• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD IMANULLAH

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI

DI PT. ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini

Bogor, Mei 2012

MUHAMMAD IMANULLAH A44070023

(3)

(Muhammad Imanullah/A44070023, mentored by Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS)

Abstract

Coal mining practice that carried out by PT. Arutmin Indonesia, Satui mine, especially Pit Antasena, has already entered the stage of mine closure. One of the company's responsibility is to restore the mined land, to its original state, or be able to be re-used by the community in that particular place. Agroforestry is a favored type of land use wich is supported by the stakeholders, in this case the community in the area, government, and PT. Arutmin Indonesia itself. Apart from providing community’s economical benefits, agroforestry can also preserve the environment. Therefore, the strategy of sustainable management of post-mining landscape is needed to achieve this goal.The objective of research is to arrange the landscape management plan of post-mining landscapeaccording to landscape characteristic evaluation and suitability, designation for agroforestry practice.

This research used Land evaluation method, according to FAO (1983), to have land suitability an agroforestri purpose. Morphoedaphic index method was used for assessing the productivity of waters, Socio-economic analyze method was used for discovering the extent to which the company’s commitment regarding mine closure practice,and SWOT analyze method forplanning the scenario of landscape management strategies. Based on the research results, it’s found the limiting factor of this land is lowly pH level. Company’s commitment regarding mine closure practice is high. The landscape management strategies based on SWOT analyses are to define the practice zone; to handle PETI; to increase land pH level; to optimal the land restoration practice; to educate the community; to increase the environmental either in restoration practice supervision, or against the PETI.

(4)

MUHAMMAD IMANULLAH. Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan.

Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN.

Penambangan batubara pada kawasan pertambangan yang dilakukan PT.

Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Khususnya Pit Antasena, berada pada tahap penutupan tambang. Salah satu bentuk tanggung jawab PT. Arutmin Indonesia terhadap kegiatan pertambangan ialah dengan melakukan kegiatan rehabilitasi lahan yang merupakan bagian dari kegiatan penutupan tambang. Kegiatan penutupan tambang merupakan produk akhir dari kegiatan pertambangan yang merupakan suatu penggunaan lahan yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dalam hal ini adalah, masyarakat, pemerintah, serta perusahaan (PT. Arutmin Indonesia, 2005). Perusahaan menilai kawasan ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan praktik agroforestri yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga dapat mengkonservasi lingkungan. Konsep agroforestri ini sangat cocok dengan visi PT Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat (PT Arutmin Indonesia, 2005). Namun, praktik agroforestri ini tidak dapat serta merta diaplikasikan begitu saja pada lahan pasca- tambang. Lahan perlu dievaluasi terlebih dahulu, untuk mengetahui kesesuaian lahannya bagi praktik agroforestri.

Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Arutmin Indonesia Tambang Satui, Pit Antasena yang terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu, Satui, Kalimantan Selatan . Kawasan ini memiliki luas areal 434,706 ha danterletak pada 03o36’1” – 03 o48’35” LS dan 115 o7’39” – 115 o28’25” BT. Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama empat bulan, dimulai pada Februari 2011 sampai dengan Mei 2011. Metode yang digunakan adalah, Metode evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada FAO (1983). Dilanjutkan dengan menghitung nilai Morphoedaphic Index (MEI) untuk menilai produktifitas area danau bekas tambang. Analisis deskriptif mengenai aspek sosial-ekonomi nasyarakat digunakan untuk mengetahui informasi rona lanskap serta komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan lahan untuk tujuan agroforestri. lalu analisis Strength-Weakness- Opportunity-Threat (SWOT) untuk menentukan langkah-langkah manajemen yang sesuai dalam menyususn rencana management pasca-tambang berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan analisis sosial-ekonomi.

Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan didapatkan faktor pembatas berupa kadar pH yang rendah senilai 4.17, dan termasuk dalam kelas keseuaian lahan N1. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah bersifat masam sehingga praktik agroforestri belum bisa dilaksanakan sebelum pH dinaikan sampai keadaan mendekati netral. Hasil perhitungan nilai MEI didapatkan pada danau ATS 1 sebesar 19,5 – 20,3, dan pada ATS 2 sebesar 14,8 – 15,7. Menurut Ryder et al, (1982) danau bekas tambang pada kawasan ini berpotensi untuk menjadi area perikanan karena nilai MEI danau tersebut masih dalam kisaran 0 – 30.

Berdasarkan analisis social-ekonomi didapatkan matapencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani dalam arti luas sebesar 49.8%. Komitmen perusahaan dinilai cukup tinggi. Berdasarkan analisis SWOT diperoleh strategi-

(5)

strategi pengelolaan lanskap pasca-tambang yang dapat dilakukan perusahaan seperti: pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan praktik agroforestri, pembuatan batasan yang jelas pada kawasan praktik, Penentuan jenis praktik agroforestri yang sesuai dengan kondisi kawasan, program pembibitan tanaman hutan, sebagai salah satu kegiatan konservasi lingkungan, pemberian pelatihan terhadap masyarakat sebagai bekal untuk mengelola kawasan agroforestri, serta peningkatan kadar pH

Kata Kunci: analisis kesesuaian lahan, analisis SWOT, morphoedaphic index, pengelolaan lanskap pasca-tambang

(6)

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluru karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA

KALIMANTAN SELATAN

MUHAMMAD IMANULLAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(8)

Judul : Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan

Nama : Muhammad Imanullah NRP : A44070023

Departemen : Arsitektur Lanskap

Disetujui, Dosen pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S.

NIP. 19591106 198501 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

Tanggal Lulus :

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kehendak-Nya skripsi yang berjudul Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan dapat dirampungkan. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.

Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, serta memberikan masukannya kepada penulis.

Selain itu, penulis juga mengucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, memotivasi, dan membantu penulis selama berkuliah di IPB, Ibu Vera Dian Damayanti, SP. MLA., selaku pembimbing akademik; Departemen Arsitektur Lanskap, kepada Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA, selaku ketua departemen, segenap dosen, dan karyawan; Pihak PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui, khususnya departemen Safety, Health, and Environement, dengan segenap jajaran pimpinannya; dan seluruh pihak yang telah membantu akan terselesaikannya skripsi ini. Last but not least, terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Juhdi Syarif, dan Ibu Enizar Muaz selaku orang tua, juga kepada Dini Inaya, dan Abdul Haris yang kehadirannya selalu memberikan keceriaan, dan semangat bagi penulis.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui dan pihak yang memerlukannya. Kritik dan saran akan penulis terima dengan tangan terbuka.

Bogor, Mei 2012

Penulis

(10)

Muhammad Imanullah dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1990 dari Ibunda Enizar Muaz dan Ayahanda Juhdi Syarif. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dengan kakak bernama Dini Inaya, dan adik bernama Abdul Haris. Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak Said Naum pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1995. Penulis memasuki jenjang Sekolah Dasar pada tahun 1995 sampai dengan 2001 di SDN Gondangdia 01 Pagi, menteng, Jakarta. Kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 1 Cikini, dan pada tahun 2007 penulis lulus SMA Sekolah Indonesia Riyadh, Arab Saudi.

Pada tahun 2007, penulis berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di IPB, penulis aktif diberbagai keorganisasian, seperti menjadi staff Badan Pengawas Himpunana Profesi Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (BPHIMPRO HIMASKAP) periode 2009/2010. Pada periode selanjutnya penulis diberikan amanat, dengan terpilih sebagai Ketua Himpunan (Kahim) Himaskap periode 2010/2011.

Penulis juga aktif mengikuti beberapa lomba dan kompetisi baik di bidang akademik maupun di luar akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2010 di bidang Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, Sayembara Desain Babakan Siliwangi, Bandung 2011 sebagai peserta, dan mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang mendukung kegiatan akademis.

Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengelolaan Lanskap.

(11)

DAFTAR TABEL ... xii 

DAFTAR GAMBAR ... xiv 

DAFTAR LAMPIRAN ... xv 

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

1.4 Kerangka Pikir ... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA  4  2.1 Penambangan Batu Bara ... 4

2.2 Lanskap Pasca-Tambang Batubara ... 5

2.3 Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan ... 5

2.4 Lanskap Agroforestri ... 7

BAB 3 METODOLOGI ... 9 

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 9 

3.2 Alat dan Bahan ... 9 

3.3 Metode ... 10 

       3.3.1 Evaluasi lahan ... 10 

       3.3.2 Analisis Sosial-Ekonomi ... 14 

       3.3.3 Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang ... 14 

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20 

4.1 Rona Lanskap ... 20

4.1.1 Topografi ... 22

4.1.2 Tanah ... 22

4.1.3 Iklim ... 24

4.1.4 Hidrologi ... 25

4.1.5 Vegetasi ... 27

4.1.6 Satwa ... 28

4.1.7 Kependudukan ... 29

4.2 Tipe Pemanfaatan Lahan ... 31

4.3 Peta Satuan Lahan ... 33

(12)

4.4 Hasil Kesesuaian Lahan ... 37

4.4.1 Evaluasi Lahan Dengan Kerangka FAO ... 37

4.4.2 Morphoedaphic Index ... 50

4.5 Analisis Sosial-Ekonomi ... 52

4.6 Analisis SWOT ... 52

4.6.1 Identifikasi kekuatan, peluang, dan ancaman ... 53

4.6.2 Penilaian faktor internal dan external ... 54

4.6.3 Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 55

4.6.4 Matriks SWOT ... 57

4.6.5 Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi ... 57

4.7 Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang Bagi Peruntukan Agroforestri ... 58

4.7.1 Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Praktik Agroforestri ... 58

4.7.2 Pembuatan Batas Kawasan Yang Jelas ... 59

4.7.3 Penentuan Jenis Praktik Agroforestri ... 59

4.7.4 Program Pembibitan Tanaman Hutan ... 62

4.7.5 Pemberian Pelatihan Masyarakat ... 63

4.7.6 Peningkatan Kadar pH ... 63

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN  65  5.1 Simpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66 

LAMPIRAN ... 68 

(13)

1. Data Penelitian Terkait ... 11

2. Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS ... 14

3. Formulir tingkat kepentingan faktor internal ... 16

4. Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal ... 16

5. Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal ... 17

6. Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) ... 18

7. Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ... 18

8. Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE)... 18

9. Matriks SWOT ... 19

10. Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT ... 19

11. Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Pit Antasena 2009 ... 20

12. Kualitas air permukaan danau 1 dan 2 ... 26

13. Kadar zat terlarut pada kedalaman tertentu ... 26

14. Vegetasi Area Tidak Diganggu ... 27

15. Vegetasi Area Revegetasi ... 28

16. Satwa di Pit Antasena ... 29

17. Jumlah Penduduk Desa Salaman dan Riam Adungan ... 29

18. Mata Pencaharian Penduduk ... 30

19. Preferensi Pemangku Kepentingan ... 32

20. Kualitas dan Karakteristik lahan ... 34

21. Klasifikasi Kemiringan Lahan Untuk Pertanian ... 34

22. Kelas Kesesuaian Lahan zona I... 39

23. Kelas kesesuaian lahan zona II ... 40

24. Kelas kesesuaian lahan zona III ... 41

25. Kelas kesesuaian lahan zona IV ... 42

26. Hasil perhitungan nilai MEI dan TSS ... 50

27. Tingkat kepentingan faktor internal ... 54

28. Tingkat kepentingan faktor eksternal ... 55

29. Penilaian bobot faktor strategis internal ... 55

(14)

30. Penilaian bobot faktor strategis eksternal ... 55

31. Matriks IFE ... 55

32. Matriks EFE ... 56

33. Matrix SWOT ... 57

34. Tabel Ranking Alternatif Strategi ... 58

35. Kebutuhan Kapur ... 64

(15)

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 3

2. Peta orientasi daerah Satui, Kabupaten Tanah bumbu, Kalimantan Selatan ... 9

3. Ilustrasi Pemetaan Unit Lahan ... 12

4. Lokasi areal Tambang Satui ... 21

5. Peta Kawasan Pit Antasena ... 22

6. Peta TopografiAntasena ... 23

7. Curah Hujan Rata-rata Bulanan (2001-2011) ... 24

8. Suhu udara rata-rata bulanan (1997-2007) ... 25

9. Kelembaban relatif rata- rata bulanan (1997-2007) ... 25

10. Danau ATS 1 ... 26

11. Danau ATS 2 ... 26

12. Area Tidak Diganggu ... 27

13. Area revegetasi ... 28

14. Peta Kemiringan Lahan ... 35

15. Peta Satuan Lahan ... 36

16. Peta kesesuaian tanaman karet ... 43

17. Peta kesesuaian tanaman kelapa sawit ... 44

18. Peta kesesuaian tanaman padi gogo ... 45

19. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu ... 46

20. Peta kesesuaian tanaman tomat ... 47

21. Peta kesesuaian tanaman buncis... 48

22. Peta kessuaian tanaman rumput gajah... 49

23. Peta kesesuaian perairan ... 51

24. Matriks Internal-Eksternal (IE) ... 56

25. Peta overlay kesesuaian... 61

26. Rencana Lanskap ... 62

(16)

2. Daftar Pertanyaan Wawancara Masyarakat ... 70 3. Kriteria kesesuaian lahan komoditas ... 73

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penambangan batubara sangat erat kaitannya dengan isu perusakan lingkungan. PT. Arutmin Indonesia menerapkan metode penambangan terbuka (open pit mining) dalam usahanya untuk mengekstrak batubara. Menurut Mulyanto (2008) metode ini menimbulkan dampak terhadap perubahan lanskap dan kondisi makhluk hidup yang terdapat di sekitar kawasan pertambangan.

Perubahan lanskap ini meliputi perubahan topografi, pola hidrologi, kerusakan tubuh tanah, perubahan vegetasi penutup permukaan tanah, yang pada akhirnya merubah ekosistem tempat dilakukan penambangan terbuka. Berubahnya ekosistem ini menyebabkan kualitas lingkungan menurun, baik dari segi estetika maupun fungsinya. Salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi lingkungan pada area pertambangan adalah dengan kegiatan reklamasi. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.

Kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia, Pit Antasena, yang dijadikan wilayah studi, sudah selesai dan berada pada tahap reklamasi. Dalam mempersiapkan lahan untuk pemanfaatan kembali, PT. Arutmin Indonesia merencanakan kawasan untuk dikembangkan menjadi kawasan praktik agroforestri. Sejatinya, praktik agroforestri dari hulu hingga ke hilir dapat berbentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang selain memiliki peran dalam produksi kebutuhan sandang, papan dan pangan (ekonomi), juga secara ekologis dikelola untuk bisa berperan dalam jasa ekosistem yang meliputi konservasi keragaman jenis hayati, manajemen sumber daya air, penurunan karbon di udara, serta menjaga keindahan lanskap (Arifin et al., 2009). Konsep agroforestri ini sangat cocok dengan visi PT Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat. Tentu saja keberhasilan dari rencana ini tidak lepas dari keterlibatan para pemangku kepentingan

(18)

(stakeholders) yaitu, tidak hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat sekitar dan pemerintah.

Lahan pasca-tambang perlu dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui kesesuaian lahannya bagi praktik agroforestri. Evaluasi lahan adalah penilaian terhadap rona lanskap untuk tujuan tertentu (FAO, 1983). Evaluasi ini dilakukan dengan melakukan penilaian kesesuaian lahan pasca-tambang dengan tujuan pengaplikasian praktik agrofoerstri. Hasil evaluasi lahan ini kemudian dianalisis menggunakan analisis SWOT yang dielaborasi dengan analisis sosial-ekonomi, untuk mendapatkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi pengelolaan lanskap pasca- tambang berdasarkan evaluasi karakteristik lanskap dan kesesuaiannya, bagi peruntukan praktik agroforestri.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pihak perusahaan mengenai kegiatan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan di area pasca-tambang.

1.4 Kerangka Pikir

Strategi pengelolaan lanskap dinilai perlu sebagai usaha untuk mengembangkan kegiatan praktik agroforestri di lahan reklamasi. Kawasan tambang dinyatakan ditutup ketika kandungan batubara pada sebuah kawasan dinilai habis atau tidak dapat memberikan keuntungan ekonomi lagi dari kegiatan pertambangannya. Kawasan inilah yang disebut kawasan pasca-tambang yang kemudian direklamasi. Kawasan reklamasi dipengaruhi oleh aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Dari ketiga aspek ini kemudian akan dievaluasi kesesuaiannya sesuai dengan usulan tipe penggunaan lahan (promotted utilization type) sebagai praktik agroforestri. Evaluasi kesesuaian lahan dan Analisis sosial- ekonomi dilakukan untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan bagi komoditas agroforestri, dan kondisi rona lanskap dari kawasan penelitian. Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi manajemen pasca-tambang untuk praktik agroforestri (Gambar 1).

(19)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Kegiatan Penambangan Batubara

Reklamasi Kawasan Pasca-tambang

Aspek Ekologi:

- Karakteristik lahan - Tingkat degradasi

Aspek Ekonomi - Komitmen owner Aspek Sosial dan Budaya:

- Demografi

- Pengetahuan masyarakat - Preferensi sosial

Evaluasi Lahan

Kesesuaian Lahan untuk Agroforestri Kelas Kesesuaian Lahan (FAO, 1983)

Promotted Land Utilization Types (agroforestry)

Analisis Sosial Ekonomi 

Informasi Rona Lanskap

Analisis SWOT

Strategi Manajemen Lanskap Pasca-tambang Untuk Agroforestri Berupa: kebijakan dan rencana lanskap

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penambangan Batu Bara

Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi oleh Burley, 2001). Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis.

Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:

1. eksplorasi

2. pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energi 3. pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman 4. ekstraksi dan pembuangan limbah batuan

5. pengolahan bijih dan operasional

6. penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya

Menurut Arnold (2001) klasifikasi letak deposit mineral batubara dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, letak deposit batubara jauh dibawah permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan sub- surface mining atau deep mining, atau biasa disebut pertambangan dalam. Kedua, letak deposit mineral batubara yang tidak jauh dari permukaan tanah antara 5 s/d 25 meter dibawah permukaan tanah. Untuk mendapatkan mineral ini biasa didikenal dengan pertambangan permukaan (surface mining).

Sistem penambangan batubara di Indonesia kshususnya di Pulau Kalimantan tidak dilakukan dengan cara deep mining, melainkan surface mining.

Kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi:

1. pembukaan lahan

2. pengupasan dan penimbunan tanah tertutup

3. pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara (Setyawan, 2004 disitasi oleh Feriansyah, 2009)

(21)

2.2 Lanskap Pasca-Tambang Batubara

Kondisi lanskap pasca-tambang batubara selalu terkait dengan bagaimana cara mineral tersebut ditambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara yang tersedia dari permukaan tanah. Pengeksploitasian deposit mineral batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia ialah penambangan secara terbuka (open pit mining). Kegiatan ini dapat mengakibatkan gangguan seperti berikut:

1. menimbulkan lubang besar pada tanah

2. penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian.

3. penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan.

4. bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir.

5. mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organikk/humus atau unsur hara telah tercuci.

2.3 Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan

Pengelolaan lanskap merupakan upaya dalam penataan, pemanfaatan, pemeliharaan , pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup suatu kawasan. Urgensi kegiatan pengelolaan lanskap adalah untuk menjaga keadaan suatu lanskap beserta infrastruktur yang ada di dalamnya, agar tetap sesuai dengan yang direncanakan. Pengelolaan berlangsung dengan membuat program pengelolaan yang terstruktur dan terorganisasi. Program yang terstruktur dan terorganisasi bertujuan agar lanskap tersusun secara sistematis dan mudah dikelola. Program perencanaan perlu mempertimbangkan aspek fisik, sosial, budaya, ekologi, dan ekonomi. Program pengelolaan biasa disebut dengan rencana pengelolaan (management plan).

(22)

Manajemen suatu tapak mempunyai beberapa prinsip yang harus dimiliki pengelola. Sternloff dan Warren (1984) mengemukakan bahwa ada dua belas prinsip sebagai petunjuk dasar untuk mewujudkan program pengelolaan. Yaitu:

a. menetapkan tujuan dan standar pemeliharaan

b. pemeliharaan harus berdasarkan penggunaan waktu, tenaga, alat, dan bahan secara ekonomis

c. pelaksanaan pemeliharaan berdasarkan perencanaan pemeliharaan tertulis

d. jadwal pekerja pemeliharaan harus berdasarkan pada pertimbangan prioritas dan kebijakan

e. seluruh bagian pemeliharaan hendaknya menekankan pada pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance)

f. divisi pemeliharaan harus dikelola dengan baik

g. adanya sumberdaya dana yang cukup untuk mendukung program pemeliharaan

h. adanya sumberdaya tenaga kerja yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemeliharaan

i. adanya tanggung jawab terhadap keamanan pegawai serta masyarakat

j. program pengelolaan harus dirancang untuk memelihara lingkungan alami

k. pemeliharaan harus menjadi pertimbangan utama dalam perancangan dan pembangunan taman dan fasilitasnya

l. pegawai bagian pemeliharaan bertanggung jawab bagi pencitraan masyarakat terhadap dinas pertamanan

Dalam hubungannya dengan pertambangan, kegiatan pengelolaan lanskap ini memiliki fungsi penting dalam mengembalikan kondisi lahan pasca-tambang.

Kegiatan pasca-tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).

(23)

2.4 Lanskap Agroforestri

Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) merupakan objek bentang alam yang dalam penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola agroforestri (Arifin et al., 2009). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.

Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Menurut Sardjono et al., (2003) Ditinjau dari komponen penyusunnya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Agrosilvikultur

Agrosilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops/ perenial) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam agrosilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan.

b. Silvopastura

Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals

(24)

and wood products). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama.

c. Agrosilvopastura

Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar, dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.

(25)

BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Arutmin Indonesia Tambang Satui.

Secara georafis, lokasi tambang ini terletak di Kecamatan Satui Provinsi Kalimantan Selatan (Gambar 2). Secara astronomis areal kawasan Tambang Satui terletak pada 03o36’1” – 03 o48’35” LS dan 115 o7’39” – 115 o28’25” BT.

Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama empat bulan, dimulai pada Februari 2011 sampai dengan Mei 2011.

Sumber: http://www.Google.com (2011)

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan pada saat pengambilan data yaitu kamera digital, Relevee sheet, dan kuisioner wawancara. Pengolahan data atau gambar secara komputerisasi, menggunakan software Auto Cad, Arc View GIS 3.3, Sketch Up, serta Adobe Photoshop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data aspek ekologis, sosial budaya, dan ekonomi, referensi berupa laporan terdahulu yang terdapat di tempat penelitian, serta dokumen perusahaan yang bersifat menunjang kegiatan penelitian seperti, dokumen AMDAL, dan laporan

Gambar 2. Peta orientasi daerah Satui, Kabupaten Tanah bumbu, Kalimantan Selatan

(26)

pemantauan lingkungan. Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar sudah disediakan oleh perusahaan.

3.3 Metode

Penelitian dilakukan untuk memperoleh hasil berupa strategi manajemen lahan pasca-tambang berdasarkan evaluasi karakteristik lahan kawasan, untuk pemanfaatan kegiatan agroforestri. Proses Penelitian yang dilakukan meliputi evaluasi lahan, analisis sosial-ekonomi, sampai penyusunan strategi manajemen pasca-tambang.

3.3.1 Evaluasi lahan

Metode evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada FAO (1983).

Metode ini digunakan untuk memilih tata guna lahan yang optimal bagi satuan lahan yang telah ditentukan, dengan mempertimbangkan aspek fisik dan sosial- ekonomi, juga juga aspek lingkungan atau bio-fisik dari suatu lahan (FAO, 1983).

Kegiatan evaluasi lahan terdiri atas dua hal penting yaitu, penjelasan atas tata guna lahan terkait atau tipe pemanfaatan lahan (land utilization type), dan penilaian atas syarat-syarat tata guna lahan tersebut. Tahapan dari evaluasi ini meliputi, peninjauan rona lanskap, penentuan tipe pemanfaatan lahan, pemetaan unit lahan (land unit mapping), pengklasifikasian kelas kesesuaian (class suitability).

3.3.1.1 Penentuan Tipe Pemanfaatan Lahan

Tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) merupakan penjelasan secara rinci atas tata guna lahan, berdasarkan spesifikasi teknis dari keadaan aspek fisik, dan sosial ekonomi, seperti komponen penyusun yang digunakan, dan interaksinya dengan masyarakat (FAO, 1983). Pada skala tertentu jenis tanaman dapat dianggap sebagai tipe pemanfaatan lahan dengan menyediakan pernyataan kepentingan akan keadaan ekonomi-sosial pada kawasan tersebut. Tipe pemanfaatan lahan harus ditentukan diawal kegiatan evaluasi dikarenakan penilaian syarat tata guna lahan mengacu pada hal tersebut.

3.3.1.2 Peninjauan Rona Lanskap

Kondisi rona lanskap meliputi kondisi umum, dan biofisik kawasan (Tabel 1). Peninjauan kondisi rona lanskap menggunakan formulir survei Relevee Sheet.

(27)

Kata Relevee, berasal dari bahasa perancis yang dapat diartikan sebagai daftar, pernyataan atau rekapitulasi. Dalam penggunaanya, relevee sheet terdiri atas daftar tanaman beserta informasi kondisi lingkungan yang mendukungnya (Minnesota Department of Natural Resources, 2007). Oleh karena itu, dengan formulir survei ini, akan didapatkan data fisik dan biofisik dari kawasan tersebut.

Selain itu, studi literatur juga dilakukan dengan menggunakan dokumen AMDAL tahun 2009 yang dibuat pihak perusahaan setelah penambangan pada kawasan ini selesai. Data juga didapatkan dari hasil penilitian baik mahasiswa maupun pihak professional yang pernah melakukan penelitian pada kawasan pertambangan PT Arutmin Indonesia.

Tabel 1. Data Penelitian Terkait

No. Jenis Data Indikator

Pengamatan Unit Sumber Analisis Kegunaan Rona Lanskap (ekologi)

1 Kondisi Umum Letak dan

batas wilayah koordinat Pihak pengelola Deskriptif Mengetahui kesesuaian lahan

Luas area ha Pihak pengelola

2 Kondisi biofisik dan fisik

Vegetasi spesies Observasi/ Pihak pengelola Evaluasi

kesesuaian lahan

Mengetahui kesesuaian lahan

Satwa spesies Observasi/ Pihak

pengelola

Topografi - Observasi/ Pihak

pengelola Curah hujan mm/ bulan Pihak pengelola

Temperatur 0C Pihak pengelola

Kelembaban

relatif

% RH Pihak pengelola

Tanah - Observasi/ Pihak

pengelola

Hidrologi Kualitas

air Observasi/ Pihak pengelola

Morpho- edaphic index Aspek Sosial-budaya

3 Demografi Jumlah pemukim, Pekerjaan

orang Wawancara/ Analisis deskriptif

Mengetahui komitmen perusahaan Observasi Pihak

pengelola 4 Preferensi

sosial Presepsi dari masyarakat, pemerintah, dan perusahaan

- Wawancara/

Observasi pihak pengelola

Analisis

deskriptif Mengetahui komitmen perusahaan Aspek Ekonomi

5 Mata pencaharian penduduk

Jenis mata pencaharian penduduk

- Wawancara Pihak pengelola Analisis

deskriptif Mengetahui komitmen perusahaan

(28)

3.3.1.3 Pemetaan Satuan Lahan

Menurut FAO (1983) satuan lahan (land unit) adalah area atau lahan yang memliki karakteristik dan kualitas lahan spesifik yang biasa disajikan dengan pemetaan, yang digunakan sebagai dasar dari evaluasi lahan (Gambar 3).

Karakteristik lahan (land characteristic) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia dan sebagainya. Sedangkan, Kualitas lahan (land quality) adalah sifat-sifat lahan yang tidak dapat diukur langsung karena merupakan interaksi dari beberapa karakterisitik lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Gambar 3. Ilustrasi Pemetaan Unit Lahan

Dalam memetakan satuan lahan ini, masing-masing dari tiap kelompok lahan memiliki karakteristik serta kualitas lahan yang seragam. Pengelompokan haruslah sesuai untuk penggunaan lahan yang ditentukan. Unit lahan yang sudah ditentukan, pada akhir survei, akan ditinjau ulang dan dicocokan dengan tipe penggunaan lahan (kesesuaian lahan). Dengan peninjauan ulang ini akan didapatkan hasil yang lebih akurat.

3.3.1.4 Pengklasifikasian Kesesuain

a. Pengklasifikasian Kelas Kesesuaian Lahan

Pengklasifikasian kelas kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan keseuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu.

Metode yang digunakan masih mengacu pada kerangka klasifikasi menurut FAO (1983). Secara ringkas, metode FAO membagi kesesuain lahan dengan menyesuaikan kualitas lahan yang telah dievaluasi dengan komoditas (tipe

1  2 

3  4 

5

(29)

pemanfaatan lahan), dengan membaginya berdasarkan kelas – kelas. Adapun pembagian kelas tersebut secara kualitatif, sebagai berikut:

1. Kelas S1: Sangat sesuai. Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikan masukan yang telah biasa diberikan

2. Kelas S2: Cukup sesuai. Lahan memiliki pembatas yang cukup besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.

Pembatas akan mengurangi produk atau kuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan

3. Kelas S3: Kurang sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan.pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diatasi dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

5. Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mmpunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan pengunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Dengan melakukan analisis kesesuaian lahan, maka didapatkan kelas kesesuaian lahannya. Kelas kesesuaian lahan menunjukan keadaan lahan pada saat ini yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor – faktor pembatas yang ada.

b. Morphoedaphic Index (MEI)

Metode ini merupakan salah satu metode yang efisien untuk menilai produktivitas perairan. Dengan melihat produktifitas perairan, maka kita dapat mengasumsikan apakah perairan ini cocok atau tidak untuk perikanan (Santoso, 2008). MEI didapatkan dengan menghitung ratio antara padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/ TDS) dengan nilai tengah dari kedalaman perairan.

(30)

Semakin tinggi nilai MEI maka perairan akan semakin berkurang tingkat produktivitasnya.

Keterangan:

MEI : Nilai Morphoedaphic Indeks Total Dissolved Solids : Padatan terlarut total

Mean depth : Rata-rata kedalaman

Kemudian dari nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended solid/ TSS) dapat diklasifikasikan sebuah perairan atau danau baik atau tidaknya untuk kegiatan perikanan. Tabel kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS

Nilai TSS (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan

< 25 Tidak berpengaruh 25 - 80 Sedikit berpengaruh

81 - 400 Kurang baik

> 400 Tidak baik Sumber: Alabaster dan Lloyd, 1982 disitasi Santoso, 2008

3.3.2 Analisis Sosial-Ekonomi

Analisis sosial-ekonomi digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya. Peninjauan kondisi sosial-budaya dan ekonomi menggunakan wawancara dengan kuisioner (Lampiran 2) yang dilakukan terhadap Key Person dari kalangan masyarakat maupun perusahaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat penggunaan lahan merupakan tanggung jawab bersama.

3.3.3 Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang

Pada tahap ini kelas kesesuaian lahan yang didapatkan akan ditentukan strategi pengelolaannya agar tipe penggunaan lahan bisa sesuai dengan lahannya, berdasarkan data yang sudah diinventarisasi dan dianalisis. Tahap pertama dari pengevaluasian ini ialah dengan mensitesis data yang sudah dianalisis dengan menggunakan metode SWOT. Setelah data disintesis, maka akan didapatkan strategi yang dibutuhkan oleh pengelola. Strategi ini kemudian digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi lahan pasca-tambang, yang kemudian dikembangkan,

(31)

sehingga tercipta suatu rencana pengelolaan lanskap pasca-tambang yang sesuai dan berkelanjutan.

3.3.3.1 Metode SWOT

Menurut Rangkuti (2009) Metode Swot digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Metode ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths), dan peluang (Opputunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness). dan ancaman (Threats). Proses perumusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, dan kebijakan perusahaan.

Dari metode SWOT ini akan dihasilkan matriks SWOT. Matriks SWOT merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan empat golongan alternatif strategi yang dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternative berdasarkan aspek S (strengths), W (weakness), O (oppoturnities), dan T (threats). Keempat strategi itu antara lain:

 SO, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

 ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman

 WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada

 WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut:

a. Analisis Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Penilaian faktor internal (IFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan serta memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Sedangkan penilaian faktor eksternal (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang

(32)

yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008 yang disitasi Rangkuti, 2009). Identifikasi berbagai faktor tersebut secara sistematis digunakan untuk merumuskan strategi untuk manajemen Kawasan.

b. Penentuan Bobot Setiap Variable

Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingannya. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 3 dan 4).

Tabel 3. Formulir tingkat kepentingan faktor internal

Simbol Faktor kekuatan (strength) Tingkat kepentingan S1

S2 S3 Sn

Simbol Faktor kelemahan (weakness) Tingkat kepentingan W1

W2 W3

Wn

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 4. Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal

Simbol Faktor peluang (oportunity) Tingkat kepentingan O1

O2 O3 On

Simbol Faktor ancaman (threat) Tingkat kepentingan T1

T2 T3

Tn

Sumber: Rangkuti, 2009

Penentuan bobot dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak pengelola. Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal (Tabel 5).

(33)

Tabel 5. Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal

Faktor strategis internal/ external A B C D E Total

A

B

C

D

E

Total

Sumber: Rangkuti, 2009

Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4. Variabel diberi bobot 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal.

Variabel diberi bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertical. Variabel diberi bobot 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertical. Bobot 4 diberikan pada variabel jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor internal.

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

ai = bobot variable ke-i xi = nilai variable ke-i i = 1,2,3,…,n n = jumlah variabel

c. Penentuan Peringkat (rating)

Penentuan tiap variabel terhadap kondisi objek diukur dengan menggunakan nilai peringkat berskala 1-4 terhadap masing-masing faktor strategis yang dimiliki Kawasan. Nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada setiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan (Tabel 6). Total skor pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan IFE di bawah 2,5 maka dapat dinyatakan bahwa kondisi internal lemah, sedangkan jika berada di atas 2,5 maka dinyatakan kondisi internal kuat, Demikian juga total pembobotan EFE, jika dibawah 2,5 menyatakan bahwa

(34)

kondisi eksternal lemah dan jika di atas 2,5 menyatakan bahwa kondisi eksternal kuat (Tabel 7 dan Tabel 8).

d. Penyusunan Alternatif Strategi

Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks SWOT (Tabel 9). Hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman digambarkan dalam matriks tersebut.

Matriks ini menghasilkan beberapa alternatif strategi sehingga kekuatan dan peluang dapat ditingkatkan serta kelemahan dan ancaman dapat diatasi.

Tabel 6. Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)

Nilai Peringkat

Matriks IFE Matriks EFE

Strength (S) Weakness (W) Opportunity (O) Threat (T) 1 Kekuatan

sangat kecil

Kelemahan sangat berarti

Peluang rendah, respon kurang

Ancaman sangat besar 2 Kekuatan

sedang

Kelemahan yang berarti

Peluang rendah

respon rata-rata Ancaman besar 3 Kekuatan

besar

Kelemahan yang kurang berarti

Peluang tinggi, respon di atas rata-rata

Ancaman sedang

4 Kekuatan sangat besar

Kelemahan yang tidak berarti

peluang sangat tinggi, respon di atas rata-rata

Ancaman sedikit Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 7. Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor strategis internal Bobot Rating Skor (Bobot x Rating) Kekuatan

1.

Kelemahan 1.

Total Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 8. Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE)

Faktor strategis External Bobot Rating Skor (Bobot x Rating) Peluang

1.

Ancaman 1.

Total

Sumber: Rangkuti, 2009

(35)

e. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi

Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan akan menetukan rangking prioritas strategi (Tabel 10). Jumlah skor ini diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Rangking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai terkecil dari semua strategi yang ada. Perangkingan ini dilakukan secara subjektif dimana strategi akan berupa usaha memaksimumkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) serta meminimumkan ancaman (threats) dan kelemahan (weaknesses).

Tabel 9. Matriks SWOT

Eksternal Oppotunities Threats

Internal

Strengths Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil kesempatan yang ada

Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mentgatasi ancaman yang dihadapi

Weakness Mendapatkan keuntungan dari kesempatan yang ada untuk mengatasi kelemahan- kelemahan

Meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 10. Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT

Alternatif strategi Keterkaitan dengan unsur SWOT Nilai Rangking SO1

SO2 SOn WO1 WO2 WOn ST1 ST2 STn WT1 WT2

WTn

Sumber: Rangkuti, 2009

(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rona Lanskap

Kawasan Tambang ini secara administratif terletak pada Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut.

Kawasan Tambang Satui PT. Arutmin Indonesia dapat ditempuh melalui jalan provinsi dengan jarak 165 km dari Ibu Kota Kalimantan Selatan Banjarmasin ke arah tenggara (Gambar 4).

Kawasan Penilitian difokuskan pada Pit Antasena yang terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu. Kawasan ini memiliki luas areal 434,706 ha (Tabel 11). Pit antasena selesai ditambang pada tahun 2009, dan sampai sekarang kegiatan reklamasi pada kawasan ini masih terus dilakukan (Gambar 5). Hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab serta kewajiban PT Arutmin Indonesia terhadap lingkungan.

Tabel 11. Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Pit Antasena 2009

No. Kawasan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Areal Penimbunan Tanah Pucuk 5,38 1,24

2 Areal Tambang Aktif 64,37 14,81

3 Areal Telah Ditanami 162,15 37,30

4 Areal Telah Ditata Kembali 68,74 15,81

5 Areal Telah Ditebar Tanah Pucuk 55,01 12,66

6 Areal Tidak Diganggu 12,72 2,93

7 Areal Timbunan Batuan Penutup di Dalam Tambang

57,68 13,27

8 Jalan Angkut 4,49 1,03

9 Kolam Pengendapan 4,13 0,95

Total 434,70 100,00

Sumber: PT Arutmin, 2011

(37)

Pit Antasena Gambar 4. Lokasi areal Tambang Satui Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

(38)

Sumber: Dokumen PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 5. Peta Kawasan Pit Antasena 4.1.1 Topografi

Keadaan permukaan kawasan pasca-tambang Pit Antasena relatif bergelombang (undulating). Hal ini disebabkan oleh adanya timbunan bahan galian dari proses penambangan. Secara umum topografi area reklamasi didesain sesuai dengan standar operasional (SOP) untuk pelaksanaan reklamasi yaitu sampai kemiringan lereng secara umum maksimal 25% pada daerah timbunan (dumping area) yang berlereng melalui kegiatan cut and fill. Sedangkan untuk daerah yang relatif datar akan dibiarkan seperti itu sehingga membentuk topografi akhir tambang ketika tambang akan ditutup. Titik tertinggi Pit Antasena terletak pada ketinggian 67 meter dari permukaan laut (m dpl), dan titik terendahnya berada pada -93 m dpl yang berada di dasar danau tambang. (Gambar 6).

4.1.2 Tanah

Pada kawasan penelitian Tanah Ultisol (podsolik) merupakan jenis tanah dengan areal yang terluas. Ultisol merupakan tanah yang berkembang lanjut.

Tanah ini bersifat masam dengan kandungan basa pencucian yang ekstensif.

Tanah di wilayah penelitian memliki tekstur lempung liat berpasir dengan persentase pasir sebesar 52%, debu 4%, dan liat 44%. Dengan tekstur seperti ini, tanah memiliki perkembangan struktur yang kuat.

(39)

 

Gambar 6. Peta TopografiAntasena

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

(40)

Beradasarkan uji laborotorium sample tanah (AMDAL, 2009), didapatkan kadar kemasaman tanah di wilayah penelitian cukup masam, dengan pH 4.17.

Sifat kimia tanah di lokasi studi dapat dikarakteristikan dengan kandungan kapasitas tukar kation (KTK) sebesar 13.81 (me/100 g), C-organik sebesar 1.56%

kandungan nitrogen sebesar 0.19%, dan kandungan P2O5 sebesar 9.37 mg/ 100 gram tanah. Kandungan Ca-tukar sebesar 3.06 me/ 100 gram tanah, dan kandungan Mg-tukar sebesar 0.77 me/ 100 gram tanah. Kandungan K-tukar sebesar 0.19 me/100 gram tanah, kandungan alumunium pada tanah sebesar 6.17

%, dan kandungan Fe tanah sebesar 25361 ppm.

4.1.3 Iklim

Berdasarkan data curah hujan tahun 2001-2011 (Gambar 7) curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan nilai 400 mm. Nilai curah hujan terendah sebesar 150 mm terjadi pada bulan September dengan bulan kering (<60mm) sebanyak 1 – 2 bulan. Suhu udara di kawasan memiliki fluktuasi yang tidak terlalu signifikan. Suhu tertinggi terjadi pada bulan September sebesar 27.7oC, dan suhu terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 26.6oC (Gambar 8).

Kelembaban relatif udara rata-rata bulanan berkisar antara 74 % – 85 % (Gambar 9).

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

Gambar 7. Curah Hujan Rata-rata Bulanan (2001-2011) 0.0

50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 350.0 400.0 450.0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

Curah Hujan (mm)

(41)

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 8. Suhu udara rata-rata bulanan (1997-2007)

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 9. Kelembaban relatif rata- rata bulanan (1997-2007) 4.1.4 Hidrologi

Kegiatan pertambangan pada Pit Antasena yang sudah berlangsung menghasilkan dua lubang bukaan tambang (void). Danau ini terbentuk dari tampungan air hujan, dan aliran permukaan. Void diberi nama Danau ATS 1, dan Danau ATS 2 (Gambar 10 dan Gambar 11). Kualitas air permukaan danau ini disampaikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

26 26.2 26.4 26.6 26.8 27 27.2 27.4 27.6 27.8

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES Suhu Udara (o C)Kelembaban Relatif (%)

(42)

Sumber: Pengamatan, 2011

Gambar 10. Danau ATS 1

Sumber: Pengamatan, 2011

Gambar 11. Danau ATS 2

Tabel 12. Kualitas air permukaan danau 1 dan 2

No. Parameter ATS 1 ATS 2 Satuan

1 pH 7.94 7.8 -

2 Residu tersuspensi (TSS) 23 23 mg/L 3 Residu terlarut (TDS) 390 298 mg/L

4 Fe 0.182 0.070 mg/L

5 Mn 0.032 2.35 mg/L

6 Cd 0.007 0.006 mg/L

7 Zn 0.008 0.021 mg/L

8 Sulfat 151 128 mg/L

9 Pb 0.006 0.007 mg/L

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

Tabel 13. Kadar zat terlarut pada kedalaman tertentu

Kedalaman (m) ATS 1

TSS (mg/l) TDS (mg/l)

10 23 390

20 26 394

30 22 405

Kedalaman (m) ATS 2

TSS (mg/l) TDS (mg/l)

10 23 298

20 20 296

30 154 312

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

(43)

4.1.5 Vegetasi

Berdasarkan AMDAL (2009), vegetasi pada kawasan penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan area tumbuhnya yaitu, area tidak terganggu (undisturbed area) dan area revegetasi. Vegetasi pada area tidak terganggu terdiri atas tanaman hutan sekunder, alang-alang serta semak (Tabel 14). Pada kawasan ini ditemukan tanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan tanaman khas daerah Kalimantan, yang sudah sulit ditemukan. Area yang tidak diganggu ini dipertahankan keberadaannya selain dapat menjadi habitat satwa lokal, area tidak diganggu ini dapat menjadi sumber bibit, untuk diperbanyak, sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk lingkungan (Gambar 12).

Tabel 14. Vegetasi Area Tidak Diganggu

No. Nama Botani Nama Lokal

1 Acacia mangium Akasia

2 Alstonia sp. Pulai

3 Anthocepalus cadamba Jabon

4 Arthocarpus elastica Tarap

5 Artocarpus sp. Mada

6 Dillenia grandifolia Simpur

7 Dracontomelon mangiferum Singkuang

8 Eugenia sp. Jambu Burung

9 Eusideroxylon zwageri Ulin

10 Ficus variegata Luwa

11 Hibiscus tiliaceus Waru

12 Litsea sp. Medang

13 Macaranga sp. Mahang

14 Peronema canescens Sungkai

15 Pterospermum celebicum Bayur

16 Shorea sp. Latung

17 Vitex pubescens Alaban

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 12. Area Tidak Diganggu

(44)

Area revegetasi dibentuk oleh tanaman cepat tumbuh (fast growing) yang sengaja ditanam pada tahap reklamasi (Gambar 13). Kegiatan revegetasi atau penanaman kembali lahan-lahan yang terbuka dimaksudkan untuk mengembalikan penutupan lahan dan memulihkan kesuburan tanah. Perusahaan mengkombinasikan tanaman introduksi dan tanaman lokal dalam penerapannya.

Tanaman introduksi seperti, akasia daun kecil (Accacia auriculiformis), dan akasia daun lebar (Accacia mangium). Untuk tanaman lokal PT. Artumin Indonesia menggunakan sengon (Paraserianthes falcataria) (Tabel 15).

Tabel 15. Vegetasi Area Revegetasi

No. Nama Botani Nama Lokal

1 Accacia auriculiformis Akasia daun kecil 2 Accacia mangium Akasia daun lebar 3 Paraserianthes falcataria Sengon

Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009 4.1.6 Satwa

Satwa yang ditemukan berupa jenis Aves, yang menjadikan area hutan sekunder sebagai habitatnya. Beberapa jenis Aves yang terlihat antara lain, elang (Nisaetus cirrhatus), gagak (Carvus macrorhynchus), keruang (Pycnonotus brunneus), layang-layang (Delichon dasypus), pipit (Lonchura leucogasta). Selain jenis Aves, pada kawasan ini juga ditemukan satwa jenis mamalia berupa bajing (Glyphotes simus), dan reptilia seperti kadal (Mabouya fasiculate), ular tanah (Angkistrodon rhodostima), dan biawak (Varanus albigularis) (Tabel 16).

  Gambar 13. Area revegetasi

(45)

Tabel 16. Satwa di Pit Antasena

No. Nama Species Nama Ilmiah

Aves

1 Elang Nisaetus cirrhatus

2 Gagak Carvus macrorhynchus

3 Keruang Pycnonotus brunneus

4 Layang-layang Delichon dasypus

5 Pipit Lonchura leucogasta

Mamalia

6 Bajing Glyphotes simus

Reptilia

7 Kadal Mabouya fasciculate

8 Ular Tanah Angkistrodon rhodostima

9 Biawak Varanus albigularis

Sumber: Data pemantauan lingkungan PT. Arutmin, 2010 4.1.7 Kependudukan

Pada kecamatan Kintap tersebar 6 desa, meliputi: Salaman, Riam Adungan, Pasir Putih, Sungai Cuka, Kintapura dan Kintap Kecil. Pada penelitian ini difokuskan pada Desa Salaman dan Riam Adungan karena letaknya yang paling berdekatan dengan Pit Antasena.

4.1.7.1 Demografi

Keadaan kependudukan pada masing-masing desa wilayah studi Berdasarkan data Kecamatan Satui dan Kecamatan Kintap dalam angka cukup bervariasi. Kepadatan penduduk di Desa Salaman sebesar 122 jiwa per km2 dan Desa Riam Adungan sebesar 6 jiwa per km2. Berdasarkan perbandingan antara jumlah laki-laki dengan perempuan, dapat dilihat jumalah penduduk laki-laki relatif lebih banyak disbanding perempuan, hal ini umum terjadi pada daerah- daerah yang menjadi tujuan pendatang (Tabel 17).

Tabel 17. Jumlah Penduduk Desa Salaman dan Riam Adungan No. Desa Luas

(km2)

Penduduk (jiwa) Jumlah rumah tangga

Kepadatan (jiwa/km2) Laki-

Laki Perempuan Jumlah Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut

1 Salaman 10,00 618 604 1.222 370 122 2 Riam

Adungan 191,00 583 559 1.142 201 6 Sumber: Kecamatan Kintap dan Satui dalam Angka, 2007/2008

(46)

4.1.7.2 Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terbesar adalah sebagai petani (dalam arti luas) yang mencapai 490 orang (atau sebesar 49.8%) dari seluruh jumlah penduduk yang sudah bekerja sebanyak 983 orang. Petani pemilik sub sektor tanaman pangan menduduki urutan tertinggi dengan jumlah 250 orang (25.4%), petani perkebunan sebanyak 40 orang (4.1%), dan peternak sebanyak 30 orang (3.1%). Selain sebagai petani pemilik, juga terdapat buruh tani yang mencapai 170 orang atau sebesar 17.3%, yang umumnya merupakan buruh lepas di perusahaan-perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.

Selain sebagai petani pemilik dan buruh tani terdapat mata pencaharian lainnya dengan jumlah sebanyak 493 orang (50,2%). Kategori mata pencaharian lainnya ini antara lain, PNS (TNI, POLRI, Pensiunan), pedagang, Jasa transportasi (supir angkutan, ojek), buruh bangunan, pekerja bengkel, karyawan, dan tukang.

Walaupun memiliki presentasi yang besar, apabila dirincikan lebih detail memiliki nilai yang tidak terlalu signifikan (Tabel 18).

Tabel 18. Mata Pencaharian Penduduk

No. Mata Pecaharian

Kecamatan/ Desa

Jumlah Persentase Salaman Riam (%)

Adungan

1 Petani tanaman pangan 150 100 250 25.4

2 Petani Perkebunan 40 - 40 4.1

3 Peternak 30 - 30 3.1

4 Buruh Tani 20 150 170 17.3

5 Lainnya 221 272 493 50.2

Jumlah 461 522 983 100.0

Sumber: Kantor Kepala Desa, 2009

Selain Mata pencaharian yang telah disebutkan diatas, masyarakat juga ada yang bermata pencaharian sebagai penambang tanpa ijin (PETI). Keberadaan PETI ini sedikit banyak menggangu lahan yang sudah direklamasi. Selain itu, kegiatan pengangkutan hasil tambang yang dilakukan PETI ini juga dinilai mengganggu masyarakat sekitar.

(47)

4.2 Tipe Pemanfaatan Lahan

Dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya, kontribusi dari para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soelarno (2008) yang menyatakan bahwa, kegiatan perencanaan penutupan tambang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Salah satu bentuk keterlibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan penutupan tambang ialah menentukan tipe pemanfaatan lahan. Dalam mengambil keputusan ini, harus didapatkan visi yang sejalan sehingga pembangunan nantinya dapat berjalan selaras dan lestari.

Preferensi pemerintah dapat kita tinjau dari keputusan yang ada.

Berdasarkan surat rekomendasi gubernur No. surat: 522/750/pola/dishut (Lampiran 1), pemerintah menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL). Pada dokumen RTRWP, dijelaskan bahwa area ini termasuk dalam Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP). Dalam RTRWK , area penelitian dibagi atas dua wilayah, yaitu kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan budidaya perikanan.

Preferensi masyarakat didapatkan dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa key person dari masyarakat dengan menggunakan daftar pertanyaan (Lampiran 2). Berdasarkan hasil wawancara penduduk sekitar sudah mengerti akan dampak yang disebebkan oleh kegiatan pertambangan. Dalam pemanfaatan lahan selanjutnya, penduduk sangat menginginkan area reklamasi di Antasena untuk dijadikan lahan perkebunan karet/ kelapa sawit. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah familiar dengan komoditas tersebut. Menurut mereka, daripada tanaman akasia yang dibiarkan begitu saja, lebih baik ditanami karet atau sawit yang lebih cepat menghasilkan produk. Selain itu mereka juga menginginkan adanya keramba untuk usaha perikanan.

Preferensi perusahaan didapatkan melalui kegiatan wawancara dengan key person dari perusahaan yaitu karyawan PT. Arutmin Indonesia departemen Keamanan Kesehatan dan Lingkungan (K2L). PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui mengusulkan agroforestri sebagai rencana pemanfaatan lahan. Selain dapat memberikan jasa bagi lingkungan dengan mengkonservasi keanekaraman hayati, agroforestri juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui hasil

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2. Peta orientasi daerah Satui,  Kabupaten Tanah bumbu, Kalimantan  Selatan
Tabel 1. Data Penelitian Terkait
Tabel 2. Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS
+7

Referensi

Dokumen terkait

7 a) Dalam menghitung diskonto arus kas dalam metode EVE, margin komersial dan spread components lainnya telah diperhitungkan dalam arus kas hingga jatuh.. b) NMD

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkat dan kasih karunia serta kekuatan yang diberikanNya sehingga penulis dapat

Dalam hal penjualan kembali Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS OMEGA dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Penjualan Kembali

Data dasar dicatat dari rekam medis (jumlah pasien, umur, jenis kelamin, waktu kunjungan), anamnesis (keluhan utama, riwayat atopi, faktor yang berpengaruh), pemeriksaan fisik

[r]

(2) Dalam hal pelamar khusus Diaspora yang memiliki ijazah dari lulusan perguruan tinggi luar negeri dan telah dinyatakan lulus, tetapi di kemudian hari tidak dapat

Karakteristik lain dari mata pelajaran tersebut dalam proses pembelajaran menuntut siswa dapat melakukan pekerjaan langkah demi langkah sehingga terwujud tujuan

Semua informasi yang diperoleh dari kuesioner ini hanya akan saya gunakan untuk keperluan penelitian saya dan saya akan menjaga kerahasiaannya sesuai dengan etika penelitiana.