 5/45 (11,11%) 5/28 (17,85%) LDL Cholesterol > 3 mmol/L 10/45 (22,22%) 3/28 (10,71%)
2.3 Diabetes mellitus
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association (ADA) adalah kumpulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013). Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes melitus (DM) adalah 6,9%. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.(32)
2.3.2 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2
Patogenesis DM Tipe 2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) , yaitu sebagai berikut:(33)
a) kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor .
b) Liver
Pada DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang akan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (hepatic glucose production) meningkat.
c) Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
d) Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
e) Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencern juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
f) Sel alfa pankreas
Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
g) Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. (34)
h) Otak
Pada individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Gambar 2.6 Organ yang Berperan dalam hiperglikemia pada DM Tipe 2 (DeFronzo, 2009)34
2.3.3 Gejala Klinis Diabetes Mellitus
Pada pasien diabetes mellitus, terdapat 2 keluhan yaitu keluhan klasik DM dan keluhan lainnya. Adapun keluhan klasik DM merupakan gejala khas dari DM, yang bila ada keluhan tersebut maka kemungkinan DM dapat ditegakkan. Keluhan klasik DM tersebut adalah:(35)
a) Polifagi (banyak makan ). Disebabkan karena menurunnya intake glukosa ke dalam jaringan, sehingga menstimulasi pusat lapar yang membuat pasien akan banyak makan.
b) Poliuria. Disebabkan karena glokosa dalam urin yang banyak, sehingga menarik air ke lumen tubulus ginjal
c) Polidipsi. Disebabkan karena respon dehidrasi karena kehilangan banyak cairan terutama melalui urin
d) Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya. Disebabkan karena lipolisis dan proteolisis yang meningkat
Sedangkan keluhan lainnya dari DM timbul ketika sudah timbul beberapa komplikasi DM seperti neuropati yang menimbulkan rasa kesemutan, retinopati yang menimbulkan keluhan penglihatan kabur, disfungsi ereksi atau pruritus vulvae, dan luka yang sulit sembuh.
2.3.4 Diagnosis Laboratorium pada Diabetes mellitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.(32)
Adapun kriteria diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium glukosa adalah: (33)
1) pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak adanya asupan kalori minimal 8 jam, atau
2) Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau
3) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik, atau
4) Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
Tabel 2.8 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes (Soelistijo, 2015)33
Klinik HbA1c (%) Glukosa Darah
Puasa (mg/dl)
Glukosa plasma 2 jam setelah TTGO
(mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Pre Diabetes 5,7 – 6,4 100- 125 140 – 199
Normal <5,7 <100 <140
2.3.5 Komplikasi pada Diabetes mellitus
Komplikasi dari diabetes mellitus sendiri terdiri dari beberapa golongan yaitu:(24)
a. Komplikasi akut. Terdiri dari ketoasidosis diabetik, hyperosmolar non ketotik dan hipoglikemia
b. Komplikasi kronik. Terdiri dari makroangiopati, pembuluh darah jantung (pembuluh besar dan coroner), pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak
c. Mikroangiopati . terdiri dari nefropati dan retinopati diabetik.
d. Penyakit Neuropati
e. Lainnya, seperti kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetic dan disfungsi ereksi
2.3.6 Hubungan Diabetes melitus dengan batu empedu
Suatu studi menyebutkan bahwa morbiditas pasien batu empedu pada grup diabetes lebih tinggi yaitu 21 persen dibandingkan dengan grup non diabetes yang hanya 9 persen. Beberapa penelitian di India menunjukkan prevalensi batu empedu dengan diabetes melitus sebesar 12,77%. Tahun 2005, terdapat 31% pasien batu empedu asimtomatik dengan diabetes melitus tipe 2. Dan terakhir pada 2008. Pasien diabetes melitus dengan gambaran batu empedu pada USG sebesar 29%.(7)
Pasien diabetes meningkatkan risiko pembentukan batu empedu, melalui 2 mekanisme. (1) Peningkatan sintesis kolesterol total di tubuh yang memudahkan pembentukan batu kolesterol, (2) Pasien diabetes memiliki kandung empedu lebih besar dengan kemungkinan penurunan motilitas yang meningkatkan pembentukan Kristal kolesterol. Batu empedu pada diabetes mellitus tipe II lebih bersaturasi di banding pada diabetes mellitus tipe I. Faktor utama kontraksi kandung empedu adalah stimulasi nervus vagus dan hormone kolesistokinin (CCK). Kemampuan motilitas atau pengosongan kandung empedu yang berkurang (hipomotilitas kandung empedu) pada pasien DM berhubungan dengan komplikasi neuropati diabetik yang menyerang saraf autonom, yang lebih dikenal dengan gastroparesis diabetik.(36) Dimana pasien DM dengan neuropatik autonom memiliki CCK yang sedikit atau pengeluaran CCK yang berkurang, sehingga menyebabkan kontraktilitas kandung empedu berkurang.(37)
2.4 Pandangan dokter muslim terhadap batu empedu
Sebagaimana yang kita tahu bahwa salah satu yang menyebabkan batu empedu adalah pola makan berlebih yang tinggi kolesterol, oleh karena itu salah satu pencegahannya dengan melakukan modifikasi gaya hidup. Hal ini juga dijelaskan pada QS. Al A’raaf ayat 31 yang artinya sebagai berikut :
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan “ (Al A’raaf : 31)
Dari ayat diatas, dapat kita ketahui bahwa Allah tidak menyukai hambanya yang berlebih-lebihan terutama saat makan. Oleh karena itu, kita sebagai hambanya janganlah berlebihan ketika makan agar terhindar dari segala penyakit. Sebagai contoh, ketika kita berlebihan dalam memakan makanan berlemak, maka dapat timbul obesitas, dislipidemia ataupun DM, yang sebagaimana kita tahu ketiga hal ini merupakan faktor risiko dari batu empedu.
2.5 Kerangka Teori
2.6 Kerangka Konsep
Dislipidemia Diabetes Mellitus
2.7 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara pengukuran Skala
1 Batu Empedu partikel keras yang berkembang di dalam kandung atau saluran empedu Rekam Medis dan data radiologis (USG abdominal)
Data dari rekam medis mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab jika
ada, hasil USG
abdominal, atau sudah menjalani operasi kolesistektomi Nominal (Ya atau tidak) 2 Dislipidemia Kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam dalam, dimana mencakup kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL Rekam Medis dan Data Laboratorium Berdasarkan anamnesis yang memiliki riwayat dislipidemia dan juga berdasarkan data nilai kolesterol darah, trigliserida, LDL, dan HDL yang diambil dari laboratorium pemeriksaan profil lipid darah -Kolesterol Total Meningkat: ≥ 200 mg/dl -Trigliserida Meningkat: ≥ 150 mg/dl -Kolesterol LDL Meningkat: ≥ 100 mg/dl -Kolesterol HDL Menurun: <40 mg/dl Nominal (dislipidemia atau tidak dislipidemia) Normokolest erol atau high kolesterol LDL Normal atau High LDL HDL Normal atau Low HDL TG<150 atau TG>150