• Tidak ada hasil yang ditemukan

Watershed management dinamic model in sustainable water supply efforts in ambon island peninsula leitimor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Watershed management dinamic model in sustainable water supply efforts in ambon island peninsula leitimor"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN

SUNGAI (

WATERSHED

) DALAM UPAYA PENYEDIAAN

AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG

LEITIMOR PULAU AMBON

JUSMY DOLVIS PUTUHENA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi judul “MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2013

(4)
(5)

ABSTRACT

JUSMY DOLVIS PUTUHENA, Watershed Management Dinamic Model in Sustainable Water Supply Efforts in Ambon Island Peninsula Leitimor. Supervised by ASEP SAPEI, M. YANUAR J. PURWANTO dan LILIK B. PRASETYO.

Landcover changes from forest to other uses will impact the hydrological sistem, and result in the availability of water in the watershed Semenajung Leitimor Ambon Island. Population growth in the city of Ambon will be proportional to the demand for land and water requirements. The purpose of this study was (i). Analyzing changes in land cover in the watershed Leitimor Peninsula, (ii) to analyze the discharge mainstay at Peninsula Watershed Leitimor, (iii) to analyze the need for water in the peninsula Leitimor and (iv) Designing watershed management model for supporting sustainable water resources ecologically, economically and sosial Leitimor Peninsula. Analysis using digital image analysis, SWAT analysis, Multidimensional Scale (MDS) dynamic models (Stella) and descriptive analysis. The results showed that there have been changes in watershed landcover in Ambon; SWAT models can describe the characteristics of the watershed with an average water availability at the fifth annual tie at 395.6 million m3; catchment water demand in the fifth over of the production of water services company; multidimensional sustainability status of 50.97% is quite sustainable management model is best RHL activities and expansion of agriculture with agroforestry sistems, and stakeholders a role in watershed management is the Forum DAS and forest farmer groups.

(6)

RINGKASAN

JUSMY DOLVIS PUTUHENA, MODEL DINAMIK PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA

PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON, dibawah bimbingan ASEP SAPEI, M. YANUAR J. PURWANTO dan LILIK B. PRASETYO.

Di Indonesia fenomena DAS kritis merupakan masalah lingkungan yang cukup serius. Pada Tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, Tahun 1992 meningkat menjadi 39, pada Tahun 1998 menjadi 42, 59 pada Tahun 2000 dan 60 DAS kritis pada Tahun 2002. Pada Tahun 2005 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada Tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis. Keberadaan hutan dapat mencegah terjadinya banjir besar dan kekeringan. Ketidakseimbangan air terjadi akibat berubahnya tutupan lahan yang mengarah pada areal nonvegetasi. Pengelolaan lahan yang efektif dapat menghindari kerusakan sumberdaya air dengan cara menyeimbangkan penutupan lahan, peningkatan ekonomi dan manfaatan lingkungan yang selaras untuk mengurangi banjir.

DAS Batu Merah di Kota Ambon merupakan salah satu lokasi DAS kritis di Indonesia. Penutupan lahan di Kota Ambon sekarang didominasi oleh permukiman penduduk dan infrastuktur pendukung lainnya seperti jalan, sarana ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan terjadinya konflik sosial. Keadaan ini mendorong rusaknya sistem hidrologi DAS, dan berakibat pada meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Penduduk Semenanjung Leitimor di Kota Ambon memanfaatkan air bersih yang bersumber dari lima DAS yaitu DAS Batu Gantung, DAS Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan DAS Wae Ruhu, sedangkan sisanya dari Sumur pompa, sumur gali dan air hujan. Kondisi DAS di Kota Ambon berada dalam kondisi kritis, termasuk kelima DAS ini.

(7)

Kondisi tutupan lahan di DAS Kota Ambon antara Tahun 2002–2009 menunjukan perubahan penutupan lahan antara lain hutan sekunder, lahan terbuka, permukiman serta semak belukar mengalami kenaikan luasan sedangkan pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur mengalami penurunan luasan.

Model SWAT dapat digunakan untuk mengetahui kondisi karakteristik hidrologi, dengan debit andalan 80% yang merupakan ketersediaan air disungai untuk kelima DAS sebesar 18.417.024,00 m3, dengan penyebaran yang tidak merata pada setiap bulannya, dimana pada Bulan Mei–Agustus air sungai sangat banyak tersedia, namun pada bulan September–April air sungai tersedia dalam jumlah yang kecil.

Analisis ketersediaan air di Kota Ambon pada Tahun 2010 terhadap berbagai sektor menunjukan bahwa kebutuhan air untuk sektor domestik, sektor pertanian dan sektor perindustrian sebesar 15.894.849 m3 sedangkan produksi air oleh penyedia jasa air di Kota Ambon (PDAM dan PT. DSA) sebesar 9.244.885 m3 pada saat musim hujan dan 8.267.275 m3 pada saat musim kemarau. Ini berarti bahwa produksi air oleh penyedia jasa air di Kota Ambon belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk berbagai sektor.

Analisis keberlanjutan pengelolaan DAS untuk multidimensi menujukan bahwa indeks keberlanjutan multidimensional sebesar 50,97% yang tergolong cukup berkelanjutan. Indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 38,55% (kurang berkelanjutan), dimensi ekonmi 56,28% (cukup berkelanjutan) dan dimensi sosial 60,15% (cukup berkelanjutan); dan terdapat 13 faktor pengungkit yang sifatnya dapat diintervensi kearah perbaikan maupun dapat dipertahankan.

Model dinamik pengelolaan DAS Kota Ambon yang terbaik adalah menggunakan skenario moderat dengan melakukan kegiatan RHL dan ekstensifikasi pertanian sistem agroforestri, menekan laju pertumbuhan penduduk di DAS Kota Ambon menjadi 2%, perusahaan jasa air minim menekan angka kebocoran sebesar 15% dan menambah produksi air 15%. Pemilihan skenario ini dengan pertimbangan aspek ekonomi masyarakat dan tidak mengesampingkan aspek ekologi. Pelaksanaan model ini dengan maksud memperbaiki (a) debit aliran sungai, (b) Indeks penggunaan air, (c) Kecukupan luas tutupan hutan dan (d) pendapatan petani dari agroforestri.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

(9)
(10)

MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN

SUNGAI (

WATERSHED

) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR

YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR

PULAU AMBON

JUSMY DOLVIS PUTUHENA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Penguji:

Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA

: 2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.ForestTrop

(12)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Disertasi : MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON

Nama : Jusmy Dolvis Putuhena

NRP : P062080021

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS Ketua

Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS Anggota

Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi/Mayor

Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pacsasarjana,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(13)
(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa yang hanya melalui AnugerahNya di dalam Tuhan Yesus Kristus, serta tuntunan dan bimbingan RohNya yang kudus, disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi ini berjudul MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG

BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON dan merupakan akhir dari rangkaian penelitian yang dimulai dilakukan sejak pertengahan Tahun 2010.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS., Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS., dan Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. selaku komisi pembimbing, yang senantiasa mengingatkan serta menunjukkan arah penelitian dan penulisan disertasi ini. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.Forest.Trop sebagai penguji pada sidang tertutup dan Prof. Dr. Ir. Rafael M. Osok, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. sebagai penguji pada sidang terbuka, yang telah memberikan banyak masukan dan saran, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana MS. selalu ketua program studi yang membantu serta memberikan kemudahan kepada penulis selama belajar di IPB

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Kementerian Pendidikan Nasional, pejabat di jajaran Universitas Pattimura, antara lain; Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Kehutanan, yang memberikan kesempatan sekaligus mendorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor. Demikian juga segenap pimpinan Institut Pertanian Bogor dan jajarannya dalam mendidik dan memfasilitasi penulis selama di IPB.

(15)

Tidak lupa kepada kolega dari Forum Mahasiswa PSL-IPB, Himpunan Alumni Dewan Mahasiswa IPB, Persekutuan Pelajar dan Mahasiswa Maluku di Bogor, Prof. Dr. Ir. G. A. Watimena selaku orang tua dan pembina PERMAMA di Bogor, serta rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih untuk dukungan, doa dan kebersamaannya.

Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM), Yayasan Supersemar, Yasayan Setya Bakti, Pemda Propinsi Maluku yang telah membantu penulis lewat dana bantuan penelitian.

Teman-temanku Pak Yob Sahetapy, Bala Elbabley, Prof. Rafael Ozok, Prof. I. Nengah S. Jaya (Ka. Lab SIG Fahutan) Iphoel, Mba Puput, Kang Edwin, Prof. Budi Indra Setiawan (Ka. Lab Wengeningen) Bang Fadly (jagoan MWSWAT), Maul, Fajar dan Bang Lutfy Abdillah (Jagoan Stella), serta Henry Silka Innah yang banyak membantu selama penulis melakukan penyelesaian tulisan ini. Sidik Rumakabis, Dahlan Edlegar, Anca Sangdji, Ally Sangadji, dan Dullah Sofiaun teman kosan Abimanyu. Pak Ape Titioka, Pak Alex Sakalessy, Pak Ade de Silo, dan Pak Hendrik Salmon, Sius Dadasa dan keluarga serta segenap karyawan di KSU Gloria, teman-teman lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu yang selalu memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian studi.

Akhirnya kepada ayah tercinta Dominggus Putuhena, kakak-kakakku (beserta keluarga) tersayang, ibu mertua Meity Metekohy dan keluarga besar Metekohy di da Silva, istri tercinta Virginia Beatrix Manuhutu S.Hut., ananda Jecklien Deatirsa Putuhena, dan Yedija Herman Jecky Putuhena yang ditinggalkan di Ambon karena studi S3 ini; Doa, dorongan dan motivasi kalian semua selama saya melakukan studi dan di sela-sela penyelesaian disertasi ini, Bapa berterima kasih untuk doa-doa dan kesabarannya. Semoga disertasi ini ada manfaatnya bagi kita sekalian. Amin

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda pada tanggal 28 maret 1976 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Dominggus Putuhena dan Samelina Lientje Syaranamual (almh). Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di Kota Ambon – Maluku. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura – Ambon, lulus pada Tahun 2001. Lulus Program Magister Pengelolaan Lingkungan pada Tahun 2004 di Universitas Gadjah Mada - Yogyakarta. Studi Program Doktor diselesaikan di Institut Pertanian Bogor sejak Tahun 2008, pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS - PSL) dengan biaya dari BPPS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

(17)
(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pikir ... 8

1.3. Perumusan Masalah ... 10

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Novelty ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Daerah Aliran Sungai ... 13

2.2. Sumberdaya Air ... 16

2.3. Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air ... 18

2.3.1. Siklus Hidrologi ... 18

2.3.2. Ketersediaan Air ... 20

2.4. Konservasi Tanah dan Air... 21

2.5. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air... 22

2.6. Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 24

2.7. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) ... 27

2.8. Konsep Pembanguan Berkelanjutan ... 29

2.9. Sistem dan Pendekatan Sistem ... 32

2.9.1. Pengertian dan Tipe Sistem ... 32

2.9.2. Pendekatan Sistem ... 33

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1. Lokasi Penelitian ... 37

3.2. Desain Penelitian ... 37

3.3. Metode Penelitian ... 40

3.3.1. Data Primer ... 40

3.3.2. Data Sekunder ... 41

3.3.3. Tahapan Analisis Data ... 42

3.4. Analisis Data ... 42

(19)

3.4.2. Karakteristik Hidrologi DAS... 45

3.4.3. Penggunaan Air ... 50

3.4.3.1. Proyeksi Penduduk ... 50

3.4.3.2. Pemakaian Air ... 52

3.4.3.3. Kebutuhan Air Total ... 52

3.4.4. Desain Model Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Semenanjung Leitimor ... 53

3.4.5. Desain Model Pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor ... 57

3.4.6. Analisis Kelembagaan Pengelolaan DAS Kota Ambon... 60

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 63

4.1. Keadaan Biofisik ... 63

4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 63

4.1.2. Aksesibilitas ... 64

4.2. Kondisi Fisik Wilayah ... 64

4.2.1. Kondisi Iklim dan Hidrologi... 64

4.2.2. Topografi ... 67

4.2.3. Geologi dan Tanah... 68

4.2.4. Penutupan Lahan ... 69

4.2.5. Debit Sungai ... 69

4.3. Kondisi Sosial Budaya ... 70

4.3.1. Kependudukan ... 70

4.4. Kondisi Lahan Kritis ... 70

4.5. Sistem Jaringan Sumberdaya Air ... 71

4.6. Sistem Penyediaan Air Bersih dan Air Minum ... 71

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 73

5.1. ANALISIS TUTUPAN LAHAN ... 73

5.1.1. Penutupan lahan/Tutupan Lahan Di DAS Kota Ambon ... 73

5.2. Karakteristik Hidrologi dan Debit Andalan ... 88

5.2.1. Deliniasi DAS... 88

5.2.1.1. Pembentukan HRUs pada DAS Kota Ambon Hulu... 92

5.2.1.2. Kelerengan di DAS Kota Ambon ... 92

5.2.2. Pembangkit Data Iklim (WGN) ... 93

5.2.3. Karakteristik Tanah hasil Simulasi Model SWAT ... 93

5.2.4. Karakteristik Landcover untuk Model SWAT ... 95

(20)

5.2.6. Kalibrasi Model SWAT ... 97

5.3. ANALISIS KEBUTUHAN AIR ... 101

Kebutuhan Air ... 101

5.3.1. Kebutuhan Air Domestik ... 101

5.3.2. Kebutuhan Air Pertanian... 104

5.3.3. Kebutuhan Air Industri ... 105

5.3.4. Total Kebutuhan Air di Lokasi Penelitian ... 106

5.3.5. Produksi Air PDAM dan PT. DSA Kota Ambon ... 106

5.4. Pemodelan Daerah Aliran Sungai Kota Ambon Yang Berkelanjutan .. 107

5.4.1. Status Keberlanjutan DAS Kota Ambon ... 107

5.4.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 108

5.4.3. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 111

5.4.4. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial ... 114

5.4.5. Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan DAS Kota Ambon ... 116

5.4.5.1. Faktor Pengungkit. ... 118

5.4.5.2.Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS ... 118

5.4.6. Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 120

5.4.6.1. Analisis Sistem Dinamik Pengelolaan DAS Kota Ambon ... 120

5.4.6.2. Kondisi Eksisting ... 122

5.4.6.3. Evaluasi Model... 134

5.4.7. Analisis Kelembagaan Pengelolaan ... 143

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 161

6.1. Kesimpulan ... 161

6.2. Saran ... 162

(21)
(22)

DAFTAR TABEL

1. Matriks tujuan, variabel data, teknik pengumpulan data, metode analisis dan output yang diharapkan dalam penelitian ... 39 2. Jenis data dan sumber data primer ... 40 3. Standar kebutuhan air untuk berbagai sektor ... 51 4. Kategori status keberlanjutan pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor ... 54 5. Draft analisis kebutuhan stakeholders dalam desain kebijakan Pengelolaan

DAS Semenanjung Leitimor terpadu dan berkelanjutan ... 58 6. Rute dan jarak Kota Ambon dari Jakarta ... 64 8. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon 2001-2009 ... 70 9. Luas masing-masing tutupan lahan kelima DAS di Kota Ambon... 74 10. Matriks kesalahan hasil klasifikasi... 75 11. Luas tutupan lahan hutan sekunder ... 80 12. Luas tutupan lahan semak/belukar ... 82 13. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering... 83 14. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering campur... 85 15. Luas tutupan lahan permukiman. ... 86 16. Luas tutupan tanah terbuka. ... 87 17. Luas DAS Kota Ambon hasil deliniasi ... 89 18. Hasil Analisis HRUs DAS Kota Ambon ... 92 19. Kondisi kelerengan pada DAS di Kota Ambon ... 93 20. Jenis tanah pada kelima DAS di Kota Ambon ... 94 21. Penyesuaian jenis landcover lokal dengan landcover global (database SWAT)95 22. Karakteristik hidrologi DAS Kota Ambon ... 96 23. Standar KA. RT. berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk ... 102 24. Jumlah penduduk di lokasi penelitian Tahun 2005 - 2010 ... 103 26. Tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian Tahun 2005-2010 ... 104 27. Jumlah ternak di lokasi penelitian Tahun 2005 – 2010... 105 29. Data sumber air dan produksi air PDAM Kota Ambon 2011 ... 107 30. Nilai indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Kota Ambon ... 117 31. Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon ... 118 32. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-DAS Kota Ambon dan

(23)
(24)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangak pikir pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 9 2. Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat Kehutanan dan

Konservasi Sumber Daya Air, 2004) ... 14 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007) ... 16 4. Siklus hidrologi (Arsyad, 2006). ... 19 5. Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010) ... 28 6. Keterkaitan pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan ... 32 7. Peta lokasi penelitian ... 37 8. Skema desain penelitian ... 38 9. Tahapan analisis data ... 42 10. Peta sebaran titik pengamatan tutupan lahan di lokasi penelitian ... 43 11. Tahapan analisis kondisi tutupan lahan eksisting ... 44 12. Diagram alir analisis ketersediaan air DAS Kota Ambon ... 46 13. Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi ... 54 14. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi ... 55 15. Elemen proses aplikasi RafpDAS pendekatan MDS ... 56 16. Diagram input output (Black Box) desain kebijakan pengelolaan DAS secara

(25)
(26)

69. Hasil simulasi skenario tutupan pertanian lahan kering campuran ... 139 70. Perbandingan laju perubahan penutupan lahan berdasarkan skenario ... 139 71. Total nilai ekonomi lahan... 140 72. Debit andalan permukaan ... 141 73. Hasil simulasi ketersediaan air ... 143 74. Matrik Stakeholders pengelolaan DAS Kota Ambon ... 146 75. Bagan alir hubungan kolaboratif antar stakeholders pengelolaan DAS untuk

menunjang ketersediaan air di Kota Ambon ... 153 76. Diagram layang-layang multidimensi pengelolaan DAS Kota Ambon hasil

(27)
(28)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Koordinat Titik Pengamatan Tutupan lahan ... 169 2. Kondisi Tutupan Lahan Lokasi Penelitian ... 171 3. Hasil Analisis Tutupan Lahan Menggunakan MWSWAT ... 173 4. Data Curah Hujan Stasiun BMKG Bandara Pattimura Laha Ambon (mm) 176 5. Debit Sungai Wai Tomu Tahun 2010 (m3/det) ... 178 6. Parameter input yang sensitif pada tahap kalibrasi SWAT CUP ... 179 7. Tingkat Pertumbuhan Penduduk, Ternak dan Industri di Kota Ambon... 180 8. Hasil Analisis Debit Andalan dan Ketersediaan Air DAS Kota Ambon. ... 194 9. Atribut MDS yang digunakan dalam Analisis Keberlanjutan... 195 10. Persamaan model dinamika Ekologi ... 199 11. Persamaan model dinamika Sosial ... 201 12. Persamaan model dinamika ekonomi lahan ... 204 13. Persamaan model dinamika ketersediaan air ... 204

(29)
(30)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu ekosistem memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air diuraikan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Fungsi ekosistem akan menurun akibat dari kegiatan manusia serta akibat perubahan yang terjadi secara alami. Secara umum identifikasi permasalahan DAS dapat dibagi menjadi empat yaitu hidrologi, lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Permasalahan DAS ditinjau pada aspek lahan disebabkan oleh tingginya tingkat erosi dan sedimentasi menyebabkan meluasnya lahan kritis serta menurunnya produktivitas lahan. Pada aspek sosial ekonomi, permasalahan DAS disebabkan karena konversi lahan dengan luasan yang besar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di DAS. Pada aspek kelembagaan permasalahan DAS nampak pada rendahnya koordinasi, integrasi, sinergitas (KISS) antar stakeholder dalam pengelolaan DAS sehingga menimbulkan konflik dalam pengelolaannya (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2004).

(31)

Di Indonesia fenomena DAS kritis merupakan masalah lingkungan yang cukup serius. Pada Tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, Tahun 1992 meningkat menjadi 39, pada Tahun 1998 menjadi 42, 59 pada Tahun 2000 dan 60 DAS kritis pada Tahun 2002 (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pada Tahun 2005 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada Tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis (Murtilaksono, 2009). Berbagai kajian terkait dengan permasalahan hidrologi di DAS umumnya menguraikan bahwa permasalahan DAS sangat terkait dengan kondisi lahan pada daerah tangkapannya (Watershed). Vegetasi hutan pada DAS dianggap sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator) atau hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Keberadaan hutan dapat mencegah terjadinya banjir besar dan kekeringan. Uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa pentingnya pengelolaan lahan dan vegetasinya terhadap ketersediaan air di DAS (Asdak, 2007). Tuhumury (2003) menyatakan bahwa di DAS Brantas, ketidakseimbangan air terjadi akibat berubahnya tutupan lahan yang mengarah pada areal non vegetasi. Hal serupa juga di nyatakan oleh Li et al

(2006) bahwa di Mega-City Cina Tengah, perubahan penutupan lahan menjadi kawasan permukiman dari 9,1% Tahun 1987 menjadi 29,6% Tahun 1999 akan menurunkan jumlah air dari 30,4% menjadi 23,8%. Dan menurunnya luas hutan dari 33,6% menjadi 24,3%.

(32)

dalam hubungannya dengan praktek pengelolaan DAS. Selanjutnya Asdak (2007), menguraikan bahwa secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS yaitu a). Rehabilitasi lahan terlantar atau yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, b). Perlindungan terhadap lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan/atau tanah longsor atau lahan yang diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi dikemudian hari, dan c). peningkatan atau pengembangan sumberdaya air.

(33)

adanya keterpaduan manajemen antara sektor dan instansi terkait (stakeholders), serta keadaan sosial ekonomi masyarakat yang kurang mendukung pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Permasalahan ini tampaknya akan terus berlangsung meskipun telah terjadi reformasi dalam berbagai aspek seperti otonomi daerah (UU No. 32 Tahun 2004), dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan.

Permasalahan di atas terkait erat dengan berbagai faktor kegiatan di bidang kehutanan baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada bagian hulu DAS. Hutan merupakan salah satu parameter dan indikator penting dalam pengelolaan DAS karena terkait dengan siklus hidrologi. Jika kondisi hutan dan lahan di bagian hulu DAS mengalami kerusakan maka akan lebih mudah terjadi erosi tanah akibat laju aliran permukaan yang lebih tinggi daripada laju infiltrasi. Akibatnya terjadi sedimentasi di sungai, waduk, dan saluran drainase lainnya yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya operasional dan pemeliharaan sarana-prasarana pemanfaatan air. Sebaliknya jika kondisi hutan di hulu baik, akan memberikan dampak positif bukan saja pada air permukaan tetapi juga terhadap air tanah dan ekosistem lingkungannya. Hal ini di perkuat dengan pendapat Zhonggen et al. (2004) bahwa tutupan lahan bervegetasi mempunyai kemampuan meningkatkan/mengurangi infiltrasi. Pernyataan Zhonggen et al ini mendapat dukungan dari Wheater dan Evans (2009) yang menyatakan bahwa perlu adanya penyeimbangan penutupan lahan untuk fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan fungsi sosial sehingga banjir tidak terjadi.

(34)

untuk air minum dan atau irigasi serta penggunaan lainnya yang dilakukan secara terpadu. Defra (2004) menyatakan bahwa pengelolaan lahan yang efektif dapat menghindari kerusakan sumberdaya air. Hal ini juga di perkuat dengan pernyataan Wheater (2009) bahwa pengelolaan jangka panjang untuk mencegah banjir adalah dengan cara menyeimbangkan penutupan lahan, peningkatan ekonomi dan manfaatan lingkungan yang selaras untuk mengurangi banjir.

Pasal 26 dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 menyatakan bahwa pendayagunaan sumberdaya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai, yang ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat secara adil.

Definisi sebuah pulau samudra pada dekade 70-an oleh IHP-UNSCI dinyatakan sebagai pulau yang berukuran kurang dari 10.000 km2. Menurut para peneliti air di seluruh penjuru dunia, maka ditetapkan bahwa pulau kecil yang di definisikan sebagai pulau dengan ukuran luas kurang dari 2.000 km2 (Hehanusa dan Bakti, 2005). Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air juga telah ditetapkan bahwa air di pulau kecil atau gabungan beberapa pulau kecil wajib dikelola sebagai suatu kesatuan wilayah. Selanjutnya suatu wilayah sungai (WS) dapat terdiri dari satu atau gabungan dari beberapa pulau kecil, dengan ketetapan ini berarti bahwa pulau kecil juga perlu dilengkapi dengan sebuah rencana pengelolaan air. Karakteristik Pulau kecil umumnya rentan terhadap bahaya dan mempunyai kapasitas terbatas sebagai penyangga bahaya lingkungan (Myers et al. 2000), keterbatasan lain dari pulau kecil adalah sumberdaya alam terbatas (Velde, 2007) ditambah lagi dengan cara pertanian tradisional yang kurang berkelanjutan (Bertram, 1986), serta keterbatasan adanya air (Hehanusa dan Bakti, 2004).

(35)

Ambon pada Tahun 2007 sebesar 757 jiwa per Km2 meningkat pada Tahun 2008 sebesar 783 jiwa per Km2 (BPS Kota Ambon, 2008).

DAS Batu Merah di Kota Ambon merupakan salah satu lokasi DAS kritis di Indonesia (Nugroho, 2003 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Penutupan lahan di Kota Ambon sekarang didominasi oleh permukiman penduduk dan infrastruktur pendukung lainnya seperti jalan, sarana ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan terjadinya konflik sosial. Keadaan ini mendorong rusaknya sistem hidrologi DAS, dan berakibat pada meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Permasalahan terpenting adalah menurunnya debit aliran sungai yang menjadi sumber kebutuhan hidup paling vital bagi semua organisme hidup termasuk manusia, hal ini dibuktikan dengan adanya suplay air bersih oleh perusahaan jasa penyedia air di Kota Ambon kepada pelanggan secara bergiliran dalam waktu yang tidak tetap. Artinya bahwa kadang kala hanya 2-3 kali dalam seminggu atau bahkan hanya sekali dalam seminggu.

Pengelolaan sumberdaya air untuk kebutuhan masyarakat di Kota Ambon dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum dan PT. Dream Sukses Airlindo yang meliputi 8.408 sambung pelanggan (59,61%) untuk PDAM (PDAM Kota Ambon, 2008) dan 5.697 pelanggan (40,39%) untuk PT. DSA (Kota Ambon Dalam Angka, 2009), atau sebesar 14.105 pelanggan air minum yang dapat mengkonsumsi air minum.

Tjiptasmara et al. (2004) menyatakan bahwa sumber daya air tanah di Kota Ambon terdapat pada tiga akifer yaitu akifer dalam (90 m), akifer tengah (30-50 m) dan akifer dangkal (<10 m); umumnya air bersifat tawar dengan tipe Ca-HCO3 dan ketiganya berasal dari sumber yang relatif sama. Djuwansah dkk (2004) juga menyatakan bahwa sumber daya air Pulau Ambon memiliki potensi yang baik karena berada di bawah pengaruh iklim ekuatorial sehingga memiliki potensi curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun.

(36)

limpasan dari setiap DAS, demikian juga dengan bertambah cepatnya waktu konsentrasi aliran. Hal ini juga di dukung oleh Jacob (2009) menyatakan bahwa penurunan luas hutan dapat menaikkan aliran permukaan, sehingga diperlukan luasan hutan minimal 30% untuk DAS Batu Gantung dan 40% bagi Pulau Ambon untuk menurunkan aliran permukaan, sedangkan Suhendy (2009) menyatakan bahwa titik keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan hutan kota terdapat dipertengahan Tahun 2012 karena pada tahun tersebut diperkirakan jumlah penduduk Kota Ambon akan mencapai 309.065 jiwa dengan kebutuhan air sebesar 15.623.991 m3/tahun.

Penduduk Semenanjung Leitimor di Kota Ambon memanfaatkan air bersih yang bersumber dari lima DAS yaitu DAS Batu Gantung, DAS Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan DAS Wae Ruhu, sedangkan sisanya dari Sumur pompa. Kondisi DAS di Kota Ambon berada dalam kondisi kritis, termasuk kelima DAS ini.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka kajian ini mengambil lokasi pada kelima DAS di Semenanjung Leitimor yaitu DAS Wae Batu Gantung, Wae Batu Gajah, DAS Wae Tomu, DAS Batu Merah dan Wae Ruhu dipilih sebagai perwakilan dari beberapa DAS lainnya di Pulau Ambon yang menjadi sumber air untuk sarana penelitian ini karena lebih efisien (pertimbangannya bahwa pemanfaatan air pada DAS tersebut hanya mengandalkan energi gravitasi) untuk mengalirkan air, dan digunakan oleh masyarakat sekitar DAS tersebut untuk mandi, cuci, dan lain-lain. Hasil Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi acuan dalam perencanaan pengelolaan DAS-DAS lainnya yang ada di Pulau Ambon.

Model hidrologi dapat digunakan untuk mengkaji perubahan penutupan lahan terhadap karakteristik hidrologi. Salah satu model yang dapat digunakan adalah model SWAT (Soil and Water Assesment Tools). SWAT merupakan dasar kelanjutan dari model hidrologi yang dikembangkan untuk memprediksi pengaruh manajemen lahan pada air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch

(37)

Model dinamis merupakan penyederhanaan dari kompleksitas sistem nyata yang ada di lapangan dalam pengelolaan DAS. Metode dinamis digunakan untuk menentukan keputusan yang dilakukan dalam pengelolaan DAS Kota Ambon yang akan datang dengan melihat trend dari hasil simulasi yang dilakukan.

1.2. Kerangka Pikir

DAS sebagai sumberdaya alam milik bersama (Public Good) yang difungsikan sebagai kawasan konservasi, daerah resapan dan mengatur tata air, serta penyedia kebutuhan makluk hidup. Daerah hulu DAS telah dirambah oleh penduduk sebagai tempat melakukan aktivitas sehingga konversi lahan dari hutan menjadi penggunaan lain. Konversi lahan hutan yang berfungsi sebagai Daerah Aliran Sungai dialih fungsikan menjadi permukiman baik yang mendapat ijin dari pemerintah maupun tanpa ijin yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan sendiri. Dampak yang akan timbul dari konversi lahan ini adalah terganggunya fungsi hidrologi yang berujung pada kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.

Selain konversi lahan untuk permukiman, pertambahan penduduk yang semakin tinggi menyebabkan kebutuhan akan lahan juga semakin tinggi, sehingga hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Dengan berubahnya daerah tangkapan air menjadi areal perkebunan, pertanian dan permukiman maka air hujan yang jatuh lebih banyak menjadi aliran permukaan.

Meningkatnya aliran permukaan pada daerah yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air, disebabkan karena menurunnya infiltrasi sehingga akan menyebabkan kekurangan cadangan air tanah. Menurunnya muka air tanah dapat menyebabkan krisis air karena kebutuhan akan air yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk.

(38)

EKOLOGI

Konservasi Hulu DAS, Reboisasi,

Sistem Agroforestry

Hulu DAS Digunakan Manusia Untuk Berbagai Aktivitas

EKONOMI Konversi Hutan: Permukiman, Perkebunan, Pertanian, dll. SOSIAL Jlh Pddk Bertambah, Kebutuhan Meningkat KELEMBAGAAN Penegakan aturan oleh pihak

terkait belum serius Pulau Kecil (Karakteristik) Kawasan Konservasi Daerah Resapan, Mengatur Tata Air

Penyedia Kebutuhan Makluk Hidup HULU DAS SEBAGAI SDA YANG PENTING (Public Good)

Pertumbuhan penduduk tinggi, kebutuhan lahan meningkat, konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain, kebutuhan air

bersih meningkat.

Terjadinya Krisis Air, Mengancam Keberlanjutan

Sumberdaya Air Kerusakan Sumber

Air, Ekosistem hutan/ DAS rusak

Pencemaran Sumber Air

Pemanfaatan yang Berlebihan

Potensi Air Tetap, Kebutuhan Meningkat PENGELOLAAN DAS SECARA BERKELANJUTAN Improvement:

1. Konsep Pengelolaan DAS 2. Konsep Hutan Kemasyarakatan 3. Konsep Hutan Rakyat

Model Dinamik

1. Submodel Ekologi 2. Submodel Ekonomi 3. Submodel Sosial

4. Submodel Ketersediaan Air

Meningkatkan Banjir Pada Musim Hujan dan Kekeringan

pada Musim Kemarau

[image:38.595.107.503.76.676.2]

Keterbatasan dalam menyimpan air

Gambar 1. Kerangak pikir pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(39)

berbasis hutan kemasyarakatan dan Konsep pengelolaan DAS berbasis hutan rakyat yang dapat menjembatani kelestarian DAS. Namun hal ini masih belum bisa diaplikasikan dengan benar karena berbagai macam kendala yang ada. Dengan demikian maka pengelolaan DAS yang mengintegrasikan aspek sosial, ekologi dan ekonomi merupakan kunci keberlanjutna sumberdaya air.

Pulau Ambon yang dihuni oleh penduduk yang padat dengan keterbatasan pulau Ambon (pulau kecil) untuk menampung air, maka dapat menyebabkan kelangkaan air. Kelangkaan ini terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi maka akan berbanding lurus terhadap kebutuhan air, apalagi Pulau Ambon mempunyai topografi yang sangat curam. Topografi yang curam ini menyebabkan air hujan yang jatuh sebagian besar akan menjadi aliran permukaan dibandingkan dengan masuk ke dalam tanah. Penyebaran penduduk di Kota Ambon tidak merata karena sebagian besar menempati lokasi di DAS Kota Ambon. DAS tersebut antara lain DAS Wai Ruhu, DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Gajah dan DAS Batu Gantung. Kelima DAS ini mempunyai manfaat sebagai penyedia sumber air bagi kebutuhan masyarakat di Kota Ambon.

1.3. Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang terjadi akhir-akhir ini adalah: (1) konversi lahan hutan menjadi areal pertanian, permukiman dan perkebunan, (2) pertambahan penduduk yang semakin tinggi, (3) kebutuhan akan air menjadi meningkat sehingga persaingan terhadap air, (4) penegakan aturan yang lemah, (5) kurang adanya peran dan partisipasi dari masyarakat terhadap Daerah Aliran Sungai. Berdasarkan kelima hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor?

2. Bagaimana debit unggulan Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor? 3. Berapa banyak kebutuhan air di Semenanjung Leitimor?

(40)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendesain model pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam upaya menunjang keberlanjutan sumberdaya air. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perubahan tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor.

2. Menganalisis debit andalan di Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor.

3. Menganalisis Kebutuhan air di Semenanjung Leitimor.

4. Mendesain model pengelolaan DAS dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi dan sosial di Semenanjung Leitimor.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Ambon untuk merencanakan pengembangan wilayah Tingkat II Kota Ambon, khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya air di Pulau Ambon.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Balai Pengelolaan DAS Kabupaten/Kota di Ambon dalam perencanaan kawasan DAS pulau-pulau kecil di Propinsi Maluku pada umumnya dan pulau Ambon khususnya.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan optimasi penutupan lahan pada wilayah DAS pulau-pulau kecil.

1.6. Novelty

(41)
(42)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah: Watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah Watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Daerah aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai. Olehnya itu, tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan kepentingan.

(43)

Pengelolaan

Ekosistem DAS

Ekonomi, Sosial,

Budaya

Batas Ekologi/

Administrasi

Hulu

Hilir

DAS

Teknologi

Kelembagaan

Pendanaan

[image:43.595.92.468.80.804.2]

Lahan/Air

Gambar 2. Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004)

Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka Daerah Aliran Sungai dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri : lereng terjal, terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukkan dan keluaran berupa air dan sedimentasi.

(44)

permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik: alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk dataran banjir serta terbentuk meander.

Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber daya air. Kodoatie dan Sjarief (2005) menguraikan bahwa dalam suatu DAS banyak sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu kesatuan minimal pada suatu Daerah Aliran Sungai.

Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan dan erosi, sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai bertindak sebagai prosessor. Proses erosi pada Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem DAS merupakan suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas input, proses dan output tergambar pada Gambar 3.

(45)

INPUT = Curah Hujan

Vegetasi Tanah Sungai

DAS = Prosessor

Output = Debit dan Muatan

Manusia = IPTEK

Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007)

2.2. Sumberdaya Air

Air adalah sumberdaya yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Namun, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka air suatu saat mungkin tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia apabila tidak diupayakan cara-cara untuk melestarikannya. Para ahli memperediksikan bahwa menjelang Tahun 2025 sekitar dua pertiga penduduk dunia akan kekurangan air. Ini berarti akan terjadi persaingan yang sangat ketat antar pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya air (Sutawan, 2001).

(46)

Keberadaan air bagi manusia untuk menunjang hidup dan kehidupannya merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan dan tak dapat dipungkiri lagi. Namun sejak beberapa dasawarsa terakhir ini keberadaan air sebagai suatu sumberdaya sudah mencapai titik kritis yang mengkhawatirkan banyak orang karena akan sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Kerawanan telah terjadi tidak hanya dipandang dari sudut pandang ketimpangan antara jumlah ketersediaan yang semakin tak sepadan dengan kebutuhan saja tetapi kerawanan juga terjadi di seluruh dimensi keberadaan air itu sendiri. Kerawanan itu terjadi pula dari sudut mutu, temporal maupun spasial (Sutawan, 2001).

Dalam kehidupan awal manusia, hubungan antara air dengan pangan dilakukan melalui proses pemberian air untuk tanaman atau lebih dikenal sebagai proses irigasi. Sistem irigasi dibangun manusia karena menyadari bahwa untuk dapat menjamin diperolehnya keberhasilan panen dan produksi yang lebih tinggi, maka kebutuhan air tanaman tidak dapat sepenuhnya tergantung lagi dari hujan atau bentuk-bentuk presipitasi alami lainnya yang bersifat stochastik. Keberhasilan produksi tanaman memerlukan jaminan perolehan air yang lebih deterministic (Sutawan, 2001).

(47)

2.3. Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air

2.3.1. Siklus Hidrologi

Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air. secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut (Asdak, 2007):

1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah. Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu dingin dan terkondensasi.

2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh vegetasi tersebut.

3. Evaporasi, penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari. 4. Transpirasi, merupakan penguapan air oleh tanaman melalui pori-pori daun

karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan fisiologis vegetasi disebut evapotranspitasi.

5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai.

Menurut Arsyad (2006), sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah berlangsung hujan (interception loss) .

(48)

tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai (Arsyad, 2006).

Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk kedalam tanah akan bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar dari permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Arsyad, 2006).

Curah hujan

Jatuh Langsung Intersepsi

Evaporasi

Lolos Tajuk dan Aliran Batang

Suplai Air Permukaan

Simpanan Bawah Permukaan Infiltrasi Langsung

Evaporasi

Infiltrasi Tertunda

Simpanan Bawah

Perkolasi

Cadangan air bawah tanah

Aliran air bawah

tanah Aliran Sungai

Aliran Permukaan

Aliran Bawah Permukaan Transpirasi

Evaporasi

[image:48.595.105.505.107.749.2]

Evapotranspirasi

(49)

2.3.2. Ketersediaan Air

Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup di dunia. Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta laju pertumbuhannya, makin naik pula pemanfaatan sumber-sumber air. ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu.

Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan, peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin bertambah banyak (Soerjani et al. 1987).

Sugiharto (1983) dalam Suhendy (2009) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumahtangga juga harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit.

Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK, produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan Tahun 2000, berdasarkan data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia yang baru menikmati air bersih (39% di perkotaan) dan hanya 5% yang menggunakan sistem perpipaan dan sisanya 47% penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005)

(50)

lembaga-lembaga yang terkait tentang sumberdaya air perlu lebih efisien dalam mengatasi masalah lingkungan.

2.4. Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (sustainable). Sifat-sifat tanah tersebut juga menentukan kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem penilaian tanah untuk maksud menentukan kemampuan tanah, dirumuskan di dalam sistem klasifikasi kemampuan lain (land capability classification). Upaya konservasi tanah ditunjukan untuk (1) mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (lestari). Dengan demikian maka konservasi tanah tidaklah berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, melainkan menyesuaikan macam dan cara penggunaan tanah dengan kemampuan tanah serta memberikan perlakuan sesuai dengan syarat yang diperlukan agar tidak rusak dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Inilah kaidah kegunaan konservasi tanah (Arsyad, 2006) .

Konservasi tanah mempunyai hubungan dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang di berikan pada sebidang tanah akan mampengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang sangat berhubungan erat sekali : berbagai tindakan konservasi tanah adalah merupkan tindakan konservasi air.

(51)

dan memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan seperti ilmu tanah, biologi, hidrologi dan teknik konservasi tanah dan air. Pada akhirnya pengembangan dan penerapan konservasi tanah dan air ditentukan oleh berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya manusia.

Menurut Arsyad (2006), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air.

2.5. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air

Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri

et al. 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi.

Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal pertanian, padang rumput atau permukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadi perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen dapat mempengaruhi besar kecil hasil air (Lokollo, 2000).

(52)

menjadi padang rumput, menunjukan bahwa dampak pembukaan vegetasi hutan dari luasan 83% menjadi 38% menyebabkan kenaikan limpasan sebesar 40%.

Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukan bahwa pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982; dalam Asdak, 2007):

1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang.

2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti pengembalaan yang intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam batas waktu tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya.

Berdasarkan karakteristik perubahan tataguna lahan di atas, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan yang paling serius yang berkaitan dengan pembangunan adalah berubahnya laju dan kuantitas limpasan dalam mencapai sungai, sehingga perencanaan dan manajemen penutupan lahan yang baik sangat bergantung kepada akuratnya analisis dampak lingkungan hidrologi yang diakibatkan oleh pembangunan.

(53)

besarnya daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor; menunjukan bahwa perubahan lahan dari kebun campuran mengarah kepada permukiman sebesar 250,42 ha (15,44%). Hasil analisis regresi berganda menyimpulkan bahwa hutan mampu menurunkan selisih debit maksimum-minimum sebesar 0,027 m3/detik jika luas hutan naik sebesar satu hektar.

Perubahan penutupan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti dengan berkurangnya tipe penutupan lahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya. Perubahan atau perkembangan penutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alami dan faktor manusia (Vink, 1975).

Ma et al. (2005) melakukan penelitian karakteristik sumberdaya air dan dampaknya akibat aktivitas manusia di DAS Shiyang China dengan tujuan untuk mengetahui sumberdaya air tanah dan geokimia air tanah akibat kegiatan manusia. Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas manusia selama 50 tahun terakhir, telah menyebabkan perubahan luar biasa dari keberadaan air tanah. Proses pengisian ulang air tanah telah berkurang 50%, akibatnya secara umum terjadi penurunan sebesar 3-5 meter dengan penurunan maksimum 35 meter di beberapa kota sehingga perubahan hidrologi ini telah mengakibatkan degradasi ekosistem yang serius, sehingga disarankan bahwa teknologi irigasi modern dan peraturan yang terkait dengan pengelolaan air dan alokasi sumberdaya dalam DAS sangat di butuhkan untuk mencapai proses keberlanjutan sumberdaya air.

2.6. Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling sedikit harus memenuhi indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini (Rahmadi, 2002), yaitu:

1. Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi)

2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial)

(54)

4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi)

Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat kondisi tata airnya. Yang dimaksud indikator kondisi tata air yang meliputi: 1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan

kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai.

2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.

3. Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain.

(55)

tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).

5. Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini diperanguhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.

Indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan masyarakat umum diharapkan menjadi kontrol pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu Daerah Aliran Sungai dikatakan masih baik apabila:

1. Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang bersangkutan

2. Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang dapat ditoleransi

3. Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian, maka bagian lain mampu memberikan supply/bantuan.

4. Bersifat pemerataan, dimana setiap stakeholder yang ada di dalam DAS mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan imbalan yang sesuai

Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila: 1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun

2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun

3. Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil 4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun

(56)

2.7. Soil and Water Assessment Tool (SWAT)

Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT yang pertama kali dikembangkan oleh DR. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsche et al (2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model yaitu Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC).

Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang kemudian meluas ke Eropa, Afrika, dan Asia. Software SWAT dikembangkan untuk mengetahui pengaruh dari manajemen lahan terhadap siklus hidrologi, sedimen yang ditimbulkan dan daur ulang bahan kimia pertanian yang diperoleh berdasarkan data pada jangka waktu tertentu. Software SWAT akan diaplikasikan sebagai tools tambahan pada menu bar plug-in Map Window-46SR. Map Window 46SR adalah open source software berbasis GIS yang memungkinkan para penggunanya untuk menambahkan sendiri program atau tool baru. Dengan demikian, SWAT dapat diintegrasikan dengan MapWindow (MapWindow SWAT/MWSWAT) tanpa perlu membeli sistem berbasis GIS lainnya secara lengkap.

SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physicallybased) yang membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi , vegetasi dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. SWAT dapat dimodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitch

et al., 2005). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang didasarkan pada kesamaan penutupan lahan dan kesamaan lereng atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi.

(57)

dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS. Fase air atau penelusuran siklus hidrologi.

Gambar 5. Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010) SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga kini, SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model ini diciptakan. Pengembangan sangat didukung oleh perkembangan teknologi. Pada awalnya, SWAT untuk dikembangkan oleh Windows (Visual Basic), GRASS, Arcview, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map Windows, suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna.

SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model dan aliran NO3-N dalam sungai menghasilkan nilai R2 sebesar 0.73. Kalibrasi

(58)

Siklus hidrologi disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan

water balance. Persamaannya adalah :

Keterangan :

SWt = kandungan akhir air tanah (mmH2O)

SW0 = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mmH2O)

Rday = Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mmH2O)

QSurf = Jumlah surfacerunoff pada hari ke-i (mmH2O)

Ea = Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mmH2O)

Wseep = Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada hari ke- I (mmH2O)

Qgw = Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mmH2O)

Data masukan model untuk setiap HRUs (Hydrologic Respon Unit/HRU) Sub DAS dikelompokan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respon hidrologi, genangan/daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase Sub DAS. HRU merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengolahan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian.

Data iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan simulasi dalam SWAT untuk menghasilkan perhitungan water balance yang akurat (Neitsch et al., 2005). Paramater iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembaban nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah data iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan menggunakan input file weather generator (.wgn).

2.8. Konsep Pembanguan Berkelanjutan

(59)

berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007).

Konsep ini berawal dari pertemuan konfrensi internasional lingkungan hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972. Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah yang di gagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Beberapa pengertian tentang pembangunan disampaikan oleh ilmuwan sebagai berikut.

1. Pembangunan berkelanjutan ialah sebuah pendekatan yang mempertemukan perbaikan kualitas hidup yang terus menerus dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang efektif, sehingga generasi yang akan datang dapat mewarisi sumberdaya tersebut untuk kehidupannya;

2. Pembangunan berkelanjutan ialah upaya untuk memelihara proses ekologi dan sistem penopang hidup, melindungi keanekaragaman genetik, dan pemanfaatan spesies serta ekosistem secara berkelanjutan (WWF 1987 dalam

oleh Rogers et al., 2007).

3. Pembangunan berkelanjutan mencakup proses dan perubahan yang mendalam dalam aspek politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, teknologi termasuk juga mendeskripsikan ulang hubungan antara negara berkembang dengan negara maju (Maurice 1992 dalam Rogers et al. 2007).

(60)

naiknya tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan (World Bank 1992 dalam

oleh Rogers et al. 2007).

Rogers, Jalal dan Boyd (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial dan dimensi ekonomi. Dimensi ekologi artinya optimalisasi manfaat ekologis tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan sosial. Dimensi sosial maksudnya tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dimensi ekonomi artinya tidak mengabaikan dimensi ekologi dan sosial. Dengan demikian ketiga pilar tersebut harus digerakkan secara simultan dalam perencanaan dan implimentasi pembangunan. Selanjutnya Smith dan Jalal (2000) dalam Rogers

et al. (2007) menjelaskan kaitan antara pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan seperti pada Gambar 5.

Permasalahan lingkungan disumbang oleh dua kutub, yaitu (1) kemiskinan yang berimplikasi pada kerusakan sumberdaya alam, dan (2) pembangunan yang berimplikasi pada degradasi lingkungan serta deplesi sumberdaya alam. Strategi atas permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pada kutub kemiskinan melalui pengurangan kemiskinan dengan beberapa programnya. Sedangkan pada kutub pembangunan dilakukan integrasi antara pembangunan dengan lingkungan hidup (Gambar 6).

Penjelasan tersebut sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanju

Gambar

Gambar 1. Kerangak pikir pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Gambar 2.   Model
Gambar 4. Siklus hidrologi (Arsyad, 2006).
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan responden tentang perilaku merokok di Cafe Lantai Dua Coffe Banjarmasin Tahun 2018 diketahui sebagian besar pengetahuan responden kategori baik sebanyak

Dari uraian-uraian tentang fitur-fitur aplikasi yang telah di kemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat lunak aplikasi difungsikan untuk pekerjaan

iklan. Kalaupun tidak dilakukannya, dia memilih keluar arena menonton atau bermain bersama adiknya dengan sesekali memperhatikan tayangan televisi kalau-kalau acara yang

Dalam konteks budaya Jawa, hubungan interpersonal yang baik dalam keluarga seperti meluangkan waktu untuk saling bercerita atau bertukar pikiran, dan menyelesaikan

Penghitungan Zakat Perniagaan Industri Kecil dan Sederhana Kabupaten Sampang Madura tahun 2009.. JALAN /

Dalam penelitian ini penulis akan membangun sistem informasi manajemen Puskesmas khususnya pada bagian pengolahan data pasien rawat jalan mulai dari pendaftaran pasien yang

Pada bagian ini, investor dapat menilai dampak dari keputusan pendanaan suatu perusahaan, seperti berapa jumlah yang dipinjam, berapa jumlah yang telah dilunasi, berapa besar

Pada Bab ini berisikan latar belakang masalah tentang bagaimana suatu masalah bisa terjadi dan menjadi latar belakang penulisan untuk membahas kinerja karyawan pada bagian