• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. ANALISIS TUTUPAN LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. ANALISIS TUTUPAN LAHAN"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. ANALISIS TUTUPAN LAHAN

5.1.1. Penutupan lahan/Tutupan Lahan Di DAS Kota Ambon

Data tipe penutupan lahan/tutupan lahan di 5 (lima) DAS di Kota Ambon diperoleh melalui analisis data Citra Landsat Tahun 2002 dan Tahun 2009. Berdasarkan analisis citra secara visual, penutupan lahan/tutupan lahan di kelima DAS di Kota Ambon dibedakan dalam 6 kelas berdasarkan Badan Planologi Departemen Kehutanan Republik Indonesia (Anonim, 2008) yaitu Hutan sekunder (2002), Semak/belukar (2007), Pertanian lahan kering (20091), Pertanian lahan kering campur semak (20092), Permukiman (2012), Tanah terbuka (2014). Sebaran tipe penutupan lahan/tutupan lahan Tahun 2002 dan 2009, jenis tanah, kelerengan dan jenis tutupan lahan di ke lima DAS di Kota Ambon pada disajikan pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, dan Gambar 27, sedangkan luasan masing-masing tipe penutupan lahan/tutupan lahan disajikan pada Tabel 9.

Penilaian akurasi hasil klasifikasi menggunakan matriks kesalahan (error matrik/confusion matrix) yaitu membandingkan antara data referensi yang diketahui (ground truth data) dengan hasil klasifikasi (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam Purnama 2005). Kolom dari matriks ini mempresentasikan ground truth dari setiap kelas berdasarkan test sample, sedangkan baris dari matriks berisi kelas hasil klasifikasi dari test sample tersebut. Tingkat akurasi keseluruhan (overall classification atau overall performance class) dapat dihitung dengan menjumlahkan total jumlah piksel yang diklasifikasikan dan membaginya dengan total jumlah piksel yang diuji.

Parameter akurasi lainnya adalah kappa statistic atau KHAT, yaitu dengan menunjukkan kecocokan antara dua kategori variabel. Dalam penginderaan jauh, kappa menunjukkan ukuran kecocokan data antara hasil klasifikasi dengan data ground truth. Nilai kappa dihitung berdasarkan matriks kesalahan dan berada pada interval 0 sampai dengan 1, dimana 0 berarti tidak ada kecocokan sama sekali antara data hasil klasifikasi dengan ground truth, sedangkan kappa semakin mendekati 1,0 memperlihatkan tingkat akurasi yang lebih baik.

(2)

Hasil perhitungan nilai akurasi keseluruhan sebesar 83.56%, secara rinci perhitungan nilai akurasi disajikan pada Tabel 9 dan sebaran titik pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 9. Luas masing-masing tutupan lahan kelima DAS di Kota Ambon No. Penutupan lahan/Tutupan

Lahan

2002 2009 Perubahan

(ha)

Ha % ha %

1 Hutan Sekunder 918,96 22,29 1.664,68 40,37 +745,2 2 Pert. Lahan Kering Campuran 1.680,94 40,77 310,99 7,54 -1.369,95

3 Lahan Terbuka 42,31 1,03 66,60 1,62 +24,29

4 Pemukiman 479,06 11,62 498,12 12,08 +19,06

5 Pertanian Lahan Kering 979,60 23,76 141,45 3,43 -838,15 6 Semak Belukar 22,23 0,54 1.441,27 34,96 +1.419,04 Jumlah 4.123,1 100,01 4.123.11 100 -0.01 Keterangan : (+) peningkatan luas area, (-) penurunan luas area

Hasil analisis perubahan penutupan lahan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 9, terihat bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan dari Tahun 2002 ke Tahun 2009 dimana yang mengalami peningkatan luasan yaitu hutan sekunder mengalami peningkatan luasan sebesar 745,2 ha; lahan terbuka sebesar 24,29 hha; permukiman sebesar 19,06 ha; dan semak belukar sebesar 1.419,04 ha. Jenis tutupan lahan yang mengalami pengurangan luasan adalah pertanian lahan kering campur sebesar 1.136,95 ha dan pertanian lahan kering sebesar 838,15 ha.

(3)

Tabel 10. Matriks kesalahan hasil klasifikasi Reference Data Hutan Lahan Kering Sekunder Lahan Terbuka Permukiman Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering campuran Semak Belukar Jumlah

Hutan Lahan Kering Sekunder 8 8

Lahan Terbuka 4 1 5

Permukiman 12 1 1 1 15

Pertanian Lahan kering 4 4

Pertanian Lahan kering Campur 1 8 1 10

Semak Belukar 1 1 18 20

Jumlah 9 4 15 5 9 20 62

Producers Accuracy User’s Accuracy

Hutan Sekunder = 0,89 = 88,89 Hutan Sekunder = 1,00 = 100,00

Semak belukar = 1,00 = 100,00 Semak belukar = 0,80 = 80,00

Pertanian lahan kering = 0,80 = 80,00 Pertanian lahan kering = 0,80 = 80,00 Pertanian lahan kering campuran = 0,80 = 80,00 Pert. Lahan kering

campuran

= 1,00 = 100,00

Permukiman = 0,89 = 88,89 Permukiman = 0,80 = 80,00

Tanah terbuka = 0,90 = 90,00 Tanah terbuka = 0,90 = 90,00

Nilai Akurasi Keseluruhan = ( 54)/62 = 87,10% Nilai Akurasi Kappa = 83,56%

Cl as si fi ed d at a

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

Hutan sekunder

Hutan sekunder adalah kenampakkan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang telah menampakan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Kenampakan warna pada Citra Landsat band 5-4-2, hutan sekunder nampak dengan warna hijau tua dengan tekstur kasar. Hal ini disebabkan oleh tingginya keadaan stratum hutan, biomassa dan kelembaban dari hutan tersebut. Hutan alam/primer pada lahan basah kenampakan warnanya lebih gelap dari pada hutan lahan kering karena adanya pengaruh dari genangan air.

Berdasarkan hasil interpretasi Citra landsat, luas hutan sekunder di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah 918,96 hektar (22,29%). Luas tersebut menjadi 1.664,68 hektar (40,37%) pada Tahun 2009. Kenaikan luas hutan sekunder ini diperkirakan terjadi karena adanya kegiatan reboisasi oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kota Ambon lewat Program Gerakan Rehabilitasi Lahan Tahun 2004-2009. Secara rinci luas tutupan lahan hutan sekunder disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas tutupan lahan hutan sekunder

DAS Tahun (ha)

2002 2009 Perubahan

Wai Ruhu 104,92 618,36 +513,44

Wai Batu Merah 128,93 132,59 +3,66

Wai Tomu 109,01 210,05 +101,04

Wai Batu Gajah 184,35 299,95 +115,60

Wai Batu Gantung 407,01 406,85 -0,16

Jumlah 934,22 1667,80 +733,57

Berdasarkan data pada Tabel 11 nampak secara keseluruhan terjadi penurunan luas lahan hutan sekunder yang disebabkan perubahan penutupan lahan/tutupan lahan menjadi penggunaan lain, gambaran luasan penutupan lahan/tutupan lahan hutan sekunder disajikan pada Gambar 28. Kondisi tutupan lahan hutan sekunder di kelima DAS Kota Ambon, ternyata hutan terluas untuk Tahun 2009 terdapat pada DAS Wai Ruhu seluas 620,05 hektar, dan terkecil pada DAS Batu Gantung seluas 1,21 hektar pada Tahun 2002. Perubahan penutupan lahan/tutupan lahan hutan sekunder yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang signifikan luasanya cenderung bertambah, kecuali pada DAS Batu Gajah yang terjadi pengurangan,

(9)

Gambar 28. Tutupan lahan hutan sekunder Semak/belukar

Semak/belukar adalah kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau kawasan dengan pohon jarang (alami), atau kawasan dengan dominasi vegetasi berkayu bercampur dengan vegetasi rendah (alami) lainnya, serta umumnya sudah tidak ada kenampakan bekas alur atau bercak penebangan lagi.

Susunan tumbuhan pada tipe belukar umumnya berdaun lebar dan tipis dengan lapisan tajuknya yang belum nampak sehingga memberikan nilai pantulan yang tinggi. Pada citra Landsat dengan kombinasi band 5-4-2 nampak dengan warna hijau muda kekuningan dengan tekstur yang halus. Gambar tutupan lahan semak/belukar dapat dilihat pada Gambar 29 berikut.

(10)

Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan semak belukar di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 26,71 hektar (0,54%). Luas tersebut menjadi 1419,61 hektar pada Tahun 2009 atau terjadi peningkatan luas kawasan semak/belukar. Secara rinci tutupan lahan semak/belukar disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas tutupan lahan semak/belukar

DAS Tahun (ha)

2002 2009 Perubahan

Wai Ruhu 0,00 628,58 +682,58

Wai Batu Merah 0,61 228,58 +227,97

Wai Tomu 6,50 115,69 +109,19

Wai Batu Gajah 19,61 92,51 +72,91

Wai Batu Gantung 0,00 300,25 +300,25

Jumlah 26,71 1419,61 +1392,90

Berdasarkan Tabel 12 nampak secara keseluruhan terjadi kenaikan luas lahan semak/belukar disebabkan oleh bekas perubahan tutupan lahan menjadi penggunaan lain dan karena kerusakan dari DAS sendiri. Luas kawasan semak/belukar dikelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan semak/belukar terluas Tahun 2009 pada DAS Wai Ruhu seluas 628,58 hektar, dan terkecil berada pada DAS Wai Ruhu dan Batu Gantung seluas 0 hektar pada Tahun 2002. Perubahan tutupan lahan semak/belukar terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi peningkatan luasan yang signifikan.

Pertanian lahan kering

Pertanian lahan kering adalah semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan (tanaman musiman, penggairan tergantung pada air hujan) kebun campuran dan ladang. Pada kebun campuran apabila tanaman pertanian lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering.

Pada Citra Landsat kombinasi band 5-4-2, areal yang baru ditanam akan nampak dengan warna merah tua, sedangkan lahan yang sudah ditanami dengan palawija mulai dari warna merah muda sampai kekuningan, kadang-kadang tidak dapat dibedakan dengan tumbuhan penutup tanah seperti vegetasi semak (alang-alang) karena biomasanya tidak jauh berbeda. Gambar tutupan lahan pertanian lahan kering dapat dilihat pada Gambar 30.

(11)

Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan pertanian lahan kering di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 979,60 hektar (23,76%). Luas tersebut menjadi 141,45 hektar pada Tahun 2009 atau diperkirakan terjadi pengurangan luas kawasan pertanian lahan kering. Secara rinci luas tutupan lahan pertanian lahan kering disajikan pada Tabel 13.

Gambar 30. Tutupan lahan pertanian lahan kering Tabel 13. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering

DAS Tahun (ha)

2002 2009 Perubahan

Wai Ruhu 837,86 0 -837,86

Wai Batu Merah 1,13 48,86 +47,73

Wai Tomu 0,00 14,03 +14,03

Wai Batu Gajah 93,84 20,26 73,59

Wai Batu Gantung 30,28 59,91 +29,64

Jumlah 963,11 143,06 -820,05

Berdasarkan Tabel 13 nampak bahwa secara keseluruhan terjadi kenaikan luas pertanian lahan kering disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang bertani. Luas kawasan pertanian lahan kering dikelima DAS Kota Ambon ternyata kondisi tutupan lahan pertanian lahan kering terluas untuk Tahun 2002 terdapat pada DAS Wai Ruhu seluas 837,86 hektar, terkecil pada DAS Wai Tomu (Tahun 2002) dan Wai Ruhu (Tahun 2009) seluas 0 hektar. Perubahan tutupan lahan pertanian lahan kering yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa perubahan yang signifikan luasannya cenderung bertambah untuk DAS Batu Gantung, Batu Merah dan Wai Tomu, sedangkan terjadi penurunan untuk DAS Batu Gajah dan DAS Wai Ruhu. Berkurangnya luasan pertanian lahan kering disebabkan karena persaingan hasil pertanian lokal dengan pertanian dari daerah lain yang lebih

(12)

murah dan lahan kering yang ditanam dengan sayuran biasanya untuk konsumsi sendiri, begitu juga untuk pertanian lahan kering campur

Pertanian lahan kering campuran

Pertanian lahan kering campuran adalah semua jenis pertanian di lahan kering yang berselang seling atau bercampur dengan semak, belukar, dan bekas tebangan. Pada kebun campuran apabila semak, belukar dan bekas tebangan lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering bercampur semak. Berdasarkan kenampakan warnanya nampak dengan campuran warna hijau dan merah pada Citra Landsat dengan kombinasi band 5-4-2. Warna hijau menunjukan tanaman tahunan, merah berupa tanaman semusim.

Pertanian lahan kering campuran dapat dibedakan dengan vegetasi semak/belukar. Gambar tutupan lahan pertanian lahan kering campuran dapat dilihat pada Gambar 31 di bawah ini.

Gambar 31. Tutupan lahan pertanian lahan kering campuran

Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan pertanian lahan kering campuran di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 1.680,94 hektar (40,77%). Luas tersebut menjadi 310,99 hektar pada Tahun 2009 atau terjadi pengurangan luas kawasan pertanian lahan kering campuran. Secara jelas tutupan lahan pertanian lahan kering campuran disajikan pada Tabel 14.

(13)

Tabel 14. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering campur.

DAS Tahun (ha)

2002 2009 Perubahan

Wai Ruhu 568,08 159,19 -408,89

Wai Batu Merah 311,26 14,76 -296,50

Wai Tomu 215,93 24,31 -191,62

Wai Batu Gajah 203,54 63,29 -140,25

Wai Batu Gantung 376,49 48,08 -328,41

Jumlah 1675,29 309,63 -1365,66

Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan luas lahan pertanian lahan kering campur yang disebabkan oleh bekas perubahan penutupan lahan/tutupan lahan menjadi penggunaan lain dan karena kerusakan dari DAS sendiri. Luas kawasan pertanian lahan kering campuran dikelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan pertanian lahan kering campur terluas Tahun 2002 pada DAS Wai Ruhu seluas 568,08 hektar, dan terkecil pada DAS Batu Merah Tahun 2009 seluas 14,76 hektar. Perubahan penutupan lahan/tutupan lahan pertanian lahan kering campuran yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang cenderung berkurang.

Permukiman

Permukiman adalah kenampakan kawasan permukiman, baik perkotaan atau pedesaan yang masih mungkin untuk dipisahkan, Lapangan golf dan kawasan 85lluvial masuk ke dalam kelas permukiman. Pada citra landsat dengan kombinasi band 5-4-2, jalan raya dan permukiman 85lluvi dengan warna merah jambu, Kenampakan dari permukiman dengan ukuran yang cukup luas dapat diidentifikasi sebagai daerah perkotaan. Gambar 32 menunjukan tutupan lahan permukiman, dapat dilihat dibawah ini.

(14)

Berdasarkan hasil interpretasi citra, luas daerah permukiman di kelima DAS Kota Ambon Tahun 2002 seluas 479,06 hektar (11,62%). Luas tersebut menjadi 498,12 hektar Tahun 2009 atau terjadi peningkatan luas kawasan permukiman. Secara rinci liat tutupan lahan permukiman disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Luas tutupan lahan permukiman.

DAS Tahun (ha)

2002 2009 Perubahan

Wai Ruhu 13,94 60,60 +46,66

Wai Batu Merah 136,48 139,69 +3,20

Wai Tomu 83,06 34,34 -48,73

Wai Batu Gajah 49,07 56,39 +7,33

Wai Batu Gantung 36,05 38,43 +2,38

Jumlah 318,60 329,44 +10,84

Berdasarkan Tabel 15 nampak secara keseluruhan terjadi kenaikan luas lahan permukiman disebabkan karena kebutuhan lahan seiring pertambahan penduduk serta adanya konflik kemanusiaan yang terjadi Tahun 1999 sehingga menyebabkan munculnya permukiman-permukiman baru di DAS Kota Ambon. Luas kawasan permukiman di kelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan permukiman terluas Tahun 2009 pada DAS Batu Merah seluas 139,69 hektar, dan terkecil pada DAS Wai Ruhu Tahun 2002 seluas 13,94 hektar. Perubahan penutupan lahan/tutupan lahan permukiman yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang cenderung bertambah.

Lahan terbuka

Lahan terbuka/kosong adalah seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) dan lahan terbuka bekas kebakaran. Pada Citra Landsat dengan kombinasi band 5-4-2, lahan terbuka nampak dengan warna merah sampai merah tua. Kenampakan yang cukup jelas dan mudah diidentifikasi pada bekas kebakaran, atau areal yang dibuka masyarakat. Gambar 33 menunjukan penutupan lahan/tutupan lahan tanah terbuka/kosong, dapat dilihat dibawah ini.

Berdasarkan hasil interpretasi citra, luas daerah tanah kosong di ke lima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 42,13 hektar (1,03%). Luas tersebut menjadi 66,60 hektar pada Tahun 2009 atau diperkirakan terjadi

(15)

peningkatan luas kawasan tanah terbuka/kosong. Tutupan lahan tanah terbuka/kosong disajikan pada Tabel 16.

Gambar 33. Tutupan lahan tanah terbuka/kosong Tabel 16. Luas tutupan tanah terbuka.

DAS Tahun (ha)

2002 2009 Selisih

Wai Ruhu 0,00 4,08 +4,08

Wai Batu Merah 0,00 13,93 +13,93

Wai Tomu 0,00 16,09 +16,09

Wai Batu Gajah 0,00 18,01 +18,01

Wai Batu Gantung 15,15 11,44 -3,71

Jumlah 15,15 63,55 +48,40

Berdasarkan Tabel 16 nampak bahwa secara keseluruhan terjadi kenaikan luas tanah terbuka/kosong yang disebabkan oleh faktor kebakaran atau pembukaan lahan oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas pertanian dan kemudian ditinggalkan begitu saja. Luas tanah terbuka/kosong di kelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan tanah terbuka/kosong terluas Tahun 2009 pada DAS Wai Tomu seluas 16,06 hektar, dan terkecil pada DAS Batu Gajah, Batu Merah, Wai Ruhu, Wai Tomu (Tahun 2002) seluas 0 hektar. Perubahan tutupan lahan tanah terbuka/kosong yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan luasannya cenderung bertambah, kecuali pada DAS Batu Gantung yang menjadi menurun.

(16)

5.2. Karakteristik Hidrologi dan Debit Andalan

Proses hidrologi suatu DAS secara sederhana digambarkan dengan adanya hubungan antara unsur masukan yakni hujan, proses dan keluaran yaitu berupa aliran. Adanya hujan tertentu akan menghasilkan aliran tertentu pula. Aliran ini dipengaruhi oleh karakteristik DAS meliputi topografi, geologi, tanah, penutup lahan/vegetasi, dan pengelolaan lahan serta morfometri DAS.

Hujan yang jatuh tidak semuanya akan menjadi limpasan. Sebagian air hujan akan mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sebagian terintersepsi oleh tanaman dan evapotranspirasi ke udara. Dengan demikian jelas bahwa persentase hujan yang menjadi limpasan tergantung pada berbagai faktor dalam suatu siklus hidrologi mulai dari terjadinya hujan sampai air kembali ke udara dalam bentuk evapotranspirasi.

Perubahan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan, mulai dari penggundulan hutan digantikan dengan permukaan kedap berupa atap perumahan, jalan-jalan, tempat parkit, bandara, dan sebagainya. Dampaknya secara nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Hal ini terjadi juga pada DAS di Kota Ambon yang meliputi DAS Wai Ruhu, DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Gajah, DAS Batu Gantung. Kelima DAS ini mengalami perubahan yang sangat pesat sehingga mempengaruhi respon hidrologi dari DAS itu sendiri.

Karakteristik dari DAS di Kota Ambon yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain curah hujan, kelerengan, jenis tanah, kondisi tutupan lahan, luas dan bentuk dari DAS, panjang sungai dan debit sungai.

5.2.1. Deliniasi DAS

Pemanfaatan model MWSWAT untuk deliniasi DAS Kota Ambon dilakukan secara otomatis. Dalam proses deliniasi ini, data yang dibutuhkan berupa peta jaringan sungai, peta DEM, lokasi DAS dan outlet DAS. Hasil yang diperoleh dari proses deliniasi berupa peta jaringan sungai, batas DAS dan Sub DAS dan perhitungan topografi lengkap.

Proses deliniasi tersebut menggunakan ambang batas (threshold) yang digunakan adalah 50 ha, sehingga membentuk 5 DAS dengan total luasan

(17)

3.933,29 ha, masing-masing luasnya disajikan Tabel 17. Hasil deliniasi batas DAS dan sub DAS Kota Ambon dapat dilihat pada Gambar 34 sampai Gambar 38.

Tabel 17. Luas DAS Kota Ambon hasil deliniasi

No DAS Luas DAS (Ha) %

luas DAS 1 Wai Ruhu 1.524,97 38,77 2 Batu Merah 578,13 14,70 3 Wai Tomu 414,59 10,54 4 Batu Gajah 550,53 14,00 5 Batu Gantung 865,07 21,99 Luas Total 3.933,29 100,00

(18)

Gambar 35. Hasil deliniasi DAS Batu Merah dengan model MWSWAT

(19)

Gambar 37. Hasil deliniasi DAS Batu Gajah dengan model MWSWAT

(20)

5.2.1.1. Pembentukan HRUs pada DAS Kota Ambon Hulu

Unit lahan yang terbentuk oleh model SWAT merupakan tumpang tindih dari jenis tanah, penutupan lahan dan kemiringan lereng yang terdapat pada DAS Kota Ambon Hulu. HRUs yang terbentuk oleh model dengan menggunakan metode threshold by percentage (dimana untuk jenis lahan menggunakan threshold 5 %), jenis tanah menggunakan threshold sebesar 5% dan kemiringan lereng menggunakan threshold 5%. HRUs yang terbentuk pada proses simulasi adalah 615 Tahun 2002 dan 789 Tahun 2009 unit dengan 141 Subbassin. Perubahan HRUs yang terjadi sebesar 174 HRUs, hasil analisis HRUs dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

Tabel 18. Hasil Analisis HRUs DAS Kota Ambon

No. DAS Luas

(ha)

Jumlah Subbasin

Jumlah HRUs Tahun 2002 2009 Perubahan 1. Wai Ruhu 1.524,97 55 215 286 71 2. Batu Merah 578,13 21 87 108 21 3. Wai Tomu 414,59 13 63 88 25 4. Batu Gajah 550.53 19 96 109 13 5. Batu Gantung 865.07 33 154 198 44 Total 3.933,08 141 615 789 174

5.2.1.2. Kelerengan di DAS Kota Ambon

Kelima DAS di Kota Ambon mempunyai kelerengan terbagi dalam 6 (enam) kelas kelerengan yaitu 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-35%, 35-45%, dan > 45% (Arsyad, 2006). Berdasarkan hasil pembentukan hidrology respons unit yang dibentuk maka kondisi kelerengan pada lokasi penelitian tergolong datar sampai curam karena mewakili kelerengan 0-3% sampai dengan >45%. Namun hasil analisis SWAT menunjukan bahwa tidak ditemukan area yang masuk dalam tipe kelerengan 3-8 % dan 8-15%.

Kelerengan lereng kelima DAS didominasi oleh kelerengan curam >45% dengan luasan 3.206,22 ha, kelerengan datar 0-3% dengan luasan 623,95 ha, kelerengan agak curam 30-45% dengan luasan 17,27 ha dan terakhir kelerengan bergelombang sampai agak curam 15-30% dengan luasan 26,08 ha. Dapat dikatakan bahwa kelima DAS di Kota Ambon ini terletak pada kawasan dengan

(21)

kelerengan bergelombang-curam (bergunung). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.

Tabel 19. Kondisi kelerengan pada DAS di Kota Ambon

No. DAS Kelerengan (%)

0 – 3 3 – 8 8 – 15 15 – 30 30 – 45 > 45 Total 1. Wai Ruhu 263.05 0.00 0.00 8.67 28.45 1224.80 1.524,97 2. Batu Merah 118.51 0.00 0.00 4.05 13.28 442.29 578,13 3. Wai Tomu 57.19 0.00 0.00 2.07 8.38 346.95 414,59 4. Batu Gajah 94.05 0.00 0.00 6.49 9.99 439.55 550.53 5. Batu Gantung 91.15 0.00 0.00 4.80 17.27 752.63 865.07 Total 623.95 0.00 0.00 26.08 77.37 3206.22 3.933.29

Gambar 39. Peta kelerengan DAS Kota Ambon

5.2.2. Pembangkit Data Iklim (WGN)

Data WGN dibangun oleh data curah hujan, 93lluvial93re, kecepatan 93lluvi, radiasi matahari dalam kurun waktu 23 tahun (1986-2008). Data iklim ini digunakan untuk membangun generator cuaca dapat dilihat pada Lampiran 4.

5.2.3. Karakteristik Tanah hasil Simulasi Model SWAT

Hasil analisis jenis tanah menggunakan MSSWAT menghasilkan jenis tanah yang domiman pada kelima DAS adalah jenis tanah Podsolik dengan luas 1.738,98 ha (44,21%) kemudian jenis tanah alluvial dengan luas 1085,33 ha

(22)

(27,59%) diikuti oleh jenis tanah kambisol seluas 859,24 (21,85%) dan yang terakhir jenis tanah litosol dengan luas 249,74 (4,97%).

Jenis tanah latosol sangat sedikit penyebarannya pada lokasi penelitian karena pada DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu dan DAS Batu Gajah jenis tanah litosol tidak terdapat sama sekali. Selain itu juga jenis tanah litosol mempunyai sebaran luasan yang sangat sedikit pada DAS Wai Ruhu dan DAS Batu Gantung, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini.

Tabel 20. Jenis tanah pada kelima DAS di Kota Ambon

No. DAS

LUAS DAS

(ha)

TANAH

Podsolik % Aluvial % Litosol % Kambisol % 1 Wai Ruhu 1.524,97 639,27 41,92 545,34 35,76 152,42 9,99 166,46 10,92 2 Batu Merah 578,13 391,42 67,70 114,74 19,85 0 0 71,97 12,45 3 Wai Tomu 414,49 137,25 33,11 81,58 19,68 0 0.00 195,76 47,23 4 Batu Gajah 550,53 177,01 32,15 81,49 14,80 0 0.00 288,26 52,36 5 Batu Gantung 865,07 373,42 43,17 228,44 26,41 92,88 10,74 115,49 13,35 T o t a l 1.738,98 44,21 1.085,33 27,59 249,74 6,35 859,24 21,85

(23)

5.2.4. Karakteristik Landcover untuk Model SWAT

SWAT membutuhkan banyak input data yang sebagian besar masih belum terpenuhi karena terbatasnya data yang tersedia pada DAS Kota Ambon Hulu. Oleh karena itu, input data jenis landcover lokal disesuaikan dengan dengan input data landcover global yang diperkirakan mendekati jenis landcover global yang telah tersedia pada database SWAT dalam bentuk Microsoft access (mwswat.mdb) yang telah terintegrasi dalam software SWAT. Penyesuaian input data landcover lokal dengan landcover global dapat dilihat pada Tabel 21 .

Tabel 21. Penyesuaian jenis landcover lokal dengan landcover global (database SWAT)

Tanaman/Landcover (crop Data)

Kode SWAT (LANDCOVER_ID)

Keterangan Jenis Tanaman /Landcover dalam SWAT Hutan Sekunder FOEB Evergreen Broadleaf Forest Kebun Campuran CRDY Dry Cropland and Pasture

Perkebunan CRWO Cropland/Woodland Mosaik

Permukiman URMG Urban residential medium dencity

Semak Belukar SHRB Shrubland

Tanah Terbuka GRAS Grassland

(24)

Gambar 42. Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun 2009

5.2.5. Output SWAT

Output MWSWAT yang merupaka hasil proses simulasi MWSWAT pada tahap 4 dapat dilihat pada Gambar 48. Visualisasi output antara lain batas DAS, jaringan sungai, banyaknya HRUs, bentuk sungai, dan banyaknya subDAS. Karakteristik dari DAS Kota Ambon hasil simulasi menggunakan program MWSWAT menghasilkan karakteristik hidrologi sebagaimana tertera pada Tabel 22 di bawah ini.

Tabel 22. Karakteristik hidrologi DAS Kota Ambon

No. DAS Luas

DAS (ha) Jlh SubDAS Jlh HRUs Tahun Pjg Sungai (km) Bentuk DAS 2002 2009

1. Wai Ruhu 1.524,97 55 215 286 11,8 Memanjang

2. Batu Merah 578,13 21 87 108 6,8 Melebar

3. Wai Tomu 414,49 13 63 88 6,2 Memanjang

4. Batu Gajah 550,53 19 96 109 6,6 Memanjang

(25)

Gambar 43. Deliniasi kelima DAS di Kota Ambon

Gambar 44. Grafik perbandingan debit observasi, debit simulasi DAS Wai Tomu

5.2.6. Kalibrasi Model SWAT

Kalibrasi model dilakukan dengan membandingkan debit hasil simulasi (flow out pada file RCH) dengan debit hasil pengukuran lapang pada SPAS Wai Tomu saja karena data yang ada hanya pada DAS Wai Tomu, sedangkan untuk keempat DAS yang lain tidak dilakukan karena tidak ada data. Kalibrasi dilakukan menggunakan data hujan dan debit Tahun 2010, dan tutupan lahan Tahun 2009 dengan periode harian. Simulasi dilakukan dengan metode statistik.

(26)

Kalibrasi dilakukan menggunakan SWAT CUP secara berulang-ulang sebanyak 700 kali untuk 1 (satu) kali iterasi dan iterasi dilakukan sebanyak 3 kali, menghasilkan nilai p_factor sebesar 0,65; nilai NSI sebesar 0,06; nilai R2 sebesar 0,50. Dalam kalibrasi menggunakan SWAT CUP maka parameter yang sering dipakai adalah p_faktor dan R2 (Kamus SWAT di Toolbar Help pada MWSWAT) sehingga lewat kedua parameter ini dapat ditarik kesimpulan tentang hasil debit yang dapat mewakili.

Nilai p_faktor menerangkan luasan dari 95PPU (95% prediction uncertainty)/luasan dari parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi artinya himpitan antara garis grafik observasi dengan grafik simulasi. Semakin berimpit maka nilai p-faktor akan semakin besar. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keakuratan debit kalibrasi dapat melakukan prediksi debit di lapangan secara akurat. Nilai R2 adalah koefisien determinasi yang menggambarkan seberapa besar kemampuan semua variabel bebas menjelaskan model yang dihasilkan. Parameter yang disarankan untuk di ubah-ubah atau dilakukan simulasi untuk keadaan tertentu adalah terlihat pada Lampiran 6.

Gambar 45. Grafik debit DAS Wai Tomu Hasil Kalibrasi

Hasil kalibrasi debit dari SWAT CUP dibandingkan dengan debit observasi dan debit model yang ada untuk melihat bagaimana trend dan kecenderungan persamaan grafik tersebut.

Debit yang dihasilkan merupakan hasil simulasi mengunakan parameter hasil kalibrasi SWAT CUP (Lampiran 6), kemudian dimasukkan nilai 32 parameter tersebut pada SWAT Editor, sehingga mendapatkan nilai debit dari masing-masing DAS yang lain. Simulasi dilakukan untuk tahun 1986-2008. Debit

(27)

ini di anggap dapat merepresentasikan kondisi yang ada di lapangan dengan beranggapan bahwa nilai debit ini 50% sama dengan kondisi real di lapangan.

Fluktuasi Debit

Fluktuasi debit kelima sungai dari Tahun 1986 –2008 menunjukkan bahwa debit sungai tinggi terjadi pada Tahun 2000, sedangkan debit sungai terrendah pada Tahun 1986. Bulan Juli merupakan puncak dari debit puncak tertinggi. DAS yang mempunyai debit sungai terbanyak adalah DAS Wai Ruhu sedangkan DAS Batu Merah adalah DAS dengan debit sungai yang terkecil. Gambar fluktuasi debit bulanan dari kelima DAS di Kota Ambon dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 46. Fluktuasi debit sungai kelima DAS di Kota Ambon Debit Andalan

Debit andalan adalah debit yang dirancang berdasarkan konsep peluang (probability), dan digunakan untuk mengetahui ketersediaan air dengan resiko sekian persen (Soemarto, 1989). Debit andalan adalah suatu nilai debit yang dapat diandalkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan air yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan besarnya debit rencana untuk mendukung perencanaan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.

(28)

Debit andalan yang diperoleh berdasarkan hasil simulasi RAINBOW untuk peluang 80% adalah Wai Ruhu 0,1861 m3/det; Sungai Batu Merah 0,0705 m3/det; Wai Tomu 0,1687 m3/det; Sungai Batu Gajah 0,0565 m3/det; Batu Gantung 0,0422 m3/det. Distribusi debit andalan dari setiap DAS disajikan pada Gambar 47 dibawah ini.

Gambar 47. Grafik debit andalan kelima DAS Kota Ambon

Gambar 47 menunjukan ketersediaan air pada bulan Oktober sampai dengan bulan April cenderung tetap namum pada bulan Mei sampai bulan September debit sungai cenderung tinggi atau meningkat. Debit Bulan Maret yang pakai untuk menghitung ketersediaan air di DAS dengan pertimbangan ketersediaan air saat kondisi minimum.

Total ketersediaan air dari kelima DAS adalah Wai Ruhu 5.868.849,60 m3, Sungai Batu Merah 2.223.288,00 m3, Wai Tomu 5.320.123,20 m3, Sungai Batu Gajah 1.781.784,00 m3, dan Batu Gantung 1.330.819,20m3 sehingga total kesediaan air di sungai adalah 18.417.024,00 m3 pada kondisi minimum. Total ketersedian air ini diperoleh dengan cara nilai debit andalan di konversi dari m3/det menjadi m3/tahun (nilai debit dikalikan dengan 60*60*24*365).

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00

JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC

D e b it ( m 3 /d e t) Bulan

Wai Ruhu BATU MERAH WAI TOMU

(29)

5.3. ANALISIS KEBUTUHAN AIR

Air yang dikonsumsi oleh manusia dapat berasal dari dalam tanah, dan dari air permukaan. Ketersediaan air suatu kawasan bergantung pada siklus hidrologi kawasan tersebut. Konservasi Daerah Aliran Sungai merupakan cara untuk menyimpan air karena banyaknya akar tanaman akan mampu menambah lubang pori-pori tanah sehingga air dapat masuk, dan aliran permukaan (run off) pada saat hujan akan menjadi berkurang.

Kebutuhan Air

Analisis kebutuhan air meliputi kebutuhan air untuk domestik, industri, peternakan dan irigasi selain dilakukan untuk kebutuhan saat ini juga dilakukan untuk kebutuhan air dimasa yang akan datang, dimana faktor-faktor utama yang mempengaruhi kebutuhan tersebut akan mempengaruhi.

5.3.1. Kebutuhan Air Domestik

Kebutuhan air rumah tangga atau domestik adalah kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Kebutuhan air rumah tangga antara lain untuk minum, memasak, mandi cuci kakus (MCK) dan lain-lain seperti cuci mobil/motor, menyiram tanaman dan sebagainya. Perkiraan jumlah kebutuhan air domestik saat ini dan saat yang akan datang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air perkapita. Kebutuhan air perkapita dipengaruhi oleh aktivitas dan kebiasaan atau tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam memperkirakan besarnya kebutuhan air domestik perlu dibedakan antara kebutuhan air untuk penduduk daerah perkotaan (urban) dan daerah perdesaan (rural). Adanya pembeda kebutuhan air dilakukan dengan mempertimbangkan penduduk di daerah perkotaan cenderung memanfaatkan air secara berlebihan dibandingkan dengan penduduk di pedesaan.

Kebutuhan air domestik yang dihitung meliputi kebutuhan air penduduk, kebutuhan air murid di sekolah, kebutuhan air guru di sekolah, kebutuhan air rumah sakit, dan kebutuhan air hotel.

Besarnya konsumsi air dapat mengacu pada berbagai macam standar yang telah dipublikasikan. Standart kebutuhan air domestik berdasarkan kriteria jumlah penduduk dan jenis kota seperti disajikan pada Tabel 3. Jumlah penduduk yang

(30)

digunakan dalam standar ini adalah jumlah penduduk yang menetap pada satu wilayah.

Tabel 23. Standar KA. RT. berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk Jumlah Penduduk

(jiwa) Jenis Kota

Jumlah Kebutuhan Air (liter/orang/hari) >2.000.000 1.000.000 – 2.000.000 500.000 – 1.000.000 100.000 – 500.000 20.000 – 100.000 3.000 – 20.000 Metropolitan Metropolitan Besar Besar Sedang Kecil >210 150 – 210 120 – 150 100 – 150 90 – 100 60 – 100 Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

Besarnya kebutuhan air untuk tiap orang per hari berdasarkan standart dari Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan untuk penduduk kota besar sebesar 150 liter/kapita/hari. 2. Kebutuhan untuk penduduk kota kecil sebesar 80 liter/kapita/hari. 3. Kebutuhan untuk penduduk pedesaan sebesar 60 liter/kapita/hari.

Berdasarkan Tabel 23 di atas, sesuai dengan jumlah penduduk Kota Ambon maka dapat dikategori sebagai kota sedang dengan jumlah kebutuhan air sebesar 90 – 100 liter/orang/hari. Kota Ambon dengan penduduk sebesar 331.254 jiwa pada Tahun 2010, kebutuhan air domestik rata-rata dapat diasumsikan sama dengan rata-rata konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia, yaitu sebesar 100 liter/orang/hari (Standar Kebutuhan Air Untuk Berbagai Sektor, SNI 19-6728,1-2002). Dengan demikian dapat diketahui kebutuhan air domestik di Kota Ambon pada Tahun 2010 adalah 7.024.621 m3; kebutuhan air murid adalah 57.381 m3; kebutuhan air guru sebesar 16.945 m3; kebutuhan air untuk hotel adalah 173.727 m3 dan kebutuhan air rumah sakit sebesar 288.423 m3; sehingga total kebutuhan air domestik lokasi penelitian Tahun 2010 adalah 7.561.097 m3.

Sebaran penduduk di lokasi penelitian (Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe) Tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Sirimau sebanyak 120.064 jiwa dan Kecamatan Nusaniwe adalah 71.694 jiwa. Jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan

(31)

kebutuhan air di daerah yang banyak penduduknya, demikian pula sebaliknya. Jumlah penduduk lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 24 berikut ini.

Tabel 24. Jumlah penduduk di lokasi penelitian Tahun 2005 - 2010

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

Kecamatan Sirimau Kecamatan Nusaniwe 2005 2006 2007 2008 2009 2010 103.877 104.694 105.010 107.302 108.698 120.064 64.428 65.650 65.863 66.577 67.788 71.694 Sumber : BPS Kota Ambon (diolah).

Perkembangan jumlah penduduk dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk, Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian Tahun 2005-2010 yaitu 2,72% (data pertumbuhan murid, guru, hotel, rumah sakit terlampir dalam tulisan ini) yang dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Rata-rata pertumbuhan penduduk Kota Ambon Tahun 2005-2010 Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Prtmbhn Penduduk Jiwa Persen (%) Metode Geometri {Pn = P0 (1+r)n} 2005 168.305 - - - 2006 170.344 2.039 1,21 172.880 2007 170.873 529 0,31 177.578 2008 173.879 3.006 1,76 182.405 2009 176.486 2.607 1,53 187.363 2010 191.758 15.272 8,78 192.455 Jumlah 23.453 13,6

Tingkat pertumbuhan domestik, ternak dan industri di lokasi penelitian meliputi pertumbuhan penduduk, pertumbuhan murid, pertumbuhan guru, pertumbuhan hotel, pertumbuhan rumah sakit, pertumbuhan ternak (sapi, kambing, babi, unggas) dan pertumbuhan industri dapat dilihat pada Tabel 26 berikut ini.

(32)

Tabel 26. Tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian Tahun 2005-2010

No. Pertumbuhan Tingkat Pertumbuhan (%)

1 Penduduk 2,72 2 Murid 6,06 3 Guru 7,29 4 Hotel 18,70 5 Sapi 6,32 6 Kambing 15,42 7 Babi 9,80 8 Unggas 2,72 9 Rumah Sakit 0,00 10 Industri 13,66

5.3.2. Kebutuhan Air Pertanian

Kebutuhan air untuk pertanian yang dihitung hanya kebutuhan air untuk ternak, sedangkan kebutuhan air untuk pertanian tidak dihitung karena pada lokasi penelitian tidak ada saluran irigasi yang fungsinya untuk mengairi tanaman pertanian. Tanaman pertanian yang ada pada lokasi penelitian menggunakan air hujan yang jatuh langsung.

Kebutuhan air ternak pada lokasi penelitian yang meliputi Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe antara lain untuk ternak sapi, kambing, babi, dan unggas. Kebutuhan air ternak dihitung sama dengan kebutuhan air domestik yaitu dengan menghitung tingkat petumbuhan ternak selama 6 tahun.

Jumlah ternak di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe untuk Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 27 dan tingkat pertumbuhan masing-masing jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 26 di atas. Jumlah kebutuhan air ternak Tahun 2010 adalah kebutuhan air sapi 5.989 m3/thn; kebutuhan air ternak kambing 852 m3/thn; kebutuhn air ternak babi sebesar 2.331 m3/thn; kebutuhan air ternak unggas sebesar 42.148 m3/thn; sehingga keseluruhan kebutuhan air untuk ternak Tahun 2010 adalah sebesar 51.320 m3/thn.

(33)

Tabel 27. Jumlah ternak di lokasi penelitian Tahun 2005 – 2010

Tahun Jumlah Ternak (ekor)

Sapi Kambing Babi Unggas

2005 302 228 667 26.753 2006 344 252 808 26.074 2007 274 332 728 27.870 2008 329 398 873 33.444 2009 394 476 1047 46.479 2010 375 442 994 37.699

5.3.3. Kebutuhan Air Industri

Kebutuhan air untuk industri pada lokasi penelitian yang meliputi Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe antara lain untuk industri pangan formal; tekstil; bahan bangunan; mesin, logam, elektronik; dan kerajinan. Kebutuhan air industri dihitung dengan asumsi bahwa luasan industri seluas 1 hektar dengan tingkat kebutuhan air adalah 1 liter/detik/hektar (SNI 19-6728.1-2002) dan berdasarkan tingkat pertumbuhan industri selama 6 tahun.

Jumlah industri di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe untuk Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 28 dan tingkat pertumbuhan industri sebesar 13,66% (Tabel 26 di atas). Jumlah kebutuhan air industri Tahun 2010 adalah kebutuhan air industri pangan formal 2.680.560 m3; kebutuhan air industri tekstil 756.864 m3; kebutuhan air untuk industri bahan bangunan sebesar 504.576 m3; kebutuhan air industri mesin, logam, elektronik sebesar 2.617.488 m3; dan kebutuhan air industri kerajinan sebesar 1.702.944 m3; sehingga total kebutuhan air industri Tahun 2010 adalah sebesar 8.262.432 m3.

Tabel 28. Jumlah industri di lokasi penelitian Tahun 2005 – 2010 Tahun Industri Total Pangan Formal Tekstil Bahan Bangunan Mesin, Logam, Elektronik Kerajinan 2005 42 14 14 42 30 142 2006 56 15 15 49 31 166 2007 69 18 19 64 46 216 2008 77 22 22 73 50 244 2009 85 24 16 83 54 262 2010 85 24 16 83 54 262

(34)

5.3.4. Total Kebutuhan Air di Lokasi Penelitian

Kebutuahn air secara keseluruhan untuk lokasi penelitian adalah kebutuhan air domestik ditambah kebutuhan air ternak ditambah kebutuhan air industri adalah sebesar 15.894.849 m3 pada Tahun 2010.

5.3.5. Produksi Air PDAM dan PT. DSA Kota Ambon

Data produksi air yang diperoleh dari PDAM Kota Ambon dan PT. Dream Sukses Airlindo (DSA) yang terkait dengan lokasi penelitian di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe Tahun 2011 terdapat 17 sumber air yang di gunakan untuk menyediakan air bagi masyarakat Kota Ambon.

Debit air yang di produksi PDAM Kota Ambon (Tabel 29) berkisar antara 5 liter/det (kondisi minimum/kemarau) sampai 86 liter/detik (kondisi maksimum/hujan). Debit yang dihasilkan dari ke 17 sumber air berkisar antara 6.732.940–7.710.550 m3/tahun atau 18.450–21.120 m3/hari. Sedangkan produksi air bersih oleh PT. DSA adalah sebesar 1.534.335 m3/tahun (BPS Kota Ambon, 2011).

Produksi air ini jika dibandingkan dengan kebutuhan air masyarakat di lokasi penelitian yang merupakan kawasan Pusat Kota Ambon tidaklah mencukupi yaitu kebutuhan untuk Tahun 2010 sebesar 15.894.849 m3 sementara produksi air yang di suplai kepada masyarakat pada kondisi minimum dimusim kemarau adalah 8.267.275 m3 dan pada musim hujan sebesar 9.244.885 m3 atau pasokan dari PDAM dan DSA sebagai penyedia jasa air minum hanya baru memenuhi 52,01% (sisanya yang belum terpenuhi adalah 7.627.574 m3 (47,98%) pada musim kemarau dan kebutuhan air masyarakat Kota Ambon pada musim hujan adalah 48,51% (yang tidak terpenuhi 8.148.297 m3).

Masyarakat Kota Ambon yang berada pada lokasi penelitian menggunakan air selain dari PDAM Kota Ambon. juga menggunakan air sumur gali, air tanah, air sungai dan bahkan ada yang beli dari mobil tangki. Dalam penelitian ini yang menjadi objek perhitungan produksi air hanya dari sumber PDAM Kota Ambon saja.

(35)

Tabel 29. Data sumber air dan produksi air PDAM Kota Ambon 2011

SUMBER DEBIT (LITER/DETIK) Produksi air (LITER)

MAX MIN MAX MIN

AIR KELUAR 43 37 1.356.048 1.166.832 BATU GAJAH 10 3,5 315.360 110.376 WAINITU 86 72 2.712.096 2.270.592 WAIPOMPA 18 13,5 567.648 425.736 A/P - 1 10 10 315.360 315.360 A/P - 1A 10 10 315.360 315.360 A/P - 2A 10 10 315.360 315.360 A/P - 4 10 10 315.360 315.360 A/P - SKIP 5 5 157.680 157.680 A/P - POHON MANGGA 7,5 7,5 236.520 236.520 A/P - 11 5 5 157.680 157.680 A/P - 10 5 5 157.680 157.680 A/P - 7 5 5 157.680 157.680 A/P - 6 10 10 315.360 315.360 A/P - 8 5 5 157.680 157.680 A/P - 9 5 5 157.680 157.680 7.710.550 6.732.940

Sumber: PDAM Kota Ambon 2011

5.4. Pemodelan Daerah Aliran Sungai Kota Ambon Yang Berkelanjutan

5.4.1. Status Keberlanjutan DAS Kota Ambon

Pengelolaan DAS Kota Ambon dilakukan oleh berbagai stakeholders dengan berbagai kepentingan dan pengaruh yang dimiliki terhadap interaksi antar pelaku. DAS memiliki berbagai produk barang dan jasa yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat yang ada di DAS. Namun sebaliknya, DAS juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat akibat memburuknya kualitas dan fungsi DAS. Manfaat yang diberikan oleh DAS diantaranya manfaat ekologis, ekonomis, maupun sosial dan budaya. Dalam suatu periode waktu manfaat ekonomi menjadi penting bagi masyarakat, namun pada saat yang berbeda manfaat ekologis menjadi sangat penting dan melebihi kepentingannya daripada manfaat sosial maupun ekonomi. Tingkat manfaat yang diperoleh sangat ditentukan oleh interaksi antar pelaku di dalam DAS dengan kondisi biofisik DAS.

(36)

DAS Kota Ambon hulu merupakan bagian dari DAS yang termasuk dalam kategori kritis dan memerlukan prioritas penanganan yang lebih baik (DAS Batu Merah). Perilaku DAS hulu Kota Ambon telah mengakibatkan banjir di wilayah hilir pada musim hujan. Akibat banjir menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil yang terus berlangsung belakangan ini secara periodik pada musim hujan, penurunan kualitas air sungai, longsor pada beberapa titik maupun kejadian kekeringan pada musim kemarau. Secara teknis hidrologi, kondisi demikian dapat terjadi akibat tingginya limpasan air permukaan dan berlangsungnya erosi. Kondisi hidrologi DAS Kota Ambon ditunjukkan oleh ketidakstabilan debit air maksimum dan minimum di kelima sungai. Koefisien rejim sungai kelima DAS menunjukkan nilai di atas 120 yang berarti kondisi DAS Kota Ambon yang semakin buruk.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan DAS Kota Ambon dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial. Status keberlanjutan DAS dilakukan melalui penilaian keberlanjutan masing-masing dimensi dengan analisis terhadap atribut-atribut penyusunannya dengan metoda multidimensional scaling menggunakan Rap_Insus DAS Kota Ambon yang merupakan modifikasi dari Rapfish (A Rapid Appraisal Technique for Fisheries) yang biasa digunakan untuk menduga tingkat keberlanjutan pada perikanan tangkap dari berbagai dimensi.

5.4.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Hasil analisis Rap-DAS Kota Ambon terhadap 9 atribut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi sebesar 38,55% (terletak antara 25,00–44,99%) berarti kurang berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan kurang dari 50% ini menunjukan semakin memburuknya kondisi ekologi wilayah DAS Kota Ambon. Kemampuan ekologi wilayah untuk mendukung aktivitas di wilayah tersebut semakin berkurang. Bila daya dukung ekologis ini dibiarkan maka berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain sehingga pengelolaan DAS Kota Ambon semakin tidak berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi disajikan pada Gambar 52.

(37)

Berdasarkan analisis leverage terhadap atribut ekologi diperoleh 5 atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan dari dimensi ekologi yaitu (1) Debit Aliran Sungai (RMS = 5,00); (2) Indeks Penggunaan Air/IPA (RMS = 4,29); (3) Indeks bervegetasi IPL = Lahan Bervegetasi/Luas DAS (RMS = 3,33); (4) Pola Pertanian Konservatif (RMS = 3,21); dan (5) Kecukupan Luasan Tutupan hutan (RMS = 2,95). Perubahan terhadap ke-5 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 48.

Gambar 48. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Kota Ambon Debit aliran sungai berdasarkan perhitungan koefisien resim sungai ternyata mendapatkan nilai yang lebih dari 120 artinya bahwa debit sungai pada saat debit minimum untuk puncak kemarau adalah 0,2 m3/detik (debit aliran bisa terjadi kering atau debit menjadi nol (0)) dan pada saat puncak musim hujan menjadi 0,9 m3/detik (Balai Sungai Maluku Tahun 2011) artinya secara fisik maka aliran sungai sudah berada pada nilai KRS 450.

RAP Insus DAS Ordination

(38)

Gambar 49. Hasil analisis leverage atribut pada dimensi ekologi

Indeks penggunaan air (IPA) yang dihitung berdasarkan SNI 19-6728.1-2002 menunjukan bahwa kebutuhan air untuk konsumsi wilayah Kota Ambon telah melebih produksi air yang disediakan oleh PDAM Kota Ambon dan PT. DSA. Kondisi seperti ini perlu menjadi pertimbangan oleh pihak PDAM Kota Ambon untuk pengelolan yang baik seperti kontrol atau minimalkan kebocoran pada jaringan perpipaan. Pemanfaatan sumber air tanah sebagai persediaan kebutuhan konsumsi masyarakat serta pemanfaatan sumber air yang baru.

Pertanian konservatif pengelolaan lahan pertanian garapan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada Desa Soya, Desa Urimesing dan Gunung Nona, serta lahan garapan milik masyarakat sebelum diubah menjadi lahan terbangun, umumnya dikerjakan dengan pola konvensional dan konservatif yaitu untuk konvensional dengan menanam tanaman semusim, memakai pestisida, menanam tanaman semusim pada daerah berlereng terjal, tanpa ada terasering dan tidak ada sumur resapan; sedangkan pola pertanian konservatif berupa jenis tanaman yang di tanam adalah jenis tanaman campuran dan yang berumur panjang, memakai pupuk organik, tanpa pestisida.

Penutupan lahan bervegetasi. Penutupan lahan bervegetasi menunjukkan kemampuan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan nilai indeks penutupan lahan (IPL) yaitu perbandingan antara lahan berpenutupan vegetasi dengan luas DAS.

(39)

Penutupan lahan bervegetasi DAS Kota Ambon sebesar 2.330,11 ha (59.24%) yang terdiri dari hutan sekunder 1.612,00 ha; pertanian lahan kering 145,82 ha; dan pertanian lahan kering campur 572,29 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan DAS Hulu sebagai perlindungan Daerah Aliran Sungai masih cukup baik (IPL: 30-75%) untuk wilayah DAS Kota Ambon (setempat). Wilayah berpenutupan vegetasi ini perlu dijaga keberadaannya dan jika memungkinkan maka dapat ditingkatkan luasannya baik berupa penutupan hutan dan pertanian lahan kering.

Kecukupan luas tutupan hutan. Kecukupan luas tutupan hutan sebagai wilayah DAS merupakan kawasan yang murni berhutan (hutan sekunder). Untuk wilayah DAS Kota Ambon tutupan hutan adalah seluas 1.612,00 ha atau 40,98% dari luas DAS Kota Ambon secara keseluruhan. Presentase ini masih berada pada kategori cukup baik pada nilai interval antara 30–75%, namun perlu untuk ditingkatkan lagi luas kawasan bervegetasi hutan (hutan sekunder) supaya fungsi tutupan hutan dalam respons hidrologi akan semakin meningkat dalam hal penyediaan air.

5.4.3. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Atribut yang dianalisis pada dimensi ekonomi dalam pengelolaan DAS Kota Ambon sebanyak 7 atribut. Berdasarkan hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon diperoleh nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekonomi sebesar 56,28% berarti dengan status cukup berkelanjutan (terletak antara 50,00-74,99%). Hal ini berarti bahwa secara ekonomi, DAS Kota Ambon masih memberikan dukungan terhadap pengelolaan secara berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 50.

Berdasarkan hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 51. diperoleh 4 (dua) atribut yang perubahannya berpengaruh sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi yaitu (1) Penyerapan Tenaga Kerja Agroforestri (RMS=5,09); dan (2) Tingkat Ketergantungan Konsumen Terhadap Produk Agroforestri (RMS = 2,88); (3) Potensi Objek Wisata (RMS = 2,88); dan (4) Pendapatan Petani dari Agroforestri (RMS = 2,82). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 50.

(40)

Gambar 50. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi DAS Kota Ambon Penyerapan Tenaga Kerja Agroforestri, dalam hal ini adalah kegiatan ekonomi yang berbasis pada sistem agroforestri yaitu pemanaman tanaman berumur panjang dan dipadukan dengan tanaman perkebunan, dan tanaman semusim yang bernilai ekonomis. Semakin banyak kebutuhan akan tenaga kerja untuk mengelola hasil produksi agroforestri maka secara ekonomi akan menjadi baik karena melibatkan banyak orang. Data Desa Soya dan Desa Urimesing menunjukan bahwa 47,5% masyarakat yang bermukim pada DAS Hulu Kota Ambon adalah bermata pencaharian adalah petani.

Ketergantungan terhadap produk agroforestri. Ketergantungan konsumen terhadap produk agroforestri yang berasal dari DAS Kota Ambon sangatlah tinggi. Hal ini diperoleh dari pengamatan di lapangan yang mana antusias masyarakat yang konsumtif terhadap buah-buahan (salak, durian, langsat, duku, dan lain sebagainya) yang merupakan produk dari agroforestri DAS bagian hulu Kota Ambon, apabila produk agroforestri lokal sudah tidak ada di pasar maka untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam hal pemenuhi akan kebutuhan produk agroforestri dapat di pasok dari luar Pulau Ambon.

RAP Insus DAS Ordination

(41)

Gambar 51. Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi

Potensi objek wisata. Potensi objek wisata yang ada pada DAS Kota Ambon adalah Tempayang Sirimau, kolam pemandian Air Besar yang terletak di Desa Soya, kolam pemandian Air Keluar dan Gua Leang Ekang di Desa Urimesing. Jumlah pengunjung yang banyak hanya pada tempat permandian Air Besar di Desa Soya karena akses kesana yang mudah dan transportasi lancar. Namun data jumlah pengunjung tidak terdata dengan baik untuk semua objek wisata. Pengelolaan kawasan wisata sebagai sumber pendapatan tambahan juga tidak dikelola dengan baik. Hal ini ditunjukan dengan adanya objek wisata namun dibiarkan begitu saja tanpa ada pengelolaan dengan baik oleh masyarakat, pemerintah desa maupun instansi terkait. Pada objek wisata ini dapat menjadi sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat sekitar lokasi objek wisata.

Pendapatan Petani agroforestri. Tingkat pendapatan petani agroforestri berada pada kisaran antara Rp. 975.000 – Rp. 1.500.000.- pendapatan ini berasal dari hasil produk agroforestri seperti cengkeh, pala, durian, manggis, langsat, duku, salak dan lain-lain yang bernilai ekonomis tinggi. Tingginya nilai ekonomis ini tidak sebanding dengan produksi agroforestri yang bisa dipanen secara terus menerus karena tergantung pada musim buah-buahan.

(42)

5.4.4. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

Hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon terhadap 9 atribut dimensi sosial dan budaya diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 60,15% (berada di antara 50,00–74,99%) berarti cukup berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada Gambar 52.

Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (lima) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan sosial dan budaya yaitu (1) Ketergantungan masyarakat terhadap DAS sebagai sumber nafkah (RMS = 4,61); (2) Tingkat partisipasi masyarakat (RMS = 3,15); (3) Konflik Lahan (RMS = 3,03); (4) Aturan kelembagaan lokal (RMS = 2,90). Hasil leverage terhadap dimensi sosial disajikan pada Gambar 53.

Ketergantungan Masyarakat Kepada DAS. Ketergantungan masyarakat terhadap DAS sebagai sumber mencari nafkah dengan jumlah penduduk yang tergantung sebesar 33,20% (jika dibandingkan dengan total seluruh penduduk) maka dikatakan baik karena semakin sedikit orang yang ketergantungan hidup ekonominya kepada DAS maka peluang kelestarian DAS akan semakin baik. Secara ekonomi, jumlah 33,20% tersebut memang kecil nilainya sehingga masyarakat yang mendapat keuntungan ekonomi kecil. Sehingga diharapkan peningkatan sumber perekonomian dari alternatif yang lain.

Partisipasi masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan DAS berdasarkan hasil wawancara dengan aparat pemerintah Desa Soya dan Desa Urimesing yang merupakan wilayah di hulu DAS Kota Ambon adalah sebesar 25%. Artinya bahwa tingkat partisipasi ini dinilai sedang sehingga perlu di naikkan lagi tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi yang pernah dilakakukan antara lain penanaman pohon dalam bentuk program Gerhan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Maluku dan Dinas Kehutanan Kota Ambon. Kegiatan lintas alam yang dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari besar keagamaan yang didalamnnya juga dilakukan kegiatan reboisasi. Kegiatan ini baik dalam hal pelestarian DAS Kota Ambon, namun tingkat keterlibatan masyarakat yang masih kurang sehingga diharapkan agar keterlibatan

(43)

masyarakat harus dimaksimalkan dalam rangka ikut bersama melestarikan DAS Kota Ambon.

Konflik Lahan. Konflik lahan yang terjadi pada DAS Kota Ambon bagian hulu memang pada skala jarang terjadi. Namun konflik ini terjadi karena masalah kepemilikan lahan antara Desa Batu Merah dan Desa Soya yang sampai dengan saat ini belum jelas sehingga terkadang ada konflik antara sesama pemilik lahan yang mengklaim bahwa mereka mempunyai lahan pada tempat yang sama. Apalagi pasca konflik sosial yang terjadi di Kota Ambon 10 tahun belakangan ini. Peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan kiranya dapat sebagai jembatan dalam hal penyelesaian status kepemilikan lahan yang menjadi konflik supaya pihak-pihak yang saling konflik dapat berakhir.

Gambar 52. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Kota Ambon Aturan kelembagaan lokal. Aturan kelembagaan lokal yang berlaku pada Kota Ambon umumnya dan wilayah DAS Kota Ambon khususnya masih berlangsung dengan baik dan ada aturan yang tidak tertulis serta ada kelembagaan adat yang mengurus tentang pelarangan atau penundaan panen pada jenis-jenis tanaman tertentu. Aturan kelembagaan ini masih berjalan sampai dengan saat ini sehingga perlu untuk dipertahankan dalam rangka pelestarian sumberdaya alam secara umum dan DAS khususnya.

RAP Insus DAS Ordination

(44)

Gambar 53. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Kota Ambon 5.4.5. Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan DAS Kota Ambon

Hasil analisis dengan menggunakan Rap-Insus DAS Kota Ambon diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi sebagai berikut :

a. Dimensi ekologi sebesar 38,55% berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,01- 50,00%).

b. Dimensi ekonomi sebesar 56,28% berari cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,01-75,00%).

c. Dimensi sosial sebesar 60,15% berarti cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,01-75,00%).

Hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon disajikan pada Gambar 54 berikut:

Gambar 54. Indeks keberlanjutan parsial tiga dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon

(45)

DAS Kota Ambon merupakan bagian wilayah ekosistem yang berpengaruh terhadap kondisi ekosistem setempat maupun wilayah tengah dan hilir DAS. Masing-masing wilayah (hulu, tengah, dan hilir DAS) memiliki penekanan kepentingan dalam pengelolaannya disesuaikan dengan kondisi DAS yaitu karakteristik wilayah, ketergantungan dan pengaruhnya terhadap wilayah di sekitarnya. Memperhatikan kondisi DAS, maka masing-masing dalam pengelolaannya memiliki bobot kepentingan yang berbeda dalam pengelolaannya.

Berdasarkan pendapat beberapa pakar terkait diperoleh bahwa bobot tertimbang untuk masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 38,55%, ekonomi 56,28% dan sosial 60,15%. Berdasarkan hasil pembobotan dari ketiga dimensi ekonomi, ekologi dan sosial maka diperoleh nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 50,97% (terletak pada rentan 50,01%-75,00%) tergolong cukup berkelanjutan. Nilai indek keberlanjutan sebesar 50,97% ini memang dikatakan cukup berkelanjutan namun berada pada posisi yang sangat mudah terpengaruh ke arah kurang berkelanjutan. Sehingga status keberlanjutan ini sangat mudah berpengaruh karena hanya berada pada kisaran 0,97 saja. Nilai indeks hasil pembobotan disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30. Nilai indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Kota Ambon No. Dimensi keberlanjutan Nilai indeks keberlanjutan Nilai bobot tertimbang (%) Nilai indeks hasil pembobotan 1 Ekologi 38,55 38,27 21,54 2 Ekonomi 56,28 35,64 13,74 3 Sosial 60,15 26,09 15,69 Jumlah 50,97

Hasil analisis ke-25 atribut dari ketiga dimensi (ekonomi, ekologi, sosial) diperoleh 13 atribut sensitif sebagai faktor pengungkit (leverage factor) terhadap masing-masing dimensi secara parsial. Sebagai faktor pengungkit, ada atribut yang perlu ditingkatkan kinerja dan sebagian yang lain perlu dijaga kinerja pengelolaan DAS Kota Ambon sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu perlu intervensi dalam meningkatkan kinerja atribut untuk menaikkan status keberlanjutan pengembangan DAS Kota Ambon. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil pembobotan dalam diagram layang tertera pada Gambar 54 di atas.

(46)

5.4.5.1. Faktor Pengungkit.

Faktor pengungkit (leverage factor) yang perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks keberlanjutan dari ketiga dimensi sebanyak 13 faktor. Ke-13 faktor ini berasal dari dimensi ekologi 5 faktor, dimensi ekonomi 4, faktor dan dimensi sosial 4 faktor. Terhadap ke-13 faktor pengungkit tersebut dapat ditingkatkan kinerjanya dan atau dipertahankan kestabilannya guna meningkatkan indeks keberlanjutan DAS Kota Ambon. Faktor pengungkit tersebut antara lain disajikan pada Tabel 31 berikut.

Tabel 31.Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon

No. Dimensi Faktor Pengungkit (leverage factor) RMS

1 Ekologi (5) 1. Debit aliran Sungai (KRS). 5,00

2. Indeks penggunaan air (IPA). 4,29

3. Indeks bervegetasi (IPL). 3,33

4. Pola Pertanian konservatif. 3,21

5. kecukupan luas tutupan hutan. 2,95

2 Ekonomi (4) 6. Penyerapan tenaga kerja agroforestri. 5,09

7. Tingkat ketergantungan konsumen terhadap

produk agroforestri. 2,88

8. Potensi objek wisata. 2,88

9. Pendapatan petani dari agroforestri. 2,82

3 Sosial (5) 10. Ketergantungan masyarakat terhadap DAS. 4,61

11. Tingkat partisipasi masyarakat. 3,15

12. Konflik lahan 3,03

13. Aturan kelembagaan lokal 2,90

5.4.5.2.Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS

Uji validitas dengan analisis Monte Carlo, memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Kota Ambon menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut sangat kecil (0,72%). Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan DAS Kota Ambon. Perbedaan nilai yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut. Variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang

(47)

relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi dan Anna, 2005).

Analisis Monte Carlo ini juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/ galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Hasil analisis analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 32 berikut.

Tabel 32. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-DAS Kota Ambon dan analisis Monte Carlo

Dimensi

Nilai Indeks Keberlanjutan (%)

MDS Monte Carlo (MC) Perbedaan (MDS-MC) Perbedaan (MDS-MC)% Ekologi 38,55 38,48 0,07 0,18 Ekonomi 56,28 57,16 0,88 1,56 Sosial 60,15 60,30 0,15 0,25 Rata-rata 51,66 51,98 0,37 0,72

Uji Ketepatan Analisis MDS (goodness of fit). Dari hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon diperoleh koefisien determinasi (R2) antara 93,86%- 95,18 % atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan (Kavanagh, 2001). Nilai stress antara 0,14–0,16 atau selisih nilai stres sebesar 0,02. Nilai determinasi ini mendekati nilai 95-100% dan nilai stress 0,14-0,16 lebih kecil dari 0,25 atau 25% sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan DAS Kota Ambon (Fisheries, 1999). Koefisien determinasi hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon disajikan pada Tabel 33 berikut.

Tabel 33. Nilai stress dan nilai determinasi (R2) hasil Rap-DAS Kota Ambon

No. Parameter Dimensi

Ekologi

Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial

1 Nilai Indeks 38,55 56,28 60,15

2 Nilai Stress 0,14 0,16 0,14

3 Nilai R2 95,18 93,86 95,12

(48)

5.4.6. Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

5.4.6.1. Analisis Sistem Dinamik Pengelolaan DAS Kota Ambon Analisis kebutuhan

Setelah mengetahui dari hasil analisis berbagai faktor, bahwa kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan perlu seimbang dalam pengelolaan DAS berkelanjutan, maka masih perlu dilakukan analisis kebutuhan stakeholders di dalam kawasan sekitar DAS.

Berdasarkan hasil identifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan DAS berkelanjutan pada dimensi kebijakan publik adalah pemerintah yang mewakili kepentingan publik, kelompok bibit rakyar, masyarakat setempat dan lembaga agama yang mewakili kepentingan masyarakat, serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual dan kepakaran.

Tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholders yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan terhadap dampak-dampak pengembangan pada keberlanjutan manfaat-manfaat dan dampak-dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem disajikan pada Tabel 34.

Formulasi Masalah

Perumusan permasalahan merupakan aktivitas sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pengelolaan DAS berkelanjutan, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, perumusan permasalahan sistem merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku pada kondisi nyata yang terjadi. Kebutuhan para pelaku terhadap keberhasilan adalah bersifat pemuasan kebutuhan dari masing-masing pelaku (stakeholders), sedangkan kondisi yang ada saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan para pelaku tersebut.

(49)

Tabel 34. Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan DAS di Kota Ambon Berkelanjutan

Stakeholders Kebutuhan

Pemerintah 1. Keberlanjutan ekosistem DAS Kota Ambon. 2. Pendapatan daerah meningkat .

3. Hutan terpelihara dan memenuhi kecukupan luas. 4. Pola pertanian yang sifatnya konservatif

5. Kebutuhan air masyarakat terpenuhi 6. Konflik lahan berkurang

7. Konversi lahan berkurang

8. Aturan kelembagaan lokal tetap berfungsi Masyarakat

Hulu

1. Kesejahteraan meningkat lewat program agroforestri 2. Konflik lahan berkurang

3. Bantuan pengembangan usaha 4. Penyaluran air pada masyarakat Kelompok Bibit

rakyat

1. Adanya pendampingan dan pemberdayaan masyarakat 2. Pelatihan konservasi DAS

3. Adanya pendanaan untuk kegiatan penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaan.

4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam konservasi DAS Akademi 1. Kemitraan dengan perguruan tinggi

2. Ekosistem DAS Kota Ambon lestari

3. Penelitian dan pengembangan pengelolaan SDA 4. Kesejahteraan petani agroforestri terjamin

Sinode GPM 1. Kerjasama dengan pihak pemerintah dalam program pengelolaan lingkungan

2. Pemberdayaan dan partisipasi anggota jemaat PDAM + DSA 1. Kelestarian daerah hulu DAS

2. Pemenuhan air bagi masyarakat

Permasalahan yang muncul perlu mendapat perhatian pihak pemerintah dan masyarakat luas. Selain melalui koordinasi dan pemahaman yang sama antar stakeholders. Adanya konflik kepentingan diantara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan stakeholders, uraian permasalahan dalam sistem pengelolaan DAS berkelanjutan dimensinya mencakup sebagai berikut:

Gambar

Tabel 9. Luas masing-masing tutupan lahan kelima DAS di Kota Ambon
Gambar 24. Peta tutupan lahan lokasi penelitian di DAS Kota Ambon Tahun 2002
Gambar 25. Peta tutupan lahan lokasi penelitian di DAS Kota Ambon Tahun 2009
Gambar 30. Tutupan lahan pertanian lahan kering  Tabel 13. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering
+7

Referensi

Dokumen terkait

Stock Picks INDF 6300‐6650. 

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui penerapan akad Murabahah pada pembiayaan KPR Syariah. Sifat – sifat dasar kepemilikan dari sistem ajaran Islam yang biasa dikenal dengan

Dalam penelitian ini penulis akan membangun sistem informasi manajemen Puskesmas khususnya pada bagian pengolahan data pasien rawat jalan mulai dari pendaftaran pasien yang

** Untuk Prior Review Kontrak I: dipilih salah satu paket untuk minta persetujuan NOL Bank Dunia, Bila sudah terkontrak, agar diisi.. Pekerjaan Konstruksi (Civil

Tapi juga sumberdaya insani tidak saja sebagai salah satu faktor produksi, tapi juga tenaga kerja harus mendapatkan prioritas untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Pola pikir yang masih tertanam dalam alam sadar manusia, pengalaman semu yang sebenarnya tidak dialami oleh semua orang, dan kesadaran bersama yang tercipta untuk berada dalam

Responsiveness atau daya tanggap merupakan kemampuan perusahaan yang dilakukan oleh langsung karyawan untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap.Daya

Termokopel merupakan sambungan (junction) dua jenis logam atau campuran yang salah satu sambungan logam tadi diberi perlakuan suhu yang berbeda dengan sambungan lainnya. Sambungan