• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu ekosistem memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air diuraikan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak- anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Fungsi ekosistem akan menurun akibat dari kegiatan manusia serta akibat perubahan yang terjadi secara alami. Secara umum identifikasi permasalahan DAS dapat dibagi menjadi empat yaitu hidrologi, lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Permasalahan DAS ditinjau pada aspek lahan disebabkan oleh tingginya tingkat erosi dan sedimentasi menyebabkan meluasnya lahan kritis serta menurunnya produktivitas lahan. Pada aspek sosial ekonomi, permasalahan DAS disebabkan karena konversi lahan dengan luasan yang besar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di DAS. Pada aspek kelembagaan permasalahan DAS nampak pada rendahnya koordinasi, integrasi, sinergitas (KISS) antar stakeholder dalam pengelolaan DAS sehingga menimbulkan konflik dalam pengelolaannya (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2004).

Aspek lain dari permasalahan DAS adalah aspek hidrologi yang ditandai dengan fenomena banjir dan kekeringan. Banjir terjadi akibat tingginya aliran permukaan pada musim hujan sedangkan kekeringan terjadi akibat rendahnya kemampuan lahan untuk menyimpan air dalam waktu yang lama. Besarnya rasio debit maksimum dan minimum merupakan salah satu indikator kekritisan DAS, selain rendahnya persentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan serta kandungan lumpur yang berlebihan (sediment load). Rendahnya persentase penutupan lahan dan tingginya ratio debit maksimum dan minimum dapat menyebabkan meningkatnya volume run off dan menurunnya debit pada musim kemarau sehingga menyebabkan terjadinya kekeringan.

Di Indonesia fenomena DAS kritis merupakan masalah lingkungan yang cukup serius. Pada Tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, Tahun 1992 meningkat menjadi 39, pada Tahun 1998 menjadi 42, 59 pada Tahun 2000 dan 60 DAS kritis pada Tahun 2002 (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pada Tahun 2005 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada Tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis (Murtilaksono, 2009). Berbagai kajian terkait dengan permasalahan hidrologi di DAS umumnya menguraikan bahwa permasalahan DAS sangat terkait dengan kondisi lahan pada daerah tangkapannya (Watershed). Vegetasi hutan pada DAS dianggap sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator) atau hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Keberadaan hutan dapat mencegah terjadinya banjir besar dan kekeringan. Uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa pentingnya pengelolaan lahan dan vegetasinya terhadap ketersediaan air di DAS (Asdak, 2007). Tuhumury (2003) menyatakan bahwa di DAS Brantas, ketidakseimbangan air terjadi akibat berubahnya tutupan lahan yang mengarah pada areal non vegetasi. Hal serupa juga di nyatakan oleh Li et al

(2006) bahwa di Mega-City Cina Tengah, perubahan penutupan lahan menjadi kawasan permukiman dari 9,1% Tahun 1987 menjadi 29,6% Tahun 1999 akan menurunkan jumlah air dari 30,4% menjadi 23,8%. Dan menurunnya luas hutan dari 33,6% menjadi 24,3%.

Karakteristik hidrologi DAS dapat dinyatakan dengan debit aliran permukaan (run off). Debit aliran dipengaruhi oleh iklim (curah hujan) dan karakteristik DAS (Bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tata guna lahan (jenis & kerapatan vegetasi). Berdasarkan karakteristik tersebut maka pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dalam aspek hidrologi, lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Konsep pengelolaan DAS secara terpadu mengandung tiga (3) aspek keberlanjutan yaitu keberlanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep pengelolaan DAS yang mengarah pada keberlanjutan sumberdaya air dari segi ekologi di uraikan oleh Black (1996) yang mendefinisikan tiga prinsip umum dalam pengelolaan DAS, yaitu a). Lingkungan alami DAS sebagai suatu sistem keseimbangan dinamik, b). Faktor-faktor yang mempengaruhi run off, dan c). Distribusi yang tidak merata dari air di atmosfir

dalam hubungannya dengan praktek pengelolaan DAS. Selanjutnya Asdak (2007), menguraikan bahwa secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS yaitu a). Rehabilitasi lahan terlantar atau yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, b). Perlindungan terhadap lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan/atau tanah longsor atau lahan yang diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi dikemudian hari, dan c). peningkatan atau pengembangan sumberdaya air.

Aspek sosial ekonomi dalam keberlanjutan sumberdaya air ditentukan oleh sistem pengelolaan DAS yang baik. Hufschmidt (1987), menguraikan bahwa pengelolaan DAS didasarkan pada tiga dimensi pendekatan analisis yaitu: a). Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi berkaitan erat, b). Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program pengelolaan DAS, melalui kelembagaan yang relevan dan terkait, dan c). Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan spesifik. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari pembangunan wilayah pada hakekatnya merupakan optimalisasi pemanfaatan lahan dan konservasi sumber daya alam untuk memenuhi berbagai kepentingan manusia secara berkelanjutan (sustainable). Namun sampai saat ini pengeloaan DAS masih diperhadapkan dengan berbagai permasalahan yang kompleks seperti penurunan luas tutupan hutan dan makin meluasnya lahan kritis, yang berakibat pada meningkatnya laju erosi tanah, pencemaran air, banjir dan kekeringan, besarnya fluktuasi debit aliran sungai pada musim kemarau musim hujan, kecenderungan penggunaan air yang belum efisien, serta berkurangnya kemampuan pemulihan kembali kondisi DAS oleh manusia. Hasil inventarisasi lahan kritis menunjukan bahwa terdapat 26.773.245 hektar di luar tutupan hutan dan 51.033.636 hektar di dalam tutupan hutan (Anwar, 2007). Untuk Propinsi Maluku di temukan lahan kritis di luar kawasan hutan 310.071 hektar dan di dalam kawasan hutan di Maluku yang menjadi rusak telah mencapai 2.762.754 ha (59%) dari total daerah berhutan dan perlu penanganan secara seksama, (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, 2007). Kondisi ini semuanya terkait dengan belum

adanya keterpaduan manajemen antara sektor dan instansi terkait (stakeholders), serta keadaan sosial ekonomi masyarakat yang kurang mendukung pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Permasalahan ini tampaknya akan terus berlangsung meskipun telah terjadi reformasi dalam berbagai aspek seperti otonomi daerah (UU No. 32 Tahun 2004), dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan.

Permasalahan di atas terkait erat dengan berbagai faktor kegiatan di bidang kehutanan baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada bagian hulu DAS. Hutan merupakan salah satu parameter dan indikator penting dalam pengelolaan DAS karena terkait dengan siklus hidrologi. Jika kondisi hutan dan lahan di bagian hulu DAS mengalami kerusakan maka akan lebih mudah terjadi erosi tanah akibat laju aliran permukaan yang lebih tinggi daripada laju infiltrasi. Akibatnya terjadi sedimentasi di sungai, waduk, dan saluran drainase lainnya yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya operasional dan pemeliharaan sarana-prasarana pemanfaatan air. Sebaliknya jika kondisi hutan di hulu baik, akan memberikan dampak positif bukan saja pada air permukaan tetapi juga terhadap air tanah dan ekosistem lingkungannya. Hal ini di perkuat dengan pendapat Zhonggen et al. (2004) bahwa tutupan lahan bervegetasi mempunyai kemampuan meningkatkan/mengurangi infiltrasi. Pernyataan Zhonggen et al ini mendapat dukungan dari Wheater dan Evans (2009) yang menyatakan bahwa perlu adanya penyeimbangan penutupan lahan untuk fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan fungsi sosial sehingga banjir tidak terjadi.

Permasalahan spesifik yang terkait langsung dengan pengelolaan pada sub- sistem daerah hulu adalah permasalah kerusakan lahan di wilayah tangkapan air dan erosi maupun sedimentasi, sehingga adanya trade off antara kelestarian lingkungan dan peningkatan produksi pangan. Untuk menjamin kontiniutas sumberdaya air permukaan khususnya di Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang potensial perlu secara sungguh-sungguh diamankan dan dilindungi. kawasan ini hendaknya dipetakan secara jelas dan dinyatakan sebagai kawasan yang dilindungi, upaya ini menuntut peraturan daerah dan pengelolaannya dapat diserahkan kepada lembaga atau dinas seperti Badan Pengelolaan Sumberdaya Air Baku. Badan ini bertanggung jawab dalam pengusahaan dan penyediaan air, baik

untuk air minum dan atau irigasi serta penggunaan lainnya yang dilakukan secara terpadu. Defra (2004) menyatakan bahwa pengelolaan lahan yang efektif dapat menghindari kerusakan sumberdaya air. Hal ini juga di perkuat dengan pernyataan Wheater (2009) bahwa pengelolaan jangka panjang untuk mencegah banjir adalah dengan cara menyeimbangkan penutupan lahan, peningkatan ekonomi dan manfaatan lingkungan yang selaras untuk mengurangi banjir.

Pasal 26 dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 menyatakan bahwa pendayagunaan sumberdaya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai, yang ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat secara adil.

Definisi sebuah pulau samudra pada dekade 70-an oleh IHP-UNSCI dinyatakan sebagai pulau yang berukuran kurang dari 10.000 km2. Menurut para peneliti air di seluruh penjuru dunia, maka ditetapkan bahwa pulau kecil yang di definisikan sebagai pulau dengan ukuran luas kurang dari 2.000 km2 (Hehanusa dan Bakti, 2005). Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air juga telah ditetapkan bahwa air di pulau kecil atau gabungan beberapa pulau kecil wajib dikelola sebagai suatu kesatuan wilayah. Selanjutnya suatu wilayah sungai (WS) dapat terdiri dari satu atau gabungan dari beberapa pulau kecil, dengan ketetapan ini berarti bahwa pulau kecil juga perlu dilengkapi dengan sebuah rencana pengelolaan air. Karakteristik Pulau kecil umumnya rentan terhadap bahaya dan mempunyai kapasitas terbatas sebagai penyangga bahaya lingkungan (Myers et al. 2000), keterbatasan lain dari pulau kecil adalah sumberdaya alam terbatas (Velde, 2007) ditambah lagi dengan cara pertanian tradisional yang kurang berkelanjutan (Bertram, 1986), serta keterbatasan adanya air (Hehanusa dan Bakti, 2004).

Kota Ambon yang terletak di pulau kecil (Pulau Ambon) mempunyai pertumbuhan penduduk cukup tinggi dengan tingkat pertambahan penduduk sebesar 3,43% dari tahun sebelumnya Tahun 2007. Jumlah penduduk Kota Ambon pada Tahun 2008 adalah 281.293 jiwa. Kepadatan penduduk di Kota

Ambon pada Tahun 2007 sebesar 757 jiwa per Km2 meningkat pada Tahun 2008 sebesar 783 jiwa per Km2 (BPS Kota Ambon, 2008).

DAS Batu Merah di Kota Ambon merupakan salah satu lokasi DAS kritis di Indonesia (Nugroho, 2003 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Penutupan lahan di Kota Ambon sekarang didominasi oleh permukiman penduduk dan infrastruktur pendukung lainnya seperti jalan, sarana ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan terjadinya konflik sosial. Keadaan ini mendorong rusaknya sistem hidrologi DAS, dan berakibat pada meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Permasalahan terpenting adalah menurunnya debit aliran sungai yang menjadi sumber kebutuhan hidup paling vital bagi semua organisme hidup termasuk manusia, hal ini dibuktikan dengan adanya suplay air bersih oleh perusahaan jasa penyedia air di Kota Ambon kepada pelanggan secara bergiliran dalam waktu yang tidak tetap. Artinya bahwa kadang kala hanya 2-3 kali dalam seminggu atau bahkan hanya sekali dalam seminggu.

Pengelolaan sumberdaya air untuk kebutuhan masyarakat di Kota Ambon dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum dan PT. Dream Sukses Airlindo yang meliputi 8.408 sambung pelanggan (59,61%) untuk PDAM (PDAM Kota Ambon, 2008) dan 5.697 pelanggan (40,39%) untuk PT. DSA (Kota Ambon Dalam Angka, 2009), atau sebesar 14.105 pelanggan air minum yang dapat mengkonsumsi air minum.

Tjiptasmara et al. (2004) menyatakan bahwa sumber daya air tanah di Kota Ambon terdapat pada tiga akifer yaitu akifer dalam (90 m), akifer tengah (30-50 m) dan akifer dangkal (<10 m); umumnya air bersifat tawar dengan tipe Ca-HCO3 dan ketiganya berasal dari sumber yang relatif sama. Djuwansah dkk (2004) juga menyatakan bahwa sumber daya air Pulau Ambon memiliki potensi yang baik karena berada di bawah pengaruh iklim ekuatorial sehingga memiliki potensi curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun.

Lokollo (2002) menyatakan bahwa ada kecenderungan semakin berkurangnya debit minimum harian, semakin meningkatnya debit maksimum harian, curah hujan yang bersifat acak, dan koefisien limpasan yang cenderung terus meningkat. Konversi lahan telah menyebabkan meningkatnya indeks

limpasan dari setiap DAS, demikian juga dengan bertambah cepatnya waktu konsentrasi aliran. Hal ini juga di dukung oleh Jacob (2009) menyatakan bahwa penurunan luas hutan dapat menaikkan aliran permukaan, sehingga diperlukan luasan hutan minimal 30% untuk DAS Batu Gantung dan 40% bagi Pulau Ambon untuk menurunkan aliran permukaan, sedangkan Suhendy (2009) menyatakan bahwa titik keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan hutan kota terdapat dipertengahan Tahun 2012 karena pada tahun tersebut diperkirakan jumlah penduduk Kota Ambon akan mencapai 309.065 jiwa dengan kebutuhan air sebesar 15.623.991 m3/tahun.

Penduduk Semenanjung Leitimor di Kota Ambon memanfaatkan air bersih yang bersumber dari lima DAS yaitu DAS Batu Gantung, DAS Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan DAS Wae Ruhu, sedangkan sisanya dari Sumur pompa. Kondisi DAS di Kota Ambon berada dalam kondisi kritis, termasuk kelima DAS ini.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka kajian ini mengambil lokasi pada kelima DAS di Semenanjung Leitimor yaitu DAS Wae Batu Gantung, Wae Batu Gajah, DAS Wae Tomu, DAS Batu Merah dan Wae Ruhu dipilih sebagai perwakilan dari beberapa DAS lainnya di Pulau Ambon yang menjadi sumber air untuk sarana penelitian ini karena lebih efisien (pertimbangannya bahwa pemanfaatan air pada DAS tersebut hanya mengandalkan energi gravitasi) untuk mengalirkan air, dan digunakan oleh masyarakat sekitar DAS tersebut untuk mandi, cuci, dan lain-lain. Hasil Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi acuan dalam perencanaan pengelolaan DAS-DAS lainnya yang ada di Pulau Ambon.

Model hidrologi dapat digunakan untuk mengkaji perubahan penutupan lahan terhadap karakteristik hidrologi. Salah satu model yang dapat digunakan adalah model SWAT (Soil and Water Assesment Tools). SWAT merupakan dasar kelanjutan dari model hidrologi yang dikembangkan untuk memprediksi pengaruh manajemen lahan pada air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch

Model dinamis merupakan penyederhanaan dari kompleksitas sistem nyata yang ada di lapangan dalam pengelolaan DAS. Metode dinamis digunakan untuk menentukan keputusan yang dilakukan dalam pengelolaan DAS Kota Ambon yang akan datang dengan melihat trend dari hasil simulasi yang dilakukan.

1.2. Kerangka Pikir

DAS sebagai sumberdaya alam milik bersama (Public Good) yang difungsikan sebagai kawasan konservasi, daerah resapan dan mengatur tata air, serta penyedia kebutuhan makluk hidup. Daerah hulu DAS telah dirambah oleh penduduk sebagai tempat melakukan aktivitas sehingga konversi lahan dari hutan menjadi penggunaan lain. Konversi lahan hutan yang berfungsi sebagai Daerah Aliran Sungai dialih fungsikan menjadi permukiman baik yang mendapat ijin dari pemerintah maupun tanpa ijin yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan sendiri. Dampak yang akan timbul dari konversi lahan ini adalah terganggunya fungsi hidrologi yang berujung pada kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.

Selain konversi lahan untuk permukiman, pertambahan penduduk yang semakin tinggi menyebabkan kebutuhan akan lahan juga semakin tinggi, sehingga hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Dengan berubahnya daerah tangkapan air menjadi areal perkebunan, pertanian dan permukiman maka air hujan yang jatuh lebih banyak menjadi aliran permukaan.

Meningkatnya aliran permukaan pada daerah yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air, disebabkan karena menurunnya infiltrasi sehingga akan menyebabkan kekurangan cadangan air tanah. Menurunnya muka air tanah dapat menyebabkan krisis air karena kebutuhan akan air yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk.

Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas dan dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Kerangka pikir ini dapat terlihat pada Gambar 1.

EKOLOGI Konservasi Hulu DAS, Reboisasi,

Sistem Agroforestry

Hulu DAS Digunakan Manusia Untuk Berbagai Aktivitas

EKONOMI Konversi Hutan: Permukiman, Perkebunan, Pertanian, dll. SOSIAL Jlh Pddk Bertambah, Kebutuhan Meningkat KELEMBAGAAN Penegakan aturan oleh pihak

terkait belum serius Pulau Kecil (Karakteristik) Kawasan Konservasi Daerah Resapan, Mengatur Tata Air

Penyedia Kebutuhan Makluk Hidup HULU DAS SEBAGAI SDA YANG PENTING (Public Good)

Pertumbuhan penduduk tinggi, kebutuhan lahan meningkat, konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain, kebutuhan air

bersih meningkat.

Terjadinya Krisis Air, Mengancam Keberlanjutan

Sumberdaya Air Kerusakan Sumber

Air, Ekosistem hutan/ DAS rusak

Pencemaran Sumber Air

Pemanfaatan yang Berlebihan

Potensi Air Tetap, Kebutuhan Meningkat PENGELOLAAN DAS SECARA BERKELANJUTAN Improvement:

1. Konsep Pengelolaan DAS 2. Konsep Hutan Kemasyarakatan 3. Konsep Hutan Rakyat

Model Dinamik

1. Submodel Ekologi 2. Submodel Ekonomi 3. Submodel Sosial

4. Submodel Ketersediaan Air

Meningkatkan Banjir Pada Musim Hujan dan Kekeringan

pada Musim Kemarau

Keterbatasan dalam menyimpan air

Gambar 1. Kerangak pikir pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Akibat dari persaingan dalam pemanfaatan air akan semakin tajam pada masa-masa mendatang, maka dapat diantisipasi bahwa air terlebih lagi air bersih (air minum) relatif semakin langka dan karenanya akan menjadi economis good, maka lahirlah konsep-konsep Pengelolaan DAS, Konsep pengelolaan DAS

berbasis hutan kemasyarakatan dan Konsep pengelolaan DAS berbasis hutan rakyat yang dapat menjembatani kelestarian DAS. Namun hal ini masih belum bisa diaplikasikan dengan benar karena berbagai macam kendala yang ada. Dengan demikian maka pengelolaan DAS yang mengintegrasikan aspek sosial, ekologi dan ekonomi merupakan kunci keberlanjutna sumberdaya air.

Pulau Ambon yang dihuni oleh penduduk yang padat dengan keterbatasan pulau Ambon (pulau kecil) untuk menampung air, maka dapat menyebabkan kelangkaan air. Kelangkaan ini terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi maka akan berbanding lurus terhadap kebutuhan air, apalagi Pulau Ambon mempunyai topografi yang sangat curam. Topografi yang curam ini menyebabkan air hujan yang jatuh sebagian besar akan menjadi aliran permukaan dibandingkan dengan masuk ke dalam tanah. Penyebaran penduduk di Kota Ambon tidak merata karena sebagian besar menempati lokasi di DAS Kota Ambon. DAS tersebut antara lain DAS Wai Ruhu, DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Gajah dan DAS Batu Gantung. Kelima DAS ini mempunyai manfaat sebagai penyedia sumber air bagi kebutuhan masyarakat di Kota Ambon.

1.3. Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang terjadi akhir-akhir ini adalah: (1) konversi lahan hutan menjadi areal pertanian, permukiman dan perkebunan, (2) pertambahan penduduk yang semakin tinggi, (3) kebutuhan akan air menjadi meningkat sehingga persaingan terhadap air, (4) penegakan aturan yang lemah, (5) kurang adanya peran dan partisipasi dari masyarakat terhadap Daerah Aliran Sungai. Berdasarkan kelima hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor?

2. Bagaimana debit unggulan Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor? 3. Berapa banyak kebutuhan air di Semenanjung Leitimor?

4. Bagaimana model pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi dan sosial di Semenanjung Leitimor?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendesain model pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam upaya menunjang keberlanjutan sumberdaya air. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perubahan tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor.

2. Menganalisis debit andalan di Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor.

3. Menganalisis Kebutuhan air di Semenanjung Leitimor.

4. Mendesain model pengelolaan DAS dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi dan sosial di Semenanjung Leitimor.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Ambon untuk merencanakan pengembangan wilayah Tingkat II Kota Ambon, khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya air di Pulau Ambon.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Balai Pengelolaan DAS Kabupaten/Kota di Ambon dalam perencanaan kawasan DAS pulau-pulau kecil di Propinsi Maluku pada umumnya dan pulau Ambon khususnya.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan optimasi penutupan lahan pada wilayah DAS pulau-pulau kecil.

1.6. Novelty

Kebaruan dalam penelitian ini adalah: Model dinamika Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan mengintegrasikan komponen ekologi, sosial dan ekonomi dalam keberlanjutan sumberdaya air di pulau kecil (studi kasus di Pulau Ambon).

Dokumen terkait