• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Produksi Centellosida pada Pegagan (Centella asiatica) Melalui Pemberian Fosfor dan Metil Jasmonat dengan Umur Panen yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peningkatan Produksi Centellosida pada Pegagan (Centella asiatica) Melalui Pemberian Fosfor dan Metil Jasmonat dengan Umur Panen yang Berbeda"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

FOSFOR DAN METIL JASMONAT DENGAN

UMUR PANEN YANG BERBEDA

DISERTASI

Oleh

NOVERITA SPRINSE VINOLINA

NIM : 098104011

Program Doktor (S3) Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

FOSFOR DAN METIL JASMONAT DENGAN

UMUR PANEN YANG BERBEDA

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Pertanian Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) untuk dipertahankan dihadapan sidang Terbuka Senat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVERITA SPRINSE VINOLINA

NIM : 098104011

Program Doktor (S3) Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Panitia Penguji Disertasi

Ketua : Prof. Dr. Ir. J. A. Napitupulu, MSc Anggota : Dr. Marline Nainggolan, MS, Apt.

Luthfi Aziz M. Siregar, SP, MSc, Ph.D Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS

Prof. Ir. T. Sabrina, M.Agr. Sc., Ph.D Dr. Ir. Sumarmadji, MS

(5)

THE INCREASE IN CENTELLOSIDE PRODUCTION OF PEGAGAN

(Centella asiatica ) THROUGH THE APPLICATION OF PHOSPHORUS

AND METHYL JASMONATE WITH DIFFERENT HARVEST TIME

NOVERITA SPRINSE VINOLINA. The Increase in Centelloside Production of

Pegagan (Centella asiatica ) Through Application of Phosphorus and Methyl Jasmonate with Different Harvest Time (Supervised by: J.A. NAPITUPULU, MARLINE NAINGGOLAN, LUTHFI AZIZ M. SIREGAR ).

One of the wild plants widely used from nature is Centella asiatica. Chemical compounds found in pegagan and the benefits of bioactive content become fundamental need for the research to be conducted. Harvesting from nature without preservation may cause the cultivation of these plants to be gradually extinct.

Profound study is needed to be able to find out the responses of pegagan to various treatments in order to increase the content of bioactive (centelloside) rather than growing naturally in the wild. Cultivation techniques which will be provided include the application of phosphorus that affects the synthesis of centelloside at four levels: 0, 18, 36, 54 kg P2O5/ha, methyl jasmonate consisting of three levels: 0, 100, 200 µM and age of harvest at 56 , 70 and 84 days after planting (DAP ), with 108 experimental plots, size of plot 1 m2 per plot.

The objectives of study were 1) to obtain the right dose of phosphorus to get the best production of centelloside, 2) to find out the right concentration of the hormone methyl jasmonate to obtain the best production of centelloside in pegagan, 3) to find out the right harvest time to obtain the production of the best centelloside, 4) to find out the interaction of phosphorus dose and methyl jasmonate concentration on the production of centelloside content, 5) to find out the interaction of phosphorus dose and harvest time on the production and on centelloside content, 6) to find out the interaction of methyl jasmonate concentration and harvest time on production and on centelloside content, and 7) to find out the interaction of phosphorus dose, methyl jasmonate concentration and harvest time with centelloside production.

The results of the research showed that phosphorus dosing increased the length of the petiole. The highest growth in the number of leaves, leaf area, number of primary shoots, and the number of secondary shoots of 12 WAP (week after plating), was found in the treatment of phosphorus at the level of 36 kg P2O5/ha. The highest asiaticoside content of leaf was found in the application of phosphorus of 54 kg P2O5/ha, while the highest asiatic acid content in leaves was found in application of phosphorus of 18 kg P2O5/ha. Phosphorus fertilization was 13.51 kg P205/ha, and the maximum production of asiatic acid in leaf was ± 244 g. The application of methyl jasmonate of 100 µM and 200 µM caused the decrease in phosphorus content of plant tissue. Harvest time affects asiatic acid content of leaves and roots madecassoside content. The highest madecassocide production, both in leaves and roots, was found at harvest time of 84 DAP.

(6)

of methyl jasmonate 200 µM and the harvest time of 84 days after planting. Without the application of 200 µM jasmonate, asiaticoside content would increase from 70 days to 84 days after planting, whereas the application of 100 µM methyl jasmonate, the maximum of asiaticoside production in leaves was ± 67 mg at 70 DAP.

The interaction effects of harvest time and phosphorus doses on madecassoside content, the highest madecassoside content of roots and shoots was found in the combination of harvest time of 84 days after planting and 54 kg P205/ha of phosphorus fertilization. Harvest time of 84 DAP with application of phosphorus at the level of 18, 36, and 54 kg P205/ha in which madecassoside content was higher than the harvest time of 56 or 70 DAP. The content of madecassoside in leaves was higher in 56 DAP in various phosphorus doses and would decrease from 56 to 70 days after planting and would increase again after 69 days after planting in phosphorus doses of 0, 18 and 36 kg P2O5 per ha.

The highest interaction effect of methyl jasmonate concentration and of phosphorus dose was found in the production of components; namely, wet weight and dry weight per plot, which was found in the application of methyl jasmonate treatment of 100 µM and in 18 kg of phosphorus fertilization P205/ha at 401.743 g and 43.285 g respectively on wet weight of leaves and petiole, dry weight of roots and tendrils, and the wet weight of samples. Harvest time of 56 days after planting produced wet weight of leaves and petiole in the maximum of 88.614 g with application of methyl jasmonate of 99.75 µM. Harvest time of 70 days after planting, wet weight of leaves and petiole would increase by the application of methyl jasmonate of 200 µM, while in the harvest time of 84 days after planting, wet weight of leaves and petiole would decrease by the application of methyl jasmonate of 200 µM. The highest wet weight of leaves and petiole was found in methyl jasmonate treatment of 100 µM and in 18 kg P205/ha of phosphorus fertilization; 160.739 g. The highest dry weight of roots and shoots were found in the application of methyl jasmonate treatment of 100 µM and in 18 kg P205/ha of phosphorus fertilization. The highest production of madecassoside in leaves and root was found in the application of methyl jasmonate of 200 µM and in 54 kg P205/ha of phosphorus. Without phosphorus fertilization, production of madecassoside in root increased to the maximum production of ± 473 mg in the application of methyl jasmonate of 91.25 µM, whereas phosphorus fertilization of 18 kg P2O5 per ha would produce the maximum of asiatic acid in root of ± 61 mg in the application of methyl jasmonate of 108.25 µM. The interaction effects of phosphorus dose, methyl jasmonate concentration, and harvest time were not found in all growth parameters, in production, and in the content of centelloside.

(7)

(Centella asiatica) MELALUI PEMBERIAN FOSFOR DAN METIL

JASMONAT DENGAN UMUR PANEN YANG BERBEDA

NOVERITA SPRINSE VINOLINA. Peningkatan Produksi Centellosida pada Pegagan (Centella asiatica) Melalui Pemberian Fosfor dan Metil Jasmonat dengan Umur Panen yang Berbeda (Bimbingan: J. A. NAPITUPULU, MARLINE NAINGGOLAN, LUTHFI AZIZ M. SIREGAR).

Salah satu tanaman liar yang dimanfaatkan dari alam secara luas adalah Centella asiatica. Kandungan kimia yang terdapat pada pegagan dan manfaat dari kandungan bioaktif tersebut merupakan hal yang mendasar perlunya penelitian ini dilakukan. Pemanenan dari alam tanpa adanya pelestarian dengan membudidayakannya dapat menyebabkan tanaman ini lama kelamaan akan musnah.

Kajian yang mendalam sangat diperlukan untuk dapat mengetahui seluk beluk respon tanaman pegagan terhadap berbagai perlakuan untuk dapat menigkatkan kandungan bioaktifnya (centellosida) daripada yang tumbuh secara alami di alam. Teknik budidaya yang akan diberikan antara lain pemberian fosfor yang mempengaruhi sintesis centellosida dengan 4 taraf yaitu 0, 18, 36, 54 kg P2O5 /ha, pemberian elisitor metil jasmonat yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0, 100, 200 µM dan umur panen yang berbeda yaitu 56 , 70 dan 84 hari setelah tanam (HST), dengan 108 petak percobaan ukuran 1 m2.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh dosis fosfor yang tepat untuk memperoleh produksi centellosida pegagan yang terbaik, 2) mengetahui konsentrasi hormon metil jasmonat yang tepat untuk memperoleh produksi dan kandungan centellosida pegagan yang terbaik, 3) mengetahui umur panen yang tepat untuk memperoleh produksi dengan kandungan centellosida yang terbaik, 4) mengetahui interaksi dosis fosfor dan konsentrasi metil jasmonat terhadap produksi dengan kandungan centellosida, 5) mengetahui interaksi dosis fosfor dan umur panen terhadap produksi dan kandungan centellosida, 6) mengetahui interaksi konsentrasi metil jasmonat dan umur panen terhadap produksi dan kandungan centellosida, 7) mengetahui interaksi dosis fosfor, konsentrasi metil jasmonat dan umur panen terhadap produksi dengan kandungan centellosida.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian dosis fosfor meningkatkan panjang tangkai daun. Pertumbuhan jumlah daun, luas daun, jumlah sulur primer, jumlah sulur sekunder 12 MST, tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian fosfor pada taraf 36 kg P2O5 /ha. Kandungan asiatikosida daun tertinggi terdapat pada pemberian fosfor 54 kg P2O5 /ha sedangkan kandungan asam asiatik daun tertinggi terdapat pada pemberian fosfor 18 kg P2O5 /ha. Pemupukan fosfor 13,51 P205 kg/ha, produksi asam asiatik daun maksimum yaitu ± 244 g.

(8)

umur panen 84 HST. Kandungan asiatikosida pada akar dan sulur tertinggi terdapat pada kombinasi pemberian metil jasmonat 200 µM dengan umur panen 84 HST. Tanpa pemberian dan pemberian jasmonat 200 µM terjadi peningkatan kandungan asiatikosida setelah 70 hari sampai 84 HST, sedangkan pada pemberian jasmonat 100 µM diperoleh produksi asiatikosida daun maksimum ± 67 mg pada umur panen 70 HST.

Efek interaksi umur panen dan dosis fosfor terhadap kandungan madekasosida akar dan sulur, tertinggi terdapat pada kombinasi umur panen 84 HST dan pemupukan fosfor 54 kg P205/ha. Panen pada umur 84 HST dengan pemberian fosfor pada taraf 18, 36, dan 54 kg P205/ha terdapat kandungan

madekasosida lebih tinggi dibanding pada umur panen 56 atau 70 HST. Kandungan madekasosida daun lebih tinggi saat 56 HST pada berbagai dosis fosfor dan akan menurun pada 56 -70 HST lalu meningkat kembali setelah 69 HST pada dosis fosfor 0, 18 dan 36 kg P2O5/ha.

Efek interaksi konsentrasi metil jasmonat dan dosis fosfor terdapat pada komponen produksi yaitu bobot basah dan bobot kering per plot, tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian metil jasmonat 100 µM dan pemupukan fosfor 18 kg P205/ha masing-masing 401,743 g dan 43,285 g. Berat basah daun dan petiol, berat kering akar dan sulur dan berat basah sampel. Umur panen 56 HST menghasilkan bobot basah daun dan petiol maksimum 88,614 g dengan pemberian metil jasmonat 99,75 µM. Umur panen 70 HST, bobot basah daun dan petiol meningkat dengan pemberian metil 200 µM sedangkan pada umur panen 84 HST, bobot basah daun dan petiol menurun dengan pemberian metil jasmonat 200 µM. Bobot basah daun dan petiol tertinggi pada perlakuan pemberian metil jasmonat 100 µM dan pemupukan fosfor 18 kg P205/ha;160,739 g. Bobot kering akar dan sulur tertinggi pada perlakuan pemberian metil jasmonat 100 µM dan pemupukan fosfor 18 kg P205/ha 23,598 g. Produksi madekasosida daun maupun akar tertinggi diperoleh pada pemberian metil jasmonat 200 µM dan pemberian fosfor 54 kg P205/ha. Tanpa pemupukan fosfor, produksi madekasosida akar meningkat hingga mencapai produksi maksimum ± 473 mg pada pemberian metil jasmonat 91,25 µM. sedangkan pemupukan fosfor 18 kg P2O5/ha diperoleh produksi asam asiatik akar maksimal ± 61 mg pada pemberian jasmonat 108,25 µM. Efek interaksi dosis fosfor, konsentrasi metil jasmonat dan umur panen tidak terdapat pada semua parameter pertumbuhan, produksi dan kandungan centellosida pegagan.

(9)

atas segala berkatNya yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Penelitian yang telah dilaksanakan selama mengikuti pendidikan doktor sejak tahun 2009 dan akhirnya melakukan penelitian disertasi dimulai sejak Januari 2012 sampai Januari 2013, berjudul: “Peningkatan Produksi Centellosida pada Pegagan (Centella asiatica) Melalui Pemberian Fosfor dan Metil Jasmonat dengan Umur Panen yang Berbeda”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat dalam menempuh studi strata tiga (S3) di Universitas Sumatera Utara.

Penelitian disertasi ini, mulai dari penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi, banyak pihak yang memberi bantuan, dukungan, perhatian berupa pikiran, ide, tenaga, dan doa sehingga akhirnya disertasi ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. J. A. Napitupulu, MSc, sebagai Promotor, Ibu Dr. Marline Nainggolan, MS, Apt., Bapak Luthfi Aziz M. Siregar, SP, MSc, Ph.D, sebagai Co-promotor, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan sejak perencanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Demikian pula kepada Ibu dan Bapak Tim Penguji, Ibu Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS, Ibu Prof. Ir. T. Sabrina, M.Agr. Sc, Ph.D dan Bapak Dr. Ir. Sumarmadji, MS.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS, sebagai Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MS sebagai Ketua dan Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP sebagai Sekretaris Program Doktor, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

(10)

5. Bapak Prof. Dr. Narendra Singh, Prof. Dr. Michael Mc Kee, Nida Mc. Kee, Ph.D dan Dr. Jay Ramapuram yang telah membimbing penulis berkaitan dengan penelitian disertasi selama berada di Auburn University, USA.

6. Auburn University yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Departemen Biologi Molekuler dan Departemen Farmasi Auburn University, USA. 7. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor, Balai

Pengkajian Teknologi Sumatera Utara, Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

8. Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara khususnya membantu penulis dalam menganalisis

kandungan asiatikosida, madekasosida dan asiatik asid. Mustika Furi selaku laboran.

9. Teman-teman mahasiswa Program Doktor Bidang Ilmu Pertanian Universitas Sumatera Utara khususnya angkatan 2009/2010 yang memberikan saran, dukungan dan motivasi dalam penyelesaian disertasi ini.

10.Teman-teman mahasiswa Program Doktor dari Auburn University yaitu Shankar, Xiu Ling, Hang Tao dan Kasturi, yang banyak membantu penulis dalam pelaksanaan pekerjaan di laboratorium untuk analisis kandungan asiatikosida, madekasosida dan asiatik asid dengan menggunakan HPLC di Laboratorium Farmasi Auburn University USA.

11.Adik-adik mahasiswa Windy Manullang, Mirna Sari, Yudin, Juhardi, dan Mindo P. Simanjuntak, SP serta Bapak Ir. Rolan Siregar, MP yang banyak membantu penulis dalam pelaksanaan di lapangan.

(11)

Parlindungan, ST dan Yohannes R.N. Situmorang, ST dan dr. Desna Saragih atas doa yang diberikan kepada penulis.

13.Ayah dan Ibu Mertua Alm. J. Sitanggang dan Alm. P.S. br Samosir. Semua keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa khususnya saudariku Alm. dr. Maria Betty Sitanggang, SpKK, D.Hom. dan Parlindungan Purba, SH, MM buat doa, semangat dan motivasi yang luar biasa yang tiada terlupakan. J.P. Sitanggang, Ir. J. Sirait, Drs. I. Tampubolon, Dra. Veronika Sitanggang, Herlina Sitanggang, Ir. Hercules Sitanggang, dr. Friska Paredede, Ir. Jason Sitanggang, Sonny Vera, S.Psi, H.V. Ambarita, S.Kp, M.Pd, M.Kp, Dra. Martha Sitanggang, L. Panjaitan, ST., Tabita Sitanggang, M. Situmeang dan Elisabeth Sitanggang, Amk.

14.Suami tercinta dr. Henry Sitanggang, SpB, FInaCS, FICS, D.Hom dan anakku Johan S. Sitanggang atas dukungan, pengertian, pengorbanan, perhatian dan doa-doa yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan program doktor hingga selesainya. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan penulis mohon dimaafkan. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam Bidang Ilmu Pertanian. Saran dan masukan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan disertasi ini.

Medan, Mei 2013

(12)

NOVERITA SPRINSE VINOLINA, dilahirkan di Padang Halaban, Sumatera Utara pada tanggal 25 November 1968, anak ketiga dari enam bersaudara, Ayahanda M. Situmorang dan Ibunda A.M. br. Simarmata. Pada tanggal 3 Oktober 1996 menikah dengan dr. Henry Sitanggang, SpB., FINACS, FICS, D.Hom dan dikarunia satu orang anak Johan Samuel Sitanggang.

Pendidikan dasar dan menengah masing-masing diselesaikan dari Sekolah Dasar Budi Murni 3 Medan (1981), Sekolah Menengah Tingkat Pertama RK Makmur Medan (1984), Sekolah Menengah Atas Negeri Sampali (1984).

Gelar Insinyur Pertanian atau sarjana strata satu (S1) diperoleh dari Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Sumatera Utara (1992). Gelar Magister Pertanian atau sarjana strata dua (S2) diperoleh dari Program Studi Agronomi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (1997). Pendidikan S1, S2, dan S3 di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara telah selesai dilaksanakan dengan didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Pada tahun 1993 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar Kopertis Wilayah I melalui penempatan PNS dari eks penerima Tunjangan Ikatan Dinas di Universitas Sumatera Utara sejak tahun 1989 sampai dengan 1992.

Tahun 2006 memperoleh pencapaian sebagai Dosen Berprestasi II, Kopertis Wilayah I dan memperoleh Satyalancana Karya Satya 10 Tahun.

(13)

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Hipotesis Penelitian ... 7

1.5.Manfaat Penelitian ……....……….. 8

1.6.Luaran Penelitian …………..………. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1.Uraian Tumbuhan ………. 10

2.1.1.Botani Tumbuhan Pegagan (Centella asiatica) … 10

2.1.2.Klasifikasi Ilmiah ……… 11

2.2.Persyaratan Tumbuh ……….. 11

2.2.1.Tinggi Tempat ………. 12

2.2.2.Jenis Tanah ………... 12

2.2.3.Iklim ………. 12

2.3.Metabolit Sekunder pada Pegagan... 12

2.3.1.Biosintesis Triterpen Saponin ... 15

2.3.2.Peran Saponin pada Tanaman ……… 20

2.4.Elisitor ………... 21

2.4.1.Metil Jasmonat ... 22

2.4.2.Model Kerja Metil Jasmonat ...……… 23

2.4.3.Triterpen Saponin Setelah Elisitasi pada Pegagan .. 26

2.5.Fosfor ... 27

2.6.Umur Panen ………..……… 30

III. METODE PENELITIAN …... 32

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.2.Bahan dan Alat ... 33

3.3.Metode Penelitian ... 33

3.4.Pelaksanaan Penelitian ... 35

3.4.1. Persiapan Lahan ..………. 35

3.4.2. Pengapuran …..………. 35

3.4.3. Persiapan dan Penanaman Bahan Tanaman ..…… 35

3.4.4. Penjarangan ………..……….. 36

3.4.5. Pemupukan ………..………. 36

3.4.6. Pemeliharaan ………...………. 36

3.4.7. Aplikasi Metil Jasmonat ……….…..…… 37

3.4.8. Panen …..……….. 37

(14)

3.5.2. Panjang tangkai daun …..………. 39

3.5.3. Luas satu daun …………’……..………….…… 39

3.5.4. Luas daun ………….…….………... 39

3.5.5. Jumlah sulur primer …….……….……….. 39

3.5.6. Panjang sulur primer ………….……….. 39

3.5.7. Jumlah sulur sekunder ……..………;….……… 39

3.5.8. Jumlah stolon ……..….…….……….. 40

3.5.9. Kandunganklorofil ………..……… 40

3.5.10. Kadar air panen …..………. 40

3.5.11. Analisis kandungan fosfor pada jaringan tanaman ……… 40

3.5.12. Data Produksi Tanaman Pegagan ….….……... 40

3.5.12.1. Jumlah bunga …...………... 40

3.5.12.2. Bobot basah per plot ….…... 40

3.5.12.3. Bobot kering per plot …....…...…... 41

3.5.12.4. Bobot basah daun dan petiol ... 41

3.5.12.5. Bobot basah akar dan sulur ...…... 41

3.5.12.6. Bobot kering daun dan petiol ... 41

3.5.12.7. Bobot kering akar dan sulur ...…... 41

3.5.12.8. Bobot basah sampel …...………….... 41

3.5.12.9. Bobot kering sampel …....………... 42

3.5.13. Kandungan Centellosida pada Daun dan Akar .. 42

3.5.13.1. Kandungan asiatikosida pada daun … 42

3.5.13.2. Kandungan madekasosida pada daun 42

3.5.13.3. Kandungan asam asiatik pada daun … 42 3.5.13.4. Kandungan asiatikosida pada akar …. 43

3.5.13.5. Kandungan madekasosida pada akar .. 43

3.5.13.6. Kandungan asam asiatik pada akar … 43

3.5.14. Produksi Centellosida ………... 43

3.5.14.1. Produksi centellosida pada daun dan petiol ……… 43

3.5.14.2. Produksi centellosida pada akar dan Sulur ……… 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 44

4.1. HASIL 4.1.1. Jumlah Daun …….….………. 44

4.1.2. Panjang Tangkai Daun …..………. 47

4.1.3. Luas Satu Daun ………..………….…… 51

4.1.4. Total Luas Daun ………... 56

4.1.5. Jumlah Sulur Primer …….……….. 62

4.1.6. Panjang Sulur Primer ………….……….. 64

4.1.7. Jumlah Sulur Sekunder ……..………….……… 68

4.1.8. Jumlah Stolon ……..….……….. 71

(15)

………

4.1.12. Data Produksi Tanaman Pegagan ….….……... 79

4.1.12.1. Jumlah bunga …...………... 80

4.1.12.2. Bobot basah per plot ….…... 80

4.1.12.3. Bobot kering per plot …....…...…... 82

4.1.12.4. Bobot basah daun dan petiol ... 85

4.1.12.5. Bobot basah akar dan sulur ...…... 89

4.1.12.6. Bobot kering daun dan petiol ....…... 91

4.1.12.7. Bobot kering akar dan sulur ...…... 91

4.1.12.8. Bobot basah sampel …...………….... 94

4.1.12.9. Bobot kering sampel …....………... 96

4.1.13. Kandungan Centellosida pada Daun dan Akar ... 96

4.1.13.1. Kandungan asiatikosida pada daun … 97

4.1.13.2. Kandungan madekasosida pada daun 99

4.1.13.3. Kandungan asam asiatik pada daun … 101 4.1.13.4. Kandungan asiatikosida pada akar …. 103

4.1.13.5. Kandungan madekasosida pada akar .. 105

4.1.13.6. Kandungan asam asiatik pada akar … 107

4.1.14. Produksi Centellosida pada Daun dan Akar …. 110 4.1.14.1. Produksi asiatikosida pada daun ..… 110

4.1.14.2. Produksi madekasosida pada daun .… 112

4.1.14.3. Produksi asam asiatik pada daun …… 116

4.1.14.4. Produksi asiatikosida pada akar …... 117

4.1.14.5. Produksi madekasosida pada akar ….. 117

4.1.14.6. Produksi asam asiatik pada akar .… 119

4.2.PEMBAHASAN ………..……….. 123

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 142

5.1. Kesimpulan ………...……… 142

5.2. Saran ………. 144

DAFTAR PUSTAKA ... 146

(16)

2.1. Produk ekstrak Centella asiatica………... 20 2.2. Pengaruh Berbagai Elisitor Terhadap Produksi Asiatikosida……….. 27 4.1. Rataan Jumlah Daun (helai) Tanaman Induk Umur Pengamatan 8-12

MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan

Fosfor Umur 1-12 MST……… 44

4.2. Uji Beda Rataan Panjang Tangkai Daun (cm) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan

Pemupukan Fosfor Umur 3-12 MST………...……. 48

4.3. Rataan Luas Satu Daun (cm2) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan Dosis

Fosfor Umur 1-12 MST………... 52

4.4. Uji Beda Rataan Luas Satu Daun (cm2) Umur Pengamatan 12 MST pada Interaksi Perlakuan Pemberian Metil Jasmonat dan

Pemupukan Fosfor……… 52

4.5. Uji Beda Rataan Luas Daun (cm2) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan Dosis

Fosfor Umur 1-12 MST………...…. 56

4.6. Uji Beda Rataan Luas Daun (cm2) Umur Pengamatan 8 MST pada Interaksi Perlakuan Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan

Fosfor………...……. 58

4.7. Rataan Jumlah Sulur Primer (sulur) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan Dosis

Fosfor Umur 1-12 MST……… 62

4.8. Uji Beda Rataan dan Rataan Panjang Sulur Primer (cm) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat

dan Pemupukan Dosis Fosfor Umur 1-12 MST……….….. 65

4.9. Rataan Jumlah Sulur Sekunder (sulur) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan Dosis

Fosfor Umur 5-12 MST…………... 69

4.10. Rataan Jumlah Stolon (stolon) Umur Pengamatan 8-12 MST pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan Dosis

Fosfor Umur 3-12 MST………...…. 72

4.11. Rataan Jumlah Klorofil pada Perlakuan Umur Panen, Metil

(17)

4.13. Rataan Kadar P pada Jaringan Tanaman Pegagan (%) pada Perlakuan Umur Panen, Metil Jasmonat dan Pemupukan Dosis

Fosfor………...………. 77

4.14. Rataan Jumlah Bunga, Bobot Basah Per Plot, Bobot Kering Per Plot, Bobot Basah Daun dan Petiol, Bobot Kering Daun dan Petiol, Bobot Basah Akar dan Sulur, Bobot Kering Akar dan Sulur, Bobot Basah Sampel, Bobot Kering Sampel pada Perlakuan Umur Panen

(U), Metil Jasmonat (J) dan Pemupukan Dosis Fosfor (F)………...… 79 4.15. Uji Beda Rataan Bobot Basah Per Plot (g) pada Interaksi Perlakuan

Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor……… 81

4.16. Uji Beda Rataan Bobot Kering Per Plot (g) pada Perlakuan Umur

Panen Terhadap Tanaman Pegagan……….. 83

4.17. Uji Beda Rataan Bobot Kering Per Plot (g) pada Interaksi Perlakuan

Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor…...… 84

4.18. Uji Beda Rataan Bobot Basah Daun dan Petiol (g) Pegagan pada

Interaksi Perlakuan Umur Panen dan Metil Jasmonat…….………… 86

4.19. Uji Beda Rataan Bobot Basah Daun dan Petiol (g) pada Interaksi

Perlakuan Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor…...… 87 4.20. Uji Beda Rataan Bobot Basah Akar dan Sulur (g) Pegagan pada

Perlakuan Umur Panen dan Metil Jasmonat……… 89

4.21. Uji Beda Rataan Bobot Kering Akar dan Sulur (g) Pegagan pada

Perlakuan Umur Panen………. 92

4.22. Uji Beda Rataan Bobot Kering Akar dan Sulur (g) pada Interaksi

Perlakuan Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor…...… 93 4.23. Uji Beda Rataan Bobot Basah Sampel (g) pada Interaksi Perlakuan

Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor...….……… 95

4.24. Uji Beda dan Rataan Kandungan Asiatikosida Daun, Kandungan Madekasosida Daun, Kandungan Asam Asiatik Daun, Kandungan Asiatikosida Akar, Kandungan Madekasosida Akar, Kandungan Asam Asiatik Akar, pada Perlakuan Umur Panen (U), Metil

Jasmonat (J) dan Pemupukan Fosfor (F)……... 97

4.25. Uji Beda Rataan Kandungan Madekasosida Daun pada Interaksi

Perlakuan Umur Panen dan Pemupukan Fosfor…………...………… 99

4.26. Uji Beda Rataan Kandungan Asam Asiatik Daun pada Perlakuan

(18)

4.28. Uji Beda Rataan Kandungan Madekasosida Akar pada Interaksi

Perlakuan Umur Panen dan Pemupukan Fosfor……...……… 106

4.29. Uji Beda dan Rataan Produksi Asiatikosida Daun (PAD), Produksi Madekasosida Daun (PMD), produksi Asam Asiatik Daun (PAAD), Produksi Asiatikosida Akar (PAA), Produksi Madekasosida Akar (PMA), Produksi Asam Asiatik Akar (PAAA), pada Perlakuan Umur Panen (U), Metil Jasmonat (J) dan Pemupukan Fosfor

(F)……….………… 110

4.30. Uji Beda Rataan Produksi Asiatikosida pada Daun (g) Tanaman

Pegagan pada Perlakuan Interaksi Umur Panen dan Metil Jasmonat 111 4.31. Uji Beda Rataan Produksi Madekasosida Daun (g) pada Interaksi

Perlakuan Pemberian Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor…...… 114

4.32. Uji Beda Rataan Kandungan Madekasosida Akar (g) pada Interaksi

Perlakuan Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor……….……. 118

4.33. Uji Beda Rataan Produksi Asam Asiatik Akar (g) pada Interaksi

Perlakuan Metil Jasmonat dan Pemupukan Fosfor……….…. 120

4.34. Sampel Daun Pegagan Umur 4 dan 6 MST……… 124

4.35. Efek Elisitasi terhadap Triterpen Saponin………...… 135

4.36. Kisaran Konsentrasi Kandungan Metabolit Sekunder dari Bahan

Tanaman Pegagan Liar Nepal……….. 140

(19)

1.1. Kerangka Konseptual Penelitian………... 9

2.1. Pegagan (Centella asiatica)……...………... 11

2.2. Metabolit Sekunder Dibentuk Melalui Lintasan yang Khusus dari Metabolisme Primer dan Sekunder……...……… 13

2.3. Biosintesis Triterpen Saponin………... 16

2.4. Asiatikosida (C48H78O19) pada Centella asiatica………. 17

2.5. Struktur Kimia Madekasosida (C48H78O20)………... 18

2.6. Struktur Kimia Asam Asiatik (AA) (C30H48O5)……… 19

2.7. Metil Jasmonat……….. 22

2.8. Pengaruh Perlakuan Metil Jasmonat pada Tanaman Picea abies .……… 23

2.9. Pengaruh Perlakuan Metil Jasmonat terhadap Konsentrasi Terpen pada Klon Picea abies ……….. 24

2.10. Gejala Infeksi Jamur pada Picea abies dengan Berbagai Konsentrasi Metil Jasmonat (MJ) ……….. 25

2.11. Efek Metil Jasmonat Terhadap Produksi Metabolit Sekunder Terpenoid pada Plantlet Centella asiatica………... 26

3.1. Bagan Alir Penelitian……… 32

3.2. Tahapan Kerja untuk Uji Kandungan Asiatikosida, Madekasosida dan Asam Asiatik dengan UFLC………. 38

4.1. Grafik Perkembangan Jumlah Daun (helai) pada Perlakuan Umur Panen 8 MST (U1), 10 MST (U2) dan 12 MST (U3)………... 45

(20)

4.4. Grafik Hubungan Pemupukan Fosfor dengan Panjang Tangkai Daun (cm)

Pengamatan Umur 3 dan 8 MST……... 49

4.5. Grafik Perkembangan Panjang Tangkai Daun (cm) pada Perlakuan Umur

Panen 8 MST (U1), 10 MST (U2) dan 12 MST (U3) ……… 50

4.6. Grafik Perkembangan Jumlah Daun (helai) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Metil Jasmonat (J0), dengan Pemberian Metil Jasmonat 100

µM (J1) dan Metil Jasmonat 200 µM (J2)……….. 50

4.7. Grafik Perkembangan Panjang Tangkai Daun (cm) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Fosfor (F0), dengan Pemberian Fosfor 18 kg P2O5/ha (F1), 36

kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha(F3)………. 51

4.8. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat dengan Pemupukan Fosfor

Terhadap Luas Satu Daun (cm2) Pengamatan Umur 12 MST……….. 53

4.9. Grafik Perkembangan Luas Satu Daun (cm2) dengan Umur Panen yang

Berbeda …... 54

4.10. Grafik Perkembangan Luas Satu Daun (cm2) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Metil Jasmonat (J0), dengan Pemberian Metil Jasmonat 100

µM (J1) dan Metil Jasmonat 200 µM (J2)……….. 55

4.11. Grafik Perkembangan Luas Satu Daun (cm2) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Fosfor (F0), dengan Pemberian Fosfor 18 kg P2O5/ha (F1), 36

kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha (F3)………. 55

4.12. Grafik Pengaruh Dosis Pemupukan Fosfor terhadap Total Luas Daun

(cm2) Umur 3 dan 4 MST………... 58

4.13. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat dengan Pemupukan Fosfor

Terhadap Luas Daun (cm2) Umur 8 MST………. 59

4.14. Grafik Perkembangan Luas Daun (cm2) pada Perlakuan Umur Panen 8

MST (U1), 10 MST (U2) dan 12 MST (U3)………... 60

4.15. Grafik Perkembangan Luas Daun (cm2) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Metil Jasmonat (J0), dengan Pemberian Metil Jasmonat 100 µM (J1) dan

(21)

4.17. Grafik Perkembangan Jumlah Sulur Primer (sulur) pada Perlakuan Umur

Panen 8 MST (U1), 10 MST (U2) dan 12 MST (U3)……… 63

4.18. Grafik Perkembangan Jumlah Sulur Primer (sulur) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Metil Jasmonat (J0), dengan Pemberian Metil Jasmonat 100

µM (J1) dan Metil Jasmonat 200 µM (J2)……….. 63

4.19. Grafik Perkembangan Jumlah Sulur Primer (sulur) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Fosfor (F0), dengan Pemberian Fosfor 18 kg P2O5/ha (F1), 36

kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha (F3)……… 64

4.20. Grafik Pengaruh Dosis Pemupukan Fosfor terhadap Panjang Sulur Primer

(cm) Pengamatan Umur 5 MST……… 66

4.21. Grafik Perkembangan Panjang Sulur Primer (cm) pada Perlakuan Umur

Panen 8 MST (U1), 10 MST (U2) dan 12 MST (U3)………. 67

4.22. Grafik Perkembangan Panjang Sulur Primer (cm) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Metil Jasmonat (J0), dengan Pemberian Metil Jasmonat 100

µM (J1) dan Metil Jasmonat 200 µM (J2)……….. 67

4.23. Grafik Perkembangan Panjang Sulur Primer (cm) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Fosfor (F0), dengan Pemberian Fosfor 18 kg P2O5/ha (F1), 36

kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha (F3)……… 68

4.24. Grafik Perkembangan Jumlah Sulur Sekunder (sulur) pada Perlakuan

Umur Panen 8 MST (U1), 10 MST (U2) dan 12 MST (U3)………... 70

4.25. Grafik Perkembangan Jumlah Sulur Sekunder (sulur) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Metil Jasmonat (J0), dengan Pemberian Metil Jasmonat

100 µM (J1) dan Metil Jasmonat 200 µM (J2)……….. 70

4.26. Grafik Perkembangan Jumlah Sulur Sekunder (sulur) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Fosfor (F0), dengan Pemberian Fosfor 18 kg P2O5/ha

(F1), 36 kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha (F3)………... 71

4.27. Grafik Perkembangan Jumlah Stolon (stolon) pada Perlakuan Umur

(22)

4.29. Grafik Perkembangan Jumlah Stolon (stolon) pada Perlakuan Tanpa Pemberian Fosfor (F0), dengan Pemberian Fosfor 18 kg P2O5/ha (F1), 36

kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha (F3)……… 74

4.30. Pengaruh Umur Panen Terhadap Kadar Fosfor (P) dalam Jaringan

Tanaman Pegagan (%)………... 78

4.31. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat 0 µM (J0), 100 µM (J1), 200 µM (J2) Terhadap Kadar Fosfor (P) dalam Jaringan Tanaman Pegagan

(%) ………

Jaringan Tanaman Pegagan (%)……….

78

4.32. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat pada Berbagai Dosis Fosfor

Terhadap Bobot Basah Per Plot (g)……….……….. 82

4.33. Pengaruh Umur Panen Terhadap Bobot Kering Per Plot (g) Tanaman

Pegagan………. 83

4.34. Grafik Pengaruh Pemupukan Fosfor pada Berbagai Konsentrasi Metil

Jasmonat Terhadap Bobot Kering Per Plot (g)………..

Bobot Kering Per Plot(g)………..

85

4.35. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat pada Berbagai Umur Panen

Terhadap Bobot Basah Daun dan Petiol (g) ……….……

…………. 87

4.36. Grafik Pengaruh Pemupukan Fosfor pada Berbagai Konsentrasi Metil

Jasmonat Terhadap Bobot Basah Daun dan Petiol ………...………... 88

4.37. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat pada Berbagai Umur Panen

Terhadap Bobot Basah Akar dan Sulur (g) ………..……… 90

4.38. Pengaruh Umur Panen Terhadap Bobot Kering Akar dan Sulur

(g)………..

.

92

4.39. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat pada Berbagai Dosis Fosfor

Terhadap Bobot Kering Akar dan Sulur (g) ……..………... 94

4.40. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat pada Berbagai Dosis Fosfor

Terhadap Bobot Basah Sampel (g) ………...………... 96

4.41. Grafik Pengaruh Pemupukan Fosfor Terhadap Kandungan Asiatikosida

(23)

4.43. Pengaruh Umur Panen 56, 70 dan 84 HST Terhadap Kandungan Asam

Asiatik pada Daun………. 102

4.44. Grafik Pengaruh Pemupukan Fosfor Terhadap Kandungan Asam Asiatik

pada Daun (µg/ml) ………...

(µg/ml)……….…

103

4.45. Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat pada Berbagai Umur Panen

Terhadap Kandungan Asiatikosida Akar (µg/ml)………..………... 105

4.46. Grafik Pengaruh Pemupukan Fosfor pada Berbagai Umur Panen Terhadap

Kandungan Madekasosida pada Akar (µg/mL)…….………... 107

4.47. Perbedaan Kandungan Centellosida (Asiatikosida, Madekasosida, Asam Asiatik) pada Akar dan Daun akibat Perlakuan Umur Panen 56 HST (U1),

70 HST (U2) dan 84 HST (U3)……….. 108

4.48. Perbedaan Kandungan Centellosida (Asiatikosida, Madekasosida, Asam Asiatik) pada Akar dan Daun pada Pemberian Metil Jasmonat (J0), 100

µM (J1), 200 µM (J2)………. 109

4.49. Perbedaan Kandungan Centellosida (Asiatikosida, Madekasosida, Asam Asiatik) pada Akar dan Daun pada Perlakuan Pemberian Fosfor 0 kg P2O5/ha (F0),18 kg P2O5/ha (F1), 36 kg P2O5/ha (F2) dan 54 kg P2O5/ha

(F3)………. 109

4.50. Grafik Pengaruh Umur Panen pada Berbagai Konsentrasi Metil Jasmonat

Terhadap Produksi Asiatikosida pada Daun (mg) ………... 112

4.51. Grafik Pengaruh Umur Panen Terhadap Produksi Madekasosida pada

Daun (mg) ……… 113

4.52 Grafik Pengaruh Pemberian Metil Jasmonat dengan Pemupukan Fosfor

Terhadap Produksi Madekasosida Daun (mg) ………. 115

4.53. Grafik Produksi Asam Asiatik Daun pada Perlakuan Pemupukan Fosfor .. 116

4.54. Pengaruh Umur Panen (a), Pengaruh Metil Jasmonat pada Berbagai

Pemupukan Fosfor (b) Terhadap Produksi Madekasosida Akar …………. 119

4.55. Grafik Pengaruh Metil Jasmonat pada Berbagai Dosis Pemupukan Fosfor

(24)

Struktur α

(25)

THE INCREASE IN CENTELLOSIDE PRODUCTION OF PEGAGAN

(Centella asiatica ) THROUGH THE APPLICATION OF PHOSPHORUS

AND METHYL JASMONATE WITH DIFFERENT HARVEST TIME

NOVERITA SPRINSE VINOLINA. The Increase in Centelloside Production of

Pegagan (Centella asiatica ) Through Application of Phosphorus and Methyl Jasmonate with Different Harvest Time (Supervised by: J.A. NAPITUPULU, MARLINE NAINGGOLAN, LUTHFI AZIZ M. SIREGAR ).

One of the wild plants widely used from nature is Centella asiatica. Chemical compounds found in pegagan and the benefits of bioactive content become fundamental need for the research to be conducted. Harvesting from nature without preservation may cause the cultivation of these plants to be gradually extinct.

Profound study is needed to be able to find out the responses of pegagan to various treatments in order to increase the content of bioactive (centelloside) rather than growing naturally in the wild. Cultivation techniques which will be provided include the application of phosphorus that affects the synthesis of centelloside at four levels: 0, 18, 36, 54 kg P2O5/ha, methyl jasmonate consisting of three levels: 0, 100, 200 µM and age of harvest at 56 , 70 and 84 days after planting (DAP ), with 108 experimental plots, size of plot 1 m2 per plot.

The objectives of study were 1) to obtain the right dose of phosphorus to get the best production of centelloside, 2) to find out the right concentration of the hormone methyl jasmonate to obtain the best production of centelloside in pegagan, 3) to find out the right harvest time to obtain the production of the best centelloside, 4) to find out the interaction of phosphorus dose and methyl jasmonate concentration on the production of centelloside content, 5) to find out the interaction of phosphorus dose and harvest time on the production and on centelloside content, 6) to find out the interaction of methyl jasmonate concentration and harvest time on production and on centelloside content, and 7) to find out the interaction of phosphorus dose, methyl jasmonate concentration and harvest time with centelloside production.

The results of the research showed that phosphorus dosing increased the length of the petiole. The highest growth in the number of leaves, leaf area, number of primary shoots, and the number of secondary shoots of 12 WAP (week after plating), was found in the treatment of phosphorus at the level of 36 kg P2O5/ha. The highest asiaticoside content of leaf was found in the application of phosphorus of 54 kg P2O5/ha, while the highest asiatic acid content in leaves was found in application of phosphorus of 18 kg P2O5/ha. Phosphorus fertilization was 13.51 kg P205/ha, and the maximum production of asiatic acid in leaf was ± 244 g. The application of methyl jasmonate of 100 µM and 200 µM caused the decrease in phosphorus content of plant tissue. Harvest time affects asiatic acid content of leaves and roots madecassoside content. The highest madecassocide production, both in leaves and roots, was found at harvest time of 84 DAP.

(26)

of methyl jasmonate 200 µM and the harvest time of 84 days after planting. Without the application of 200 µM jasmonate, asiaticoside content would increase from 70 days to 84 days after planting, whereas the application of 100 µM methyl jasmonate, the maximum of asiaticoside production in leaves was ± 67 mg at 70 DAP.

The interaction effects of harvest time and phosphorus doses on madecassoside content, the highest madecassoside content of roots and shoots was found in the combination of harvest time of 84 days after planting and 54 kg P205/ha of phosphorus fertilization. Harvest time of 84 DAP with application of phosphorus at the level of 18, 36, and 54 kg P205/ha in which madecassoside content was higher than the harvest time of 56 or 70 DAP. The content of madecassoside in leaves was higher in 56 DAP in various phosphorus doses and would decrease from 56 to 70 days after planting and would increase again after 69 days after planting in phosphorus doses of 0, 18 and 36 kg P2O5 per ha.

The highest interaction effect of methyl jasmonate concentration and of phosphorus dose was found in the production of components; namely, wet weight and dry weight per plot, which was found in the application of methyl jasmonate treatment of 100 µM and in 18 kg of phosphorus fertilization P205/ha at 401.743 g and 43.285 g respectively on wet weight of leaves and petiole, dry weight of roots and tendrils, and the wet weight of samples. Harvest time of 56 days after planting produced wet weight of leaves and petiole in the maximum of 88.614 g with application of methyl jasmonate of 99.75 µM. Harvest time of 70 days after planting, wet weight of leaves and petiole would increase by the application of methyl jasmonate of 200 µM, while in the harvest time of 84 days after planting, wet weight of leaves and petiole would decrease by the application of methyl jasmonate of 200 µM. The highest wet weight of leaves and petiole was found in methyl jasmonate treatment of 100 µM and in 18 kg P205/ha of phosphorus fertilization; 160.739 g. The highest dry weight of roots and shoots were found in the application of methyl jasmonate treatment of 100 µM and in 18 kg P205/ha of phosphorus fertilization. The highest production of madecassoside in leaves and root was found in the application of methyl jasmonate of 200 µM and in 54 kg P205/ha of phosphorus. Without phosphorus fertilization, production of madecassoside in root increased to the maximum production of ± 473 mg in the application of methyl jasmonate of 91.25 µM, whereas phosphorus fertilization of 18 kg P2O5 per ha would produce the maximum of asiatic acid in root of ± 61 mg in the application of methyl jasmonate of 108.25 µM. The interaction effects of phosphorus dose, methyl jasmonate concentration, and harvest time were not found in all growth parameters, in production, and in the content of centelloside.

(27)

(Centella asiatica) MELALUI PEMBERIAN FOSFOR DAN METIL

JASMONAT DENGAN UMUR PANEN YANG BERBEDA

NOVERITA SPRINSE VINOLINA. Peningkatan Produksi Centellosida pada Pegagan (Centella asiatica) Melalui Pemberian Fosfor dan Metil Jasmonat dengan Umur Panen yang Berbeda (Bimbingan: J. A. NAPITUPULU, MARLINE NAINGGOLAN, LUTHFI AZIZ M. SIREGAR).

Salah satu tanaman liar yang dimanfaatkan dari alam secara luas adalah Centella asiatica. Kandungan kimia yang terdapat pada pegagan dan manfaat dari kandungan bioaktif tersebut merupakan hal yang mendasar perlunya penelitian ini dilakukan. Pemanenan dari alam tanpa adanya pelestarian dengan membudidayakannya dapat menyebabkan tanaman ini lama kelamaan akan musnah.

Kajian yang mendalam sangat diperlukan untuk dapat mengetahui seluk beluk respon tanaman pegagan terhadap berbagai perlakuan untuk dapat menigkatkan kandungan bioaktifnya (centellosida) daripada yang tumbuh secara alami di alam. Teknik budidaya yang akan diberikan antara lain pemberian fosfor yang mempengaruhi sintesis centellosida dengan 4 taraf yaitu 0, 18, 36, 54 kg P2O5 /ha, pemberian elisitor metil jasmonat yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0, 100, 200 µM dan umur panen yang berbeda yaitu 56 , 70 dan 84 hari setelah tanam (HST), dengan 108 petak percobaan ukuran 1 m2.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh dosis fosfor yang tepat untuk memperoleh produksi centellosida pegagan yang terbaik, 2) mengetahui konsentrasi hormon metil jasmonat yang tepat untuk memperoleh produksi dan kandungan centellosida pegagan yang terbaik, 3) mengetahui umur panen yang tepat untuk memperoleh produksi dengan kandungan centellosida yang terbaik, 4) mengetahui interaksi dosis fosfor dan konsentrasi metil jasmonat terhadap produksi dengan kandungan centellosida, 5) mengetahui interaksi dosis fosfor dan umur panen terhadap produksi dan kandungan centellosida, 6) mengetahui interaksi konsentrasi metil jasmonat dan umur panen terhadap produksi dan kandungan centellosida, 7) mengetahui interaksi dosis fosfor, konsentrasi metil jasmonat dan umur panen terhadap produksi dengan kandungan centellosida.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian dosis fosfor meningkatkan panjang tangkai daun. Pertumbuhan jumlah daun, luas daun, jumlah sulur primer, jumlah sulur sekunder 12 MST, tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian fosfor pada taraf 36 kg P2O5 /ha. Kandungan asiatikosida daun tertinggi terdapat pada pemberian fosfor 54 kg P2O5 /ha sedangkan kandungan asam asiatik daun tertinggi terdapat pada pemberian fosfor 18 kg P2O5 /ha. Pemupukan fosfor 13,51 P205 kg/ha, produksi asam asiatik daun maksimum yaitu ± 244 g.

(28)

umur panen 84 HST. Kandungan asiatikosida pada akar dan sulur tertinggi terdapat pada kombinasi pemberian metil jasmonat 200 µM dengan umur panen 84 HST. Tanpa pemberian dan pemberian jasmonat 200 µM terjadi peningkatan kandungan asiatikosida setelah 70 hari sampai 84 HST, sedangkan pada pemberian jasmonat 100 µM diperoleh produksi asiatikosida daun maksimum ± 67 mg pada umur panen 70 HST.

Efek interaksi umur panen dan dosis fosfor terhadap kandungan madekasosida akar dan sulur, tertinggi terdapat pada kombinasi umur panen 84 HST dan pemupukan fosfor 54 kg P205/ha. Panen pada umur 84 HST dengan pemberian fosfor pada taraf 18, 36, dan 54 kg P205/ha terdapat kandungan

madekasosida lebih tinggi dibanding pada umur panen 56 atau 70 HST. Kandungan madekasosida daun lebih tinggi saat 56 HST pada berbagai dosis fosfor dan akan menurun pada 56 -70 HST lalu meningkat kembali setelah 69 HST pada dosis fosfor 0, 18 dan 36 kg P2O5/ha.

Efek interaksi konsentrasi metil jasmonat dan dosis fosfor terdapat pada komponen produksi yaitu bobot basah dan bobot kering per plot, tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian metil jasmonat 100 µM dan pemupukan fosfor 18 kg P205/ha masing-masing 401,743 g dan 43,285 g. Berat basah daun dan petiol, berat kering akar dan sulur dan berat basah sampel. Umur panen 56 HST menghasilkan bobot basah daun dan petiol maksimum 88,614 g dengan pemberian metil jasmonat 99,75 µM. Umur panen 70 HST, bobot basah daun dan petiol meningkat dengan pemberian metil 200 µM sedangkan pada umur panen 84 HST, bobot basah daun dan petiol menurun dengan pemberian metil jasmonat 200 µM. Bobot basah daun dan petiol tertinggi pada perlakuan pemberian metil jasmonat 100 µM dan pemupukan fosfor 18 kg P205/ha;160,739 g. Bobot kering akar dan sulur tertinggi pada perlakuan pemberian metil jasmonat 100 µM dan pemupukan fosfor 18 kg P205/ha 23,598 g. Produksi madekasosida daun maupun akar tertinggi diperoleh pada pemberian metil jasmonat 200 µM dan pemberian fosfor 54 kg P205/ha. Tanpa pemupukan fosfor, produksi madekasosida akar meningkat hingga mencapai produksi maksimum ± 473 mg pada pemberian metil jasmonat 91,25 µM. sedangkan pemupukan fosfor 18 kg P2O5/ha diperoleh produksi asam asiatik akar maksimal ± 61 mg pada pemberian jasmonat 108,25 µM. Efek interaksi dosis fosfor, konsentrasi metil jasmonat dan umur panen tidak terdapat pada semua parameter pertumbuhan, produksi dan kandungan centellosida pegagan.

(29)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengetahuan tentang tanaman obat yang ada di wilayah Nusantara

bersumber dari pewarisan pengetahuan secara turun-temurun, dan terus-menerus

diperkaya dengan pengetahuan dari luar Nusantara, khususnya dari Cina dan

India. Tumbuhan obat yang secara turun-temurun didomestikasi dan dipelihara di

sudut-sudut kebun mulai terlantar, dilupakan dan dibersihkan, akibatnya

masyarakat pada umumnya tidak mengenal tanaman obat dan penggunaannya

sebagai obat (Winarto dan Surbakti, 2004; Nurliani, Susi dan Mardiana, 2008).

Hal serupa tidak terjadi di negara-negara tetangga kita seperti Jepang, Cina,

Taiwan, Hongkong, Korea dan negara-negara Timur lain. Negara-negara ini

peduli untuk melakukan konservasi tanaman obat. Jepang memberi perhatian

terhadap kesinambungan tanaman obat dan aromatik serta berusaha untuk

pemanenan tanaman obat yang berkelanjutan. Salah satu tanaman liar yang

dimanfaatkan dari alam secara luas adalah Centella asiatica. Jepang mengimport

tanaman obat dan aromatik dari China dan India. China merupakan eksportir

terbesar untuk tanaman obat dan aromatik (Asian Scientist, 2012). Upaya-upaya

pelestarian dan pemanfaatan tanaman obat memang nyata ada tetapi sangat

terbatas dan dampaknya sangat kecil dibandingkan kebutuhan yang ada (Cravotto

et al., 2010).

Tumbuhan pegagan masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar yang

(30)

lain: mengandung beberapa senyawa saponin, termasuk asiatikosida (Matsuda, et

al., 2001). Senyawa bioaktif asiatikosida dapat mempercepat proses penyembuhan

luka dan berguna dalam pengobatan kusta dan TBC (Mangas, et al., 2006;

Mangas, et al., 2008; Mangas, et al., 2009). Pegagan bersifat mendinginkan,

memiliki fungsi membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh

kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan

(haemostatika), meningkatkan syaraf memori, antibakteri, tonik, antispasma,

antiinflamasi, hipotensis, insektisida, antialergi dan stimulan. Saponin juga dapat

menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat

terjadinya keloid) (Mangas, et al., 2008).

Sampai saat ini pegagan masih dipanen dari alam, dan untuk mendukung

pengembangan pegagan dalam skala luas perlu didukung dengan usaha budidaya

dan untuk menghasilkan produk pegagan yang bermutu diperlukan bahan tanaman

yang terjamin tingkat produksi dan mutunya (Ghulamahdi, dkk., 2007,

Ghulamahdi, dkk., 2010, Noverita, 2006, Nurliana, dkk., 2008). Tumbuhan

pegagan (Centella asiatica (L). Urban) sudahsaatnya untukdibudidayakankarena

banyak jamu racikan yang rnengandung herba pegagan (Sembiring, 2007;

Wijayakusuma dan Dalimartha, 2005; Winarto dan Surbakti, 2004). Kebutuhan

pegagan (Centella asiatica) mencapai 100 ton, PT. Sidomuncul mencapai 2 – 3

ton/bln. Komoditas pegagan (Centella asiatica), termasuk herba liar yang tumbuh

di pekarangan, kebun atau di bawah tegakan hutan. Kebutuhan akan pegagan

pada pabrik lokal mencapai 25 ton per tahun dan yang sanggup dipasok hanya

sebesar 4 ton per tahun. Tidak hanya tanaman liar yang masih diburu dari alam

(31)

mampu memenuhi permintaan pasar domestik (Pusat Studi Biofarmaka IPB,

2005; Redaksi Herba, 2003).

Kendala-kendala yang dihadapi industri obat herbal (agromedisin)

Indonesia adalah budidaya tanaman, masalah ketidakseragaman mutu bahan

sehingga memberikan dampak pada mutu produk yang berbeda-beda, proses

produksi, penelitian dan pengembangan produk maupun pemasarannya

(Ghulamahdi, dkk., 2007; Sutardi, 2008; Nurliani dkk., 2008; Redaksi Herba.

2003).

Secara agribisnis, pegagan dapat dijadikan sebagai satu komoditas yang

mempunyai prospek menjanjikan, hal ini disebabkan adanya indikasi positif bagi

peluang usaha biofarmaka, dimana permintaan meningkat setiap tahunnya untuk

kebutuhan obat di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri (Pusat Studi

Biofarmaka IPB, 2005; Ghulamahdi, dkk., 2007; Redaksi Herba, 2003; Redaksi

Agromedia, 2008).

Pada penelitian eksplorasi terhadap tumbuhan pegagan sebelumnya

Noverita dan Siregar (2010), Noverita, Siregar dan Napitupulu (2012)

memperoleh kandungan asiatikosida pada aksesi pegagan yang diuji berturut-turut

sebagai berikut aksesi Pantai labu Deli Serdang (2,38%), Kabanjahe (1,43%),

Medan (1,38%), Berastagi (1,38%), Samosir dengan naungan (0,28%) dan aksesi

Samosir tanpa naungan (0,24%). Berdasarkan hasil survei tersebut, kandungan

asiatikosida tertinggi terdapat pada pegagan dataran rendah yaitu aksesi Pantai

Labu. Pada penelitian ini diperoleh ada kaitan unsur fosfor (P) terhadap

kandungan asiatikosida pegagan. Hasil analisis kimia tanah, kandungan P pada

(32)

(sedang), Kabanjahe 14,25 ppm (sedang), Samosir 9,97 ppm (sedang), dan

Berastagi 3,03 ppm (rendah). Hal ini dikaitkan dengan senyawa fosfat yang kaya

energi menjadi perantara fosforilasi transfer energi dalam proses pertumbuhan

organ tanaman dan dalam menghasilkan metabolit sekunder (Kim, et al., 2010).

Peningkatan ketersediaan P dapat diusahakan dengan pemberian pupuk

P2O5. Ghulamahdi, dkk., (2007) menyatakan di dataran tinggi, pemberian pupuk

P dapat menurunkan panjang tangkai bunga induk, meningkatkan nilai warna

daun, bobot tangkai daun, sulur daun, bobot panen, dan kandungan asiatikosida.

Bobot panen tertinggi diperoleh pada perlakuan 72 kg P2O5/ha, sedangkan

kandungan asiatikosida tertinggi diperoleh pada perlakuan 36 kg P2O5/ha.

Di daerah dataran rendah dengan jenis tanah Latosol, pemupukan P dapat

menurunkan jumlah daun, panjang sulur dan panjang tangkai bunga induk, namun

meningkatkan panjang tangkai daun pada pegagan umur 2 bulan dan

meningkatkan bobot sulur daun tetapi tidak mempengaruhi warna daun. Bobot

panen tertinggi diperoleh pada perlakuan 108 kg P2O5/ha, sedangkan kandungan

asiatikosida tertinggi diperoleh pada 36 kg P2O5/ha (Ghulamahdi, dkk., 2007;

Sutardi, 2008).

Elisitor adalah istilah yang digunakan pada bahan kimia dari berbagai

sumber, biotik atau abiotik, serta faktor-faktor fisik, yang dapat memicu respon

dalam organisme hidup yang dihasilkan dalam akumulasi metabolit sekunder.

Metil jasmonat (MJ) merupakan salah satu elisitor yang digunakan secara luas dan

banyak memodulasi peristiwa fisiologis pada tumbuhan tingkat tinggi. Metil

jasmonat dan turunannya telah diusulkan menjadi senyawa sinyal kunci dalam

(33)

Waktu pemanenan yang tepat akan menghasilkan simplisia yang

mengandung bahan berkhasiat yang optimal. Kandungan kimia dalam tumbuhan

tidak sama sepanjang waktu dan akan mencapai kadar optimum pada waktu

tertentu (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, 2010).

Kim et al., (2005) menunjukkan bahwa tingkat perkembangan mRNA

CabAS(C. asiatica, β-amyrin sintase) pada daun mencapai puncaknya di usia 2-3

minggu dan menurun setelah 4 minggu, akan tetapi kandungan asiatikosida daun

meningkat dari waktu ke waktu.

Produsen makanan kesehatan Herba Penawar Al-Wahida (HPA) seperti

produk Health-B, pegagan yang digunakan cukup matang dan tidak terlalu tua,

dipanen pada umur 2 bulan 15 hari, untuk mendapatkan kandungan bahan aktf

yang tinggi (Herba Penawar Al-Wahida, 2011). Persyaratan suatu simplisia

terhadap kandungan asiatikosidanya tidak boleh kurang dari 0,9 % (Ghulamahdi

dkk, 2010). Hal ini dapat dicapai dengan mengatur waktu panen, pemupukan

fosfor yang tepat dan pemberian metil jasmonat sehingga diharapkan dapat

meningkatkan produksi asiatikosida.

Bertitik tolak dari hal di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih

jauh pengaruh fosfor dan elisitor metil jasmonat pada umur panen pegagan yang

berbeda terhadap kandungan centellosida (asiatikosida, madekasosida, asam

asiatik) dan produksi biomas pegagan. Dengan demikian dapat diketahui respon

tanaman terhadap dosis fosfor dan metil jasmonat yang diberikan serta umur

panen yang tepat untuk memperoleh kandungan asiatikosida, pertumbuhan dan

(34)

1.2. Perumusan Masalah

1. Permintaan yang tinggi akan simplisia yang dikumpulkan dari tumbuhan liar

akan berakibat tumbuhan itu akan menjadi langka atau bahkan terancam

punah. Untuk memperoleh simplisia dengan kualitas yang seragam

(terstandardisasi) maka langkah budidaya sangat diperlukan.

2. Adanya bahan tanaman pegagan yang potensial dari Sumatera Utara dengan

kandungan dan produksi centellosida yang tinggi.

3. Optimalisasi kandungan dan produksi centellosida pegagan perlu dilakukan

beberapa tindakan agronomis melalui pemberian fosfor untuk mempengaruhi

fisiologis dan metabolisme sekunder khususnya biosintesis centellosida.

4. Tindakan elisitasi dengan metil jasmonat untuk memicu ke arah metabolisme

sekunder dalam kaitannya dengan biosintesis centellosida.

5. Umur panen yang tepat untuk produksi suatu jenis centellosida.

6. Perlu diketahui interaksi diantara fosfor, metil jasmonat dengan umur panen

yang berbeda.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Memperoleh dosis fosfor yang tepat untuk memperoleh produksi dan

kandungan centellosida pegagan yang terbaik.

2. Mengetahui konsentrasi hormon metil jasmonat yang tepat untuk

memperoleh produksi dan kandungan centellosida pegagan yang terbaik.

3. Mengetahui umur panen yang tepat untuk memperoleh produksi dengan

kandungan centellosida yang terbaik.

4. Mengetahui interaksi dosis fosfor dan konsentrasi metil jasmonat terhadap

(35)

5. Mengetahui interaksi dosis fosfor dan umur panen terhadap produksi dan

kandungan centellosida.

6. Mengetahui interaksi konsentrasi metil jasmonat dan umur panen terhadap

produksi dan kandungan centellosida.

7. Mengetahui interaksi dosis fosfor, konsentrasi metil jasmonat dan umur

panen terhadap produksi dengan kandungan centellosida.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Pemberian fosfor meningkatkan produksi dan kandungan centellosida

pegagan.

2. Pemberian elisitor metil jasmonat meningkatkan kandungan centellosida.

3. Umur panen yang lebih lama akan meningkatkan produksi dan

mempengaruhi kandungan centellosida pegagan.

4. Ada efek interaksi dosis fosfor dan konsentrasi metil jasmonat terhadap

pertumbuhan, produksi dan kandungan centellosida pegagan.

5. Ada efek interaksi dosis fosfor dan umur panen terhadap kandungan dan

produksi centellosida.

6. Ada efek interaksi konsentrasi metil jasmonat dan umur panen terhadap

kandungan dan produksi centellosida.

7. Ada efek interaksi dosis fosfor, konsentrasi metil jasmonat dan umur

panen terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan centellosida

(36)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi teknik budidaya

pegagan dengan pemberian fosfor, metil jasmonat dan umur panen yang

tepat sehingga dihasilkan sediaan herbal dengan produksi dan kandungan

centellosida yang terbaik, memberi manfaat bagi fitofarmaka.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat tentang pegagan.

1.6. Luaran Penelitian

1. Bahan tanaman potensial, yang memiliki produksi dan kandungan

centellosida terbaik daripada tumbuhan yang tumbuh liar di alam.

2. Teknik budidaya pegagan untuk menghasilkan pertumbuhan, produksi dan

(37)
[image:37.595.111.510.90.679.2]

Gambar 1.1. Kerangka Konseptual Penelitian Pegagan (Centella asiatica)

Eksplorasi dan persiapan bahan tanaman

Paket teknologi budidaya pegagan

Seleksi:

Kandungan asiatikosida tinggi

1.Upaya pelestarian tanaman obat

2.Mengandung metabolit

sekunder (asiatikosida ↑)

3.Tumbuhan berkhasiat: revitalisasi tubuh, kusta, daya ingat, asma, anti pikun, wasir, anti inflamasi, depresi,

menghambat keloid, ↑sirkulasi

darah, kecantikan dan lain-lain.

Budidaya pegagan

Obat herbal berkualitas Indikator:

1.Kandungan asitikosida ↑ 2.Produksi biomassa ↑

Permasalahan:

1. Kebutuhan yang besar akan bahan baku obat

2. Bahan baku yang berkualitas 3. Dipanen dari alam dapat

menyebabkan terancamnya plasma nutfah

1.Pemberian pupuk fosfor 2.Metil jasmonat

(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan

2.1.1. Botani Pegagan (Centella asiatica)

Pegagan merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh menjalar dan

berbunga sepanjang tahun. Tanaman akan tumbuh subur bila tanah dan

lingkungannya sesuai hingga dijadikan penutup tanah. Pegagan hijau sering

dijumpai di daerah persawahan, di sela-sela rumput, di tanah yang agak lembab

baik yang terbuka atau agak ternaungi, juga dapat ditemukan di dataran rendah

sampai daerah dengan ketinggian 2500 m dpl (Depkes RI, 1977).

Tumbuhan ini tidak berbatang, menahun, mempunyai rimpang pendek dan

stolon-stolon yang merayap, panjang 10-80 cm, akar keluar dari setiap buku-buku,

banyak percabangan yang membentuk tumbuhan baru, daun tunggal, bertangkai

panjang, tersusun dalam roset akar yang terdiri dari 2-10 helai daun. Helaian daun

berbentuk ginjal, tepi bergerigi atau beringgit, kadang agak berambut. Bunga

tersusun dalam karangan berupa payung, tunggal atau 3-5 bunga bersama-sama

keluar dari ketiak daun, berwarna merah muda atau putih. Buah kecil bergantung,

berbentuk lonjong, pipih, panjang 2-2,5 mm, baunya wangi dan rasanya pahit.

Daunnya dapat dimakan sebagai lalap untuk penguat lambung. Pegagan dapat

diperbanyak dengan pemisahan stolon dan biji (Depkes RI, 1977; Januwati dan

Yusron, 2005). Menurut Nurliani, Susi dan Mardiana (2008), ada keragaman

pada sifat morfologi kualitatif dan kuantitatif pegagan, antara lain ukuran, warna

dan bentuk daun, jumlah, ukuran dan warna geragih, jumlah bunga per geragih,

(39)
[image:39.595.145.412.107.314.2]

Gambar 2.1. Pegagan (Centella asiatica)

2.1.2. Klasifikasi Ilmiah

Divisio : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Umbillales

Famili : Umbillferae (Apiaceae)

Genus : Centella

Species : Centella asiatica(Nurendah, 1982).

2.2. Persyaratan Tumbuh

Pegagan bersifat kosmopolitan tumbuh liar di tempat-tempat yang lembab

pada intensitas sinar yang rendah (ternaungi) hingga pada tempat-tempat terbuka,

seperti di padang rumput, pinggir selokan, pematang sawah (Depkes RI, 1977).

Faktor lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan dan mempengaruhi

kandungan bahan aktif tanaman pegagan, antara lain : Daun

Petiol

Akar

Sulur

(40)

2.2.1. Tinggi Tempat

Ketinggian tempat optimum untuk tanaman ini adalah 200 - 800 m dpl.

Ketinggian di atas 1.000 m dpl. produksi dan mutunya akan menjadi lebih rendah

(Depkes RI, 1977).

2.2.2. Jenis Tanah

Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik hampir pada

semua jenis tanah lahan kering. Pada jenis tanah Latosol dengan kandungan liat

sedang, tanaman ini tumbuh subur dan kandungan bahan aktifnya cukup baik

(Depkes RI, 1977).

2.2.3. Iklim

Pegagan tidak tahan terhadap tempat yang terlalu kering, karena sistim

perakarannya yang dangkal. Oleh karena itu faktor iklim yang penting dalam

pengembangan pegagan adalah curah hujan. Apabila pegagan ditanam pada

musim kemarau dan tanaman mengalami kekurangan air, maka perlu dilakukan

penyiraman (Depkes RI, 1977; Winarto dan Surbakti, 2004).

2.3. Metabolit Sekunder pada Pegagan

Salah satu ciri organisme adalah tumbuh dan berkembang.

Tumbuh-tumbuhan dari kecil menjadi besar dan berkembang dari satu sel zigot menjadi

embrio kemudian menjadi satu individu yang mempunyai akar, daun dan batang.

Dewasa ini yang dimaksud senyawa organik bahan alam adalah terbatas pada

senyawa-senyawa yang dikenal sebagai metabolik sekunder. Senyawa metabolik

adalah senyawa-senyawa hasil metabolisme sekunder, yang tidak terdapat secara

(41)

Umumnya terdapat pada semua organ tumbuhan (terutama tumbuhan tinggi), pada

akar, kulit batang, daun, bunga, biji dan sedikit pada hewan.

Pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:

suhu, pH, aktivitas air dan intensitas cahaya. Laju reaksi thermal (non fotokimia)

peka terhadap suhu dan beberapa laju reaksi akan meningkat seiring dengan

peningkatan suhu 100C. Lahan yang relatif kering, pH dan kelembaban tanah

adalah merupakan parameter yang relevan untuk terbentuknya metabolisme

sekunder.

Gambar 2.2. Metabolit Sekunder Dibentuk Melalui Lintasan yang Khusus dari Metabolisme Primer dan Sekunder

[image:41.595.122.519.322.682.2]
(42)

Penggunaan tumbuhan sebagai obat, berkaitan dengan kandungan kimia

yang terdapat dalam tumbuhan tersebut terutama zat bioaktif. Tanpa adanya suatu

senyawa bioaktif dalam tumbuhan maka secara umum tumbuhan itu tidak dapat

digunakan sebagai obat. Noverita dan Marline (2012) menyebutkan hasil uji

fitokimia daun pegagan terdapat kandungan triterpenoid. Pegagan mengandung

bahan aktif seperti triterpenoid glikosida (terutama asiatikosida, asam asiatik,

asam madekasik, madekasosida (Hashim, et al., 2011), flavonoid (kaemferol dan

kuercetin), volatil oil (valerin, kamfor, siniole dan sterol tumbuhan seperti

kamfesterol, stigmasterol, sitosterol), pektin, asam amino, alkaloid hidrokotilin,

miositol, asam brahmik, asam centelik, asam isobrahmik, asam betulik, tanin serta

garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi. Zat valerin

yang ada memberi

Gambar

Gambar 1.1.  Kerangka Konseptual Penelitian
Gambar 2.1.  Pegagan (Centella asiatica)
Gambar 2.2.  Metabolit Sekunder Dibentuk Melalui Lintasan yang Khusus dari         Metabolisme Primer dan Sekunder
Gambar 2.3.  Biosintesis Triterpen Saponin Keterangan:  SQS = squalene synthase, CYS = cycloartenol synthase,  βAS = β-amyrin synthase
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengaruh temperatur pencampuran maupun nilai kepadatan campuran beraspal akan sangat mempengaruhi kinerja campuran beraspal, temperatur pencampuran pada saat pelaksanaan

Meskipun dalam kedua teks tersebut tidak ditemukan waktu penyalinannya, tetapi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Roosiati (1983) disebutkan

Euskal Herriko ikonoak hartuz gero lagin bezala –aipa- tutako % 13a, hain zuzen–, portzentajeek aro bakoitzean dagoen joera islatzen dute: 1975tik 2000ra arte egiten

[r]

Pihak lain yang bukan direktur utama/pimpinan perusahan yang namanya tidak tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar, sepanjang pihak lain tersebut adalah

dalam penelitian ini adalah : untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa. kelas V SD N 3 Banjarsari dengan metode bermain peran berbantuan

Dian Ratlh Laksmltawati, Rlnlnta Fi.daus, Yulinda, Mediana Astika 72 ANTIOXIDANT ACTIVITY OF 96% ETTIANOL EXTRACT OF COMBINATION OT STRAWBERRY FRUIT (Frogorio

Salah satu alternatif untuk mengurangi eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam adalah dengan memanfaatkan limbah kulit kerang sebagai Bahan baku pembuatan paving