• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Rona Lanskap

Kawasan Tambang ini secara administratif terletak pada Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut.

Kawasan Tambang Satui PT. Arutmin Indonesia dapat ditempuh melalui jalan provinsi dengan jarak 165 km dari Ibu Kota Kalimantan Selatan Banjarmasin ke arah tenggara (Gambar 4).

Kawasan Penilitian difokuskan pada Pit Antasena yang terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu. Kawasan ini memiliki luas areal 434,706 ha (Tabel 11). Pit antasena selesai ditambang pada tahun 2009, dan sampai sekarang kegiatan reklamasi pada kawasan ini masih terus dilakukan (Gambar 5). Hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab serta kewajiban PT Arutmin Indonesia terhadap lingkungan.

Tabel 11. Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang Satui, Pit Antasena 2009

No. Kawasan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Areal Penimbunan Tanah Pucuk 5,38 1,24

2 Areal Tambang Aktif 64,37 14,81

3 Areal Telah Ditanami 162,15 37,30

4 Areal Telah Ditata Kembali 68,74 15,81

5 Areal Telah Ditebar Tanah Pucuk 55,01 12,66

6 Areal Tidak Diganggu 12,72 2,93

7 Areal Timbunan Batuan Penutup di Dalam Tambang

57,68 13,27

8 Jalan Angkut 4,49 1,03

9 Kolam Pengendapan 4,13 0,95

Total 434,70 100,00

Sumber: PT Arutmin, 2011

Pit Antasena Gambar 4. Lokasi areal Tambang Satui Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Sumber: Dokumen PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 5. Peta Kawasan Pit Antasena 4.1.1 Topografi

Keadaan permukaan kawasan pasca-tambang Pit Antasena relatif bergelombang (undulating). Hal ini disebabkan oleh adanya timbunan bahan galian dari proses penambangan. Secara umum topografi area reklamasi didesain sesuai dengan standar operasional (SOP) untuk pelaksanaan reklamasi yaitu sampai kemiringan lereng secara umum maksimal 25% pada daerah timbunan (dumping area) yang berlereng melalui kegiatan cut and fill. Sedangkan untuk daerah yang relatif datar akan dibiarkan seperti itu sehingga membentuk topografi akhir tambang ketika tambang akan ditutup. Titik tertinggi Pit Antasena terletak pada ketinggian 67 meter dari permukaan laut (m dpl), dan titik terendahnya berada pada -93 m dpl yang berada di dasar danau tambang. (Gambar 6).

4.1.2 Tanah

Pada kawasan penelitian Tanah Ultisol (podsolik) merupakan jenis tanah dengan areal yang terluas. Ultisol merupakan tanah yang berkembang lanjut.

Tanah ini bersifat masam dengan kandungan basa pencucian yang ekstensif.

Tanah di wilayah penelitian memliki tekstur lempung liat berpasir dengan persentase pasir sebesar 52%, debu 4%, dan liat 44%. Dengan tekstur seperti ini, tanah memiliki perkembangan struktur yang kuat.

 

Gambar 6. Peta TopografiAntasena

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Beradasarkan uji laborotorium sample tanah (AMDAL, 2009), didapatkan kadar kemasaman tanah di wilayah penelitian cukup masam, dengan pH 4.17.

Sifat kimia tanah di lokasi studi dapat dikarakteristikan dengan kandungan kapasitas tukar kation (KTK) sebesar 13.81 (me/100 g), C-organik sebesar 1.56%

kandungan nitrogen sebesar 0.19%, dan kandungan P2O5 sebesar 9.37 mg/ 100 gram tanah. Kandungan Ca-tukar sebesar 3.06 me/ 100 gram tanah, dan kandungan Mg-tukar sebesar 0.77 me/ 100 gram tanah. Kandungan K-tukar sebesar 0.19 me/100 gram tanah, kandungan alumunium pada tanah sebesar 6.17

%, dan kandungan Fe tanah sebesar 25361 ppm.

4.1.3 Iklim

Berdasarkan data curah hujan tahun 2001-2011 (Gambar 7) curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan nilai 400 mm. Nilai curah hujan terendah sebesar 150 mm terjadi pada bulan September dengan bulan kering (<60mm) sebanyak 1 – 2 bulan. Suhu udara di kawasan memiliki fluktuasi yang tidak terlalu signifikan. Suhu tertinggi terjadi pada bulan September sebesar 27.7oC, dan suhu terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 26.6oC (Gambar 8).

Kelembaban relatif udara rata-rata bulanan berkisar antara 74 % – 85 % (Gambar 9).

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

Gambar 7. Curah Hujan Rata-rata Bulanan (2001-2011) 0.0

50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 350.0 400.0 450.0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

Curah Hujan (mm)

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 8. Suhu udara rata-rata bulanan (1997-2007)

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 9. Kelembaban relatif rata- rata bulanan (1997-2007) 4.1.4 Hidrologi

Kegiatan pertambangan pada Pit Antasena yang sudah berlangsung menghasilkan dua lubang bukaan tambang (void). Danau ini terbentuk dari tampungan air hujan, dan aliran permukaan. Void diberi nama Danau ATS 1, dan Danau ATS 2 (Gambar 10 dan Gambar 11). Kualitas air permukaan danau ini disampaikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

26 26.2 26.4 26.6 26.8 27 27.2 27.4 27.6 27.8

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES Suhu Udara (o C)Kelembaban Relatif (%)

Sumber: Pengamatan, 2011

Gambar 10. Danau ATS 1

Sumber: Pengamatan, 2011

Gambar 11. Danau ATS 2

Tabel 12. Kualitas air permukaan danau 1 dan 2

No. Parameter ATS 1 ATS 2 Satuan

1 pH 7.94 7.8 -

2 Residu tersuspensi (TSS) 23 23 mg/L 3 Residu terlarut (TDS) 390 298 mg/L

4 Fe 0.182 0.070 mg/L

5 Mn 0.032 2.35 mg/L

6 Cd 0.007 0.006 mg/L

7 Zn 0.008 0.021 mg/L

8 Sulfat 151 128 mg/L

9 Pb 0.006 0.007 mg/L

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

Tabel 13. Kadar zat terlarut pada kedalaman tertentu

Kedalaman (m) ATS 1

TSS (mg/l) TDS (mg/l)

10 23 390

20 26 394

30 22 405

Kedalaman (m) ATS 2

TSS (mg/l) TDS (mg/l)

10 23 298

20 20 296

30 154 312

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2011

4.1.5 Vegetasi

Berdasarkan AMDAL (2009), vegetasi pada kawasan penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan area tumbuhnya yaitu, area tidak terganggu (undisturbed area) dan area revegetasi. Vegetasi pada area tidak terganggu terdiri atas tanaman hutan sekunder, alang-alang serta semak (Tabel 14). Pada kawasan ini ditemukan tanaman Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan tanaman khas daerah Kalimantan, yang sudah sulit ditemukan. Area yang tidak diganggu ini dipertahankan keberadaannya selain dapat menjadi habitat satwa lokal, area tidak diganggu ini dapat menjadi sumber bibit, untuk diperbanyak, sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk lingkungan (Gambar 12).

Tabel 14. Vegetasi Area Tidak Diganggu

No. Nama Botani Nama Lokal

1 Acacia mangium Akasia

2 Alstonia sp. Pulai

3 Anthocepalus cadamba Jabon

4 Arthocarpus elastica Tarap

5 Artocarpus sp. Mada

6 Dillenia grandifolia Simpur

7 Dracontomelon mangiferum Singkuang

8 Eugenia sp. Jambu Burung

9 Eusideroxylon zwageri Ulin

10 Ficus variegata Luwa

11 Hibiscus tiliaceus Waru

12 Litsea sp. Medang

13 Macaranga sp. Mahang

14 Peronema canescens Sungkai

15 Pterospermum celebicum Bayur

16 Shorea sp. Latung

17 Vitex pubescens Alaban

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 12. Area Tidak Diganggu

Area revegetasi dibentuk oleh tanaman cepat tumbuh (fast growing) yang sengaja ditanam pada tahap reklamasi (Gambar 13). Kegiatan revegetasi atau penanaman kembali lahan-lahan yang terbuka dimaksudkan untuk mengembalikan penutupan lahan dan memulihkan kesuburan tanah. Perusahaan mengkombinasikan tanaman introduksi dan tanaman lokal dalam penerapannya.

Tanaman introduksi seperti, akasia daun kecil (Accacia auriculiformis), dan akasia daun lebar (Accacia mangium). Untuk tanaman lokal PT. Artumin Indonesia menggunakan sengon (Paraserianthes falcataria) (Tabel 15).

Tabel 15. Vegetasi Area Revegetasi

No. Nama Botani Nama Lokal

1 Accacia auriculiformis Akasia daun kecil 2 Accacia mangium Akasia daun lebar 3 Paraserianthes falcataria Sengon

Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009 4.1.6 Satwa

Satwa yang ditemukan berupa jenis Aves, yang menjadikan area hutan sekunder sebagai habitatnya. Beberapa jenis Aves yang terlihat antara lain, elang (Nisaetus cirrhatus), gagak (Carvus macrorhynchus), keruang (Pycnonotus brunneus), layang-layang (Delichon dasypus), pipit (Lonchura leucogasta). Selain jenis Aves, pada kawasan ini juga ditemukan satwa jenis mamalia berupa bajing (Glyphotes simus), dan reptilia seperti kadal (Mabouya fasiculate), ular tanah (Angkistrodon rhodostima), dan biawak (Varanus albigularis) (Tabel 16).

  Gambar 13. Area revegetasi

Tabel 16. Satwa di Pit Antasena

No. Nama Species Nama Ilmiah

Aves

1 Elang Nisaetus cirrhatus

2 Gagak Carvus macrorhynchus

3 Keruang Pycnonotus brunneus

4 Layang-layang Delichon dasypus

5 Pipit Lonchura leucogasta

Mamalia

6 Bajing Glyphotes simus

Reptilia

7 Kadal Mabouya fasciculate

8 Ular Tanah Angkistrodon rhodostima

9 Biawak Varanus albigularis

Sumber: Data pemantauan lingkungan PT. Arutmin, 2010 4.1.7 Kependudukan

Pada kecamatan Kintap tersebar 6 desa, meliputi: Salaman, Riam Adungan, Pasir Putih, Sungai Cuka, Kintapura dan Kintap Kecil. Pada penelitian ini difokuskan pada Desa Salaman dan Riam Adungan karena letaknya yang paling berdekatan dengan Pit Antasena.

4.1.7.1 Demografi

Keadaan kependudukan pada masing-masing desa wilayah studi Berdasarkan data Kecamatan Satui dan Kecamatan Kintap dalam angka cukup bervariasi. Kepadatan penduduk di Desa Salaman sebesar 122 jiwa per km2 dan Desa Riam Adungan sebesar 6 jiwa per km2. Berdasarkan perbandingan antara jumlah laki-laki dengan perempuan, dapat dilihat jumalah penduduk laki-laki relatif lebih banyak disbanding perempuan, hal ini umum terjadi pada daerah-daerah yang menjadi tujuan pendatang (Tabel 17).

Tabel 17. Jumlah Penduduk Desa Salaman dan Riam Adungan No. Desa Luas

(km2)

Penduduk (jiwa) Jumlah rumah tangga

Kepadatan (jiwa/km2)

Laki-Laki Perempuan Jumlah Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut

1 Salaman 10,00 618 604 1.222 370 122 2 Riam

Adungan 191,00 583 559 1.142 201 6 Sumber: Kecamatan Kintap dan Satui dalam Angka, 2007/2008

4.1.7.2 Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terbesar adalah sebagai petani (dalam arti luas) yang mencapai 490 orang (atau sebesar 49.8%) dari seluruh jumlah penduduk yang sudah bekerja sebanyak 983 orang. Petani pemilik sub sektor tanaman pangan menduduki urutan tertinggi dengan jumlah 250 orang (25.4%), petani perkebunan sebanyak 40 orang (4.1%), dan peternak sebanyak 30 orang (3.1%). Selain sebagai petani pemilik, juga terdapat buruh tani yang mencapai 170 orang atau sebesar 17.3%, yang umumnya merupakan buruh lepas di perusahaan-perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.

Selain sebagai petani pemilik dan buruh tani terdapat mata pencaharian lainnya dengan jumlah sebanyak 493 orang (50,2%). Kategori mata pencaharian lainnya ini antara lain, PNS (TNI, POLRI, Pensiunan), pedagang, Jasa transportasi (supir angkutan, ojek), buruh bangunan, pekerja bengkel, karyawan, dan tukang.

Walaupun memiliki presentasi yang besar, apabila dirincikan lebih detail memiliki nilai yang tidak terlalu signifikan (Tabel 18).

Tabel 18. Mata Pencaharian Penduduk

No. Mata Pecaharian

Kecamatan/ Desa

Jumlah Persentase Salaman Riam (%)

Adungan

1 Petani tanaman pangan 150 100 250 25.4

2 Petani Perkebunan 40 - 40 4.1

3 Peternak 30 - 30 3.1

4 Buruh Tani 20 150 170 17.3

5 Lainnya 221 272 493 50.2

Jumlah 461 522 983 100.0

Sumber: Kantor Kepala Desa, 2009

Selain Mata pencaharian yang telah disebutkan diatas, masyarakat juga ada yang bermata pencaharian sebagai penambang tanpa ijin (PETI). Keberadaan PETI ini sedikit banyak menggangu lahan yang sudah direklamasi. Selain itu, kegiatan pengangkutan hasil tambang yang dilakukan PETI ini juga dinilai mengganggu masyarakat sekitar.

4.2 Tipe Pemanfaatan Lahan

Dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan lahan selanjutnya, kontribusi dari para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soelarno (2008) yang menyatakan bahwa, kegiatan perencanaan penutupan tambang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Salah satu bentuk keterlibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan penutupan tambang ialah menentukan tipe pemanfaatan lahan. Dalam mengambil keputusan ini, harus didapatkan visi yang sejalan sehingga pembangunan nantinya dapat berjalan selaras dan lestari.

Preferensi pemerintah dapat kita tinjau dari keputusan yang ada.

Berdasarkan surat rekomendasi gubernur No. surat: 522/750/pola/dishut (Lampiran 1), pemerintah menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL). Pada dokumen RTRWP, dijelaskan bahwa area ini termasuk dalam Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP). Dalam RTRWK , area penelitian dibagi atas dua wilayah, yaitu kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan budidaya perikanan.

Preferensi masyarakat didapatkan dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa key person dari masyarakat dengan menggunakan daftar pertanyaan (Lampiran 2). Berdasarkan hasil wawancara penduduk sekitar sudah mengerti akan dampak yang disebebkan oleh kegiatan pertambangan. Dalam pemanfaatan lahan selanjutnya, penduduk sangat menginginkan area reklamasi di Antasena untuk dijadikan lahan perkebunan karet/ kelapa sawit. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah familiar dengan komoditas tersebut. Menurut mereka, daripada tanaman akasia yang dibiarkan begitu saja, lebih baik ditanami karet atau sawit yang lebih cepat menghasilkan produk. Selain itu mereka juga menginginkan adanya keramba untuk usaha perikanan.

Preferensi perusahaan didapatkan melalui kegiatan wawancara dengan key person dari perusahaan yaitu karyawan PT. Arutmin Indonesia departemen Keamanan Kesehatan dan Lingkungan (K2L). PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui mengusulkan agroforestri sebagai rencana pemanfaatan lahan. Selain dapat memberikan jasa bagi lingkungan dengan mengkonservasi keanekaraman hayati, agroforestri juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui hasil

panen. Latar belakang masyarakat yang berbasis pada bidang pertanian dinilai cocok dengan rencana ini. Agroforestri dinilai cocok dengan visi PT. Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat (PT Arutmin Indonesia, 2005).

Tabel 19. Preferensi Pemangku Kepentingan Pemangku

kepentingan Preferensi

Pemerintah Menetapkan bahwa wilayah satui khususnya letak Pit Antasena, terdapat pada Area Penggunaan Lain (APL), dan dapat dikembangkan menjadi Kawasan Budidaya Tanaman Pertanian (KBTP), khususnya hutan produksi tetap dan perikanan

Masyarakat Memiliki latar belakang pertanian, perkebunan, dan peternakan, juga menginginkan adanya kawasan perkebunan karet/ kelapa sawit, dan keramba untuk usaha perikanan

Perusahaan Mempromosikan agroforestri sebagai pemanfaatan lahan yang mampu mengkonservasi lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sumber: Pengamatan, 2011

Berdasarkan data Tabel 19, untuk mengakomodasi preferensi dari para pemangku kepentingan tipe pemanfaatan lahan yang dapat diterapkan adalah tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type). Pada tipe ini terdapat lebih dari satu pemanfaatan lahan yang dapat dirangkai dalam satu kawasan yang pada dasarnya berbeda namun dijadikan satu tujuan evaluasi dengan satuan lahan yang sama (FAO, 1983). Praktik agroforestri dengan sistem agrosilvopastura+fisheries dinilai mampu mengakomodasi preferensi dari para pemangku kepentingan. Praktik ini mengkombinasikan tanaman pohon, cash crop, peternakan, dan perikanan.

Pemilihan komoditas masing-masing pemanfaatan lahan menggunakan komoditas yang umum ditanam masyarakat, berdasarkan data Biro Pusat dan Statistika (BPS) Kabupaten Tanah Bumbu, Satui, Kalimantan Selatan tahun 2009.

Dari masing-masing pemanfaatan lahan diambil dua komoditas yang memiliki nilai produksi paling tinggi. Untuk pemanfaatan lahan agroforestri, yang merupakan kombinasi dari tanaman tegakan (pohon) dan cash crop, didapatkan

komoditas unggulan untuk pohon adalah tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A), dan kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.). Sedangkan untuk tanaman pertanian berupa ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.), dan padi lahan kering (Oryza sativa L.). Untuk peternakan komoditas unggulan berupa sapi (Bos Taurus) dan kerbau (Bos bubalus), dengan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.). Untuk tanaman sayur didapatkan Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.). Untuk perikanan, PT.

Arutmin Indonesia Tambang Satui sudah pernah mencoba melakukan percobaan pembibitan ikan pada kolam bekas tambang dengan jenis bawal (Pampus Argentus), nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus Carpio), dan patin (Pangasius pangasius).

4.3 Peta Satuan Lahan

Untuk memetakan satuan lahan dibutuhkan karakteristik serta kualitas dari lahan. Kualitas lahan yang dijadikan patokan disini adalah kualitas lahan untuk pertumbuhan tanaman seperti, rejim suhu, ketersediaan air, media perakaran, retensi hara, ketersediaan hara, toksisitas, dan potensi mekanisasi. Untuk nilai karakteristik yang mempengaruhi rejim suhu antara lain, temperatur rerata tahunan sebesar 27oC. Untuk ketersediaan air, karakteristik lahan yang mempengaruhinya antara lain, curah hujan tahunan sebesar 2924.5 mm/ tahun, Bulan kering (< 60mm) selama 1-2 bulan, dan kelembaban udara sebesar 80.92%.

karakteristik lahan yang mempengaruhi media perakaran antara lain, drainase dengan kualitas yang sedang, tekstur tanah yang agak halus (SCL), dan kondisi tanah pucuk dengan ketebalan 50-75 cm. Untuk retensi hara, karakteristik lahan yang mempengaruhinya antara lain, nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) sebesar 13.81 me/100 g, kadar c-organik sebesar 1.56 %, dan pH sebesar 4.17. Untuk Hara tersedia dipengaruhi oleh kadar P2O5 HCl sebesar 9.37 mg/100 g tanah, K2O sebesar 20.82 mg/100 g, dan kadar total N sebesar 0.19%. Karakterisitik lahan yang mempengaruhi toksisitas antara lain, kadar Fe (jika berlebih) sebesar 25361ppm, dan kadar alumunium (Al) sebesar 6.17 %. Untuk potensi mekanisasi dipengaruhi oleh kemiringan lahan yang bervariatif dan jumlah batuan penutup permukaan sebesar 0% (Tabel 20).

Tabel 20. Kualitas dan Karakteristik lahan

Kualitas Lahan Karakteristik Lahan Nilai data Rejim suhu (t) Temperatur rerata tahunan (oC) 27 Ketersediaan air (w) Curah hujan tahunan (mm) 2924.5

Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan Kelembaban udara (%) 80.92

Media perakaran (r) drainase sedang

tekstur agak halus (SCL)

ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm

Retensi hara (f) KTK (me/100 g) 13.81

Potensi Mekanisasi (m) Kemiringan lahan Bervariatif Batuan penutup permukaan 0%

Sumber: AMDAL PT. Arutmin Indonesia 2009

Karakteristik lahan pada kawasan ini dianggap seragam karena termasuk skala mikro. Oleh karena itu, penentuan batas pada peta satuan lahan menggunakan karakteristik tanah yang mudah dipetakan seperti relief, lereng, atau bentukan lahannya (landform) sesuai dengan yang ditentukan FAO (1983).

Bentukan lahan bisa kita dapatkan dari menganalisis peta kemiringan lahan. Peta kemiringan lahan daerah penelitian dibuat dengan mengolah data topografi menggunakan bantuan software Arc GIS (Gambar 14). Klasifikasi kemiringan dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan penilaian nantinya. Parameter kemiringan lahan dibagi atas lima kelas berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang ditetapakan oleh FAO 1983 untuk area pertanian. (Tabel 21).

Tabel 21. Klasifikasi Kemiringan Lahan Untuk Pertanian

No. Persen Lereng (%) Bentukan lahan Luas (ha) Sumber: FAO, 1983

Setelah didapatkan peta kemiringan lahan, kemudian masing masing klasifikasi kemiringan digeneralisasi sehingga didapatkan batasan batasan landform yang akan digunakan sebagai batas pada peta satuan lahan (Gambar 15).

 

Gambar 14. Peta Kemiringan Lahan

Gambar 15. Peta Satuan Lahan

4.4 Hasil Kesesuaian Lahan

Hasil kesesuaian lahan dapat diidentifikasi dari kelas kesesuaian lahan yang merupakan hasil dari evaluasi lahan dengan Kerangka FAO, dan Morphoedaphic Index.

4.4.1 Evaluasi Lahan Dengan Kerangka FAO

Metode ini mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO (1983). Lahan dinilai kesesuaiannya berdasarkan komoditas yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Penilaian kesesuaian lahan ini didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan dari tiap komoditas yang dikeluarkan oleh LREP II, 1994 dan PPT, 2003 (Lampiran 3).

Dari hasil evaluasi lahan pada Zona I (0-3%) didapatkan kelas kesesuaian tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar pH yang rendah (Tabel 22).

Pada Zona II (3-8%) juga didapatkan hasil kesesuaian yang sama.

Tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar pH yang rendah (Tabel 23).

Pada Zona III (8-15%) didapatkan kelas kesesuaian tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman padi gogo (Oryza sativa L.) dan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas kadar pH yang rendah dan kemirigan yang terlalu curam (Tabel 24).

Untuk Zona IV (3-8%) juga didapatkan hasil kesesuaian yang sama.

Tanaman karet (Hevea brasillensis Willd.Ex. Juss M.A) S3 atau kurang sesuai, dengan faktor pembatas ketersediaan P2O5 yang rendah pada tanah dan kemringan yang terlalu curam. Untuk kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacq.) didapatkan kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor yang pembatasnya ialah rendahnya kadar pH. Kesesuaian yang sama juga berlaku pada tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.). untuk padi gogo (Oryza sativa L.), memiliki kelas kesesuaian lahan N1 dengan factor pembatas kadar pH dan kelerengan. Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan buncis (Phaseolus vulgaris L.) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 atau kurang sesuai dengan faktor pembatas curah hujan dan kadar pH yang rendah. Untuk penggembalaan yang menggunakan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) memiliki kelas kesesuaian lahan N1 dengan faktor pembatas kemiringan lahan yang terlalu curam (Tabel 25).

Dari tabel kesesuaian ini, kita dapat menentukan kesesuaian lahan bagi masing-masing komoditas pada satuan lahan yang telah ditentukan. Penentuan kesesuaian lahan ini menggunakan peta kesesuaian lahan, yang bertujuan untuk memberikan informasi kesesuaian secara spasial bagi masing masing komoditas yang telah ditentukan (Gambar 16, Gambar 17, Gambar 18, Gambar 19, Gambar 20, Gambar 21, dan Gamabar 22).

Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan zona I A

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 0-3% S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2 K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1

Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17 (sangatrendah) - - - - Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3f

39

Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1 lereng (%) 3-8% S1 S2 S1 S1 S1 S1 S2

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2 K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1 Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17 (sangatrendah) - - - - Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3f

40

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 S3 S2 S3 S2 S2 S3 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 8-15% S2 S3 S2 S2 S2 S2 S3

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah)

- S3 S3 S3 - - S2

K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1 Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17

(sangatrendah)

- - - - - - -

Kelas kesesuaian lahan N1f N1f S3n N1f S3wf S3wf S3rf

41

Ubi kayu Padi gogo Karet Kelapa Sawit Tomat Buncis Penggembalaan

Rejimsuhu (t) S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1

Temperatur rerata (oC) 27 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 Ketersediaan air (w) S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1

Curah hujan tahunan (mm) 2924.5 S2 S1 S1 S2 S3 S3 S1 Bulan kering (< 60 mm) 1-2 bulan S1 S1 S1 S1 - - S1 Kelembaban udara (%) 80.92 - S1 - - S2 S2 -

Media perakaran (r) S3 N1 S3 S3 S3 S3 N1 Drainase dalam tanah sedang S2 S3 S2 S1 S2 S2 S1

lereng (%) 15-30% S3 N1 S3 S3 S3 S3 N1

Tekstur Agak halus (SCL) S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 ketebalan (tanah pucuk) 50 - 75 cm S3 S1 S2 S3 S2 S2 -

Retensihara (f) N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

KTK (me/100 g) 13.81 (rendah) S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 C-Organik (%) 1.56 (rendah) S1 S1 - - S1 S1 -

pH 4.17 N1 N1 S2 N1 S3 S3 S3

Hara tersedia (n) - S3 S3 S3 - - S2

P2O5HCl (mg/100 g tanah) 9,37 (sangat rendah) - S3 S3 S3 - - S2 K2O (mg/100g) 20.82 (sedang) - S1 S1 S1 - - S1

Total N (%) 0.19 (rendah) - S2 S2 S2 - S2 Toksisitas (x)

Fe (ppm) 25361 - - - -

Al (%) 6.17 (sangatrendah) - - - - Kelas kesesuaian lahan N1f N1rf S3rn N1f S3wrf S3wrf N1r

42

Tabel 23. Kelas kesesuaian lahan zona II

Tabel 24. Kelas kesesuaian lahan zona III

Tabel 25. Kelas kesesuaian lahan zona IV

Gambar 16. Peta kesesuaian tanaman karet

Gambar 17. Peta kesesuaian tanaman kelapa sawit

Gambar 18. Peta kesesuaian tanaman padi gogo

Gambar 19. Peta kesesuaian tanaman ubi kayu

Gambar 20. Peta kesesuaian tanaman tomat

Gambar 21. Peta kesesuaian tanaman buncis

Gambar 22. Peta kessuaian tanaman rumput gajah

Secara umum dapat kita lihat bahwa faktor pembatas pada kawasan penelitian ialah kadar pH yang rendah dengan nilai 4,17. Kondisi ini bisa disebabkan oleh pemberian pupuk anorganik pada tanah yang cenderung meningkatkan suasana masam dalam tanah seperti senyawa pembawa nitrogen, yang menyuplai ammonia atau yang menghasilkan amonia. Hal ini didukung

Secara umum dapat kita lihat bahwa faktor pembatas pada kawasan penelitian ialah kadar pH yang rendah dengan nilai 4,17. Kondisi ini bisa disebabkan oleh pemberian pupuk anorganik pada tanah yang cenderung meningkatkan suasana masam dalam tanah seperti senyawa pembawa nitrogen, yang menyuplai ammonia atau yang menghasilkan amonia. Hal ini didukung

Dokumen terkait