• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penilaian Kawasan Wisata

Pengembangan dan penataan kawasan wisata alam di Danau Toba Sumatera Utara dengan obyek kawasan wisata Parapat diteliti berdasarkan penilaian terhadap aspek ekologis, aspek wisata, dan aspek sosial ekonomi masyarakat.

5.1.1. Aspek Ekologis

Dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata Parapat sebagai wisata alam perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas ekologisnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan pada setiap elemen ekologisnya. Parameter penilaian dibagi berdasarkan kualitas fisik sub DAS dan kualitas air. Penilaian kualitas air terbagi menjadi dua yaitu kualitas fisik air dan kualitas kimia air.

a. Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon

Pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan harus memperhatikan kualitas fisik sub DAS. Fisik sub DAS berfungsi sebagai wadah untuk aktivitas wisata di kawasan tersebut. Suatu kawasan yang direncanakan untuk wisata alam sebaiknya mempunyai kualitas fisik yang baik. Untuk itu maka perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas fisik sub DAS, sehingga dapat diketahui tingkat kerusakan pada setiap elemen fisiknya dan dapat dilakukan tindakan perbaikan pada sub DAS tersebut. Hal ini penting untuk mengembalikan kualitas fisik sub DAS, agar kegiatan wisata alam dapat dilakukan di kawasan tersebut dan terus berkelanjutan.

Hasil penilaian menunjukkan bahwa secara umum kualitas fisik sub DAS Naborsahon dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata alam (Tabel 15). Program yang harus dilakukan untuk meningkatkan nilai kesesuaian wisata menjadi tinggi adalah dengan perbaikan dan penataan secara fisik dan non fisik yaitu kesadaran masyarakatnya, dan pembangunan fasilitas dan aktivitas yang mendukung peningkatan kualitas fisik sub DAS. Hal ini dilakukan agar kegiatan wisata alam yang ditampung di kawasan tersebut, aman dan nyaman bagi wisatawan yang berkunjung.

(2)

Tabel 15. Hasil Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon Daerah Desa/Kelurahan Kemiringan lereng Kepekaan tanah Penutupan lahan Ketinggian tempat Curah hujan Kesesuaian wisata N S N S N S N S N S N K Hu 1. Simp. Bolon 15 TS 10 TS 45 S 20 KS 30 S 120 S T 2. Girsang 30 KS 10 TS 45 S 20 KS 20 KS 125 S Hi 3. Parapat 45 S 10 TS 30 KS 30 S 20 KS 135 S Hi 4. Tigaraja 45 S 20 KS 15 TS 40 SS 20 KS 140 S Hi 5. P. Ajibata 45 S 20 KS 30 KS 30 S 20 KS 145 S

Sumber : Olahan data lapang, (2008)

Keterangan : N= nilai, S = Skor (SS=sangat sesuai, S=sesuai, KS=kurang sesuai, TS=tidak sesuai), K = kategori (T=tinggi, S=sedang, R=rendah).

Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

Berdasarkan penilaian kualitas fisik menunjukkan bahwa secara umum fisik sub DAS Naborsahon memiliki kesesuian wisata sedang. Hasil penilaian menunjukkan daerah hilir memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan daerah hulu dan tengah. Hal ini disebabkan karena kemiringan lereng dan ketinggian tempat pada daerah tersebut relatif datar dan bergelombang dan sesuai sebagai kawasan wisata. Sedangkan pada daerah hulu dan tengah penutupan lahan memiliki nilai yang tinggi karena pada daerah tersebut merupakan daerah yang harus di konservasi dan juga merupakan kawasan lindung sehingga potensi yang ada dapat dikembangkan untuk atraksi hiking dan berkemah yang bersifat edukasi.

Kemiringan lereng di lokasi penelitian adalah datar sampai curam, yaitu 0-45% dan ketinggian lereng 903–1.981 m dpl, dengan kondisi topografi didominasi oleh perbukitan dan pegunungan (LTEMP 2004). Kawasan yang memiliki ketinggian di atas 1000 m dpl berpotensi untuk dijadikan atraksi wisata seperti pegunungan. Kegiatan wisata di daerah pegunungan sangat beragam, yaitu kegiatan mendaki gunung, menikmati pemandangan pada saat matahari terbit dan terbenam, hingga kegiatan yang lebih kearah pendidikan dan ilmiah seperti pengamatan bentukan alam yang terjadi dan sebagainya. Sedangkan topografi curam berbahaya untuk wisata tetapi sangat bermanfaat untuk menikmati pemandangan danau, sehingga lokasi ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi kawasan wisata dengan fasilitas climbing dan out bond tetapi penataannya disesuaikan dengan daya dukung lahannya. Gambar 7 memperlihatkan bentukan alam yang terjadi akibat perbedaan ketinggian yang terdapat di lokasi penelitian.

(3)

Gambar 7. Potensi Wisata yang Terjadi Akibat Perbedaan Kemiringan Lereng

Sifat dan karakteristik tanah dan curah hujan dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian wisata. Berdasarkan pada klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I Medan 1987, wilayah sub DAS Naborsahon memiliki jenis tanah podsolik, litosol dan regosol dengan klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi, peka sampai sangat peka, sedangkan curah hujan tahunan yang terjadi pada lokasi ini adalah sedang dan tinggi berkisar antara 2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun (LTEMP 2004).

Berdasarkan hal tersebut dan ditambah dengan topografi berbukit dan cukup curam menunjukkan bahwa pada kawasan sub DAS Naborsahon berpotensi cukup tinggi bahaya erosinya. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Purnama 2005).

Kemiringan lereng merupakan penentu utama kesesuaian penggunaan lahan dan terjadinya erosi. Lereng yang landai maka erosi yang terjadi sangat rendah, sedangkan lereng yang miring dan curam maka erosi sangat tinggi (Arsyad 2006). Kegiatan manusia juga memberi pengaruh yang cukup besar pada perubahan laju erosi. Indikasi tingginya laju erosi lainnya ditandai dengan banyaknya lahan yang mempunyai lapisan tanah yang sangat tipis terutama pada daerah perbukitan dengan lereng yang curam, bahkan di beberapa lokasi yang muncul di permukaan hanya berupa batuan pembentuk tanah tanpa adanya lapisan tanah sedikitpun, karena telah mengalami proses erosi yang cukup tinggi secara terus-menerus. Keberadaan semak belukar dan alang-alang/padang rumput yang cukup luas, juga merupakan indikasi tingginya laju erosi sehingga lahan yang telah terbuka sulit

(4)

untuk dapat membentuk formasi hutan alam kembali karena lapisan tanahnya relatif tipis (LTEMP 2004), (Gambar 8).

Untuk mencegah bahaya erosi/longsor dan kecelakaan pada penduduk setempat dan wisatawan, dilakukan tindakan konservasi pada daerah-daerah terbuka terutama pada daerah tebing yang peka dan sangat peka erosi, menerapkan sistem pertanian yang konservatif (JICA 2003), penanaman terassering pada lahan berbukit yang berfungsi untuk memperkuat daya tahan tanah terhadap erosi, serta menghindari pembangunan struktur berat pada daerah kemiringan lereng yang >15%. Tindakan konservasi dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi yang memiliki kemampuan mengikat air dan sistem perakaran yang dalam sehingga air tanah dapat dikendalikan dengan baik. Menurut John dan Kathy (1990), vegetasi yang sesuai dengan daerah tropis adalah vegetasi yang memiliki kemampuan evapotranspirasi rendah dan meranggas di musim kemarau. Hal ini untuk mengurangi terjadinya kehilangan air melalui penguapan vegetasi. Jenis-jenis vegetasi ini umumnya memiliki karakter tanaman dengan daun yang memiliki lapisan lilin, berbulu, dan memiliki permukaan daun yang tidak lebar/berjarum seperti cemara, pinus dan bambu (John dan Kathy (1990).

Gambar 8. Kondisi Areal yang Terkikis Akibat Erosi

Keberadaan vegetasi hutan dengan kondisi topografi curam sangat penting untuk meningkatkan kemampuan resapan, menekan aliran permukaan, menekan laju erosi yang tinggi dan mencegah terjadinya longsoran. Aliran permukaan menjadi energi dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan mengangkutnya ke tempat lain sebagai bagian dari proses erosi (Noordwijk 2004). Perakaran hutan mampu meningkatkan resapan lapisan tanah terhadap air hujan.

(5)

Menurut Sukmana (2007), penutupan lahan di sub DAS Naborsahon terdiri dari hutan tanaman industri, hutan lahan kering sekunder, semak belukar, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, lahan terbuka, dan permukiman/hotel. Pada gambar 9 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan klasifikasi citra landsat tahun 2006 dan Tabel 16 menunjukan luasan dari masing-masing klasifikasi penutupan lahan tersebut.

Berdasarkan penilaian penutupan lahan menunjukkan bahwa di Desa Sipangan Bolon memiliki penutupan lahan yang tinggi dan daerah lainnya cukup beragam. Namun pada saat ini telah banyak mengalami perubahan, yaitu dengan

(6)

semakin sedikitnya kawasan yang masih berhutan asli, sisanya terdiri dari perladangan dan lahan kritis yang perlu upaya rehabilitasi, (Aswandi dan Sunandar 2007). Ciri-ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dengan produktivitas yang rendah, dan bahkan muncul bebatuan di permukaan tanah. Umumnya lahan kritis tersebut ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasi (Aswandi et al. 2005).

Tabel 16. Luas Penutupan Lahan di Sub DAS Naborsahon Klasifikasi tutupan lahan Luas

Ha % 1. Hutan lahan kering sekunder 2034.54 19.69

2. Hutan tanaman industri 1941.88 18.79

3. Lahan terbuka 100.96 0.97

4. Permukiman 257.36 2.49

5. Pertanian lahan kering 2449.46 23.71

6. Pertanian lahan kering campur semak 2375.95 22.99

7. Semak belukar 1170.70 11.33

Total 10330.9 100

Sumber: Data hasil olahan, 2008.

Hasil klasifikasi penutupan lahan terlihat bahwa konversi hutan alam banyak berubah menjadi lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat perilaku masyarakat yang membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa memperhatikan kemampuan lahan. Masyarakat membuka lahan dengan membakar yang selanjutnya akan dibiarkan jika lahan tersebut tidak produktif dan lahan berubah menjadi terbuka dan tandus yang ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Sedang konversi lainnya adalah semakin luasnya hutan tanaman industri dengan vegetasi Eucalyptus. Perilaku masyarakat dengan membuka lahan untuk pertanian sangat mengancam kelangsungan keberadaan hutan alam.

Keragaman hayati yang mampu mendukung kehidupan berbagai jenis flora dan fauna adalah hutan alam. Hutan alam yang ada sebagian besar berada dalam Kawasan Lindung yang telah ditata batas dan dikukuhkan, serta sebagian lagi berada dalam areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Keberadaan hutan alam ini telah terancam karena adanya pengkonversian hutan alam untuk dimanfaatkan sebagai perladangan, perkebunan, hutan tanaman bahkan pada tahun-tahun terakhir terdapat indikasi adanya penebangan liar oleh pihak swasta maupun penduduk lokal, yang berakibat pada turunnya aktifitas water surface run

(7)

off, (LTEMP 2004). Hal ini terjadi karena alasan ekonomi yaitu membuka lapangan pekerjaan dan lahan pertanian yang semakin sempit, sehingga bukan hanya menurunkan kualitas dan kuantitas habitat tetapi juga dapat menekan pertumbuhan berbagai jenis flora dan fauna yang ada terutama berbagai jenis/species endemik dilindungi yang harus dijaga kelestariannya.

Penutupan lahan yang bervegetasi rapat dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan adalah kegiatan wisata alam, karena kegiatan wisata alam merupakan suatu perjalanan menuju ke daerah-daerah yang lingkungan alamnya masih asli atau masih sedikit terusik ataupun tercemar. Aktivitas wisata alam yang dapat dilakukan adalah hiking, menjelajah gunung dan hutan, berkemah, dan menikmati pemandangan yang bersifat edukasi berupa pengamatan flora dan fauna karena tata hijau dan keragaman vegetasi hutan dan segala isinya memberikan potensi visual yang menarik untuk dinikmati dan dipelajari, tetapi penataannya disesuaikan dengan daya dukung lahannya.

Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan pertumbuhan areal permukiman baru yang tidak terpola dan tertata. Permukiman dan bangunan yang ada di pinggir danau mengambil sebagian areal badan danau. Adapun upaya perbaikan yang dapat dilakukan adalah penataan kembali pemukiman dan perhotelan yang ada dengan merelokasi kawasan tersebut untuk mengembalikan fungsi garis sempadan danau sebagai kawasan hijau sehingga dapat meningkatkan kualitas fisik DAS dan menjadi obyek dan atraksi wisata.

Dari hasil penilaian kualitas fisik DAS luas kawasan yang memiliki kelas kesesuaian tinggi adalah 4126.34 ha atau 39.9%, sedang 6124.8 ha atau 59.3%, dan rendah 76.79 ha atau 0.8% (Gambar 10). Berdasarkan penilaian tersebut maka sebagai kawasan wisata dibutuhkan penataan dan pengembangan wisata. Usaha yang harus dilakukan adalah perbaikan secara ekologis pada fisik DAS, sebaiknya dilakukan secara alami yaitu dengan penanaman lahan gundul, mempertahankan penutupan vegetasi, meminimumkan bangunan permanen pada tapak yang peka, dan membatasi intensitas penggunaan pengunjung pada daerah yang rawan erosi. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk perbaikan secara struktural selama perbaikan tersebut tidak memberi dampak buruk bagi lingkungan, serta

(8)

mendukung aktifitas wisata. Selain itu perbaikan dapat dilakukan secara non fisik yaitu membuat peraturan yang jelas tentang kelestarian lingkungan dengan melakukan pendidikan dan pengarahan kepada masyarakat untuk berperan aktif didalam menjaga lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan suatu karakter lanskap yang unik, karena karakter lanskap yang unik pada suatu kawasan dapat menjadi unsur pendukung pengembangan kawasan wisata alam (Simonds 2006). Perbaikan dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal. Perbaikan tersebut diperlukan agar wisatawan yang beraktivitas di kawasan ini merasa aman dan nyaman.

Gambar 10. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kondisi Fisik di Sub DAS Naborsahon.

(9)

b. Penilaian Kualitas Air

Penilaian kualitas air dilakukan berdasarkan kualitas fisik air dan kualitas kimia air. Parameter kualitas fisik air adalah warna air, kecepatan arus, sedimentasi dan parameter kualitas kimia air adalah biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD) dan dissolved oxygen (DO). Penilaian kualitas air dilakukan pada sungai Naborsahon dan Danau Toba sebagai muara sungai tersebut. Tabel 17 dan Gambar 11 memperlihatkan hasil penilaian pada lima desa sebagai lokasi penelitian. Hasil penilaian tersebut menunjukkan, empat lokasi yang termasuk dalam kategori sedang (S), dan satu lokasi termasuk dalam kategori rendah (R).

Tabel 17. Hasil Penilaian Kualitas Air

Daerah Desa/Kelurahan

Kualitas fisik Kualitas kimia

Kesesuaian wisata Warna air Kecepatan

arus Sedimentasi BOD COD DO

N S N S N S N S N S N S N K Hu 1. Sipangan Bolon 20 SS 5 TS 10 TS 20 KS 15 S 20 SS 90 S T 2. Girsang 20 SS 5 TS 10 TS 20 KS 15 S 20 SS 90 S Hi 3. Parapat 20 SS 20 SS 20 KS 20 KS 15 S 15 S 110 S Hi 4. Tigaraja 15 S 20 SS 10 TS 20 KS 15 S 10 KS 90 S Hi 5. P. Ajibata 10 KS 15 KS 10 TS 10 TS 10 KS 10 KS 65 R

Sumber : Olahan data lapangan, 2008

Keterangan : N= nilai, S = Skor (SS=sangat sesuai, S=sesuai, KS=kurang sesuai, TS=tidak sesuai), K = kategori (T=tinggi, S=sedang, R=rendah).

Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

Kualitas air, fluktuasi permukaan air dan pengelolaan daerah tepian air merupakan prinsip utama yang harus diperhatikan didalam merencanakan suatu badan air (Harris dan Dines 1988). Air danau merupakan salah satu modal utama dalam pengembangan wisata danau, dimana pantulan cahaya matahari yang mengenai air akan menimbulkan perasaan yang menyenangkan dan efek spirit terhadap pemandangan (Simonds 2006). Berdasarkan hal tersebut maka dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata danau harus memperhatikan dan menjaga kualitas air.

Secara umum hasil pengamatan visual yang dilakukan di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi perairan sungai dan danau adalah jernih. Perairan Ajibata dengan situasi lingkungan pemukiman, perhotelan, pelabuhan kapal dan

(10)

merupakan muara dan hilir sub DAS Naborsahon memiliki warna air yang keruh. Perairan Tigaraja dengan situasi lingkungan pelabuhan kapal, pemukiman dan pasar memiliki warna air yang agak keruh, dan perairan Parapat dengan situasi lingkungan kawasan rekreasi, pemukiman dan hotel memiliki warna air yang jernih. Perairan Parapat yang memiliki warna air yang jernih dapat mendukung kegiatan aktivitas wisata air dan menjadi indikator bahwa kawasan tersebut dapat mendukung aktivitas wisata air. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dilakukan adalah berenang, memancing, dayung dan sampan.

Gambar 11. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kualitas air di Sub DAS Naborsahon.

(11)

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan danau sebagai obyek wisata menurut Nurisjah (2003), kelestarian, keberadaan dan keindahan badan air perlu dipertahankan fungsinya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi-fungsi dari badan air adalah sebagai pengendali iklim mikro, kesejahteraan dan kenyamanan manusia, sumber energi, alat transportasi, elemen rekreasi, melembutkan dan meningkatkan nilai estetika lanskap. Usaha untuk memanfaatkan dan melestarikan badan air sebagai obyek wisata harus terlebih dahulu diketahui bentuk, karakter, potensi, kendala dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari badan air. Sifat fisik, kimia, dan biologis air merupakan penentu dasar dari rencana pemanfaatannya.

Kualitas warna air pada umumnya dipengaruhi oleh sedimentasi. Hal ini disebabkan adanya kandungan tanah dan sedimentasi yang berasal dari erosi di bagian hulu sub DAS Naborsahon. Sedimentasi terjadi karena erosi akibat adanya pembabatan hutan yang tidak terkendali, penurunan luas hutan di daerah hulu, perluasan lahan pertanian dan peningkatan pemukiman di sekitar sub DAS Naborsahon, sehingga membawa partikel-pertikel lumpur kearah hilir (LTEMP 2004). Untuk mengurangi kekeruhan dan meningkatkan kualitas warna air dilakukan dengan pencegahan erosi dan sedimentasi di daerah hulu dengan cara sistem pertanian yang konservatif dan pola tanam yang baik (JICA 2003) serta menghentikan pembabatan hutan. Menurut (Barus 2007), lokasi yang terletak di tengah danau (sekitar 500 m dari pinggir danau) kecerahan air mencapai kedalaman 11-14 m dengan kandungan nutrisi dalam air masih rendah dan kadar oksigen masih terdeteksi sampai ke dasar danau pada kedalaman 200-500 m.

Kecepatan arus adalah salah satu kondisi perairan yang sangat berkaitan dengan keamanan dan keselamatan para wisatawan yang melakukan kegiatan wisata air. Nilai kecepatan arus yang baik untuk aktivitas wisata air adalah < 0,51 m/det. Keberadaan perairan Danau Toba yang relatif tenang memberikan dampak positif bagi pengembangan wisata karena kecepatan arus yang rendah mendukung pengembangan kawasan wisata. Rendahnya kecepatan arus dapat menunjang aktivitas wisata air seperti, berenang, bersepeda air, memancing, olah raga air, bersepeda air dan berperahu menikmati alam serta melihat-lihat (sighseeing) budaya masyarakat di tepi danau dan fenomena alam yang ada (Gunn 1994).

(12)

Perairan Danau Toba tergolong perairan oligotrofik, yaitu perairan yang miskin zat hara dengan kandungan nutrisi dalam air yang rendah (Barus 2007). Arus di perairan relatif tenang, maka pencemaran air cenderung terjadi di tepi danau pada kedalaman hingga 10 meter (BAPEDALDASU 2003). Lokasi yang berdekatan dengan permukiman, perhotelan dan budidaya ikan dalam jaring apung terdeteksi kadar nutrisi yang tinggi serta ditandai dengan pertumbuhan eceng gondok (Eichornia crassipes) yang cukup subur (Barus 2007). Eceng gondok (Eichornia crassipes) yang tumbuh secara liar dan tidak terkendali dapat menurunkan kualitas air dan menjadi kendala bagi aktivitas wisata yang akan ditata dan direncanakan di permukaan danau. Kondisi ini banyak terdapat di perairan Parapat, Tigaraja dan Ajibata (Gambar 12), Untuk mengatasi pertumbuhan eceng gondok yang begitu pesat maka hal dapat dilakukan adalah pemberantasan, pembersihan badan danau dari eceng gondok, sampah dan limbah, serta memanfaatkan tanaman eceng gondok tersebut sebagai bahan baku kertas seni dan bahan dasar kerajinan (Pasaribu dan Sahwalita 2006).

Gambar 12. Keberadaan Eceng Gondok di Perairan Danau Toba

Penilaian kualitas kimia air sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat pencemaran air untuk mendukung aktivitas wisata yang terkait langsung dengan air. Penilaian kualitas kimia air berdasarkan pada parameter biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD) dan dissolved oxygen (DO). Secara umum sub DAS Naborsahon mempunyai kualitas kimia air sedang, kadar BOD meningkat karena adanya kegiatan domestik di hilir. Kegiatan domestik menghasilkan limbah yang dapat mempengaruhi kualitas air danau terutama

(13)

peningkatan kadar zat organik dalam perairan yang selanjutnya akan meningkatkan kadar BOD dan COD. Selain itu tingginya kadar BOD di dalam danau kemungkinan berasal dari sisa pakan yang tidak habis oleh ikan budidaya. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya budidaya ikan di dalam danau (Barus 2007). Peningkatan BOD mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) pada badan air, sehingga dapat mempengaruhi kehidupan biota dalam badan air.

Kegiatan domestik yang dapat menghasilkan limbah adalah kegiatan pemukiman dan pariwisata (hotel dan restauran), yang mengakibatkan pencemaran air danau sehingga akan mengurangi kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan air bersih penduduk (BAPEDALDASU 2003) dan menghambat pengembangan kegiatan pariwisata. Sistem pengolahan limbah yang baik dan memasang penyaringan air di sungai dan saluran air yang masuk kedalam danau merupakan solusi untuk menjaga kualitas air danau tetap baik.

Beroperasinya perahu bermotor sebagai sarana transportasi ke pulau Samosir dan sekitarnya di perairan Danau Toba ikut memberikan andil dalam mencemari air danau dengan minyak dan lemak. Oleh karena itu pengoperasian perahu bermotor saat ini perlu diperhatikan jumlah dan intensitas pemakaiannya, sehingga cairan minyak di danau dapat dikurangi jumlahnya.

Luas areal yang dinilai terdiri dari lima desa/kelurahan yang mewakili sub DAS Naborsahon adalah 5404.9 ha atau 52.3% dari seluruh seluruh luas sub DAS tersebut, dan hasilnya menunjukan secara umum tidak ada yang termasuk dalam kategori tinggi (T), 48.9% termasuk dalam kategori sedang dan 3.4% termasuk dalam kategori rendah.

Untuk meningkatkan kualitas air dalam mewujudkan rencana penataan dan pengembangan kawasan wisata, maka pemerintah harus tegas dalam penerapan peraturan pengolahan limbah bagi pengusaha dan penduduk, karena fasilitas pengolahan limbah sudah tersedia tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Penerapan peraturan tersebut seperti, pemberian denda bagi yang melanggar, dan memberi penghargaan bagi yang menjaga dan ikut berperan aktif dalam perbaikan lingkungan. Danau Toba dengan potensi dan bentang alamnya menjadi aset wisata yang memerlukan pengelolaan dan penataan untuk pengembangan wisata sehingga tercapai wisata yang berkelanjutan.

(14)

c. Kondisi Ekologis

Dari hasil penilaian kualitas fisik DAS dan penilaian kualitas air menghasilkan klasifikasi kesesuaian wisata berdasarkan kondisi ekologis. Berdasarkan hasil analisis pada kelima desa yang diteliti, secara ekologis dapat disimpulkan bahwa kelima desa tersebut yang berada di dalam sub DAS Naborsahon memiliki kesesuaian wisata potensial (Tabel 18 dan Gambar 13). Luas areal yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata hanya 9.56 ha atau 0.1% dari luas sub DAS Naborsahon dan 5435.9 atau 52.6% yang berpotensi, dan 4885.3 atau 47.3% tidak termasuk dalam penilaian. Untuk itu harus dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata dengan beberapa program perbaikan dan penataan ulang dengan tujuan meningkatkan kualitas lingkungan sehingga tercapai kawasan wisata yang berkelanjutan.

Pengembangan dan penataan kawasan wisata Danau Toba dengan konsep wisata alam menitik beratkan pada pengurangan dampak negatif dan menekankan pada pembangunan yang berdampak rendah terhadap lingkungan sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga. Penurunan kualitas ekologis mengakibatkan berkurangnya daya tarik dan atraksi wisata yang akan berdampak bagi kepuasan wisatawan dalam memperoleh pengalaman berwisata.

Tabel 18. Klasifikasi Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kondisi Ekologis di Sub DAS Naborsahon

Daerah Desa/Kelurahan Kualitas fisik Sub DAS Kualitas air Kesesuaian Wisata N S N S N K Hu 1. Sipangan Bolon 120 S 90 S 210 S2 T 2. Girsang 125 S 90 S 215 S2 Hi 3. Parapat 135 S 110 S 245 S2 Hi 4. Tigaraja 140 S 90 S 230 S2 Hi 5. Pardamean Ajibata 130 S 65 R 195 S2 Sumber : Olahan data lapangan, 2008

Keterangan : N = nilai, S = Skor (T=tinggi, S=sedang, R=rendah),

K = kategori (S1=sangat potensial, S2=potensial, S3=tidak potensial). Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

(15)

5.1.2. Aspek Wisata

Kondisi wilayah di sub DAS Naborsahon dengan luas dan beragamnya topografi, kemiringan, iklim, keindahan alam, dan kondisi sosial budaya masyarakat, sehingga kawasan ini memiliki banyak potensi wisata dan berpotensi pula untuk menampung kegiatan wisata. Bentuk perwujudan sebagai kawasan wisata dapat dilakukan dengan penilaian terhadap aspek wisata yang berdasarkan pada penilaian potensi obyek dan atraksi wisata dan penilaian kelayakan obyek dan daya tarik wisata.

Gambar 13. Peta Kesesuaian wisata Berdasarkan Kondisi Ekologis di Sub DAS Naborsahon.

(16)

a. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata

Penilaian tahap pertama adalah penilaian potensi obyek dan atraksi wisata yang berdasarkan pada tujuh parameter penilaian, yaitu kerajinan, upacara agama, upacara adat, kesenian, bangunan, bahasa, dan permainan rakyat. Obyek dan atraksi wisata yang tersedia di sepanjang lokasi penelitian cukup beragam. Jika dilihat dari sebarannya, di setiap lokasi minimal terdapat satu obyek wisata, dengan satu atau lebih atraksi wisata.

Hasil penilaian yang ditunjukkan pada Tabel 19, memperlihatkan kelurahan Parapat yang memiliki tujuh obyek dan 12 atraksi wisata memiliki potensi wisata tinggi (T), kelurahan Tigaraja dengan tiga obyek dan tujuh atraksi wisata, memiliki potensi wisata sedang (S), dan tiga desa lainnya memiliki potensi wisata rendah (R). Dengan potensi yang ada perlu dilakukan penataan dan pengembangan kawasan, sehingga potensi yang ada berkelanjutan. Obyek dan atraksi wisata yang ada dapat dilihat pada tabel 20.

Tabel 19. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon

Daerah Desa/Kelurahan Parameter N P

I II III IV V VI VII Hu 1. Sipangan Bolon 10 14 28 14 10 36 18 130 R T 2. Girsang 13 16 30 18 16 36 22 151 R Hi 3. Parapat 28 22 40 29 25 30 32 206 T Hi 4. Tigaraja 28 19 34 22 25 30 24 182 S Hi 5. Pardamean Ajibata 10 17 26 18 12 36 18 137 R

Sumber : Olahan data lapangan, 2008, (n=11)

Keterangan : Parameter (I = kerajinan, II = upacara agama, III = upacara adat, IV = kesenian, V = bangunan, VI = bahasa, VII = permainan rakyat).

N = nilai, P = potensi (T = tinggi, S = sedang, R = rendah)

Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

Danau Toba memiliki bentang alam yang sangat luas, sehingga obyek dan atraksi wisata yang ada dapat mewakili berbagai karakteristik berdasarkan lingkungan fisik daratan (terestrial) dan lingkungan perairannya (akuatik), ketinggian (pantai hingga gunung), dan sumber daya alam (sumber daya alam dan sumber daya sosial ekonomi) (Gambar 14). Atraksi merupakan syarat utama adanya suatu kegiatan wisata, merupakan elemen dasar yang berkaitan dengan pengalaman (experience) wisatawan. Atraksi selain karena keunikan dari suatu tapak juga karena keberadaannya dalam suatu ruang spasial (Fennell 1999).

(17)

Tabel 20. Potensi Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon

Daerah Desa Obyek wisata Atraksi wisata

Hu 1. Sipangan Bolon  Hutan wisata alam  Pemandangan alam  Pertanian  Lahan pertanian kopi

 Sawah

 Pemukiman  Tradisi Masyarakat T 2. Girsang  Hutan wisata alam  Pemandangan hutan

 Air terjun halambingan  Wisata air

 Pertanian  Lahan pertanian kopi

 Pemukiman

 Sawah

 Tradisi Masyarakat Hi 3. Parapat  Hutan wisata alam  Pemandangan hutan pinus

 Pesta adat  Festival budaya  Atraksi kesenian  Pemukiman  Tradisi Masyarakat  Batu gantung  Wisata legenda  Bangunan  Istana presiden  Bumi perkemahan  Berkemah

 Wisata air  Pemandangan danau  Memancing

 Berenang  Bersampan

 Bersepeda air

Hi 4. Tigaraja  Pemukiman  Tradisi Masyarakat  Wisata air  Pemandangan danau

 Memancing  Berenang  Bersampan  Bersepeda air  Pasar tradisional  Tradisi Masyarakat Hi 5. Pardamean Ajibata  Pemukiman  Tradisi Masyarakat  Wisata air  Pemandangan danau

 Memancing  Berenang  Bersampan

 Bersepeda air

Kondisi alam yang masih relatif alami, yaitu berupa pemandangan gunung, hutan, dan danau yang cukup luas dengan pulau Samosir berada di tengahnya, riak air dan pantulan bayangan pepohonan pada perairan danau mampu memberikan kesan dinamis pada kawasan. Deretan pegunungan yang masih relatif hijau memperkuat karakter lanskap dan merangsang keinginan wisatawan untuk berkunjung. Menurut Gunn (1994), suatu kawasan yang dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dan suplay. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Keindahan alam danau toba dan sekitarnya

(18)

dapat dinikmati dari tepian danau, perbukitan atau melalui perairan yang dapat ditempuh dengan transportasi air ataupun melalui jalan darat.

Sumber: yuzni (2008); http://www.simalungunkab.co.id,

http://www.tonggio.files.wordpress.com, http://i50.photobucket.com Gambar 14. Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon

h. Pemandangan danau

a. Atraksi kesenian b. Istana presiden

c. Wisata legenda, batu gantung d. Semenanjung Parapat

e. Rumah tradisional

h. Pemandangan danau

(19)

Permukiman dan fasilitas wisata dengan arsitektur batak moderen yang ada di lokasi wisata kondisinya cukup baik. Pada umumnya bangunan tertata dengan baik, namun beberapa bangunan tampak dibangun secara permanen di daerah sempadan danau yang memiliki kemiringan lahan yang tinggi sehingga membahayakan lingkungan dan menjadi bad view bagi kawasan. Tindakan penataan perlu dilakukan dengan menghindari pembangunan pada daerah-daerah yang labil. Upaya untuk memisahkan pemandangan-pemandangan yang buruk dari kegiatan wisata dapat dilakukan dengan menambahkan vegetasi sebagai pembatas pandangan.

b. Penilaian Kelayakan Obyek dan Daya Tarik Wisata

Penilaian tahap kedua, adalah melihat tingkat kelayakan obyek dan atraksi wisata yang tersedia untuk dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata. Penilaian berdasarkan pada lima parameter hasil modifikasi Inskeep (1991), Umar (2005), dan Yusiana (2007).

Tabel 21. Penilaian Kelayakan Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon

Daerah Desa Potensi wisata Parameter N K

I II III IV V VI

Hu 1. S. Bolon 1. Hutan alam 60 75 10 10 15 20 190 TP

2. Lahan pertanian kopi 30 50 10 10 30 30 160 TP

T 2. Girsang 1. Hutan alam 60 50 10 10 15 30 175 TP

2. Air terjun Halambingan 90 100 20 30 45 40 325 SP 3. Lahan pertanian kopi 30 50 10 10 30 30 160 TP

Hi 3. Parapat 1. Wisata air 90 50 20 40 60 40 300 SP

2. Hutan wisata alam 60 50 10 20 30 40 210 P 3. Festival budaya 120 75 40 30 60 40 365 SP 4. Batu gantung 120 100 30 20 60 40 370 SP 5. Istana presiden 120 100 30 20 60 40 370 SP

6. Bumi perkemahan 120 75 20 30 45 40 330 SP

Hi 4. Tigaraja 1. Wisata air 90 50 20 30 60 40 290 P

2. Pasar tradisional 90 75 20 20 45 40 290 P Hi 5. P. Ajibata 1. Wisata air 90 50 20 20 45 40 265 P

Sumber : Olahan data lapangan, 2008, (n=150)

Keterangan : Parameter (I=Obyek dan atraksi, II=Estetika dan Keaslian, III=Fasilitas Pendukung, IV=Ketersediaan Air, V=Transportasi dan Aksesibilitas, VI=Dukungan dan Partisipasi Masyarakat).

N = nilai, K = klasifikasi (SP=sangat potensial, P=potensial, TP=tidak potensial). Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

(20)

Hasil penilaian yang ditunjukkan pada Tabel 21 memperlihatkan enam obyek wisata yang sangat potensial (SP) sebagai sumberdaya wisata, 3 obyek cukup berpotensi (P), tetapi perlu beberapa perbaikan dan penataaan serta penambahan untuk meningkatkan kualitasnya, dan lima obyek wisata tidak potensial (TP), untuk obyek wisata ini perlu perlakuan sangat khusus dan serius untuk meningkatkan potensi sebagai obyek wisata.

Berdasarkan kondisi wisata yang ada maka obyek dan atraksi di sub DAS Naborsahon berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata. kondisi potensi wisata yang ada dapat lihat pada Lampiran 1. Hal yang harus dilakukan adalah penataan dan perbaikan kembali kawasan wisata untuk meningkatkan kualitas lingkungan wisatanya.

c. Kondisi Wisata

Dari hasil penilaian dua tahap sebelumnya dan dapat dilihat pada Gambar 15 menunjukkan bahwa desa yang sangat potensial (SP) adalah Kelurahan Parapat, Kelurahan Tigaraja dengan kondisi wisata yang potensial (P), dan desa Sipangan Bolon, Girsang dan Pardamean Ajibata dengan kondisi wisata yang tidak potensial (TP). Secara umum seluruh obyek dan atraksi yang tersedia perlu perbaikan, terutama pada aspek ekologis, dan kelengkapan fasilitas wisata. Dalam upaya perbaikan obyek dan atraksi wisata agar lebih ekologis, dapat dilakukan upaya seperti, penataan ulang orientasi obyek wisata dan penambahan vegetasi di sekitar lingkungan obyek dan atraksi wisata tersebut. Sedangkan fasilitas yang akan di tambahkan pada setiap obyek dan atraksi wisata, disesuaikan dengan kebutuhan kawasan dan bersifat ekologis.

Potensi obyek dan atraksi yang berada di dalam sub DAS Naborsahon didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam dan kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya. Menurut Gunn (1994), wisata alam adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumber daya alam yang terdiri dari lima bentukan dasar alam yaitu: air, perubahan topografi, flora, fauna, dan iklim. Bentuk sumberdaya alam yang sangat umum untuk dikembangkan adalah danau, sungai, air terjun dan sebagainya. Dengan demikian, tema wisata yang dapat dikembangkan di kawasan ini adalah wisata alam sebagai wisata utama dengan obyek utamanya Danau Toba dan budaya yang ada sebagai penunjangnya.

(21)

5.1.3. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat

Aspek sosial ekonomi adalah salah satu aspek dalam melihat kondisi masyarakat dan kegiatannya dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta peranan dan tingkat akseptibilitas dalam pengembangan suatu kawasan (Umar 2006). Dalam penelitian ini untuk mengetahui kondisi masyarakat, dilakukan dua tahap penilaian. Pertama, menilai akseptabilitas atau dukungan masyarakat terhadap penataan dan pengembangan kawasan wisata di lingkungannya, dan kedua,

Gambar 15. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon.

Keterangan 1. Hutan alam 2. Lahan pertanian kopi 3. Hutan alam

4. Air terjun Halambingan 5. Lahan pertanian kopi 6. Wisata air

7. Hutan wisata alam 8. Festival budaya 9. Batu gantung 10. Istana presiden 11. Bumi perkemahan 12. Wisata air 13. Pasar tradisional 14. Wisata air

(22)

melihat preferensi masyarakat terhadap jenis partisipasi di kawasan wisata tersebut.

a. Akseptabilitas Masyarakat terhadap Rencana Penataan Kawasan Wisata Danau Toba dan kawasan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem yang mempunyal nilai tinggi, baik nilai ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi bagi kehidupan manusia. Bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Toba, potensi sumberdaya alam yang merupakan dataran tinggi dan sebagian besar merupakan lahan kering namun dikaruniai oleh pemandangan alam dan danau yang indah, mengakibatkan masyarakat mulai memanfaatkan keindahan alam yang dipadukan dengan budaya tradisional Batak sebagai atraksi budaya, yang pada akhirnya menjadi sumber mata pencaharian sekaligus fenomena sosial ekonomi yang dominan di kawasan tersebut. Sehingga terjalin hubungan yang saling membutuhkan antara manusia dengan danau.

Berdasarkan hal tersebut, sangat perlu untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat terhadap rencana penataan dan pengembangan kawasan wisata, karena masyarakat merupakan bagian dari lingkungan yang merasakan dampak dan manfaat dari perubahan di lingkungan tersebut (Rosmalia 2008). Dampak negatif pada kawasan yang dikembangkan sebagai kawasan wisata dapat dikurangi dengan keikutsertaan masyarakat dalam aktifitas kepariwisataan di kawasan tersebut (Place1998 diacu dalam Buchsbaum 2004).

Keikutsertaan masyarakat dalam menerima wisata dan menjadi bagian dari sistem wisata akan mempermudah dalam proses penataan dan pengembangan. Keterlibatan masyarakat dapat mengurangi kemungkinan konflik yang akan terjadi dimasa mendatang dan mengurangi terjadinya kesalahan informasi (Suwantoro 1997). Untuk mengetahui keikutsertaan masyarakat, dilakukan penilaian untuk melihat tingkat akseptibilitas atau dukungan masyarakat.

Penilaian tingkat akseptabilitas atau dukungan masyarakat dilakukan melalui wawancara dengan 150 orang responden, yang dipilih secara acak di setiap lokasi penelitian. Berdasarkan hasil penilaian yang ditunjukkan Tabel 22, terlihat tingkat akseptabilitas masyarakat di seluruh lokasi penelitian mempunyai

(23)

skor tinggi (T). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat mendukung rencana penataan dan pengembangan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon.

Tabel 22. Tingkat Akseptabilitas Masyarakat terhadap Rencana Penataan kawasan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon

Zona Desa/Kelurahan I II III IV V T S

Hu 1. Sipangan Bolon 105 104 105 103 91 508 T

T 2. Girsang 104 99 105 113 96 517 T

Hi 3. Parapat 120 106 107 120 106 559 T Hi 4. Tigaraja 120 106 105 115 101 547 T Hi 5. Pardamean Ajibata 108 101 105 109 97 520 T

Sumber : Olahan data lapangan, 2008, (n=150).

Keterangan: I = Penataan kawasan sebagai daerah tujuan wisata. II = Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat. III = Peran aktif masyarakat dalam pariwisata. IV = Keberadaan wisatawan.

V = Keuntungan kegiatan wisata

S = Skor (T=tinggi, S=sedang, R=rendah) Total = Total nilai (maksimal 600, minimal 150) Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

Masyarakat di sub DAS Naborsahon memberikan tanggapan yang positif dalam penataan dan pengembangan kawasan wisata. Sebagian besar masyarakat menerima apabila dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata dan masyarakat akan berperan aktif didalamnya. Masyarakat juga lebih memilih untuk mengelola sendiri kawasan wisata tersebut karena dapat memperkirakan berbagai keuntungan dari adanya kegiatan wisata di daerahnya.

Berkembangnya sektor pariwisata di kawasan ini akan berakibat ganda terhadap sektor lainnya seperti, pertanian, peternakan, kerajinan rakyat, permodalan, industri, dan lainnya, dimana produk dari sektor-sektor tersebut diperlukan untuk menunjang perkembangan pariwisata.

b. Preferensi Masyarakat terhadap Peluang Kegiatan Ekonomi

Penilaian preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi diperlukan untuk melihat tingkat keinginan masyarakat untuk terlibat langsung di kawasan wisata. Penyelenggaraan wisata dapat terus berlanjut apabila masyarakat ikut terlibat didalamnya dan masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya dari kegiatan wisata tersebut. Jika ini berjalan dengan baik maka dapat menunjang kelangsungan penyelenggaraan wisata di kawasan tersebut. Horwich et al. (1995)

(24)

mengatakan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata merupakan usaha bersama antara masyarakat dan pengunjung untuk melindungi lingkungan budaya dan ekologis, melalui dukungan terhadap pembangunan masyarakat setempat, dalam mengontrol dan mengelola sumber daya agar tetap lestari dan mampu memenuhi kebutuhan secara sosial, budaya dan ekonomi.

Penilaian preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi di sub DAS Naborsahon dilakukan pada 150 orang responden. Masyarakat lokal dapat menerima kegiatan wisata apabila mereka percaya bahwa wisata dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka dengan memperbaiki usaha perdagangan lokal, menggunakan tenaga kerja lokal, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga (Buchsbaum 2004). Peluang ekonomi bagi masyarakat lokal di sub DAS Naborsahon dapat diwujudkan dengan memberi kesempatan bagi masyarakat lokal untuk melakukan usaha yang terkait langsung dengan wisata maupun yang hanya bersifat menunjang ekonomi wisata.

Hasil penilaian yang ditunjukkan Tabel 23, memperlihatkan masyarakat di bagian hulu dan tengah (Desa Sipangan Bolon dan Girsang) lebih memilih peluang ekonomi yang dekat dengan kehidupan keseharian mereka, yaitu sebagai petani, maka berdasarkan penilaian daerah hulu dan tengah tidak potensial sebagai zona wisata. Sedangkan peluang ekonomi di bagian hilir sangat potensial (Parapat dan Tigaraja) dan potensial (Pardamean Ajibata) sebagai zona wisata, karena keberadaan kegiatan wisata di ketiga desa ini telah berlangsung lama, mengakibatkan masyarakat lebih memilih peluang ekonomi yang terkait langsung dengan wisata.

Masyarakat di setiap desa memiliki preferensi yang tinggi terhadap kegiatan pembuatan souvenir yang memerlukan keahlian khusus agar produk yang dihasilkan layak untuk diperdagangkan kepada wisatawan. Untuk memenuhi permintaan wisatawan tersebut disarankan untuk melakukan pelatihan bagi masyarakat lokal dan menggunakan bahan-bahan lokal yang ada dilokasi, seperti pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan dasar kerajinan. Jika hal ini berjalan dengan baik, akan terjadi keseimbangan antara lingkungan dengan manusia yang menghasilkan produk wisata yang berkelanjutan. Produk sustainable tourism

(25)

merupakan produk yang dioperasikan dalam keharmonisan antara lingkungan lokal, masyarakat dan budaya sehingga mendatangkan keuntungan bagi mereka dan bukan menjadi korban pengembangan wisata (Wramner et al. 2005).

Tabel 23. Preferensi Masyarakat Terhadap Peluang Kegiatan Ekonomi

Daerah Desa/kelurahan Peluang Kegiatan Ekonomi Kategori

Hu 1. Sp. Bolon 1. Pembuatan dan penjualan souvenir

2. Bertani/berternak S3

3. Penyedia produk pertanian

T 2. Girsang 1. Pembuatan dan penjualan souvenir

2. Bertani/berternak S3

3. Penyedia produk pertanian

Hi 3. Parapat 1. Mengembangkan obyek dan atraksi wisata

2. Membuka toko/restaurant/penginapan S1 3. Pagelaran seni dan budaya

Hi 4. Tigaraja 1. Mengembangkan obyek dan atraksi wisata

2. Membuka toko/restaurant/penginapan S1 3. Pembuatan dan penjualan souvenir Hi 5. Pardamean Ajibata 1. Pembuatan dan penjualan souvenir

2. Membuka toko/restaurant/penginapan S2

3. Bertani/berternak

Sumber : Olahan data lapangan, 2008, (n=150).

Keterangan: S1 = sangat potensial, S2 = potensial, S3 = tidak potensial Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

c. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Gabungan antara akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat diwujudkan dalam zona akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang terdiri dari zona sangat aktif (S1), zona aktif (S2), dan zona tidak aktif (S3). Zona sangat aktif adalah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang sangat tinggi, yang termasuk didalam zona ini adalah desa Parapat dan Tigraja. Zona aktif adalah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang tinggi, yang termasuk didalam zona ini adalah desa Pardamean Ajibata. Zona tidak aktif adalah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang rendah, yang termasuk didalam zona ini adalah desa Sipangan Bolon dan Girsang. Distribusi zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi dapat dilihat pada Gambar 16.

(26)

5.2. Analisis Prioritas Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan

Kawasan Wisata Danau Toba (KWDT) dengan segala potensi yang dimiliki membutuhkan penataan dan pengelolaan agar kawasan wisata yang ada dapat berkelanjutan, untuk itu perlu dilakukan upaya pelestarian kawasan. Penataan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good (Nurisyah 2003). Hal ini dilakukan untuk memperkecil dampak lingkungan fisik dikemudian hari dengan melindungi lingkungan danau.

Gambar 16. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Potensi Masyarakat di Sub DAS Naborsahon.

(27)

Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui penentuan prioritas penataan KWDT berkelanjutan agar tercapai suatu arahan kebijakan pengolahan dalam pengelolahan dan penataannya, sehingga kondisi lingkungan wisata dapat berkelanjutan. Penentuan prioritas yang dapat diterapkan di KWDT dilakukan melalui analisis Proses Hierarki Analitik (PHA).

Penataan dan pengelolaan kawasan yang dilakukan didasarkan pada prioritas utama dari tiga alternatif. Prioritas utama ditentukan berdasarkan pendapat responden ahli (n=4) yang mengetahui permasalahan di lokasi sehingga tujuan yang terpilih dapat dikembangkan.

5.2.1. Penilaian Kriteria untuk Mencapai Tujuan

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Consistency Ratio (CR) sebesar 0.03. Nilai ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh berada pada tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, cukup baik dan dapat diterima. Responden konsisten dalam pemberian nilai bobot dengan tingkat penyimpangan yang kecil. Penilaian terhadap kriteria untuk mencapai tujuan berdasarkan pada perbaikan kualitas lingkungan, peran aktif masyarakat, pengembangan potensi wisata, dan perlindungan kawasan Danau Toba (Tabel 24).

Tabel 24. Penilaian Bobot dan Prioritas Pada Level Kriteria

Kriteria Bobot Prioritas

Perbaikan kualitas lingkungan 0.41 1

Peran aktif masyarakat 0.18 3

Pengembangan Potensi Wisata 0.08 4

Perlindungan kawasan Danau Toba 0.33 2

Consistency Ratio (CR) 0.03

Sumber: Data olahan, 2008.

Menurut responden perbaikan kualitas lingkungan adalah prioritas utama yang harus dilakukan, karena secara ekologis lingkungan di KWDT sudah mulai rusak akibat dari perilaku masyarakat dan para pengusaha, serta bencana alam di kawasan tersebut (Darwo 2006). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan peran aktif masyarakat dalam bentuk keterlibatan langsung dalam penataan, pengelolaan dan pengembangan wisata. Proses keterlibatan masyarakat tergantung pada potensi sumber daya manusia dan kemampuan yang ada (Nurisjah et al. 2003). Keterlibatan masyarakat diharapkan dapat berperan aktif

(28)

didalam perbaikan lingkungan dan selanjutnya diharapkan masyarakat juga berperan aktif melakukan perlindungan terhadap kawasan danau Toba sehingga kualitas lingkungan yang diinginkan dapat dicapai.

Kriteria yang ada diharapkan berdampak positif terhadap pengembangan potensi wisata. Obyek dan atraksi wisata yang ada merupakan potensi wisata yang membutuhkan pengembangan dan penataan yang intensif, karena obyek dan atraksi merupakan elemen dasar yang biasanya merupakan hasil dari pengembangan dan pengelolaan (Gunn 1994). Potensi wisata yang tertata dengan baik akan membuka peluang ekonomi masyarakat yang lebih besar. Pencegahan perubahan lingkungan dapat dilakukan apabila mendapat perhatian secara holistik dari semua pihak, baik pemerintah, LSM, masyarakat dan swasta.

5.2.2. Penilaian Alternatif Berdasarkan Kriteria untuk Mencapai Tujuan Kondisi ekologis di KWDT pada saat ini sudah mulai menunjukkan tanda kerusakan lingkungan sehingga perlu adanya perbaikan kualitas lingkungan. Kerusakan ini disebabkan karena adanya penggundulan hutan mengakibatkan bahaya erosi dan kebakaran hutan (Aswandi dan Sunandar 2007), budidaya ikan menghasilkan limbah organik yang tinggi (Barus 2007), dan semakin berkembangnya eceng gondok (BAPEDALDASU 2003). Tabel 25 memperlihatkan bahwa aspek ekologis merupakan prioritas utama berdasarkan kriteria yang ada.

Tabel 25. Penilaian Bobot dan Prioritas Pada Level Alternatif

Kriteria Alternatif

Aspek Ekologis Aspek Sosek Aspek Wisata

Perbaikan kualitas lingkungan 0.62 0.29 0.09

Peran aktif masyarakat 0.46 0.32 0.22

Pengembangan Potensi Wisata 0.58 0.18 0.24

Perlindungan kawasan danau Toba 0.71 0.14 0.15

Sumber: Data olahan, 2008.

Perbaikan kualitas lingkungan dilakukan dengan mengajak dan memberi penerangan kepada masyarakat tentang cara pengolahan lahan pertanian yang baik sehingga dapat dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata yaitu wisata agro. Selain itu hal yang harus dilakukan adalah melarang dengan tegas dan memberlakukan sanksi penebangan hutan oleh masyarakat ataupun penebang liar

(29)

lainnya, dan membatasi penggunaan perairan danau seperti budidaya ikan. Jika secara ekologis perbaikan kualitas lingkungan dapat tercapai maka perbaikan kualitas lingkungan berdasarkan aspek wisata akan mengikutinya dan secara otomatis akan terjadi peningkatan pada lingkungan sosial ekonomi masyarakat. Perbaikan lingkungan bertujuan untuk penataan, pengembangan dan perlindungan kawasan wisata yang akhirnya dapat meminimalisasi dampak lingkungan yang akan terjadi dimasa depan.

Penilaian berdasarkan kriteria peran aktif masyarakat menunjukkan bahwa aspek ekologis menduduki prioritas utama. Responden beranggapan bahwa semakin baik ekologis jika masyarakat dilibatkan langsung dalam pengembangan dan penataan kawasan, sehingga mereka akan berperan aktif memperbaiki dan menjaga lingkungannya. Aspek ekologis dinilai penting karena sebagai suatu sistem, aspek ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan wisata.

Penataan dan pengelolaan yang baik juga akan menarik jumlah pengunjung yang berarti dapat meningkatkan nilai pendapatan bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Jika nilai ekologis semakin baik maka nilai wisata yang terkandung dalam suatu kawasan wisata akan semakin baik. Semua ini akan berdampak positif terhadap sosial ekonomi masyarakat dan peningkatan pendapatan masyarakat. Menurut Gunn (1994), perencanaan, penataan dan pengelolaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, dan melindungi lingkungan.

Hasil penilaian responden berdasarkan kriteria pengembangan potensi wisata adalah aspek ekologis. Responden beranggapan obyek dan atraksi akan semakin baik jika aspek ekologis menjadi prioritas utama bagi pengembangan potensi wisata. Obyek dan atraksi dapat berupa keunikan suatu tapak atau suatu ruang spasial (Gunn 1994). Hal ini sangat sesuai dengan jenis wisata yang terdapat di KWDT yaitu wisata alam. Pengembangan potensi wisata dapat dilakukan dengan menjaga, melindungi dan melestarikan obyek dan atraksi yang ada sebagai daya tarik wisata, sehingga keberadaan kawasan wisata akan keberlanjutan. Salah satu potensi wisata tersebut adalah potensi budaya masyarakat. Nilai-nilai budaya yang ada harus tetap dipertahankan untuk menjaga keseimbangan antara masyarakat dan lingkungan ekologis. Untuk itu, perlu

(30)

dilakukan penataan konsep wisata yang lebih menonjolkan kehidupan asli masyarakat lokal.

Prioritas utama penilaian berdasarkan kriteria perlindungan kawasan Danau Toba adalah aspek ekologis. Responden beranggapan bahwa Danau Toba merupakan salah satu aset yang harus dijaga dan dilestarikan sehingga masyarakat harus melakukan perlindungan terhadap kawasan tersebut. Jika hal ini berjalan dengan baik maka keberlanjutan sebagai kawasan wisata dapat berjalan dengan baik. Wisata dianggap dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan kualitas ekonomi bagi masyarakat setempat jika wisata tersebut dikembangkan dengan dukungan masyarakat (Alderson dan Low 1996). Penataan kawasan di KWDT seharusnya lebih ditekankan pada peningkatan kestabilan ekologis sub DAS dan danau agar kelestarian lingkungan danau tetap terjaga.

Selanjutnya dalam perlindungan kawasan Danau Toba aspek sosial ekonomi merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan, karena KWDT merupakan kawasan wisata yang diharapkan dapat menyokong dan menambah pendapatan masyarakat. Dengan alasan penyelamatan kawasan danau yang telah mengalami penurunan kualitas dan daya dukung, maka diharapkan peran aktif masyarakat untuk menjaga, memelihara, dan melindungi kestabilan kawasan danau agar tetap terjaga dengan baik.

5.2.3. Sintesa Alternatif Menurut Kriteria

Alternatif prioritas penataan KWDT yang akan dikembangkan di kawasan wisata Danau Toba dapat diketahui berdasarkan hasil analisis gabungan pendapat responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek ekologis merupakan prioritas pertama, aspek sosial ekonomi prioritas kedua dan aspek wisata prioritas ketiga (Tabel 26).

Tabel 26. Hasil Penilaian Alternatif untuk Mencapai Tujuan

Alternatif Bobot Prioritas

Aspek ekologis 0.61 1

Aspek sosek 0.24 2

(31)

Aspek ekologis merupakan salah satu alternatif untuk mempertahankan kelestarian, karena ekologi merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk menekan masalah yang timbul sebagai akibat dari perubahan global yang disebabkan manusia (Forman & Gordon 1996). Usaha yang harus dilakukan adalah dengan penanaman kembali hutan yang telah gundul, dan pemerintah menindak tegas terhadap penebangan liar. Hal lain yang harus dilakukan adalah meninjau kembali keberadaan kerambah ikan yang semakin banyak untuk mencegah pencemaran air danau (Barus 2007) dan membuat program danau bersih dari eceng gondok yang semakin banyak menutupi keindahan visual danau. Jika hal ini terlaksana dengan baik maka akan berdampak positif terhadap sistem perairan danau, karena lingkungan KWDT merupakan daerah ekoton yang peka terhadap perubahan namun memiliki keragaman ekologis yang tinggi (BAPEDALDASU 2003).

Prioritas kedua adalah Aspek sosial ekonomi masyarakat yang lebih memfokuskan pada dampak dari sistem sosial ekonomi masyarakat. Tujuan utama dari kegiatan wisata adalah memberi keuntungan pada masyarakat setempat sehingga dapat menjamin perkembangan wisata yang sesuai dengan tujuan sosial, ekologis, dan perekonomian setempat (Brandon 1993). Masyarakat dipandang sebagai suatu bagian dari ekosistem, dimana perubahan yang terjadi akan mempengaruhi ekologis secara keseluruhan, maka perlu diketahui sejauh mana masyarakat menilai suatu kebijakan yang telah memberikan manfaat atau kerugian bagi masyarakat. Kondisi di KWDT yang sudah semakin rusak dan ketergantungan masyarakat terhadap tapak yang sangat besar mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan masyarakat, maka diharapkan masyarakat ikut berperan aktif dalam menjaga lingkungannya.

Prioritas ketiga adalah aspek wisata. KWDT merupakan kawasan wisata yang memiliki banyak potensi wisata yang harus dijaga dan dilestarikan, agar tidak terjadi kerusakan lingkungan wisata yang parah. Aspek wisata merupakan akibat atau dampak positif dari daya tarik lingkungan, sehingga kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan dimana tujuan wisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi (Soemarwoto 1996).

(32)

Pengembangan wisata secara berlebihan akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan wisata, maka diperlukan suatu konsep penataan dan pengembangan wisata dengan memberdayakan masyarakat lokal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (Kodhyat 1998).

5.2.4. Zona Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon

Zona pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon diperoleh dari hasil tumpang susun dari peta kondisi ekologis, peta kondisi obyek dan atraksi wisata, dan peta kondisi sosial ekonomi masyarakat (gambar 17). Masing-masing peta mempunyai bobot yang berbeda, yaitu untuk kondisi ekologis mempunyai bobot 61%, kondisi sosial ekonomi masyarakat 24%, dan kondisi obyek dan atraksi wisata 15%,. Pertimbangan ini berdasarkan pada hasil penilaian yang dilakukan kepada para responden ahli dengan menggunakan metode penilaian proses hierarki analitik (PHA). Selanjutnya hasil tumpang susun diklasifikasikan menjadi zona pengembangan wisata intensif, zona pengembangan wisata ekstensif, dan zona lindung. Tujuan klasifikasi zona untuk menentukan pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon, yang selanjutnya disesuaikan dengan karakter lanskapnya.

Luas areal yang dinilai terdiri dari lima desa/kelurahan yang mewakili sub DAS Naborsahon adalah 5404.9 ha atau 52.3% dari luas sub DAS tersebut. Hasil klasifikasi menunjukkan luas area yang berpotensi tinggi sebagai zona pengembangan wisata intensif adalah 777.673 ha atau 7.5%, pengembangan wisata ekstensif 422.3 ha atau 4.1% dan 4204.34 ha atau 40.7% yang merupakan zona lindung. Zona pengembangan wisata intensif dan zona pengembangan wisata ekstensif berada di hilir dan zona lindung berada di tengah dan hulu sub DAS Naborsahon.

Zona pengembangan wisata intensif merupakan zona pemanfaatan untuk pengembangan wisata dan dapat ditetapkan menjadi pusat pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon. Zona pengembangan wisata ekstensif merupakan zona pengembangan wisata yang berkarakter lanskap alami dan bersifat konservasi yang berfungsi untuk melindungan badan-badan air. Zona lindung merupakan zona rawan bencana yang berfungsi untuk melindungi

(33)

badan-badan air dan resapan air agar fungsi hidrologis DTA Danau Toba tidak terganggu dan ditetapkan sebagai kawasan wisata alami.

(34)

5.3. Rencana Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Sub DAS Naborsahon

Rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata meliputi perencanaan yang mengakomodasikan seluruh aktivitas yang direncanakan dalam suatu kawasan wisata.

5.3.1. Konsep Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata

Konsep utama pengembangan dan penataan yang dikembangkan pada sub DAS Naborsahon adalah kawasan wisata yang berkelanjutan. Konsep utamanya adalah menciptakan suatu kawasan wisata yang terstruktur dan terkelola dengan baik yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan bertujuan untuk menjaga kelestarian danau dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Konsep utama yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis aspek ekologis, aspek wisata, dan aspek sosial ekonomi masyarakat. Penerapan konsep pada lanskap berupa model rencana pengembangan yang disesuaikan dengan karakter lanskap dan potensi wisata di kawasan tersebut.

Konsep pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan merupakan perlindungan terhadap lingkungan yang menjadi wadah wisata untuk generasi mendatang (Yusiana 2007), dengan meminimalkan dampak wisata bagi lingkungan darat dan lingkungan perairan danau sebagai satu kesatuan yang utuh. Konsep ini diterapkan melalui penerapan batas sempadan danau dalam pengembangan dan penataaan kawasan wisata, pengelolaan wilayah danau secara terpadu dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat lokal dan wisatawan akan nilai lingkungan bagi keberhasilan hidup manusia.

Perwujudan konsep pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan dapat di wujudkan melalui penataan zona pengembangan kawasan wisata. Konsep ini diterapkan melalui pengkajian potensi sumberdaya yang dimiliki untuk dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata sebagai obyek dan atraksi wisata alam yang akan selalu memberi daya tarik bagi wisatawan.

Dari hasil analisis, kawasan wisata yang akan dilakukan pengembangan dan penataan adalah Kelurahan Parapat, Kelurahan Tigaraja dan desa Pardamean Ajibata. Ke-tiga kawasan ini sebagai pusat pengembangan kawasan wisata dengan

(35)

tiga zona rencana pengembangan dan penataan (Gambar 18). Zona rencana pengembangan dan penataan tersebut, adalah:

1. Zona pengembangan wisata intensif yaitu, zona pengembangan dan penataan kawasan wisata yang bersifat umum atau public service area. Dalam zona terdiri dari zona penerimaan dan pelayanan dan zona wisata. Zona penerimaan dan pelayanan adalah area untuk menerima dan memberikan pelayanan kepada pengunjung. Zona wisata adalah area yang digunakan pengunjung dalam aktivitas wisata dan rekreasi dengan karakteristik kawasan yang aman untuk dimanfaatkan secara optimal. Zona pengembangan wisata intensif dapat ditetapkan menjadi pusat pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon, tepatnya di kawasan wisata Parapat.

2. Zona pengembangan wisata ekstensif, merupakan zona penyanggah yang berfungsi menyanggah kawasan khususnya badan air dari pengaruh aktivitas fisik di sekitarnya. Zona penyanggah merupakan zona peralihan dari zona intensif kepada zona ekstensif yang memiliki tingkat kesesuaian wisata sedang. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan adalah memancing, berperahu, dan atraksi seni.

3. Zona lindung, merupakan zona yang sangat peka untuk kegiatan wisata karena memiliki tingkat kesesuaian wisata yang rendah. Karakter kawasan ini mengarah pada aktivitas-aktivitas yang bersifat khusus yang berfungsi melindungi kondisi alamnya serta habitat biota yang relatif peka terhadap gangguan. Kondisi ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata visual dengan aktivitas wisata yang sangat terbatas seperti pengamatan biota, hiking, dan aktivitas ilmiah. Hal ini dilakukan sebagai usaha pelestarian alam khususnya untuk menjaga tata air.

5.3.2. Konsep Ruang dan Sirkulasi Kawasan Wisata

Konsep sirkulasi berupa jaringan sirkulasi yang disesuaikan dengan konsep ruang dan menghubungkan semua elemen lokal sehingga memberi peluang yang tinggi bagi pengunjung untuk dapat melihat banyak atraksi dan informasi serta meningkatkan waktu dan pengeluaran pengunjung agar dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Menurut Gunn (1994), koridor yang

(36)

menghubungkan pusat kawasan dengan kelompok–kelompok atraksi merupakan elemen penting yang dapat meningkatkan potensi kawasan.

Sistem sirkulasi dalam kawasan terbagi menjadi tiga, yaitu sirkulasi primer, sekunder dan tersier. Sirkulasi primer adalah jalur sirkulasi utama yang

Gambar 18. Rencana Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon.

Zona intensif Zona ekstensif

Zona lindung

Tidak skala

(37)

menghubungkan antar obyek wisata dan antar zona, sirkulasi sekunder adalah jalur sirkulasi yang terdapat pada obyek wisata yang menghubungkan antar obyek dalam suatu zona, sirkulasi tersier adalah jalur alami di dalam obyek atau atraksi wisata. Sirkulasi tersier berupa boardwalk dan tracking primitif. Jalan regional yang melintasi daerah tepian danau merupakan sirkulasi primer yang dilengkapi dengan area perkir untuk tempat melepaskan lelah (stop area).

Kawasan wisata Danau toba dapat dikunjungi melalui dua arah, yaitu melalui Selatan (dari arah Sibolga) dan dari arah Utara (dari arah Medan), berada di zona intensif yang berfungsi sebagai public service area pusat pengembangan wisata yaitu di Parapat. Pemilihan pintu masuk ke dalam kawasan wisata, berdasarkan potensi kawasan sebagai kawasan wisata yang ditunjang dengan banyaknya obyek dan atraksi wisata potensial yang terdapat di lokasi ini. Gambar 19 memperlihatkan perletakan ruang-ruang pada pusat pengembangan kawasan wisata, dimana terdapat ruang utama dan ruang penunjang yang dihubungkan dengan jalur sirkulasi.

Gambar 19. Konsep Ruang dan Sirkulasi di Sub DAS Naborsahon

Keterangan:

Pintu masuk

Jalur sirkulasi primer

Ruang utama, zona potensial Ruang utama, zona kurang potensial

Ruang penunjang

Ruang utama zona tidak potensial Jalur sirkulasi sekunder

Jalur sirkulasi tersier

Dari Sibolga

(38)

Konsep penataan ruang wisata disesuaikan dengan kondisi existing lingkungan. Ruang wisata dibagi menjadi dua, yaitu ruang utama dan ruang penunjang. Ruang utama merupakan ruang yang mengakomodasi seluruh aktifitas wisata, dan untuk masuk ke dalam ruang utama tersebut harus melalui ruang penunjang. Ruang penunjang meliputi ruang penerima (welcome area) dan ruang transisi (Transition area). Ruang ini menghubung antara ruang luar kawasan pengembangan dengan ruang wisata utama, serta sebagai penghubung antara wilayah perairan danau yang merupakan jalur primer wisata dengan ruang wisata utama yang berada di daratan. Pada tiap ruang wisata terdapat obyek dan atraksi wisata yang mendukung tema dan tujuan ruang wisata tersebut.

5.3.3. Program Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata

Program pengembangan dan penataan kawasan wisata bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan danau dan kelestarian lingkungan sebagai obyek dan atraksi wisata, dan untuk menjadikan kawasan wisata Danau Toba sebagai kawasan yang berkelanjutan dan menjadi pariwisata utama di Provinsi Sumatera Utara. Dari program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, sehingga kelestarian lingkungan dan budayanya dapat terjaga. Hal ini sejalan dengan konsep yang diungkapkan Fandeli (2000), bahwa kegiatan wisata tidak mengekploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan.

Program pengembangan kawasan wisata berupa panduan untuk rencana pengembangan kawasan yang diilustrasikan dalam bentuk arah pengembangan kawasan. Program pengembangan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon mencakup perbaikan fisik, pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata, dan pengelolaannya, dimana tepian danau dan perairan danau menjadi wadah untuk mengakomodasi kegiatan wisata di kawasan tersebut. Gambar 20 memperlihatkan ilustrasi model rencana penataan lanskap di sub DAS Naborsahon dengan pusat pengembangan di kawasan wisata Parapat.

(39)

Gambar 20. Model Rencana Penataan Lanskap di Sub DAS Naborsahon Legenda A. Zona PW Intensif 10. Observation deck 11. Menara pandang 12. Dermaga 13. Hotel, restaurat, toilet, musholla 14. Lokasi berenang 15. Lokasi viewing B. Zona PW Ekstensif 1. Lokasi viewing 2. Wisata sungai 3. Dermaga C. Zona Lindung 1. Berkemah 2. Hutan alam/trecking Rencana Penataan Lanskap di Sub DAS Nabrsahon Tidak skala

A

B

C

A5

A4

A1

A3

A2

A6

B3

B2

B1

C1

C2

Utara

(40)

Perbaikan fisik berupa menata ulang kawasan, bertujuan membuat semua elemen lanskap di lingkungan tepian danau menjadi satu kesatuan dengan danau sebagai orientasi utamanya, karena danau dan bantaran danau menjadi wadah untuk mengakomodasi kegiatan wisata di kawasan tersebut. Untuk pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata, mempunyai sifat rekreatif yang edukatif. Pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal, dan yang berasal dari aktifitas pengelolaan fisik (perbaikan dan penataan ulang kawasan). Sedangkan untuk pengelolaan kawasan yang melibatkan masyarakat, bertujuan mengembangkan masyarakat, tujuannya menimbulkan kesadaran pada masyarakat mengenai potensi danau, sehingga masyarakat menjadi peduli dan ikut mengelola serta menjaga kondisi lingkungan danau.

Secara garis besar program yang ditawarkan dapat secara ekologis dan sosial. Secara ekologis, yaitu dengan penanaman ulang vegetasi pada area yang gundul sebagai pelindung dan penghijauan terutama di daerah yang memiliki topografi yang curam sampai sangat curam. Selain itu hal yang harus dilakukan adalah memberlakukan dengan tepat peraturan tentang garis sempadan sungai dan danau yang berjarak 100 meter dari tepi danau dan sungai dan membebaskan sempadan sungai dan danau dari bangunan. Sedangkan secara sosial dengan pelatihan dan penyuluhan akan pentingnya peningkatan kualitas lingkungan danau demi kelestarian alam dan keberlanjutan.

Adapun penerapan program pengembangan kawasan wisata di Danau Toba yang berdasarkan sub DAS Naborsahon, diperlihatkan Tabel 27, dan 28.

Gambar

Gambar 7. Potensi Wisata yang Terjadi Akibat Perbedaan Kemiringan Lereng  Sifat  dan  karakteristik  tanah  dan  curah  hujan  dapat  digunakan  untuk  menentukan kesesuaian wisata
Gambar 8. Kondisi Areal yang Terkikis Akibat Erosi
Gambar 9. Peta Penutupan Lahan di Sub DAS Naborsahon.
Tabel 16. Luas Penutupan Lahan di Sub DAS Naborsahon  Klasifikasi tutupan lahan        Luas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Gagne, Wager, Goal, &amp; Keller [6] menyatakan bahwa terdapat enam asusmsi dasar dalam desain instruksional. Keenam asumsi dasar tersebut dapat dijelaskan

Sesuai dengan keragka pemikiran/ pendekatan masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian yaitu situasi sumber daya sekolah mencakup

Dari pengamataan serta perhitungan dari waktu baku serta perhitungan semua aspek biaya produksi maka disimpulkan metode Activity Based Costing (ABC Berdasarkan pada hasil

Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu

Gagasan John Rawls tentang keadilan sebagai fairness memuat persoalan kesempatan yang adil sekaligus membatasi ketidakadilan ekonomi dan sosial bagi anggota masyarakat yang

Dari hasil penilaian panelis terhadap mie substitusi pisang ini ternyata terbalik dengan hasil penilaian warna dan aroma, dimana semakin banyak penambahan tepung pisang maka

3 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemurnian sapi Bali di Kabupaten Barru berdasarkan identifikasi fenotipe (bentuk tanduk, warna bulu,

RENCANA PEMBELAJARAN/SAP (SATUAN ACARA PENGAJARAN) 1. Nama Diklat : Diklat Kepemimpinan Tingkat IV Angkatan 100 2. Deskripsi Singkat : Mata Diklat ini membekali peserta