• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan dilakukan pada sepuluh sekolah dasar, yaitu empat SDN, empat SDS, dan dua MI di Kota Bogor. Dari kesepuluh sekolah dasar ini, tiga sekolah dasar tidak memilki penjaja dalam lingkungan sekolah (kantin). Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk melihat kondisi dan keragaan PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan dan untuk menetapkan intervensi yang akan dilakukan pada penelitian lanjutan. Gambaran umum mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki pada sepuluh sekolah dasar dapat dilihat pada Lampiran 1.

Karakteristik Penjaja PJAS Jenis Kelamin

Penjaja PJAS berjenis kelamin laki-laki sebesar 70.4% sedangkan perempuan 29.6%. Penjaja PJAS laki-laki paling banyak di SDS B (10.0%) dan MI B (10.0%), sedangkan penjaja PJAS perempuan paling banyak di SDS C (5.0%). Sebaran penjaja PJAS menurut jenis kelamin secara rinci tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis kelamin

Sekolah

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % SDN A 7 7.8 2 2.2 9 11.1 SDN B 6 6.7 3 3.3 9 11.1 SDN C 6 6.0 4 4.0 10 12.3 SDN D 6 6.7 3 3.3 9 11.1 SDS A 0 0.0 4 10.0 4 4.9 SDS B 8 10.0 0 0.0 8 9.9 SDS C 4 5.0 4 5.0 8 9.9 SDS D 4 6.7 2 3.3 6 7.4 MI A 8 8.0 2 2.0 10 12.3 MI B 8 10.0 0 0.0 8 9.9 Total 57 70.4 24 29.6 81 100 Umur

Papalia & Olds (1986) membagi usia dewasa menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya/ tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir (>65 tahun). Bagian terbesar (64.2%) penjaja PJAS adalah usia dewasa awal 18-40 tahun (Tabel 4). Kelompok usia ini merupakan kelompok usia dewasa

(2)

awal yang memiliki produktivitas tinggi. Usia penjaja PJAS yang lebih tinggi kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik daripada penjaja PJAS dengan usia muda karena pengalaman dalam memperoleh akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan lebih banyak, baik dari televisi, radio, majalah/koran, petugas kesehatan maupun media lainnya, namun juga memiliki kemungkinan kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang terbaru sehingga mempengaruhi cara berpikir, bertindak dan emosional. Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua sekolah memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa awal, kecuali SDN C yang memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa menengah lebih banyak (6.0%).

Tabel 4 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan usia

Sekolah

Umur

18-40 tahun 41-65 tahun >65 tahun Total

n % n % n % n SDN A 8 8.9 1 1.1 0 0 9 11.1 SDN B 5 5.6 4 4.4 0 0 9 11.1 SDN C 4 4.0 6 6.0 0 0 10 12.3 SDN D 5 5.6 4 4.4 0 0 9 11.1 SDS A 3 7.5 1 2.5 0 0 4 4.9 SDS B 6 7.5 2 2.5 0 0 8 9.9 SDS C 5 6.3 3 3.8 0 0 8 9.9 SDS D 3 5.0 3 5.0 0 0 6 7.4 MI A 8 8.0 2 2.0 0 0 10 12.3 MI B 5 6.3 3 3.8 0 0 8 9.9 Total 52 64.2 29 35.8 0 0 81 100.0 Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan penjaja PJAS merupakan faktor penting dan pendidikan merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih baik dalam menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi (Contento 2007). Informasi tersebut dapat mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh seseorang (WHO 2000).

Tingkat pendidikan penjaja PJAS dalam penelitian ini antara tidak sekolah hingga strata 1 (S-1). Sebanyak 46.9% penjaja PJAS memiliki tingkat pendidikan SD dan hanya 2.5% penjaja PJAS memiliki tingkat pendidikan Diploma dan Strata (S-1). Pendidikan S-1 terdapat di SDS C, hal ini dilakukan untuk mengisi

(3)

waktu luang membantu orang tua dalam mengisi waktu liburan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pendidikan pada tiap sekolah secara rinci tersaji pada Lampiran 2.

Pekerjaan

Kegiatan berjualan yang dilakukan penjaja PJAS merupakan pekerjaan utama dengan persentase sebanyak 92.6%. Hanya 7.4% yang merupakan pekerjaan sampingan yang ditunjukkan pada SDS C. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang selama menunggu anak sekolah di SDS C dan membantu penghasilan keluarga. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan pada tiap sekolah secara rinci tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan

Sekolah

Pekerjaan

Utama Sampingan Total

n % n % n % SDN A 9 10 0 0 9 11.1 SDN B 9 10 0 0 9 11.1 SDN C 9 9 1 1 10 12.3 SDN D 9 10 0 0 9 11.1 SDS A 4 10 0 0 4 4.9 SDS B 8 10 0 0 8 9.9 SDS C 4 5 4 5 8 9.9 SDS D 6 10 0 0 6 7.4 MI A 9 9 1 1 10 12.3 MI B 8 10 0 0 8 9.9 Total 75 92.6 6 7.4 81 100.0 Tempat Berjualan

Tempat berjualan dari semua sekolah memiliki penjaja PJAS lingkungan luar sekolah sebesar 74.1%. Hanya 25.9% sekolah yang memiliki penjaja di dalam sekolah, terkecuali SDN D, MI A dan MI B yang tidak memiliki penjaja di dalam sekolah (kantin). Pangan jajanan di SDS A dan B merupakan pangan jajanan titipan dan dikelola yayasan yang dijaga oleh tiga orang dalam satu toko. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tempat berjualan secara rinci tersaji pada Tabel 6.

(4)

Tabel 6 Sebaran penjaja PJAS bedasaran tempat berjualan

Sekolah

Tempat Berjualan

Total Di dalam sekolah Di luar sekolah

n % n % n % SDN A 2 2.2 7 7.8 9 11.1 SDN B 8 8.9 1 1.1 9 11.1 SDN C 1 1.0 9 9.0 10 12.3 SDN D 0 0.0 9 9.0 9 11.1 SDS A 2 5.0 2 5.0 4 4.9 SDS B 1 1.3 7 8.8 8 9.9 SDS C 5 6.3 3 3.8 8 9.9 SDS D 2 3.3 4 6.7 6 7.4 MI A 0 0.0 10 10.0 10 12.3 MI B 0 0.0 8 8.0 8 9.9 Total 21 25.9 60 74.1 81 100

Pelatihan/Training terkait Gizi

Penjaja PJAS hampir dari semua tidak pernah mengikuti pelatihan/training terkait gizi. Hanya 7.4% yang pernah mengikuti pelatihan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pelatihan/training terkait gizi tiap sekolah secara rinci tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pelatihan/training terkait gizi

Sekolah

Pelatihan

Pernah Tidak pernah Total

n % n % n % SDN A 0 0.0 9 10 9 11.1 SDN B 1 1.1 8 8.9 9 11.1 SDN C 1 1.0 9 9.0 10 12.3 SDN D 1 1.1 8 8.9 9 11.1 SDS A 0 0.0 4 10.0 4 4.9 SDS B 1 1.3 7 8.8 8 9.9 SDS C 1 1.3 7 8.8 8 9.9 SDS D 1 1.7 5 8.3 6 7.4 MI A 0 0.0 10 10.0 10 12.3 MI B 0 0.0 8 10.0 8 9.9 Total 6 7.4 75 92.6 81 100

Jenis pelatihan yang pernah diikuti penjaja PJAS yaitu Mengenal menu dan diit pasien (SDN B), Pemberian makanan tambahan (SDN C), Prinsip higiene dan sanitasi pedagang (SDN D), Bahan pewarna makanan (SDS B), Keamanan Pangan (SDS C), dan Kebersihan makanan (SDS D).

(5)

Lama Berusaha Penjaja PJAS

Semakin lamanya berusaha sebagai penjaja PJAS, diharapkan pengetahuan, pengalaman, dan informasi tentang jajanan sehat yang diperoleh lebih baik, dan dengan pengetahuan, pengalaman, dan informasi yang baik akan membentuk perilaku yang baik. Pengetahuan, pengalaman, dan sumber informasi merupakan dasar untuk terjadinya perubahan perilaku (Notoatmodjo 2003). Lama berusaha penjaja PJAS dilakukan dalam dua kategori, lama waktu berusaha dalam satu hari (jam) dan lama berusaha (tahun). Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam dan tahun) secara rinci tersaji pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam/hari)

Sekolah

Lama Berjualan (jam/hari)

Total <5 jam 5-10 jam >10 jam

n % n % n % n % SDN A 0 0.0 7 7.8 2 2.2 9 11.1 SDN B 2 2.2 7 7.8 0 0.0 9 11.1 SDN C 1 1.0 9 9.0 0 0.0 10 12.3 SDN D 2 2.2 5 5.6 2 2.2 9 11.1 SDS A 0 0.0 4 10.0 0 0.0 4 4.9 SDS B 2 2.5 5 6.3 1 1.3 8 9.9 SDS C 0 0.0 8 10.0 0 0.0 8 9.9 SDS D 3 5.0 3 5.0 0 0.0 6 7.4 MI A 0 0.0 7 7.0 3 3.0 10 12.3 MI B 0 0.0 8 0.0 0 0.0 8 9.9 Total 10 12.3 63 77.8 8 9.9 81 100.0

Penjaja PJAS berjualan sehari rata-rata 5-10 jam yaitu 77.8%. Hanya 9.9% yang dilakukan >10 jam dalam satu hari. Semua penjaja PJAS SDS A dan MI B berjualan dalam selang waktu 5-10 jam dalam satu hari. Sedangkan berdasarkan tahun, hampir dari sebagian penjaja PJAS lama berusaha sebagai penjaja PJAS tersebar pada kurun waktu 1-5 tahun yaitu 46.9%. tidak sedikit juga penjaja PJAS yang telah melakukan usaha sebagai penjaja PJAS dalam waktu >10 tahun yaitu sebanyak 23.5%. Hal ini dilakukan dengan alasan karena bekerja sebagai penjaja PJAS pendapatan yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hanya 12.3% penjaja PJAS sebagai penjaja PJAS yang <1 tahun dan paling banyak terdapat pada penjaja PJAS di SDN C dibandingkan sekolah lainnya.

(6)

Tabel 9 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berjualan (tahun)

Sekolah

Lama Berjualan (Tahun)

Total <1 tahun 1-5 Tahun 5-10 Tahun >10 Tahun

n % n % n % n % n % SDN A 1 1.1 4 4.4 2 2.2 2 2.2 9 11.1 SDN B 4 4.4 3 3.3 1 1.1 1 1.1 9 11.1 SDN C 2 2.0 4 4.0 1 1.0 3 3.0 10 12.3 SDN D 0 0.0 6 6.7 1 1.1 2 2.2 9 11.1 SDS A 1 2.5 3 7.5 0 0.0 0 0.0 4 4.9 SDS B 1 1.3 5 6.3 1 1.3 1 1.3 8 9.9 SDS C 0 0.0 5 6.3 1 1.3 2 2.5 8 9.9 SDS D 1 1.7 1 1.7 3 5.0 1 1.7 6 7.4 MI A 0 0.0 3 3.0 3 3.0 4 4.0 10 12.3 MI B 0 0.0 4 5.0 1 1.3 3 3.8 8 9.9 Total 10 12.3 38 46.9 14 17.3 19 23.5 81 100 Sarana Penjualan

Proyek Makanan Jajanan IPB (1993), usaha makanan jajanan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan cara berjualannya, yaitu pedagang berpangkal (Stationary units), pedagang berpangkal di perkampungan (Residential units), dan berdagang keliling (Ambulatory units). Penjaja makanan dalam kantin sekolah termasuk sebagai pedagang berpangkal, namun untuk penjaja luar merupakan gabungan dari pedagang berpangkal dan keliling karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah usai mereka berdagang keliling.

Sarana penjualan yang digunakan penjaja PJAS sebagian besar adalah toko/warung dan gerobak berkisar 25.9% hingga 50.6%. Sarana toko/warung yang digunakan paling banyak di SDN B dan SDS C karena berjualan di dalam sekolah (kantin), sedangkan sarana gerobak lebih banyak digunakan di SDN A dan MI A oleh penjaja luar (tidak ada kantin). Persentase penjaja PJAS yang menggunakan gerobak tinggi dikarenakan banyaknya penjaja luar lingkungan sekolah yang berjualan menetap saat kegiatan belajar mengajar berlangsung dan berkeliling setelah kegiatan belajar mengajar usai. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan secara rinci tersaji pada Tabel 10.

(7)

Tabel 10 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan

Sekolah

Sarana Penjualan

Toko/Warung Gerobak Bakul/Pikulan Meja Total

n % n % n % n % SDN A 2 2.2 7 7.8 0 0.0 0 0 9 11.1 SDN B 5 5.6 3 3.3 1 1.1 0 0 9 11.1 SDN C 3 3.0 5 5.0 0 0.0 2 2 10 12.3 SDN D 1 1.1 6 6.7 2 2.2 0 0 9 11.1 SDS A 2 5.0 2 5.0 0 0.0 0 0 4 4.9 SDS B 1 1.3 3 3.8 4 5.0 0 0 8 9.9 SDS C 5 6.3 2 2.5 1 1.3 0 0 8 9.9 SDS D 1 1.7 2 3.3 3 5.0 0 0 6 7.4 MI A 0 0.0 4 4.0 4 4.0 2 2 10 12.3 MI B 1 1.3 7 8.8 0 0.0 0 0 8 9.9 Total 21 25.9 41 50.6 15 18.5 4 5 81 100 Profil PJAS

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan dan jenis register. Pangan jajanan di sekolah umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:

1. Makanan sepinggan, misalnya nasi goreng, nasi soto, mie baso, mie ayam, gado-gado, siomay, batagor, dan sejenisnya.

2. Makanan camilan, seperti tahu goreng, cilok, martabak mini, martabak telur, keripik, dan sejenisnya

3. Minuman, seperti es campur, es teh, es sirup, es mambo, dan sejenisnya 4. Buah-buahan, seperti papaya potong, melon potong, semangka, nenas dan

sejenisnya. Kantin Sekolah

Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di kantin dikelompokkan sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah. Secara keseluruhan jenis pangan yang dijual paling banyak adalah jenis camilan yaitu sebesar 69.1% dan hanya 0.6% yang menjual jenis buah. Hal ini mencerminkan bahwa banyaknya penjaja PJAS menjual makanan camilan disebabkan karena anak sekolah dasar umumnya lebih menyukai makanan camilan sebagai makanan jajanan dibanding jenis pangan lainnya di sekolah. Jenis buah yang dijual yaitu berupa rujak yang dijual di SDN B. Sebaran profil PJAS di kantin menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 11.

(8)

Tabel 11 Sebaran profil PJAS di kantin menurut jenis pangan

Sekolah

Kantin

Total Mak.Sepinggan Camilan Minuman

Buah-buahan n % n % n % n % n % SDN A 3 1.5 16 8 1 0.5 0 0 20 11.2 SDN B 5 1.4 23 6.2 8 2.2 1 0.3 37 20.8 SDN C 3 2.3 10 7.7 0 0.0 0 0 13 7.3 SDN D 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0 0 SDS A 3 2.3 10 7.7 0 0.0 0 0 13 7.3 SDS B 3 0.7 33 7.2 10 2.2 0 0 46 25.8 SDS C 9 6.4 5 3.6 0 0.0 0 0 14 7.9 SDS D 3 0.9 26 7.4 6 1.7 0 0 35 19.7 MI A 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0 0 MI B 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0 0 Total 29 16.3 123 69.1 25 14.0 1 0.6 178 100.0 Pangan jajanan yang dijual di kantin paling banyak terdapat di SDS B dengan jumlah camilan paling banyak dibandingkan sekolah lainnya. Hal ini karena kantin menyediakan berbagai macam jenis chiki dan wafer yang memang paling banyak dibeli oleh anak-anak ketika istirahat, dan banyaknya jenis camilan yang disediakan di kantin ini baik dalam bentuk kemasan maupun dalam bentuk makanan siap saji. Hasil pengumpulan data terhadap PJAS, tidak ada satu sekolah pun yang menjual pangan jajanan olahan sayur, padahal sayur-sayuran sangat penting untuk dikonsumsi dan membiasakan anak-anak untuk mengonsumsi sayur sejak dini.

Dengan diberlakukannya UU No.8 Tahun 1999 yang memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak kepada pelaku usaha yang tidak benar atau informasi yang menyesatkan melalui label. Register pangan merupakan bagian dari label pangan, oleh karena itu label pangan yang merupakan informasi produk harus jelas dan benar mengenai produk yang bersangkutan. Informasi pada label yang tidak benar dapat menyebabkan kejadian yang dapat berakibat fatal bagi konsumen.

Menurut hasil penelitian BPOM, jenis register pangan dikelompokkan menjadi MD (produk dalam negeri), ML (produk luar negeri), SS (siap saji), TTD (tidak terdaftar), dan PIRT (industri rumah tangga). Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan kelompok PJAS yang dijual di kantin, sebanyak 53% termasuk dalam kelompok MD, selanjutnya 37% SS, 7% PIRT dan 3% TTD.

(9)

Tidak ditemui PJAS dengan kelompok ML. Jenis PJAS kelompok MD paling banyak ditemui karena kantin lebih banyak menyediakan PJAS dalam bentuk chiki dan wafer.

Gambar 2 Profil register PJAS di kantin

Lingkungan Luar Sekolah

Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di lingkungan luar sekolah dikelompokkan sebagai makanan sepingan, makanan camilan, minuman dan buah. Dari sejumlah 138 jenis pangan jajanan yang dijual dari keseluruhan sekolah, jumlah makanan camilan paling banyak dibanding tiga kelompok lainnya, yaitu sebesar 54.4%, selanjutnya kelompok minuman yaitu 25.4%. Jenis jajanan dalam bentuk buah memiliki nilai yang paling rendah (1.4%) dan hanya SDN C saja yang menjual jenis jajanan buah dalam bentuk rujak dan buah potong. Sebaran profil PJAS di luar lingkungan sekolah menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran profil PJAS di luar sekolah menurut jenis pangan

Sekolah

Luar Sekolah

Total Mak.Sepinggan Camilan Minuman

Buah-buahan n % n % n % n % n % SDN A 2 1.1 7 3.7 10 5.3 0 0 19 13.8 SDN B 0 0 1 0.5 0 0.0 0 0 1 0.7 SDN C 8 4.2 13 6.8 1 0.5 2 1.1 24 17.4 SDN D 2 1.1 20 10.5 6 3.2 0 0 28 20.3 SDS A 5 2.6 3 1.6 0 0.0 0 0 8 5.8 SDS B 1 0.5 4 2.1 3 1.6 0 0 8 5.8 SDS C 1 0.5 4 2.1 5 2.6 0 0 10 7.2 SDS D 1 0.5 3 1.6 1 0.5 0 0 5 3.6 MI A 5 2.6 14 7.4 7 3.7 0 0 26 18.8 MI B 1 0.5 6 3.2 2 1.1 0 0 9 6.5 Total 26 18.8 75 54.4 35 25.4 2 1.4 138 100 53% 0% 37% 3% 7% MD (Makanan Dalam Negeri)

ML (Makanan Luar Negeri) SS (Siap Saji)

TTD (Tidak Terdaftar) PIRT (Produk Industri Rumah Tangga)

(10)

Jenis pangan jajanan camilan yang banyak dijual di luar sekolah adalah jenis sosis goreng, telur gulung, bakso tusuk dan sejenisnya yang penyajiannya menggunakan saos sambal. Dari kelompok minuman, jenis minuman ringan kemasan banyak dijual. Beberapa contoh minuman adalah sari buah, teh serta susu.

Register PJAS meliputi MD, ML, SS, TTD dan PIRT. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan PJAS yang dijual di semua sekolah sebanyak 75% termasuk dalam kelompok SS. Namun masih terdapat PJAS tanpa register apapun, yaitu sebanyak 2% dari seluruh kelompok PJAS yang dijual penjaja PJAS luar. Melihat besarnya jumlah PJAS yang termasuk SS, sehinga perlu mendapat perhatian mulai dari proses pengolahan sampai penyajian.

Gambar 3Sebaran PJAS berdasarkan register di penjaja luar sekolah Praktek penggunaan BTP pada PJAS

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut (BPOM 2003). Praktek pengunaan BTP disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek penggunaan BTP 23% 0% 75% 0% 2% MD (Makanan Dalam Negeri) ML (Makanan Luar Negeri) SS (Siap Saji) TTD (Tidak Terdaftar)

PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) 7.4 18.5 39.5 34.6 0 10 20 30 40 50 ya tidak ya tidak Kan ti n Lu ar sek o lah Persentase (%) P e n g g u n a a n BT P

(11)

Penjaja PJAS yang menggunakan BTP di kantin sebanyak 7.4% dan 39.5% untuk yang di luar sekolah. Sebagian besar penjaja PJAS mengaku dengan menggunakan BTP makanan/minuman lebih enak rasanya, serta penampilan lebih menarik dengan harga BTP yang relatif murah dan mudah diperoleh. Dengan penampilan menarik dan rasa yang enak, maka jajanan lebih disukai anak-anak sekolah, dan penjaja PJAS mendapatkan untung yang lebih banyak.

SDS C menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di kantin, yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP baik jenis pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain itu jenis makanan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan SDS C.

Berbagai jenis BTP yang dikenal, penyedap rasa merupakan BTP yang paling sering digunakan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis BTP yang digunakan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis BTP yang digunakan Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 46.9% penjaja PJAS (kantin dan luar sekolah) yang menggunakan BTP, dan sebanyak 90% penjaja PJAS yang menggunakan jenis BTP penyedap rasa dan penguat rasa. Banyaknya penjaja PJAS menggunakan jenis BTP ini kemungkinan karena penyedap rasa dikenal luas di Indonesia. Penyedap rasa menandung senyawa yang disebut

monosodium glutamate (MSG). Dalam peraturan Menteri Kesehatan RI

No.722/Menkes/Per/IX/88, penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang berarti tidak boleh berlebihan penggunaannya (BPOM 2003).

Kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan sangat popular di kalangan anak-anak sekolah. Kebiasaan jajan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan. Banyak faktor yang menyebabkan kesukaan jajan menjadi kebiasaan yang universal. Kegemaran anak-anak akan hal yang manis, gurih dan asam sering dimanfaatkan oleh para penjual untuk menarik anak-anak. Kadangkala produk

5% 5%

90%

(12)

yang ditawarkan bukan menyehatkan malah berbahaya bagi tubuh, karena kurang mengandung zat gizi.

Penjaja PJAS sebanyak 5% menambahkan pemanis dan pewarna makanan pada makanan/minuman yang mereka jual. Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman sebagai pengganti gula karena mempunyai kelebihan rasa yang lebih manis daripada gula alami, dan mengandung kalori jauh lebih rendah, serta harganya lebih murah. Penggunaan pewarna makanan dilakukan agar makanan yang dijual menarik. Sejumlah faktor maupun alasan menjadi penyebab penggunaan BTP, seperti ketidaktahuan akan bahaya jenis BTP yang dipakai, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih menarik dan awet, serta kurangnya akses informasi gizi dan keamanan pangan.

Sarana Lingkungan Pedagang

Sarana lingkungan yang diamati yaitu tersedia tempat sampah tempat cuci tangan dan air bersih. Higiene dan sanitasi makanan dipengaruhi pula oleh ketersediaan sarana lingkungan yang memadai. Dengan tersedianya sarana lingkungan akan menunjang terlaksananya praktik higiene dan sanitasi makanan yang baik. Secara keseluruhan hanya SDS A dan C yang memiliki sarana yang lengkap. Sedangkan SDN D, MI A dan B tidak memiliki sarana lingkungan yang mendukung sama sekali. Sebaran berdasarkan sarana lingkungan pedagang pada tiap sekolah disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana lingkungan pedagang

No Sekolah Tempat sampah Tempat cuci tangan Air bersih 1 SDN A √ - √ 2 SDN B SDN B* √ - √ - 3 SDN C SDN C* √ - √ - 4 SDN D - - - 5 SDS A √ √ √ 6 SDS B √ - √ 7 SDS C √ √ √ 8 SDS D √ - √ 9 MI A - - - 10 MI B - - -

(13)

Analisis Risiko Ketidakamanan Pangan

Risiko ketidakamanan pangan dianalisis berdasarkan tiga risiko ketidakamanan yang mempengaruhi yaitu risiko ketidakamanan penjaja mengenai praktek higiene penjaja PJAS, risiko ketidakamanan pangan dan risiko ketidakamanan lingkungan mengenai lokasi penjualan. Sebaran risiko ketidakamanan pangan PJAS pada masing-masing sekolah disajikan pada Lampiran 3.

Penjaja merupakan pihak yang paling menentukan tingkat keamanan makanan yang dijual. Praktek higiene dari penjaja PJAS masih rendah dibuktikan dengan masih banyaknya penjaja menjual makanan secara terbuka, merokok dekat makanan jajanan, dan tidak adanya air bersih. Makanan yang dijual terbuka memungkinkan terkena debu dari lingkungan sekitar. Asap rokok banyak mengandung Penjaja PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan terdapat di SDN B, C & D; SDS A, B & D; dan MI A & B.

Risiko ketidakamanan pada pangan yang diamati dalam penelitian ini yaitu mengenai pewarna pada saus makanan, penguat rasa/flavour, es balok yang digunakan penjaja, dan penggunaan minyak goreng. Risiko ketidakamanan pada pangan tidak dilakukan terhadap kandungan boraks dan formalin berdasarkan hasil BPOM (2010) dengan ditemukannya dari 2.984 sampel yang diuji, 45% diantaranya tidak memenuhi syarat karena mengandung BTP yang dilarang seperti boraks, formalin, rhodamin B, methanol yellow atau BTP yang diperbolehkan seperti benzoat, sakarin, dan siklamat namun penggunaannya melebihi batas. Hal ini didasarkan pada jenis jajanan yang paling banyak dijual dan disukai anak-anak dari semua sekolah dasar adalah makanan camilan siap saji seperti telur gulung dan sosis goreng yang menggunakan saos sebagai pelengkap makanannya.

Penelitian BPOM tahun 2005 menyatakan bahwa saus atau sambal (61.5%) pada makanan jajanan tidak memenuhi syarat. Hampir dari semua sekolah menggunakan produk saus pada tiap PJAS dengan harga Rp 1500/bungkus yang penggunaannya diencerkan dengan air. Hanya SDS A dan C dan saja yang tidak menggunakan karena melarang penggunaan saos kecuali saos yang bermerk. Sekalipun menggunakan saos, saos tersebut harus dibuat sendiri. Saos dijadikan sebagai risiko ketidakamanan pada pangan karena warna saos yang merah dan dengan harga yang murah, dikhawatirkan dalam proses pembuatannya pewarna yang digunakan adalah pewarna yang tidak

(14)

diperuntukkan untuk makanan. Penggunaan pewarna yang aman pada pangan telah diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/85, sedangkan peraturan Menteri kesehatan RI No.239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, termasuk

methanil yellow yang berwarna kuning dan rhodamin B yang berwarna merah.

Karena kedua pewarna ini dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya terlihat secara tidak langsung setelah mengonsumsinya sehingga penggunaan pewarna ini dilarang walaupun dalam jumlah sedikit. Kenyataan di lapang masih banyak produsen pangan, terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan (BPOM 2003).

Penggunaan penguat rasa/flavour dan es balok juga dijadikan sebagai risiko ketidakamanan pada pangan. Hal ini karena penggunaan penguat rasa yang berlebihan tidak baik bagi kesehatan dan es balok dibuat dari air mentah. Penggunaan minyak goreng di SDN D dan MI A sangat mengindikasikan pangan yang dijual kurang aman karena penggunaan minyak goreng sampai berwarna hitam bahkan aroma yang ditimbulkan dari makanan yang digoreng sangat tidak enak. Minyak goreng yang digunakan berkali-kali (>4 kali) akan mengalami oksidasi dan menyebabkan iritasi saluran pencernaan, selain itu minyak goreng akan mengalami ketengikan yang akan merusak tekstur dan cita rasa dari makanan yang digoreng.

Risiko ketidakamanan pada lingkungan masih banyaknya pedagang yang menjual PJAS dekat dengan jalan raya tanpa menutup jajanan tersebut (SDN C* dan D; SDS B*, C* dan D*; MI A dan B). Bahkan di SDS B* keadaan tanah berdebu dan banyak ayam berkeliaran. Asap kendaraan mengandung timbal jika mengenai jajanan yang tidak ditutup maka memungkinkan timbal yang berasal dari asap kendaraan tersebut akan menempel pada makanan jajanan.

Perumusan Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Berdasarkan risiko ketidakamanan pangan dari semua sekolah, upaya alternatif yang dapat dilakukan adalah perbaikan sarana dan prasarana (adanya kerjasama antara pihak sekolah, penjaja dan Dinas Kesehatan terkait), peningkatan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) penjaja akan gizi dan keamanan pangan termasuk penggunaan BTP, dan penyuluhan terhadap produsen pangan mengenai pembuatan saos yang banyak digunakan oleh penjaja PJAS. Dan dilihat dari sekolah yang mempunyai risiko ketidakamanan PJAS pada tiap kategori yaitu SDN D, sehingga diajdikan sebagai tempat dalam

(15)

penelitian lanjutan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan upaya alternatif yang dapat dilakukan, efektivitas sikap dalam upaya untuk mengatasi masalah keamanan pangan yang dapat dilakukan di SDN D adalah penyuluhan gizi dan pendampingan untuk meningkatkan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) akan gizi dan keamanan pangan termasuk penggunaan BTP.

Penelitian Lanjutan

Penelitian dilakukan pada SDN D berdasarkan hasil pada penelitian pendahuluan. Secara keseluruhan penjaja PJAS di SDN D berada di luar sekolah karena di SDN D tidak memiliki kantin. Intervensi yang dilakukan yaitu melalui penyuluhan gizi dan pendampingan. Khomsan (2002) menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal mengenai pengetahuan gizi.

Karakteristik Penjaja PJAS

Penjaja dalam penelitian ini berjumlah sembilan orang. Pengkategorian karakteristik penjaja sama seperti pada penelitian pendahuluan yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, dan lama berusaha. Sebaran karakteristik penjaja PJAS di SDN D tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran karakteristik penjaja PJAS SDN D Karakteristik Penjaja PJAS SDN D

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

88.9 11.1

Umur 18-40 tahun 41-65 tahun >65 tahun

55.6 44.4 0

Pendidikan Tidak sekolah

Tidak tamat

SD SD SMP SMA

11.1 0 44.5 33.3 11.1

Pekerjaan Utama Sampingan

100 0

Lama Berusaha (jam/hari)

<5 jam 5-10 jam >10 jam

0 88.9 11.1

Lama Berusaha (tahun)

<1 tahun 1-5 tahun 5-10 tahun >10 tahun

0 44.4 11.1 44.4

Pendapatan

Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Diharapkan dengan pendapatan tinggi dapat memberikan peluang yang besar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya sehingga kualitas seseorang

(16)

akan lebih baik, selain itu pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Pendapatan perkapita penjaja PJAS berkisar antara Rp 60.000,00->Rp 1.000.000,00 dengan rata-rata Rp 180.000,00. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tingkat pendapatan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tingkat pendapatan

Pendapatan perkapita berdasarkan BPS (2008) dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, miskin (<Rp 176.216,00) dan tidak miskin (>Rp 176.216,00). Sebagian besar (55.6%) penjaja PJAS tergolong miskin dengan pendapatan <Rp 176.216,00 dan 44.4% penjaja PJAS yang tergolong tidak miskin. Hal ini diduga karena sebagian besar penjaja PJAS menjual satu jenis pangan jajanan dengan harga yang murah sehingga pendapatan yang diperolehpun tidak terlalu besar. Sarana Penjualan

Penjaja makanan di SDN D sebagian besar merupakan pedagang keliling yaitu sebesar 66.7% karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah habis mereka berdagang keliling. Hanya 33.3% penjaja PJAS sebagai pedagang tetap. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tempat berjualan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tempat berjualan

Tempat berjualan penjaja PJAS adalah berpindah tempat/keliling sehingga sarana penjualan yang digunakan penjaja PJAS sebagian besar adalah gerobak sebesar 77.8%. sebanyak 11.1% penjaja PJAS yang berjualan dengan

55.6 44.4 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0

miskin tidak miskin

P e rs e n ta s e ( % ) 33.3 66.7 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 Tetap Berpindah-pindah P e rs e n ta s e ( % )

(17)

menggunakan sarana penjualan bakul dan toko/warung. Sebaran penjaja PJAS berdasarkana sarana penjualan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan Pengetahuan, Sikap dan Praktek terhadap Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan gizi dan keamanan pangan

Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebaran penjaja berdasar pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jawaban yang benar mengenai

pengetahuan gizi dan keamanan pangan

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Pretest Posttest

Pengetahuan Gizi n % n %

1. Pengertian makanan bergizi 7 77.8 7 77.8 2. Zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh 3 33.3 7 77.8 3. Akibat makanan tidak bersih 7 77.8 7 77.8

4. Pengertian makanan sehat 8 88.9 7 77.8

5. Pengertian makanan jajanan 4 44.4 5 55.6 6. Zat gizi pendukung pertumbuhan 2 22.2 3 33.3

7. Manfaat karbohidrat 7 77.8 7 77.8

8. Makanan jajanan sumber karbohidrat 8 88.9 8 88.9

9. Manfaat kalsium 5 55.6 5 55.6

10. Makanan sumber vitamin C 7 77.8 8 88.9

Keamanan Pangan

1. Akibat makanan jajanan yang tidak ditutup

dengan rapi 9 100.0 9 100.0

2. Ditemukan sehelai rambut di dalam makanan 8 88.9 8 88.9 3. Hal yang dilakukan saat ingin bersin ketika

mengolah/menyajikan makanan 6 66.7 6 66.7

4. Cara merebus air yang paling baik dan aman 1 11.1 2 22.2 5. Akibat es batu yang dibuat dari air mentah 5 55.6 7 77.8 6. Tujuan air minum dimasak terlebih dahulu 6 66.7 7 77.8 7. Kebiasaan cuci tangan yang baik 8 88.9 8 88.9 8. Hal-hal yang menimbulkan cemaran 4 44.4 7 77.8 9. Jenis kemasan yang baik untuk membungkus

jajanan 5 55.6 7 77.8

10. Akibat penggunaan BTP yang tidak dianjurkan 4 44.4 5 55.6 11.1 77.8 11.1 0.0 50.0 100.0

Toko/warung Gerobag Bakul

P e rs e n ta s e ( % )

(18)

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan. Hasil pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS menunjukkan peningkatan dari pretest ke posttest. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jawaban yang benar terkait pengetahuan gizi, sebanyak 88.9% penjaja PJAS dapat menjawab dengan benar mengenai makanan jajanan sumber karbohidrat baik hasil pretest maupun posttest. Pertanyaan yang mengenai zat gizi pendukung pertumbuhan yang nilainya masih rendah (33.3%), padahal ini penting diketahui oleh penjaja dalam menyediakan pangan jajanan yang dibutuhkan anak sekolah. Sehingga perlu teknik penyuluhan lain agar dapat dipahami penjaja.

Pengetahuan akan keamanan pangan, secara keseluruhan penjaja PJAS menjawab dengan benar (100%) akibat makanan jajanan yang tidak ditutup dengan rapi. Penjaja PJAS telah memahami tindakan yang dilakukan akibat makanan jajanan yang tidak ditutup rapi, hal ini kemungkinan dikarenakan berdasarkan pengalaman, dan sumber informasi yang diperoleh. Contoh pertanyaan mengenai cara merebus air yang paling baik dan aman yang masih kurang mampu dijawab oleh sebagian penjaja PJAS yaitu sebesar 22.2%. Dari 10 pertanyaan yang diajukan, sebagian besar penjaja PJAS dapat menjawab pertanyaan mengenai keamanan pangan cukup baik. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan kategori pengetahuan gizi dan

keamanan pangan

Kategori Pengetahuan Pretes Posttest

Pengetahuan Gizi n % n %

Baik 1 11.1 2 22.2

Sedang 6 66.7 6 66.7

Kurang 2 22.2 1 11.1

Total 9 100.0 9 100.0

Pengetahuan keamanan pangan

Baik 0 0.0 3 33.3

Sedang 7 77.8 5 55.6

Kurang 2 22.2 1 11.1

Total 9 100.0 9 100.0

Pengetahuan secara keseluruhan

Baik 0 0.0 1 11.1

Sedang 7 77.8 7 77.8

Kurang 2 22.2 1 11.1

Total 9 100.0 9 100.0

(19)

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS mengalami peningkatan dari sebelum penyuluhan (pretest) dan setelah penyuluhan (posttest). Pengetahuan gizi pada saat pretest tergolong pada kategori sedang 66.7%, hanya 11.1% yang tergolong kategori baik. Tetapi setelah penyuluhan (posttest) terjadi peningkatan dalam kategori baik sebesar 22.2%. Begitupun pengetahuan keamanan pangan, saat pretest sebanyak 77.8% tergolong sedang tetapi pada saat posttest hanya 55.6% yang tergolong sedang dan 33.3% tergolong baik. Tingkat pengetahuan keamanan pangan penjaja PJAS lebih baik dibandingkan pengetahuan gizi. Rendahnya pengetahuan gizi penjaja PJAS ditunjukkan masih banyaknya penjaja PJAS yang kurang mampu menjawab pertanyaan mengenai zat gizi pendukung pertumbuhan, pengertian makanan jajanan dan manfaat kalsium bagi tubuh pada Tabel 16. Sedangkan pengetahuan keamanan pangan, ditunjunjukkan masih rendahnya penjaja PJAS tidak menjawab benar cara merebus air yang baik dan aman serta akibat penggunaan BTP yang tidak dianjurkan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya akses informasi penjaja PJAS tentang keamanan pangan.

Pengetahuan penjaja PJAS akan gizi dan keamanan pangan tergolong pada kategori sedang. Pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan seseorang, tetapi sumber informasi, pengalaman, serta kegiatan penyuluhan juga mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (Notoatmodjo 2003). Hasil uji paired samples t-test menunjukkan bahwa nilai sebelum dan setelah intervensi berbeda nyata dengan p=0.033 (p<0.05). Pemberian penyuluhan dan pendampingan kepada penjaja diduga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan skor pada saat sebelum dan setelahnya. Sikap Gizi dan Keamanan Pangan

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan dan belum menunjukkan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predoposisi tindakan dari suatu perilaku (Notoatmodjo 2003). Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sikap setuju terhadap sikap gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 menunjukkan bahwa sikap penjaja PJAS mengalami peningkatan hasil dari nilai pretest ke posttest. Pada sikap gizi terjadi peningkatan terbesar yaitu 100% penjaja PJAS setuju bahwa sarapan dapat

(20)

menunjang aktivitas. Baik hasil pretest dan posttest, penjaja PJAS setuju 100% bahwa makanan sehat mengandung cukup zat gizi dan bersih. Akan tetapi terjadi penurunan hasil dari pretest ke posttest pada pertanyaan mengenai kandungan vitamin dan mineral pada jus buah kemasan sama dengan jus asli.

Tabel 17 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sikap setuju tentang gizi dan keamanan pangan

Sikap gizi dan keamanan pangan Pretest Posttest

Gizi n % n %

1. Tubuh membutuhkan beragam zat gizi 8 88.9 8 88.9 2. Bubur ayam, lontong sayur dan nasi uduk

sumber vitamin 1 11.1 1 11.1

3. Jajanan sumber zat gizi 4 44.4 4 44.4

4. Makanan sehat mengandung cukup zat gizi

dan bersih 9 100.0 9 100.0

5. Minum air ketika haus saja 4 44.4 5 55.6 6. Sarapan menunjang aktivitas 8 88.9 9 100.0 7. Tidak pernah memperhatikan nilai gizi

jajanan 2 22.2 2 22.2

8. Pangan sumber zat besi agar tidak anemia 7 77.8 8 88.9 9. Kebiasaan makanan camilan sambil

menonton TV baik untuk kesehatan 5 55.6 6 66.7 10.Kandungan vitamin dan mineral pada jus

buah kemasan sama dengan pada jus asli 7 77.8 6 66.7 Keamanan Pangan

1. Memakai penutup kepala menghindari

makanan dari cemaran 5 55.6 6 66.7

2. Kebersihan tempat jualan penting untuk

keamanan pangan 9 100.0 9 100.0

3. Membungkus makanan dengan kertas

koran/plastik bekas baik 6 66.7 6 66.7

4. Tangan yang belum dicuci menyebabkan

cemaran 7 77.8 7 77.8

5. Makanan dalam kondisi terbuka hal yang

biasa saya lakukan 5 55.6 6 66.7

6. Menghindari penggunaan pemanis yang

berlebihan 7 77.8 7 77.8

7. Bersin dan berbicara ke arah makanan pada

saat mengolah 3 33.3 3 33.3

8. Informasi label gizi dan tanggal kadaluarsa

penting 8 88.9 8 88.9

9. Menggunakan pisau yang berbeda jika hendak memotong bahan mentah dan

matang 6 66.7 6 66.7

10.Penggunaan air cucian berulang tidak

menimbulkan cemaran 7 77.8 7 77.8

Sikap keamanan pangan hasil pertanyaan hanya beberapa yang mengalami peningkatan dari pretest ke posttest, sedangkan beberapa hasil lainnya masih sama antara nilai pretest dan posttest. Sebesar 100.0% penjaja PJAS setuju bahwa kebersihan tempat jualan penting untuk keamanan pangan.

(21)

Masih banyaknya penjaja PJAS yang membiasakan kondisi jajanan terbuka sebesar 66.7%, hal ini dilakukan dengan alasan jika makanan ditutup pendapatan akan berkurang karena anak-anak tidak dapat melihat makanan jajanan secara langsung. Tabel 18 dapat dilihat sebaran penjaja PJAS berdasarkan tingkat sikap penjaja PJAS terhadap gizi dan keamanan pangan.

Tabel 18 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sikap gizi dan keamanan pangan

Kategori Sikap Pretest Posttest

Sikap Gizi n % n %

Baik 0 0.0 1 11.1

Sedang 4 44.4 5 55.6

Kurang 5 55.6 3 33.3

Total 9 100.0 9 100.0

Sikap Keamanan Pangan

Baik 0 0.0 2 22.2

Sedang 7 77.8 6 66.7

Kurang 2 22.2 1 11.1

Total 9 100.0 9 100.0

Sikap secara keseluruhan

Baik 0 0.0 1 11.1

Sedang 5 55.6 6 66.7

Kurang 4 44.4 2 22.2

Total 9 100.0 9 100.0

p= 0.032

Komponen kognitif sikap menggambarkan pengetahuan seseorang tentang suatu objek. Komponen afektif sikap menggambarkan perasaan dan emosi seseorang terhadap suatu objek, sedangkan komponen konatif sikap menggambarkan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan yang berkaitan dengan objek sikap. Sikap juga memiliki dimensi positif, netral, dan negatif. Tabel 18 menunjukkan terjadi peningkatan sikap gizi penjaja PJAS dari

pretest ke posttest. Awalnya sikap gizi penjaja PJAS tergolong pada kategori

kurang, setelah diberikan penyuluhan mengalami perubahan menjadi kategori sedang sebesar 55.6% dan baik sebesar 11.1%.

Sikap setuju penjaja PJAS diduga karena keyakinan dan kepercayaan penjaja PJAS terhadap suatu objek tersebut, serta masih kurangnya pengetahuan penjaja PJAS tentang gizi, dan ketidakpedulian penjaja PJAS terhadap kandungan gizi pangan jajanan yang mereka jual, dan bagi seorang penjual PJAS yang terpenting adalah mereka memperoleh keuntungan yang besar tanpa memperhatikan aspek gizi dan keamanan makanan/minuman yang dijual. Hal ini sesuai dengan pendapat Alport (1954) diacu dalam Notoatmodjo (2003), sikap terdiri dari tiga komponen pokok, salah satunya yaitu kepercayaan

(22)

atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam menentukan sikap.

Sikap keamanan pangan penjaja PJAS mengalami peningkatan dari hasil

pretest ke posttest. Sikap keamanan pangan penjaja PJAS saat pretest tergolong

pada kategori sedang 77.8% dan mengalami peningkatan saat posttest menjadi kategori baik sebanyak 22.2% dan kategori sedang sebesar 66.7%. Masih adanya ketegori kurang pada sikap keamanan pangan ditunjukkan masih banyaknya penjaja PJAS yang berbicara ke arah makanan pada saat mengolah/menyediakan jajanan. Secara keseluruhan, sikap gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS setelah penyuluhan tergolong pada kategori sedang 66.7% dan baik 11.1%. Penjaja PJAS yang baik kecenderungan memiliki sikap sangat setuju terhadap pernyataan positif dan memiliki sikap tidak setuju terhadap pertanyaan negatif, sedangkan penjaja PJAS yang cukup hanya mencapai taraf setuju terhadap beberapa pernyataan positif, dan mencapai taraf tidak setuju terhadap beberapa pertanyaan negatif. Hasil uji paired t-test menunjukkan bahwa skor sikap gizi dan keamanan pangan meningkat secara nyata antara pretest dan

posttest dengan nilai p=0.032 (p<0.05).

Praktek Keamanan Pangan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over

behavior). Berdasarkan jenis PJAS, tidak adanya penjaja PJAS yang

menyediakan buah-buahan pada jualannya. Masih rendahnya praktek gizi dalam penyediaan PJAS untuk kelompok buah-buahan diduga karena kurangnya pengetahuan gizi penjaja PJAS akan manfaat buah, khususnya manfaat gizi.

Praktek gizi dan keamanan pangan merupakan bentuk aplikasi dari pengetahuan gizi dan keamanan pangan. Praktek keamanan pangan sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan jajanan yang dijual oleh penjaja. Praktek higiene, semua penjaja PJAS belum dapat mengaplikasikan kegiatan mencuci tangan sebelum dan setelah melayani pembeli. Tabel 19 menunjukkan terjadi peningkatan setelah penyuluhan gizi adalah penjaja PJAS tidak lagi merokok saat melayani pembeli (100%) dan adanya perubahan perilaku salah satu penjaja PJAS yang pada saat awal pretest menggunakan pakaian yang kurang bersih tetapi setelah penyuluhan menggunakan pakaian yang bersih. Pernyataan mengenai penjaja tidak memegang uang secara langsung selama mengolah/menyajikan (11.1%) belum dilakukan dengan baik oleh penjaja dengan

(23)

alasan hal itu sulit dilakukan. Dengan kondisi tempat berjualan di luar sekolah, masih banyaknya penjaja yang menyajikan pangan berdekatan dengan saluran pembuangan air (33.3%). Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek higiene serta penanganan dan penyimpanan pangan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek higiene serta penanganan dan penyimpangan pangan

Praktek Keamanan Pangan Pretest Posttest

Higiene n % n %

1. Penjaja dalam keadaan sehat 9 100 9 100 2. Penjaja menggunakan pakaian yang bersih 7 77.8 9 100 3. Penjaja tidak makan dan minum atau merokok pada

saat melayani pembeli 8 88.9 9 100

4. Penjaja tidak memiliki luka terbuka 8 88.9 9 100 5. Penjaja tidak menggaruk-garuk badan dan bersin atau

batuk selama melayani pembeli 8 88.9 9 100 6. Sebelum melayani pembeli, penjaja mencuci tangan 0 0.0 0 0.0 7. Setelah melayani pembeli, penjaja mencuci tangan 0 0.0 0 0.0 8. Penjaja tidak menyentuh pangan langsung dengan

tangan saat menyajikan melainkan menggunakan

sendok atau alat lain 6 66.7 7 66.7

9. Penjaja tidak memegang uang secara langsung

selama mengolah/meyajikan 1 11.1 2 11.1

10. Tempat penyajian pangan tidak berdekatan dengan

saluran pembuangan air 3 33.3 3 33.3

Praktek Keamanan Pangan n % n %

Penanganan dan Penyimpanan makanan dan minuman 1. Bahan makanan yang cepat rusak seperti susu atau

santan disimpan di dalam lemari es/kulkas 9 100 9 100 2. Bahan-bahan kering seperti gula dipisahkan dari

bahan-bahan basah 9 100 9 100

3. Penggunaan minyak goreng tidak lebih dari 3 kali 9 100 9 100 4. Tidak terdapat bahan-bahan beracun di area penjualan 9 100 9 100 5. Makanan/minuman yang tidak dikemas selalu ditutup 5 55.6 5 55.6 6. Plastik bekas tidak digunakan sebagai kemasan

makanan/minuman 3 33.3 5 55.6

7. Air yang digunakan adalah air yang bersih dan sesuai

untuk dikonsumsi 9 100 9 100.0

8. Makanan/minuman diletakan diwadah yang bersih (tidak dialasi koran/benda lain yang menimbulkan

cemaran) 7 77.8 7 77.8

9. Makanan/minuman disajikan atau dikemas dalam

pengemas bersih 3 33.3 5 55.6

10. Bahan tambahan kimia atau alami yang ditambahkan

ke dalam minuman adalah bahan yang diizinkan 7 77.8 7 77.8 Praktek keamanan pangan mengenai penanganan dan penyimpanan pangan menunjukkan masih terdapat penjaja PJAS yang kurang mampu melaksanakan dengan baik mengenai pangan yang tidak dikemas selalu ditutup karena jika PJAS ditutup, anak-anak kurang tertarik untuk membeli sehingga

(24)

mengurangi penghasilan yang diperoleh. Selain higiene serta penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, praktek akan keamanan pangan juga mengamati sarana dan fasilitas yang yang digunakan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek sarana dan fasilitas disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek sarana dan fasilitas

Praktek Keamanan Pangan Pretest Posttest

Sarana dan Fasilitas n % n %

1. Tempat (wadah) untuk menjual makanan/minuman

dalam keadaan bersih 6 66.7 8 88.9

2. Tersedia air bersih 1 11.1 2 22.2

3. Tersedia lap tangan 8 88.9 8 88.9

4. Tersedia tempat sampah yang cukup dan tertutup 8 88.9 8 88.9 5. Tersedia tempat pencucian peralatan dengan suplai

air mengalir 0 0.0 0 0.0

Praktek sarana dan fasilitas menunjukkan bahwa masih rendahnya penyediaan air bersih dan tidak adanya tempat pencucian dengan suplai air mengalir. Hal tersebut menjelaskan mengapa penjaja PJAS tidak mencuci tangan sebelum dan setelah melayani pembeli. Sarana dan fasilitas merupakan faktor pemungkin terbentuknya atau berubahnya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2007). Adanya peningkatan (66.7% menjadi 88.9%) mengenai praktek penjaja PJAS dalam hal menggunakan tempat (wadah) yang bersih untuk menjual makanan/minuman. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek keamanan pangan

Kategori Praktek Pretest Posttest

Praktek Higiene n % n %

Baik 0 0.0 0 0.0

Sedang 5 55.6 9 100.0

Kurang 4 44.4 0 0.0

Praktek Penanganan dan Penyimpangan

Baik 3 33.3 4 44.4

Sedang 6 66.7 5 55.6

Kurang 0 0.0 0 0.0

Sarana dan Fasilitas

Baik 0 0.0 0 0.0

Sedang 7 77.8 8 88.9

Kurang 2 22.2 1 11.1

Total Praktek Keamanan

Baik 0 0.0 0 0.0

Sedang 7 77.8 8 88.9

Kurang 2 22.2 1 11.1

(25)

Hasil menunjukkan bahwa secara umum penjaja PJAS memiliki tingkat praktek keamanan pangan sebanyak 88.9% dalam kategori sedang, terjadi peningkatan dari nilai pretest sebelumnya (77.8%). Walaupun pengetahuan keamanan pangan sebanyak 33.3% penjaja tergolong baik, belum menentukan penjaja akan menerapkannya, kemungkinan penjaja hanya sekedar tahu, tetapi dan tidak mengaplikasikan ilmu yang mereka tahu dalam kehidupannya.

Menurut Notoatmodjo (2007), dalam proses pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu sendiri. Selain pengetahuan dan persepsi sebagai faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku, terdapat pula faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim, manusia, sosio-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Hasil uji paired samples t-test menunjukkan bahwa nilai sebelum dan setelah intervensi berbeda nyata dengan p=0.014 (p<0.05). Almarita&Fallah (2004) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tindakan adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memudahkan seseorang untuk menerima informasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan BTP

Praktek keamanan pangan juga meliputi penggunaan bahan tambahan pangan (BTP). Menurut BPOM (2003), kegunaan BTP di dalam pangan adalah untuk mengawetkan, membentuk pangan lebih baik, memberikan warna, meningkatkan kualitas dan menghemat biaya. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa penjaja PJAS yang mengaku menggunakan BTP. Umumnya BTP yang paling banyak digunakan yaitu jenis BTP penyedap dengan merk dagang Sasa, Royco, dan Masako. Bumbu penyedap sebanyak 66.7% dan sebanyak 33.3% mengaku tidak menggunakan BTP. Hanya sebagian kecil penjaja PJAS yang mengaku mengunakan BTP.

Penjaja PJAS menggunakan BTP umumnya karena faktor ekonomi, dengan menggunakan penyedap maka makanan jajanan yang dijual akan semakin gurih rasanya sehingga merangsang anak-anak untuk membeli makanan jajanan tersebut dan mengurangi biaya penambahan bumbu. Tidak ditemukannya penjaja PJAS yang menggunakan pemanis dan pewarna karena minuman yang dijual adalah serbuk minuman yang ditambahkan es dan air sehingga tidak adanya penambahan pemanis. Sedangkan mengenai pewarna, tidak ada penjaja PJAS yang mengaku mengunakan pewarna karena penjaja

(26)

PJAS es doger menggunakan sirup bermerk untuk memberikan warna pada minuman es doger.

Profil PJAS

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan dan register. Secara keseluruhan jenis pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 53.6% dan sebagian kecil (17.9%) adalah makanan sepinggan. Tidak adanya jajanan dalam jenis buah di SDN D. Banyaknya penjaja PJAS PJAS yang menjual makanan camilan disebabkan karena anak sekolah dasar umumnya lebih menyukai makanan camilan sebagai makanan jajanan dibanding jenis pangan lainnya di sekolah. Sebaran profil PJAS menurut jenis pangan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9Sebaran PJAS berdasarkan register

Selain jenis pangan yang beredar di lingkungan sekolah, jenis register pangan juga harus mendapatkan perhatian. Jenis register pangan dikelompokkan menjadi MD (produk dalam negeri), ML (produk luar negeri), SS (siap saji), TTD (tidak terdaftar) dan PIRT (produk industri rumah tangga). Untuk jenis register umumnya memiliki register MD sebanyak 61% dan yang paling sedikit (39%) adalah kelompok SS. Makanan jajanan yang paling banyak dijual yaitu dengan register MD, yang berarti makanan ini diproduksi di dalam negeri dan sudah terdaftar. Tidak ditemukannya pangan jajanan dengan produk ML, TTD dan PIRT. Melihat banyaknya jumlah PJAS yang termasuk SS, sehingga perlu mendapat perhatian mulai dari proses pengolahan sampai penyajian. Selain itu, sikap higiene dan sanitasi dari penjaja PJAS PJAS tersebut. Sebaran PJAS berdasarkan register disajikan pada Gambar 10.

17.9 53.6 28.6 0.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 Mak. Sepinggan

Camilan Minuman Buah

P er se n tas e (% )

(27)

Gambar 10Sebaran PJAS berdasarkan register Sarana Lingkungan PJAS

Penjaja PJAS berjualan di depan pintu masuk SDN D, berjualan dekat dengan jalan raya. Bahkan sebagian penjaja berjualan dekat dengan saluran pembuangan air terbuka dan keadaan tanah berdebu. Tidak adanya sarana mengenai sumber air bersih pada lingkungan penjaja.

Hubungan Berbagai Variabel

Hubungan berbagai variabel dianalisis untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan gizi dan keamanan pangan terhadap sikap gizi dan keamanan pangan, hubungan antara pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan, serta hubungan antara sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Secara keseluruhan, hubungan berbagai variabel dilakukan antara pretest dan posttest.

Hubungan pengetahuan dengan sikap tentang gizi dan keamanan pangan Perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Perilaku mencakup tiga domain, yakni : pengetahuan (knowledge), sikap (attitude),dan tindakan atau praktek (practice). Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial budaya yang ada di masyarakat. Pada Tabel 17 dan 18 disajikan mengenai hubungan pengetahuan dan sikap gizi hasil pretest dan posttest.

Tabel 17Hubungan pengetahuan dan sikap gizi (pretest) Kategori Pengetahuan gizi Sikap Gizi

n % n % Baik 1 11.1 0 0.0 Sedang 6 66.7 4 44.4 Kurang 2 22.2 5 55.6 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.781;r=0.109 61% 0% 39% 0% 0% MD ML SS TTD PIRT

(28)

Tabel 18 Hubungan pengetahuan dan sikap gizi (posttest) Kategori Pengetahuan Gizi Sikap Gizi

n % n % Baik 2 22.2 1 11.1 Sedang 6 66.7 5 55.6 Kurang 1 11.1 3 33.3 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.138;r=0.535

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi person, terlihat bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara pengetahuan gizi dengan sikap gizi baik hasil pretest maupun posttest. Sedangkan hasil korelasi pengetahuan keamanan pangan terhadap sikap keamanan pangan menunjukkan hubungan yang nyata (p<0.05). Tabel 19 dan 20 menunjukkan hubungan pengetahuan dan sikap keamanan pangan (pretest dan posttest).

Tabel 19 Hubungan pengetahuan dan sikap keamanan pangan (pretest) Kategori Pengeatahuan keamanan Sikap keamanan pangan

n % n % Baik 0 0.0 0 0.0 Sedang 7 77.8 7 77.8 Kurang 2 22.2 2 22.2 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.007;r=0.815

Tabel 20 Hubungan pengetahuan dan sikap keamanan pangan (posttest) Kategori Pengetahuan Gizi Sikap keamanan pangan

n % n % Baik 3 33.3 2 22.2 Sedang 5 55.6 6 66.7 Kurang 1 11.1 1 11.1 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.004;r=0.850

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang dengan sikap gizi dan keamanan pangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmojo (2003) yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik akan memilih sikap yang baik/positif. Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan rendah biasanya akan bersikap kurang baik.

(29)

Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan PJAS

Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan uji korelasi pada Tabel 23 dan 24 menunjukkan nilai pretest menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan negatif dengan praktek keamanan pangan (r=-0.08; p>0.05). Hal ini berarti terdapat kecenderungan di mana pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang semakin baik belum tentu diikuti dengan semakin baiknya praktek keamanan pangan seseorang. Akan tetapi hasil posttest menunjukkan perbedaan yaitu tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan positif dengan praktek keamanan pangan tetapi tidak menunjukkan hubungan yang nyata (r=0.09; p>0.05).

Menurut Suprapti (2004), banyak faktor yang mempengaruhi praktek/tindakan seseorang salah satunya adalah kebiasaan. Kebiasaan tersebut mungkin kurang baik, tetapi sulit untuk mengubahnya. Hal ini dilakukan oleh salah satu penjaja PJAS yaitu mengetahui akan pentingnya menutup PJAS tetapi dalam prakteknya tidak dilakukan dengan alasan akan mengurangi keinginan anak untuk membeli jajanan. Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 21 dan 22.

Tabel 21 Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan (pretest)

Kategori Peng. gizi dan keamanan Praktek Keamanan pangan

n % n % Baik 0 0.0 0 0.0 Sedang 7 77.8 7 77.8 Kurang 2 22.2 2 22.2 Total 9 100.0 9 100.0 r=-0.08; p=0.834

Tabel 22 Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan (posttest)

Kategori Peng. gizi dan keamanan Praktek Keamanan pangan

n % n % Baik 1 11.1 0 0.0 Sedang 7 77.8 8 88.9 Kurang 1 11.1 1 11.1 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.819;r= 0.090

(30)

Hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan

Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sikap sangat menentukan bagaimana perilaku (behavior) menusia terhadap sesamanya dalam lingkungan kehidupan manusia. Berikut hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan baik pretest maupun posttest disajikan pada Tabel 23 dan 24.

Tabel 23 Hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan (pretest)

Kategori Sikap gizi dan keamanan Praktek Keamanan pangan

n % n % Baik 0 0.0 0 0.0 Sedang 5 55.6 7 77.8 Kurang 4 44.4 2 22.2 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.219;r=-0.454

Tabel 24 Hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan (posttest)

Kategori Sikap gizi dan keamanan Praktek Keamanan pangan

n % n % Baik 1 11.1 0 0.0 Sedang 6 66.7 8 88.9 Kurang 2 22.2 1 11.1 Total 9 100.0 9 100.0 p= 0.938;r=0.030

Hasil korelasi antara pretest dan posttest antara sikap gizi dan keamanan pangan terhadap praktek keamanan pangan menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) positif. Meskipun dalam penelitian ini, penjaja PJAS memiliki sikap keamanan sebanyak 66.7% tergolong sedang, hal ini berarti sikap yang baik belum bisa mencerminkan perilaku yang diharapkan. Dalam pandangan MS/AM (Model Sikap/Attitude Model) terdapat suatu hubungan yang erat antara sikap dengan perilakunya, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa ternyata tindakan yang dijalankan tidak sejalan dengan sikapnya (Taryoto 1991). Selanjutnya Schuman dan Johnson (1976) dalam Taryoto (1991) menyatakan bahwa keterkaitan antara sikap dan perilaku memang dibatasi oleh berbagai keadaan dan objek dari sikap dan perilaku tersebut.

Analisis Keefektifan Model Keamanan Pangan

Model yang dilakukan yaitu pemberian penyuluhan gizi dan pendampingan mengenai gizi dan keamanan pangan. Secara keseluruhan model

(31)

ini efektif dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek mengenai gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS. Tetapi perlu dilakukan pendampingan secara berkelanjutan dan berkala agar perubahan praktek yang dilakukan tidak bersifat sementara.

Keamanan pangan dipengaruhi oleh beberapa variabel dengan upaya yang dapat dilakukan. Intervensi yang dirasa efektif untuk mengani masalah ini adalah berupa penyuluhan dan pendampingan gizi dengan beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu kesediaan penjaja dalam meluangkan waktu dan biaya, materi yang diberikan, penghargaan kepada penjaja yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan, dan adanya dukungan dari pihak sekolah. Hal ini efektif untuk meingkatkan PSP upaya mengatasi masalah keamanan pangan. Skema model keamanan pangan yang dilakukan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 11 Skema model keamanan pangan Keamanan pangan jajanan anak sekolah

Saos Higiene penjaja Penggunan minyak goreng Sarana Produksi pada indutri rumah tangga Pengetahuan penjaja Perbaikan melibatkan sekolah,

penjaja dan Dinas setempat

Meningkatkan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) penjaja Pengetahuan

penjaja

Penyuluhan dan pendampingan gizi

Penghargaan Dukungan sekolah

Materi

Gambar

Tabel 4 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan usia
Tabel 5 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan
Tabel 6 Sebaran penjaja PJAS bedasaran tempat berjualan
Tabel 8 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam/hari)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ikan karang koralivora (Suku Chaetodontidae) sebagai jenis indikator, ditemukan di perairan terumbu karang Desa Poopoh Kecamatan Tombariri, terdiri dari 3 (tiga)

kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang

merasa lebih baik setelah berada di panti asuhan Kafalatul Yatama, dari yang sebelumnya tidak bisa mengaji menjadi bisa, dari yang sholatnya masih “bolong-bolong” menjadi

Analisis regresi menurut Sudjana (1996:310) adalah untuk mempelajari cara bagaimana data yang terdiri dari dua atau lebih variabel berhubungan yang dinyatakan dalam

Dapat disimpulkan, garis besar politik luar negeri Iran saat ini di kedua kawasan tersebut adalah: (1) mereduksi pengaruh Barat dan Israel; (2) menyebarkan

Receptionist menyerahkan pendaftaran pasien ke bagian Rekam Medis untuk dicarikan berkas Status Pasien Rawat Jalan sesuai dengan Nomor Rekam Medik dan

Setelah berhasil merilis mini album pertama Senja Dalam Prosa akan merilis album yang berjudul FANA. Album ini yang memberi nama FANA adalah mantan vokalis Senja Dala

Berdasarkan pada sifat atau ciri dari luka ataupun kelalaian yang terdapat pada tubuh korban, dapat ditentukan jenis kekerasan yang menyebabkan luka atau alat