• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Pemodelan Daerah Aliran Sungai Kota Ambon Yang Berkelanjutan

5.4.6. Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

5.4.6.2. Kondisi Eksisting

1) Submodel Sosial

Laju pertumbuhan penduduk di daerah penelitian mencapai 2,72%/tahun sejak Tahun 2005. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya kepadatan dan kebutuhan lahan serta kebutuhan akan air. Selain itu, terjadi peningkatan laju pertumbuhan untuk sektor non-domestik seperti jumlah murid dan guru yang ada di sekolah, pertumbuhan ternak, jumlah tempat tidur di hotel dan rumah sakit serta peningkatan jumlah industri. Adapun bentuk model pertambahan pengguna air disajikan pada Gambar 56 berikut.

EKOLOGI

EKONOMI SOSIAL

Gambar 56. Submodel sosial

Dari Gambar 56, terdapat 4 stok yang menggambarkan pertambahan pengguna air. Pertumbuhan penduduk diduga dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk rata-rata. Pertumbuhan penduduk dibatasi oleh ketersediaan lahan untuk permukiman. Dalam model ini diasumsikan 1 kepala keluarga (kk) terdiri dari 5 orang dan membutuhkan 80 m2 untuk permukiman. Jika lahan yang tersedia sudah terbangun permukiman, maka pertumbuhan penduduk dianggap 0. Selain itu, pertumbuhan industri ke depan hanya 3,36% sampai dengan Tahun 2028. Secara dinamis, pendugaan pertumbuhan penduduk menggunakan rumus sebagai berikut:

Penduduk(T) = Penduduk(T - Dt) + (Pertambahan penduduk) Jumlah Penduduk awal = 168305

Pertambahan penduduk = Penduduk*2.72/100

Sedangkan untuk menduga pengguna air lainnya digunakan rumus umum yakni

Jenis Pengguna Air(T) = Jenis Pengguna Air (T - Dt) + (Pertambahan jenis pengguna air)

Pertambahan jenis pengguna air = Jenis pengguna air x laju rata-rata pertumbuhan tahunan (%).

Adapun bentuk pertumbuhan pengguna air yang terjadi disajikan pada Tabel 35 berikut.

Tabel 35. Pertumbuhan pengguna air di Kota Ambon

Tahun Pengguna Air

Penduduk Murid Guru Hotel Industri Rumah Sakit 2002 168.305 42.754 3.265 1.010 142 2.634 2003 172.883 45.345 3.503 1.199 161 2.634 2004 177.585 48.093 3.758 1.423 183 2.634 2005 182.416 51.007 4.032 1.689 209 2.634 2006 187.377 54.098 4.326 2.005 237 2.634 2007 192.474 57.377 4.642 2.380 269 2.634 2008 197.709 60.854 4.980 2.825 306 2.634 2009 203.087 64.541 5.343 3.353 348 2.634 2010 208.611 68.453 5.733 3.980 396 2.634 2011 214.285 72.601 6.151 4.725 450 2.634 2012 220.114 77.000 6.599 5.608 511 2.634 Pertambahan penduduk mempengaruhi peningkatan jumlah murid dan guru yang berkorelasi positif dengan kebutuhan air di sekolah. Selain itu, terjadi peningkatan konsumsi air di rumah sakit dan hotel serta industri. Laju pertumbuhan murid dan guru mencapai 6,06%, sedangkan laju pertumbuhan pengguna hotel mencapai 18,7% dan industri sebesar 13,66%. Selain itu, sektor peternakan juga menunjukkan angka meningkat, yakni sapi sebesar 6,32%, kambing sebesar 16,42% dan babi sebesar 9,8% serta unggas sebesar 16,63%. Peningkatan penduduk, jumlah tempat tidur rumah sakit dan hotel selanjutnya disebut sebagai sektor domestik, sedangkan ternak disebut sebagai sektor pertanian dan industri dikategorikan sebagai sektor industri.

2) Submodel Ekonomi

Masyarakat yang bergantung pada DAS mencapai lebih dari 40%, yang mendapatkan manfaat berupa mata pencaharian sebesar 30%. Secara umum, hutan tidak memberikan manfaat ekonomi berarti dikarenakan status hutan adalah hutan lindung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Kota Ambon. Bentuk pengelolaan hutan ke arah rehabilitasi dan pemanfaatan jasa lingkungan serta hasil hutan bukan kayu. Hal ini mengakibatkan laju perambahan dan pencurian kayu sangat tinggi. Jumlah masyarakat yang mengelola lahan menjadi lahan pertanian sangat kecil.

Pendugaan nilai ekonomi lahan pada PLK (pertanian lahan kering) dengan mengasumsikan di lahan tersebut dilakukan penanaman sayuran. Modal awal penanaman sayuran adalah Rp. 3,9 juta/ha. Keuntungan dari penanaman sayur dihitung dengan rumus (keuntungan-modal)*luas lahan PLK.

Pendugaan nilai ekonomi PLKC (pertanian lahan kering campuran) dihitung dengan asumsi bahwa pada lahan tersebut dilakukan penanaman dengan pola agroforestri yakni mengkombinasikan jenis tanaman penghasil kayu mpts (multi purpose tree sistem) seperti tanaman buah dan sayuran. Penanaman sayuran sangat bergantung pada tutupan tajuk tanaman penghasil kayu dan mpts. Untuk itu, asumsi yang digunakan dalam model ini adalah persentasi penanaman sayuran terus menurun mengikuti laju pertumbuhan tajuk tegakan. Adapun asumsi tersebut adalah pada awal penanaman dilakukan penanaman sebanyak 30% dari luas lahan PLKC. Empat tahun setelah penanaman, luas lahan yang dapat ditanam untuk sayuran adalah 20% dari luas lahan PLKC. Kemudian tujuh tahun setelah penanaman, luas lahan yang dapat ditanam untuk sayuran adalah 10% dari luas lahan PLKC. Pada Sembilan tahun setelah penanaman, luas lahan yang dapat ditanam untuk sayuran adalah 5% dari luas lahan PLKC dan selebihnya sudah tidak dapat dilakukan penanaman sayuran karena luas bidang dasar telah tertutupi tajuk tegakan.

Penanaman tanaman penghasil kayu dengan jarak tanam 10 x 10 m atau terdapat 183 pohon/ha, dengan daur tebang 30 tahun. Sedangkan penanaman mpts (alpukat dan cengkeh) dengan jarak tanam 2 x 3 m atau masing-masing jenis terdapat 5.739 pohon /ha. Cengkeh dan alpukat akan berbuah pada umur tujuh tahun setelah penanaman, dengan produktivitas cengkeh 100 kg/ha/tahun dan alpukat 750 kg/ha/tahun. Harga jual cengkeh adalah Rp. 50.000/kg dan harga jual alpukat Rp. 5000/kg. Harga kayu mahoni adalah Rp. 2.000.000/m3. Pemanenan mahoni akan dilakukan setelah daur tebang yakni 30 tahun.

Pendugaan kondisi eksisting ekonomi lahan masih menggunakan pola penanaman PLK sebagai nilai lahan. Adapun nilai ekonomi PLKC merupakan simulasi skenario pengembangan ekstensifikasi lahan pertanian dengan pola agroforestri. Bentuk pengelolaan pun dalam bentuk pertanian lahan kering (PLK). Adapun bentuk sub-model disajikan pada Gambar 57 berikut.

Gambar 57. Sub-model ekonomi PLK

Gambar 57 menunjukkan pendapatan masyarakat sangat bergantung pada luas lahan yang tersedia. Namun, laju konversi lahan menjadi permukiman dan pola pengelolaan yang tidak kontinyu mengakibatkan lahan berubah menjadi semak. Hal ini mengakibatkan laju pendapatan masyarakat dari PLK menurun.

Bila luas lahan PLK menurun maka nilai pendapatan yang diperoleh per tahun akan menurun, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 58 berikut.

Gambar 58. Pendapatan masyarakat dari pengelolaan PLK 0 200 400 600 800 1,000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 N il a i Ek o n o m i La h a n (R p ) Mil li o n s Tahun Eksisting

Gambar 58 menjelaskan bahwa pendapatan masyarakat dari pengolahan lahan untuk pertanian terus menurun. Hal ini disebabkan oleh menurunnya luas lahan. Penurunan pendapatan mengakibatkan angka pengangguran yang sangat tinggi dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masyarakat beralih dari petani menjadi penyedia jasa seperti tukang becak, tukang ojeg dan lainnya. Perekonomian berjalan lambat, karena sebagian besar aliran transaksi jual beli terjadi di luar kota Ambon dan bahkan di luar Provinsi Maluku.

3) Submodel Ekologi

a. Perubahan penutupan lahan

Perubahan penutupan lahan di Kota Ambon, memang tidak dapat disamakan dengan dinamika yang terjadi di kota-kota besar pada umumnya. Provinsi Maluku pernah berhadapan dengan konflik sosial terbesar sepanjang sejarah yang mengakibatkan rusaknya tatanan hidup dan merubah perilaku pengelolaan lahan. Permukiman banyak yang dibakar dan ditinggal mengakibatkan semak bertambah, sementara lahan pertanian ditinggal petani begitu saja sehingga berubah menjadi semak belukar.

Selain itu, terdapat perbaikan luas areal berhutan disebabkan oleh pelaksanaan Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), serta areal pertanian lahan kering campuran yang ditinggal sehingga tidak tertata dengan baik.

Tabel 36. Perubahan penutupan lahan berdasarkan peta penutupan lahan 2002-2009 (ha) Tahun Penutupan lahan (ha) Luas Awal (Ha) 2009 Jumlah Hutan PLKC Lahan

Terbuka Pemukiman PLK Semak 1.664,68 310,99 66,60 498,12 141,45 1.441,27 2002 Hutan 918,96 - PLKC 1.680,94 106,53 89,18 195,71 Lahan Terbuka 42,31 - Pemukiman 479,06 - PLK 979,60 3,47 2,72 113,54 119,73 Semak 22,23 -

Total luas (Ha) 106,53 - 3,47 2,72 - 202,72 315,44

Berdasarkan hasil analisis peta penutupan lahan pada Tahun 2002 dan 2009 terdapat beberapa alih penutupan lahan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 36 yang menerangkan bahwa perubahan penutupan lahan dari Tahun 2002 ke

Tahun 2009 kemudian dengan asumsi bahwa dibagi tujuh tahun antara sehingga diketahui bahwa setiap tahun terjadi perubahan penutupan lahan sebesar 315,44 ha. Perubahan penutupan lahan sebesar 315,44 ha tiap tahun ini akan tejadi perubahan pada penutupan lahan PLKC menjadi hutan sebesar 106,53 ha; PLKC menjadi semak sebesar 89,18 ha; PLK menjadi lahan terbuka sebesar 3,47 ha; PLK menjadi permukiman sebesar 2,72 ha; dan PLK menjadi semak sebesar 113,54 ha. Asumsi ini berlaku untuk Tahun 2003-2009.

Berdasarkan Tabel 36 di atas, PLKC akan cenderung menurun seiring dengan konservasi untuk penggunaan lain seperti hutan dan permukiman. Sebagian lainnya dari luas PLKC diterlantarkan sehingga menjadi lahan terbuka dan semak. Adapun perubahan penutupan lahan berdasarkan peta perubahan penutupan lahan disajikan dalam Tabel 37 berikut.

Tabel 37. Dinamika perubahan penutupan lahan terhadap debit Tahun

Luas Jenis Tutupan Lahan (Ha)

Debit (m3) Curah hujan tahunan (mm) Hutan

Sekunder PLKC PLK Semak Belukar

2002 918,96 1.680,94 979,60 22,23 1,42 1.655 2003 1.025,49 1.485,23 859,86 224,95 1,37 2.264 2004 1.132,02 1.289,53 740,12 427,67 1,25 1.636 2005 1.238,55 1.093,82 620,39 630,39 1,87 2.853 2006 1.345,09 898,11 500,65 833,11 2,59 3.136 2007 1.451,62 702,40 380,92 1.035,83 2,55 3.423 2008 1.558,15 506,69 261,18 1.238,55 4,74 5.693 2009 1664.18 310.99 141,45 1.441,27 2,04 2.010

Tabel 37 menunjukkan bahwa perubahan penutupan lahan bersifat dinamis. Luas hutan terus meningkat sementara luas PLKC dan PLK terus berkurang. Adapun bentuk diagram hubungan antara komponen penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 59 dan Gambar 60 berikut.

Gambar 59. Dinamika perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah luas area berhutan adalah 40% dari total luas lahan, sedangkan luas PLK dan PLKC masing-masing 20% dari luas lahan, 20% dari luas lahan terdiri atas permukiman dan lahan terbuka. Jika luas hutan, PLK dan PLKC telah terpenuhi maka model perubahan lahan telah mencapai kondisi tetap dan tidak terjadi konversi baik menjadi hutan maupun untuk pengembangan ekonomi masyarakat dalam bentuk PLK dan PLKC. Tentunya pembangunan PLK dan PLKC sangat terkait dengan skenario ekstensifikasi lahan pertanian dengan pola agroforestri sementara konversi semak menjadi hutan dipengaruhi oleh skenario RHL. Hasil simulasi model pada kondisi BAU (business as usual) dapat dilihat pada Gambar 60 berikut ini.

Gambar 60. Dinamika perubahan penutupan lahan 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 P e n u tu p a n la h a n ( h a ) Tahun

Gambar 60 menunjukkan bahwa pada kondisi BAU, terjadi perubahan penutupan lahan yang dinamis menurut kepentingan. Luas lahan PLKC terus menurun yang disebabkan oleh konversi menjadi peruntukkan lain seperti hutan. Hal ini digambarkan dengan konversi kebun campuran ke hutan adalah jika perbandingan hutan terhadap landcover adalah nol yang artinya luas hutan lebih kecil dibandingkan total luas landcover maka laju konversi akan bersifat tetap sebanyak 29,08 ha dari kebun campuran. Bila reboisasi dilakukan untuk mengendalikan laju penurunan luas hutan maka reboisasi akan dibangun secara bertahap dari Tahun 2013 – 2025 sebanyak 50 % dari target luas hutan total, dan sebanyak 30 % dari Tahun 2025 – 2045 dan sebanyak 20 % dari Tahun 2045 – 2050. Hal ini menunjukan bahwa reboisasi pada PLKC akan selesai sampai dengan Tahun 2050. Demikian pula untuk semak dan PLK.

b. Ketersediaan Air

Ketersediaan air dalam model ini diketahui lewat perhitungan berbagai sumber konsumsi air dari berbagai konsumen dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan masing-masing konsumen tersebut, serta mengetahui potensi air yang dihasilkan oleh PDAM dan PT. DSA (Dream Sukses Airlindo).

Perubahan penutupan lahan akan berdampak pada debit aliran permukaan meningkat yang akan menyebabkan masuknya air ke dalam tanah (infiltrasi) semakin kecil. Pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap debit dapat dilihat pada Tabel 37. Berdasarkan tabel tersebut, perubahan penutupan lahan diikuti oleh berubahnya debit aliran permukaan. Pendugaan debit aliran permukaan berdasarkan penutupan lahan dilakukan berdasarkan koefisien run off menurut Asdak (2005) sebagimana disajikan pada Tabel 38 berikut ini.

Tabel 38. Koefisien runoff berdasarakan jenis tutupan lahan

No Jenis tutupan lahan Koefisien runoff

1 Hutan 0,05

2 PLK 0,3

3 PLKC 0,2

4 Semak 0,45

Koefisien run off pada masing-masing tutupan lahan dikumulatifkan sehingga menjadi koefisien run off kumulatif menjadi persamaan berikut pada submode ketersediaan air adalah :

C = C1.A1 + C2.A2 ... + Ci.Ai = Ci.Ai A1 + A2 ... + Ai Ai

Dimana :

C = Koefisien run off kumulatif Ci = Koefisien run off lahan i Ai = Luas lahan i (ha)

A = Luas DAS

Persamaan lain perubahan penutupan lahan yang terjadi di Kota Ambon juga mengakibatkan beberapa sungai di Kota Ambon terancam kering dimusim kemarau dan banjir dimusim penghujan. Adapun peningkatan debit andalan disajikan pada Gambar 61 berikut.

Gambar 61. Debit andalan

Perubahan penutupan lahan di Kota Ambon akan mengakibatkan laju infiltrasi yang rendah namun konsumsi tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk.

Gambar 62. Debit aliran permukaan 0 10 20 30 40 50 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 A ir T e rse d ia (m 3 ) Mil li o n s Tahun Eksisting 140 145 150 155 160 165 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 R u n of f (m 3 ) M il li on s Tahun Eksisting

Gambar 62 menunjukkan perubahan penutupan lahan yang mengakibatkan adanya trend peningkatan luas hutan mengakibatkan laju runoff semakin menurun, hal ini mengakibatkan laju infiltrasi tinggi.

Produksi air PDAM yang konstan menjadikan potensi masalah sosial baru yang akan timbul. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mencari pasokan air bersih dalam kota. Masyarakat membeli air dari mobil tangki dengan harga yang lumayan tinggi. Disekitar perumahan dibuat bunker air untuk menampung air, sementara di pemukiman yang kecil dan padat masyarakat mengandalkan membeli air dari tukang air eceran yang dijual dengan jerigen.

Pendapatan ekonomi terus menurun, terbatasnya pilihan mata pencaharian dan semakin sempitnya lahan pertanian mengakibatkan potensi masalah sosial makin tidak terkendali. Perlu adanya perbaikan melalui pengelolaan DAS terpadu, yang tidak hanya mempertimbangkan DAS sebagai fungsi utama untuk menampung, menyerap dan mendistribusikan air namun juga fungsi DAS sebagai mata pencaharian.

Laju kebutuhan air terus meningkat sementara produksi air oleh PDAM dan PT. DSA konstan. Debit air yang meningkat akibat perubahan penutupan lahan mengakibatkan volume air di sungai meningkat yang mempengaruhi bertambahnya air tersedia di sungai. Adapun perbandingan antara kebutuhan air dengan produksi dapat dilihat pada Gambar berikut 63.

Gambar 63. Produksi air dan kebutuhan air di Kota Ambon

Berdasarkan Gambar di atas terlihat bahwa pada kondisi eksisting sekarang ini total kebutuhan air lebih besar dibandingkan produksi air, sementara

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 V ol u m e ( m 3 ) M il li o n s Tahun

air tersedia di sungai masih mencukupi. Untuk itu perlu adanya upaya pemanfaatan air sungai untuk memenuhi permintaan air domestik. Upaya tersebut dapat digambarkan dengan submodel sebagaimana dijelaskan dengan Gambar 64.

Gambar 64. Submodel ketersediaan air

Perubahan penutupan lahan akan mengakibatkan laju infiltrasi yang rendah dan konsumsi yang meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk. Sementara produksi air PDAM yang konstan menjadikan potensi masalah sosial baru yang akan timbul. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mencari pasokan air bersih dalam kota. Masyarakat membeli air dari mobil tangki dengan harga yang lumayan tinggi. Di sekitar perumahan dibuat bunker air untuk menampung air, sementara di permukiman yang kecil dan padat masyarakat mengandalkan membeli air dari penjual air eceran yang dijual dengan jerigen.

Menurunnya pendapatan ekonomi, terbatasnya pilihan mata pencaharian dan semakin sempitnya lahan pertanian mengakibatkan potensi masalah sosial makin tidak terkendali. Perlu adanya perbaikan melalui pengelolaan DAS terpadu, yang tidak hanya mempertimbangkan DAS sebagai fungsi utama untuk menampung, menyerap dan mendistribusikan air namun juga fungsi DAS sebagai mata pencaharian.

Perubahan fungsi penutupan lahan akan mempengaruhi ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan. Selain itu, sangat mempengaruhi laju

serapan air hujan yang turun di permukaan sehingga meningkatkan debit aliran permukaan.

Dokumen terkait