• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit di kalangan masyarakat miskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit di kalangan masyarakat miskin"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PENGOBATAN

PENYAKIT DI KALANGAN MASYARAKAT MISKIN

(Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care ‘Aisyiyah di

Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)

MAYA MAY SYARAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin (Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 1 Agustus 2013

Maya May Syarah

(4)

RINGKASAN

MAYA MAY SYARAH. Komunikasi Kesehatan dalam Penanganan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan RICHARD W.E. LUMINTANG.

Data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Data WHO (2012) menyebutkan, bahwa Indonesia menduduki peringkat keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan dalam hal prevalensi Tubercolusis (TB). Estimasi prevalensi TB semua kasus sebesar 680,000 dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun serta jumlah kematian akibat TB diperkirakan 65,000 kematian per tahun (WHO 2012).

Untuk mengatasi masalah tersebut, sejak tahun 1995 Indonesia menerapkan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai metode pengobatan TB yang direkomendasikan oleh WHO dengan melibatkan berbagai lembaga yang

dikenal dengan gerakan “STOP TB Partnership” (Kemenkes 2011). Metode DOTS tidak hanya diimplementasikan melalui pendekatan klinik (pengobatan sendiri atau di rumah sakit), tetapi juga pendekatan berbasis masyarakat khususnya di wilayah masyarakat miskin yang prevalensi TB-nya tinggi.

Peran intervensi komunikasi menjadi sangat penting dalam praktek pengobatan TB, sehingga tuntutan terhadap pengembangan teori komunikasi kesehatan juga semakin tinggi. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan lebih menekankan pada pentingnya penyampaian informasi dengan anggapan bahwa keengganan masyarakat untuk berobat lebih disebabkan oleh kekurangan pengetahuan mengenai masalah penyakit TB dikenal sebagai pendekatan transfer informasi atau pendekatan biomedical. Belakangan pendekatan-pendekatan bersifat multi level dimulai untuk mengatasi kompleksitas seperti gencarnya

gerakan “STOP TB Partnership

Penelitian ini, menggunakan teori Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial (AKMS) McKee (1992), multitrack model (Tufte dan Mefalopulos 2009) untuk menganalisis masalah-masalah struktural dan sosial dan Health Belief Model (Rosenstock et al. 1988) untuk menjelaskan perilaku kesehatan di tingkat pasien. Menurut McKee (1992) konsep ACMS terdiri dari tiga intervensi komunikasi yakni advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program. Ketiga intervensi tersebut bekerja dalam level yang berbeda namun saling terkait. Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural sedangkan program komunikasi di tingkat individu. Advokasi dimaksudkan untuk menggalang komitmen politik dan mobilisasi sosial dimaksud untuk menggalang kemitraan dalam rangka mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Selanjutnya apabila terdapat hambatan-hambatan sosial dan struktural dapat diatasi maka program komunikasi yang dimaksudkan untuk merubah perilaku dapat dijalankan.

(5)

Peduli TB (KPT) Jakarta Barat di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Sejumlah 18 informan sebagai sumber data didapat dengan teknik snowball. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui dan mengalami kegiatan-kegiatan dalam Program Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat. Informan terdiri atas wakil ragam masyarakat yakni, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader komunitas, petugas kesehatan, Pendamping Minum Obat (PMO) dan Pasien TB yang menjadi sasaran program Community TB Care „Aisyiyah. Enam di antara informan tersebut mewakili pasien menurut tingkat keparahan, status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendidikan dan umur.

Peneliti mengumpulkan data terutama dengan wawancara mendalam dan pengamatan pada para informan yang terlibat dalam kasus-kasus yang diteliti. Triangulasi dalam penelitian ini dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang telah dianalisis menghasilkan suatu kesimpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumber-sumber data tersebut. Member check dilakukan dengan diskusi informan dan triangulasi metode yakni wawancara mendalam dengan beragam sumber dan dengan pengamatan langsung.

Hasil penelitian menunjukkan kelompok masyarakat (civil society) penanggung jawab program penanggulangan TB berhasil menggalangkan komitmen pengambil keputusan di tingkat kota dan kecamatan sehingga menjadi dasar mobilisasi sosial yang menghasilkan partisipasi di tingkat kota dengan memberikan sumbangan pengobatan dari warga atau kelompok mampu secara ekonomi kepada warga miskin. Status kepala pemerintah kecamatan sebagai kader organisasi masyarakat penanggungjawab program penanggulangan TB memperkuat dukungan dan memanfaatkan jaringannya untuk menghimpun sumber daya yang lebih luas, melalui pengaruh politiknya (kepada puskesmas dan kelurahan) maupun jaringan pribadi sehingga membuka akses pasien pada pelayanan pengobatan dan bantuan ekonomi. Di tingkat komunitas atau kelurahan penanggungjawab program mampu menggalang mobilisasi sosial dengan memanfaatkan sumber daya yang ada berupa modal sosial yakni kerjasama dan kepedulian warga terhadap pasien TB melalui kader, tokoh masyarakat dan PMO. Perubahan perilaku kesehatan di tingkat individu khususnya di masyarakat miskin tidak akan terlaksana tanpa adanya AKMS. Adanya AKMS menggerakkan dan memberdayakan masyarakat sehingga informasi pengobatan TB sampai di tingkat individu.

(6)

tapi juga sebagai pendekatan untuk bertukar pendapat dalam rangka penyembuhan suatu penyakit.

Kredibilitas kader dan PMO tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan TB yang diperolehnya melalui pelatihan tetapi juga kepercayaan akan ketulusan kader dan PMO (anggota keluarga) yang peduli. Kredibilitas yang demikian besarnya ini memungkinkan respon positif pasien walaupun pesan dari kader dan PMO menakutkan dan cara penyampaian yang keras dimaknai pasien sebagai bentuk kepedulian terhadap dirinya dan memotivasinya untuk menjalani pengobatan. Status pasien sebagai orangtua yang memiliki tanggungan pada anak-anak mendorong tekadnya untuk sembuh, sementara pasien lajang berhenti minum obat karena kurangnya motivasi untuk sembuh. Pendekatan interpersonal yakni adanya kepercayaan dan kedekatan komunikator dan komunikan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan persepsi ancaman suatu penyakit. Sementara itu kredibilitas komunikator dan adanya keluarga dapat mempengaruhi individu untuk melakukan keputusan perubahan perilaku sebagai upaya penyembuhan penyakit. Persepsi ancaman (perceived threat) sakit TB pasien dilihat dari Health Belief Model dibentuk kuat oleh persepsi keparahan (perceived severity) pasien dan dorongan dari luar (cues to action) yakni kredibilitas kader dan PMO. Meski persepsi kerentanan, jenis kelamin, status perkawinan, manfaat (perceived benefit) dan hambatan (perceived barier) mempengaruhi persepsi ancaman sakit, namun rasa sakit yang memiliki makna parah bagi pasien adalah faktor yang paling kuat membentuk persepsi ancaman sakit TB. Persepsi ancaman sakit TB yang dirasakan pasien berpengaruh pada perubahan perilaku sehat dalam penyembuhan TB.

(7)

SUMMARY

MAYA MAY SYARAH. Health Communication in The Treatment of Disease Among the Poor. Guided by SARWITITI SARWOPRASODJO and RICHARD WE Lumintang.

World Health Organization (WHO) data shows that the condition of Indonesian public health is still poor. Indonesia sits in the fourth among countries in the world with related TB cases after India, China, and South Africa (WHO 2012). Prevalence of all TB cases are estimated of 680,000 and 450,000 new cases per year. The number of death caused by TB is estimated 65,000 per year (WHO 2012).

To overcome this problem, since 1995 Indonesia has implemented Directly Observed Treatment Short course (DOTS) as a method of TB treatment recommended by the WHO and various agencies involved in a movement known as "STOP TB Partnership" (Kemenkes 2011). DOTS method is not only implemented through clinical approach (self medication or in the hospital), but also community-based approaches, especially among the poor with high prevalence of TB.

The role of communication intervention becomes very important in TB treatment, so the demands on the development of health communication theory are also higher. Previously, health communication approach emphasized the importance of delivering information to the notion that people's reluctance to seek treatment was caused by lacking of knowledge about TB disease problem is known as transfer information approach or biomedical approach. Later, multi-level approach is needed to cope with the complexity of such vigorous movement of "Stop TB Partnership".

This study used the theory of ACMS (McKee 1992), a multitrack model (Tufte and Mefalopulos 2009) to analyze structural and social issues and Health Believe Model (Rosenstock et al. 1988) to explain the behavior of the patient-level health .

According to McKee (1999), the ACMS concept consists of three communication interventions namely advocacy, social mobilization, and program communication. Each of intervention works in different level but is related one another. Advocacy and social mobilization interventions are aimed to address the problems and obstacles in the development of social and structural level communication while at the level of individual programs

Advocacy is intended to mobilize political commitment while social mobilization is intended to foster Partnerships in order to mobilize resources and services. Furthermore, social barriers can be overcome by executing structural and communication programs aimed at changing behavior.

Research was conducted in May to December 2012. The research used qualitative approach with case by case study method of communication programs Communication and Social Mobilization Advocacy (AKMS) TB Control Program in the poor region by Community TB Care 'Aisyiyah KPT West Jakarta in Kelurahan Kalianyar, Tambora, West Jakarta.

(8)

different backgrounds namely diverse communities, community leaders, religious leaders, community volunteers, health workers, Drug Drinking Companion (PMO) and TB patients who were subjected to the Community TB Care 'Aisyiyah. Six of the informants represented patients based on their severity level, marital status, occupation, education level and age.

Researcher collected data, especially with in-depth interviews and observations on the informants who were involved in the cases studied. Triangulation was implemented by checking the data that obtained through several sources. The data was analyzed to produce a conclusion, subsequently sought agreement (member check) with the data sources. Member check group discussions were conducted with informants and triangulation methods namely in-depth interviews with a variety of sources and by direct observation.

The results showed groups of people (civil society) in charge of the TB control program successfully obtained commitment from decision makers in the city and district levels, therefore the basis of social mobilization could generate participation at the municipal level by donating the treatment of citizens or economically disadvantaged groups.

Status of the head of the district government as a cadre of community organization is responsible for the support to strengthen TB control program and utilize network resources to gather a wider, through political influence (the health centers and sub-districts) and private networks that open patient access to medical services and economic assistance.

At the community or village level, person in charge of the program was able to support social mobilization by utilizing existing resources in the form of social capital that cooperates and concerns on TB patients through volunteers, community leaders and PMO. Health behavior change at the individual level, especially in poor communities would not be possible without the advocacy, mobilization and communication (ACMS). ACMS successfully drives and empowers communities so that information of TB treatment up to individual level.

Mode of communication used was a combination between participatory and dialogic monologues. Mode monologues occur in the training and delivering of information about the disease and treatment to TB patients, volunteers and community leaders as well as the PMO. While dialogic communication forums was formed to solve the problem. Monitoring forums and patient meetings became not only a way of information exchange about treatment of TB, but also problem solving and consulting arena and 'vent' in assisting patients.

Patient's visits and mentoring by the PMO are not only aimed to monitor of treatment but as an important part of entertaining and provide encouragement to patients who are anxious and tired of taking medication. Dialogical participatory mode of communication in health communication is required not only a transfer of information from the owner of the program but also as an approach for the exchange of views in order to cure a disease.

(9)

parents with dependent children had more determination to recover, while single status patients stopped taking the drug due to lack of motivation to recover.

Interpersonal approach thus thrusted and closeness of the communicator and the communicant are the most influential factors in shaping perception of the threat of disease. While the credibility of the communicator and the family can predispose individuals to make decisions as a behavior change effort to cure the disease.

Perceived threat of TB patients view of the Health Belief Model shaped strongly by perception (perceived severity) patients and encouragement from the outside (cues to action) namely credibility of cadres and PMO. Despite the perception of vulnerability, gender, marital status, perceived benefict and perceived barier affect pain perception of the threat, but the pain has meaning severe for patients were the factors most strongly affecting the perception of the threat of TB illness. TB threat perception of pain was patients perceived influence on health behavior change in the treatment of TB.

(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PENGOBATAN

PENYAKIT DI KALANGAN MASYARAKAT MISKIN

(Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care ‘Aisyiyah di

Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)
(13)

Judul Tesis : Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin (Kasus Penanggulangan TB Pada Program

Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)

Nama : Maya May Syarah NIM : I352100151

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ketua

Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 01 Agustus 2013

(14)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil „alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilakukan sejak Mei 2012 sampai Desember 2012 ini memilih judul Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku pembimbing yang senantiasa selalu memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan dukungan kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku ketua program studi komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan yang telah memberikan dukungan dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS selaku penguji luar komisi yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Authorized Principle Recipient Community TB Care „Aisyiyah Dra. Noor Rochmah Pratiknya, Principle Recipient Community TB Care „Aisyiyah, Drs. Samsari Baswedan dan Muarawati Nur Malinda yang memberikan informasi juga mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di Community TB Care „Aisyiyah serta Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat dan warga Kelurahan Kalianyar, Tambora Jakarta Barat yang bersedia menjadi subyek penelitian. Tak lupa kepada Martha Tiana Hermawan dan Indria Arti Numi Khodijah terima kasih telah membantu mencari data di lapangan

Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tuaku tercinta (Ramlan Sumitradilaga dan Tuty Kaswati), suamiku tersayang (Subroto), kakak dan adikku (Muhammad Imanudin, Benny Mandarinsyah Alrasyid dan Ahmad Rully Amrullah), anak-anakku (Salma Afifah Salsabila, Annida Thifal Qatrunnada, Athari Ahmad Arrijalu, Aisyah Fatma Sabrina dan Muhammad Iqbal Ar Razi) yang tidak pernah putus berdoa dan memberi cinta kasihnya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. Kepada sahabatku Damayanti, teman-teman KMP 2010 mba Ine dan om Wije (rekan satu bimbingan), om Tetuko, mba Poppy, Fikri, mba Uki, mba Ely, wa Lang Lang, pa Fauzi, jeng Ratih, ko Alim, Dewi serta teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bogor, 1 Agustus 2013

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Komunikasi Pembangunan 6

Komunikasi Kesehatan 7

Kredibilitas Komunikator Dalam Komunikasi Kesehatan 8

Daya Tarik Pesan 9

Health Belief Model 11

Advokasi, Mobilisasi Sosial dan Program Komunikasi 14

Komunikasi Partisipatori 15

Komunikasi Partisipatori dan Pemberdayaan Masyarakat 20

Komunikasi Kelompok 22

Hasil Penelitian yang Relevan 24

Kerangka Pemikiran 28

3 METODOLOGI PENELITIAN 31

Paradigma Penelitian 31

Desain Penelitian 31

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Penentuan Subjek Penelitian 33

Data dan Metode Pengumpulan Data 35

Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian 37

Teknik Analisis Data 38

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 40

Profil „Aisyiyah 40

Gerakan „Aisyiyah 40

Community TB Care „Aisyiyah 40

Aktivitas Di Ronde 8 42

Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat 43

Ikhtisar 45

Letak Geografis, Administrasi dan Demografis Kelurahan Kalianyar 47

Keberadaan „Aisyiyah dan Akses Kesehatan di Kalianyar 48

Ikhtisar 50

Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial serta Moda Komunikasi

Partisipatori 51

Monitoring dan evaluasi 54

Training PMO 56

(16)

Kunjungan Pasien 61

Bakti Sosial 62

Gentengisasi 63

Ikhtisar 64

Makna TB bagi Pasien dan Faktor yang mempengaruhinya dalam

Komunikasi HBM 68

Kredibillitas Komunikator dan Daya Tarik Pesan dalam mempengaruhi Persepsi Ancaman TB 73 Kader Komunitas 74 PMO 75 Petugas Kesehatan 75 Daya Tarik Pesan 76 Ikhtisar 84 Implikasi Teoritis: Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin 90

5 SIMPULAN DAN SARAN 92

DAFTAR PUSTAKA 94

LAMPIRAN 98

(17)

DAFTAR TABEL

1 Daftar informan dalam penelitian 35

2 Matriks jenis data, sumber dan metode penelitian 37

3 Jumlah sektor usaha di Kalianyar 47

4 Gedung pendidikan yang ada di Kalianyar 48

5 Kegiatan komunikasi di KPT Jakarta Barat 67

6 Komunikasi kesehatan dalam HBM 80

7 Persepsi sakit TB dan perubahan perilaku berdasarkan status

perkawinan 86

8 Penilaian informan terhadap kredibilitas dan daya tarik pesan 88

DAFTAR GAMBAR

1 The Health Belief Model 12

2 Model komunikasi pembangunan McKee 14

3 Kerangka pemikiran komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit

di kalangan masyarakat miskin 30

4 Kerangka penelitian perubahan perilaku pasien TB dillihat dari HBM 30

5 Proses analisis data 39

6 Setting monev di RS Ibnu Sina 55

7 Setting training PMO 57

8 Setting pertemuan pasien di PAUD 'Aisyiyah 58

9 Setting kunjungan pasien Bek 61

10 Setting kunjungan pasien Tin 62

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 98

2 Foto Kegiatan KPT Jakarta Barat serta kondisi lingkungan masyarakat

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Status kesehatan dan gizi masyarakat sebagai sasaran pembangunan kesehatan yang pertama menggambarkan prioritas yang akan dicapai dalam pembangunan kesehatan.Sasaran tersebut dikembangkan menjadi sasaran-sasaran yang lebih spesifik, termasuk sasaran angka penyakit menular.Salah satunya adalah Tuberkulosis (TB).

Data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Indonesia menduduki peringkat keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan dalam hal prevalensi TB WHO (2012). Estimasi prevalensi TB semua kasus sebesar 680,000 dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun serta jumlah kematian akibat TB diperkirakan 65,000 kematian per tahun (WHO 2012).

Penyebab tingginya masalah TB antara lain adalah kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara yang sedang berkembang, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, dampak pandemi HIV, dan kegagalan program TB diakibatkan tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG serta infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat Kemenkes (2007). Pada penelitian lain disebutkan faktor lain penyebab TB adalah tingkat pendidikan, pendapatan, kepadatan hunian, kondisi lingkungan rumah, pencahayaan, perilaku serta riwayat kontak dengan penderita (Ratnasari 2005; Fitriani 2012).

Tingginya TB juga dipicu kemiskinan dan menjamurnya kawasan kumuh akibat sistem kesehatan masyarakat yang hancur diungkapkan dalam penelitian Waisbord (2007) . Dijelaskan tingkat pertumbuh kemiskinan, percepatan internal dan migrasi internasional, menjamurnya kawasan kumuh di tengah kekacauan urbanisasi pada Dunia Ketiga, sistem kesehatan masyarakat yang hancur, dan krisis HIV / AIDS telah memberikan kontribusi untuk intensifikasi tingkat TB (Waisbord 2007).

Untuk mengatasi masalah TB, sejak tahun 1995 Indonesia menerapkan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai metode pengobatan TB yang direkomendasikan oleh WHO dengan melibatkan berbagai lembaga yang

(20)

2

Namimbia menunjukkan pendekatan DOTS berbasis masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan klinik (Zvavamwe dan Ehlres 2009).

Keterbatasan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas masih dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, populasi di rutan/lapas, dan penduduk dikawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia Timur. Masyarakat miskin di perkotaan mempunyai kendala sosial ekonomi untuk dapat mengakses pelayanan DOTS. Untuk itu penanganan TB bagi masyarakat miskin atau rumah tangga miskin (RTM) mendapat perhatian khusus.

Hal itu terbukti dari hasil penelitian yang mengindikasikan bahwa banyak hambatan terhadap penyembuhan TB tidak hanya masalah pribadi penderita, tetapi masalah-masalah di luar kontrol mereka (Ho 2004). Selain masalah individu pasien (ketidaktaatan minum obat karena efek samping, bosan minum obat, merasa sembuh sebelum waktunya juga disebabkan kurangnya dukungan keluarga, kerabat dan stigma sosial menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005) seperti dikutip Fitriani (2012). Ditambah lagi bagi penderita miskin keterbatasan pendapatan untuk biaya pengobatan juga adanya hambatan sosial seperti stigma dari masyarakat, keterbatasan pelayanan kesehatan (jangkauan pelayanan yang luas dan keterbatasan fasilitas Puskesmas) belum ada jaminan penyediaan obat, yang kesemuanya terkait dengan anggaran kesehatan yang berkurang sejak sistem desentralisasi pemerintahan (Putri 2008). Keterbatasan petugas kesehatan juga menyebabkan pengendalian pengobatan secara optimal seperti pemeriksaan ulang dahak dan pelacakan penderita yang mangkir dalam masa pengobatan tidak dapat dilakukan menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005) seperti dikutip Fitriani (2012). Masalah-masalah keterbatasan akses pelayanan DOTS yang berkualitas terutama terjadi pada masyarakat marjinal khususnya masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, penghuni di rutan/lapas, dan penduduk di kawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia Timur (Kemenkes 2011).

Adanya kesadaran para praktisi dan akademisi akan kompleksitas masalah penyakit TB, peran intervensi komunikasi menjadi sangat penting dalam praktek pengobatan TB, sehingga tuntutan terhadap pengembangan teori komunikasi kesehatan juga semakin tinggi. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan lebih menekankan pada pentingnya penyampaian informasi dengan anggapan bahwa keengganan masyarakat untuk berobat lebih disebabkan oleh kekurangan pengetahuan mengenai masalah penyakit TB dikenal sebagai pendekatan transfer informasi atau pendekatan biomedical. Belakangan pendekatan-pendekatan bersifat multi level untuk mengatasi kompleksitas seperti gencarnya gerakan

“STOP TB Partnership”.

Adanya berbagai masalah TB yang bersumber dari masalah sosial, ketersediaan layanan dan ekonomi, dan bukan hanya masalah individu, sesuai dengan anjuran banyak pakar membuka kemungkinan penggunaan teori-teori tidak hanya berfokus pada level individual tetapi multi level (Brewer dan Rimer 2008; Waisbord 2007; Airhihenbuwa dan Obregon 2000; Dutta-Bergman 2009).

(21)

3 mendapatkan relevansi seperti yang ditunjukkan dengan adanya AKMS dalam strategi global TB pada WHO, pembentukan AKMS merupakan kerja kelompok dalam Kemitraan STOP TB; tumbuh sejumlah program untuk mempromosikan mobilisasi masyarakat yang terkena TB, dan sejumlah besar program TB nasional yang menerima dana dari Global Fund untuk melakukan kegiatan AKMS (Waisbord 2007).

Program Community TB Care „Aisyiyah adalah sebuah program yang bergerak untuk mewujudkan infrastuktur kesehatan non-pemerintah dan dinamika kelompok sosial yang mampu secara mandiri menanggulangi masalah tuberculosis

di Indonesia. „Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim otonom khusus dari

Muhammadiyah terpilih menjadi penanggungjawab utama penerima dana dari Global Fund mewakili kelompok masyarakat madani.

Program yang bertujuan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) dan Human Development Index (HDI) dimulai tahun 2009 dan direncanakan lima tahun ini juga memiliki tujuan akhir agar angka kematian penderita TB rendah (pasien sembuh) dan penularan TB turun. Sebagai penerima dana utama,

„Aisyiyah bertanggung jawab untuk mengkoordinir 23 penerima dana sekunder (SR) yang melibatkan 13 pimpinan wilayah (50% dari total provinsi), 34 Kabupaten (8%), dan kurang dari 250 Kecamatan (4%). Hingga tahun 2012 kegiatan yang bekerjasama dengan civil society lain diantaranya Yarsi, PKPU, LKC, PPTI, LKNU, Perdhaki dan KMP Sidobinangun ini sudah dikembangkan di 18 provinsi dan 45 kabupaten.

Dalam menjalankan program penanggulangan TB tersebut, prioritas kegiatan yang dilakukan antara lain adalah melatih dan meningkatkan peran kader komunitas TB, meningkatkan kapasitas lembaga dan tenaga kesehatan, pelibatan tokoh agama, penunjukkan pengawas minum obat (PMO) bagi pasien TB positif, peningkatan kualitas komponen civil society dan pendirian kelompok masyarakat peduli TB (KMP TB). Termasuk forum pertemuan yang dijadikan sebagai ajang pertukaran informasi. Semua unsur dan masyarakat dilibatkan secara aktif dan dituntut untuk berpartisipasi. Diharapkan dengan berbagai kegiatan tersebut pesan yang berkaitan mengenai informasi penanggulangan TB dapat diterima oleh berbagai pihak yang terlibat.

Perumusan Masalah

Community TB Care „Aisyiyah merupakan forum komunikasi, pelatihan, silaturahmi, advokasi dan penerangan sekaligus wadah kegiatan untuk penanggulangan TB secara terpadu. Proses pelaksanaan program Community TB Care „Aisyiyah merupakan suatu proses komunikasi partisipatif. Melalui tahapan yang dilaksanakan, diharapkan masyarakat sebagai sasaran akhir terlibat secara langsung untuk memberikan saran, pendapat dan masukan kepada pendamping mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan penanggulangan TB, sehingga menjadikan pasien TB sembuh dan penurunan penderita TB sebagai tujuan akhir program dapat terlaksana. Dengan begitu dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.

(22)

4

Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural, sedangkan komunikasi program di tingkat individu. Advokasi dimaksudkan untuk menggalang komitmen politik dan mobilisasi sosial dimaksud untuk menggalang kemitraan dalam rangka mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Selanjutnya apabila terdapat hambatan-hambatan sosial dan struktural dapat diatasi maka program komunikasi yang dimaksudkan untuk merubah perilaku dapat dijalankan.

Dengan orientasi pemberdayaan, dalam komunikasi pembangunan terjadi pergeseran dari pendekatan komunikasi linier (modernisasi) mengarah pada pendekatan komunikasi partisipatori (Mefalopulos dan Kamlongera 2004). Di dalam pendekatan komunikasi partisipatori pemahaman bersama terhadap pesan dibangun melalui proses komunikasi dua arah dan dialogis dengan prinsip penghargaan dan kesetaraan (Rahim 2004; Tufte dan Mefalopulos 2009; Nair dan White 2004). Tufte dan Mefalopulos (2009) dalam multi-track model menyatakan bahwa membagi pendekatan komunikasi pembangunan ke dalam dua kategori dasar atau jalur: komunikasi monologis dan komunikasi dialogis.

Dalam komunikasi kesehatan Teori Health Belief Model (HBM) (Rosenstock et al. 1988) merupakan model psikologis yang menjelaskan dan meramalkan perilaku kesehatan dengan berfokus pada sikap dan keyakinan individu. Dalam teori ini seseorang berubah perilakunya dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan, atas dasar persepsi terhadap kerentanan dan ancaman penyakit, dan persepsi terhadap manfaat dan hambatan pengobatan yang dirasakan serta dorongan dalam lingkungan individu dengan variabel kontrol dari karakteristik penderita atau individu.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan di antaranya:

1. Bagaimana pertautan jalur komunikasi kesehatan serta advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial dijalankan oleh Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung dan mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi dan politik di tingkat kecamatan yang menghambat pengobatan TB dan membentuk perilaku berobat penderita TB pada masyarakat miskin kota? 2. Bagaimana pendekatan komunikasi partisipatori yang terjadi dalam

Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung penanggulangan TB di masyarakat miskin ?

3. Bagaimana penderita TB memaknai kredibiltas komunikator yang tergabung dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat, daya tarik pesan komunikasi kesehatan dan makna penyakit serta pengobatan TB dalam membentuk keputusannya dalam pengobatan penyakitnya?

Tujuan Penelitian

(23)

5 penanggulangan suatu penyakit pada sebuah program pembangunan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah

1. Mendeskripsikan pertautan jalur komunikasi kesehatan serta advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial dijalankan oleh Community TB Care

„Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung dan mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi dan politik di tingkat kecamatan yang menghambat pengobatan TB dan membentuk perilaku berobat penderita TB pada masyarakat miskin kota.

2. Mendeskripsikan pendekatan komunikasi partisipatori yang terjadi dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung penanggulangan TB di masyarakat miskin.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis penderita TB memaknai kredibiltas komunikator yang tergabung dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat, daya tarik pesan komunikasi kesehatan dan makna penyakit serta pengobatan TB dalam membentuk keputusannya dalam pengobatan penyakitnya.

Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian mengenai komunikasi partisipatori dalam penanggulangan TB ini di antaranya yaitu:

1. Memberi masukan kepada penyelenggara program penanggulangan TB terkait pendekatan komunikasi yang akan digunakan dalam perubahan perilaku pada penanggulangan TB.

2. Memberi sumbangan pada Community TB Care „Aisyiyah hasil dari komunikasi multitrack pada komunikasi partisipatori yang digunakan peserta yang terlibat dalam program penanggulangan TB.

(24)

6

2

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Pembangunan

Menurut Effendy (2004), komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai media strategis.

Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, pembangunan membutuhkan kontribusi komunikasi, baik sebagai bagian dari kegiatan masyarakat maupun sebagai ilmu yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Berbagai gejala sosial yang diakibatkan oleh proses tersebut, telah memberi inspirasi bagi penemuan konsep baru dalam bidang komunikasi. Akhir dari proses adaptasi akan mempermudah penemuan konsep komunikasi yang akan ikut memetakan berbagai problem pembangunan yang muncul, mengikuti arus perubahan dan pembaharuan yang hampir tidak pernah mengenal kata akhir. Banyak proses pembangunan tidak mencapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat sangat diperlukan bagi usaha pencapaian tujuan pembangunan (Dilla 2007).

Pendekatan komunikasi pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar besar yakni kelompok Paradigma Dominan (Modernisasi) dan kelompok Paradigma Alternatif (Pemberdayaan), demikian diungkapkan Melkote dan Leslie (2001). Teori-teori dan Intervensi dalam paradigma dominan dari Modernisasi. Teori-teori ini dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Komunikasi dan Teori Modernisasi yang dipelopori oleh Daniel Lerner dengan bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruh kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Adapun Schraam (1964) memandang pentingnya peran media massa untuk pembangunan nasional karena mempertimbangkan beragam fungsi media massa dalam pembangunan nasional untuk pengembangan sumber daya manusia yakni sebagai pendidik, pengawas dan pengambilan keputusan. Ketiga fungsi tersebut dijalankan media massa melalui transmisi informasi dari media massa kepada khalayak. Peran komunikasi interpersonal dan kelompok diakui penting oleh Schramm untuk memperkuat transmisi informasi yang bersifat persuasif, tetapi tidak berperan sentral dalam pembangunan nasional.

(25)

7 proses yang bertahap yang memerlukan pesan-pesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan.

Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompok-kelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984) seperti dikutip Melkote dan Leslie (2001). Adapun di tingkat individu, Rappaport (1987) dikutip Melkote dan Leslie (2001) mendefinisikan pemberdayaan sebagai perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis, hukum legal. Namun demikian, kebanyakan pemberdayaan baru dilakukan di tingkat individu belum ditingkatkan di tingkat komunitas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi pembangunan adalah proses penyebaran pesan sebagai upaya sosialisasi program pembangunan dan hasilnya baik oleh pelaku pembangunan maupun masyarakat pada umumnya. Komunikasi pembangunan bertujuan mengubah sikap, pendapat dan perilaku masyarakat dalam rangka meningkatkan kemajuan rakyat. Komunikasi pembangunan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pemberdayaan sebagai kontrol di segala level.

Komunikasi Kesehatan

Menurut Schiavo (2007) Komunikasi Kesehatan adalah pendekatan yang beragam dan multidisiplin untuk mencapai audiens yang berbeda dan berbagi informasi kesehatan terkait dengan tujuan mempengaruhi, menarik dan mendukung individu, masyarakat, profesional kesehatan, kelompok khusus, pembuat kebijakan dan masyarakat untuk juara, memperkenalkan, mengadopsi, atau mendukung perilaku, praktek atau kebijakan yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil kesehatan.

Satrianegara dan Saleha (2009) menyatakan komunikasi kesehatan merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktik-praktik kesehatan populasi-populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik-praktik dan status kesehatan.

Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia serta faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung mepromosikan kesehatan, mencegah penyakit, atau melindungi individu-individu terhadap bahaya.

(26)

8

metodologi komunikasi kesehatan yang ilmiah, serta sistematis bagi masalah-masalah kesehatan masyarakat.

Menurut Liliweri (2011) komunikasi kesehatan adalah studi yang mempelajari bagaimana cara menggunakan strategi komunikasi untuk menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi individu dan komunitas agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan pengelolaan kesehatan.

Sementara menurut Smith dan Hornik seperti dikutip Liliweri (2011) menyatakan komunikasi kesehatan adalah komunikasi yang berkaitan dengan proses pertukaran pengetahuan, meningkatkan konsensus, mengidentifikasi aksi-aksi yang berkaitan dengan kesehatan yang mungkin dilakukan secara efektif. Melalui proses dialog tersebut maka informasi kesehatan yang dipertukarkan di antara dua pihak itu bertujuan membangun pengertian bersama demi penciptaan pengetahuan baru yang dapat diwariskan bersama. Jadi, dasar dari persetujuan adalah aksi dan kerjasama.

Ratzan (1994) yang dikutip Liliweri (2011) menjelaskan komunikasi merupakan proses kemitraan antara para partisipan berdasarkan dialog dua arah yang di dalamnya ada suasana interaktif, ada pertukaran gagasan, ada kesepakatan mengenai suatu gagasan, ada kesepakatan mengenai kesatuan gagasan mengenai kesehatan, juga merupakan teknik dari pengirim dan penerima untuk memperoleh informasi mengenai kesehatan yang seimbang demi membaharui pemahaman bersama.

Dari berbagai pengertian komunikasi kesehatan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi kesehatan adalah proses pertukaran imformasi, pengetahuan dan indentifikasi aksi-aksi berkaitan dengan kesehatan guna mempengaruhi individu maupun komunitas sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat sebagai upaya pengobatan. Dalam komunikasi kesehatan segala informasi mengenai kesehatan disampaikan melalui proses dialog diantara pihak yang terlibat sehingga terjalin pengertian bersama.

Kredibilitas Komunikator dalam Komunikasi Kesehatan

Peran utama komunikator adalah untuk mempengaruhi yang dalam bahasa psikologi komunikasi disebut persuasi (Liliweri 2011). Dikatakan bahwa masalah komunikasi adalah masalah bagaimana cara komunikator memengaruhi pilihan komunikan. Masalah itu hanya bisa dijawab dengan persuasi dari komunikator. Menurut Aristoteles peranan komunikator dalam persuasi sama dengan peranan komunikator berdasarkan retorika. Ini berkaitan dengan kredibilitas komunikator yang bisa diperoleh jika memiliki Ethos, Pathos dan Logos.

(27)

9 Pathos adalah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya sehingga membuat komunikannya merasa: (1) Sejuk atau marah; (2) Mencintai atau membenci; (3) Merasa takut atau membangkitkan harga diri; (4) Merasa malu atau membangkitkan keberania; (5) Rasa berkuasa atau kehilangan kekuasaan; (6) Membangkitkan semangat kerja atau tidak bekerja.

Sedangkan Logos adalah kekuatan yang dimiliki komunikator melalui argumentasinya meliputi (1) Invention yakni kemampuan menampilkan hukum logika (masuk akal); (2) Arrangement yakni kemampuan menyampaikan informasi secara sederhana dan sesuai kemampuan pendengar; (3) Style yakni gaya berbicara yang menyenangkan; (4) Memory yaitu menyampaikan dengan gambaran informasi yang diingat atau berkaitan; (5) Delivery yakni kemampuan berbicara efektif.

Menurut Hovlan dan Weiss seperti dikutip Rakmat (2008) Ethos ini adalah kredibilitas yang terdiri dari dua unsur yaitu keahlian (expertise) dan dapat dipercaya (trustworthiness.) Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal yakni kredibilitas adalah persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikator dan kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (komponen-komponen kredibilitas) Rakhmat (2008). Dalam kredibilitas ada yang disebut sebagai komponen-komponen kredibilitas yang paling utama, yaitu keahlian, adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Misalnya, komunikator yang dinilai tinggi pada keahlian dianggap sebagai cerdas, ahli, berpengalaman ataupun terlatih dan sebaliknya. Selain itu, komponen kepercayaan, adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Misalnya, seorang komunikator dinilai jujur, bermoral, sopan, etis atau tidak etis.

Sedangkan kredibilitas komunikator dalam komunikasi partisipatori menurut Muchlis (2009) adalah maka dapat disimpulkan bahwa kredibilitas seorangfasilitator dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : Kompetensi (meliputikeahlian, pengalaman, percaya diri dan penguasaan informasi); Karakter (meliputi objektifitas, minat dan trust); Status sosial dan ekonomi (meliputikekuasaan, pendidikan dan ekonomi); dan Karismatik (meliputi keaktivan, tegas dan semangat).

Kredibilitas komunikator dalam penelitian ini adalah kepercayaan komunikan terhadap komunikator dilihat dari beberapa aspek yaitu dapat menguasai emosi dan memahami komunikan (pasien), gaya berbicara yang menyenangkan, menggunakan bahasa yang dapat dimengerti serta memiliki kedekatan antara komunikan dan komunikator.

Daya Tarik Pesan

(28)

10

pemilihan terhadap kata-kata dan tanda-tanda nonverbal, secara bersama-sama penampilan pesan.

Pesan harus mempunyai tema sebagai usaha untuk memberikan pengaruh di dalam mengubah sikap dan tingkah laku. Pesan itu terdiri dari berbagai teknik seperti: pesan yang bersifat informatif, persuasif dan pesan yang bersifat kreatif. Komunikator akan berhasil mempengaruhi komunikan apabila pesan yang disampaikannya tepat, ibarat membidik dan menembaki, maka pesan yang disampaikan harus tepat dan mengena.

Pada konsep yang luas, pesan adalah segala sesuatu yang memberikan pengertian kepada penerima. Jadi dalam hal ini termasuk kata-kata, gerak tubuh, nada suara, reaksi penerima terhadap isi pesan, media, sumber sebagai pribadi, terhadap tindakan dan atau non tindakan yang terjadi di dalam lingkungan sosial.

Pesan sangat erat kaitannya dengan mekanisme respon-stimulus, stimulus-respon. Pesan bisa dinamis karena adanya tindakan aktif dari persuader (komunikator) dan persuadee (komunikan). Seorang persuader dapat merasakan respon persuadee, melalui isyarat yang ditunjukkan (bisanya nonverbal), serta rangsangan kontekstual.

Pesan yang dirancang secara kreatif akan menjadikan komunikasi persuasif lebih aktif. Adapun unsur pesan meliputi: struktur pesan, imbauan pesan dan gaya pesan. Struktur pesan, yang merujuk pada bagaimana unsur-unsur pesan diorganisasikan. Secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorganisasian pesan dalam komunikasi persuasif, yakni sisi pesan, susunan penyajian, dan pernyataan kesimpulan,

Imbauan pesan adalah aspek yang digunakan untuk menyentuh (stimulasi) audiens oleh komunikator dalam menyampaikan pesan, agar audiens berubah. Imbauan pesan terdiri dari imbauan rasional, emosional, takut, ganjaran dan imbauan motivasional. Imbauan rasional meyakinkan orang lain dengan pendekatan logis atau dengan bukti. Menggunakan imbauan emosional artinya dengan pertanyaan atau dengan bahasa yang menyentuh emosi komunikate, agar dapat membangkitkan emosi komunikan, Bettinghaus seperti dikutip Rakhmat (2008) mengemukakan, sebagai berikut:

1. Menggunakan bahasa yang penuh muatan emosional untuk melukiskan situasi tertentu

2. Hubungkan gagasan yang diajukan dengan gagasan yang tengah populer atau tidak populer.

3. Hubungan unsur-unsur visual dan nonverbal yang membangkitkan emosi. 4. Tampakkan pada diri komunikator petunjuk nonverbal yang emosional.

Imbauan takut menggunakan pesan yang mencemaskan, mengancam, atau meresahkan, imbauan ganjaran menggunakan rujukan yang menjanjikan komunikate sesuatu yang mereka perlukan atau yang mereka inginkan, dan imbauan motivasional menggunakan imbauan motif (motive appeals) yang menyentuh kondisi interen dalam diri manusi (Rakhmat 2008).

Dalam komunikasi kesehatan yang dimaksud dengan daya tarik pesan (message appeals) mengacu pada motif-motif psikologi yang dikandung pesan yakni : (1) Rasional–emosional; (2) Fear appeals (daya tarik ketakutan); (3) Reward appeals (daya tarik ganjaran) Liliweri (2011).

(29)

11 Misal penyakit yang disebabkan virus, tidak akan sembuh sendiri tanpa diobati, dalam istilah medis disebut self limited disease yang bisa dilakukan terhadap penyakit ini adalah melakukan pengobatan sesuai dengan gejala penyakit atau simthomatis. Contohnya, ketika penderita mengalami batuk diberi obat batuk.

Emosional adalah rancangan pesan yang menjelaskan suatu informasi secara emosional sehingga menggugah emosi audiens. Liliweri (2011)

mengatakan ”Contoh merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Jika bapak tetap merokok berarti bapak membunuh diri. Itukan kasihan anak-anak dan istri apalagi kalau bapak jadi impoten, maka rumah tangga bapak bakal tidak bahagia.”

Fear appeals (daya tarik ketakutan) misalnya bagaimana hubungan pembantu dengan anak-anak ketika orang tua tidak berada dirumah. Hal ini akan mendorong para orang tua sibuk untuk meluangkan waktu lebih banyak untuk anak-anaknya. Sedangkan reward appeals (daya tarik ganjaran). Misalnya pasta gigi membertikan iming-iming bagi pembeli dengan hadiah jutaan rupiah setelah mengumpulkan sejumlah bungkus tertentu. jadi orang dipersuasi untuk membeli produk bukan karena dia butuh produk tersebut tetapi karena dia ingin mendapatkan hadiah karena membeli produk itu.

Pada penelitian ini daya tarik pesan adalah pesan yang disampaikan komunikator sebagai upaya merubah sikap dan perilaku komunikan. Pesan tersebut dinilai komunikan (pasien) antara lain dapat masuk akal, mengandung unsur emosi (menggugah emosi), membuat ketakutan ataupun ganjaran.

Health Belief Model

Dalam komunikasi kesehatan (Liliweri 2011) perubahan perilaku komunikan didasarkan oleh beberapa teori salah satunya adalah The Health Belief Model (HBM). Model perilaku ini dikembangkan pada tahun 50 an dan didasarkan atas partisipasi masyarakat pada program deteksi dini tuberculosis. Analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada program tersebut kemudian dikembangkan sebagai model perilaku.

Health Belief Model didasarkan atas 3 faktor esensial ;

a. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.

b. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku.

c. Perilaku itu sendiri.

Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana dan petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan.

(30)

12

merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa.

Fokus asli dari HBM adalah perilaku pencegahan yang berkaitan dengan dunia medis dan mencakup berbagai macam perilaku seperti check up untuk pencegahan/pemeriksaan awal (screening) misalnya tes tuberculosis dan vaksinasi/imunisasi seserti vaksinasi influenza, hepatitis B.

Hocbaum pada tahun 1958 dan Rosenstock seperti yang dikutip Taylor et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu teori sikap yang paling berpengaruh dalam menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat adalah Health Belief Model. Individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada dua faktor yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah individu meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi ancaman yang dirasakan.

HBM merupakan model kognitif yang berarti dalam proses kognitif dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan. Menurut HBM kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (Perceived Threat of injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and cost)

Sumber: Rosenstock et al. (1988) Gambar 1 The Health belief Model

Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauhmana seorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga meningkat. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini didasarkan pada :

Age,Sex, Ethnicity, Personality, Sosioeconomic, Knowledge

Perceived Benefits minus Perceived Barier

Perceived Susceptibility/ Perceived Severity

Perceived Threat Likelihood Behavior Of

(31)

13 1. Kerentanan yang dirasakan (perceived vulnerability) yakni penilaian

seseorang terhadap resiko kondisi kesehatan yang akan dialami.

2. Keparahan yang dirasakan (perceived severity) yaitu orang mengevaluasi keparahan/keseriusan penyakit tersebut bila mereka mengembangkan masalah kesehatannya atau membiarkan penyakitnya tidak tertangani.

Penilaian kedua adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak. Tambahan untuk penilaian yang terdahulu, petunjuk untuk berperilaku (cues to action) diduga tepat untuk memulai proses perilaku atau disebut sebagai keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient position) berasal dari informasi dari luar atau nasehat mengenai permasalahan kesehatan misalnya nasehat orang lain, media massa, kampanye, pengamalan dari orang lain yang pernah mengalami hal yang sama dan sebagainya.

Ancaman, keseriusan, ketidakkekebalan dan pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh :

1. Variabel demografi yaitu usia, jenis kelamin, latar belakang budaya 2. Variabel sosiopsikologis yaitu kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial 3. Variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman tentang masalah.

Kebutuhan akan kesehatan seseorang terbagi dua yaitu kebutuhan obyektif yaitu diidentifikasi oleh petugas kesehatan berdasarkan penilaiannya yang profesional dan kebutuhan subyektif yang didasarkan individu menentukan sendiri apakah dirinya mengendung penyakit, berdasarkan perasaan dan penilainnya sendiri. Ada beberapa bentuk teori HBM yaitu :

1. Menurut Rosentock et al. (1988) kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility) merupakan persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut. Kerentanan dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang risiko yang dihadapi individu pada suatu keadaan tertentu

2. Keparahan yang dirasakan (perceived severity) pandangan individu tentang beratnya penyakit yang diderita. Pandangan ini mendorong seseorang untuk mencari pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misal ; kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial.

3. Persepsi manfaat (perceived benefit) individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya.

4. Persepsi hambatan (perceived barriers) merupakan persepsi terhadap aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit.

5. Isyarat untuk bertindak (cues to action) ada faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. Isyarat ini dapat bersifat :

a. Internal ; berasal dari dalam diri individu, misal gejala yang dirasakan b. Eksternal ; berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan,

(32)

14

Berdasarkan pengertian tentang Health Belief Model di atas dapat disimpulkan bahwa Health Belief Model dalam penelitian ini adalah persepsi atau rasa ancaman (Perceived Threat) sakit TB yang dipengaruhi berbagai faktor diantaranya persepsi atau rasa kerentanan pasien terhadap penyakit TB, persepsi atau rasa keparahan ketika menderita penyakit tersebut, pengaruh informasi dari luar komunikan (pasien) yakni komunikator serta jenis kelamin maupun status pasien. Ancaman sakit (Perceived Threat) berserta persepsi manfaat ataupun kerugian mengikuti program yang ditawarkan atau tindakan berkaitan upaya pengobatan yang akan merubah perilaku hidup sehat pasien.

Advokasi, Mobilisasi Sosial dan Program Komunikasi

Gambar 2 Model komunikasi pembangunan McKee (1992)

(33)

15 Kegiatan tersebut meliputi kegiatan melobi pengambil keputusan melalui kontak pribadi, surat, menyelenggarkan seminar, membuat berita; Mengupayakan liputan dari Koran, majalah, televisi dan radio dan memperoleh dukungan dari tokoh terkenal. Tujuan dari advokasi agar program yang ada memperoleh prioritas nasional dan politis sehingga walaupun ada perubahan kelembagaan, kebijaksanaan (yang diinginkan) tidak berubah. Atau tujuan advokasi adalah perubahan kebijakan.

Advokasi mengarah pada mobilisasi sosial yakni suatu proses menggalang mitra untuk advokasi dan komunikasi program, mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Pada saat mobilisasi sosial mencapai momentum advokasi dijalankan oleh seluruh pihak diberbagai tingkatan (nasional hingga komunitas).

Konsep mobilisasi sosial menekankan pentingnya gerakan sosial di seluruh golongan masyarakat yang terkait. Menurut McKee (1992) social mobilization suatu konsep yang mengacu pada penciptaan gerakan sosial untuk program tertentu. Mobilisasi sosial didefinisikan sebagai proses menggalang pihak-pihak yang terkait secara inter sektoral untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya program pembangunan tertentu, untuk membantu menyalurkan sumber daya dan layanan dan memperkuat partisipasi komunitas untuk keberlangsungan dan kemandirian.

Tujuan mobilisasi sosial yaitu: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mengorganisir dalam rangka kemandirian; (2) untuk memotivasi orang agar memenuhi hak dan kewajibannya, bahkan mobilisasi

social diharpkan dapat menciptakan “kebutuhan” untuk memenuhi kebutuhan

mereka; (3) untuk memahami dan merubah cita-cita dan keyakinan masyarakat: dan (4) untuk memobilisasi segala sumber daya.

Program komunikasi adalah proses identifikasi, segmentasi dan penargetan kelompok-kelompok tertentu / audiens khusus dengan strategi tertentu, pesan atau program pelatihan melalui berbagai media massa dan saluran interpersonal, /tradisional dan non-tradisional.

Mobilisasi sosial juga memperkuat advokasi dan program komunikasi. Kegiatan advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program terjadi bersamaan, walaupun tidak berurutan. Advokasi diperlukan pada setiap siklus perencanaan program komunikasi dan advokasi serta mobilisasi sosial diarahkan sebagai kegiatan yang terencana.

Komunikasi Partisipatori

Menurut Freire seperti dikutip dalam Nair dan White (2004), semua individu memiliki kapasitas untuk melakukan refleksi, kapasitas untuk berfikir abstrak, untuk membuat konseptualisasi, mengambil keputusan, memilih alternatif dan merencanakan perubahan sosial. Aksi dan refleksi bukan merupakan aktifitas yang terpisah akan tetapi sebagai keseluruhan organ dan dialektikal ini saling mempengaruhi aksi dan refleksi yang merupakan sebuah proses conscientizacao (Conscientization). Berdasarkan Freire, partisipasi asli (autentik) adalah sebuah pengalaman emansipatori yanga menghasilkan kebebasan aktual.

(34)

16

bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong transformasi sosial dan pembebasan sebagaimana terungkap dalam kata-kata Freire: “To exist, humanily, is to name the world, to change it.”

Sementara itu dialog merupakan pemikiran sentral Buber, (Nair dan White 2004). Berdasarkan bukunya yang berjudul I dan Thou (1958), Buber menjelaskan dua tipe hubungan yaitu the I-Thou dan I-It. The I-Thou menjelaskan dialog, respek mutual, keterbukaan dan saling memberi dan menerima. Merupakan dasar bagi pembentukan komunitas. The I merepresentasikan siapa yang memenuhi dan the Thou merepresentasikan siapa yang terpenuhi. Sedangkan the I-It merepsentasikan monolog, ketidaksamaan, obyektifitas, dan merupakan akar alienasi manusia dengan yang lainnya dari alam dan Tuhan. Dasar dari The I-It adalah pemikiran Descartes “I Think, therefore I am”. Selanjutnya Buber menyimpulkan bahwa partisipasi sebenarnya datang dari sebuah dialog (true participation arises from dialogue).

Menurut Bakhtin (1981) yang dikutip Rahim (2004), wacana (diskursus)

atau komunikasi merupakan dasar sosial di alam, „sosial melalui keseluruhan

wilayah dan masing-masing faktor ini dari gambaran menuju pemahaman yang

abstrak‟. Bentuk dan isi komunikasi tidak terpisahkan satu sama lain dan

keduanya secara simultan membentuk konteks sosial komunikasi. Aksi komunikasi terjadi dalam ruang sosial waktu tertentu dan kejadian sejarah. Tidak ada komunikasi tanpa komunitas dan tidak ada komunitas tanpa komunikasi. Seorang komunikator individual selalu siap mengikatkan diri dalam dialog dengan diri mereka atau dengan orang lain. Tatkala kita berbicara dan menulis, masing-masing kita berkomunikasi melalui cara berbeda baik bahasa, dan gaya karena sebagai subyek yang berkomunikasi, tiap orang adalah unik dengan matrik keturunan, nasionalitas, ras, agama, kelas, kasta, profesi, gender dan peran sosial lain dan posisi dimana subyek pada situasi aktifitas tertentu. Konteks komunikasi, kesadaran budaya kelompok sosial, pandangan hidup komunikator dan intensionalitas – semuanya dan kata serta pesan membatasi atau meluaskan, menambah atau mengurangi, tertutup atau terbuka, membuat atau tidak membuat makna dan nilai.

Tufte dan Mefalopulos (2009) mengungkapkan bahwa fokus dari komunikasi partisipasi adalah dialog, suara, media didik, aksi-refleksi. Dialog merupakan suatu prinsip komunikasi partisipasi, dalam dialog dimana peserta akan mengungkapkan usulan dengan prinsip aksi-refleksi-aksi dan komunikasi horizontal. Dalam dialog proses yang terjadi diawali dengan definisi program dimana terjadi kesenjangan informasi. Tipe masalah yang terjadi dapat berupa sosial dan ekonomi masyarakat atau isu kemiskinan dan ketidakadilan. Strategi komunikasi yang dikembangkan adalah merangkum isu yang general sehingga memperoleh gambaran yang terjadi dan dapat merangkum solusi yang ada.

(35)

17 Menurut Cangara (2005), ada tiga bentuk dalam komunikasi diadik, yaitu Percakapan, Dialog dan Wawancara. Baik percakapan, dialog maupun wawancara memiliki karakteristik masing-masing. Percakapan berlangsung dalam suasana yang bersahabat dan informal, dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan lebih personal, sedangkan wawancara sifatnya lebih serius, yakni ada pihak yang dominan pada posisi bertanya dan yang lainnya pada posisi menjawab.

Komunikasi partisipatori adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Rahim (2004), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Pertama, Heteroglasia: Konsep ini menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik ditingkat nasional-lokal, makro-mikro, public-privat, teknis-ideologis, dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda.

Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dengan pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia musti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan.

Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Ini secara diam berbicara dengan mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimuli proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkostruksikan suatu pesan yang dapat menstimuli suatu dialog internal.

Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subyek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai obyek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan atau disatukan dengan suara orang lain.

Gambar

Gambar 2  Model komunikasi pembangunan McKee (1992)
Gambar 4  Kerangka pemikiran perubahan perilaku pasien TB dilihat dari  Health
Tabel 1  Daftar informan  dalam penelitian
Tabel 2  Matriks jenis data, sumber dan metode pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

ruang heterotopia yang terdapat pada layanan-layanan Corner Perpustakaan UMY. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merancang suatu program aplikasi pengolah data untuk ANCOVA yang dapat melakukan uji asumsi, melakukan perhitungan analisis peragam dengan

Berkaitan dengan huraian di atas maka definisi operasional daripada altruisme dalam kajian ini adalah “semua perilaku menolong yang didorong atas keinginan tulen yakni membantu

mengkonstruksi sistem secara terstruktur dari tanda. Untuk lebih menguatkan proses dalam pemaknaan, peneliti juga menggunaakan data yang diperoleh melalui wawancara

Ahli gizi operasional katering menggunakan busa lembut untuk membersihkan bagian dalam gelas ukur kemudian membilas peralatan susu dengan air bersih yang

Hasil pengujian hipotesis pertama yang menguji pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK) terhadap Penyaluran Kredit mengungkapkan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh

10 ml Fehling A dan 10 ml Fehling B dicampurkan dalam tabung reaksi, kemudian ke dalam 4 tabung reaksi yang berbeda, masing-masing dimasukkan reagen fehling yang

Kondisi-kondisi diatas memperlihatkan bahwa kinerja guru tidak menggembirakan, salah satunya di SMK Negeri 3 Bandung sangat dibutuhkan untuk untuk mencapai tujuan