• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

Post-mining Landscape Evaluation For Agroforestry Practice in PT. Arutmin Indonesia South kalimantan

(Muhammad Imanullah/A44070023, mentored by Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS)

Abstract

(2)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penambangan batubara sangat erat kaitannya dengan isu perusakan lingkungan. PT. Arutmin Indonesia menerapkan metode penambangan terbuka (open pit mining) dalam usahanya untuk mengekstrak batubara. Menurut Mulyanto (2008) metode ini menimbulkan dampak terhadap perubahan lanskap dan kondisi makhluk hidup yang terdapat di sekitar kawasan pertambangan. Perubahan lanskap ini meliputi perubahan topografi, pola hidrologi, kerusakan tubuh tanah, perubahan vegetasi penutup permukaan tanah, yang pada akhirnya merubah ekosistem tempat dilakukan penambangan terbuka. Berubahnya ekosistem ini menyebabkan kualitas lingkungan menurun, baik dari segi estetika maupun fungsinya. Salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi lingkungan pada area pertambangan adalah dengan kegiatan reklamasi. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.

(3)

   

(stakeholders) yaitu, tidak hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat sekitar dan pemerintah.

Lahan pasca-tambang perlu dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui kesesuaian lahannya bagi praktik agroforestri. Evaluasi lahan adalah penilaian terhadap rona lanskap untuk tujuan tertentu (FAO, 1983). Evaluasi ini dilakukan dengan melakukan penilaian kesesuaian lahan pasca-tambang dengan tujuan pengaplikasian praktik agrofoerstri. Hasil evaluasi lahan ini kemudian dianalisis menggunakan analisis SWOT yang dielaborasi dengan analisis sosial-ekonomi, untuk mendapatkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan.

1.2Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi pengelolaan lanskap pasca-tambang berdasarkan evaluasi karakteristik lanskap dan kesesuaiannya, bagi peruntukan praktik agroforestri.

1.3Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pihak perusahaan mengenai kegiatan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan di area pasca-tambang.

1.4Kerangka Pikir

(4)

   

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Kegiatan Penambangan Batubara

Reklamasi Kawasan Pasca-tambang

Aspek Ekologi: - Karakteristik lahan - Tingkat degradasi

Aspek Ekonomi - Komitmen owner

Aspek Sosial dan Budaya: - Demografi

- Pengetahuan masyarakat - Preferensi sosial

Evaluasi Lahan

Kesesuaian Lahan untuk Agroforestri Kelas Kesesuaian Lahan (FAO, 1983)

Promotted Land Utilization Types (agroforestry)

Analisis Sosial Ekonomi 

Informasi Rona Lanskap

Analisis SWOT

(5)

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penambangan Batu Bara

Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi oleh Burley, 2001). Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis.

Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:

1. eksplorasi

2. pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energi 3. pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman 4. ekstraksi dan pembuangan limbah batuan

5. pengolahan bijih dan operasional

6. penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya

Menurut Arnold (2001) klasifikasi letak deposit mineral batubara dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, letak deposit batubara jauh dibawah permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan sub-surface mining atau deep mining, atau biasa disebut pertambangan dalam. Kedua, letak deposit mineral batubara yang tidak jauh dari permukaan tanah antara 5 s/d 25 meter dibawah permukaan tanah. Untuk mendapatkan mineral ini biasa didikenal dengan pertambangan permukaan (surface mining).

Sistem penambangan batubara di Indonesia kshususnya di Pulau Kalimantan tidak dilakukan dengan cara deep mining, melainkan surface mining. Kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi:

1. pembukaan lahan

2. pengupasan dan penimbunan tanah tertutup

(6)

   

2.2Lanskap Pasca-Tambang Batubara

Kondisi lanskap pasca-tambang batubara selalu terkait dengan bagaimana cara mineral tersebut ditambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara yang tersedia dari permukaan tanah. Pengeksploitasian deposit mineral batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia ialah penambangan secara terbuka (open pit mining). Kegiatan ini dapat mengakibatkan gangguan seperti berikut:

1. menimbulkan lubang besar pada tanah

2. penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian.

3. penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan.

4. bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir.

5. mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organikk/humus atau unsur hara telah tercuci. 2.3Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan

(7)

   

Manajemen suatu tapak mempunyai beberapa prinsip yang harus dimiliki pengelola. Sternloff dan Warren (1984) mengemukakan bahwa ada dua belas prinsip sebagai petunjuk dasar untuk mewujudkan program pengelolaan. Yaitu:

a. menetapkan tujuan dan standar pemeliharaan

b. pemeliharaan harus berdasarkan penggunaan waktu, tenaga, alat, dan bahan secara ekonomis

c. pelaksanaan pemeliharaan berdasarkan perencanaan pemeliharaan tertulis

d. jadwal pekerja pemeliharaan harus berdasarkan pada pertimbangan prioritas dan kebijakan

e. seluruh bagian pemeliharaan hendaknya menekankan pada pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance)

f. divisi pemeliharaan harus dikelola dengan baik

g. adanya sumberdaya dana yang cukup untuk mendukung program pemeliharaan

h. adanya sumberdaya tenaga kerja yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemeliharaan

i. adanya tanggung jawab terhadap keamanan pegawai serta masyarakat

j. program pengelolaan harus dirancang untuk memelihara lingkungan alami

k. pemeliharaan harus menjadi pertimbangan utama dalam perancangan dan pembangunan taman dan fasilitasnya

l. pegawai bagian pemeliharaan bertanggung jawab bagi pencitraan masyarakat terhadap dinas pertamanan

(8)

   

2.4Lanskap Agroforestri

Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) merupakan objek bentang alam yang dalam penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola agroforestri (Arifin et al., 2009). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.

Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Menurut Sardjono et al., (2003) Ditinjau dari komponen penyusunnya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Agrosilvikultur

Agrosilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops/ perenial) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam agrosilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan.

b. Silvopastura

(9)

   

and wood products). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama.

c. Agrosilvopastura

(10)

 

BAB III

METODOLOGI

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Arutmin Indonesia Tambang Satui. Secara georafis, lokasi tambang ini terletak di Kecamatan Satui Provinsi Kalimantan Selatan (Gambar 2). Secara astronomis areal kawasan Tambang Satui terletak pada 03o36’1” – 03 o48’35” LS dan 115 o7’39” – 115 o28’25” BT. Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama empat bulan, dimulai pada Februari 2011 sampai dengan Mei 2011.

Sumber: http://www.Google.com (2011)

3.2Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan pada saat pengambilan data yaitu kamera digital, Relevee sheet, dan kuisioner wawancara. Pengolahan data atau gambar secara komputerisasi, menggunakan software Auto Cad, Arc View GIS 3.3, Sketch Up, serta Adobe Photoshop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data aspek ekologis, sosial budaya, dan ekonomi, referensi berupa laporan terdahulu yang terdapat di tempat penelitian, serta dokumen perusahaan yang bersifat menunjang kegiatan penelitian seperti, dokumen AMDAL, dan laporan

(11)

10 

   

pemantauan lingkungan. Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar sudah disediakan oleh perusahaan.

3.3 Metode

Penelitian dilakukan untuk memperoleh hasil berupa strategi manajemen lahan pasca-tambang berdasarkan evaluasi karakteristik lahan kawasan, untuk pemanfaatan kegiatan agroforestri. Proses Penelitian yang dilakukan meliputi evaluasi lahan, analisis sosial-ekonomi, sampai penyusunan strategi manajemen pasca-tambang.

3.3.1 Evaluasi lahan

Metode evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada FAO (1983). Metode ini digunakan untuk memilih tata guna lahan yang optimal bagi satuan lahan yang telah ditentukan, dengan mempertimbangkan aspek fisik dan sosial-ekonomi, juga juga aspek lingkungan atau bio-fisik dari suatu lahan (FAO, 1983). Kegiatan evaluasi lahan terdiri atas dua hal penting yaitu, penjelasan atas tata guna lahan terkait atau tipe pemanfaatan lahan (land utilization type), dan penilaian atas syarat-syarat tata guna lahan tersebut. Tahapan dari evaluasi ini meliputi, peninjauan rona lanskap, penentuan tipe pemanfaatan lahan, pemetaan unit lahan (land unit mapping), pengklasifikasian kelas kesesuaian (class suitability).

3.3.1.1Penentuan Tipe Pemanfaatan Lahan

Tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) merupakan penjelasan secara rinci atas tata guna lahan, berdasarkan spesifikasi teknis dari keadaan aspek fisik, dan sosial ekonomi, seperti komponen penyusun yang digunakan, dan interaksinya dengan masyarakat (FAO, 1983). Pada skala tertentu jenis tanaman dapat dianggap sebagai tipe pemanfaatan lahan dengan menyediakan pernyataan kepentingan akan keadaan ekonomi-sosial pada kawasan tersebut. Tipe pemanfaatan lahan harus ditentukan diawal kegiatan evaluasi dikarenakan penilaian syarat tata guna lahan mengacu pada hal tersebut.

3.3.1.2Peninjauan Rona Lanskap

(12)

11 

   

Kata Relevee, berasal dari bahasa perancis yang dapat diartikan sebagai daftar, pernyataan atau rekapitulasi. Dalam penggunaanya, relevee sheet terdiri atas daftar tanaman beserta informasi kondisi lingkungan yang mendukungnya (Minnesota Department of Natural Resources, 2007). Oleh karena itu, dengan formulir survei ini, akan didapatkan data fisik dan biofisik dari kawasan tersebut. Selain itu, studi literatur juga dilakukan dengan menggunakan dokumen AMDAL tahun 2009 yang dibuat pihak perusahaan setelah penambangan pada kawasan ini selesai. Data juga didapatkan dari hasil penilitian baik mahasiswa maupun pihak professional yang pernah melakukan penelitian pada kawasan pertambangan PT Arutmin Indonesia.

Tabel 1. Data Penelitian Terkait

No. Jenis Data Indikator

Pengamatan Unit Sumber Analisis Kegunaan

Rona Lanskap (ekologi) 1 Kondisi Umum Letak dan

batas wilayah

koordinat Pihak pengelola Deskriptif Mengetahui kesesuaian lahan Luas area ha Pihak pengelola 2 Kondisi

biofisik dan fisik

Vegetasi spesies Observasi/ Pihak pengelola Evaluasi kesesuaian lahan Mengetahui kesesuaian lahan Satwa spesies Observasi/ Pihak

pengelola

Topografi - Observasi/ Pihak pengelola

Curah hujan mm/ bulan Pihak pengelola

Temperatur 0C Pihak pengelola

Kelembaban

relatif

% RH Pihak pengelola Tanah - Observasi/ Pihak

pengelola Hidrologi Kualitas

air Observasi/ Pihak pengelola Morpho-edaphic index Aspek Sosial-budaya 3 Demografi Jumlah

pemukim, Pekerjaan

(13)

12 

   

3.3.1.3Pemetaan Satuan Lahan

Menurut FAO (1983) satuan lahan (land unit) adalah area atau lahan yang memliki karakteristik dan kualitas lahan spesifik yang biasa disajikan dengan pemetaan, yang digunakan sebagai dasar dari evaluasi lahan (Gambar 3). Karakteristik lahan (land characteristic) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia dan sebagainya. Sedangkan, Kualitas lahan (land quality) adalah sifat-sifat lahan yang tidak dapat diukur langsung karena merupakan interaksi dari beberapa karakterisitik lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Gambar 3. Ilustrasi Pemetaan Unit Lahan

Dalam memetakan satuan lahan ini, masing-masing dari tiap kelompok lahan memiliki karakteristik serta kualitas lahan yang seragam. Pengelompokan haruslah sesuai untuk penggunaan lahan yang ditentukan. Unit lahan yang sudah ditentukan, pada akhir survei, akan ditinjau ulang dan dicocokan dengan tipe penggunaan lahan (kesesuaian lahan). Dengan peninjauan ulang ini akan didapatkan hasil yang lebih akurat.

3.3.1.4Pengklasifikasian Kesesuain

a. Pengklasifikasian Kelas Kesesuaian Lahan

Pengklasifikasian kelas kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan keseuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Metode yang digunakan masih mengacu pada kerangka klasifikasi menurut FAO (1983). Secara ringkas, metode FAO membagi kesesuain lahan dengan menyesuaikan kualitas lahan yang telah dievaluasi dengan komoditas (tipe

(14)

13 

   

pemanfaatan lahan), dengan membaginya berdasarkan kelas – kelas. Adapun pembagian kelas tersebut secara kualitatif, sebagai berikut:

1. Kelas S1: Sangat sesuai. Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikan masukan yang telah biasa diberikan

2. Kelas S2: Cukup sesuai. Lahan memiliki pembatas yang cukup besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau kuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan

3. Kelas S3: Kurang sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan.pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diatasi dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

5. Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mmpunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan pengunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Dengan melakukan analisis kesesuaian lahan, maka didapatkan kelas kesesuaian lahannya. Kelas kesesuaian lahan menunjukan keadaan lahan pada saat ini yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor – faktor pembatas yang ada.

b. Morphoedaphic Index (MEI)

(15)

14 

   

Semakin tinggi nilai MEI maka perairan akan semakin berkurang tingkat produktivitasnya.

Keterangan:

MEI : Nilai Morphoedaphic Indeks

Total Dissolved Solids : Padatan terlarut total

Mean depth : Rata-rata kedalaman

Kemudian dari nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended solid/ TSS) dapat diklasifikasikan sebuah perairan atau danau baik atau tidaknya untuk kegiatan perikanan. Tabel kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS

Nilai TSS (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan

< 25 Tidak berpengaruh

25 - 80 Sedikit berpengaruh

81 - 400 Kurang baik

> 400 Tidak baik

Sumber: Alabaster dan Lloyd, 1982 disitasi Santoso, 2008

3.3.2 Analisis Sosial-Ekonomi

Analisis sosial-ekonomi digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya. Peninjauan kondisi sosial-budaya dan ekonomi menggunakan wawancara dengan kuisioner (Lampiran 2) yang dilakukan terhadap Key Person dari kalangan masyarakat maupun perusahaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat penggunaan lahan merupakan tanggung jawab bersama.

3.3.3 Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang

(16)

15 

   

sehingga tercipta suatu rencana pengelolaan lanskap pasca-tambang yang sesuai dan berkelanjutan.

3.3.3.1Metode SWOT

Menurut Rangkuti (2009) Metode Swot digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Metode ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths), dan peluang (Opputunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness). dan ancaman (Threats). Proses perumusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, dan kebijakan perusahaan.

Dari metode SWOT ini akan dihasilkan matriks SWOT. Matriks SWOT merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan empat golongan

alternatif strategi yang dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternative

berdasarkan aspek S (strengths), W (weakness), O (oppoturnities), dan T (threats). Keempat strategi itu antara lain:

 SO, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

 ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman

 WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada

 WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut:

a. Analisis Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal

(17)

16 

   

yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008 yang disitasi Rangkuti, 2009). Identifikasi berbagai faktor tersebut secara sistematis digunakan untuk merumuskan strategi untuk manajemen Kawasan. b. Penentuan Bobot Setiap Variable

Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingannya. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 3 dan 4). Tabel 3. Formulir tingkat kepentingan faktor internal

Simbol Faktor kekuatan (strength) Tingkat kepentingan

S1

S2

S3

Sn

Simbol Faktor kelemahan (weakness) Tingkat kepentingan

W1

W2

W3

Wn

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 4. Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal

Simbol Faktor peluang (oportunity) Tingkat kepentingan

O1 O2 O3 On

Simbol Faktor ancaman (threat) Tingkat kepentingan

T1 T2 T3

Tn

Sumber: Rangkuti, 2009

(18)

17 

   

Tabel 5. Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal

Faktor strategis internal/ external A B C D E Total

A

B

C

D

E

Total

Sumber: Rangkuti, 2009

Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4. Variabel diberi bobot 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal. Variabel diberi bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertical. Variabel diberi bobot 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertical. Bobot 4 diberikan pada variabel jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor internal. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

ai = bobot variable ke-i

xi = nilai variable ke-i

i = 1,2,3,…,n

n = jumlah variabel

c. Penentuan Peringkat (rating)

(19)

18 

   

kondisi eksternal lemah dan jika di atas 2,5 menyatakan bahwa kondisi eksternal kuat (Tabel 7 dan Tabel 8).

d. Penyusunan Alternatif Strategi

Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks SWOT (Tabel 9). Hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman digambarkan dalam matriks tersebut. Matriks ini menghasilkan beberapa alternatif strategi sehingga kekuatan dan peluang dapat ditingkatkan serta kelemahan dan ancaman dapat diatasi.

Tabel 6. Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)

Nilai Peringkat

Matriks IFE Matriks EFE

Strength (S) Weakness (W) Opportunity (O) Threat (T)

1 Kekuatan

sangat kecil Kelemahan sangat berarti Peluang rendah, respon kurang Ancaman sangat besar

2 Kekuatan

sedang

Kelemahan yang berarti

Peluang rendah

respon rata-rata Ancaman besar

3 Kekuatan

besar

Kelemahan yang kurang berarti

Peluang tinggi, respon di atas rata-rata

Ancaman sedang

4 Kekuatan

sangat besar

Kelemahan yang tidak berarti

peluang sangat tinggi, respon di atas rata-rata

Ancaman sedikit

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 7. Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor strategis internal Bobot Rating Skor (Bobot x Rating)

Kekuatan 1.

Kelemahan 1.

Total Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 8. Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE)

Faktor strategis External Bobot Rating Skor (Bobot x Rating)

Peluang 1. Ancaman 1.

Total

(20)

19 

   

e. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi

Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan akan menetukan rangking prioritas strategi (Tabel 10). Jumlah skor ini diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Rangking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai terkecil dari semua strategi yang ada. Perangkingan ini dilakukan secara subjektif dimana strategi akan berupa usaha memaksimumkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) serta meminimumkan ancaman (threats) dan kelemahan (weaknesses).

Tabel 9. Matriks SWOT

Eksternal Oppotunities Threats

Internal

Strengths Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil kesempatan yang ada

Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mentgatasi ancaman yang dihadapi

Weakness Mendapatkan keuntungan dari kesempatan yang ada untuk mengatasi kelemahan-kelemahan

Meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 10. Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT

Alternatif strategi Keterkaitan dengan unsur SWOT Nilai Rangking

SO1 SO2 SOn WO1 WO2 WOn ST1 ST2 STn WT1 WT2

WTn

(21)

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Rona Lanskap

Kawasan Tambang ini secara administratif terletak pada Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut. Kawasan Tambang Satui PT. Arutmin Indonesia dapat ditempuh melalui jalan provinsi dengan jarak 165 km dari Ibu Kota Kalimantan Selatan Banjarmasin ke arah tenggara (Gambar 4).

Kawasan Penilitian difokuskan pada Pit Antasena yang terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu. Kawasan ini memiliki luas areal 434,706 ha (Tabel 11). Pit antasena selesai ditambang pada tahun 2009, dan sampai sekarang kegiatan reklamasi pada kawasan ini masih terus dilakukan (Gambar 5). Hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab serta kewajiban PT Arutmin Indonesia terhadap lingkungan.

Tabel 11. Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Pit Antasena 2009

No. Kawasan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Areal Penimbunan Tanah Pucuk 5,38 1,24

2 Areal Tambang Aktif 64,37 14,81

3 Areal Telah Ditanami 162,15 37,30

4 Areal Telah Ditata Kembali 68,74 15,81 5 Areal Telah Ditebar Tanah Pucuk 55,01 12,66

6 Areal Tidak Diganggu 12,72 2,93

7 Areal Timbunan Batuan Penutup di Dalam Tambang

57,68 13,27

8 Jalan Angkut 4,49 1,03

9 Kolam Pengendapan 4,13 0,95

Total 434,70 100,00

(22)

21

 

 

 

Pit Antasena

Gambar 4. Lokasi areal Tambang Satui Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

(23)

22 

   

Sumber: Dokumen PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 5. Peta Kawasan Pit Antasena 4.1.1 Topografi

Keadaan permukaan kawasan pasca-tambang Pit Antasena relatif bergelombang (undulating). Hal ini disebabkan oleh adanya timbunan bahan galian dari proses penambangan. Secara umum topografi area reklamasi didesain sesuai dengan standar operasional (SOP) untuk pelaksanaan reklamasi yaitu sampai kemiringan lereng secara umum maksimal 25% pada daerah timbunan (dumping area) yang berlereng melalui kegiatan cut and fill. Sedangkan untuk daerah yang relatif datar akan dibiarkan seperti itu sehingga membentuk topografi akhir tambang ketika tambang akan ditutup. Titik tertinggi Pit Antasena terletak pada ketinggian 67 meter dari permukaan laut (m dpl), dan titik terendahnya berada pada -93 m dpl yang berada di dasar danau tambang. (Gambar 6).

4.1.2 Tanah

(24)

23

 

 

 

23 Gambar 6. Peta TopografiAntasena

(25)

24 

   

Beradasarkan uji laborotorium sample tanah (AMDAL, 2009), didapatkan kadar kemasaman tanah di wilayah penelitian cukup masam, dengan pH 4.17. Sifat kimia tanah di lokasi studi dapat dikarakteristikan dengan kandungan kapasitas tukar kation (KTK) sebesar 13.81 (me/100 g), C-organik sebesar 1.56% kandungan nitrogen sebesar 0.19%, dan kandungan P2O5 sebesar 9.37 mg/ 100 gram tanah. Kandungan Ca-tukar sebesar 3.06 me/ 100 gram tanah, dan kandungan Mg-tukar sebesar 0.77 me/ 100 gram tanah. Kandungan K-tukar sebesar 0.19 me/100 gram tanah, kandungan alumunium pada tanah sebesar 6.17 %, dan kandungan Fe tanah sebesar 25361 ppm.

4.1.3 Iklim

Berdasarkan data curah hujan tahun 2001-2011 (Gambar 7) curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan nilai 400 mm. Nilai curah hujan terendah sebesar 150 mm terjadi pada bulan September dengan bulan kering (<60mm) sebanyak 1 – 2 bulan. Suhu udara di kawasan memiliki fluktuasi yang tidak terlalu signifikan. Suhu tertinggi terjadi pada bulan September sebesar 27.7oC, dan suhu terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 26.6oC (Gambar 8). Kelembaban relatif udara rata-rata bulanan berkisar antara 74 % – 85 % (Gambar 9).

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

Gambar 7. Curah Hujan Rata-rata Bulanan (2001-2011) 0.0

50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 350.0 400.0 450.0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

Cura

h

H

u

ja

n (

m

m

(26)

25 

   

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 8. Suhu udara rata-rata bulanan (1997-2007)

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 9. Kelembaban relatif rata- rata bulanan (1997-2007) 4.1.4 Hidrologi

Kegiatan pertambangan pada Pit Antasena yang sudah berlangsung menghasilkan dua lubang bukaan tambang (void). Danau ini terbentuk dari tampungan air hujan, dan aliran permukaan. Void diberi nama Danau ATS 1, dan Danau ATS 2 (Gambar 10 dan Gambar 11). Kualitas air permukaan danau ini disampaikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

26 26.2 26.4 26.6 26.8 27 27.2 27.4 27.6 27.8

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

Su

hu

Ud

ara

(

o C)

Kelembaban Relatif

(27)

26 

   

Sumber: Pengamatan, 2011

Gambar 10. Danau ATS 1

Sumber: Pengamatan, 2011

Gambar 11. Danau ATS 2

Tabel 12. Kualitas air permukaan danau 1 dan 2

No. Parameter ATS 1 ATS 2 Satuan

1 pH 7.94 7.8 -

2 Residu tersuspensi (TSS) 23 23 mg/L

3 Residu terlarut (TDS) 390 298 mg/L

4 Fe 0.182 0.070 mg/L

5 Mn 0.032 2.35 mg/L

6 Cd 0.007 0.006 mg/L

7 Zn 0.008 0.021 mg/L

8 Sulfat 151 128 mg/L

9 Pb 0.006 0.007 mg/L

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

Tabel 13. Kadar zat terlarut pada kedalaman tertentu

Kedalaman (m) ATS 1

TSS (mg/l) TDS (mg/l)

10 23 390

20 26 394

30 22 405

Kedalaman (m) ATS 2

TSS (mg/l) TDS (mg/l)

10 23 298

20 20 296

30 154 312

(28)

27 

   

4.1.5 Vegetasi

Berdasarkan AMDAL (2009), vegetasi pada kawasan penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan area tumbuhnya yaitu, area tidak terganggu (undisturbed area) dan area revegetasi. Vegetasi pada area tidak terganggu terdiri atas tanaman hutan sekunder, alang-alang serta semak (Tabel 14). Pada kawasan ini ditemukan tanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan tanaman khas daerah Kalimantan, yang sudah sulit ditemukan. Area yang tidak diganggu ini dipertahankan keberadaannya selain dapat menjadi habitat satwa lokal, area tidak diganggu ini dapat menjadi sumber bibit, untuk diperbanyak, sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk lingkungan (Gambar 12).

Tabel 14. Vegetasi Area Tidak Diganggu

No. Nama Botani Nama Lokal

1 Acacia mangium Akasia

2 Alstonia sp. Pulai

3 Anthocepalus cadamba Jabon

4 Arthocarpus elastica Tarap

5 Artocarpus sp. Mada

6 Dillenia grandifolia Simpur

7 Dracontomelon mangiferum Singkuang

8 Eugenia sp. Jambu Burung

9 Eusideroxylon zwageri Ulin

10 Ficus variegata Luwa

11 Hibiscus tiliaceus Waru

12 Litsea sp. Medang

13 Macaranga sp. Mahang

14 Peronema canescens Sungkai

15 Pterospermum celebicum Bayur

16 Shorea sp. Latung

17 Vitex pubescens Alaban

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

(29)

28 

   

Area revegetasi dibentuk oleh tanaman cepat tumbuh (fast growing) yang sengaja ditanam pada tahap reklamasi (Gambar 13). Kegiatan revegetasi atau penanaman kembali lahan-lahan yang terbuka dimaksudkan untuk mengembalikan penutupan lahan dan memulihkan kesuburan tanah. Perusahaan mengkombinasikan tanaman introduksi dan tanaman lokal dalam penerapannya. Tanaman introduksi seperti, akasia daun kecil (Accacia auriculiformis), dan akasia daun lebar (Accacia mangium). Untuk tanaman lokal PT. Artumin Indonesia menggunakan sengon (Paraserianthes falcataria) (Tabel 15).

Tabel 15. Vegetasi Area Revegetasi

No. Nama Botani Nama Lokal

1 Accacia auriculiformis Akasia daun kecil 2 Accacia mangium Akasia daun lebar 3 Paraserianthes falcataria Sengon

Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009

4.1.6 Satwa

Satwa yang ditemukan berupa jenis Aves, yang menjadikan area hutan sekunder sebagai habitatnya. Beberapa jenis Aves yang terlihat antara lain, elang (Nisaetus cirrhatus), gagak (Carvus macrorhynchus), keruang (Pycnonotus brunneus), layang-layang (Delichon dasypus), pipit (Lonchura leucogasta). Selain jenis Aves, pada kawasan ini juga ditemukan satwa jenis mamalia berupa bajing (Glyphotes simus), dan reptilia seperti kadal (Mabouya fasiculate), ular tanah (Angkistrodon rhodostima), dan biawak (Varanus albigularis) (Tabel 16).

 

(30)

29 

[image:30.612.131.511.581.680.2]

   

Tabel 16. Satwa di Pit Antasena

No. Nama Species Nama Ilmiah

Aves

1 Elang Nisaetus cirrhatus

2 Gagak Carvus macrorhynchus

3 Keruang Pycnonotus brunneus 4 Layang-layang Delichon dasypus

5 Pipit Lonchura leucogasta

Mamalia

6 Bajing Glyphotes simus

Reptilia

7 Kadal Mabouya fasciculate

8 Ular Tanah Angkistrodon rhodostima 9 Biawak Varanus albigularis Sumber: Data pemantauan lingkungan PT. Arutmin, 2010

4.1.7 Kependudukan

Pada kecamatan Kintap tersebar 6 desa, meliputi: Salaman, Riam Adungan, Pasir Putih, Sungai Cuka, Kintapura dan Kintap Kecil. Pada penelitian ini difokuskan pada Desa Salaman dan Riam Adungan karena letaknya yang paling berdekatan dengan Pit Antasena.

4.1.7.1Demografi

Keadaan kependudukan pada masing-masing desa wilayah studi Berdasarkan data Kecamatan Satui dan Kecamatan Kintap dalam angka cukup bervariasi. Kepadatan penduduk di Desa Salaman sebesar 122 jiwa per km2 dan Desa Riam Adungan sebesar 6 jiwa per km2. Berdasarkan perbandingan antara jumlah laki-laki dengan perempuan, dapat dilihat jumalah penduduk laki-laki relatif lebih banyak disbanding perempuan, hal ini umum terjadi pada daerah-daerah yang menjadi tujuan pendatang (Tabel 17).

Tabel 17. Jumlah Penduduk Desa Salaman dan Riam Adungan

No. Desa Luas

(km2)

Penduduk (jiwa) Jumlah

rumah tangga

Kepadatan (jiwa/km2)

Laki-Laki Perempuan Jumlah

Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut

1 Salaman 10,00 618 604 1.222 370 122

2 Riam

Adungan 191,00 583 559 1.142 201 6

(31)

30 

   

4.1.7.2Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terbesar adalah sebagai petani (dalam arti luas) yang mencapai 490 orang (atau sebesar 49.8%) dari seluruh jumlah penduduk yang sudah bekerja sebanyak 983 orang. Petani pemilik sub sektor tanaman pangan menduduki urutan tertinggi dengan jumlah 250 orang (25.4%), petani perkebunan sebanyak 40 orang (4.1%), dan peternak sebanyak 30 orang (3.1%). Selain sebagai petani pemilik, juga terdapat buruh tani yang mencapai 170 orang atau sebesar 17.3%, yang umumnya merupakan buruh lepas di perusahaan-perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.

[image:31.612.96.510.392.573.2]

Selain sebagai petani pemilik dan buruh tani terdapat mata pencaharian lainnya dengan jumlah sebanyak 493 orang (50,2%). Kategori mata pencaharian lainnya ini antara lain, PNS (TNI, POLRI, Pensiunan), pedagang, Jasa transportasi (supir angkutan, ojek), buruh bangunan, pekerja bengkel, karyawan, dan tukang. Walaupun memiliki presentasi yang besar, apabila dirincikan lebih detail memiliki nilai yang tidak terlalu signifikan (Tabel 18).

Tabel 18. Mata Pencaharian Penduduk

No. Mata Pecaharian

Kecamatan/ Desa

Jumlah Persentase (%) Salaman Riam

Adungan

1 Petani tanaman pangan 150 100 250 25.4

2 Petani Perkebunan 40 - 40 4.1

3 Peternak 30 - 30 3.1

4 Buruh Tani 20 150 170 17.3

5 Lainnya 221 272 493 50.2

Jumlah 461 522 983 100.0

Sumber: Kantor Kepala Desa, 2009

(32)

31 

   

4.2Tipe Pemanfaatan Lahan

Dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya, kontribusi dari para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soelarno (2008) yang menyatakan bahwa, kegiatan perencanaan penutupan tambang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Salah satu bentuk keterlibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan penutupan tambang ialah menentukan tipe pemanfaatan lahan. Dalam mengambil keputusan ini, harus didapatkan visi yang sejalan sehingga pembangunan nantinya dapat berjalan selaras dan lestari.

Preferensi pemerintah dapat kita tinjau dari keputusan yang ada. Berdasarkan surat rekomendasi gubernur No. surat: 522/750/pola/dishut (Lampiran 1), pemerintah menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL). Pada dokumen RTRWP, dijelaskan bahwa area ini termasuk dalam Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP). Dalam RTRWK , area penelitian dibagi atas dua wilayah, yaitu kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan budidaya perikanan.

Preferensi masyarakat didapatkan dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa key person dari masyarakat dengan menggunakan daftar pertanyaan (Lampiran 2). Berdasarkan hasil wawancara penduduk sekitar sudah mengerti akan dampak yang disebebkan oleh kegiatan pertambangan. Dalam pemanfaatan lahan selanjutnya, penduduk sangat menginginkan area reklamasi di Antasena untuk dijadikan lahan perkebunan karet/ kelapa sawit. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah familiar dengan komoditas tersebut. Menurut mereka, daripada tanaman akasia yang dibiarkan begitu saja, lebih baik ditanami karet atau sawit yang lebih cepat menghasilkan produk. Selain itu mereka juga menginginkan adanya keramba untuk usaha perikanan.

(33)

32 

   

[image:33.612.129.505.180.394.2]

panen. Latar belakang masyarakat yang berbasis pada bidang pertanian dinilai cocok dengan rencana ini. Agroforestri dinilai cocok dengan visi PT. Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat (PT Arutmin Indonesia, 2005).

Tabel 19. Preferensi Pemangku Kepentingan Pemangku

kepentingan Preferensi

Pemerintah Menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL), dan dapat dikembangkan menjadi Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP), khususnya hutan produksi tetap dan perikanan

Masyarakat Memiliki latar belakang pertanian, perkebunan, dan peternakan, juga menginginkan adanya kawasan perkebunan karet/ kelapa sawit, dan keramba untuk usaha perikanan

Perusahaan Mempromosikan agroforestri sebagai pemanfaatan lahan yang mampu mengkonservasi lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber: Pengamatan, 2011

Berdasarkan data Tabel 19, untuk mengakomodasi preferensi dari para pemangku kepentingan tipe pemanfaatan lahan yang dapat diterapkan adalah tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type). Pada tipe ini terdapat lebih dari satu pemanfaatan lahan yang dapat dirangkai dalam satu kawasan yang pada dasarnya berbeda namun dijadikan satu tujuan evaluasi dengan satuan lahan yang sama (FAO, 1983). Praktik agroforestri dengan sistem agrosilvopastura+fisheries dinilai mampu mengakomodasi preferensi dari para pemangku kepentingan. Praktik ini mengkombinasikan tanaman pohon, cash crop, peternakan, dan perikanan.

(34)

33 

   

komoditas unggulan untuk pohon adalah tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A), dan kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.). Sedangkan untuk tanaman pertanian berupa ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.), dan padi lahan kering (Oryza sativa L.). Untuk peternakan komoditas unggulan berupa sapi (Bos Taurus) dan kerbau (Bos bubalus), dengan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.). Untuk tanaman sayur didapatkan Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.). Untuk perikanan, PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui sudah pernah mencoba melakukan percobaan pembibitan ikan pada kolam bekas tambang dengan jenis bawal (Pampus Argentus), nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus Carpio), dan patin (Pangasius pangasius).

4.3Peta Satuan Lahan

(35)

34 

[image:35.612.126.508.98.312.2]

   

Tabel 20. Kualitas dan Karakteristik lahan

Kualitas Lahan Karakteristik Lahan Nilai data

Rejim suhu (t) Temperatur rerata tahunan (oC) 27

Ketersediaan air (w) Curah hujan tahunan (mm) 2924.5

Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan

Kelembaban udara (%) 80.92

Media perakaran (r) drainase sedang

tekstur agak halus (SCL)

ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm

Retensi hara (f) KTK (me/100 g) 13.81

C-Organik (%) 1.56

pH 4.17

Hara tersedia (n) P2O5 HCl (mg/100 g tanah) 9,37

K2O (mg/100g) 20.82

Total N (%) 0.19

Toksisitas (x) Fe (ppm) 25361

Al (%) 6.17

Potensi Mekanisasi (m) Kemiringan lahan Bervariatif

Batuan penutup permukaan 0%

Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009

Karakteristik lahan pada kawasan ini dianggap seragam karena termasuk skala mikro. Oleh karena itu, penentuan batas pada peta satuan lahan menggunakan karakteristik tanah yang mudah dipetakan seperti relief, lereng, atau bentukan lahannya (landform) sesuai dengan yang ditentukan FAO (1983). Bentukan lahan bisa kita dapatkan dari menganalisis peta kemiringan lahan. Peta kemiringan lahan daerah penelitian dibuat dengan mengolah data topografi menggunakan bantuan software Arc GIS (Gambar 14). Klasifikasi kemiringan dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan penilaian nantinya. Parameter kemiringan lahan dibagi atas lima kelas berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang ditetapakan oleh FAO 1983 untuk area pertanian. (Tabel 21).

Tabel 21. Klasifikasi Kemiringan Lahan Untuk Pertanian

No. Persen Lereng (%) Bentukan lahan Luas (ha)

1 0 – 3 Datar 113.02

2 3 – 8 Landai 108.68

3 8 – 15 Bergelombang 99.98

4 15 – 30 Berbukit 78.25

5 >30 Curam – Sangat curam 34.78

Sumber: FAO, 1983

(36)

35

 

 

[image:36.792.121.699.101.502.2]

 

(37)

36 

[image:37.612.90.503.139.670.2]

   

Gambar 15

.

Peta Satuan Lahan

(38)

37 

   

4.4Hasil Kesesuaian Lahan

Hasil kesesuaian lahan dapat diidentifikasi dari kelas kesesuaian lahan yang merupakan hasil dari evaluasi lahan dengan Kerangka FAO, dan Morphoedaphic Index.

4.4.1 Evaluasi Lahan Dengan Kerangka FAO

Metode ini mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO (1983). Lahan dinilai kesesuaiannya berdasarkan komoditas yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Penilaian kesesuaian lahan ini didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan dari tiap komoditas yang dikeluarkan oleh LREP II, 1994 dan PPT, 2003 (Lampiran 3).

Dari hasil evaluasi lahan pada Zona I (0-3%) didapatkan kelas kesesuaian tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar pH yang rendah (Tabel 22).

(39)

38 

   

Pada Zona III (8-15%) didapatkan kelas kesesuaian tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar pH yang rendah dan kemirigan yang terlalu curam (Tabel 24).

Untuk Zona IV (3-8%) juga didapatkan hasil kesesuaian yang sama. Tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah dan kemringan yang terlalu curam. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). untuk padi gogo (Oryza sativa L.), memiliki kelas kesesuaian lahan N1 dengan factor pembatas kadar pH dan kelerengan. Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor pembatas kemiringan lahan yang terlalu curam (Tabel 25).

(40)

 

(41)

Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan Zona I

Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan

Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1

Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2

Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 0-3% S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2

C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2

K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1

Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2

Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17 (sangatrendah) - - - -

Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3f

(42)
[image:42.792.79.716.152.492.2]

Tabel 23. Kelas Kesesuaian Lahan Zona II

Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan

Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1

Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2

Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 3-8% S1 S2 S1 S1 S1 S1 S2

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2

C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2

K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1

Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2

Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17 (sangatrendah) - - - -

Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3f

(43)

Tabel 24. Kelas Kesesuaian Lahan Zona III

Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan

Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1

Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S3

Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 8-15% S2 S3 S2 S2 S2 S2 S3

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2

C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat

rendah)

- S3 S3 S3 - - S2

K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1

Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2

Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17

(sangatrendah)

- - - - - - -

Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3rf

(44)

Tabel 23.Kelas Kesesuaian Lahan Zona IV

Karakteristik Lahan Nilai data Pertanian Tegakan Buah dan sayur Peternakan

Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1

Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 N1 S3 S3 S3 S3 N1

Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 15-30% S3 N1 S3 S3 S3 S3 N1

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2

C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2

K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1

Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2

Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17 (sangatrendah) - - - -

Kelas kesesuaian lahan N1f N1rf S3rn N1f S3wrf S3wrf N1r

(45)

40

(46)

41

(47)

42

(48)

43

[image:48.792.141.696.97.492.2]

Gambar 16. Peta kesesuaian tanaman karet

(49)

44

[image:49.792.151.694.98.490.2]

Gambar 17. Peta kesesuaian tanaman kelapa sawit

(50)

45

[image:50.792.155.706.98.486.2]

Gambar 18. Peta kesesuaian tanaman padi gogo

(51)

46

[image:51.792.149.695.97.483.2]

Gambar 19. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu

(52)

47

[image:52.792.172.691.100.483.2]

Gambar 20. Peta kesesuaian tanaman tomat

(53)

48

[image:53.792.154.687.97.485.2]

Gambar 21. Peta kesesuaian tanaman buncis

(54)
[image:54.792.155.687.98.482.2]

49 Gambar 22. Peta kessuaian tanaman rumput gajah

(55)

50

Secara umum dapat kita lihat bahwa faktor pembatas pada kawasan penelitian ialah kadar pH yang rendah dengan nilai 4,17. Kondisi ini bisa disebabkan oleh pemberian pupuk anorganik pada tanah yang cenderung meningkatkan suasana masam dalam tanah seperti senyawa pembawa nitrogen, yang menyuplai ammonia atau yang menghasilkan amonia. Hal ini didukung Ardianto (2008) yang menyatakan bahwa, kadar pH tanah pada area reklamasi berkisar 4,21.

4.4.2 Morphoedaphic Index

Penilaian kesesuaian untuk danau buatan menggunankan metode Morphoedephic index (MEI). Berdasarkan hasil perhitungan, nilai MEI didapatkan pada ATS 1 sekitar 19,5 – 20,3. Untuk ATS 2 didapatkan nilai MEI sekitar 14,8 – 15,7. Menurut Ryder et al., (1982) kisaran nilai MEI yang menyatakan sebagai perairan yang berproduktivitas tinggi adalah 0-30. Nilai MEI yang didapatkan menunjukan bahwa kedua danau ini berpotensi untuk memiliki produktivitas untuk perikanan (Gambar 23).

[image:55.612.117.519.626.684.2]

Nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended Solids) (TSS) yang didapatkan cukup bervariasi. Untuk ATS 1 nilai TSS berkisar antara 22 – 26, sedangkan untuk ATS 2 berkisar antara 20 – 154. Kandungan zat terlarut dan tersuspensi masih dalam jumlah yang wajar. Hal ini dapat diartikan cahaya yang dibutuhkan oleh organisme air dapat lewat dengan mudah, sehingga kemungkinan organisme untuk bertahan hidup besar. Nilai TSS yang didapatkan untuk ATS 1 masih dapat dikatergorikan aman. Kadar TSS sedikit lebih banyak pada kedalaman 30 m sebesar 26 mg/l yang berpengaruh sedikit terhadap perikanan. Untuk ATS 2 pada kedalaman 30 m didapatkan nilai TSS yang cukup besar 154 mg/l yang kurang baik untuk perikanan (Tabel 26). Dengan ini kita dapat asumsikan bahwa danau bekas tambang pada kawasan ini sesuai untuk praktik perikanan.

Tabel 26. Hasil perhitungan nilai MEI dan TSS

Kedalaman (m) Danau 1 Danau 2

TSS (mg/l) TDS (mg/l) MEI TSS (mg/l) TDS (mg/l) MEI

10 23 390 19,5 23 298 14,9

20 26 394 19,7 20 296 14,8

(56)
[image:56.792.136.695.102.497.2]

51

(57)

52

4.5Analisis Sosial-Ekonomi

Komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan kawasan untuk penggunaan lahan selanjutnya dinilai cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan kebijakan serta tindakan yang sudah dilakukan oleh perusahaan. Komitmen perusahaan pada kegiatan pertambangan perusahaan salah satunya ialah dengan menerapkan sistem pertambangan dengan metode backfill. Metode backfill merupakan suatu sistem penimbunan kembali block yang sudah ditambang dengan timbunan material penutup (over burden) dari block yang sedang ditambang. Metode ini sangat efektif dalam mengurngai luasan bukaan lahan tambang, yang nantinya akan menjadi danau bekas tambang. Untuk kegiatan penutupan tambang, Perusahaan bekerja sama dengan PT. LAPI ITB dalam pengkajian ulang perencanaan lubang bukaan akhir tambang (danau bekas tambang). Dalam hasil penelitianya PT LAPI ITB merekomendasikan lubang bukaan akhir tambang (void) untuk dimanfaatkan sebagai konservasi sumber daya air, dan pengembangan biodiversitas akuatik.

PT. Arutmin Indonesia sampai saat ini, sudah mengeluarkan biaya sebesar 6.483.639,99 USD untuk kegiatan pemulihan lahan pasca-tambang. Kegiatan pemulihan lahan dibagi atas 2 tahap, yaitu reklamasi dan revegetasi. Pada kegiatan reklamasi, mencakup kegiatan pengaturan bentuk lahan (regrading), penyebaran tanah pucuk (top soil spreading), dan pembuatan sistem drainase (drainage system). Pada kegiatan revegetasi pekerjaan yang tercakup didalamnya meliputi, pemulsaan (mulching), penanaman tanaman pionir berupa tanaman penutup tanah (cover crop) dan tanaman pohon (perennial crop), dan pengawasan (maintenance). Selain itu PT. Arutmin Indonesia juga telah meberikan program pembinaan bagi masyarakat sekitar. Program pembinaan yang diberikan untuk Desa Salaman, yaitu program pembinaan pertanian/ peternakan, sedangkan untuk Desa Riam Adungan diberikan pembinaan yang sama yaitu pertanian/ peternakan.

4.6Analisis SWOT

(58)

53

kesesuaian lahan dan keadaan rona lanskap kawasan. Faktor internal terdiri dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan faktor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

4.6.1 Identifikasi kekuatan, peluang, dan ancaman 1. Kekuatan

a. Potensi wilayah untuk praktik agroforestri

Kawasan pasca-tambang Pit Antasena ini cukup berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan agroforestri. Lahan memiliki elemen lanskap yang beragam sehingga dapat mengkombinasikan berbagai macam pola agroforetri.

b. Dukungan dari para stakeholders

Preferensi dari pemangku kepentingan sangatlah penting, mengingat setelah kontrak penambangan selesai, pengelolaan kawasan dikembalikan kepada masyarakat, dan juga pemerintah.

c. Potensi undisturbed area

Undisturbed area pada kawasan pertambangan berpotensi sebagai sumber bibit untuk perbanyakan tanaman kehutanan sebagai salah satu upaya mengkonservasi lingkungan.

d. Mata pencaharian masyarakat

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah petani. Hal ini menyebabkan sistem agroforestri akan lebih mudah diterima masyarakat.

e. Komitmen perusahaan tinggi

PT. Arutmin Indonesia dalam menjalankan perannya sebagai perusahaan yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat dinilai cukup tinggi dilihat dari tindakan serta kebijakan yang sudah dilakukan.

2. Kelemahan

a. Rendahnya kadar pH

(59)

54

b. Keberadaan PETI

Keberadaan PETI dinilai merugikan kawasan dengan merusak lingkungan dan mengganggu kenyamanan masyarakat lain. Oleh karena itu, perlu ada tindakan untuk mengatasi keberadaaan PETI ini. 3. Peluang

a. Kerja sama dengan pihak lain

Dengan berkerja sama dengan pihak lain, maka akan timbul banyak ide sehingga management lanskap dapat berjalan dengan baik

4. Ancaman

a. Gangguan penduduk desa lain

Area agroforestri yang luas perlu dilakukan pengawasan yang baik. Hal ini digunakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan dari luar seperti, penebang liar, dan penjarah hasil pertanian.

4.6.2 Penilaian faktor internal dan external

[image:59.612.109.509.490.685.2]

Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingan dari masing-masing faktor tersebut. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 27 dan 28). Setelah memperoleh tingkat kepentingan dari setiap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dilakukan pembobotan (Tabel 29 dan 30).

Tabel 27. Tingkat kepentingan faktor internal

Simbol Faktor kekuatan (strength) Tingkat

kepentingan

S1 Potensi wilayah untuk praktik agroforestri Sangat penting

S2 Dukungan dari para stakeholders Sangat penting

S3 Potensi undisturbed area Penting

S4 Komitmen perusahaan tinggi Penting

S5 Mata pencaharian masyarakat Sedang

Simbol Faktor kelemahan (weakness) Tingkat

kepentingan

W1 Rendahnya kadar pH Sangat penting

(60)
[image:60.612.120.513.93.304.2]

55

Tabel 28. Tingkat kepentingan faktor eksternal

Simbol Faktor peluang (oportunity) Tingkat kepentingan

O1 Kerja sama dengan pihak lain Penting

Simbol Faktor ancaman (threat) Tingkat kepentingan

T1 Gangguan penduduk desa lain Sangat penting

Tabel 29. Penilaian bobot faktor strategis internal Faktor strategis

internal S1 S2 S3 S4 S5 W1 W2 Total Bobot

S1 2 1 1 1 2 1 8 0.09

S2 2 1 1 1 2 1 8 0.09

S3 3 3 2 1 3 2 14 0.16

S4 3 3 2 1 3 2 14 0.16

S5 4 4 3 3 4 3 21 0.24

W1 2 2 1 1 1 1 8 0.09

W2 3 3 2 2 1 3 14 0.16

Total 87 1.00

Tabel 30. Penilaian bobot faktor strategis eksternal Faktor strategis

external O1 T1 Total Bobot

O1 1 1 0.25

T1 3 3 0.75

Total 4 1.00

4.6.3 Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE)

[image:60.612.113.512.530.693.2]

Setelah diperoleh bobot dari masing-masing faktor strategis internal dan eksternal, selanjutnya dilakukan penetuan peringkat (rating) antara 1-4. Kemudian rating setiap faktor tersebut dikali dengan bobot untuk memperoleh skor pembobotan yang tercantum dalam matriks IFE dan EFE (Tabel 31 dan 32).

Tabel 31. Matriks IFE

Faktor strategis internal Bobot Rating Skor

Kekuatan

Potensi wilayah untuk praktik agroforestri

0.09 4 0.37

Dukungan dari para stakeholders 0.09 4 0.37

Potensi undisturbed area 0.16 3 0.48

Komitmen perusahaan tinggi 0.16 3 0.48

Mata pencaharian masyarakat 0.24 2 0.48

Kelemahan

Rendahnya kadar pH 0.09 4 0.37

Keberadaan PETI 0.16 3 0.48

(61)

56

I

Total

Skor EFE

Tinggi

Menengah

Rendah

IV

Total Skor IFE

Kuat Sedang Lemah

II III

V VI

VII VIII IX

Tabel 32. Matriks EFE

Faktor strategis eksternal Bobot Rating Skor

Peluang

Kerja sama dengan pihak lain 0.25 3 0.75

Ancaman

Gangguan penduduk desa lain 0.75 4 3.00

Total 7 3.75

Berdasarkan perhitungan IFE dan EFE yang didapatkan, kondisi internal memiliki nilai total skor 3.03 dan kondisi external dengan skor 3.75. Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009) jika nilai total skor IFE dan EFE lebih dari 2.5, maka nilai tersebut menunjukkan kondisi yang kuat. Berdasarkan skor yang didapat dari pembobotan rangking di atas, akan diketahui posisi kawasan Pit Antasena pada kuadran tertentu yang dapat menyatakan kekuatan dan kelemahannya melalui matriks internal-eksternal (IE). Matriks IE didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu skor total matriks IFE (3.03) pada sumbu x dan total matriks EFE (3.75) pada sumbu y. Hasil pemetaan matriks IFE dan EFE dapat dilihat pada Gambar 24.

Berdasarkan nilai total skor IFE dan EFE, Kawasan Pit Antasena berada pada kuadran I. Hal ini menunjukkan pengelolaan kawasan Pit Antasena berada pada posisi Grow and build. Strategi yang sesuai adalah strategi pengembangan produk dalam hal ini kegiatan pengelolaan lanskap pasca-tambang. Menambah kualitas pengelolaan serta pengembangan-pengembangan yang berfungsi menunjang kegiatan pengelolaan. Secara spesifik, strategi manajemen yang dapat

Gambar 24. Matriks Internal-Eksternal (IE) 4.00

3.00

3.00 2.00 1.00

2.00

(62)

57

di ambil oleh Perusahaan dalam mengelola kawasan akan diperoleh dari matriks SWOT di subbab berikutnya.

4.6.4 Matriks SWOT

Matriks SWOT menunjukkan beberapa strategi yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan dan mengembangkan potensi yang ada. Adapun strategi yang dihasilkan, yaitu: a) Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan; b) Program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan; c) Pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik; d) Peningkatan kadar pH; e) Pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan; f) Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri (Tabel 33).

Tabel 33. Matrix SWOT

Eksternal Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats)

Internal 1. Kerja sama dengan pihak lain 1. Gangguan dari luar

Kekuatan (Strengths) Strategi SO Strategi ST

1. Potensi wilayah untuk praktik agroforestri

Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan.

Pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik

2. Dukungan dari para stakeholders

Program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan 3. Potensi undisturbed

area 4. Komitmen

perusahaan tinggi 5. Mata pencaharian

masyarakat

Kelemahan

(Weaknesses) Strategi WO Strategi WT

1. Rendahnya kadar pH

Peningkatan kadar pH Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri

1.Keberadaan PETI Pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri.

4.6.5 Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi

(63)
[image:63.612.125.507.93.250.2]

58

Tabel 34. Tabel Ranking Alternatif Strategi

Peringkat Strategi Keterkaitan antar

unsur SWOT Skor

1 Pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri

W2, T1 0.91

2 Pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik

S2, T1 0.84

3 Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan.

S1, S2, S4, S5, O1

0.68

5 Program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan

S3, S4, O1 0.41

4 Pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri.

W2, O1 0.41

6 Peningkatan kadar pH W1, O1 0.34

4.7Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang Bagi Peruntukan Agroforestri Strategi-strategi yang dihasilkan dari analisis diatas kemudian dijadikan acuan dalam penyusunan pengelolaan lanskap pasca-tambang. Adapun strategi-strategi yang dapat dilakukan perusahaan meliputi, pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri, pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik, Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan, program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan, pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri, serta peningkatan kadar pH.

4.7.1 Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Praktik Agroforestri Bentuk pelibatan masyarakat dapat berupa Focus Group Discussion (FGD) mengenai arah pengembangan praktik agroforestri yang dihadiri oleh para stakeholders. FGD adalah suatu metode riset kualitatif yang didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006). Dengan metode ini akan tercipta kesatuan visi, serta keluaran yang bermanfaat bagi para stakeholders. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan kesadaran masyarakat akan lingkungan yang diharapkan dapat meminimalisir keberadaan penambang tanpa ijin (PETI).

(64)

59

Faktor ketiga, ialah pola hubungan dan kebijakan perusahaan berijin yang dijarah kurang baik. Dampak yang disebabkan peti tidak hanya lingkungan saja, tetapi juga berakibat pada berkurangnya cadangan sumberdaya, serta kerugian ekonomi secara makro (jangka panjang). Dengan keberadaan praktik agroforestri ini diharapkan masyarakat dapat mengambil keuntungan, sehingga tidak ada lagi yang bermatapencaharian sebagai penambang liar. Selain memberikan keuntungan secara finansial, sistem agroforestri juga mampu memberikan jasa lingkungan dengan mengkonservasi keragaman jenis hayati.

4.7.2 Pembuatan Batas Kawasan Yang Jelas

Keamanan kawasan dinilai cukup penting untuk diperhatikan pada kawasan ini. Lahan yang luas, serta letaknya yang ditengah hutan, dengan tanaman produktif, akan mengundang niat kejahatan bagi penduduk desa lain. Bentuk kejahatan dapat berupa: penyadapan hasil produksi, penebangan liar, pencurian ternak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu dibuat batas kawasan yang jelas. Batasan kawasan

Gambar

Tabel 16. Satwa di Pit Antasena
Tabel 18. Mata Pencaharian Penduduk
Tabel 19. Preferensi Pemangku Kepentingan
Tabel 20. Kualitas dan Karakteristik lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait